SlideShare a Scribd company logo
1 of 37
KONSEP PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH DAN AL-QABISI




A.               Riwayat                singkat                Ibnu           Miskawaih
Ibnu Miskawaih mempunyai nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu
yacub Ibnu Miskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Miskawaih
atau Ibnu Miskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula
beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh
dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak
menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam
sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Miskawaih
tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar yang juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim
yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan ‘Adhud al-Daulah dari Bani
Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya. Ia dilahirkan di
kota Rayy (Teheran sekarang) Iran pada tahun 330H/9 M dan wafat di Asfahan pada
tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Feruari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa
pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya
bermazhab                                                                         Syi’ah.
Syed Abdul Wadud di dalam buku Alam dan Quran telah menyebut dia sebagai
Miskawiah. Ia adalah ilmuwan suka meneliti dalam pengetahuan ilmiah dan akademis. Ia
adalah ahli dan mampu di bidang Biologi; ia merupakan ilmuwan pertama yang menemukan
kehidupan tumbuhan secara umum, membahas tentang evolusi. Ia adalah sarjana sosiologi,
yang ahli tentang kebudayaan dan peradaban dengan spesifikasi pada disiplin Psikologi,
dalam bidang psikologi ia termasuk ahli dibidangnya. Ia adalah peneliti dan pemikir etika,
kerohanian dan penulis besar buku akhlak. Miskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat
dalam Islam yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun
seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan
Romawi,       Persia,    dan    India,   disamping    filsafat    Yunani,  sangat    luas.
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas
yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi‟ah dan berasal dari
keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani
Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu‟izz al
Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil
menaklukkan Baghdad, di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki.
Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang
dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas.
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa „Adhud al –Daulah (tahun 367 H – 372 H).
Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan
pada masa inilah Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan. „Adhud
al Daulah. Juga pada masa ini Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan,
dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Miskawaih, yaitu
kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Miskawaih lalu
tertarik   untuk     menitikberatkan    perhatiannya     pada    bidang     etika   Islam.
Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, hanya sebagian yang dapat
diketahui antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibnu Kamil al-
Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibnu al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah
bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah.
Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian
Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua
karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (tahzib al-Akhlak), diantara
karyanya                                                                            adalah:

1.                                       al-Fauz                                         al-Akbar
2.                                      Al-Fauz                                         al-Asghar
3. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979
M)
4. Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara).
5.        Tartib          al-Sa‟adah         (tentang         akhlak          dan          politik)
6.                     al-Musthafa                     (syair-syair                      pillihan).
7.          Jawidan             Khirad            (kumpulan            ungkapan              bijak)
8.                                                                                        al-jami‟
9.                al-Syiar                 (tentang                 aturan                  hidup)
10.        Tentang           pengobatan         sederhana        (mengenai            kedokteran)
11.       Tentang          komposisi         Bajat       (mengenai          seni       memasak)
12.              Kitab              al-Asyribah              (mengenai                 minuman).
13.               Tahzib               al-Akhlaq                (mengenai                  akhlaq)
14. Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu‟ah
no.                         1463,                        lembar                          57a-59a)
15. Ajwibah wa As‟ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu‟ah tersebut diatas dalam raghib
majmu‟ah                                         di                                      Istanbul)
16. al-Jawab fi al-Masa‟il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no.
634                                                                                           (31)).
17. Risalah fi Jawab fi su‟al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql
(perpustakaan         Mashhad          di        Iran,       I        no         43         (137)).
18.     Thaharat       al-Nafs     (naskah       di    Koprulu        Istanbul      no       7667).
Muhammad Baqir Ibnu Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis
beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M
hal.                                                                                            70).
Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa al-
Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al-
Sa‟adah.


B.       Konsep       Dasar       Pemikiran      Pendidikan       Ibnu       Miskawaih
Dasar adalah landasan bagi berdirinya sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang
hendak     dicapai.   Menurut      Ibnu    Miskawaih     dasar    pendidikan     adalah:
1)                                                                               Syariat
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara
tegas ia menyatakan bahwa syari‟at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter
manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan
jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat
memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat
agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-
Qur‟an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses
pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan
sesamanya            dan          manusia         dengan          makhluk         lainnya.
2)                                                                               Psikologi
Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya.
Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina‟ah) yang
didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai
kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka
manusia      akan      sampai     kepada     tujuan    yang     tertinggi    dan    mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan.
Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian
teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih
adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia
adalah perintis psikologi pendidikan, dan layak disebut sebagai „Bapak Psikologi
Pendidikan‟.


C.           Metode          Pendidikan          Menurut           Ibnu         Miskawaih
Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik dengan alat, karena fungsinya
sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa
metode pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah :
1)                        Metode                        alami                      (thabi‟i)
Manusia mempunyai metode alami yang dilakukan sesuai dengan proses alam. Cara ini
berangkat dari pengamatan potensi manusia, di mana potensi yang muncul lebih dahulu,
selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih
potensi yang pertama terbentuk bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan,
kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai
dengan memperhatikan kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa
syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi
memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi
kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode alamiah.
2)                                    Metode                                    Bimbingan
Metode ini penting untuk mengarahkan subjek didik kepada tujuan pendidikan yang
diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam Al-
Qur‟an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang
terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh yang hanya
bermodalkan            kepiawaian          bahasa           dan          olah          kata.
3)           Metode           Ancaman,           Hardikan,           dan         Hukuman
Berangkat dari metode yang sebelumnya, jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai yang
telah diajarkan, maka mereka diberi berbagai cara secara bertahap sehingga kembali kepada
tatanan nilai yang ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman, baik bersifat jasmani atau
rohani.

4)                                    Metode                                      Pujian
Jika subjek didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji
dihadapannya. Hal ini agar mereka merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai tambah
bagi dirinya. Jika pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik melaksanakan
kebajikan.
D.           Asas            Pendidikan           Menurut           Ibnu           Miskawaih
Yang dimaksud dengan asas di sini adalah hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan
dalam                proses              kegiatan             pendidikan               seperti:
1. Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada perbedaan yang dimiliki oleh tiap individu
agar            pendidikan            berdaya          dan             berhasil          guna.
2. Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara
yang              satu            berbeda            dengan               yang            lain.
3. Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan yang umum, baru yang terinci, karena
partikular      tidak       dapat      dipisahkan     dari      hal        yang     universal.
4. Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam
keluarga,                      sekolah                    dan                     masyarakat.
5. Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau
menjadi makhluk yang setingkat malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik.
6. Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya praktek dalam pembinaan subjek didik,
sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karena kebiasaan hidup susah untuk diubah.
E.            Hubungan              Pendidik          Dan              Subjek            Didik
1.                                                                                   Pendidik
Ibnu Miskawaih mengelompokkan orang yang melakukan usaha pendidikan di antaranya
adalah: orang tua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat dan raja atau penguasa. Guru dan
filsuf mempunyai kedudukan yang istimewa yaitu sebagai Bapak Ruhani, Tuan Manusia dan
kebaikannya adalah Kebaikan Ilahi. Hal ini karena dia mendidik murid dengan keutamaan
yang sempurna (al fadillah at tammah), mengajarinya dengan kearifan yang mapan (al-
hikmahtul balighah) dan mengarahkannya kepada kehidupan yang abadi (al-hayah al
abadiyah) dalam kenikmatan yang kekal (an-ni‟mah al abadiyah). Ibnu Miskawaih
menyatakan guru dan filsuf adalah penyebab eksistensi intelektual manusia.
2.                                         Subjek                                        Didik
Pengertian subjek didik yaitu semua orang yang memperoleh atau memerlukan bimbingan,
bantuan dan latihan, baik berupa ilmu, ketrampilan atau lainnya, guna mengembangkan
dirinya sebagai individu, anggota masyarakat dan hamba Tuhan yang paripurna.
Menurut Ibnu Miskawaih, hubungan antara pendidik dan subjek didik harus didasarkan pada
kemanusiaan yaitu cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan dan fadhilah. Hal ini
karena manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang,
bersahabat, menegakkan keadilan dan berupaya memperoleh keutamaan. Sehingga dalam
pendidikan harus terjadi komunikasi dua arah (interaksi), bahkan multi arah (transaksi).
F.          Tujuan            Pendidikan           Menurut           Ibnu          Miskawaih
Ibnu Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat akhlak. Karena itu corak
pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu
Miskawaih                                                                              adalah:
1.                       Kebaikan                      dan                        kebahagiaan
Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan
sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak
dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk
mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat
yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan, dan tekun
melakukan              keutamaan             dan          konsisten             mendalaminya.

2.                  Tercapainya                    Kemuliaan                      Akhlak
Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan terkendali.
Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian yang
menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain.
Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang
merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan
Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah yaitu sebagaimana yang
disebutkan            dalam            QS.            Al-Qalam:             ayat           4:
“Dan      sesungguhnya      kamu      benar-benar    berbudi    pekerti      yang     agung”.
Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam
yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam
pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam.
Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 201) :
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"[*].
[*]      inilah     do‟a       yang      sebaik-baiknya      bagi       seorang      muslim.
3.               Sebagai               Sarana              Sosialisasi               Individu
Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses sosialisasi
bagi subjek didik. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai
oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan ini
merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para sosiolog
modern.
G.                       Riwayat                     singkat                      Al-Qabisiy
Nama lengkap Al-Qabisiy adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma„arifi Al-
Qairawaniy. Al-Qabisiy adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis.
Kalangan      ulama     lebih    mengenal     namanya     dengan      sebutan     Al-Qabisiy.
Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia pada tahun 324 H-935M. Literatur-literatur tidak
menyebutkan perihal kedudukan orang tuanya. Barangkali Al-Qabisiy bukan dari keturunan
ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak
banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi ilmuan yang
berpengaruh                       dalam                     dunia                      Islam.
Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur‟an,
hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira‟at dari beberapa ulama yang terkenal di
kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-
„Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisiy pernah mengatakan
tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu
al-„Abbas. Guru-guru lain yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu
Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin
Yunus      Al-Yahsabiy,      Ali    Al-Dibagh     dan     Abdullah      bin     Abi     Zaid.
Al-Qabisiy pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama
5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah menetap di
bandar-bandar besar seperti Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu
yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah belajar pada Ali bin Zaid Al-
Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan
mendalami                                   mazhab                                  fikihnya.
Al-Qabisiy mengajar pada sebuah madrasah yang diminati oleh penuntut-penuntut ilmu.
Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut
ilmu di madrasah ini banyak yang datang dari Afrika dan Andalus. Murid-muridnya yang
terkenal adalah Abu Imran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin Abdurrahman,
Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar „Atiq Al-Susiy dan lain-lain.
Al-Qabisiy terkenal luas pengetahuannya dalam bidang hadits dan fikih di samping juga
sastera Arab. Ia menjadi rujukan ummat dan dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah
hukum Islam, maka ia diangkat menjadi mufti dinegerinya. Sebenarnya, ia tidak menyukai
jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu„ (merendah diri), wara„ (bersih dari dosa) dan
zuhud (tidak mencintai kemewahan hidup duniawi). Salah satu karyanya dalam bidang
pendidikan Islam yang sangat monumental adalah kitab “Ahwal al-Muta‟allim wa Ahkam
Mu‟allimin wa al-Muta‟allimin”, sebagai kitab yang terkenal pada abad 4 dan sesudahnya.
H.          Konsep          Dasar          Pemikiran          Pendidikan          Al-Qabisiy
Konsep pemikiran pendidikan Al-Qabisy secara umum, sebagaimana dirumuskan oleh al-
Jumbulati, yaitu: (1) mengembangkan kekuatan akhlak anak, (2) menumbuhkan rasa cinta
agama, (3) berpegang teguh terhadap ajaran Islam, (4) mengembangkan perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai yang murni, dan (5) anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian
pragmatis yang dapat mendukung kemampuan mencari nafqah. Sedangkan Abudin Nata
memahami tujuan pendidikan Islam al-Qabisy bercorak normatif, yaitu mendidik anak
menjadi seorang muslim yang mengetahui ilmu agama, sekaligus mengamalkan agamanya
dengan menerapkan akhlak mulia. Dengan demikian, dipahami bahwa pandangan intisari
pendidikan al-Qabisy menurut Abudin Nata bukan hanya pada ranah pengetahuan kognitif,
namun         sekaligus        pada       ranah       afektif       dan        psikomotorik.
Koedukasi, berasalal dari kata “co” yang berarti sama, sedangkan “ducation” adalah proses
latihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, keterampilan dan karakter. Utamanya
dilaksanakan oleh lembaga formal melalui pengajaran dan latihan. Ali Al-Jumbulati lebih
detail menjelaskan bahwa koedukasi berarti “co educational class” yang berarti percampuran
antara laki-laki dan perempuan dalam suatu kelas. Dengan demikian, koedukasi yang
dimaksud adalah sistem pendidikan yang dilakukan melalui proses belajar mengajar yang
menggambungkan pria dana wanita dalam suatu ruangan (kelas), atau sering pula dikenal
dengan                                  pendidikan                                campuran.
Munculnya sistem koedukasi pendidikan dilandasi oleh diizinkannya keberadaan lembaga-
lembaga Asing di negeri-negeri Islam, dan biasanya melaksanakan pendidikan melalui
kebebasan penuh, tanpa pengawasan dari pihak pemerintah. Artinya, segala sistem
operasional yang dijalankan terselubung ke dalam sistem pendidikan dan berkedok sebagai
sistem                                   pendidikan                                   Islam.
Al-Qabisiy menyatakan bahwa anak mempunyai hak sepenuhnya untuk belajar. Anak-anak
tidak boleh disibukkan dengan pekerjaan sehingga mereka tidak sempat belajar Al-Qur‟an
dan menuntut ilmu pengetahuan. Ketika seorang laki-laki melapor kepada Sahnun (seorang
pendidik abad III), bahwa ia tidak menghambat anaknya yang sedang menuntut ilmu dengan
pekerjaan, tapi semua pekerjaan diselesaikan sendiri, Sahnun berkata kepadanya:
“sesungguhnya fahala engkau lebih besar daripada fahala menunaikan ibadah haji dan ibadah
jihad”. Demikian Al-Qabisiy mengutip pendapat Sahnun tentang pentingnya pendidikan bagi
anak                                                                                 remaja.
Al-Qabisiy tidak menyetujui materi pelajaran diberikan kepada anak perempuan selain
pelajaran agama. Mengajar menulis dan syair bagi mereka dapat merusak kehidupan masa
depan mereka. Ia memisahkan antara ilmu-ilmu yang patut diajarkan kepada anak perempuan
dan ilmu-ilmu yang tidak boleh diberikan kepada mereka. Sebagian ilmu, kalau diajarkan
kepada anak perempuan, dapat membawa kepada fitnah dan membahayakan kehidupannya
sendiri. Al-Qabisiy melihat bahwa syair-syair pada zaman kemajuan pendidikan Islam
banyak yang mengarah pada pujian kecantikan perempuan, ghazal (cumbu rayu) dan kisah-
kisah cinta muda-mudi. Maka ia melarang anak perempuan diberikan pelajaran mengarang
syair-syair yang dikhawatirkan terjerumus ke dalam bahaya semacam itu.
Namun demikian, Al-Qabisy berpendapat bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur
dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya. Hal yang demikian dapat
memperburuk tingkah laku anak-anak. Maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan
demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak.
Tidak diketahui secara pasti tentang batasan umur tentang tidak bolehnya anak pria dan
wanita bercampur dalam suatu kelas, namun al-Qabisy hanya mengatakan bahwa anak yang
berusia muharriqah (masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul
dorongan yang kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga ia sampai pada usia
dewasa. Jika demikian, berarti anak dewasa dapat saja diadakan koedukasi pendidikan. Dapat
dipahami pula, bahwa al-Qabisy dapat saja menerima koedukasi, hanya saja dengan syarat
koedukasi diterapkan dalam batas kewajaran dan tidak menjadikan kerusakan moral.
1.                      2.                       Kurikulum                         Pendidikan
Kurikulum pendidikan Islam merupakan bagian integral yang sangat vital dalam capaian
hasil atau tujuan pendidikan. sehingga kemudian menghasilkan mutu pendidikan, yang lebih
konfrehensif dan paripurna sebagai wujud penghambaan kepada Sang Pencipta dan
Pemelihara terhadap keutuhan alam-ilmiyah. Kurikulum adalah sejumlah pengalaman,
pendidikan, kebudayaan, sosial, keolaragaan dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi
murid di dalam dan diluar sekolah dengan maksud menolong mereka untuk berkembang dan
mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan. Bahkan Hasan langgulung
menggambarkan pada tiga materi yang harus ada dalam kurikulum yaitu, pertama, ilmu yang
diwahyukan yang meliputi al-Qur‟an dan Hadits serta bahasa Arab. Kedua, ilmu-ilmu yang
mengkaji tentang manusia. Ketiga, adalah sains tabi‟I yang meliputi fisika, biologi, astronomi
dan lain sebagainya. Hanya saja menurut Hasan Langgulung pada esensinya ilmu itu satu
yang                     membedakan                       adalah                       analisa.
Pada dasarnya, implementasi kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha
mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup
tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah meninjau
kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah. Dalam pencapaian tujuan pendidikan
yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut harus dicapai secara bertahap yang saling
mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai
tujuan                                                                            pendidikan.
Sebagaimana substansi obyek bahasan ini, Al-Qabisiy membagi tujuan pengajaran kepada
dua tujuan utama; yaitu tujuan agama dan tujuan akhlak. Ini dipahami dari tulisan-tulisan
yang dikemukakannya yang dianalisis kemudian oleh para peneliti yang mengkaji ide-idenya
di                                       kemudian                                          hari.
Al-Qabisiy selalu menyeru, di manapun ia berada, agar ummat Islam harus berpegang teguh
pada dasar-dasar agama. Ia selalu mengisyaratkan pada ummat Islam untuk memperhatikan
kelebihan para pemimpin periode pertama ummat Islam ini. Ummat Islam pertama amat
memperhatikan Al-Qur‟an, mencari guru-guru yang mengajar Al-Qur‟an dan mendalami
maksud kandungan isi Al-Qur‟an. Setelah mengajarkan Al-Qur‟an kepada anak-anak,
diberikan pengajaran praktis yaitu cara-cara berwudluk dan praktek shalat. Anak perlu dilatih
secara kontinyu untuk melaksanakan shalat sampai ia merasa senang mengerjakan ibadah dan
merasa               bersalah              jika             ia               meningalkannya.
Pengajaran Al-Qur‟an, menurut Al-Qabisiy, adalah suatu ilmu yang kekal yang harus dimiliki
oleh anak-anak dan itulah kejayaan yang paling abadi jika anak memperolehnya. Pernyataan
Al-Qabisiy di atas dapat dipahami bahwa kalau anak-anak menghafal Al-Qur‟an dan
memahami maksudnya, maka itu kelak akan menjadi inspirasi berharga untuk
mengembangkan sejumlah ilmu pengetahuan islami yang dikuasainya dan tidak akan
melenceng dari tujuan-tujuan Islam. Anak dapat saja menekuni matiq, filsafat, Ilmu
Pengetahuan Alam, matemateka dan lain-lain sebagainya sementara ia memilki asas Al-
Qur‟an yang kuat. Maka bidang apa saja yang dikembangkannya kelak ia selalu berlandaskan
pada asas yang kuat yaitu dengan berorientasi pada ayat-ayat Al-Qur‟an.
Menyangkut dengan pendidikan akhlak, Al-Qabisiy meminta para pendidik agar berpegang
pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang didasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Ia
berkata: ”siapa yang mengajar anaknya dan memperbagus pengajarannya dan siapa saja yang
mendidik anaknya serta memperbagus pendidikannya, orang tersebut telah berbuat baik
kepada anaknya dan akan mendapat fahala di sisi Allah”. Al-Qabisiy menyatakan bahwa
antara pendidikan dengan pengajaran saling mengisi. Akhlak mesti dibina oleh keluarga,
lembaga pendidikan dan masyarakat umum. Kalau anak menyimpang ataupun melakukan
hal-hal yang buruk, itu lebih disebabkan oleh keluarga yang tidak melaksanakan kewajiban
mereka. Anak-anak yang telah menyimpang dari prilaku agama perlu diberikan hukuman
serta            mendidik             ke            arah            yang             benar.
Ketika membahas isi sebuah kurikulum pendidikan, Al-Qabisi mengklasifikasi pengajaran ke
dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan
asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu-ilmu berikut:
1) Al-Quran. Al-Qur‟an merupakan mata pelajaran yang asasi dan wajib dipelajari oleh setiap
anak pada setiap ma„had. Al-Qur‟an wajib diperhafalkan kepada anak-anak, karena Al-
Qur‟an merupakan modal dasar dalam upaya mengembangkan pengetahuannya di masa yang
akan                                                                                datang.
2). Fiqih. Fiqih yang dimaksudkan oleh al-Qabisiy adalah dasar-dasar hukum Islam yang
wajib diketahui oleh setiap anak agar ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya. Guru wajib membebankan kepada mereka untuk melaksanakan shalat
ketika mereka berumur tujuh tahun, demikian juga mengajarkan cara berwudluk yang benar.
Selain itu perlu juga diberikan dasar-dasar tauhid kepada mereka agar mereka mengagumi
Allah                       sebagai                     Tuhan                       mereka.
3). Akhlak. Akhlak sangat penting diberikan kepada anak-anak, karena sisi ini ada yang
menyangkut dengan Allah sendiri dan ada juga terkait dengan sesama manusia. Anak-anak
perlu ditanam dalam diri mereka sifat-sifat yang baik sejak dini dan diarahkan tingkah laku
mereka                  pada                jalan                yang                 benar.
4). Khat, Mengheja dan Membaca. Anak-anak sangat perlu mempelajari khat serta dapat
mengheja dan membaca Al-Qur‟an. Hal ini penting sekali dalam pengajaran Al-Qur‟an.
Guru, menurut Al-Qabisiy, wajib menuntun anak-anak pada dasar-dasar cara membaca Al-
Qur‟an sesuai dengan cara bacaan yang benar sampai mereka dapat membaca dengan bagus.
5). Bahasa Arab. Yang dimaksud dengan bahasa Arab di sini adalah dasar-dasar ilmu nahwu,
namun bukan pembahasannya yang mendetil. Tujuannya adalah agar anak-anak dapat
membaca setiap teks dengan benar dan dapat memahami kesalahan bacaan.
Sedangkan ilmu-ilmu yang tidak termasuk dalam katagori asasi (ikhtiyariy), sebagai berikut:
1) Ilmu Hisab (berhitung). Al-Qabisiy tidak menuntut pada guru untuk mengajar mata
pelajaran ini sebagai mata pelajaran yang wajib, tapi guru boleh memberi pelajaran ini
sebagai pilihan pada murid-muridnya. Ia mengaitkan urgensi pelajaran ini dengan tujuan
keagamaan, karena mempelajarinya akan membantu untuk memahami ilmu faraidl
(pembagian pusaka). Nampaknya, Al-Qabisiy menjadikan mata pelajaran ini diberikan pada
jenjang         pendidikan          menengah          dan         pendidikan         tinggi.
2) Sastra Arab. Kalau dasar-dasar bahasa Arab dianggap asas, tapi mengkaji sastra adalah
ilmu yang bukan asasi lagi. Mempelajari syair, prosa dan pidato tokoh-tokoh Arab
merupakan mata pelajaran pilihan. Menghafal syair-syair dapat membantu anak-anak untuk
memngembangkan kemampuan bahasanya dan dapat berbicara dengan bahasa yang santun.
Faedah lain dari syair adalah menjadi hiburan pada waktu-waktu sengggang.
3) Sejarah. Sejarah bukan materi pelajaran yang asasi menurut Al-Qabisiy, tapi pelajaran
sejarah dapat melatih anak-anak untuk bertingkah laku yang baik dan berperilaku mulia.
Sejarah orang-orang yang baik sangat berguna bagi anak-anak untuk menjadi pedoman hidup
bagi mereka. Jadi pelajaran sejarah, menurut Al-Qabisiy lebih ditekankan pada agar anak-
anak          bercermin         pada         perbuatan-perbuatan          yang         baik.
Menyimak beberapa uraian bahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
disimpulkan,                               sebagai                                berikut:

KESIMPULAN
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari
dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan tentang jiwa
adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian mengenai konsep pendidikan
yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan mampu menguak konsep pendidikan
Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak yang dirasa penting, karena setiap
budaya memiliki norma etika atau tata susila yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral
merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yang hanya terdapat pada diri
manusia.
Dari karya Ibnu Miskawaih, tidak di temukan buku yang bertemakan “pendidikan” secara
langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya berkaitan dengan pendidikan dan
kejiwaan, akal serta etika. Salah satu buku yang dinilai banyak mengandung konsep
pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A‟raq, yang banyak dijadikan rujukan
ulama‟                                  dalam                                  pendidikan.
Dari konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih, jika ditelaah
dengan pendekatan epistemology secara hirarkhi, maka konsep tersebut selalu mengacu
kepada tiga hirarkhi yaitu yang mengacu kepada kondisi psikologis dan kesiapan peserta
didik, yang dipetakan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany untuk pemula, burhany untuk
orang dewasa dan „irfany bagi mereka yang telah matang baik jiwa maupun intelektual.
Sementara dari segi materi dan sasarannya juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu
empirik bagi pemula, logik bagi dewasa dan etik bagi mereka yang sudah matang.
Penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam bagi Al-Qabisy bahwa tidak baik anak
pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka
pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari
penyimpangan-penyimpangan akhlak. Sedangkan Rasyid Ridha menolak adanya manfaat
dari koedukasi, dan menganggap bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki kekurangan,
namun       dapat      mendatangkan      malapetaka,      utamanya      kaum       wanita.
Al-Qabisy mengklasifikasi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua bagian besar yaitu
ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy).
Sedangkan Rasyid Ridha lebih menekankan kurikulum pada aspek muatan kurikulum ilmu
agama dan umum, Implementasi dari kurikukum yang ia terapkan di Madrasah tampaknya
memilah antara ruang ilmu peribadatan yang wajib dilakukan pada setiap pelajar. Dalam hal
ini aspek pertama, masalah materi Alquran dan Hadis harus diajarkan dan
diimpelementasikan secara asasi kepada lingkup lembaga pendidikan. Sementara aspek
kedua, yakni aspek mu‟amalah, diserahkan kepada komponen pelaksana/pengelola dan
penanggungjawab           pendidikan          yang         dapat         dikondisionalkan.

DAFTAR                                                                     PUSTAKA
al- Abrasyi, Athiya, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Asmuni, Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam.
Jakarta:               Raja            Grapindo               Persada,           1996.
http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-Ibnu-miskawaih/
http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-al-qabisiy/
Jalaluddin, Psikologi Agama . Cet.I; Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi,
Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985.
Ibnu Maskawih
1. Riwayat Hidup Maskawaih
Maskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memuaskan perhatiannya
pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan
sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping
filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya‟qub bin Maskawaih. Sebutan
namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut
diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya
adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi‟ah dipandang
sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam
sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih
tergolong penganut aliran Syi‟ah. Gelar ini juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang
berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia
memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya[M. Luthfi Jum‟ah, Tarikh Falsafah al
Islam, (Mesir: t.p., 1927), h. 304-305].
Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis
menyebutkan berbeda-beda, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth
menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan
wafatnya, para tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M[A. Mustofa, Filsafat
Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 166].
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas
yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi‟ah dan berasal dari
keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani
Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu‟izz al
Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil
menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki.
Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang
dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas[Philip
K. Hitti, History of The Arabs, terj. Arab oleh Edward Jurji et.al., (Beirut: t.p., 1952), h. 566].
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa „Adhud al Daulah (tahun 367 H – 372 H).
Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan
pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan „Adhud
al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan,
dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu
kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu
tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih
a. Filsafat Jiwa (al nafs)
Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan akal aktif („aqlfa‟al). jiwa bersifat
rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera.
Jiwa tidak bersifat material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan
jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan
yang lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu
dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih
atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi maupun
yang spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding
daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan dunia materi semuanya tidak akan sanggup
memberi kepuasan kepada jiwa.
Lebih dari itu, di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan
pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara
yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh panca indera.
Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang
satu dengan yang lain dan membeda-bedakannya.
Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan
kekeliruan yang dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas,
yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui
dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur
akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan
sesuatu yang satu.
Ibnu Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya
kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah
kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang
bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
1) Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
2) Al nafs al sabu‟iah (nafsu binatang buas) yang sedang
3) Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik[Ibid., h. 173].
Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas.
Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan
jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia
adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu
cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua
jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat
kemanusiaan.
Berkenaan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut,
Maskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat „ujub,
sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai
sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta.
b. Filsafat Akhlaq
Sebagai “Bapak Etika Islam”, Ibnu Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (al
Mu‟allim al tsalits), setelah al Farabi yang digelari Guru Kedua (al Mu‟allim al tsani).
Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (al Mu‟allim al awwal) adalah Aristoteles.
Teori Maskawaih tentang etika dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Tahzib al Akhlaq
wa That-hir al „Araq (Pendidikan budi pekerti dan pembersihan watak).
Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan pengertian
khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya[6].
Dengan kata lain, khuluq merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan
secara spontan. Keadaan jiwa tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula
berupa hasil latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan
perbuatan baik.
Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak
kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai
khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan
pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan
kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan
yang diperolehnya.
Ibnu Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan
khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari‟at, diperlukan
adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu
semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang
seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Ibnu Maskawaih
memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya
dengan pembinaan akhlaq.
Artikel Ilmiyah
Mari Belajar untuk Ilmiyah
JUNI 13, 2012
KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH




Rate This




   A. LATAR BELAKANG
      Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam diketahui bahwa pendidikan berlangsung
      melalui proses operasional dalam mencapai tujuannya dengan mendasarkan diri pada
      nilai-nilai spiritualitas Islam. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan
      orientasi kebutuhan perkembangan anak didik yang dipadu dengan pengaruh
      lingkungan kultural yang ada. Manajemen kelembagaan pendidikan semacam itu
      merupakan sebuah sistem pendidikan Islam. Dari segi ini, pendidikan Islam
      dipandang sebagai proses yang terdiri dari sub-sub sistem atau komponen-komponen
      yang saling berkaitan dalam rangka mencapai tujuan.
      Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem sosial yang dipahami sebagai aktivitas
      bimbingan yang disengaja untuk mencapai kepribadian muslim pada
operasionalisasinya melibatkan berbagai komponen yang berkaitan erat satu sama
     lainnya. Oleh karena itu, pendidikan Islam pada dasarnya adalah sebuah sistem,
     dimana proses pendidikan Islam dipahami sebagai interaksi antara komponen yang
     satu dengan yang lainnya guna mencapai tujuan pendidikan Islam.
     Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara
     kontiniu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang
     pelu diemban oleh pendidikan. Islam adalah pendidikan mannusia seutuhnya dan
     berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi
     pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan
     berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya.
     Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan
     pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya
     sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan
     fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.
     Salah satu tokoh filusuf yang banyak member pengaruh besar terhadap konsep
     pendidikan Islam adalah Ibnu Maskawaih, oleh karena itu penulis berusaha memahas
     pemikiran – pemikirannya terhadap pendidikan Islam.
B.
     B. PEMBAHASAN
     1. Riwayat singkat Ibnu Miskawaih
     Ibnu Miskawaih mempunyai nama lengkap Abu Ali Al-Khozim Ahmad Ibnu
     Muhammad Ibnu Yakub Ibnu Miskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur
     adalah Miskawaih atau Ibnu Miskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya
     yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali,
     yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi‟ah dipandang sebagai yang
     berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam
     sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Miskawaih
     tergolong penganut aliran Syi‟ah. Gelar yang juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim
     yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan „Adhud al-Daulah dari Bani
     Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya. Ia dilahirkan di kota
     Rayy (Teheran sekarang) Iran pada tahun 330H/9 M dan wafat di Asfahan pada
     tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Feruari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa
     pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya
     bermazhab Syi‟ah.
     Syed Abdul Wadud di dalam buku Alam dan Quran telah menyebut dia sebagai
     Miskawiah. Ia adalah ilmuwan suka meneliti dalam pengetahuan ilmiah dan
     akademis. Ia adalah ahli dan mampu di bidang Biologi; ia merupakan ilmuwan
     pertama yang menemukan kehidupan tumbuhan secara umum, membahas tentang
     evolusi. Ia adalah sarjana sosiologi, yang ahli tentang kebudayaan dan peradaban
     dengan spesifikasi pada disiplin Psikologi, dalam bidang psikologi ia termasuk ahli
     dibidangnya. Ia adalah peneliti dan pemikir etika, kerohanian dan penulis besar buku
     akhlak. Miskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan
     perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib,
     ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan
     India, disamping filsafat Yunani sangat luas.
     Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani
     Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi‟ah dan
     berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al
     Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri
dengan gelar Mu‟izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad
bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad, di saat bani Abbas berada di bawah
pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas
digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan
pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas.
Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa „Adhud al –Daulah (tahun 367 H –
372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan, dan pada masa inilah Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk
menjadi bendaharawan. „Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Miskawaih muncul
sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal
yang tidak menyenangkan hati Miskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda
masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Miskawaih lalu tertarik untuk
menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, hanya sebagian yang dapat
diketahui antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibnu
Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibnu al-Akhmar dan mempelajari kimia dari
Abi Thayyib. Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu
Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para
pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai
dokter, penyair dan ahli bahasa.
2. Karya Ibnu Maskawaih
Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah.
Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (tahzib al-Akhlak),
diantara karyanya adalah:
a. al-Fauz al-Akbar
b. Al-Fauz al-Asghar
c. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369
/979 M)
d. Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara).
e. Tartib al-Sa‟adah (tentang akhlak dan politik) al-Musthafa (syair-syair pillihan).
f. Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
g. al-jami‟
h. al-Syiar (tentang aturan hidup)
i. Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran)
j. Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak)
k. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman).
l. Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq)
m. Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib
Majmu‟ah no. 1463, lembar 57a-59a)
n. Ajwibah wa As‟ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu‟ah tersebut diatas dalam
raghib majmu‟ah di Istanbul)
o. al-Jawab fi al-Masa‟il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II
no. 634 (31)).
p. Risalah fi Jawab fi su‟al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-
Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137).
q. Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667)
Muhammad Baqir Ibnu Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga
menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran,
1287 H/1870 M hal. 70).
Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri
bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis
setelah Tartib al-Sa‟adah.
3. Dasar Pemikiran Ibnu Miskawaih.
a. Konsep manusia
Ibn Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan
karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai
mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Menurut dalam diri manusia ada tiga
daya yaitu:
• Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
• Daya berani (an-nafs as-sabu‟iyyat) sebagai daya pertengahan.
• Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah
kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia
memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat:
• Al-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau
keburukan.
• Al-Nafs al-Sabu‟iyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali
mengarah kepada kebaikan.
• Al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan.
Ketiga daya ini merupakan daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur
rohani berupa bernafsu (An-Nafs Al-Bahimmiyyat) dan berani (al-Nafs as-sabu‟iyyat)
berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (an-nafs an-nathiqat) berasal dari Ruh
Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari
materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan
mengalami kehancuran. Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-
Bahimmiyat/as-syahwiyyat (bernafsu) dan jiwa as-sabu‟iyyat/al-ghadabiyyat (berani)
dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi.
b. konsep akhlak
Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari
konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar
pada doktrin jalan tengah. Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian
pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi
tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibn Miskawaih cenderung berpendapat bahwa
keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim
kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu jiwa bernafsu (al-
bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah).
Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah
yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi
tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan masak
untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan.
Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau
keseimbangan.
Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan poko atau induk akhlak yang mulia.
Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan
sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut.
Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih
tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur‟an dan tidak pula membawa dalil dari hadits
akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena
banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur‟an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak
boleh boros tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat diantara kikir dan
boros.
Sebagai makhluk sosial manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman.
Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi pendidikan ekonomi dan lainnya
merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami
perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran
tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota
tidak dapat disamakan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak
hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut
dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan
pokok keutamaan akhlak.
4. Konsep Pendidikan
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan
akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep
pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Menurut Ibnu
Miskawaih dasar pendidikan Pertama, syariat, Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan
secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa
syari‟at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang
menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa
mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat
memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian
syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk
kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan
dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya. Kedua, Psikologi.
Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat
kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan
(shina‟ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu
semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa
dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi
dan mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan.
Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan
demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini
Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada
pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan,
Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih dikemukakan sebagai berikut:
a) Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap
bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan
yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan
sejati.
1). Kebaikan dan kebahagiaan
Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia
dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai
yang tidak dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan
moral. Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu;
kemampuan dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial,
malu kebodohan, dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya.
2) Tercapainya Kemuliaan Akhlak
Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan
terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada
bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa
lain. Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual,
yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi
kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah yaitu
sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: ayat 4:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan
Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan
akhlak dalam pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan
pendidikan Islam. Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT (QS. Al-
Baqarah: 201) : “Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari
siksa neraka
3) Sebagai Sarana Sosialisasi Individu
Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses
sosialisasi bagi subjek didik. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak
mampu dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan
tersebut. Gagasan ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di
kembangkan oleh para sosiolog modern.
b) Fungsi Pendidikan
1) Memanusiakan manusia
Setiap makhluk di dunia ini mempunyai kesempurnaan khusus dan perilaku yang
spesifik baginya yang tidak ada makhluk lain yang menyertainya pada perilaku itu.
Maka manusia diantara segala makhluk yang ada mempunyai perilaku khusus yaitu
segala yaitu segala perilaku yang lahir dari pertimbangan nalar akal pikirannya.
Karena itu siapa yang pertimbangannya paling jernih penalarannya paling benar,
keputusannya paling tepat, adalah orang yang paling sempurna martabat
kemanusiaannya . Manusia yang paling utama adalah orang yang paling mampu
menunjukkan perilaku yang khas padanya dan yang paling teguh berpegang kepada
syarat-syarat substansinya (daya pikir) yang membedakan dia dengan makhluk
lainnya. Maka, kewajiban yang tidak diragukan lagi ialah berbuat kebajikan yang
merupakan kesempurnaan manusia yang untuk itu mereka diciptakan dan agar mereka
berupaya sungguh-sungguh untuk sampai pada kebajikan (al khairaat) itu, dan agar
manusia menghindari kejahatan-kejahatan (as-syurur) yang menghambat mereka
sampai kepada kebaikan. Oleh karena itu tugas pendidikan adalah mendudukkan
manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia dan makhluk
lainnya. Hal itu ditandai dengan perilaku dan perbuatan yang khas bagi manusia yang
tak mungkin dilakukan makhluk yang lain.
2) Sosialisasi individu manusia
Pendidikan haruslah merupakan proses sosialisasi hingga tiap individu merupakan
bagian integral dari masyarakatnya dalam melaksanakan kebajikan untuk kebahagiaan
bersama. Miskawaihi menyatakan bahwa kebajikan itu sangat banyak dan tak
mungkin mewujudkan seluruh kebajikan dari kemampuan satu orang manusia. Oleh
karena itu kata Miskawaihi untuk mewujudkan seluruh kebajikan itu haruslah jama ah
besar. Jadi seluruh individu berhimpun pada suatu waktu untuk mencapai
kebahagiaan bersama. Kebahagiaan tiap individu sempurna berkat pertolongan
lainnya. Kebajikan menjadi milik bersama. Kebahagiaan dibagi-bagikan kepada
individu hingga masing-masing bertanggung jawab atas bagian dan kebahagiaan itu.
Kamalul insany/human perfection tercapai berkat gotong royong itu. Untuk hal
demikian wajiblah manusia saling mencintai satu sama lain, karena masing-masing
orang melihat kesempurnaanya berada pada orang lain. Kalau tidak saling mencintai,
tidaklah sempurna kebahagiaanya. Jadi tiap orang merupakan anggota dari anggota
badan. Rangka manusia sempurna dengan utuhya anggota-anggota badan. Miskawaihi
menegaskan lagi bahwa manusia di antara segala makhluk , hewan tak dapat mandiri
dalam menyempumakan essensinya sebagai insan, tetapi pasti dengan pertolongan
dari golongan manusia lain. Dia dapat mencapai kehidupan yang baik dan
melaksanakan kewajibannya dengan tepat. Manusia pada dasarnya adalah anggota
masyarakat. Di tengah-tengah masyarakat tenvujud kabahagiaan insaniyahnya. Setiap
orang memerlukan orang lain. Dia sewajarnya bergaul dengan masyarakat sebaik-
baiknya, mencintai mereka setulus-tulusnya.
3) Menanamkan rasa malu
Manusia diciptakan dengan kekuatan-kekuatan potensial dan kekuatan-kekuatan itu
tumbuh secara alamiyah. Kekuatan yang mula-mula muncul ialah tuntutan biologis,
yakni kecenderungan syahwaniyah seperti makan unruk mengembangkan fisik.
Tuntutan biologis ini terus berkembang ke berbagai kecenderungan-kecenderungan
keinginan. Kemudian menyusul timbul kekuatan imaginasi yang timbul dari
pengindraan. Sesudah itu muncul kekuatan ghodabiyah/kekuatan kemauan untuk
bertindak mengatasi hambatan atau untuk memenuhi kecenderungan. Bila gagal
mengatasi sendiri, menangislah anak itu, atau dia minta bantuan kepada orang tuanya.
Setelah itu lahir kekuatan tamyiz/pertimbangan nalar (perkembangan intelektualitas)
terhadap perilaku-perilaku khas manusiawi sedikit demi sedikit hingga sempurna.
Pada tingkat perkembangan ini, anak dinamai aqil (L‟enfant fait). Kekuatan-kekuatan
ini banyak, sebagiannya secara fundamental mendorong terwujudnya sebagjan
kekuatan yang lain sehingga tercapai tujuan perkembangan terakhir 9tingkat akhir
perkembangan akal insany), Tujuan yang tak ada lagi tujuan lainnya, yaitu “al-Khair
al-mutlaq”. Kebajikan mutlak yang diinginkan manusia sebab dia manusia. Pertama-
tama yang muncul dari kekuatan-kekuatan ini pada manusia adalah rasa malu (al-
hayaa‟u), yaitu rasa takut lahirnya sesuatu yang jelek dari dirinya. Karena itu – kata
Miskawaihi – pertama-tama yang harus diamati benar-benar pada anak-anak dan
dipandang tanda awal perkembangan akalnya adalah timbulnya rasa malu karena hal
itu menunjukkan bahwa anak sudah menginsafi tentang keburukan. Disamping
keinsafan tentang keburukan anak juga berupaya memelihara dirinya dan menjauhi
keburukan itu.
Ibnu Mskawaihi menandai gejala ini dengan perilaku anak seperti – kata Miskawaihi
– bila kau amati anak-anak dan kau dapati dia tersipu-sipu, matanya menunduk ke
bawah, wajahnya sayu, maka itu tandanya awal dari kebagusan bawaanya dan
menjadi bukti bagimu bahwa jiwa sudah mengerti kebaikan dan keburukan. Jiwa yang
demikian berbakat untuk dididik, pantas diberi perhatian, wajib tidak ditelantarkan
dan jangan dibiarkan bergaul dengan orang-orang yang dapat merusaknya.
“Dari pikiran Miskawaihi diatas jelaslah bahwa penanaman rasa malu adalah fungsi
pendidikan yang penting dan penanaman ini dimulai sedini mungkin yakni pada awal
munculnya gejala jiwa tamyiz, yakni perkembangan anak mulai berpikir kritis dan
logis pada waktu mereka duduk di sekolah dasar, pada umur antara 10-12 tahun. Anak
telah dapat mengenal aturan kesusilaan serta tahu bagaimana dia harus bertingkah
laku.
c) Materi Pendidikan Ahlak
Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan
mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan.
Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada
Allah SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dapat dipahami sebagai
materi pendidikan akhlaknya yaitu:
• Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
• Hal-hal yang wajib bagi jiwa
• Hal-hal yang wajib bagi hubungannya
Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain
shalat, puasa dan sa‟i. selanjutnya materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari
bagi kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah
yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta motivasi senang
kepada ilmu dan materi yang terkait dengan keperluan manusia dengan manusia
dicontohkan dengan materi ilmu Muammalat, perkawinan, saling menasehati, dan lain
sebagainya.
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat
mengarah kepada terciptanya manusia agar sebagai filosuf. Karena itu Ibn Miskawaih
memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang
filosuf. Ilmu tersebut ialah:
• Matematika
• Logika dan
• Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang
diajarkan Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan
semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi kepada tujuan yang
lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi
akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu
seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.
d) Pendidik dan anak didik
Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya,
orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya karena peran
yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya
hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih.
Kecintaan anak didik terhadap gurunya menurut Ibn Miskawaih disamakan
kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak
ada yang sanggup melakukannya maka Ibn Miskawaih mendudukan cinta murid
terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap
Tuhan.
Maskawaih mengelompokkan orang yang melakukan usaha pendidikan di antaranya
adalah: orang tua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat dan raja atau penguasa. Guru
dan filsuf mempunyai kedudukan yang istimewa yaitu sebagai Bapak Ruhani, Tuan
Manusia dan kebaikannya adalah Kebaikan Ilahi. Hal ini karena dia mendidik murid
dengan keutamaan yang sempurna (al fadillah at tammah), mengajarinya dengan
kearifan yang mapan (al-hikmahtul balighah) dan mengarahkannya kepada kehidupan
yang abadi (al-hayah al abadiyah) dalam kenikmatan yang kekal (an-ni‟mah al
abadiyah). Ibnu Miskawaih menyatakan guru dan filsuf adalah penyebab eksistensi
intelektual manusia.
Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik
kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang
dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian
bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak
didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan seorang teman atau saudara, karena
dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta
anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru
idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti guru
formal karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain:
bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan
menjadi cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang
dididiknya.
Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting,
karena terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar
mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi
dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.
e) Lingkungan pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa‟adah) tidak
dapat dilakukan sendiri, tetapi harus berusaha atas dasar saling menolong dan saling
melengkapi dan Ibnu Miskawaih juga berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial,
manusia kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa
sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-
orang yang masih ada kaitannya dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang
masih ada hubungannya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan,
tetangga, kawan atau kekasih.
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah
memelihara diri karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama
dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk mencapainya adalah dengan sering
bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat akidah
yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan
melaksanakan kewajiban syari‟at. Shalat berjama‟ah menurut Ibn Miskawaih
merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurang satu
minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam
lingkungan terdekat tetapi sampai tingkat yang paling jauh.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn Miskawaih
terkait dengan politik pemerintahan. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai
kewajiban untuk menciptakannya. Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa
agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi satu dengan yang
lainnya saling menyempurnakan.
Lingkungan pendidikan selama ini dikenal ada tiga lingkungan pendidikan yaitu
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak
membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibnu Muskawaih membicarakan
lingkungan pendidikan dengan cara bersifat umum, mulai dari lingkungan sekolah
yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah sampai
lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak.
Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan
pendidikan.
f) Metodologi Pendidikan
Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode ini berkaitan
dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah
perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa akhlak
seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Maka usaha-
usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya
dikenal dengan istilah metodologi.
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak
yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus
menerus dan menahan diri (al-‟adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan
kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Metode ini ditemui pula
karya etika para filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam Ghazali, Ibn Arabi,
dan Ibn Sina. Metode ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh
keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman
orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang
dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan
dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan
keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak akan hanyut ke dalam
perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya
yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain,
ia kemudian mencurigai dirinya bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki
kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka
setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya
sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya.
Dalam kesempatan lain Ibnu Maskawaih menyampaikan definisi metode yang
digunakan dalam hal ini identik dengan alat, karena fungsinya sebagai pelancar
terjadinya proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode
pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah:
1) Metode alami (thabi‟i)
Manusia mempunyai metode alami yang dilakukan sesuai dengan proses alam. Cara
ini berangkat dari pengamatan potensi manusia, di mana potensi yang muncul lebih
dahulu, selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut
Ibnu Miskawaih potensi yang pertama terbentuk bersifat umum yang juga ada pada
hewan dan tumbuhan, kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu,
pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan kebiasaan makan dan minum,
karena dengannya akan terdidik jiwa syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan
dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi memunculkan cinta kasih, dan baru muncul
jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang
disebut dengan metode alamiah.
2) Metode Bimbingan
Metode ini penting untuk mengarahkan subjek didik kepada tujuan pendidikan yang
diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam
Al-Qur‟an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan
yang terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh yang
hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata.
3) Metode Ancaman, Hardikan, dan Hukuman
Berangkat dari metode yang sebelumnya, jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai
yang telah diajarkan, maka mereka diberi berbagai cara secara bertahap sehingga
kembali kepada tatanan nilai yang ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman,
baik bersifat jasmani atau rohani.
4) Metode Pujian
Jika subjek didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji
dihadapannya. Hal ini agar mereka merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai
tambah bagi dirinya. Jika pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik
melaksanakan kebajikan.
g). Asas Pendidikan
Menurut Ibnu Miskawaih yang dimaksud dengan asas di sini adalah hal-hal yang
mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan pendidikan seperti:
1) Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada perbedaan yang dimiliki oleh tiap
individu agar pendidikan berdaya dan berhasil guna.
2) Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai kesiapan untuk memperoleh
tingkatan, antara yang satu berbeda dengan yang lain.
3) Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan yang umum, baru yang terinci,
karena partikular tidak dapat dipisahkan dari hal yang universal.
4) Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam
keluarga, sekolah dan masyarakat.
5) Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas memilih antara kemuliaan dan
kehinaan, atau menjadi makhluk yang setingkat malaikat. Itu semua diserahkan
kepada subjek didik.
6) Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya praktek dalam pembinaan subjek
didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karena kebiasaan hidup susah untuk diubah.
C. APLIKASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT IBNU MASKAWAIH
Menurut penulis aplikasi pemikiran pendidikan ibnu maskawaih banyak dilihat pada
perkembangan pendidikan masa kini, paling tidak ada beberapa hal yang perlu
perhatian setelah mengetahui konsep pendidikan yang ditawarkan Miskawaih, antara
lain :
1. Reorientasi Ilmu Pengetahuan
Perkembangan awal ilmu pengetahuan masih sangat sederhana, belum
tersistematisasi, dan masih lebih merupakan pengetahuan intuitif. Perkembangan
berikutnya menjadi pengetahuan analitis dan logika serta mulai ada spesialisasi
meskipun masih bersifat generik. Selanjutnya ilmu perkembangan ilmu pengetahuan
sudah mulai memasuki wilayah penjurusan dan spesifikasi. Perkembangan
selanjutnya ilmu pengetahuan melulai dihubungkan dengan persoalan moral, karena
mulai disadari bahwa perkembangan ilmu tanpa dibarengi dengan kendari moral
justru akan mengancam eksistensi martabat kemanusiaan.
Perkembangan terakhir mulai disadari bahwa cakupan ilmu pengetahuan bukan hanya
pada dimensi kognitif dan logika tetapi juga pada wilaya spiritual, maka tidak heran
kalau akhir-akhir ini muncul istilah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual di
samping kecerdasan intelektual, terutama setelah terbitnya buku Emotional
Intelligence karya Daniel Goleman dan Spiritual Intelligence: The Ultimate
Intelligence, karya Danah Zohar & Ian Marshal. Aspek seni, keindahan, dan rasa
mulai terintegrasi di dalam ontologi dan epistimologi keilmuan. Dahulu kala ilmu
pengetahuan masih terpisah-pisah, bahkan pernah terjadi ketegangan antara dimensi
intelektual dan logika di satu sisi dengan dimensi emosional dan spiritual di lain sisi.
Ketegangan ini mencapai puncaknya pada zaman positifisme. Di masa ini seolah-olah
agama tidak punya ruang di dalam wacana ilmu pengetahuan. Untungnya zaman
positifisme tidak berlangsung terlalu lama. Periode berikutnya muncul modernisme,
disusul dengan posmodernisme, kemudian terakhir diklaim dengan era new age yang
memberi wilayah dan apresiasi lebih positif kepada dimensi emosionalspiritual.
Bahkan perkembangan yang paling terakhir menurut pengamat perkembangan ilmu
pengetahuan, kita sekarang sudah memasuki apa yang distilahkan dengan era post
new age, yang lebih menekankan pada aspek spiritual. Makanya itu fenomene
sufisme,meditasi, dan mystical music, semakin berkembang di dalam masyarakat
akademik dan di dalam masyarakat perkotaan. Hal ini banyak diulas Miskawaih
dalam perenungan konsep pendidikannya.
2. Mengembangkan Tradisi Pemikiran dalam Islam
Hal yang banyak menajdi pembahasan miskawaih adalah bagaimana mengembangkan
tradisi pemikiran dan keilmuan dalam Islam. Sekarang ini hal itu berkembang cukup
pesat di Lembaga – lembaga Pendidikan sekarang ini.
Kegigihan Ibnu Maskawaih dalam menuntut ilmu patut pula dijadikan contoh.
Walaupun dia telah menjadi ulama besar dan ia masih berguru untuk memperdalam
berbagai macam disiplin ilmunya sehingga dia dikenal sebagai Bapak Filsafat Etika
Muslim dan Bapak Psikologi Pendidikan Muslim.
Kini sudah saatnya membangkitkan kembali tradisi kelimuan yang dulu pernah
berkembang di dunia Islam. Dengan demikian dapat mengimbangi produktivitas
negara-negara maju dalam memproduksi berbagai kebutuhan keilmuan dan teknologi
sendiri tanpa menggantungkan kepada mereka. Untuk mencapai impian tersebut maka
para sarjana dan intelektual Islam perlu bekerja keras dalam mewujudkan tradisi
keilmuan yang dinamis dan harmonis. Permasalahan mendasar seperti pengadaan
buku referensi perlu diperbanyak, aktivitas penelitian perlu digalakkan dan buku-buku
yang ada di perpustakaan perlu dimaksimalisasi disertai dengan aktivitas-aktivitas
diskusi di setiap ruang dan sudut-sudut perpustakaan.
3. SistemPendidikan yang Terpadu
Lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak cukup tampil hanya mengandalkan
eksistensi fisiknya saja, lebih dari itu harus mengedepankan pola-pola
penyelenggaraan yang terpercaya, profesional dan menomorduakan unsur bisnis
dalam pelaksanaannya. Transparansi pengelolaan dan manajemen yang profesional
adalah suatu keniscayaan guna memperoleh tingkat kepercayaan tinggi masyarakat,
khususnya para orang tua murid. Model pengelolaan pendidikan yang egaliter, namun
tetap elegant dalam memandang kualitas adalah tuntutan-tuntutan lainnya untuk
memperkokoh keberadaannya. Lembaga pendidikan harus tampil sebagai napas
kehidupan komunitas muslim yang jika keadaannya megap-megap dapat
membangkitkan kepedulian mereka untuk peduli memulihkannya. Rasa memiliki
harus ditumbuhkan pada semua kalangan umat sehingga pada gilirannya bukan saja
mereka percaya, namun berkeinginan kuat membesarkannya.
Lembaga-lembaga pendidikan tersebut harus dapat menjadi agen-agen keunggulan
sekaligus sebagai jembatan dalam menjelajahi dunia sampai akhiratnya. Tentu saja,
upaya-upaya ini harus digarap bersama dengan tekad memajukan kualitas pendidikan
di lingkungannya. Sistem pendidikan yang terpadu akan membantu melahirkan out
put pendidikan yang berkualitas dan menghasilkan SDM yang sesuai harapan.
Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja sebagai
panyokong lahirnya SDM-SDM berkualitas. Sistem pendidikan yang ada harus
memadukan seluruh unsur pembentuk system pendidikan yang unggul. Dalam hal ini,
Setidaknya ada 3 hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, sinergi antara sekolah,
masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di
atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan.
Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-
masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar. Buruknya pendidikan anak
di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan
persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas,
narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas
membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan
sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi jika pendidikan yang diterima di
sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga ilar pendidikan
tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga
Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan
bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.
Ketiga, pendidikan yang diberikan berorientasi pada pembentukan kepribadian Islam,
dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target
standar yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi
orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang umum
diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dalam mempertahankan
eksistensinya, Madrasah juga lembaga pendidikan Islam lainnya di Indonesia
menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara pemenuhan kebutuhan keagamaan
dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan
pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara
di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik
dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan
ilmu agama. Selama ini, umat Islam meyakini, ajaran Islam telah selesai disusun
tuntas dalam ilmu agama sebagai panduan penyelesaian seluruh persoalan kehidupan
duniawi. Sementara, ilmu-ilmu umum (non-agama) dipandang bertentangan dengan
ilmu agama yang hanya akan membuat kesengsaraan umat Islam. Namun
kenyataannya, persoalan kehidupan duniawi terus berkembang, ternyata tidak
seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu-ilmu agama.
4. Intergrasi Keilmuan
Ilmuwan Prancis Bruno “Abdul Haqq” Guiderdoni mengatakan ada persamaan
epistemologi antara sains dan agama, yakni merupakan proses pencarian kebenaran
yang terbuka. Di antara keduanya tak ada yang absolut. Keduanya memiliki integritas
yang harus dicarikan jembatannya. Keduanya bisa sampai pada kebenaran hakiki.
Namun, kebenaran akan lebih cepat terkuak jika keduanya bisa bersatu dan bekerja
sama. Meskipun berbeda, sains dan agama tidak bisa dipertentangkan. Justru
keduanya bias bersatu dalam mencari kesempurnaan yang esensial. Ilmu fisika,
matematika, biologi, kimia, sejarah, dan ilmu lainnya adalah Islam sepanjang
didukung bukti kebenarannya. Ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu lain yang
selama ini disebut dengan ilmu agama harus hanya disebut dengan ilmu-ilmu itu
sendiri tanpa pemberian label ilmu agama. Keyakinan tauhid mungkin tumbuh
melalui studi sejarah, fisika, dan biologi, seperti hal itu bisa dilihat dari pola
penuturan Al-Qur‟an, bukan hanya dengan menguasai teori tentang Tuhan seperti
tersusun dalam ilmu tauhid. Persoalannya apakah umat Islam bersedia dan berani
membebaskan diri dari ideologisasi ilmu-ilmu Islam yang selama ini ditempatkan
sebagai satu-satunya ilmu yang benar secara teologis. Jika seluruh realitas diyakini
sebagai ciptaan Tuhan, maka semua ilmu adalah Islam karena ilmu adalah konsep
tentang realitas alam, sosial dan humaniora. Al- Qur‟an berisi berbagai hal yang
berkaitan dengan semua yang ada di alam ini, agama, sosial, ekonomi, politik,
budaya, ilmu pengetahuan alam, kedokteran dan sebagainya.
Hanya saja al-Qur‟an tidak memuat hal-hal rigid yang berkaitan dengan bidang-
bidang tersebut. Ini artinya bahwa pada dasarnya tidak ada dikotomi ilmu islam dan
ilmu umum, karena semua tercakup dalam al-Qur‟an.Risiko dari pandangan ini ialah
tidak mungkinnya lagi umat Islam melakukan klaim sepihak, ilmu tertentu sebagai
Islam, sistem pendidikan tertentu sebagai system pendidikan Islam, dan sistem sosial
tertentu sebagai Islam, sementara yang lain bukan Islam. Melalui cara ini, justru Islam
akan benar-benar ditempatkan sebagai akar semua ilmu, sistem pendidikan, dan
sistem sosial. Islam ditempatkan sebagai induk dari semua akar ilmu pengetahuan,
yang memang sudah selayaknya diterima oleh Islam, bukan malah memilah-milah
keilmuan yang justru akan memperkecil posisi Islam itu sendiri. Penyebutan
madrasah sebagai sekolah umum berciri khusus agama, oleh karenanya, bias dijadikan
dasar untuk mengembangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif.
Penyebutan demikian merupakan pangkal bagi model pendidikan kritis yang tidak
lagi meletakkan pendidikan sebagai transfer ilmu atau transfer nilai, tetapi media
belajar hidup yang terus dikembangkan dan didaur ulang. Madrasah yang didalamnya
ilmu-ilmu agama banyak dipelajari tidak lagi berada terpisah diantara deretan
lembaga-lembaga pendidikan yang lain, tapi ia berada membaur bersama dalam
aktivitas pendidikan.Ilmu umum, baru meluas dipelajari di madrasah, terutama sejak
kemerdekaan tahun 1945 meskipun prosentasenya masih sangat kecil. Posisi ilmu
umum terus menguat searah perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat
Indonesia.
Upaya menjadikan madrasah setara dengan sekolah umum dalam pengetahuan umum
baru terwujud dengan keluarnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN) No. 2 tahun 1989 yang diikuti Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 dan 29
tahun 1990 dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan No.
054/U/11993 tentang MI, MTs, dan MA wajib memberikan bahan kajian sekurang-
kurangnya sama dengan SD, SLTP dan SMU dan ketentuan yang menyatakan bahwa
MI, MTs, dan MA adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam yang
diselenggarakan Departemen Agama. Dalam pelaksanaan pendidikan kurikulum harus
disusun dengan baik dan harus jelas bagi semua fihak yang berkepentingan, karena
berkaitan dengan out put yang ingin dihasilkan dari keseluruhan proses
penyelenggaraan pendidikan. Dalam kasus perguruan tinggi adalah Tri Civitas
akademika dan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
kurikulum kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia masih tidak demikian. Banyak
di antara perguruan tinggi yang kurikulumnya menjiplak perguruan tinggi lain yang
sejenis tanpa mengerti landasan filosofis yang ada di balik kurikulum tersebut.
D. KESIMPULAN
Ibn Miskawaih yang terkenal dengan julukan aI-Khazin, digelari juga sebagai „guru
ketiga‟ setelah Aristoteles dan al-Farabi. Ia lahir di Teheran tahun ± 320 H1932 H dan
wafat pada tahun 421 H11030 M. Sebagai seorang otodidak yang sukses, ia
menggeluti berbagai macam disiplin ilmu sehingga menjadikannya sebagai Bapak
Fitsafat Etika Muslim‟ dan „Bapak Psikologi Pendidikan Muslim‟. Selain itu, ia juga
seorang sejarawan, sastrawan dan pendidik.
Dalam karyanya Tahzib, lbn Miskawaih menjelaskan bahwa manusia terdiri dari
jasmani dan rohani. Ia mengakui adanya potensi atau kemampuan dasar yang tabi‟i,
namun ia dapat berubah karena pengaruh dari dalam diri dan luar diri manusia, yaitu
melalui pendidikan. Ibn Miskawaih mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan adalah
terb5) Kedudukan Ibnu Maskawaih Dalam Perkembangan Filsafat Islam
Di dalam bukunya “Tahdzib Al-Akhlak wa That-hir Al-A’raq” Maskawaih menguraikan bahwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat sebagai berikut:
a. An-Nafs al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk
b. An-Nafs as-sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang
c. An-Nafs an-nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik
Sifat buruk dari jiwa telah mempunyai kelakuan berani, pengecut, ujub (ponggah), sombong, suka olok-olok, penipu. Sedangkan sebagai khususiyat dari jiwa yang cerdas
ialah mempunyai sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta. Kebajikan bagi suatu makhluk yang hidup dan kemauan ialah apa yang dapat mencapai tujuan
dan kesempurnaan wujudnya. Segala yang wujud ini baik jika ia mempunyai persediaan yang cukup guna melaksanakan sesuatu tujuan. Tetapi setiap orang memiliki
perbedaan yang pokok dalam bakat yang dipunyai.
Selanjutnya menurut Maskawaih, di antara manusia ada yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung berbuat kejahatan. Namun golongan ini adalah
minoritas. Sedangkan golongan yang mayoritas adalah golongan yang dari “sono”nya sudah cenderung kepada kejahatan sehingga sulit untuk ditarik untuk cenderung
kepada kebaikan. Sedangkan di antara kedua golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada perhatian atau kejahatan. Hal ini tergantung pada pendidikan
dan lingkungan ia hidup.
Berbicara tentang kebaikan, Maskawaih menerangkan bahwa kebajikan ada kalanya bersifat umum dan bersifat khusus, ada kebajikan mutlak dan ada ilmu pengetahuan
yang luhur di mana orang yang baik akan berusaha mencapainya. Kebaikan yang bersifat umum adalah menjadi tujuan semua orang, yaitu kebaikan bagi seluruh manusia
dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan yang bersifat khusus adalah kebaikan yang relative bergantung pad asetiap orang yang berusaha memperolehnya.
Selain hal-hal tersebut di atas, diuraikan juga tentang akhlak, perihal keadilan, perihal cinta dan persahabatan serta perihal pengobatan penyakit-penyakit jiwa. Dengan
demikian maka Maskawaih telah banyak meletakkan dasar-dasar etika atau pembahasan akhlak secara teoretis. Dapat disebutkan di sini buku-buku lain dari Maskawaih
yang membahas khusus tentang etika Islam di antaranya adalah: Al-Akbar, Thaharat, An-Nafs dan kitab Tartib As-Sa’dat yang membicarakan etika dan politik. Sehingga
dalam perkembangan filsafat Islam, Maskawaih mendapat sebutan “Bapak Etika Islam”, karena beliaulah yang mula-mula mengemukakan teori khusus tentang etika
secara lengkap.


