SlideShare a Scribd company logo
1 of 124
Download to read offline
1
BAB I
PENDAHULUAN
DEFINISI USHUL FIQH
ً‫أط‬ ‫جّغ‬ ‫ٌغخ‬ ‫ي‬ٛ‫األط‬
.
ٟ‫اٌز‬ ‫اػذ‬ٛ‫اٌم‬ ٚ‫أ‬ ‫األعظ‬ ٟ٘ ‫ي‬ٛ‫األط‬
‫ش٘ب‬١‫غ‬ ‫ب‬ٙ١ٍ‫ػ‬ ٕٝ‫ج‬٠
.
ُٙ‫اٌف‬ ‫ٌغخ‬ ٗ‫اٌفم‬
.
ٗ‫اٌفم‬
ٍُ‫اٌؼ‬ ٛ٘ ‫اططالدب‬
‫خ‬١ٍ١‫اٌزفظ‬ ‫ب‬ٙ‫أدٌز‬ ِٓ ‫اٌّغزفبدح‬ ‫خ‬١ٍّ‫اٌؼ‬ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ َ‫ثبألدىب‬
.
‫ي‬ٛ‫أط‬
ٟ‫اٌز‬ ‫اػذ‬ٛ‫اٌم‬ٚ ‫خ‬١ٌ‫اإلجّب‬ ‫األدٌخ‬ ٟ٘ ٗ‫اٌفم‬
ٍُ‫اٌؼ‬ ٌٝ‫ا‬ ‫ب‬ٙ‫ث‬ ً‫ط‬ٛ‫ز‬٠
.‫خ‬١ٍ١‫اٌزفظ‬ ‫ب‬ٙ‫أدٌز‬ ِٓ ‫اٌّغزفبدح‬ ‫خ‬١ٍّ‫اٌؼ‬ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ َ‫ثبألدىب‬
PENJELASAN DEFINISI USHUL FIQIH
1. Adillah Al Ijmaliyah (Dalil Ijmali ) = adalah dalil-dalil global
(bukan dalil-dalil tafshili), seperti Al Qur`an, As Sunnah,
Ijma‟, dll.
2. Qawa‟id (Kaidah-Kaidah ), meliputi dua macam kaidah :
a. Qawa‟id Fiqhiyah (kaidah fiqih), seperti kaidah “Maa laa
yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib.”
2
b. Qawa‟id Ushuliyah (Kaidah Ushul Fiqih), seperti kaidah
“al ashlu fi al kalaam al haqiqah” dan kaidah “al „aam
yabqaa „ala „umuumihi maa lam yarid dalil at takhsis”.
3. Al „Ilmu (pengetahuan) = adalah terwujudnya “malakah”
(hushulul malakah) yaitu suatu pemahaman mendalam pada
diri seorang faqih.
4. Al „amaliyah = maksudnya, yang berhubungan dengan
perbuatan manusia (lahaa „alaqah bi a‟maal al „ibad), spt
sholat, jual beli, jihad, nashbul khalifah (mengangkat
khalifah), dll.
5. Al Mustafaadah = maksudnya, yang diambil dengan istinbath
atau tanpa istinbath.
6. Adillah Tafshiiliyah (dalil-dalil terperinci) = maksudnya
dalil-dalil juz‟i (parsial), yaitu sebuah ayat atau hadits
tertentu, atau bagian dari ayat atau hadits tertentu.
Ushul fiqih intinya adalah suatu minhaj (metode) yang ditempuh
mujtahid untuk mengistinbath hukum dari sumber-sumber
hukum (dalil syara‟).
3
OBJEK KAJIAN (maudhuu‟) USHUL FIQIH
‫ي‬ٚ‫زٕب‬٠
‫ي‬ٛ‫أط‬
‫ا‬
ٌ
: ‫خ‬١ٌ‫اٌزب‬ ‫األسثؼخ‬ ‫س‬ِٛ‫األ‬ ٗ‫فم‬
1
.
‫بط‬١‫اٌم‬ ٚ ‫اإلجّبع‬ ٚ ‫اٌغٕخ‬ٚ ‫اٌىزبة‬ :‫خ‬١ٌ‫اإلجّب‬ ‫األدٌخ‬
ٚ
ٚ , ‫اٌّشعٍخ‬ ‫اٌّظبٌخ‬ ٚ , ْ‫اإلعزذغب‬ : ً‫ِض‬ ‫ش٘ب‬١‫غ‬
ٚ , ٟ‫اٌظذبث‬ ‫ِز٘ت‬ ٚ , ‫لجٍٕب‬ ِٓ ‫ششع‬ ٚ , ‫اٌؼشف‬
. ‫اإلعزظذبة‬
2
.
ٗ‫ث‬ ‫زؼٍك‬٠ ‫ِب‬ ٚ ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬
‫اع‬ٛٔ‫أ‬ٚ , ُ‫اٌذى‬ ٕٝ‫ِؼ‬ :
َٛ‫اٌّذى‬ ٚ , ُ‫(اٌذبو‬ ُ‫اٌذى‬ ْ‫أسوب‬ ٚ , ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬
) ٗ١‫ف‬ َٛ‫اٌّذى‬ ٚ , ٗ١ٍ‫ػ‬
3
.
‫األٌفبد‬ ‫دالالد‬
‫ش‬١‫د‬ ِٓ ‫اٌغٕخ‬ ٚ ‫اٌىزبة‬ ‫أٌفبظ‬ ‫دالالد‬ :
. ‫رٌه‬ ‫ش‬١‫غ‬ ٚ ‫ب‬ٙ‫خفبئ‬ ‫ش‬١‫د‬ ِٓ ٚ ‫ب‬ٙ‫د‬ٛ‫ػ‬ٚ
4
.
‫ذ‬١ٍ‫اٌزم‬ٚ ‫بد‬ٙ‫اإلجز‬
4
(1) Dalil-dalil Ijmali, atau disebut juga Dalil Syara‟ (sumber
hukum), seperti Al Qur`an, As Sunnah, Ijma‟ Shahabat, dll,
dibahas dari segi kehujjahannya dan kedudukannya dalam
istidlal.
(2) Hukum Syara‟, dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti
pembahasan apa itu hukum syara‟, macam-macam hukum
syara‟, rukun hukum (hakim, mahkum alahi, mahkum fiihi)
(3) Dalalah lafazh (pengertian yang ditunjukkan dalil) dari Al
Qur`an dan As Sunnah, atau disebut juga Fahmu Dalil
(pemahaman terhadap dalil), spt manthuq, mafhum, umum,
khusus, mutlak, muqayyad, dsb.
(4) Ijtihad dan Taqlid, spt pembahasan ttg definisi, hukum, dan
syarat Ijtihad atau Taqlid. Juga pembahasan ttg Ta‟adul dan
Tarajih.
5
PERBEDAAN USHUL FIQIH DAN FIQIH
TUJUAN BELAJAR USHUL FIQIH
1) Untuk menetapkan (itsbat) secara pasti (qath‟i) bahwa suatu
dalil ijmali (misal Al Qur`an dan As Sunnah) adalah benar-
benar wahyu dari Allah SWT. Dalil ijmali / dalil syar‟i
termasuk masalah masalah ushul (aqidah) yang wajib
ditetapkan berdasarkan dalil qath‟i, bukan dalil zhanni. (Lihat
QS Yunus : 36, QS Al Isra` : 36 dan M. Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 20-21)
2) Bagi mujtahid : untuk menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqih
pada dalil-dalil tafshili untuk mengistinbath hukum syara‟
6
yang mutlak diperlukan oleh kaum muslimin dalam
kehidupan mereka.
Ini tujuan yg amat mulia, karena akan membantu manusia
beribadah, sbg tujuan diciptakannya manusia oleh Allah
SWT (QS Adzariyat : 56), yang tak mungkin ibadah itu
terlaksana tanpa mengetahui hukum syara‟. (M. Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 20-21).
3) Bagi muqallid : untuk memahami kaidah-kaidah yang
digunakan oleh mujtahid dalam mengistinbath hukum syara‟
dari dalil syara‟.
Ini penting, karena di samping menjadi satu tahapan
kompetensi pra ijtihad, juga untuk memantapkan hati bahwa
para mujtahid terdahulu adalah ulama yang layak untuk
diikuti dan pendapat mereka adalah hukum syara‟ yang sahih.
(Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, hlm. 30).
7
BAB II
SEJARAH USHUL FIQH
Pokok Pembahasan:
1. Imam Syafii Peletak Dasar Ushul Fiqih
2. Ushul Fiqih Sebelum Masa Imam Syafii
3. Ushul Fiqih Sesudah Masa Imam Syafii :
a. Metode Mutakallimin
b. Metode Fuqoha
4. Kitab-kitab Ushul Fiqih Terpenting
IMAM SYAFI‟I PELETAK USHUL FIQIH
Imam Syafi‟i hidup 150 – 204 H. Termasuk generasi Tabi‟it
Tabiin. Berguru kepada Imam Malik di Madinah dan bertemu
dengan murid-murid Imam Abu Hanifah (w. 150 H), seperti
Muhammad bin Al Hasan di Baghdad.
Imam Syafi‟i disebut peletak dasar ilmu Ushul Fiqih. Mengapa?
Karena beliau ulama pertama yang menulis kitab Ushul Fiqih
secara sistematis, berjudul “Ar Risalah”. Imam Ibnu Khaldun
dalam kitabnya “Muqaddimah” hlm. 455 ketika membahas ilmu
ushul fiqih berkata :
8
ٗ١‫ف‬ ٍِٝ‫أ‬ ،ٕٗ‫ػ‬ ‫هللا‬ ٟ‫سػ‬ ٟ‫اٌشبفؼ‬ ٗ١‫ف‬ ‫وزت‬ ِٓ ‫ي‬ٚ‫أ‬ ْ‫وب‬ ٚ
،‫اٌخجش‬ٚ ،ْ‫ب‬١‫اٌج‬ٚ ،ٟ٘‫ا‬ٌٕٛ‫ا‬ٚ ‫اِش‬ٚ‫األ‬ ٗ١‫ف‬ ٍُ‫رى‬ ،‫سح‬ٛٙ‫اٌّش‬ ٗ‫سعبٌز‬
‫ا‬ٚ
...‫بط‬١‫اٌم‬ ٟ‫ف‬ ‫طخ‬ٛ‫إٌّظ‬ ‫اٌؼٍخ‬ ُ‫دى‬ٚ ،‫ٌٕغخ‬
“Orang pertama yang menulis dalam bidang itu [ushul fiqih]
adalah As Syafi‟i RA, di dalamnya beliau mendiktekan kitab Ar
Risalah yang terkenal, di dalamnya beliau bicara tentang amar
dan nahi, bayan, khabar (hadits), nasakh, dan hukum illat yang
disebut dalam nash dalam Qiyas…” (M Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 28)
USHUL FIQIH PRA IMAM SYAFI‟I
Pada masa Rasulullah SAW, shahabat, dan tabi‟in, ilmu ushul
fiqih belum ada, atau setidaknya belum tertulis. Ijtihad oleh
shahabat di masa Rasulullah SAW, juga masa shahabat dan masa
tabi‟in, dilakukan secara alamiah. Karena mereka menguasai
bahasa Arab, sebagai bahasa Al Qur`an dan As Sunnah. (M
Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 26)
9
Pada awal abad kedua Hijriyah, seiring dengan futuhat dan
perluasan Daulah Islamiyah, banyak bangsa non Arab masuk
Islam (Romawi, Persia, India, Barbar, dll).
Akibat interaksi bangsa Arab dan non Arab itu, kemampuan
bahasa Arab di kalangan muslim Arab mulai melemah karena
pengaruh bahasa dan lahjah (dialek) bangsa non Arab.
Maka dirasakan ada kebutuhan untuk menetapkan kaidah
(qawa‟id) dan norma (dhawabith) bahasa Arab untuk
mengistinbath hukum dari Al Qur`an dan As Sunnah. (M Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 26)
Dari sekumpulan kaidah (qawa‟id) dan norma (dhawabith)
bahasa Arab itulah, maka terbentuk disiplin ilmu bernama :
USHUL FIQIH. Ulama pertama yang menghimpun berbagai
kaidah dan norma tersebut, konon adalah Imam Abu Yusuf,
shahabat Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebut oleh Ibnu
Nadiim dalam kitabnya Al Fihris. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Al Fiqh, hlm. 17). Tapi sayang kitab beliau tidak sampai
kpd kita. Kitab pertama ttg ushul fiqih yang sampai kepada kita
adalah Ar Risalah karya Imam Syafi‟i. (M Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 27)
10
USHUL FIQIH PASCA IMAM SYAFI‟I
Meski Imam Syafi‟i adalah penulis kitab ushul fiqih pertama,
tapi kitab ini belumlah sempurna dan menyeluruh. (M Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 28). Karena itu, para
ulama ada yang mendukung kitab Ar Risalah, ada yang
menambahkan kaidah-kaidah baru, dan ada yang menyalahi
kaidah2 yang dibuat Imam Syafi‟i. Setelah berkembangnya
mazhab-mazhab fiqih, mereka mempunyai sikap masing-masing
terhadap kitab Ar Risalah.