6) Maskawaih dalam Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan
Walaupun pemikiran filsafatnya tidak banyak dibicarakan tetapi beliau telah mengemukakan berbagai teori filsafat yang penting, yang menjadi referensi para pemikir
sesudahnya. Pandanganya mengenai manusia dan perkembangan masyarakat bukan saja menjadi pokok pemikiran para ilmuwan Islam seperti Ibnu Khaldun dan
Jamaluddin Al-Rini tetapi juga para sarjana barat salah satunya Charles Darwin.
Maskawaih berpendapat bahwa segala sesuatu yang wujud ini tumbuh dan berkembang melalui beberapa fase yang keseluruhannya merupakan mata rantai kehidupan.
Bahwa segala fase pertama merupakan sesuatu yang sederhana, kemudian senantiasa berevolusi dan berkembang sehingga mencapai derajat yang lebih tinggi. Tumbuh-
tumbuh pada mulanya, berbeda dalam tingkat vegetatif (nabati) kemudian berevolusi dan berkembang meningkat sampai pada derajat manusia. Manusia pun terus
berevolusi, berkembang bukan hanya secara fisik, tapi berkembang pula tingkat kecerdasannya, cara berfikirnya bertambah maju sehingga menjadi bijaksana bahkan
sampai mendekati derajat para malaikat.
Dengan ini pula Maskawaih menetapkan prinsip adanya kebenaran Nubuat (Kenabian) dan adanya kebenaran turunnya wahyu, hanya saja untuk mencapai tingkatan ini
ada dua jalan:
1. Perenungan tentang hakikat dari segala sesuatu yang wujud sehingga mempertajam pandangan, sehingga akhirnya dapat mengenal soal-soal Ketuhanan. Tingkat ini
dapat didapat oleh para filosof.
2. Manusia mungkin seklai tanpa perenungan akal pikiran tetapi dapat karunia limpahan langsung dari Tuhan berupa kebenaran (wahyu) tanpa melalui latihan akal
pikiran. Tingkatan ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang terpilih, yaitu para Nabi.
Teori evolusi rohani ini berpijak pada dasar filsafatnya bahwa manusia menurut fitrahnya mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini
dapat ditempuh dengan mawas diri perenungan tentang hakikat sesuatu, melaksanakan ibadah dengan baik menjaga dan membersihkan jiwa dari segala perbuatan jahat
dan tercela sehingga dengan demikian jiwanya akan menjadi bersih. Jiwa yang bersih inilah yang akan sanggup menerima ilmu dan hikmah, yakni kebenaran, baik dari
sebagai hasil pemikiran akal manusia maupun kebenaran wahyu.
Dengan demikian dalam dunia ilmu pengetahuan sebenarnya Maskawaih-lah yang pertama kali memperkenalkan teori evolusi jauh sebelum Charles Robert Darwin
memperkenalkan karyanya yang terkenal mengenai teori evolusi yaitu: “On the Origin os Species by Means of Natural Selection” yang terbit pada tahun 1859. Bahkan
teori evolusi dari Maskawaih juga sampai pada bidang rohani dalam hal mana bidang ini tidak dibicarakan oleh Darwin, karena manusia dianggap adalah puncak
kesempurnaan evolusi. Sedangkan evolusi di bidang rohani kemudian dikembangkan oleh Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Muhammad Abduh (1849-1909).
Selanjutnya untuk penjelasan teori evolusi Ibnu Maskawaih akan dibahas pada pembahasan selanjutnya dalam pemikiran filsafat Ibnu Maskawaih.


7) Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih
a. Hikmah dan Falsafah
Maskawaih membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan), wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah)
yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: Bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujat) sebagai adanya. Atau jika engkau mau dapat kau
katakana bahwa hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan
engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.
Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis,
bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya
benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat
melakukan perbuatan-perbuatan moral. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan
benar dengan potensi rasionalnya yang dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur
sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesame manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama.
Jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, yang teoretis dan yang praktis tersebut, maka berarti ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.


b. Metafisika
Metafisika Maskwaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya yang praktis tersebut, jiwa dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap metafisika Maskawaih
dituangkan dalam kitabnya Al-Fauz Al-Ashghar.
1. Ketuhanan
Tuhan, menurut Ibnu Maskwaih adalah zat yang tidak berjisim, Azali dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan
dan tidak satu pun yang setara dengan-Nya. Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung kepada yang lain. Sementara yang lain membutuhkan-Nya. Tampaknya
pemikiran Ibnu Maskawaih ini sama dengan pemikirannya Al-Farabi dan Al-Kindi.
Sebagai filosof religius sejati, Ibnu Maskawaih menyatakan, alam semesta diciptakan Allah dari tiada menjadi ada karena penciptaan dari bahan yang sudah ada tidak ada
artinya. Di sinilah letak persamaan pemikirannya dengan Al-Kindi dan berbeda dari Al-Farabi (Allah menciptakan alam dari materi yang sudah ada).
Menurut De Boer, Ibnu Maskawaih menyatakan, Tuhan adalah zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan yang jelas bahwa ia adalah Yang Hak (Benar). Yang benar
adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkap-Nya, disebabkan banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang
menutupi-Nya. Pendapat ini bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan.
Dalam penjelasan lain diungkapkan: Menurut Miskawaih, membuktikan adanya Tuhan adalah mudah, karena kebenarannya tentang Tuhan telah terbukti pada dirinya
sendiri dengan amat jelas. Namun kesukarannya adalah karena keterbatasan akal manusia untuk menjangkaunya. Tetapi orang yang berusaha keras untuk memperoleh
bukti adanya, sabar menghadapi berbagai macam kesukaran, pasti akhirnya sampai juga, dan akan memperoleh bukti yang meyakinkan tentang kebenaran adanya.
Maskawaih mengatakan sebenarnya tentang adanya Tuhan pencipta itu telah menjadi kesepakatan filosof sejak dahulu kala. Namun pendapat Maskawaih bahwa untuk
membuktikan adanya Tuhan hanya dapat dilakukan secara negative itu telah mendapat kritik.jika yang dimaksud pembuktian secara langsung tidak dapat dilakukan itu
ialah untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan secara rasional memang dapat diterima. Tetapi hal itu tidak benar jika yang dimaksud adalah mencakup segala
macam pengenalan. Sebab di samping pengetahuan secara rasional, dimungkinkan juga pengenalan dengan jalan penghayatan yang merupakan pengalaman kejiwaan
sebagaimana bisa terjadi dalam dunia mistik.
Argumen yang diajukan oleh Maskawaih untuk membuktikan adanya Tuhan yang paling ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam.
Argumen gerak ini diambil dari Aristoteles. Tuhan adalah sebagai pencipta segala sesuatu. Menciptakan dari awal segala sesuatu: dari tiada (‘ada), sebab tidak ada artinya
mencipta, jika yang diciptakan telah wujud sebelumnya. Jadi segala sesuatu itu diciptakan dari tiada, hal ini sejalan dengan pendapat ulama ilmu kalam, tanpa takwil
sebagaimana dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah yang telah memperoleh pengaruh dari filsafat Aristoteles. Dari/dalam hal ini Maskawaih berbeda pendapat dengan
Aristoteles.
Teori tentang perubahan yang terjadi pada alam menyebutkan bahwa tiap-tiap bentuk berubah digantikan oleh bentuk yang baru. Dalam pertukaran bentuk yang satu
Buwaih makalah
Buwaih makalah
Buwaih makalah
Buwaih makalah
Buwaih makalah
Buwaih makalah
Buwaih makalah
Buwaih makalah
Buwaih makalah
Buwaih makalah
Buwaih makalah

More Related Content

What's hot

Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1
Hulu Kujang
 
Pengertian & ruang lingkup PSI
Pengertian & ruang lingkup PSIPengertian & ruang lingkup PSI
Pengertian & ruang lingkup PSI
Marhamah Saleh
 
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi malikiSejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
Marhamah Saleh
 
Hakikat kesesatan ratib dan hizib
Hakikat kesesatan ratib dan hizibHakikat kesesatan ratib dan hizib
Hakikat kesesatan ratib dan hizib
momothemo
 
Sejarah Ilmu Pengetahuan Islam
Sejarah Ilmu Pengetahuan IslamSejarah Ilmu Pengetahuan Islam
Sejarah Ilmu Pengetahuan Islam
Brenda Andreansyah
 

What's hot (20)

Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1Semesta bertasbih  tasawuf al hallaj1
Semesta bertasbih tasawuf al hallaj1
 
al-quran; sumber ajaran islam
al-quran; sumber ajaran islamal-quran; sumber ajaran islam
al-quran; sumber ajaran islam
 
Sumber ajaran islam
Sumber ajaran islamSumber ajaran islam
Sumber ajaran islam
 
Mahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsirMahamai kitab tafsir
Mahamai kitab tafsir
 
Tasawuf amali dan falsafi
Tasawuf amali dan falsafiTasawuf amali dan falsafi
Tasawuf amali dan falsafi
 
Membumikan al qur'an
Membumikan al qur'anMembumikan al qur'an
Membumikan al qur'an
 
Aliran Asy'ariah
Aliran Asy'ariahAliran Asy'ariah
Aliran Asy'ariah
 
Pengertian & ruang lingkup PSI
Pengertian & ruang lingkup PSIPengertian & ruang lingkup PSI
Pengertian & ruang lingkup PSI
 
Pemikiran hukum
Pemikiran hukum Pemikiran hukum
Pemikiran hukum
 
Ulumul Quran
Ulumul QuranUlumul Quran
Ulumul Quran
 
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi malikiSejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
Sejarah, pola istinbath mazhab hanafi maliki
 
Penyusunan sunnah
Penyusunan sunnahPenyusunan sunnah
Penyusunan sunnah
 
Asy’ariyah
Asy’ariyahAsy’ariyah
Asy’ariyah
 
Akhlak Tasawuf Makalah - Sejarah Perkembangan Tasawuf
Akhlak Tasawuf Makalah - Sejarah Perkembangan TasawufAkhlak Tasawuf Makalah - Sejarah Perkembangan Tasawuf
Akhlak Tasawuf Makalah - Sejarah Perkembangan Tasawuf
 
Bab ii pengertian al qur'an
Bab ii pengertian al qur'anBab ii pengertian al qur'an
Bab ii pengertian al qur'an
 
Aliran asy'ariah
Aliran asy'ariahAliran asy'ariah
Aliran asy'ariah
 
Ppt tasawuf
Ppt tasawufPpt tasawuf
Ppt tasawuf
 
Hakikat kesesatan ratib dan hizib
Hakikat kesesatan ratib dan hizibHakikat kesesatan ratib dan hizib
Hakikat kesesatan ratib dan hizib
 
Ulum al quran lengkap pt 1
Ulum al quran lengkap pt 1Ulum al quran lengkap pt 1
Ulum al quran lengkap pt 1
 
Sejarah Ilmu Pengetahuan Islam
Sejarah Ilmu Pengetahuan IslamSejarah Ilmu Pengetahuan Islam
Sejarah Ilmu Pengetahuan Islam
 

Viewers also liked

1 logika-informatika.ppt-compatibility-mode
1 logika-informatika.ppt-compatibility-mode1 logika-informatika.ppt-compatibility-mode
1 logika-informatika.ppt-compatibility-mode
Devhie Soleha
 
atom kimia universitas
atom kimia universitasatom kimia universitas
atom kimia universitas
Rudi Wicaksana
 
Kelas 05 sd_tematik_2_peristiwa_dalam_kehidupan_siswa
Kelas 05 sd_tematik_2_peristiwa_dalam_kehidupan_siswaKelas 05 sd_tematik_2_peristiwa_dalam_kehidupan_siswa
Kelas 05 sd_tematik_2_peristiwa_dalam_kehidupan_siswa
perpusbb
 
proposal bimbingan belajar tugas kampus
proposal bimbingan belajar tugas kampusproposal bimbingan belajar tugas kampus
proposal bimbingan belajar tugas kampus
Ernie Lestari
 
Berikut ini adalah kisah 25 nabi dan mukjizatnya dengan lengkap
Berikut ini adalah kisah 25 nabi dan mukjizatnya dengan lengkapBerikut ini adalah kisah 25 nabi dan mukjizatnya dengan lengkap
Berikut ini adalah kisah 25 nabi dan mukjizatnya dengan lengkap
muji jj
 
Audio visual karakteristik
Audio visual karakteristikAudio visual karakteristik
Audio visual karakteristik
Hazana Itriya
 
Adab berpakaian dalam islam
Adab berpakaian dalam islamAdab berpakaian dalam islam
Adab berpakaian dalam islam
Khusshairah
 

Viewers also liked (20)

Lokasi ATM Bank Mandiri
Lokasi ATM Bank MandiriLokasi ATM Bank Mandiri
Lokasi ATM Bank Mandiri
 
1 logika-informatika.ppt-compatibility-mode
1 logika-informatika.ppt-compatibility-mode1 logika-informatika.ppt-compatibility-mode
1 logika-informatika.ppt-compatibility-mode
 
Rpp gardan
Rpp gardanRpp gardan
Rpp gardan
 
atom kimia universitas
atom kimia universitasatom kimia universitas
atom kimia universitas
 
Kelas 05 sd_tematik_2_peristiwa_dalam_kehidupan_siswa
Kelas 05 sd_tematik_2_peristiwa_dalam_kehidupan_siswaKelas 05 sd_tematik_2_peristiwa_dalam_kehidupan_siswa
Kelas 05 sd_tematik_2_peristiwa_dalam_kehidupan_siswa
 
Bryophyta
BryophytaBryophyta
Bryophyta
 
Lp tb
Lp tbLp tb
Lp tb
 
Bahan ajar
Bahan ajarBahan ajar
Bahan ajar
 
Uji larutan elektrolit
Uji larutan elektrolitUji larutan elektrolit
Uji larutan elektrolit
 
Modul Open Office Calc
Modul Open Office CalcModul Open Office Calc
Modul Open Office Calc
 
proposal bimbingan belajar tugas kampus
proposal bimbingan belajar tugas kampusproposal bimbingan belajar tugas kampus
proposal bimbingan belajar tugas kampus
 
Berikut ini adalah kisah 25 nabi dan mukjizatnya dengan lengkap
Berikut ini adalah kisah 25 nabi dan mukjizatnya dengan lengkapBerikut ini adalah kisah 25 nabi dan mukjizatnya dengan lengkap
Berikut ini adalah kisah 25 nabi dan mukjizatnya dengan lengkap
 
Profil Wilayah dan Kota Kecamatan Wonogiri
Profil Wilayah dan Kota Kecamatan WonogiriProfil Wilayah dan Kota Kecamatan Wonogiri
Profil Wilayah dan Kota Kecamatan Wonogiri
 
Buku kesehatan-ibu-dan-anak
Buku kesehatan-ibu-dan-anakBuku kesehatan-ibu-dan-anak
Buku kesehatan-ibu-dan-anak
 
Audio visual karakteristik
Audio visual karakteristikAudio visual karakteristik
Audio visual karakteristik
 
Artikel tanda baca
Artikel tanda bacaArtikel tanda baca
Artikel tanda baca
 
Syarat pendirian klinik
Syarat pendirian klinikSyarat pendirian klinik
Syarat pendirian klinik
 
Adab berpakaian dalam islam
Adab berpakaian dalam islamAdab berpakaian dalam islam
Adab berpakaian dalam islam
 
Gambaran Wilayah Kabupaten Sukoharjo
Gambaran Wilayah Kabupaten SukoharjoGambaran Wilayah Kabupaten Sukoharjo
Gambaran Wilayah Kabupaten Sukoharjo
 
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Hubungan Pemerintah Pusat dan DaerahHubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
 

Similar to Buwaih makalah

Kajian tentang tokoh tokoh tamadun islam
Kajian tentang tokoh tokoh tamadun islamKajian tentang tokoh tokoh tamadun islam
Kajian tentang tokoh tokoh tamadun islam
Azman Ariffin
 
PPT SKI Tokoh dan peran bani abbasyiah
PPT SKI Tokoh dan peran bani abbasyiahPPT SKI Tokoh dan peran bani abbasyiah
PPT SKI Tokoh dan peran bani abbasyiah
Sunja Dewi
 
Nilah 10 ilmuwan islam paling berjasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dunia
Nilah 10 ilmuwan islam paling berjasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi duniaNilah 10 ilmuwan islam paling berjasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dunia
Nilah 10 ilmuwan islam paling berjasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dunia
Bekerja dimana saja asal halal
 

Similar to Buwaih makalah (20)

Baithul hikmah, peradaban islam yang hilang
Baithul hikmah, peradaban islam yang hilangBaithul hikmah, peradaban islam yang hilang
Baithul hikmah, peradaban islam yang hilang
 
Sejarah Pengetahuan Islam
Sejarah Pengetahuan IslamSejarah Pengetahuan Islam
Sejarah Pengetahuan Islam
 
Kajian tentang tokoh tokoh tamadun islam
Kajian tentang tokoh tokoh tamadun islamKajian tentang tokoh tokoh tamadun islam
Kajian tentang tokoh tokoh tamadun islam
 
Sesi 1, Kewajiban Menuntut Ilmu
Sesi 1, Kewajiban Menuntut IlmuSesi 1, Kewajiban Menuntut Ilmu
Sesi 1, Kewajiban Menuntut Ilmu
 
Tugas - Bab 15 Kelas VIII SMP
Tugas - Bab 15 Kelas VIII SMPTugas - Bab 15 Kelas VIII SMP
Tugas - Bab 15 Kelas VIII SMP
 
Tokoh Islam
Tokoh IslamTokoh Islam
Tokoh Islam
 
Agama
AgamaAgama
Agama
 
Titas tokoh tam.islam
Titas tokoh tam.islamTitas tokoh tam.islam
Titas tokoh tam.islam
 
Tokoh tokoh islam
Tokoh tokoh islamTokoh tokoh islam
Tokoh tokoh islam
 
PPT SKI Tokoh dan peran bani abbasyiah
PPT SKI Tokoh dan peran bani abbasyiahPPT SKI Tokoh dan peran bani abbasyiah
PPT SKI Tokoh dan peran bani abbasyiah
 
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam
 
10 tokoh islam
10 tokoh islam10 tokoh islam
10 tokoh islam
 
Nilah 10 ilmuwan islam paling berjasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dunia
Nilah 10 ilmuwan islam paling berjasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi duniaNilah 10 ilmuwan islam paling berjasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dunia
Nilah 10 ilmuwan islam paling berjasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dunia
 
Perkembangan peradaban islam pada masa kejayaan
Perkembangan peradaban islam pada masa kejayaanPerkembangan peradaban islam pada masa kejayaan
Perkembangan peradaban islam pada masa kejayaan
 
ushul fiqh
ushul fiqhushul fiqh
ushul fiqh
 
129(1).pptx
129(1).pptx129(1).pptx
129(1).pptx
 
Pemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islamPemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islam
 
Pemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islamPemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islam
 
Pemikiran hukum
Pemikiran hukum Pemikiran hukum
Pemikiran hukum
 
Semangat menuntut ilmu
Semangat menuntut ilmuSemangat menuntut ilmu
Semangat menuntut ilmu
 

More from DIKNAS PENDIDIKAN (20)

Makalah asli seleksi tenaga kependidikan.paka natsirlut Oleh REPLIANIS
Makalah asli seleksi tenaga kependidikan.paka natsirlut Oleh REPLIANISMakalah asli seleksi tenaga kependidikan.paka natsirlut Oleh REPLIANIS
Makalah asli seleksi tenaga kependidikan.paka natsirlut Oleh REPLIANIS
 
Bahan ajar ipa REPLIANIS
Bahan ajar ipa REPLIANISBahan ajar ipa REPLIANIS
Bahan ajar ipa REPLIANIS
 
Tugas makalah gender
Tugas makalah genderTugas makalah gender
Tugas makalah gender
 
Kelas01 mtk purnomosidi
Kelas01 mtk purnomosidiKelas01 mtk purnomosidi
Kelas01 mtk purnomosidi
 
Kelas01 mtk djaelani
Kelas01 mtk djaelaniKelas01 mtk djaelani
Kelas01 mtk djaelani
 
Kelas01 ips inoki
Kelas01 ips inokiKelas01 ips inoki
Kelas01 ips inoki
 
Kelas01 ips indrastuti
Kelas01 ips indrastutiKelas01 ips indrastuti
Kelas01 ips indrastuti
 
Kelas01 ips edi
Kelas01 ips ediKelas01 ips edi
Kelas01 ips edi
 
Kelas01 ipa sri
Kelas01 ipa sriKelas01 ipa sri
Kelas01 ipa sri
 
Kelas01 ipa sholehudin
Kelas01 ipa sholehudinKelas01 ipa sholehudin
Kelas01 ipa sholehudin
 
Kelas01 ipa heri-sulistyanto
Kelas01 ipa heri-sulistyantoKelas01 ipa heri-sulistyanto
Kelas01 ipa heri-sulistyanto
 
Kelas01 indahnya bindo-sastra-suyatno
Kelas01 indahnya bindo-sastra-suyatnoKelas01 indahnya bindo-sastra-suyatno
Kelas01 indahnya bindo-sastra-suyatno
 
Kelas01 dunia mtk-kismianti
Kelas01 dunia mtk-kismiantiKelas01 dunia mtk-kismianti
Kelas01 dunia mtk-kismianti
 
Kelas01 bindo umri
Kelas01 bindo umriKelas01 bindo umri
Kelas01 bindo umri
 
Kelas01 bahasa kita-bindo-jaruki
Kelas01 bahasa kita-bindo-jarukiKelas01 bahasa kita-bindo-jaruki
Kelas01 bahasa kita-bindo-jaruki
 
Kelas06 senang belajar-ipa-rositawaty
Kelas06 senang belajar-ipa-rositawatyKelas06 senang belajar-ipa-rositawaty
Kelas06 senang belajar-ipa-rositawaty
 
BANI BUWAIHI
BANI BUWAIHIBANI BUWAIHI
BANI BUWAIHI
 
6
66
6
 
6.
6.6.
6.
 