SIKAP MAZHAB SYAFI‟I
Mereka mendukung kitab Ar Risalah dan membuat berbagai
syarah (penjelasan / uraian) dari kitab Ar Risalah.
Mereka itu misalnya :
(1) Abu Bakar Muhammad As Shairafi (w. 330 H).
(2) Abu Muhammad Al Qaffaal As Syaasyi (w. 365)
(3) Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al Juwaini (w. 438).
SIKAP MAZHAB HANAFI
Mereka menambahkan dua dalil ijmali (sumber hukum) yaitu Al
Istihsan dan Urf.
11
Dua dalil ijmali itu menambah dalil-dalil ijmali dalam kitab Ar
Risalah yang terbatas pada empat saja : Al Qur`an, As Sunnah,
Ijma‟, dan Qiyas. Kitab ushul fiqih yang awal, misalnya Risalah
Al Karkhiy, karya Imam Al Karkhiy (w. 340 H). Juga kitab
Ushul Al Jashshash, karya Imam Al Jashshash (w. 370 H).
SIKAP MAZHAB MALIKI
Mereka menambahkan tiga dalil ijmali (sumber hukum) yaitu
Ijma‟ Ahlil Madinah, Al Istihsan, dan Al Mashalih Al Mursalah.
Imam Syafii tidak setuju dengan tiga dalil ijmali tersebut.
Ulama Malikiyah juga memperluas pembahasan Saddudz
Dzaraa`i‟. Kitab ushul fiqih mazhab Maliki misalnya : At Ta‟rif
wal Irsyad fi Tartib Thuruqil Ijtihad Karya Imam Qadhi Baqilani
(w. 403 H).
SIKAP MAZHAB HAMBALI
Mereka mengikuti pendapat Imam Syafi‟I, namun ada sedikit
perbedaan khususnya masalah Ijma‟. Imam Ahmad bin Hanbal
hanya mengambil Ijma‟ Shahabat sebagai dalil syar‟i. Sementara
Imam Syafii mengambil Ijma‟ Mujtahidin Umat Islam. (lebih
umum). Namun ulama Hanabilah pasca Imam Ahmad ada yang
mengambil Ijma‟ Mujtahidin Umat seperti pendapat Imam
12
Syafi‟i. Misalnya : Imam Ibnu Qudamah (w. 630 H) dalam
kitabnya Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir.
SIKAP MAZHAB ZHAHIRI
Mereka tidak mengakui Qiyas, dan hanya berpegang dengan
zhahir nash. Pendiri mazhab Zhahiri adalah Imam Dawud Az
Zhahiri (w. 270 H). Ulama mazhab Zhahiri yang terkenal adalah
Imam Ibnu Hazm (w. 456 H), dengan karyanya Al Muhalla.
SIKAP MAZHAB SYIAH
Mereka menolak Qiyas, menolak hadits yang bertentangan dgn
paham mereka ttg Khilafah / Imamah, hanya mengakui ijtihad
imam2 mereka. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushu;l Al
Fiqh, hlm. 31).
DALAM PENYUSUNAN ILMU USHUL FIQIH, PARA
ULAMA MENEMPUH DUA METODE (THARIQAH) :
A. METODE MUTAKALLIMIN
Mutakallimin adalah istilah untuk menyebut ulama yang
menggunakan dalil akal untuk menetapkan ushuluddin (aqidah /
keimanan). Metode mutakallimin dalam ushul fiqih, adalah
13
menetapkan kaidah-kaidah (qawaid) ushul fiqih secara murni
lebih dahulu, tanpa terpengaruh oleh furu‟ (hukum fiqih).
Substansi metode: qawaid mendahului furu‟ (induk
mendahului cabang / anak). Contoh : ada satu qaidah ushuliyah
berbunyi Ijma‟ Ahli Madinah bukanlah hujjah (dalil syara‟).
Kaidah tersebut ditetapkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya
Raudhatun Nazhir berdasarkan burhan (bukti) akal, misalnya :
(1) Bahwa penduduk Madinah tidak semuanya mendengar hadits
Nabi SAW.
(2) Bahwa Makkah lebih utama dari Madinah, tapi toh tidak ada
Ijma‟ Ahli Makkah. Lihat M Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 33.
Metode mutakallimin dirintis oleh Imam Syafi‟i dan
dilanjutkan oleh ulama-ulama pengikutnya selanjutnya. Yang
menggunakan metode mutakallimin antara lain ulama mazhab
Syafi‟i, Maliki, dan Hambali. Ulama mazhab Hanafi
menggunakan metode lain, yaitu metode fuqoha.
B. METODE FUQOHA
Metode Fuqoha dalam ushul fiqih, adalah menetapkan kaidah-
kaidah (qawaid) ushul fiqih dengan dipengaruhi oleh furu‟
(hukum fiqih) yang sudah ada lebih dahulu. Substansi metode :
14
furu‟ mendahului qawaid (cabang / anak mendahului induk).
Metode digunakan oleh para ulama pengikut Imam Abu Hanifah.
Contoh : ada satu qaidah ushuliyah berbunyi Al „Ibrah bi
„umumil lafzhi laa bi khusus as sababi. Artinya : yang menjadi
patokan adalah keumuman lafazh bukan kekhususan sebab.
Kaidah tersebut disimpulkan dari furu‟, yaitu hukum-hukum
fiqih yang sudah ada. Hukum2 tsb diamalkan oleh para shahabat
dan tabi‟in.
Hukum-hukum tersebut antara lain :
(1) Keumuman hukum sucinya kulit bangkai yang disamak,
meski sababul wurudnya adalah bangkai kambing milik
Maimunah.
(2) Keumuman hukum potong tangan bagi pencuri (QS 5:38),
meski sababun nuzulnya adalah tentang pencurian baju
milik Shofwan.
(3) Keumuman hukum li‟an antara suami isteri (QS 24 : 5-9),
meski sababun nuzulnya adalah tentang kasus li‟an Hilal
bin Umayyah.
Hukum-hukum furu‟ tersebut, ternyata penerapannya tidak hanya
pada sebabnya yang khusus (sababun nuzul ayat atau sababul
wurud hadits), melainkan diterapkan secara umum pada kasus
15
lainnya. Dari hukum-hukum furu‟ itulah disimpulkan kaidah
ushul Al Ibrah biumumil lafzhi dst.
KITAB USHUL FIQIH TERPENTING
Metode mutakallimin.
(1) Kitab Al Mu‟tamad karya Abul Hasan Al Bashri (w. 463 H)
(2) Kitab Al Burhan karya Imam Al Haramain Al Juwaini (w.
487 H)
(3) Kitab Al Mustashfa karya Imam Ghazali (w. 505 H).
(4) Kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam karya Imam Al Amidi (w.
631 H), menghimpun 3 kitab sebelumnya.
Metode Fuqoha.
(1) Kitab Risalah Al Karkhi karya Imam Al Karkhi (w. 340 H)
(2) Kitab Ushul Al Jashshash karya Imam Al Jashshash (w. 370
H)
(3) Kitab Ushulul Sarakhsi karya Imam Sarakhsi (w. 483 H).
(4) Kitab Ushul Al Bazdawi karya Imam Al Bazdawi (w. 482 H).
16
BAB III
HUKUM SYARA’
Pokok Pembahasan:
1. Pengertian Hukum Syara‟
2. Hukum Taklifi dan Hukum Wadh‟i
3. Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadh‟i
4. Tiga Rukun Hukum Syara‟ :
a. Al Hakim,
b. Mahkum alaihi (Mukallaf),
c. Mahkum fiihi.
DEFINISI HUKUM SYARA‟
Kata “al hukmu” menurut bahasa, artinya “al man‟u”, yakni
mencegah. Misalnya ungkapan :
ِٓ ْ‫اٌذظب‬ ‫ِٕغ‬ ٞ‫أ‬ ، ْ‫اٌذظب‬ ُ‫دى‬
‫اإلٔطالق‬
Hakama al hishan, seseorang “menghukum” kuda, artinya, dia
mencegah kuda itu dari lari. M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 219; Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al
Islami, 1/37
17
Hukum syara‟ menurut istilah ulama ushul fiqih :
ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬
‫اٌؼجبد‬ ‫ثؤفؼبي‬ ‫اٌّزؼٍك‬ ‫اٌشبسع‬ ‫خطبة‬ ٛ٘ :
.‫ػغ‬ٌٛ‫ا‬ ٚ‫ا‬ ‫ش‬١١‫اٌزخ‬ ٚ‫ا‬ ‫ثبإللزؼبء‬
Hukum syara‟ adalah seruan / firman dari As Syari‟ (Allah
sebagai Pembuat Hukum) yang terkait dengan perbuatan-
perbuatan hamba, baik berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau
penetapan sesuatu sebagai pengatur hukum. (M. Husain
Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 219; Atha bin Khalil,
Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 9)
Definisi lain :
ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬
ٓ١‫اٌّىٍف‬ ‫ثؤفؼبي‬ ‫اٌّزؼٍك‬ ‫هللا‬ ‫خطبة‬ ٛ٘ :
.‫ػغ‬ٌٛ‫ا‬ ٚ‫ا‬ ‫ش‬١١‫اٌزخ‬ ٚ‫ا‬ ‫ثبإللزؼبء‬
Hukum syara‟ adalah seruan / firman dari Allah yang terkait
dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf, baik berupa tuntutan,
pemberian pilihan, atau penetapan sesuatu sebagai pengatur
hokum.
(Lihat: Wahbah Az Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz I hlm.
38.)
18
Penjelasan definisi :
‫اٌشبسع‬
.‫بط‬١‫اٌم‬ٚ ‫اٌظذبثخ‬ ‫اجّبع‬ٚ ‫خ‬ّٕ‫اٌغ‬ٚ ْ‫اٌمشآ‬ ٛ٘ :
: ‫اٌشبسع‬ ‫خطبة‬
ٟ‫ف‬ ‫ت‬١‫اٌزشاو‬ٚ ‫األٌفبظ‬ ‫ب‬ٙ‫رؼّٕز‬ ٟ‫اٌز‬ ٟٔ‫اٌّؼب‬
)‫بط‬١‫اٌم‬ٚ ‫اٌظذبثخ‬ ‫اجّبع‬ٚ ‫خ‬ّٕ‫اٌغ‬ٚ ْ‫(اٌمشآ‬ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ ‫ص‬ٛ‫إٌظ‬
‫اٌؼجبد‬
ُ١‫ز‬١ٌ‫ا‬ٚ ْٕٛ‫اٌّج‬ٚ ّٟ‫اٌظج‬ٚ ‫ف‬ٍَّ‫اٌّى‬ ُٙ١‫ف‬ ‫ثّب‬ ‫إٌبط‬ :
.ُ٘‫ش‬١‫غ‬ٚ
‫اإللزؼبء‬
‫اٌطٍت‬ :
–
.ً‫فؼ‬ ‫ؽٍت‬ ٚ‫ا‬ ‫رشن‬ ‫ؽٍت‬ ْ‫وب‬ ‫اء‬ٛ‫ع‬ ‫ؽٍت‬ ٞ‫أ‬
‫ش‬١١‫اٌزخ‬
‫اإلثبدخ‬ :
-
ً‫فؼ‬٠ ‫ال‬ ٚ‫ا‬ ً‫فؼ‬٠ ْ‫ا‬ ‫ٌٍّىٍف‬ ‫أجبص‬ ٞ‫أ‬
.