4
44
4
 

Buwaih makalah

  • 1. KONSEP PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH DAN AL-QABISI A. Riwayat singkat Ibnu Miskawaih Ibnu Miskawaih mempunyai nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu yacub Ibnu Miskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Miskawaih atau Ibnu Miskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Miskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar yang juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan ‘Adhud al-Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya. Ia dilahirkan di kota Rayy (Teheran sekarang) Iran pada tahun 330H/9 M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Feruari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah. Syed Abdul Wadud di dalam buku Alam dan Quran telah menyebut dia sebagai Miskawiah. Ia adalah ilmuwan suka meneliti dalam pengetahuan ilmiah dan akademis. Ia adalah ahli dan mampu di bidang Biologi; ia merupakan ilmuwan pertama yang menemukan kehidupan tumbuhan secara umum, membahas tentang evolusi. Ia adalah sarjana sosiologi, yang ahli tentang kebudayaan dan peradaban dengan spesifikasi pada disiplin Psikologi, dalam bidang psikologi ia termasuk ahli dibidangnya. Ia adalah peneliti dan pemikir etika, kerohanian dan penulis besar buku akhlak. Miskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas. Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi‟ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu‟izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad, di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas. Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa „Adhud al –Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan. „Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Miskawaih, yaitu
  • 2. kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Miskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam. Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, hanya sebagian yang dapat diketahui antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibnu Kamil al- Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibnu al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib. Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel. Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah: 1. al-Fauz al-Akbar 2. Al-Fauz al-Asghar 3. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M) 4. Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara). 5. Tartib al-Sa‟adah (tentang akhlak dan politik) 6. al-Musthafa (syair-syair pillihan). 7. Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak) 8. al-jami‟ 9. al-Syiar (tentang aturan hidup) 10. Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran) 11. Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak) 12. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman). 13. Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq) 14. Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu‟ah no. 1463, lembar 57a-59a) 15. Ajwibah wa As‟ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu‟ah tersebut diatas dalam raghib majmu‟ah di Istanbul) 16. al-Jawab fi al-Masa‟il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31)). 17. Risalah fi Jawab fi su‟al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137)). 18. Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667). Muhammad Baqir Ibnu Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70). Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa al- Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al- Sa‟adah. B. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih Dasar adalah landasan bagi berdirinya sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang hendak dicapai. Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan adalah: 1) Syariat Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari‟at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter
  • 3. manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al- Qur‟an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya. 2) Psikologi Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina‟ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia. Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan, dan layak disebut sebagai „Bapak Psikologi Pendidikan‟. C. Metode Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik dengan alat, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah : 1) Metode alami (thabi‟i) Manusia mempunyai metode alami yang dilakukan sesuai dengan proses alam. Cara ini berangkat dari pengamatan potensi manusia, di mana potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih potensi yang pertama terbentuk bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan, kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode alamiah. 2) Metode Bimbingan Metode ini penting untuk mengarahkan subjek didik kepada tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam Al- Qur‟an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh yang hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata. 3) Metode Ancaman, Hardikan, dan Hukuman Berangkat dari metode yang sebelumnya, jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai yang telah diajarkan, maka mereka diberi berbagai cara secara bertahap sehingga kembali kepada tatanan nilai yang ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman, baik bersifat jasmani atau rohani. 4) Metode Pujian Jika subjek didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji dihadapannya. Hal ini agar mereka merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai tambah
  • 4. bagi dirinya. Jika pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik melaksanakan kebajikan. D. Asas Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih Yang dimaksud dengan asas di sini adalah hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan pendidikan seperti: 1. Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada perbedaan yang dimiliki oleh tiap individu agar pendidikan berdaya dan berhasil guna. 2. Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara yang satu berbeda dengan yang lain. 3. Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan yang umum, baru yang terinci, karena partikular tidak dapat dipisahkan dari hal yang universal. 4. Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. 5. Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau menjadi makhluk yang setingkat malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik. 6. Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya praktek dalam pembinaan subjek didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karena kebiasaan hidup susah untuk diubah. E. Hubungan Pendidik Dan Subjek Didik 1. Pendidik Ibnu Miskawaih mengelompokkan orang yang melakukan usaha pendidikan di antaranya adalah: orang tua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat dan raja atau penguasa. Guru dan filsuf mempunyai kedudukan yang istimewa yaitu sebagai Bapak Ruhani, Tuan Manusia dan kebaikannya adalah Kebaikan Ilahi. Hal ini karena dia mendidik murid dengan keutamaan yang sempurna (al fadillah at tammah), mengajarinya dengan kearifan yang mapan (al- hikmahtul balighah) dan mengarahkannya kepada kehidupan yang abadi (al-hayah al abadiyah) dalam kenikmatan yang kekal (an-ni‟mah al abadiyah). Ibnu Miskawaih menyatakan guru dan filsuf adalah penyebab eksistensi intelektual manusia. 2. Subjek Didik Pengertian subjek didik yaitu semua orang yang memperoleh atau memerlukan bimbingan, bantuan dan latihan, baik berupa ilmu, ketrampilan atau lainnya, guna mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat dan hamba Tuhan yang paripurna. Menurut Ibnu Miskawaih, hubungan antara pendidik dan subjek didik harus didasarkan pada kemanusiaan yaitu cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan dan fadhilah. Hal ini karena manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dan berupaya memperoleh keutamaan. Sehingga dalam pendidikan harus terjadi komunikasi dua arah (interaksi), bahkan multi arah (transaksi). F. Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih Ibnu Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat akhlak. Karena itu corak pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Miskawaih adalah: 1. Kebaikan dan kebahagiaan Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan, dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya. 2. Tercapainya Kemuliaan Akhlak Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan terkendali.
  • 5. Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain. Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam. Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 201) : “Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"[*]. [*] inilah do‟a yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim. 3. Sebagai Sarana Sosialisasi Individu Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para sosiolog modern. G. Riwayat singkat Al-Qabisiy Nama lengkap Al-Qabisiy adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma„arifi Al- Qairawaniy. Al-Qabisiy adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy. Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia pada tahun 324 H-935M. Literatur-literatur tidak menyebutkan perihal kedudukan orang tuanya. Barangkali Al-Qabisiy bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam. Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur‟an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira‟at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al- „Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisiy pernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-„Abbas. Guru-guru lain yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan Abdullah bin Abi Zaid. Al-Qabisiy pernah sekali melawat ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar besar seperti Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif tidak begitu lama. Di Iskandariyah ia pernah belajar pada Ali bin Zaid Al- Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya. Al-Qabisiy mengajar pada sebuah madrasah yang diminati oleh penuntut-penuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits dan fikih. Pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di madrasah ini banyak yang datang dari Afrika dan Andalus. Murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Imran Al-Fasiy, Abu Umar Al-Daniy, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abu Abdullah Al-Maliki, Abu Al-Qasim Al-Labidiy Abu Bakar „Atiq Al-Susiy dan lain-lain. Al-Qabisiy terkenal luas pengetahuannya dalam bidang hadits dan fikih di samping juga sastera Arab. Ia menjadi rujukan ummat dan dibutuhkan untuk menjawab masalah-masalah
  • 6. hukum Islam, maka ia diangkat menjadi mufti dinegerinya. Sebenarnya, ia tidak menyukai jabatan ini, karena ia memiliki sifat tawadlu„ (merendah diri), wara„ (bersih dari dosa) dan zuhud (tidak mencintai kemewahan hidup duniawi). Salah satu karyanya dalam bidang pendidikan Islam yang sangat monumental adalah kitab “Ahwal al-Muta‟allim wa Ahkam Mu‟allimin wa al-Muta‟allimin”, sebagai kitab yang terkenal pada abad 4 dan sesudahnya. H. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Al-Qabisiy Konsep pemikiran pendidikan Al-Qabisy secara umum, sebagaimana dirumuskan oleh al- Jumbulati, yaitu: (1) mengembangkan kekuatan akhlak anak, (2) menumbuhkan rasa cinta agama, (3) berpegang teguh terhadap ajaran Islam, (4) mengembangkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang murni, dan (5) anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuan mencari nafqah. Sedangkan Abudin Nata memahami tujuan pendidikan Islam al-Qabisy bercorak normatif, yaitu mendidik anak menjadi seorang muslim yang mengetahui ilmu agama, sekaligus mengamalkan agamanya dengan menerapkan akhlak mulia. Dengan demikian, dipahami bahwa pandangan intisari pendidikan al-Qabisy menurut Abudin Nata bukan hanya pada ranah pengetahuan kognitif, namun sekaligus pada ranah afektif dan psikomotorik. Koedukasi, berasalal dari kata “co” yang berarti sama, sedangkan “ducation” adalah proses latihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, keterampilan dan karakter. Utamanya dilaksanakan oleh lembaga formal melalui pengajaran dan latihan. Ali Al-Jumbulati lebih detail menjelaskan bahwa koedukasi berarti “co educational class” yang berarti percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam suatu kelas. Dengan demikian, koedukasi yang dimaksud adalah sistem pendidikan yang dilakukan melalui proses belajar mengajar yang menggambungkan pria dana wanita dalam suatu ruangan (kelas), atau sering pula dikenal dengan pendidikan campuran. Munculnya sistem koedukasi pendidikan dilandasi oleh diizinkannya keberadaan lembaga- lembaga Asing di negeri-negeri Islam, dan biasanya melaksanakan pendidikan melalui kebebasan penuh, tanpa pengawasan dari pihak pemerintah. Artinya, segala sistem operasional yang dijalankan terselubung ke dalam sistem pendidikan dan berkedok sebagai sistem pendidikan Islam. Al-Qabisiy menyatakan bahwa anak mempunyai hak sepenuhnya untuk belajar. Anak-anak tidak boleh disibukkan dengan pekerjaan sehingga mereka tidak sempat belajar Al-Qur‟an dan menuntut ilmu pengetahuan. Ketika seorang laki-laki melapor kepada Sahnun (seorang pendidik abad III), bahwa ia tidak menghambat anaknya yang sedang menuntut ilmu dengan pekerjaan, tapi semua pekerjaan diselesaikan sendiri, Sahnun berkata kepadanya: “sesungguhnya fahala engkau lebih besar daripada fahala menunaikan ibadah haji dan ibadah jihad”. Demikian Al-Qabisiy mengutip pendapat Sahnun tentang pentingnya pendidikan bagi anak remaja. Al-Qabisiy tidak menyetujui materi pelajaran diberikan kepada anak perempuan selain pelajaran agama. Mengajar menulis dan syair bagi mereka dapat merusak kehidupan masa depan mereka. Ia memisahkan antara ilmu-ilmu yang patut diajarkan kepada anak perempuan dan ilmu-ilmu yang tidak boleh diberikan kepada mereka. Sebagian ilmu, kalau diajarkan kepada anak perempuan, dapat membawa kepada fitnah dan membahayakan kehidupannya sendiri. Al-Qabisiy melihat bahwa syair-syair pada zaman kemajuan pendidikan Islam banyak yang mengarah pada pujian kecantikan perempuan, ghazal (cumbu rayu) dan kisah- kisah cinta muda-mudi. Maka ia melarang anak perempuan diberikan pelajaran mengarang syair-syair yang dikhawatirkan terjerumus ke dalam bahaya semacam itu. Namun demikian, Al-Qabisy berpendapat bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya. Hal yang demikian dapat memperburuk tingkah laku anak-anak. Maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak.
  • 7. Tidak diketahui secara pasti tentang batasan umur tentang tidak bolehnya anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, namun al-Qabisy hanya mengatakan bahwa anak yang berusia muharriqah (masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan yang kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga ia sampai pada usia dewasa. Jika demikian, berarti anak dewasa dapat saja diadakan koedukasi pendidikan. Dapat dipahami pula, bahwa al-Qabisy dapat saja menerima koedukasi, hanya saja dengan syarat koedukasi diterapkan dalam batas kewajaran dan tidak menjadikan kerusakan moral. 1. 2. Kurikulum Pendidikan Kurikulum pendidikan Islam merupakan bagian integral yang sangat vital dalam capaian hasil atau tujuan pendidikan. sehingga kemudian menghasilkan mutu pendidikan, yang lebih konfrehensif dan paripurna sebagai wujud penghambaan kepada Sang Pencipta dan Pemelihara terhadap keutuhan alam-ilmiyah. Kurikulum adalah sejumlah pengalaman, pendidikan, kebudayaan, sosial, keolaragaan dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid di dalam dan diluar sekolah dengan maksud menolong mereka untuk berkembang dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan. Bahkan Hasan langgulung menggambarkan pada tiga materi yang harus ada dalam kurikulum yaitu, pertama, ilmu yang diwahyukan yang meliputi al-Qur‟an dan Hadits serta bahasa Arab. Kedua, ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia. Ketiga, adalah sains tabi‟I yang meliputi fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya. Hanya saja menurut Hasan Langgulung pada esensinya ilmu itu satu yang membedakan adalah analisa. Pada dasarnya, implementasi kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah. Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut harus dicapai secara bertahap yang saling mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebagaimana substansi obyek bahasan ini, Al-Qabisiy membagi tujuan pengajaran kepada dua tujuan utama; yaitu tujuan agama dan tujuan akhlak. Ini dipahami dari tulisan-tulisan yang dikemukakannya yang dianalisis kemudian oleh para peneliti yang mengkaji ide-idenya di kemudian hari. Al-Qabisiy selalu menyeru, di manapun ia berada, agar ummat Islam harus berpegang teguh pada dasar-dasar agama. Ia selalu mengisyaratkan pada ummat Islam untuk memperhatikan kelebihan para pemimpin periode pertama ummat Islam ini. Ummat Islam pertama amat memperhatikan Al-Qur‟an, mencari guru-guru yang mengajar Al-Qur‟an dan mendalami maksud kandungan isi Al-Qur‟an. Setelah mengajarkan Al-Qur‟an kepada anak-anak, diberikan pengajaran praktis yaitu cara-cara berwudluk dan praktek shalat. Anak perlu dilatih secara kontinyu untuk melaksanakan shalat sampai ia merasa senang mengerjakan ibadah dan merasa bersalah jika ia meningalkannya. Pengajaran Al-Qur‟an, menurut Al-Qabisiy, adalah suatu ilmu yang kekal yang harus dimiliki oleh anak-anak dan itulah kejayaan yang paling abadi jika anak memperolehnya. Pernyataan Al-Qabisiy di atas dapat dipahami bahwa kalau anak-anak menghafal Al-Qur‟an dan memahami maksudnya, maka itu kelak akan menjadi inspirasi berharga untuk mengembangkan sejumlah ilmu pengetahuan islami yang dikuasainya dan tidak akan melenceng dari tujuan-tujuan Islam. Anak dapat saja menekuni matiq, filsafat, Ilmu Pengetahuan Alam, matemateka dan lain-lain sebagainya sementara ia memilki asas Al- Qur‟an yang kuat. Maka bidang apa saja yang dikembangkannya kelak ia selalu berlandaskan pada asas yang kuat yaitu dengan berorientasi pada ayat-ayat Al-Qur‟an. Menyangkut dengan pendidikan akhlak, Al-Qabisiy meminta para pendidik agar berpegang pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang didasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Ia
  • 8. berkata: ”siapa yang mengajar anaknya dan memperbagus pengajarannya dan siapa saja yang mendidik anaknya serta memperbagus pendidikannya, orang tersebut telah berbuat baik kepada anaknya dan akan mendapat fahala di sisi Allah”. Al-Qabisiy menyatakan bahwa antara pendidikan dengan pengajaran saling mengisi. Akhlak mesti dibina oleh keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat umum. Kalau anak menyimpang ataupun melakukan hal-hal yang buruk, itu lebih disebabkan oleh keluarga yang tidak melaksanakan kewajiban mereka. Anak-anak yang telah menyimpang dari prilaku agama perlu diberikan hukuman serta mendidik ke arah yang benar. Ketika membahas isi sebuah kurikulum pendidikan, Al-Qabisi mengklasifikasi pengajaran ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu-ilmu berikut: 1) Al-Quran. Al-Qur‟an merupakan mata pelajaran yang asasi dan wajib dipelajari oleh setiap anak pada setiap ma„had. Al-Qur‟an wajib diperhafalkan kepada anak-anak, karena Al- Qur‟an merupakan modal dasar dalam upaya mengembangkan pengetahuannya di masa yang akan datang. 2). Fiqih. Fiqih yang dimaksudkan oleh al-Qabisiy adalah dasar-dasar hukum Islam yang wajib diketahui oleh setiap anak agar ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya. Guru wajib membebankan kepada mereka untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, demikian juga mengajarkan cara berwudluk yang benar. Selain itu perlu juga diberikan dasar-dasar tauhid kepada mereka agar mereka mengagumi Allah sebagai Tuhan mereka. 3). Akhlak. Akhlak sangat penting diberikan kepada anak-anak, karena sisi ini ada yang menyangkut dengan Allah sendiri dan ada juga terkait dengan sesama manusia. Anak-anak perlu ditanam dalam diri mereka sifat-sifat yang baik sejak dini dan diarahkan tingkah laku mereka pada jalan yang benar. 4). Khat, Mengheja dan Membaca. Anak-anak sangat perlu mempelajari khat serta dapat mengheja dan membaca Al-Qur‟an. Hal ini penting sekali dalam pengajaran Al-Qur‟an. Guru, menurut Al-Qabisiy, wajib menuntun anak-anak pada dasar-dasar cara membaca Al- Qur‟an sesuai dengan cara bacaan yang benar sampai mereka dapat membaca dengan bagus. 5). Bahasa Arab. Yang dimaksud dengan bahasa Arab di sini adalah dasar-dasar ilmu nahwu, namun bukan pembahasannya yang mendetil. Tujuannya adalah agar anak-anak dapat membaca setiap teks dengan benar dan dapat memahami kesalahan bacaan. Sedangkan ilmu-ilmu yang tidak termasuk dalam katagori asasi (ikhtiyariy), sebagai berikut: 1) Ilmu Hisab (berhitung). Al-Qabisiy tidak menuntut pada guru untuk mengajar mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran yang wajib, tapi guru boleh memberi pelajaran ini sebagai pilihan pada murid-muridnya. Ia mengaitkan urgensi pelajaran ini dengan tujuan keagamaan, karena mempelajarinya akan membantu untuk memahami ilmu faraidl (pembagian pusaka). Nampaknya, Al-Qabisiy menjadikan mata pelajaran ini diberikan pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. 2) Sastra Arab. Kalau dasar-dasar bahasa Arab dianggap asas, tapi mengkaji sastra adalah ilmu yang bukan asasi lagi. Mempelajari syair, prosa dan pidato tokoh-tokoh Arab merupakan mata pelajaran pilihan. Menghafal syair-syair dapat membantu anak-anak untuk memngembangkan kemampuan bahasanya dan dapat berbicara dengan bahasa yang santun. Faedah lain dari syair adalah menjadi hiburan pada waktu-waktu sengggang. 3) Sejarah. Sejarah bukan materi pelajaran yang asasi menurut Al-Qabisiy, tapi pelajaran sejarah dapat melatih anak-anak untuk bertingkah laku yang baik dan berperilaku mulia. Sejarah orang-orang yang baik sangat berguna bagi anak-anak untuk menjadi pedoman hidup bagi mereka. Jadi pelajaran sejarah, menurut Al-Qabisiy lebih ditekankan pada agar anak- anak bercermin pada perbuatan-perbuatan yang baik. Menyimak beberapa uraian bahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