‫ػغ‬ٌٛ‫ا‬
ُ‫اٌذى‬ ٟ‫ف‬ ٓ٠‫أِش‬ ٓ١‫ث‬ ‫سثؾ‬ ‫لذ‬ ‫اٌشبسع‬ ْٛ‫ى‬٠ ْ‫أ‬ :
–
ٟ٘
َ‫األدىب‬ َ‫أدىب‬
–
ْ‫وب‬ ‫ِب‬ٚ ً‫ب‬‫ِبٔؼ‬ ْ‫وب‬ ‫ِب‬ٚ ً‫ب‬‫عجج‬ ْ‫وب‬ ‫ِب‬ ًّ‫ش‬ ‫لذ‬ٚ
‫ف‬ ٚ‫ا‬ ً‫ال‬‫ثبؽ‬ ٚ‫أ‬ ً‫ب‬‫ذ‬١‫طذ‬ ْ‫وب‬ ‫ِب‬ٚ ً‫ب‬‫ششؽ‬
ٚ‫ا‬ ً‫خ‬‫سخظ‬ ْ‫وب‬ ‫ِب‬ٚ ً‫ا‬‫بعذ‬
.‫ّخ‬٠‫ػض‬
‫ص‬ ،‫اجب‬ٛ‫اٌخ‬ ‫صبثذ‬ ،ٖ‫ِظبدس‬ٚ ِٗ‫ألغب‬ ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬ : ‫أٔظش‬
9
–
11
ٟ‫ف‬ ‫اػخ‬ٌٛ‫ا‬ ،
‫ص‬ ،‫هللا‬ ‫ػجذ‬ ٓ١‫دغ‬ ‫ِذّذ‬ ،ٗ‫اٌفم‬ ‫ي‬ٛ‫أط‬
221
19
HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH‟I
Dari definisi hukum syara‟ yang terpilih, yaitu :
ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬
‫اٌشبسع‬ ‫خطبة‬ ٛ٘ :
‫اٌؼجبد‬ ‫ثؤفؼبي‬ ‫اٌّزؼٍك‬
.‫ػغ‬ٌٛ‫ا‬ ٚ‫ا‬ ‫ش‬١١‫اٌزخ‬ ٚ‫ا‬ ‫ثبإللزؼبء‬
Maka hukum syara‟ itu ada dua bagian :
Pertama, hukum taklifi, yaitu hukum untuk mengatur perbuatan
manusia, dengan hukum berupa tuntutan (thalab) dan pemberian
pilihan (takhyir).
Kedua, hukum wadh‟i, yaitu hukum untuk mengatur hukum
taklifi itu.
Hukum taklifi, meliputi :
(1) Tuntutan tegas (thalab jazim), yaitu haram dan wajib.
(2) Tuntutan tidak tegas (thalab ghairu jazim), yaitu sunnah
(mandub) dan makruh.
(3) Pemberian pilihan (takhyir), yaitu mubah.
Hukum wadh‟i, meliputi sebab, syarat, mani‟, azimah – rukhsah,
serta sah – batal – fasad.
(Lihat: Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 9)
20
PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH‟I
Terdapat dua perbedaan utama :
(1) Hukum taklifi merupakan hukum yang langsung mengatur
perbuatan manusia, contoh : sholat hukumnya wajib (hukum
taklifi). Sedang hukum wadh‟i, hukum yang mengatur
perbuatan manusia secara tidak langsung, contoh : Wudhu
adalah syarat sholat (hukum wadh‟i)
(2) Hukum taklifi berada dalam kuasa mukallaf (maqdur lil
mukallaf), misalnya: wudhu sebagai syarat sholat, mencuri
sebagai sebab hukum potong tangan, dll. Sedang hukum
wadh‟i, kadang dalam kuasa mukallaf seperti wudhu sbg
syarat sholat dan kadang tidak berada dalam kuasa manusia
seperti tergelincirnya matahari sebagai sebab sholat zhuhur
(QS Al Isra` : 78). (Lihat: M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 249-250).
PENGERTIAN RUKUN-RUKUN HUKUM SYARA‟
Yang dimaksud pembahasan Rukun-Rukun Hukum Syara‟
(Arkan al hukm as syar‟i) adalah pembahasan tentang :
(1) Al Haakim, yaitu siapa yang berhak membuat hukum;
apakah Allah SWT ataukah manusia?
21
(2) Al Mahkum „alaihi, yaitu membahas siapa yang menjadi
objek hukum (mukallaf).
(3) Al Mahkum fiihi, yaitu membahas apa yang dihukumi
(perbuatan manusia).
AL HAAKIM
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul, bahwa
al haakim hanyalah Allah SWT, bukan manusia.
Note : inilah perbedaan mendasar Islam dengan demokrasi, yang
menetapkan manusia sebagai pembuat hukum. Itulah yang
disebut prinsip kedaulatan di tangan rakyat (the soreignty
belongs to the people). Prinsip ini bertentangan dengan Aqidah
Islam (QS Al An‟aam : 57).
Para ulama menetapkan bahwa al haakim hanyalah Allah SWT,
berdasarkan dua dalil :
Pertama, dalil akli, yaitu pembuktian berdasarkan akal bahwa
manusia tidak mungkin mampu menetapkan hukum untuk
mengatur manusia itu sendiri.
Kedua, dalil naqli, yaitu dalil-dalil nash Al Qur`an atau As
Sunnah yang mewajibkan manusia berhukum dengan hukum
22
Allah, atau yang mengharamkan manusia berhukum dengan
selain hukum Allah.
Bahwasanya manusia mempunyai jangkauan akal yang
terbatas. Akal manusia hanya mampu menjangkau fakta yang
dapat diindera (al waqi‟ al mahsus). Definisi akal: “Proses
pemindahan penginderaan terhadap fakta ke dalam otak melalui
panca indera, yang kemudian ditafsirkan dengan pengetahuan
sebelumnya.” (Lihat kitab At Tafkir karya Taqiyuddin An
Nabhani). Berdasarkan definisi itu, maka akal manusia tidak
mungkin menjangkau suatu perbuatan dipuji Allah atau dicela
Allah. Bahwa sholat itu dipuji Allah, tidak dapat dijangkau oleh
akal manusia. Bahwa zina itu dicela Allah, juga tidak dapat
dijangkau oleh akal manusia. Pujian dan celaan Allah hanya
dapat diketahui lewat wahyu, tak mungkin diketahui oleh akal
secara langsung.
Banyak sekali nash Al Qur`an atau As Sunnah yang
mewajibkan manusia berhukum dengan hukum Allah, atau yang
mengharamkan manusia berhukum dengan selain hukum Allah.
QS An Nisaa` : 59, 65; An Nuur : 63, QS Al An‟aam : 57; dll.
Sabda Rasulullah SAW, ”Barangsiapa melakukan perbuatan
yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu
tertolak.” (HR Muslim).
23
AL MAHKUM ALAIHI
Mahkum alaihi adalah : orang yang perbuatannya terkait dengan
Khitaabus Syaari‟. Disebut dengan istilah : mukallaf. Mukallaf
sesungguhnya adalah seluruh manusia. Sebab Islam (baik aqidah
maupun syariahnya) adalah risalah untuk seluruh manusia tanpa
kecuali. Lihat QS Al A‟raaf : 158; Saba` : 28.
Syarat Mukallaf ada dua :
(1) Syarat umum mukallaf, maksudnya tidak ada bedanya untuk
muslim mapun kafir, yaitu ada 3 syarat : berakal, baligh, dan
mampu.
(2) Syarat khusus mukallaf, yaitu keislaman seseorang, missal:
untuk perbuatan-perbuatan tertentu yang ditetapkan syara‟ ,
spt shalat, dll.
AL MAHKUM FIHI
Mahkum fiihi adalah : apa-apa yang terkait dengan Khithaabus
Syari‟. Apa-apa yang terkait dengan Khitaabus Syari‟ adalah :
perbuatan manusia. (af‟aal). Juga benda-benda yang digunakan
manusia dalam memenuhi kebutuhannya (asy-yaa`).
24
BAB IV
HUKUM TAKLIFI
POKOK BAHASAN
(1) MACAM-MACAM HUKUM TAKLIFI :
 Definisi 5 macam Hukum Taklifi dan Contohnya
 Catatan Tentang Wajib, Mandub, Mubah, Makruh,
Haram
(2) QARINAH DAN MACAM-MACAMNYA :
 Pengertian Qarinah
 Macam-macam Qarinah
DEFINISI LIMA MACAM HUKUM TAKLIFI
1
.
‫اٌشبسع‬ ‫ؽٍت‬ ‫ِب‬ ٛ٘ )‫(اٌفشع‬ ‫اجت‬ٌٛ‫ا‬
‫جبصِب‬ ‫ؽٍجب‬ ٍٗ‫فؼ‬ ٗ١‫ف‬
‫اٌضوبح‬ ٚ ‫اٌظالح‬ : ً‫ِض‬
2
.
‫(اٌغٕخ‬ ‫ة‬ٚ‫إٌّذ‬
‫ِب‬ ٛ٘ )‫ع‬ٛ‫اٌزط‬ ٚ‫أ‬ ‫اٌّغزذت‬ ٚ‫أ‬ ‫إٌبفٍخ‬ ٚ‫أ‬
َ‫جبص‬ ‫ش‬١‫غ‬ ‫ؽٍجب‬ ٍٗ‫فؼ‬ ٗ١‫ف‬ ‫اٌشبسع‬ ‫ؽٍت‬
‫اٌظذلخ‬ : ً‫ِض‬
25
3
.
ٗ‫رشو‬ ٗ١‫ف‬ ‫اٌشبسع‬ ‫ؽٍت‬ ‫ِب‬ ٛ٘ )‫اٌذظش‬ ٚ‫أ‬ ‫س‬ٛ‫(اٌّذظ‬ َ‫اٌذشا‬
ِ‫جبص‬ ‫ؽٍجب‬
‫ب‬
.
ٚ ‫اٌشثب‬ : ً‫ِض‬
‫اٌضٔب‬
4
.
َ‫جبص‬ ‫ش‬١‫غ‬ ‫ؽٍجب‬ ٗ‫رشو‬ ٗ١‫ف‬ ‫اٌشبسع‬ ‫ؽٍت‬ ‫ِب‬ ٛ٘ ٖٚ‫اٌّىش‬
‫اٌّذشِبد‬ ٚ ‫ثبٌٕجبعبد‬ ٞٚ‫اٌزذا‬ ٚ َ‫اٌذّب‬ ٟ‫ف‬ ‫ش‬٠‫اٌذذ‬ : ً‫ِض‬
5
.
‫اٌزشن‬ٚ ً‫اٌفؼ‬ ٓ١‫ث‬ ٗ١‫ف‬ ‫اٌشبسع‬ ‫ش‬١‫خ‬ ‫ِب‬ ٛ٘ ‫اٌّجبح‬
‫ح‬ٛٙ‫اٌم‬ٚ ٞ‫اٌشب‬ٚ ‫اٌّبء‬ ‫ششة‬ : ً‫ِض‬
(M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 221)
CATATAN TENTANG WAJIB
1) Wajib dan Fardhu menurut jumhur ulama (selain ulama
mazhab Hanafi) artinya sama. Menurut ulama Hanafiyah,
fardhu adalah apa-apa yang ditetapkan berdasarkan dalil
qath‟i (qath‟i tsubut dan qath‟i dalalah), seperti zakat.
Sedangkan wajib, adalah apa-apa yang ditetapkan
berdasarkan dalil zhanni, seperti zakat fitrah.
2) Wajib atau Fardhu dapat juga didefinisikan apa-apa yang
diberi pahala atau dipuji bagi yang melaksanakannya dan
yang akan disiksa dan dicela bagi yang meninggalkannya.
26
3) Macam-macam wajib menurut waktu pelaksanaannya :
Wajib mutlak = waktunya tidak tertentu. Misal : membayar
kaffarah atau nadzar yang bersifat mutlak, mengqadha puasa
Ramadhan (menurut Hanafiyah). Wajib muqayyad=waktunya
sudah tertentu, misal : sholat lima waktu, puasa Ramadhan,
dsb. Wajib muqayyad dibagi lagi menjadi dua:
a. Wajib muwassa‟ = yaitu kewajiban pada waktu tertentu
tapi masih memungkinkan mengerjakan yang semisalnya,
misal sholat zhuhur.
b. Wajib mudhayyaq = kewajiban pada waktu tertentu tapi
tidak memungkinkan mengerjakan yang semisalnya,
misal puasa Ramadhan
4) Pembagian wajib berdasarkan tertentu tidaknya kewajiban:
Wajib mu‟ayyan = yaitu kewajiban yang sudah tertentu dan
tak bisa digantikan yang lain, misal ; sholat lima waktu, tak
bisa digantikan dengan qiraatul Qur`an. Wajib mukhayyar
atau wajib ghair mu‟ayyan = yaitu kewajiban yang tidak
tertentu dan bisa digantikan yang lain, misal : kaffarah
melanggar sumpah (QS Al Maidah : 89).
27
5) Pembagian wajib berdasarkan mukallaf pelakunya :
Wajib „ain = yaitu kewajiban yang berlaku untuk setiap
mukallaf, bukan sebagian saja dari mukallaf, misal ; sholat
lima waktu, puasa ramadhan, dll. Wajib kifayah = yaitu
kewajiban yang jika sudah dilaksanakan oleh sebagian, gugur
kewajiban sebagian lainnya yang tidak mengerjakan, misal :
sholat jenazah.
6) Pembagian wajib berdasarkan penetapan kadarnya :
Wajib muhaddadul miqdar = yaitu kewajiban yang sudah
ditetapkan kadarnya atau ukurannya, misalnya sholat lima
waktu, sudah ditetapkan jumlah rekaatnya, dll. Wajib ghair
muhaddad al miqdar = yaitu kewajiban yang tidak ditetapkan
kadarnya atau ukurannya, misal : infaq fi sabilillah (jihad),
kadar nafkah.
Kaidah : Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa waajib.
Artinya : sesuatu dapat menjadi wajib jika tanpa sesuatu itu akan
mengakibatkan suatu kewajiban tidak terlaksana. Misal : belajar
bahasa Arab wajib, karena tak mungkin memahami Al Qur`an
dengan sempurna kecuali dengan bahasa Arab.
28
Misal : menegakkan Khilafah wajib, karena tak mungkin
menerapkan syariah secara kaffah kecuali dalam negara
Khilafah.
CATATAN TENTANG MANDUB
Mandub dapat juga didefinisikan apa-apa yang pelakunya dipuji
dan diberi pahala dan tidak dicela bagi yang tidak melakukannya.
Istilah lain dari mandub : sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu‟.
Walaupun tidak wajib, tapi muslim dianjurkan memperbanyak
yang mandub. Hikmah mengerjakan yang mandub, atara lain
menghapus dosa (QS Huud : 114).
Ada kalanya suatu perbuatan mandub bagi orang per orang, tapi
wajib bagi umat secara keseluruhan, seperti nikah.
CATATAN TENTANG HARAM
Haram dapat juga didefinisikan apa-apa yang pelakunya dicela
dan berhak mendapat siksa serta bagi yang meninggalkannya
mendapat pahala. Istilah lain dari haram : mahzhuur, atau hazhar.
Pembagian haram :
(1) Haram li dzatihi : yaitu haram pada sesuatu itu sendiri,
seperti zina, minum khamr.
29
(2) Haram li ghairihi : yaitu haram bukan pada dirinya sendiri,
tapi karena ada illat syar‟iyah yang mengharamkannya.
Misal : jual beli saat adzan jumat.
Kaidah : al Wasilah ila al harami haram.
Artinya : segala perantaraan, baik berupa perbuatan atau benda,
yang hukum asalnya tidak haram, menjadi haram jika diduga
kuat akan mengantarkan kepada yg haram, misal : menyewakan
kamar bagi PSK, menjual anggur bagi pembuat khamr, dll.
CATATAN TENTANG MAKRUH
Makruh merupakan perbuatan yang jika ditinggalkan akan
mendapat pahala dan tidak disiksa jika dikerjakan. Contoh :
idho‟atul maal (boros).
Menurut ulama Hanafiyah, makruh ada dua :
(1) Makruh tahriim = yaitu makruh yang pelakunya berhak
mendapat siksa.
(2) Makruh tanziih = yaitu makruh yang pelakunya tidak
mendapat siksa.
Jumhur ulama menetapkan bahwa perbuatan yang berhak
mendapat siksa lebih tepat digolongkan kepada haram, bukan
makruh.
30
CATATAN TENTANG MUBAH
Mubah itu bukan berarti sesuatu yang tidak ada dalilnya,
melainkan ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu
mubah. Kaidah tentang benda berbunyi : al Ashlu fil asy-yaa` al
ibaahah maa lam yarid dalil at tahrim. Artinya : Hukum asal
mengenai benda-benda adalah boleh, selama tak terdapat dalil
yang mengharamkan.
Kaidah tentang perbuatan berbunyi : al Ashlu fil af‟aal at
taqayyudu bil hukmis syar‟i. Artinya : hukum asal perbuatan
adalah terikat dengan hukum syara‟. Maksud dari kaidah ini,
bahwa setiap perbuatan manusia pasti ada hukumnya dalam
syariah Islam Sehingga tidak boleh seorang muslim melakukan
suatu perbuatan, kecuali setelah dia mengetahui hukumnya,
apakah itu wajib, mandub, mubah, makruh, atau haram. Tanda
mengamalkan kaidah tersebut, adalah bertanya hukum sebelum
berbuat.
31
PENGERTIAN QARINAH
Qarinah (‫ٕخ‬٠‫اٌمش‬) dalam bahasa Arab berasal dari kata qarana,
yang artinya jama‟a (menggabungkan atau mengumpulkan) atau
shaahaba (membarengi atau membersamai). Jadi qarinah
menurut pengertian bahasa Arab artinya adalah sesuatu yang
berkumpul atau membarengi sesuatu yang lain. („Atha bin
Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19; Nazar Ma‟ruf
Muhammad Jan Bantan, Al Qara`in wa Ahammiyatuhaa fi Bayan
Al Murad min Al Khithab „Inda Al Ushuliyyin wa Al Fuqoha,
klm. 31-32).
Adapun menurut istilah ushul fiqih, qarinah adalah setiap apa-
apa yang memperjelas jenis tuntutan dan menentukan makna
tuntutan itu jika dia digabungkan atau dibarengkan dengan
tuntutan tersebut ( ‫ِب‬ ‫ارا‬ ٖ‫ِؼٕب‬ ‫ذذد‬٠ ٚ ‫اٌطٍت‬ ‫ع‬ٛٔ ٓ١‫ج‬٠ ‫ِب‬ ً‫و‬
ٗ‫طبدج‬ ٚ ٗ١ٌ‫ا‬ ‫جّغ‬). („Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al
Ushul, hlm. 19).
Qarinah ini tak dapat dilepaskan dari kaidah ushul fiqih (qa‟idah
ushuliyah) yang berbunyi : al ashlu fi ma‟na al amr at thalab
(asal dari makna perintah adalah tuntutan). Artinya, jika terdapat
32
perintah (amr) dalam Al Qur`an atau As Sunnah, maka
pengertian dasar dari amr itu adalah tuntutan (thalab). Yang
menentukan jenis amr itu, apakah berupa amr yang jazm (tegas),
atau amr yang ghair jazm (tidak tegas), atau amr yang berupa
takhyir (piliihan), adalah qarinah .(„Atha bin Khalil, Taysir
Wushul Ila Al Ushul, hlm. 13).
MACAM-MACAM QARINAH
Menurut Syaikh „Atha bin Khalil dalam kitab beliau, Taysir
Wushul Ila Al Ushul terdapat 3 (tiga) macam qarinah, yaitu :
1. Qarinah yang menunjukkan jazim (hukum tegas), baik yang
menunjukkan hukum haram maupun hukum wajib.
2. Qarinah yang menunjukkan ghair jazim (hukum tidak tegas),
baik yang menunjukkan hukum mandub (sunnah) maupun
hukum makruh.
3. Qarinah yang menunjukkan istiwa` (hukum mubah), yaitu
qarinah yang menunjukkan kesamaan antara tuntutan
mengerjakan dengan tuntutan meninggalkan perbuatan.
(„Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19-28).
33
QARINAH YANG MENUNJUKKAN JAZIM
Qarinah yang menunjukkan jazm adalah qarinah yang
menunjukkan hukum wajib atau haram. Qarinah ini banyak
bentuknya. Antara lain adanya siksaan/hukuman di dunia atau di
akhirat, atau yang semakna dengan itu misalnya celaan keras,
terhadap suatu perbuatan yang dikerjakan, ataupun perbuatan
yang tidak dikerjakan.
CONTOH 1 : Qarinah yang menjelaskan adanya hukuman untuk
perbuatan yang dikerjakan, misalnya hukum potong tangan bagi
pencuri. Adanya hukuman yang berat untuk perbuatan mencuri
ini, merupakan qarinah bahwa perbuatan mencuri itu hukumnya
haram. Firman Allah SWT :
ُ‫خ‬َ‫ل‬ِ‫َّبس‬‫غ‬ٌ‫ا‬َٚ ُ‫ق‬ِ‫َّبس‬‫غ‬ٌ‫ا‬ َٚ
ِ َّ
‫هللا‬ َِِٓ ً‫ال‬‫ىب‬َٔ ‫جب‬َ‫غ‬َ‫و‬ ‫ّب‬ِ‫ث‬ ً‫ء‬‫ضا‬َ‫ج‬ ‫ُّب‬َٙ٠ِ‫ذ‬ْ٠َ‫أ‬ ‫ا‬ُٛ‫ؼ‬َ‫ط‬ْ‫ل‬‫ب‬َ‫ف‬
ُ َّ
‫هللا‬َٚ
ٌُ١ِ‫ى‬َ‫د‬ ٌ‫ض‬٠ِ‫َض‬‫ػ‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Maidah [5] : 38).
34
CONTOH 2 : Qarinah yang menjelaskan adanya hukuman untuk
perbuatan yang tidak dikerjakan, misalnya siksaan di neraka
Saqar bagi orang yang tidak sholat. Adanya ancaman siksaan
ini, merupakan qarinah bahwa mengerjakan sholat hukumnya
wajib. Misalkan firman Allah SWT ( ‫اٌظالح‬ ‫ا‬ّٛ١‫أل‬) (QS An
Nuur : 56). Ini adalah tuntutan (thalab) kepada muslim untuk
sholat. Tuntutan ini ternyata disertai qarinah-qarinah yang
bersifat jazm (tegas), yaitu adanya ancaman siksa neraka bagi
yang tak sholat. Ini berarti sholat itu hukumnya wajib.
Qarinah itu antara lain firman Allah SWT :
ٓ١ٍ‫اٌّظ‬ ِٓ ‫ٔه‬ ٌُ ‫ا‬ٌٛ‫لب‬ ‫عمش‬ ٟ‫ف‬ ُ‫عٍىى‬ ‫ِب‬
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?”
Mereka menjawab,”Kami dulu tidak termasuk orang-orang yang
mengerjakan shalat.” (QS Al Muddatstsir [74] : 42-43).
CONTOH 3 : Qarinah yang berupa celaan yang keras terhadap
perbuatan yang tidak dilakukan. Misalnya predikat mati jahiliyah
bagi yang tidak mempunyai baiat kepada khalifah. Qarinah ini
menunjukkan bahwa baiat kepada seorang khalifah hukumnya
wajib. Sabda Rasulullah SAW :
‫خ‬١ٍ٘‫جب‬ ‫زخ‬١ِ ‫ِبد‬ ‫ؼخ‬١‫ث‬ ٗ‫ػٕم‬ ٟ‫ف‬ ‫ظ‬١ٌٚ ‫ِبد‬ ِٓ
35
“Barangsiapa mati sedang di lehernya tidak ada baiat (kepada
seorang imam / khalifah) maka matinya mati jahiliyah.” (HR
Muslim).
CONTOH 4 : Qarinah yang berupa celaan yang keras terhadap
perbuatan yang dilakukan, misal firman Allah SWT :
‫ال‬١‫عج‬ ‫عبء‬ٚ ‫فبدشخ‬ ْ‫وب‬ ٗٔ‫ا‬ ‫اٌضٔب‬ ‫ا‬ٛ‫رمشث‬ ‫ال‬ٚ
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
(QS Al Isra` [17] : 32).
Ayat tersebut mengandung tuntutan (thalab), yaitu tuntutan
untuk meninggalkan perbuatan zina (wa laa taqrabuz zina). Pada
nash yg sama, terdapat qarinah berupa celaan keras bagi yg
berzina, maka zina hukumnya haram (innahu kaana fahisyatan
wa saa`a sabiila).
QARINAH YANG MENUNJUKKAN TIDAK JAZIM
Qarinah yang menunjukkan tidak jazim adalah qarinah yang
menunjukkan hukum mandub (sunnah) atau makruh. Qarinah ini
juga banyak bentuknya. Antara lain, adanya nash yang
menunjukkan tarjih, yaitu melakukannya lebih dikuatkan
36
daripada tak melakukannya, tetapi kosong dari qarinah-qarinah
yang menunjukkan jazm.
CONTOH 1 : Misal sabda Rasulullah SAW :
‫طذلخ‬ ‫ه‬١‫أخ‬ ٗ‫ج‬ٚ ٟ‫ف‬ ‫رجغّه‬
“Senyummu di hadapan saudaramu, adalah sedekah.” (HR
Tirmidzi).
Hadits tersebut menunjukkan adanya tarjih, yaitu
tersenyum itu lebih dikuatkan daripada tidak tersenyum, karena
ada pujian bahwa senyum kepada sesama muslim itu adalah
sedekah. Tapi nash ini tidak disertai qarinah yang menunjukkan
jazm, misalnya yang tidak tersenyum akan mati jahiliyah, atau
dianggap melakukan perbuatan keji, dsb. Maka tersenyum pada
saat berjumpa dengan sesama muslim hukumnya adalah sunnah
(mandub), bukan wajib.
Bentuk qarinah ghairu jazm lainnya adalah adanya larangan, tapi
masih ada toleransi bagi yang melakukannya.
CONTOH 2 : sabda Nabi SAW :
‫ِٕب‬ ‫ظ‬١ٍ‫ف‬ ‫ٕىخ‬٠ ٌُٚ ‫عشا‬ِٛ ْ‫وب‬ ِٓ
37
“Barangsiapa sudah mampu menikah tapi dia tidak menikah,
maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR Bukhari, Muslim,
dll)
Hadits tersebut berisi tuntutan untuk meninggalkan hidup
membujang bagi yang sudah mampu menikah. Sebab Nabi SAW
memberi predikat orang seperti itu sebagai orang yang “bukan
golongan kami”. Tapi Nabi SAW telah membiarkan sebagian
shahabatnya tidak menikah, padahal sudah mampu menikah.