  • 9. disimpulkan, sebagai berikut: KESIMPULAN Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan tentang jiwa adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian mengenai konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan mampu menguak konsep pendidikan Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak yang dirasa penting, karena setiap budaya memiliki norma etika atau tata susila yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yang hanya terdapat pada diri manusia. Dari karya Ibnu Miskawaih, tidak di temukan buku yang bertemakan “pendidikan” secara langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya berkaitan dengan pendidikan dan kejiwaan, akal serta etika. Salah satu buku yang dinilai banyak mengandung konsep pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A‟raq, yang banyak dijadikan rujukan ulama‟ dalam pendidikan. Dari konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih, jika ditelaah dengan pendekatan epistemology secara hirarkhi, maka konsep tersebut selalu mengacu kepada tiga hirarkhi yaitu yang mengacu kepada kondisi psikologis dan kesiapan peserta didik, yang dipetakan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany untuk pemula, burhany untuk orang dewasa dan „irfany bagi mereka yang telah matang baik jiwa maupun intelektual. Sementara dari segi materi dan sasarannya juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula, logik bagi dewasa dan etik bagi mereka yang sudah matang. Penerapan sistem koedukasi dalam pendidikan Islam bagi Al-Qabisy bahwa tidak baik anak pria dan wanita bercampur dalam suatu kelas, karena dikhawatirkan rusak moralnya, maka pemisahan tempat pendidikan wajib dilakukan demi terjaga keselamatan anak-anak dari penyimpangan-penyimpangan akhlak. Sedangkan Rasyid Ridha menolak adanya manfaat dari koedukasi, dan menganggap bahwa koedukasi bukan sekedar memiliki kekurangan, namun dapat mendatangkan malapetaka, utamanya kaum wanita. Al-Qabisy mengklasifikasi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua bagian besar yaitu ilmu-ilmu asasi/wajib (ijbari) dan ilmu-ilmu yang bukan asasi/tidak wajib (ikhtiyariy). Sedangkan Rasyid Ridha lebih menekankan kurikulum pada aspek muatan kurikulum ilmu agama dan umum, Implementasi dari kurikukum yang ia terapkan di Madrasah tampaknya memilah antara ruang ilmu peribadatan yang wajib dilakukan pada setiap pelajar. Dalam hal ini aspek pertama, masalah materi Alquran dan Hadis harus diajarkan dan diimpelementasikan secara asasi kepada lingkup lembaga pendidikan. Sementara aspek kedua, yakni aspek mu‟amalah, diserahkan kepada komponen pelaksana/pengelola dan penanggungjawab pendidikan yang dapat dikondisionalkan. DAFTAR PUSTAKA al- Abrasyi, Athiya, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984. Asmuni, Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996. http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-Ibnu-miskawaih/ http://dakir.wordpress.com/2009/05/02/konsep-pendidikan-al-qabisiy/ Jalaluddin, Psikologi Agama . Cet.I; Jakarta: Grafindo Persada, 1996. Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985. Ibnu Maskawih 1. Riwayat Hidup Maskawaih
  • 10. Maskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memuaskan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani, sangat luas. Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya‟qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi‟ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi‟ah. Gelar ini juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan Adhud al Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya[M. Luthfi Jum‟ah, Tarikh Falsafah al Islam, (Mesir: t.p., 1927), h. 304-305]. Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedangkan wafatnya, para tokoh sepakat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M[A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 166]. Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi‟ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri dengan gelar Mu‟izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas[Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. Arab oleh Edward Jurji et.al., (Beirut: t.p., 1952), h. 566]. Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa „Adhud al Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan „Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam. 2. Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih a. Filsafat Jiwa (al nafs) Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan akal aktif („aqlfa‟al). jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera. Jiwa tidak bersifat material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi maupun
  • 11. yang spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan dunia materi semuanya tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa. Lebih dari itu, di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh panca indera. Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain dan membeda-bedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan kekeliruan yang dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu. Ibnu Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut: 1) Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk. 2) Al nafs al sabu‟iah (nafsu binatang buas) yang sedang 3) Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik[Ibid., h. 173]. Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan. Berkenaan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Maskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat „ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta. b. Filsafat Akhlaq Sebagai “Bapak Etika Islam”, Ibnu Maskawaih dikenal juga sebagai Guru Ketiga (al Mu‟allim al tsalits), setelah al Farabi yang digelari Guru Kedua (al Mu‟allim al tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai Guru Pertama (al Mu‟allim al awwal) adalah Aristoteles. Teori Maskawaih tentang etika dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Tahzib al Akhlaq wa That-hir al „Araq (Pendidikan budi pekerti dan pembersihan watak). Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya[6].
  • 12. Dengan kata lain, khuluq merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula berupa hasil latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan baik. Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya. Ibnu Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari‟at, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula Ibnu Maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq. Artikel Ilmiyah Mari Belajar untuk Ilmiyah JUNI 13, 2012 KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU MISKAWAIH Rate This A. LATAR BELAKANG Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam diketahui bahwa pendidikan berlangsung melalui proses operasional dalam mencapai tujuannya dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai spiritualitas Islam. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan anak didik yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Manajemen kelembagaan pendidikan semacam itu merupakan sebuah sistem pendidikan Islam. Dari segi ini, pendidikan Islam dipandang sebagai proses yang terdiri dari sub-sub sistem atau komponen-komponen yang saling berkaitan dalam rangka mencapai tujuan. Pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem sosial yang dipahami sebagai aktivitas bimbingan yang disengaja untuk mencapai kepribadian muslim pada
  • 13. operasionalisasinya melibatkan berbagai komponen yang berkaitan erat satu sama lainnya. Oleh karena itu, pendidikan Islam pada dasarnya adalah sebuah sistem, dimana proses pendidikan Islam dipahami sebagai interaksi antara komponen yang satu dengan yang lainnya guna mencapai tujuan pendidikan Islam. Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara kontiniu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang pelu diemban oleh pendidikan. Islam adalah pendidikan mannusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya. Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar. Salah satu tokoh filusuf yang banyak member pengaruh besar terhadap konsep pendidikan Islam adalah Ibnu Maskawaih, oleh karena itu penulis berusaha memahas pemikiran – pemikirannya terhadap pendidikan Islam. B. B. PEMBAHASAN 1. Riwayat singkat Ibnu Miskawaih Ibnu Miskawaih mempunyai nama lengkap Abu Ali Al-Khozim Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Yakub Ibnu Miskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Miskawaih atau Ibnu Miskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi‟ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Miskawaih tergolong penganut aliran Syi‟ah. Gelar yang juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan, disebabkan kekuasaan „Adhud al-Daulah dari Bani Buwaihi, ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya. Ia dilahirkan di kota Rayy (Teheran sekarang) Iran pada tahun 330H/9 M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Feruari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi‟ah. Syed Abdul Wadud di dalam buku Alam dan Quran telah menyebut dia sebagai Miskawiah. Ia adalah ilmuwan suka meneliti dalam pengetahuan ilmiah dan akademis. Ia adalah ahli dan mampu di bidang Biologi; ia merupakan ilmuwan pertama yang menemukan kehidupan tumbuhan secara umum, membahas tentang evolusi. Ia adalah sarjana sosiologi, yang ahli tentang kebudayaan dan peradaban dengan spesifikasi pada disiplin Psikologi, dalam bidang psikologi ia termasuk ahli dibidangnya. Ia adalah peneliti dan pemikir etika, kerohanian dan penulis besar buku akhlak. Miskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya ia pun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, disamping filsafat Yunani sangat luas. Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaihi yang beraliran Syi‟ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai perdana menteri
  • 14. dengan gelar Mu‟izz al Daulah pada 945 M. Dan pada tahun 945 M itu juga Ahmad bin Buwaih berhasil menaklukkan Baghdad, di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian, pengaruh Turki terhadap bani Abbas digantikan oleh Bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbas. Puncak prestasi bani Buwaih adalah pada masa „Adhud al –Daulah (tahun 367 H – 372 H). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan. „Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Miskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Miskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam. Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, hanya sebagian yang dapat diketahui antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibnu Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibnu al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib. Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. 2. Karya Ibnu Maskawaih Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel. Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah: a. al-Fauz al-Akbar b. Al-Fauz al-Asghar c. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 /979 M) d. Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara). e. Tartib al-Sa‟adah (tentang akhlak dan politik) al-Musthafa (syair-syair pillihan). f. Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak) g. al-jami‟ h. al-Syiar (tentang aturan hidup) i. Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran) j. Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak) k. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman). l. Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq) m. Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu‟ah no. 1463, lembar 57a-59a) n. Ajwibah wa As‟ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu‟ah tersebut diatas dalam raghib majmu‟ah di Istanbul) o. al-Jawab fi al-Masa‟il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31)). p. Risalah fi Jawab fi su‟al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al- Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137). q. Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667) Muhammad Baqir Ibnu Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70).
  • 15. Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al-Sa‟adah. 3. Dasar Pemikiran Ibnu Miskawaih. a. Konsep manusia Ibn Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Menurut dalam diri manusia ada tiga daya yaitu: • Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah. • Daya berani (an-nafs as-sabu‟iyyat) sebagai daya pertengahan. • Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi. Kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat: • Al-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau keburukan. • Al-Nafs al-Sabu‟iyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali mengarah kepada kebaikan. • Al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan. Ketiga daya ini merupakan daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs Al-Bahimmiyyat) dan berani (al-Nafs as-sabu‟iyyat) berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (an-nafs an-nathiqat) berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran. Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al- Bahimmiyat/as-syahwiyyat (bernafsu) dan jiwa as-sabu‟iyyat/al-ghadabiyyat (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi. b. konsep akhlak Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah. Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibn Miskawaih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu jiwa bernafsu (al- bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah). Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan. Ketiga keutamaan akhlak tersebut merupakan poko atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari ketiga induk ahklak tersebut. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur‟an dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran islam. Hal ini karena
  • 16. banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur‟an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros. Sebagai makhluk sosial manusia selalu dalam gerak dinamis mengikuti gerak zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi pendidikan ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan dan ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak. 4. Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan Pertama, syariat, Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari‟at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya. Kedua, Psikologi. Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina‟ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia. Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan, Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih dikemukakan sebagai berikut: a) Tujuan Pendidikan Akhlak Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati. 1). Kebaikan dan kebahagiaan Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial,
  • 17. malu kebodohan, dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya. 2) Tercapainya Kemuliaan Akhlak Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain. Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam. Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT (QS. Al- Baqarah: 201) : “Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka 3) Sebagai Sarana Sosialisasi Individu Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para sosiolog modern. b) Fungsi Pendidikan 1) Memanusiakan manusia Setiap makhluk di dunia ini mempunyai kesempurnaan khusus dan perilaku yang spesifik baginya yang tidak ada makhluk lain yang menyertainya pada perilaku itu. Maka manusia diantara segala makhluk yang ada mempunyai perilaku khusus yaitu segala yaitu segala perilaku yang lahir dari pertimbangan nalar akal pikirannya. Karena itu siapa yang pertimbangannya paling jernih penalarannya paling benar, keputusannya paling tepat, adalah orang yang paling sempurna martabat kemanusiaannya . Manusia yang paling utama adalah orang yang paling mampu menunjukkan perilaku yang khas padanya dan yang paling teguh berpegang kepada syarat-syarat substansinya (daya pikir) yang membedakan dia dengan makhluk lainnya. Maka, kewajiban yang tidak diragukan lagi ialah berbuat kebajikan yang merupakan kesempurnaan manusia yang untuk itu mereka diciptakan dan agar mereka berupaya sungguh-sungguh untuk sampai pada kebajikan (al khairaat) itu, dan agar manusia menghindari kejahatan-kejahatan (as-syurur) yang menghambat mereka sampai kepada kebaikan. Oleh karena itu tugas pendidikan adalah mendudukkan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia dan makhluk lainnya. Hal itu ditandai dengan perilaku dan perbuatan yang khas bagi manusia yang tak mungkin dilakukan makhluk yang lain. 2) Sosialisasi individu manusia Pendidikan haruslah merupakan proses sosialisasi hingga tiap individu merupakan bagian integral dari masyarakatnya dalam melaksanakan kebajikan untuk kebahagiaan bersama. Miskawaihi menyatakan bahwa kebajikan itu sangat banyak dan tak mungkin mewujudkan seluruh kebajikan dari kemampuan satu orang manusia. Oleh karena itu kata Miskawaihi untuk mewujudkan seluruh kebajikan itu haruslah jama ah besar. Jadi seluruh individu berhimpun pada suatu waktu untuk mencapai kebahagiaan bersama. Kebahagiaan tiap individu sempurna berkat pertolongan
  • 18. lainnya. Kebajikan menjadi milik bersama. Kebahagiaan dibagi-bagikan kepada individu hingga masing-masing bertanggung jawab atas bagian dan kebahagiaan itu. Kamalul insany/human perfection tercapai berkat gotong royong itu. Untuk hal demikian wajiblah manusia saling mencintai satu sama lain, karena masing-masing orang melihat kesempurnaanya berada pada orang lain. Kalau tidak saling mencintai, tidaklah sempurna kebahagiaanya. Jadi tiap orang merupakan anggota dari anggota badan. Rangka manusia sempurna dengan utuhya anggota-anggota badan. Miskawaihi menegaskan lagi bahwa manusia di antara segala makhluk , hewan tak dapat mandiri dalam menyempumakan essensinya sebagai insan, tetapi pasti dengan pertolongan dari golongan manusia lain. Dia dapat mencapai kehidupan yang baik dan melaksanakan kewajibannya dengan tepat. Manusia pada dasarnya adalah anggota masyarakat. Di tengah-tengah masyarakat tenvujud kabahagiaan insaniyahnya. Setiap orang memerlukan orang lain. Dia sewajarnya bergaul dengan masyarakat sebaik- baiknya, mencintai mereka setulus-tulusnya. 3) Menanamkan rasa malu Manusia diciptakan dengan kekuatan-kekuatan potensial dan kekuatan-kekuatan itu tumbuh secara alamiyah. Kekuatan yang mula-mula muncul ialah tuntutan biologis, yakni kecenderungan syahwaniyah seperti makan unruk mengembangkan fisik. Tuntutan biologis ini terus berkembang ke berbagai kecenderungan-kecenderungan keinginan. Kemudian menyusul timbul kekuatan imaginasi yang timbul dari pengindraan. Sesudah itu muncul kekuatan ghodabiyah/kekuatan kemauan untuk bertindak mengatasi hambatan atau untuk memenuhi kecenderungan. Bila gagal mengatasi sendiri, menangislah anak itu, atau dia minta bantuan kepada orang tuanya. Setelah itu lahir kekuatan tamyiz/pertimbangan nalar (perkembangan intelektualitas) terhadap perilaku-perilaku khas manusiawi sedikit demi sedikit hingga sempurna. Pada tingkat perkembangan ini, anak dinamai aqil (L‟enfant fait). Kekuatan-kekuatan ini banyak, sebagiannya secara fundamental mendorong terwujudnya sebagjan kekuatan yang lain sehingga tercapai tujuan perkembangan terakhir 9tingkat akhir perkembangan akal insany), Tujuan yang tak ada lagi tujuan lainnya, yaitu “al-Khair al-mutlaq”. Kebajikan mutlak yang diinginkan manusia sebab dia manusia. Pertama- tama yang muncul dari kekuatan-kekuatan ini pada manusia adalah rasa malu (al- hayaa‟u), yaitu rasa takut lahirnya sesuatu yang jelek dari dirinya. Karena itu – kata Miskawaihi – pertama-tama yang harus diamati benar-benar pada anak-anak dan dipandang tanda awal perkembangan akalnya adalah timbulnya rasa malu karena hal itu menunjukkan bahwa anak sudah menginsafi tentang keburukan. Disamping keinsafan tentang keburukan anak juga berupaya memelihara dirinya dan menjauhi keburukan itu. Ibnu Mskawaihi menandai gejala ini dengan perilaku anak seperti – kata Miskawaihi – bila kau amati anak-anak dan kau dapati dia tersipu-sipu, matanya menunduk ke bawah, wajahnya sayu, maka itu tandanya awal dari kebagusan bawaanya dan menjadi bukti bagimu bahwa jiwa sudah mengerti kebaikan dan keburukan. Jiwa yang demikian berbakat untuk dididik, pantas diberi perhatian, wajib tidak ditelantarkan dan jangan dibiarkan bergaul dengan orang-orang yang dapat merusaknya. “Dari pikiran Miskawaihi diatas jelaslah bahwa penanaman rasa malu adalah fungsi pendidikan yang penting dan penanaman ini dimulai sedini mungkin yakni pada awal munculnya gejala jiwa tamyiz, yakni perkembangan anak mulai berpikir kritis dan logis pada waktu mereka duduk di sekolah dasar, pada umur antara 10-12 tahun. Anak telah dapat mengenal aturan kesusilaan serta tahu bagaimana dia harus bertingkah laku. c) Materi Pendidikan Ahlak
  • 19. Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya yaitu: • Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia • Hal-hal yang wajib bagi jiwa • Hal-hal yang wajib bagi hubungannya Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain shalat, puasa dan sa‟i. selanjutnya materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari bagi kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta motivasi senang kepada ilmu dan materi yang terkait dengan keperluan manusia dengan manusia dicontohkan dengan materi ilmu Muammalat, perkawinan, saling menasehati, dan lain sebagainya. Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar sebagai filosuf. Karena itu Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu tersebut ialah: • Matematika • Logika dan • Ilmu kealaman Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi kepada tujuan yang lebih pokok yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan semakin tinggi pula akhlaknya. d) Pendidik dan anak didik Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Kecintaan anak didik terhadap gurunya menurut Ibn Miskawaih disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka Ibn Miskawaih mendudukan cinta murid terhadap gurunya berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan. Maskawaih mengelompokkan orang yang melakukan usaha pendidikan di antaranya adalah: orang tua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat dan raja atau penguasa. Guru dan filsuf mempunyai kedudukan yang istimewa yaitu sebagai Bapak Ruhani, Tuan Manusia dan kebaikannya adalah Kebaikan Ilahi. Hal ini karena dia mendidik murid dengan keutamaan yang sempurna (al fadillah at tammah), mengajarinya dengan kearifan yang mapan (al-hikmahtul balighah) dan mengarahkannya kepada kehidupan yang abadi (al-hayah al abadiyah) dalam kenikmatan yang kekal (an-ni‟mah al abadiyah). Ibnu Miskawaih menyatakan guru dan filsuf adalah penyebab eksistensi intelektual manusia. Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian
  • 20. bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab. Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diproleh ilmu dan adab. Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti guru formal karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain: bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan menjadi cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya. Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan. e) Lingkungan pendidikan Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa‟adah) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus berusaha atas dasar saling menolong dan saling melengkapi dan Ibnu Miskawaih juga berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang- orang yang masih ada kaitannya dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan atau kekasih. Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan kewajiban syari‟at. Shalat berjama‟ah menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurang satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat tetapi sampai tingkat yang paling jauh. Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya. Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan. Lingkungan pendidikan selama ini dikenal ada tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibnu Muskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara bersifat umum, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak. Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan. f) Metodologi Pendidikan Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode ini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa akhlak