Diamnya Nabi SAW ini merupakan qarinah bahwa larangan
hidup membujang bagi yang sudah mampu menikah adalah
larangan makruh, bukan larangan haram.
CONTOH 3 : terdapat larangan berobat dengan sesuatu yang
najis atau haram, sabda nabi SAW :
ً‫ء‬‫ا‬ََٚ‫د‬ ٍ‫ء‬‫َا‬‫د‬ ًُِّ‫ى‬ٌِ ًََ‫ؼ‬َ‫ج‬َٚ َ‫ء‬‫ا‬َٚ‫اٌذ‬َٚ َ‫ء‬‫اٌذا‬ َ‫ي‬َ‫ض‬َْٔ‫أ‬ َ ّ
‫هللا‬ ِْ‫ا‬
َ‫ال‬َٚ ‫ا‬َْٚٚ‫َا‬‫ذ‬َ‫ز‬َ‫ف‬ ،
ٍَ‫ا‬َ‫ش‬َ‫ذ‬ِ‫ث‬ ‫ا‬َْٚٚ‫َا‬‫ذ‬َ‫ر‬
"Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit dan
obatnya, dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit.
Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan
sesuatu yang haram." (HR Abu Dawud, no 3376).
38
Tapi Nabi SAW membolehkan orang-orang suku 'Ukl dan
Urainah yang sakit untuk meminum air susu unta dan air kencing
unta. (Sahih Bukhari, no 226). Dalam Musnad Imam Ahmad,
Nabi SAW pernah memberi rukhshash (keringanan) kepada
Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk
mengenakan sutera karena keduanya menderita penyakit kulit.
(HR Ahmad, no. 13178). Kedua hadis ini adalah qarinah, bahwa
berobat dengan sesuatu yang najis (spt air kencing unta), dan
sesuatu yang haram (spt sutera) bukanlah haram, melainkan
makruh.
QARINAH YANG MENUNJUKKAN ISTIWA` (MUBAH)
Qarinah yang menunjukkan istiwa‟, adalah qarinah yang
menunjukkan kedudukan yang sama (istiwa`) antara
mengerjakan dan tidak mengerjakan. Dengan kata lain, qarinah
yang menunjukkan istiwa` adalah qarinah yang menunjukkan
MUBAH.
Qarinah ini banyak bentuknya. Misalnya adanya perintah
setelah larangan, yang dirumuskan dalam kaidah ushuliyah yang
berbunyi Al Amru ba‟da an nahyi yufiidul ibaahah (perintah
setelah larangan menunjukkan hukum mubah).
39
Misalnya perintah berburu binatang setelah adanya larangan
berburu bagi yang berihram, jika jamaah haji sudah melakukan
tahallul. Allah SWT berfirman :
‫ا‬ٚ‫فبططبد‬ ُ‫دٍٍز‬ ‫ارا‬ٚ
“Dan apabila kamu sudah menyelesaikan ibadah haji
(bertahallul), maka berburulah.” (QS Al Maaidah [5] : 2).
Perintah untuk berburu ini bukanlah berarti perintah
wajib, namun sekedar kebolehan berburu. karena sebelum selesai
beribadah haji, jamaah haji diharamkan untuk berburu. Yang
semisal itu adalah perintah untuk bertebaran di muka bumi
(intisyar fi al ardhi), seperti berjual beli (QS Al Jumuah : 10),
setelah sebelumnya ada larangan jual beli pada saat sholat Jumat
(QS Al Jumuah : 9). Perintah itu bukan berarti perintah wajib,
melainkan sekedar boleh.
Seperti itu pula adalah perintah untuk menggauli isteri
setelah isteri selesai dari haid (QS Al Baqarah : 222), setelah
sebelumnya ada larangan menggauli isteri pada saat haid (QS Al
Baqarah : 222). Perintah untuk menggauli isteri pasca haid juga
bukan perintah wajib atas suami, melainkan sekedar boleh.
40
BAB V
HUKUM WADH’I
POKOK BAHASAN
Macam-Macam Hukum Wadh‟i
(a) Sebab
(b) Syarat
(c) Mani‟
(d) Azimah & Rukhshah
(e) Sah, Batal, Fasad
PENGERTIAN HUKUM WADH‟I
ٞ‫أ‬ .ُ‫اٌذى‬ ٟ‫ف‬ ٓ٠‫أِش‬ ٓ١‫ث‬ ‫سثؾ‬ ‫لذ‬ ‫اٌشبسع‬ ْٛ‫ى‬٠ ْ‫ا‬ ٛ٘ٚ :ٗ‫ف‬٠‫رؼش‬
َ‫أدىب‬ ٟ٘
.َ‫األدىب‬
Definisinya : hukum di mana as Syari‟ (Allah SWT Sebagai
Pembuat Hukum) telah mengaitkan dua perkara di dalam satu
hukum. Artinya, hukum wadh‟i adalah hukum-hukum yang
mengatur hukum. (Tasbit Al Khawaja, Al Hukmus Syar‟i,
Aqsamuhu wa Mashadiruhu, hlm. 16.)
41
DEFINISI SEBAB
‫اٌغجت‬
ٟ‫اٌغّؼ‬ ً١ٌ‫اٌذ‬ ّ‫ي‬‫د‬ ٞ‫اٌز‬ ‫إٌّؼجؾ‬ ‫اٌظب٘ش‬ ‫طف‬ٌٛ‫ا‬ ٛ٘
‫غ‬٠‫ٌزشش‬ ‫ال‬ ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٌٛ ً‫ب‬‫ف‬ِّ‫ش‬‫ِؼ‬ ٚ‫ا‬ ً‫خ‬ِ‫ػال‬ ٗٔٛ‫و‬ ٍٝ‫ػ‬
.ِٗ‫ػذ‬ ِٗ‫ػذ‬ ِٓ َ‫ٍض‬٠ٚ ‫َّت‬‫ج‬‫اٌّغ‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ٖ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ِٓ َ‫ٍض‬٠ٚ ُ‫اٌذى‬
Sebab adalah sifat yg jelas dan konsisten yg ditunjukkan oleh
dalil sam‟i bhw sifat itu adalah tanda atau pengenal adanya
hukum (bukan tanda disyariatkannya hukum). Keberadaan sebab
memastikan adanya musabab (akibat hukum), dan tiadanya sebab
memastikan tiadanya musabab.
.ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ٍٝ‫ػ‬ ‫رذي‬ ‫أِبسح‬ ٛ٘ ٚ‫أ‬
Atau ringkasnya, sebab itu adalah tanda akan adanya suatu
hukum syara‟. Contoh :
(1) Sebab adanya sholat zhuhur, adalah tergelincirnya matahari
(dulukis syamsi). (QS 17 : 78)
(2) Sebab adanya puasa Ramadhan adalah rukyatul hilal
(menyaksikan bulan sabit). (HR Muslim dll)
TANBIH (WARNING) : Tanda (dalil) wajibnya sholat/puasa
BUKAN tanda adanya sholat/puasa.
42
CONTOH SEBAB
Contoh-contoh sebab dan musabab (akibat hukumnya) :
DEFINISI SYARAT
‫اٌششؽ‬
ِٓ َ‫ٍض‬٠ٚ ،ُ‫اٌذى‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ٗ١ٍ‫ػ‬ ‫لف‬ٛ‫ز‬٠ ٞ‫اٌز‬ ‫األِش‬ ٛ٘
َ‫ٍض‬٠ ‫ال‬ٚ ،ُ‫اٌذى‬ َ‫ػذ‬ ِٗ‫ػذ‬
.ُ‫اٌذى‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ٖ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ِٓ
Syarat adalah perkara yang kepadanya bergantung hukum.
Ketiadaan syarat memastikan ketiadaan hukum, tapi keberadaan
syarat tidak memastikan keberadaan hokum, missal : wudhu
adalah syarat sholat, tanpa wudhu tak akan ada sholat tapi adanya
wudhu tak memastikan adanya sholat. Contoh syarat dan
masyruuth (hukum yang memerlukan syarat itu) sebagai berikut:
43
DEFINISI MANI‟
‫اٌّبٔغ‬
ْ‫ثطال‬ ٚ‫ا‬ ُ‫اٌذى‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ َ‫ػذ‬ ٖ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ِٓ َ‫ٍض‬٠ ‫ِب‬ ٛ٘
.‫اٌغجت‬
Mani‟ adalah apa-apa yang keberadaannya memastikan tiadanya
hukum, atau memastikan batalnya sebab. Mani‟ adalah kebalikan
dari sebab. Contoh : haid dan nifas adalah mani‟ dilakukannya
sholat bagi wanita. Hilangnya akal (tidur / gila) adalah mani‟
dilakukannya sholat, puasa, dll.
MACAM-MACAM MANI‟
Mani‟ ada 2 (dua) macam :
(1) Mani‟ yang tidak dapat bertemu dengan tholab (tuntutan
untuk melaksanakan suatu hukum syara‟). Disebut mani‟ min
44
ath thalab wa al ada`. Artinya, mencegah dari tuntutan dan
pelaksanaan hukum. Contohnya adalah haid & nifas adalah
mani‟ dilakukannya sholat bagi wanita. Artinya, pada saat
sedang haid atau nifas, wanita haram untuk sholat.
(2) Mani‟ yang dapat bertemu dengan tholab (tuntutan untuk
melaksanakan suatu hukum syara‟). Disebut mani‟ min ath
thalab laa min al ada`. Artinya, mencegah dari tuntutan, tapi
tak mencegah pelaksanaan hukum. Contohnya, keadaan jenis
kelamin perempuan adalah mani‟ (pencegah) dilakukannya
sholat Jumat bagi wanita. Tapi kalau wanita mau sholat
Jumat, sah dan tidak dilarang. Contoh lain : kondisi belum
baligh terkait kewajiban sholat dan puasa.
CONTOH MANI‟
45
DEFINISI AZIMAH
‫ّخ‬٠‫اٌؼض‬
ًّ‫ثبٌؼ‬ ‫اٌؼجذ‬ َ‫أٌض‬ٚ ً‫ب‬ِ‫ػب‬ ً‫ب‬‫ؼ‬٠‫رشش‬ َ‫األدىب‬ ِٓ ‫ع‬ِّ‫ش‬ُ‫ش‬ ‫ِب‬ :
‫رخزض‬ ‫ال‬ ٟ‫اٌز‬ ‫اٌؼبِخ‬ َ‫األدىب‬ ِٓ ً‫خ‬ٌ‫أطب‬ ‫هللا‬ ٗ‫ششػ‬ ‫ِب‬ ٞ‫أ‬ .ٗ‫ث‬
ٟ٘ٚ َ‫ػب‬ ُ‫دى‬ ٟ٘ ٞ‫أ‬ ،‫ِىٍف‬ ْٚ‫د‬ ‫ثّىٍف‬ ‫ال‬ٚ ‫دبي‬ ْٚ‫د‬ ‫ثذبي‬
ٍٟ‫األط‬ ُ‫اٌذى‬
.
Azimah adalah hukum syara‟ yg disyariatkan scr umum dan
mewajibkan seorang hamba utk melaksanakannya, artinya,
azimah adalah apa yang disyaratkan Allah sbg hukum asal
berupa hukum umum yang tidak dikhususkan untuk kondisi
tertentu atau untuk mukallaf tertentu. Artinya, azimah adalah
hukum umum atau hukum asal.
DEFINISI RUKHSAH
‫اٌشخظخ‬
‫ثمبء‬ ‫ِغ‬ ٍ‫ٌؼزس‬ ‫ّخ‬٠‫ٌٍؼض‬ ً‫ب‬‫ف‬١‫رخف‬ َ‫األدىب‬ ِٓ ‫ِّع‬‫ش‬ُ‫ش‬ ‫ِب‬ :
‫هللا‬ ٗ‫ششػ‬ ‫ِب‬ ٟ٘ ٞ‫أ‬ .‫ب‬ٙ‫ث‬ ًّ‫ثبٌؼ‬ ‫اٌؼجبد‬ َ‫ٍض‬٠ ‫ال‬ٚ .‫ّخ‬٠‫اٌؼض‬ ُ‫دى‬
.‫خبطخ‬ ‫دبالد‬ ٟ‫ف‬ ‫اٌّىٍف‬ ٍٝ‫ػ‬ ً‫ب‬‫ف‬١‫رخف‬ َ‫األدىب‬ ِٓ
Rukhsah adalah hukum syara‟ yg disyariatkan untuk
meringankan azimah karena suatu udzur (alasan) disertai
tetapnya hukum azimah. Tidak mewajibkan hamba untuk
46
melaksanakannya. Artinya, rukhsah adalah hukum yang
disyariatkan Allah sebagai keringanan bagi mukallaf dalam
kondisi-kondisi yang khusus.