  • 21. seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Maka usaha- usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi. Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-‟adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Metode ini ditemui pula karya etika para filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam Ghazali, Ibn Arabi, dan Ibn Sina. Metode ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari perhatiannya. Dalam kesempatan lain Ibnu Maskawaih menyampaikan definisi metode yang digunakan dalam hal ini identik dengan alat, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah: 1) Metode alami (thabi‟i) Manusia mempunyai metode alami yang dilakukan sesuai dengan proses alam. Cara ini berangkat dari pengamatan potensi manusia, di mana potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih potensi yang pertama terbentuk bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan, kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode alamiah. 2) Metode Bimbingan Metode ini penting untuk mengarahkan subjek didik kepada tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam Al-Qur‟an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh yang hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata. 3) Metode Ancaman, Hardikan, dan Hukuman Berangkat dari metode yang sebelumnya, jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai yang telah diajarkan, maka mereka diberi berbagai cara secara bertahap sehingga kembali kepada tatanan nilai yang ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman, baik bersifat jasmani atau rohani. 4) Metode Pujian Jika subjek didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji dihadapannya. Hal ini agar mereka merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai tambah bagi dirinya. Jika pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik
  • 22. melaksanakan kebajikan. g). Asas Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih yang dimaksud dengan asas di sini adalah hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan pendidikan seperti: 1) Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada perbedaan yang dimiliki oleh tiap individu agar pendidikan berdaya dan berhasil guna. 2) Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara yang satu berbeda dengan yang lain. 3) Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan yang umum, baru yang terinci, karena partikular tidak dapat dipisahkan dari hal yang universal. 4) Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. 5) Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau menjadi makhluk yang setingkat malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik. 6) Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya praktek dalam pembinaan subjek didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karena kebiasaan hidup susah untuk diubah. C. APLIKASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT IBNU MASKAWAIH Menurut penulis aplikasi pemikiran pendidikan ibnu maskawaih banyak dilihat pada perkembangan pendidikan masa kini, paling tidak ada beberapa hal yang perlu perhatian setelah mengetahui konsep pendidikan yang ditawarkan Miskawaih, antara lain : 1. Reorientasi Ilmu Pengetahuan Perkembangan awal ilmu pengetahuan masih sangat sederhana, belum tersistematisasi, dan masih lebih merupakan pengetahuan intuitif. Perkembangan berikutnya menjadi pengetahuan analitis dan logika serta mulai ada spesialisasi meskipun masih bersifat generik. Selanjutnya ilmu perkembangan ilmu pengetahuan sudah mulai memasuki wilayah penjurusan dan spesifikasi. Perkembangan selanjutnya ilmu pengetahuan melulai dihubungkan dengan persoalan moral, karena mulai disadari bahwa perkembangan ilmu tanpa dibarengi dengan kendari moral justru akan mengancam eksistensi martabat kemanusiaan. Perkembangan terakhir mulai disadari bahwa cakupan ilmu pengetahuan bukan hanya pada dimensi kognitif dan logika tetapi juga pada wilaya spiritual, maka tidak heran kalau akhir-akhir ini muncul istilah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual di samping kecerdasan intelektual, terutama setelah terbitnya buku Emotional Intelligence karya Daniel Goleman dan Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence, karya Danah Zohar & Ian Marshal. Aspek seni, keindahan, dan rasa mulai terintegrasi di dalam ontologi dan epistimologi keilmuan. Dahulu kala ilmu pengetahuan masih terpisah-pisah, bahkan pernah terjadi ketegangan antara dimensi intelektual dan logika di satu sisi dengan dimensi emosional dan spiritual di lain sisi. Ketegangan ini mencapai puncaknya pada zaman positifisme. Di masa ini seolah-olah agama tidak punya ruang di dalam wacana ilmu pengetahuan. Untungnya zaman positifisme tidak berlangsung terlalu lama. Periode berikutnya muncul modernisme, disusul dengan posmodernisme, kemudian terakhir diklaim dengan era new age yang memberi wilayah dan apresiasi lebih positif kepada dimensi emosionalspiritual. Bahkan perkembangan yang paling terakhir menurut pengamat perkembangan ilmu pengetahuan, kita sekarang sudah memasuki apa yang distilahkan dengan era post new age, yang lebih menekankan pada aspek spiritual. Makanya itu fenomene sufisme,meditasi, dan mystical music, semakin berkembang di dalam masyarakat akademik dan di dalam masyarakat perkotaan. Hal ini banyak diulas Miskawaih
  • 23. dalam perenungan konsep pendidikannya. 2. Mengembangkan Tradisi Pemikiran dalam Islam Hal yang banyak menajdi pembahasan miskawaih adalah bagaimana mengembangkan tradisi pemikiran dan keilmuan dalam Islam. Sekarang ini hal itu berkembang cukup pesat di Lembaga – lembaga Pendidikan sekarang ini. Kegigihan Ibnu Maskawaih dalam menuntut ilmu patut pula dijadikan contoh. Walaupun dia telah menjadi ulama besar dan ia masih berguru untuk memperdalam berbagai macam disiplin ilmunya sehingga dia dikenal sebagai Bapak Filsafat Etika Muslim dan Bapak Psikologi Pendidikan Muslim. Kini sudah saatnya membangkitkan kembali tradisi kelimuan yang dulu pernah berkembang di dunia Islam. Dengan demikian dapat mengimbangi produktivitas negara-negara maju dalam memproduksi berbagai kebutuhan keilmuan dan teknologi sendiri tanpa menggantungkan kepada mereka. Untuk mencapai impian tersebut maka para sarjana dan intelektual Islam perlu bekerja keras dalam mewujudkan tradisi keilmuan yang dinamis dan harmonis. Permasalahan mendasar seperti pengadaan buku referensi perlu diperbanyak, aktivitas penelitian perlu digalakkan dan buku-buku yang ada di perpustakaan perlu dimaksimalisasi disertai dengan aktivitas-aktivitas diskusi di setiap ruang dan sudut-sudut perpustakaan. 3. SistemPendidikan yang Terpadu Lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak cukup tampil hanya mengandalkan eksistensi fisiknya saja, lebih dari itu harus mengedepankan pola-pola penyelenggaraan yang terpercaya, profesional dan menomorduakan unsur bisnis dalam pelaksanaannya. Transparansi pengelolaan dan manajemen yang profesional adalah suatu keniscayaan guna memperoleh tingkat kepercayaan tinggi masyarakat, khususnya para orang tua murid. Model pengelolaan pendidikan yang egaliter, namun tetap elegant dalam memandang kualitas adalah tuntutan-tuntutan lainnya untuk memperkokoh keberadaannya. Lembaga pendidikan harus tampil sebagai napas kehidupan komunitas muslim yang jika keadaannya megap-megap dapat membangkitkan kepedulian mereka untuk peduli memulihkannya. Rasa memiliki harus ditumbuhkan pada semua kalangan umat sehingga pada gilirannya bukan saja mereka percaya, namun berkeinginan kuat membesarkannya. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut harus dapat menjadi agen-agen keunggulan sekaligus sebagai jembatan dalam menjelajahi dunia sampai akhiratnya. Tentu saja, upaya-upaya ini harus digarap bersama dengan tekad memajukan kualitas pendidikan di lingkungannya. Sistem pendidikan yang terpadu akan membantu melahirkan out put pendidikan yang berkualitas dan menghasilkan SDM yang sesuai harapan. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja sebagai panyokong lahirnya SDM-SDM berkualitas. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk system pendidikan yang unggul. Dalam hal ini, Setidaknya ada 3 hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing- masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga ilar pendidikan
  • 24. tersebut. Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Ketiga, pendidikan yang diberikan berorientasi pada pembentukan kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target standar yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang umum diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dalam mempertahankan eksistensinya, Madrasah juga lembaga pendidikan Islam lainnya di Indonesia menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara pemenuhan kebutuhan keagamaan dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu agama. Selama ini, umat Islam meyakini, ajaran Islam telah selesai disusun tuntas dalam ilmu agama sebagai panduan penyelesaian seluruh persoalan kehidupan duniawi. Sementara, ilmu-ilmu umum (non-agama) dipandang bertentangan dengan ilmu agama yang hanya akan membuat kesengsaraan umat Islam. Namun kenyataannya, persoalan kehidupan duniawi terus berkembang, ternyata tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu-ilmu agama. 4. Intergrasi Keilmuan Ilmuwan Prancis Bruno “Abdul Haqq” Guiderdoni mengatakan ada persamaan epistemologi antara sains dan agama, yakni merupakan proses pencarian kebenaran yang terbuka. Di antara keduanya tak ada yang absolut. Keduanya memiliki integritas yang harus dicarikan jembatannya. Keduanya bisa sampai pada kebenaran hakiki. Namun, kebenaran akan lebih cepat terkuak jika keduanya bisa bersatu dan bekerja sama. Meskipun berbeda, sains dan agama tidak bisa dipertentangkan. Justru keduanya bias bersatu dalam mencari kesempurnaan yang esensial. Ilmu fisika, matematika, biologi, kimia, sejarah, dan ilmu lainnya adalah Islam sepanjang didukung bukti kebenarannya. Ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu lain yang selama ini disebut dengan ilmu agama harus hanya disebut dengan ilmu-ilmu itu sendiri tanpa pemberian label ilmu agama. Keyakinan tauhid mungkin tumbuh melalui studi sejarah, fisika, dan biologi, seperti hal itu bisa dilihat dari pola penuturan Al-Qur‟an, bukan hanya dengan menguasai teori tentang Tuhan seperti tersusun dalam ilmu tauhid. Persoalannya apakah umat Islam bersedia dan berani membebaskan diri dari ideologisasi ilmu-ilmu Islam yang selama ini ditempatkan sebagai satu-satunya ilmu yang benar secara teologis. Jika seluruh realitas diyakini sebagai ciptaan Tuhan, maka semua ilmu adalah Islam karena ilmu adalah konsep tentang realitas alam, sosial dan humaniora. Al- Qur‟an berisi berbagai hal yang berkaitan dengan semua yang ada di alam ini, agama, sosial, ekonomi, politik, budaya, ilmu pengetahuan alam, kedokteran dan sebagainya. Hanya saja al-Qur‟an tidak memuat hal-hal rigid yang berkaitan dengan bidang- bidang tersebut. Ini artinya bahwa pada dasarnya tidak ada dikotomi ilmu islam dan ilmu umum, karena semua tercakup dalam al-Qur‟an.Risiko dari pandangan ini ialah tidak mungkinnya lagi umat Islam melakukan klaim sepihak, ilmu tertentu sebagai Islam, sistem pendidikan tertentu sebagai system pendidikan Islam, dan sistem sosial tertentu sebagai Islam, sementara yang lain bukan Islam. Melalui cara ini, justru Islam akan benar-benar ditempatkan sebagai akar semua ilmu, sistem pendidikan, dan sistem sosial. Islam ditempatkan sebagai induk dari semua akar ilmu pengetahuan,
  • 25. yang memang sudah selayaknya diterima oleh Islam, bukan malah memilah-milah keilmuan yang justru akan memperkecil posisi Islam itu sendiri. Penyebutan madrasah sebagai sekolah umum berciri khusus agama, oleh karenanya, bias dijadikan dasar untuk mengembangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif. Penyebutan demikian merupakan pangkal bagi model pendidikan kritis yang tidak lagi meletakkan pendidikan sebagai transfer ilmu atau transfer nilai, tetapi media belajar hidup yang terus dikembangkan dan didaur ulang. Madrasah yang didalamnya ilmu-ilmu agama banyak dipelajari tidak lagi berada terpisah diantara deretan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, tapi ia berada membaur bersama dalam aktivitas pendidikan.Ilmu umum, baru meluas dipelajari di madrasah, terutama sejak kemerdekaan tahun 1945 meskipun prosentasenya masih sangat kecil. Posisi ilmu umum terus menguat searah perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Upaya menjadikan madrasah setara dengan sekolah umum dalam pengetahuan umum baru terwujud dengan keluarnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 tahun 1989 yang diikuti Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 dan 29 tahun 1990 dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan No. 054/U/11993 tentang MI, MTs, dan MA wajib memberikan bahan kajian sekurang- kurangnya sama dengan SD, SLTP dan SMU dan ketentuan yang menyatakan bahwa MI, MTs, dan MA adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan Departemen Agama. Dalam pelaksanaan pendidikan kurikulum harus disusun dengan baik dan harus jelas bagi semua fihak yang berkepentingan, karena berkaitan dengan out put yang ingin dihasilkan dari keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikan. Dalam kasus perguruan tinggi adalah Tri Civitas akademika dan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kurikulum kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia masih tidak demikian. Banyak di antara perguruan tinggi yang kurikulumnya menjiplak perguruan tinggi lain yang sejenis tanpa mengerti landasan filosofis yang ada di balik kurikulum tersebut. D. KESIMPULAN Ibn Miskawaih yang terkenal dengan julukan aI-Khazin, digelari juga sebagai „guru ketiga‟ setelah Aristoteles dan al-Farabi. Ia lahir di Teheran tahun ± 320 H1932 H dan wafat pada tahun 421 H11030 M. Sebagai seorang otodidak yang sukses, ia menggeluti berbagai macam disiplin ilmu sehingga menjadikannya sebagai Bapak Fitsafat Etika Muslim‟ dan „Bapak Psikologi Pendidikan Muslim‟. Selain itu, ia juga seorang sejarawan, sastrawan dan pendidik. Dalam karyanya Tahzib, lbn Miskawaih menjelaskan bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Ia mengakui adanya potensi atau kemampuan dasar yang tabi‟i, namun ia dapat berubah karena pengaruh dari dalam diri dan luar diri manusia, yaitu melalui pendidikan. Ibn Miskawaih mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan adalah terb5) Kedudukan Ibnu Maskawaih Dalam Perkembangan Filsafat Islam Di dalam bukunya “Tahdzib Al-Akhlak wa That-hir Al-A’raq” Maskawaih menguraikan bahwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat sebagai berikut: a. An-Nafs al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk b. An-Nafs as-sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang c. An-Nafs an-nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik Sifat buruk dari jiwa telah mempunyai kelakuan berani, pengecut, ujub (ponggah), sombong, suka olok-olok, penipu. Sedangkan sebagai khususiyat dari jiwa yang cerdas ialah mempunyai sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta. Kebajikan bagi suatu makhluk yang hidup dan kemauan ialah apa yang dapat mencapai tujuan dan kesempurnaan wujudnya. Segala yang wujud ini baik jika ia mempunyai persediaan yang cukup guna melaksanakan sesuatu tujuan. Tetapi setiap orang memiliki perbedaan yang pokok dalam bakat yang dipunyai. Selanjutnya menurut Maskawaih, di antara manusia ada yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung berbuat kejahatan. Namun golongan ini adalah minoritas. Sedangkan golongan yang mayoritas adalah golongan yang dari “sono”nya sudah cenderung kepada kejahatan sehingga sulit untuk ditarik untuk cenderung kepada kebaikan. Sedangkan di antara kedua golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada perhatian atau kejahatan. Hal ini tergantung pada pendidikan dan lingkungan ia hidup. Berbicara tentang kebaikan, Maskawaih menerangkan bahwa kebajikan ada kalanya bersifat umum dan bersifat khusus, ada kebajikan mutlak dan ada ilmu pengetahuan yang luhur di mana orang yang baik akan berusaha mencapainya. Kebaikan yang bersifat umum adalah menjadi tujuan semua orang, yaitu kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan yang bersifat khusus adalah kebaikan yang relative bergantung pad asetiap orang yang berusaha memperolehnya.
  • 26. Selain hal-hal tersebut di atas, diuraikan juga tentang akhlak, perihal keadilan, perihal cinta dan persahabatan serta perihal pengobatan penyakit-penyakit jiwa. Dengan demikian maka Maskawaih telah banyak meletakkan dasar-dasar etika atau pembahasan akhlak secara teoretis. Dapat disebutkan di sini buku-buku lain dari Maskawaih yang membahas khusus tentang etika Islam di antaranya adalah: Al-Akbar, Thaharat, An-Nafs dan kitab Tartib As-Sa’dat yang membicarakan etika dan politik. Sehingga dalam perkembangan filsafat Islam, Maskawaih mendapat sebutan “Bapak Etika Islam”, karena beliaulah yang mula-mula mengemukakan teori khusus tentang etika secara lengkap. 6) Maskawaih dalam Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan Walaupun pemikiran filsafatnya tidak banyak dibicarakan tetapi beliau telah mengemukakan berbagai teori filsafat yang penting, yang menjadi referensi para pemikir sesudahnya. Pandanganya mengenai manusia dan perkembangan masyarakat bukan saja menjadi pokok pemikiran para ilmuwan Islam seperti Ibnu Khaldun dan Jamaluddin Al-Rini tetapi juga para sarjana barat salah satunya Charles Darwin. Maskawaih berpendapat bahwa segala sesuatu yang wujud ini tumbuh dan berkembang melalui beberapa fase yang keseluruhannya merupakan mata rantai kehidupan. Bahwa segala fase pertama merupakan sesuatu yang sederhana, kemudian senantiasa berevolusi dan berkembang sehingga mencapai derajat yang lebih tinggi. Tumbuh- tumbuh pada mulanya, berbeda dalam tingkat vegetatif (nabati) kemudian berevolusi dan berkembang meningkat sampai pada derajat manusia. Manusia pun terus berevolusi, berkembang bukan hanya secara fisik, tapi berkembang pula tingkat kecerdasannya, cara berfikirnya bertambah maju sehingga menjadi bijaksana bahkan sampai mendekati derajat para malaikat. Dengan ini pula Maskawaih menetapkan prinsip adanya kebenaran Nubuat (Kenabian) dan adanya kebenaran turunnya wahyu, hanya saja untuk mencapai tingkatan ini ada dua jalan: 1. Perenungan tentang hakikat dari segala sesuatu yang wujud sehingga mempertajam pandangan, sehingga akhirnya dapat mengenal soal-soal Ketuhanan. Tingkat ini dapat didapat oleh para filosof. 2. Manusia mungkin seklai tanpa perenungan akal pikiran tetapi dapat karunia limpahan langsung dari Tuhan berupa kebenaran (wahyu) tanpa melalui latihan akal pikiran. Tingkatan ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang terpilih, yaitu para Nabi. Teori evolusi rohani ini berpijak pada dasar filsafatnya bahwa manusia menurut fitrahnya mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini dapat ditempuh dengan mawas diri perenungan tentang hakikat sesuatu, melaksanakan ibadah dengan baik menjaga dan membersihkan jiwa dari segala perbuatan jahat dan tercela sehingga dengan demikian jiwanya akan menjadi bersih. Jiwa yang bersih inilah yang akan sanggup menerima ilmu dan hikmah, yakni kebenaran, baik dari sebagai hasil pemikiran akal manusia maupun kebenaran wahyu. Dengan demikian dalam dunia ilmu pengetahuan sebenarnya Maskawaih-lah yang pertama kali memperkenalkan teori evolusi jauh sebelum Charles Robert Darwin memperkenalkan karyanya yang terkenal mengenai teori evolusi yaitu: “On the Origin os Species by Means of Natural Selection” yang terbit pada tahun 1859. Bahkan teori evolusi dari Maskawaih juga sampai pada bidang rohani dalam hal mana bidang ini tidak dibicarakan oleh Darwin, karena manusia dianggap adalah puncak kesempurnaan evolusi. Sedangkan evolusi di bidang rohani kemudian dikembangkan oleh Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Muhammad Abduh (1849-1909). Selanjutnya untuk penjelasan teori evolusi Ibnu Maskawaih akan dibahas pada pembahasan selanjutnya dalam pemikiran filsafat Ibnu Maskawaih. 7) Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih a. Hikmah dan Falsafah Maskawaih membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan), wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: Bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujat) sebagai adanya. Atau jika engkau mau dapat kau katakana bahwa hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan. Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis, bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesame manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, yang teoretis dan yang praktis tersebut, maka berarti ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna. b. Metafisika Metafisika Maskwaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya yang praktis tersebut, jiwa dan kenabian (nubuwwah). Secara lengkap metafisika Maskawaih dituangkan dalam kitabnya Al-Fauz Al-Ashghar. 1. Ketuhanan Tuhan, menurut Ibnu Maskwaih adalah zat yang tidak berjisim, Azali dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satu pun yang setara dengan-Nya. Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung kepada yang lain. Sementara yang lain membutuhkan-Nya. Tampaknya pemikiran Ibnu Maskawaih ini sama dengan pemikirannya Al-Farabi dan Al-Kindi. Sebagai filosof religius sejati, Ibnu Maskawaih menyatakan, alam semesta diciptakan Allah dari tiada menjadi ada karena penciptaan dari bahan yang sudah ada tidak ada artinya. Di sinilah letak persamaan pemikirannya dengan Al-Kindi dan berbeda dari Al-Farabi (Allah menciptakan alam dari materi yang sudah ada). Menurut De Boer, Ibnu Maskawaih menyatakan, Tuhan adalah zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan yang jelas bahwa ia adalah Yang Hak (Benar). Yang benar adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkap-Nya, disebabkan banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya. Pendapat ini bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan. Dalam penjelasan lain diungkapkan: Menurut Miskawaih, membuktikan adanya Tuhan adalah mudah, karena kebenarannya tentang Tuhan telah terbukti pada dirinya sendiri dengan amat jelas. Namun kesukarannya adalah karena keterbatasan akal manusia untuk menjangkaunya. Tetapi orang yang berusaha keras untuk memperoleh bukti adanya, sabar menghadapi berbagai macam kesukaran, pasti akhirnya sampai juga, dan akan memperoleh bukti yang meyakinkan tentang kebenaran adanya. Maskawaih mengatakan sebenarnya tentang adanya Tuhan pencipta itu telah menjadi kesepakatan filosof sejak dahulu kala. Namun pendapat Maskawaih bahwa untuk membuktikan adanya Tuhan hanya dapat dilakukan secara negative itu telah mendapat kritik.jika yang dimaksud pembuktian secara langsung tidak dapat dilakukan itu ialah untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan secara rasional memang dapat diterima. Tetapi hal itu tidak benar jika yang dimaksud adalah mencakup segala macam pengenalan. Sebab di samping pengetahuan secara rasional, dimungkinkan juga pengenalan dengan jalan penghayatan yang merupakan pengalaman kejiwaan sebagaimana bisa terjadi dalam dunia mistik. Argumen yang diajukan oleh Maskawaih untuk membuktikan adanya Tuhan yang paling ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam. Argumen gerak ini diambil dari Aristoteles. Tuhan adalah sebagai pencipta segala sesuatu. Menciptakan dari awal segala sesuatu: dari tiada (‘ada), sebab tidak ada artinya mencipta, jika yang diciptakan telah wujud sebelumnya. Jadi segala sesuatu itu diciptakan dari tiada, hal ini sejalan dengan pendapat ulama ilmu kalam, tanpa takwil sebagaimana dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah yang telah memperoleh pengaruh dari filsafat Aristoteles. Dari/dalam hal ini Maskawaih berbeda pendapat dengan Aristoteles. Teori tentang perubahan yang terjadi pada alam menyebutkan bahwa tiap-tiap bentuk berubah digantikan oleh bentuk yang baru. Dalam pertukaran bentuk yang satu