CONTOH AZIMAH & RUKHSAH
DEFINISI SAH
‫اٌظذخ‬
‫آصبس‬ ‫ت‬ُّ‫ر‬‫رش‬ ‫ب‬ٙ‫ث‬ ‫شاد‬٠ٚ ‫رطٍك‬ٚ .‫اٌشبسع‬ ‫أِش‬ ‫افمخ‬ِٛ ٟ٘
ٟ‫ف‬ ًّ‫اٌؼ‬ ‫آصبس‬ ‫ت‬ُّ‫ر‬‫رش‬ ‫ب‬ٙ‫ث‬ ‫شاد‬٠ٚ ‫رطٍك‬ٚ ‫وّب‬ .‫ب‬١ٔ‫اٌذ‬ ٟ‫ف‬ ًّ‫اٌؼ‬
.‫خشح‬٢‫ا‬
Sah adalah sesuai dengan perintah as Syaari‟ (Allah SWT). Sah
digunakan untuk menyebut akibat suatu perbuatan di dunia,
(lepas dari tuntutan peradilan). Juga digunakan untuk menyebut
akibat suatu perbuatan di akhirat (pahala). Contoh : sholat yg
47
sah, artinya pelakunya lepas dari tanggungan dan tak dapat
diadili (akibat dunia) dan ada harapan pahala (akibat akhirat)
DEFINISI BATAL
ْ‫اٌجطال‬
‫أِش‬ ‫افمخ‬ِٛ َ‫ػذ‬ ٛ٘ٚ ،ً‫ب‬ِ‫رّب‬ ‫اٌظذخ‬ ً‫مبث‬٠ ‫ِب‬ ٛ٘
‫ب‬١ٔ‫اٌذ‬ ٟ‫ف‬ ًّ‫اٌؼ‬ ‫آصبس‬ ‫ت‬ُّ‫ر‬‫رش‬ َ‫ػذ‬ ٗ‫ث‬ ‫شاد‬٠ٚ ‫طٍك‬٠ٚ .‫اٌشبسع‬
‫ء‬ٞ‫ِجض‬ ‫ش‬١‫غ‬ ًّ‫اٌؼ‬ ْٛ‫ى‬٠ ْ‫أ‬ ٕٝ‫ثّؼ‬ .‫خشح‬٢‫ا‬ ٟ‫ف‬ ٗ١ٍ‫ػ‬ ‫اٌؼمبة‬ٚ
‫ٌٍم‬ ‫ِغمؾ‬ ‫ال‬ٚ ‫ٌٍزِخ‬ ‫ء‬ٞ‫ِجش‬ ‫ال‬ٚ
.‫ؼبء‬
Batal adalah lawan dari sah, yaitu tidak sesuai dengan perintah as
Syari‟ (Allah SWT). Batal digunakan untuk menyebut tiadanya
akibat suatu perbuatan di dunia, (lepas dari tuntutan peradilan)
Juga digunakan untuk menyebut akibat perbuatan di akhirat
(azab). Contoh : sholat yg tak memenuhi rukunnya disebut batal,
artinya pelakunya tak lepas dari tanggungan dan dapat diadili
(akibat dunia) dan tiada harapan pahala (akibat akhirat)
DEFINISI FASAD
‫اٌفغبد‬
ًِّ‫خ‬ٌُّ‫ا‬ ٗ‫طف‬ٚ ٓ‫ٌى‬ٚ ،‫ٌٍششع‬ ً‫ب‬‫افم‬ِٛ ٍٗ‫أط‬ ْٛ‫ى‬٠ ْ‫أ‬ ٛ٘
.‫اٌشبسع‬ ‫ألِش‬ ‫اٌّخبٌف‬ ٛ٘ ً‫ثبألط‬
48
Fasad adalah kondisi perbuatan yang pada asalnya sesuai syara‟,
tapi sifat dari perbuatan itu (di luar rukun dan syarat) membuat
cacat perbuatan asal tersebut, yaitu menyimpang dari perintah as
syaari‟. Fasad hanya ada pada muamalat, sedang dalam ibadah
yang ada hanya sah dan batal saja. Contohnya : orang kota
berjual beli dengan orang dusun yang tidak mengetahui harga
kota. Jual belinya secara asal adalah sah, tapi ada sifat dalam jual
beli itu, di luar rukun dan akad jual beli, yaitu pengetahuan ttg
harga yang hanya diketahui salah satu pihak, yang menyimpang
dari syara‟. Akad yg fasad tidak wajib diulang, tapi cukup
menyempurnakan apa yang dianggap cacat.
CONTOH SAH DAN BATAL
PERBUATAN HUKUM WADH‟I
Sholat memenuhi syarat dan
rukunnya
Sah
Jual beli memenuhi syarat dan
rukunnya
Sah
Sholat tanpa wudlu Batal
Jual beli, barangnya tidak ada Batal
Sholat tidakmembaca al-
faatihah
Batal
Nikah tidak ada ijaab qobuul Batal
49
CONTOH FASAD
CATATAN SEPUTAR SAH, BATAL, FASAD
Terdapat perbuatan-perbuatan yang sah, tak termasuk
fasad atau batal, tapi pelakunya berdosa. Misalnya : jual beli
pada saat adzan Jumat. Juga akad2 lain yang diqiyaskan dengan
contoh tsb, misalnya akad nikah pada saat adzan Jumat, atau
melakukan akad ijarah pada saat adzan Jumat. Contoh terkenal :
sholat di atas tanah rampasan, haji dengan harta yg haram.
50
BAB VI
KAIDAH USHUL FIQH
POKOK BAHASAN
1. Pengertian, Sifat, dan Contoh al-Qawaid al-Fiqhiyah
2. Perbedaan Kaidah Fiqih dan Kaidah Ushul Fiqih (al-
Qawaid Al Ushuliyah)
3. Pengamalan Kaidah Fiqih
4. Kitab-kitab Kaidah Fiqih
PENGERTIAN KAIDAH FIQIH
Kaidah fiqih dalam istilah Arab disebut dengan al-
Qawaid al-Fiqhiyyah. Istilah lainnya : al-Qawaid al-Kulliyyah
atau : Al-Qawaid Al Syar‟iyyah. Ketiga istilah tsb walaupun
berbeda-beda sebutannya, tapi pengertian yg dimaksudkan sama.
Definisi Kaidah fiqih :
ِِٗ‫ر‬‫َّب‬١ِ‫ئ‬ْ‫ُض‬‫ج‬ ٍََٝ‫ػ‬ ُ‫ك‬ِ‫ج‬َ‫ط‬ٌُّْْٕ‫ا‬ ٍُُِّّٟ‫ى‬ٌْ‫ا‬ ُِّٟ‫ػ‬ْ‫ش‬َّ‫ش‬ٌ‫ا‬ ُُْ‫ى‬ُ‫ذ‬ٌَْ‫ا‬ ٟ٘ ‫خ‬١ٙ‫اٌفم‬ ‫اٌمبػذح‬
"Kaidah fikih adalah hukum syar'i yang bersifat menyeluruh
(kulliy) yang berlaku untuk bagian-bagiannya (juz`iyat).“
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/444.)
51
MACAM-MACAM HUKUM SYAR‟I
Hukum syar‟i ada 2 macam :
1. Hukum kulli, yaitu hukum yang berlaku untuk banyak kasus
(juz‟iyah/cabang).
2. Hukum juz`i, yaitu hukum yang hanya berlaku untuk satu
kasus saja.
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/444).
MACAM-MACAM HUKUM KULLI
Hukum Kulli ada 2 macam :
1. Qawaid fiqhiyyah, yaitu hukum berupa kaidah yang berlaku
untuk banyak kasus (cabang/juz‟iyah)
2. Ta‟rif syar‟i (definisi secara syar‟i), yaitu hukum berupa
definisi yang berlaku untuk banyak kasus.
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/444)
DUA SIFAT QAWAID FIQHIYAH
Pertama, hakikatnya adalah hukum syar‟i, yang diistinbath dari
dalil-dalil syar‟i. Jadi Qawaid Fiqhiyyah bukan dalil syar‟i.
Kedua, merupakan hukum kulli, yakni hukum yang berlaku
untuk banyak kasus. Jadi Qawaid Fiqhiyyah tak hanya berlaku
untuk satu kasus saja.
52
QAWAID FIQHIYAH SBG HUKUM SYAR‟I
1. Misalkan kaidah : al wasilah ilal haram haram diistinbath
dari QS Al An‟aam [6] : 108
2. Misalkan kaidah : maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa
waajib, diistinbath dari QS Al Maa`idah [5] : 6
3. Misalkan kaidah : maa laa yudraku kulluhu laa yutraku
kulluhu, diistinbath dari sabda Rasulullah SAW :
ُ‫اعزطؼز‬ ‫ِب‬ ِٕٗ ‫ا‬ٛ‫فؤر‬ ‫ثؤِش‬ ُ‫أِشرى‬ ‫ارا‬
“Jika aku perintahkan kalian melakukan suatu perintah, maka
lakukan itu sekuat kemampuanmu.” (HR Bukhari dan
Muslim).
4. Misalkan kaidah : kullu maa hurrima „alal al ibaad fa
bai‟uhu haram, diistinbath dari sabda Rasulullah SAW :
ّٕٗ‫ص‬ ُٙ١ٍ‫ػ‬ َ‫دش‬ ‫ء‬ٟ‫ش‬ ً‫أو‬ َٛ‫ل‬ ٍٝ‫ػ‬ َ‫دش‬ ‫ارا‬ ‫هللا‬ ْ‫ا‬ ٚ
“Dan sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu
kaum untuk memakan sesuatu, maka Allah haramkan pula
harga sesuatu itu.” (HR Bukhari)
53
QAWAID FIQHIYAH SBG HUKUM KULLI
1. Misalkan kaidah : al wasilah ilal haram haram, dapat
diterapkan untuk banyak kasus, misalnya :
a. Menjual anggur kepada orang yang akan mengolah
anggur menjadi khamr
b. Menjual pisau kpd orang yang akan menggunakannya
dlm kejahatan
c. Haramnya menjual baju tidak menutup aurat (spt daster)
kpd prp yang akan menggunakannya di tempat umum
2. Misalkan kaidah : maa laa yatimmul waajibu dst, dapat
diterapkan untuk banyak kasus, misalnya :
a. Wajibnya belajar bahasa Arab untuk mempelajari Al
Qur`an.
b. Wajibnya Khilafah untuk menerapkan Syariah secara
kaaffah (menyeluruh).
c. Wajibnya kutlah (kelompok) untuk berjuang menegakkan
Khilafah.
54
PERBEDAAN KAIDAH FIQIH DAN KAIDAH USHUL FIQIH
FAKTOR
PEMBEDA
KAIDAH FIQIH
KAIDAH USHUL
FIQIH
Segi Fakta
Faktanya hukum
syara‟
Faktanya bukan hokum
syara‟ tapi kaidah-kaidah
bahasa Arab (qawaid
lughawiyah)
Segi Fungsi
Fungsinya untuk
menetapkan hukum
syara‟ pada kasus
cabang (hukum
pokok)
Fungsinya untuk
mengistinbath hukum
syara dari dalil syara‟ (al
Qur`an dan As Sunnah)
Segi Obyek Kajian
Perbuatan mukallaf
dan halal-haram
Nash-nash syara‟ (dalil
syara‟) untuk mengambil
hokum syara‟ darinya.
Segi Pengguna
Digunakan oleh
mujtahid dan selain
mujtahid
(muqollid)
Digunakan oleh mujtahid
saja, muqollid tidak bisa
menggunakan.
Segi Waktu Muncul
Muncul belakangan
seiring lahirnya
Islam
Muncul lebih awal sejak
bahasa Arab ada.
Segi Pengecualian
dalam pengamalan
Kaidah fiqih
diamalkan dengan
perkecualian.
Kaidah ushul fiqih
diamalkan dengan tanpa
perkecualian.
PENGAMALAN QAWAID FIQHIYAH
Meski pun Qawaid Fiqhiyyah bukan dalil syar‟i, tapi
diamalkan seperti halnya dalil syar‟i. Maksudnya, dapat menjadi
dasar bagi penetapan hukum-hukum syara‟ baru. Hukum-hukum
syara‟ baru ini bukan hukum yang sama sekali baru, melainkan
55
sekedar cabang hukum dari hukum pokoknya (yaitu kaidah fiqih
itu sendiri).
Syarat pengamalan kaidah fiqih tidak boleh bertentangan
dengan nash-nash syara‟ dalam Al Qur`an dan As Sunnah. Jika
bertentangan dengan nash-nash syara‟, maka yang diamalkan
adalah nash syara‟ sedangkan kaidah fiqihnya wajib diabaikan
(tidak boleh diamalkan). (Lihat: Taqiyuddin Nabhani, As
Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/449).
BEBERAPA KITAB QAWAID FIQHIYAH
1. Al Asybah wa An Nazhair karya Imam Suyuthi.
2. Al Asybah wa An Nazhair karya Imam Tajuddin As Subki.
3. Al Asybah wa An Nazhair karya Imam Ibnu Nujaim.
4. Ghamzu Uyunil Basha`ir Syarah Al Asybah wa An Nazhair
karya Imam Ibnu Nujaim.
5. Al Qawaid An Nuraniyyah karya Ibnu Taimiyah.
6. Al Qawaid Al Fiqhiyah karya Ibnu Rajab Al Hanbali
7. Al Mantsur fil Qawaid karya Imam Zarkasyi.
8. Maushu‟ah Al Qawaid Al Fiqhiyah karya Muhammad Shidqi
Al Burnu.
9. Al Qawaid Al Fiqhiyah fi Al Madzahib Al Arba‟ah karya
Muhammad Az Zuhaili.
56
BAB VII
DALIL SYARA’
POKOK BAHASAN
1. Pengertian Dalil Syar‟i
2. Macam-Macam Dalil Syar‟i
3. Penjelasan Pengertian Dalil Qath‟i dan Dalil Zhanni
4. Dalil Syar‟i Wajib Bersifat Qath‟iy (didasarkan pada Dalil
Qath‟i)
5. Penjelasan Ttg Dalil Zhanni dalam Aqidah
POSISI PEMBAHASAN DALIL SYAR‟I
57
PENGERTIAN DALIL SYAR‟I
Dalil syar‟i disebut juga dengan istilah :
‫خ‬١‫اٌششػ‬ َ‫األدىب‬ ‫ِظبدس‬
Mashadirul Ahkam As Syar‟iyyah.
Artinya : sumber-sumber hukum syara‟. (Lihat Wahbah Zuhaili,
Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/417) atau disebut juga Ushulul Ahkam
As Syar‟iyyah (pokok-pokok hukum syara‟). (Lihat Taqiyuddin
An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/66).
ٕٞٛ‫ِؼ‬ ٚ‫أ‬ ٟ‫دغ‬ ‫ء‬ٟ‫ش‬ ٞ‫أ‬ ٌٝ‫ا‬ ٞ‫بد‬ٌٙ‫ا‬ : ‫ٌغخ‬ ً١ٌ‫اٌذ‬
Dalil menurut makna bahasa artinya : Petunjuk kepada sesuatu
apapun baik sesuatu yang inderawi/dapat diindera (hissi) maupun
sesuatu yang maknawi (tak dapat diindera).
Misal :
(1) Asap adalah “dalil” adanya api (inderawi),
(2) Senyum adalah “dalil” adanya perasaan gembira (dalam hati)
(maknawi).
ُ‫دى‬ ٌٝ‫ا‬ ٗ١‫ف‬ ‫إٌظش‬ ‫خ‬١‫ثظذ‬ ً‫ط‬ٛ‫ز‬٠ ‫ِب‬ ٛ٘ : ‫اططالدب‬ ً١ٌ‫اٌذ‬
ٍّٟ‫ػ‬ ٟ‫ششػ‬
Dalil menurut istilah (terminologi) adalah : Segala sesuatu yang
(jika) dipertimbangkan dengan benar akan mengantarkan pada
58
suatu hukum syar‟i yang amali. (Wahbah Zuhaili, Ushulul Fiqh
Al Islami, 1/417).
ُ‫دى‬ ٕٗ‫ػ‬ ‫س‬ٛ‫اٌّجذ‬ ْ‫أ‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫دجخ‬ ‫زخز‬٠ ٞ‫اٌز‬ ٛ٘ ٟ‫اٌششػ‬ ً١ٌ‫اٌذ‬
ٟ‫ششػ‬
Dalil Syar‟i adalah sesuatu yang dijadikan hujjah (alasan/dasar)
bahwa apa yang dibahas berdasarkan hujjah itu adalah hukum
syar‟i. (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah,
3/64).
Note : Dalil syar‟i dalam pembahasan ushul fiqih adalah dalil
syar‟i ijmali (dalil global), spt Al Kitab, As Sunnah, dll, bukan
dalil syar‟i tafshili, spt ayat atau hadits tertentu sbg dasar hukum
tertentu.
MACAM-MACAM DALIL SYAR‟I
Berdasarkan disepakati tidaknya oleh jumhur (mayoritas)
ulama, terdapat dua macam dalil syar‟i : Pertama, dalil syar‟i
yang disepakati oleh jumhur ulama (muttafaq „alaiha baina
jumhur al ulama), ada 4 yaitu :
(1) Al Kitab (Al Qur`an),
(2) As Sunnah (Al Hadits),
59
(3) Al Ijma‟,
(4) Al Qiyas.
Kedua, dalil syar‟i yang diperselisihkan oleh jumhur
ulama (mukhtalaf fiihaa baina jumhur al ulama), maksudnya,
sebagian ulama menjadikannya sbg hujjah, sebagian ulama
lainnya tidak. Yang paling termasyhur ada 7 yaitu :
(1) Al Istihsan,
(2) Al Mashalih Al Mursalah (Al Istishlah),
(3) Madzhab As Shahabi,
(4) Syar‟u Man Qablana,
(5) Al Istish-hab
(6) Al „Urf
(7) Adz Dzara`i‟
(Wahbah Zuhaili, Ushulul Fiqh Al Islami, 1/417).
Dalam kajian Aqidah Islam, ada istilah dalil aqli dan dalil naqli/
dalil sam‟i. Pengertian Dalil Aqli :
ٓ‫سو‬ ٌٝ‫ا‬ ‫ي‬ٛ‫ط‬ٌٍٛ ً‫اٌؼم‬ ٍّٗ‫غزؼ‬٠ ٞ‫اٌز‬ ْ‫اٌجش٘ب‬ ٛ٘ ٍٟ‫اٌؼم‬ ً١ٌ‫اٌذ‬
‫خ‬١ِ‫اإلعال‬ ‫ذح‬١‫اٌؼم‬ ْ‫أسوب‬ ِٓ
Dalil aqli adalah bukti yang dipergunakan oleh akal untuk
mencapai satu rukun di antara rukun-rukun Aqidah Islamiyah.
60
(M. Husain Abdullah, Dirasat fil Fikr Al Islami).
Contoh dalil aqli :
(1) Alam semesta, adalah dalil yang digunakan akal untuk
mencapai keimanan akan adanya Allah (wujudullah).
(2) Al Qur`an, adalah dalil yang digunakan akal untuk mencapai
keimanan akan kenabian Muhammad SAW dan bahwa Al
Qur`an adalah kalamullah.
Pengertian Dalil Naqli / Sam‟i :
ِٓ ٓ‫سو‬ ٓ‫ػ‬ ‫خجشٔب‬٠ ٞ‫اٌز‬ ٟ‫اٌمطؼ‬ ‫اٌخجش‬ ٛ٘ ٟ‫اٌغّؼ‬ ً١ٌ‫اٌذ‬
‫خ‬١ِ‫اإلعال‬ ‫ذح‬١‫اٌؼم‬ ْ‫أسوب‬
Dalil Naqli (sam‟i) adalah berita (nash) yang pasti (qath‟i) yang
mengabarkan kepada kita mengenai satu rukun di antara rukun-
rukun Aqidah Islamiyah. (M. Husain Abdullah, Dirasat fil Fikr
Al Islami).
DALIL QATH‟I DAN DALIL ZHANNI
Dalil Al Quran atau As Sunnah, ditinjau dari segi datangnya /
bersumbernya dalil itu dari Rasulullah SAW, ada dua:
61
Pertama, dalil qath‟i tsubut, yaitu dalil yang secara pasti
bersumber dari Rasulullah SAW, yaitu Al Qur`an dan Hadits
Mutawatir.
Kedua, dalil zhanni tsubut, yaitu dalil yang secara dugaan kuat
bersumber dari Rasulullah SAW, yaitu Hadits Ahad.
Masing-masing dalil tersebut, ditinjau dari segi pasti tidaknya
dalalah (makna) yang ditunjukkan oleh dalil, ada dua:
Pertama, dalil qath‟i dalalah, yaitu dalil yang tidak mempunyai
makna kecuali satu makna saja.
Kedua, dalil zhanni dalalah, yaitu dalil yang mengandung
kemungkinan lebih dari satu makna.
Maka dari itu, berdasarkan penjelasan di atas, terdapat empat
macam dalil :
Pertama, dalil qath‟i tsubut dan qath‟I dalalah, yaitu dalil Al
Qur`an atau Hadits Mutawatir yang tidak mempunyai makna
kecuali satu makna saja. INILAH YANG DISEBUT SECARA
RINGKAS SEBAGAI : DALIL QATH‟I.
Kedua, dalil qath‟i tsubut dan zhanni dalalah, yaitu dalil Al
Qur`an atau Hadits Mutawatir yang mengandung lebih dari satu
makna.
62
Ketiga, dalil zhanni tsubut dan qath‟i dalalah, yakni dalil Hadits
Ahad yang tidak mempunyai makna kecuali satu makna saja.
Keempat, dalil zhanni tsubut dan zhanni dalalah, yakni dalil
Hadits Ahad yang mempunyai makna lebih dari satu makna.
Dalil pada macam yang kedua, ketiga, dan keempat di atas ,
secara ringkas disebut : DALIL ZHANNI.
Hukum syara‟ yang dalilnya dalil qath‟i, adalah hukum syara‟
yang qath‟i, yang tidak boleh ada perbedaan pendapat
(khilafiyah), seperti wajibnya sholat, haramnya zina, haramnya
khamr, dll. Hukum syara‟ yang dalilnya dalil zhanni, adalah
hukum syara‟ yang zhanni, yang boleh ada perbedaan pendapat
(khilafiyah), seperti jumlah rakaat tarawih, dll.
DALIL SYAR‟I WAJIB BERSIFAT QATH‟I
Imam Taqiyuddin An Nabhani merumuskan suatu kaidah ushul
fiqih sbb :
ْ‫أ‬ ‫جت‬٠ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ ‫األدٌخ‬
‫خ‬١‫لطؼ‬ ْٛ‫رى‬
“Dalil-dalil syar‟i wajib bersifat qath‟i.”
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/67.)
63
Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dalil syar‟i wajib bersifat
qath‟i, artinya adalah wajib ada dalil qath‟i (bukan dalil zhanni)
yang menunjukkan kehujjahan dalil syar‟i. Kehujjahan dalil
syar‟i, artinya kelayakan suatu dalil menjadi dalil syar‟I
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/68).
Mengapa dalil syar‟i wajib bersifat qath‟i? Sebab dalil syar‟i
yang layak menjadi hujjah wajib berupa wahyu Allah. Sedang
wahyu adalah persoalan Aqidah (Ushuluddin), yang dalilnya
wajib qath‟i, bukan persoalan hukum syara‟ (furu‟), yang
dalilnya boleh dalil zhanni. Maka wajib ada dalil qath‟i (bukan
dalil zhanni) yang menunjukkan kehujjahan suatu dalil syar‟i.
Mengapa dalam persoalan aqidah dalilnya wajib qath‟i, tidak
boleh zhanni? Sebab terdapat dalil yang mencela kita mengambil
dalil zhanni (persangkaan/dugaan) dalam persoalan Aqidah.
64
Dalilnya firman Allah SWT :
‫ئب‬١‫ش‬ ‫اٌذك‬ ِٓ ٟٕ‫غ‬٠ ‫ال‬ ٓ‫اٌظ‬ ْ‫ا‬ ‫ظٕب‬ ‫اال‬ ُ٘‫أوضش‬ ‫زجغ‬٠ ‫ِب‬ٚ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali
persangkaan/dugaan (zhann) saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS
Yunus [10] : 36)
Juga firman Allah SWT :
‫ٌئه‬ٚ‫أ‬ ً‫و‬ ‫اٌفئاد‬ٚ ‫اٌجظش‬ٚ ‫اٌغّغ‬ ْ‫ا‬ ٍُ‫ػ‬ ٗ‫ث‬ ‫ٌه‬ ‫ظ‬١ٌ ‫ِب‬ ‫رمف‬ ‫ال‬ٚ
‫ال‬ٛ‫ِغئ‬ ٕٗ‫ػ‬ ْ‫وب‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pemgetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (QS Al Isra` [17] : 36).
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/66.)
Berdasarkan kaidah ushuliyah :
‫خ‬١‫لطؼ‬ ْٛ‫رى‬ ْ‫أ‬ ‫جت‬٠ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ ‫األدٌخ‬
“Dalil-dalil syar‟i wajib bersifat qath‟i.”
65
Maka dalil-dalil syar‟i yang memenuhi kriteria kaidah ushul tsb
hanya 4 saja, yaitu : Al Kitab, As Sunnah, Ijma‟ Shahabat, dan
Qiyas.
CATATAN PENTING TENTANG DALIL ZHANNI DALAM
MASALAH AQIDAH
Tidak mengambil dalil zhanni dalam persoalan Aqidah bukan
berarti mengingkari dalil zhanni itu (misalnya Hadis Ahad),
melainkan sekedar tidak membenarkan secara pasti („adamul
jazm) thd dalil zhanni itu. Contoh Hadis Ahad : adzab kubur,
turunnya Dajjal, dan turunnya Nabi Isa AS di akhir jaman.
PENDIRIAN IMAM TAQIYUDDIN AN NABHANI
TERHADAP DALIL ZHANNI DALAM MASALAH AQIDAH
Pertama, haram mengi‟tiqadkan, yakni membenarkan secara
pasti (jazim), terhadap dalil zhanni itu.
‫ٔض‬ ٚ ً‫اٌؼم‬ : ٓ١‫م‬٠‫اٌطش‬ ٓ٠‫٘ز‬ ٓ‫ػ‬ ‫ضجذ‬٠ ٌُ ‫ِب‬ٚ
‫اٌغٕخ‬ٚ ‫اٌىزبة‬
ٓ١‫م‬٠ ٓ‫ػ‬ ‫اال‬ ‫رئخز‬ ‫ال‬ ‫اٌؼمبئذ‬ ْ‫إل‬ ٖ‫ؼزمذ‬٠ ْ‫أ‬ ٗ١ٍ‫ػ‬ َ‫ذش‬٠ ‫خ‬١‫اٌمطؼ‬
“Dan apa saja yang tak terbukti melalui dua jalan ini, yaitu akal
dan nash Al Qur`an dan As Sunnah yang qath‟i, haram baginya
mengi‟tiqadkannya, sebab masalah-masalah aqidah tidak
66
diambil, kecuali berdasarkan dalil yang yakin (qath‟i).”
(Nizhamul Islam, hlm. 12). Dalil pengharaman QS 10:36; QS
17:36. (Syakhshiyyah Islamiyyah, 3/66).
Kedua, tidak mengingkari dalil zhanni itu (misalnya Hadis
Ahad). Lihat kitab beliau yg berjudul Ma‟lumaat lis Syabab,
hlm. 7, sbb :
َ‫اٌجض‬ َ‫ػذ‬ ‫فمؾ‬ ٟٕ‫ؼ‬٠ ‫أّب‬ٚ ‫اإلٔىبس‬ ٟٕ‫ؼ‬٠ ‫ال‬ ‫اإلػزمبد‬ َ‫ػذ‬ ْ‫أ‬ ‫األ‬
“Hanya saja (perlu dipahami), bahwa tidak mengi‟tiqadkan itu
tidak berarti mengingkari, melainkan artinya hanyalah tidak
membenarkan secara pasti („adamul jazm).”
Ketiga, boleh membenarkan dalil zhanni itu (misalnya Hadis
Ahad) dengan pembenaran yang bersifat dugaan (tashdiq
zhanni), bukan tashdiq jazim (pembenaran yang pasti). Lihat
kitab beliau yg berjudul Ma‟lumaat lis Syabab, hlm. 7, sbb :
ُ٠‫رذش‬ ٕٝ‫ِؼ‬ ‫ظ‬١ٍ‫ف‬
‫ا‬
‫إلػزمبد‬
‫ش‬٠‫األدبد‬ ٖ‫٘ز‬ ٟ‫ف‬ ‫ِب‬ ‫سفغ‬ ٟٕ‫ثبٌظ‬
‫فمؾ‬ ٖ‫ِؼٕب‬ ً‫ث‬ ،‫ب‬ٙ١‫ف‬ ‫جبء‬ ‫ثّب‬ ‫ك‬٠‫اٌزظذ‬ َ‫ػذ‬ٚ
َ‫اٌجض‬ َ‫ػذ‬
ٟ‫ف‬ ‫ثّب‬
‫ب‬ٌٙٛ‫لج‬ ‫ص‬ٛ‫ج‬٠ ٚ ‫ب‬ٙ‫ث‬ ‫ك‬٠‫اٌزظذ‬ ‫ص‬ٛ‫ج‬٠ ٓ‫ٌى‬ٚ ‫ش‬٠‫األدبد‬ ٖ‫٘ز‬ ٟ‫ف‬
...
67
“Haramnya mengi‟tiqadkan sesuatu yang bersifat zhann
(dugaan) bukan berarti menolak apa-apa yang terkandung dalam
hadits-hadits ini (Hadits Ahad) dan tidak membenarkannya,
melainkan hanya tidak memastikan apa-apa yang terkandung
dalam hadits-hadits ini. Akan tetapi boleh membenarkan dan
menerima hadits-hadits ini…” (Lihat juga As Syakhshiyyah Al
Islamiyyah, Juz I hlm. 193).
68
BAB VIII
MACAM-MACAM DALIL SYAR’I
POKOK BAHASAN
Dalil Syar‟i Yang Disepakati Jumhur Ulama :
(a) Al Kitab,
(b) As Sunnah,
(c) Ijma‟,
(d) Qiyas
PENDAPAT ULAMA SEPUTAR DALIL SYAR‟I
Dalil syar‟i yang disepakati oleh seluruh ulama (tanpa
khilafiyah) ada dua :
(1) Al Kitab (Al Qur`an)
(2) As Sunnah (Al Hadits)
Dalil syar‟i yang disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama ada
empat :
(1) Al Kitab,
(2) As Sunnah,
(3) Ijma‟,
(4) Qiyas
69
Sebagian ulama, yaitu ulama Zahiriyah, menolak Qiyas (mrk
disebut nufaatul Qiyas).
PENGERTIAN AL QUR`AN
ٗ١ٍ‫ػ‬ ‫هللا‬ ٍٝ‫ط‬ ‫ِذّذ‬ ٌٗٛ‫سع‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫إٌّضي‬ ‫هللا‬ َ‫وال‬ ٛ٘ ْ‫اٌمشآ‬
‫ِؼٕب‬ٚ ‫ٌفظب‬ َ‫اٌغال‬ ٗ١ٍ‫ػ‬ " ً٠‫"ججش‬ ٟ‫د‬ٌٛ‫ا‬ ‫اعطخ‬ٛ‫ث‬ ٍُ‫ع‬ٚ
‫ارشا‬ٛ‫ِز‬ ‫ٔمال‬ ‫ٌٕب‬ ‫ي‬ٛ‫إٌّم‬ٚ ٗ‫ر‬ٚ‫ثزال‬ ‫اٌّؼجضاٌّزؼجذ‬
Al Qur`an adalah kalamullah yang diturunkan kepada rasul-Nya,
yaitu Muhammad SAW dengan perantaraan wahyu Jibril AS
secara lafal dan makna, yang bersifat mu‟jizat, yang dianggap
ibadah membacanya, dan yang dinukilkan (diriwayatkan) kepada
kita secara mutawatir. (Atha‟ bin Khalil, Taisir Al Wushul, hlm.
55)
KEHUJJAHAN AL QUR`AN
Al Qur`an layak menjadi dalil syar‟i, karena Al Qur`an
adalah wahyu Allah (kalamullah). Bukti Al Qur`an itu wahyu,
adalah dali aqli yang qath‟i yang membuktikan Al Qur`an adalah
kalamullah.
Pembuktiannya sebagai berikut, yaitu bahwa al Qur`an
adalah kitab berbahasa Arab, maka kemungkinan dari mana asal
70
Al Qur`an hanya 3 tidak lebih: dari orang Arab, dari Rasulullah
SAW atau dari Allah SWT.
Kemungkinan pertama, yakni dari orang Arab, batil.
Karena orang Arab telah ditantang untuk mendatangkan semisal
Al Qur`an tapi tidak mampu. Lihat Al Baqarah : 23; Yunus : 37
Kemungkinan kedua, yakni dari Rasulullah SAW, juga
batil, karena Rasulullah adalah bagian dari orang Arab, yang
terbukti tak mampu mendatangkan semisal Al Qur`an. Selain itu,
gaya ungkapan hadits berbeda dengan gaya ungkapan Al Qur`an.
Kemungkinan ketiga, yaitu Al Qur`an adalah dari Allah
SWT, adalah benar. Karena setelah kemungkinan pertama dan
kedua dibuktikan kebatilannya, maka berarti kemungkinan ketiga
saja yang benar. Kemungkinan ketiga itu sesuai dengan klaim Al
Qur`an sendiri, yaitu antara lain QS Fushshilat : 42 yang
menerangkan Al Qur`an diturunkan oleh Allah SWT. (tanziilun
min hakiim hamiid). (Lihat Atha‟ bin Khalil, Taisir Al Wushul,
hlm. 56-57).
KANDUNGAN HUKUM DALAM AL QUR`AN
Al Qur`an mengandung segala macam hukum yang
diperlukan manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Lihat
dalilnya QS An Nahl : 89.
71
Macam-macam hukum Al Qur`an :
(1) Hukum yang mengatur hubungan Allah dengan manusia,
misal : aqidah (QS 4 : 136) dan ibadah (sholat, zakat, haji,
dll).
(2) Hukum yang yang mengatur hubungan manusia dgn dirinya
sendiri, misal : hukum makanan dan pakaian (QS 2 :168, QS
5:3; QS 24:31; QS 33:59. Juga hukum akhlaq : haramnya
berdusta (QS Mursalat : 19), dll
(3) Hukum yg mengatur manusia dengan manusia lainnya, misal:
hukum2 pemerintahan Islam (Khilafah), seperti :
(a) kewajiban menegakkan hukum Allah (QS 5:49)
(b) kewajiban pemerintahan Islam berbuat adil (QS 4:58)
(c) kewajiban rakyat mentaati pemerintahan Islam / ulil amri
(QS 4:59)
Misal lain : Hukum-hukum sistem ekonomi Islam, seperti
kepemilikan (QS 24:33; QS al hadid 57 : 7).
Misal lain : Hukum pergaulan pria dan wanita, misalnya
pernikahan (QS 30:21). (Lihat M Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 56-58).
72
PENGERTIAN AS SUNNAH
‫هللا‬ ٍٝ‫ط‬ ‫هللا‬ ‫ي‬ٛ‫سع‬ ٌٝ‫ا‬ ‫ف‬١‫أػ‬ ‫ِب‬ : ‫ش‬٠‫اٌذذ‬ ‫ػٍّبء‬ ‫ػٕذ‬ ‫اٌغٕخ‬
‫طف‬ٚ ٚ‫أ‬ ٟ‫خٍم‬ ‫طف‬ٚ ٚ‫أ‬ ‫ش‬٠‫رمش‬ ٚ‫أ‬ ً‫فؼ‬ ٚ‫أ‬ ‫ي‬ٛ‫ل‬ ِٓ ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ػ‬
ٟ‫خٍم‬
As Sunnah menurut ulama hadits : adalah apa-apa yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW baik itu perkataan,
perbuatan, atau taqrir, atau sifat akhlaq (washfin khuluqiyyin),
atau sifat fisik (washin khalqiyyin).
‫هللا‬ ٍٝ‫ط‬ ‫هللا‬ ‫ي‬ٛ‫سع‬ ٓ‫ػ‬ ‫سد‬ٚ ‫ِب‬ : ‫ي‬ٛ‫األط‬ ‫ػٍّبء‬ ‫ػٕذ‬ ‫اٌغٕخ‬
ً‫فؼ‬ ٚ‫أ‬ ‫ي‬ٛ‫ل‬ ِٓ ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ػ‬
ً‫فؼ‬ ٚ‫أ‬ ‫ي‬ٛ‫ٌم‬ ‫ش‬٠‫رمش‬ ٚ‫أ‬
As Sunnah menurut ulama ushul fiqih : adalah apa-apa yang
berasal dari Rasulullah SAW baik itu perkataan, perbuatan,
maupun taqrir (persetujuan), baik taqrir terhadap perkataan, atau
perbuatan (shahabat). („Atha` bin Khalil, Taisir Wushul Ilal
Ushul, hlm. 73).
KEHUJJAHAN AS SUNNAH
As Sunnah adalah hujjah (dalil syar‟i) karena terdapat dalil qath‟i
yang membuktikan As Sunnah sebagai wahyu Allah.
73
Dalil-dalil tersebut a.l. : QS An Najm : 3, QS Al An‟am : 50; QS
Al Hasyr : 7, QS An Nisaa` : 59, QS Ali Imran : 31, dll
FUNGSI AS SUNNAH TERHADAP AL QUR`AN
(1) Sebagai tafshil (rincian) dari kemujmalan Al Qur`an, misal :
terdapat perintah mujmal (global) dlm Al Qur`an utk sholat
(QS 24:56) maka As Sunnah memberikan rincian (tafshil)
terhadap kemujmalan Al Qur`an tsb. Demikian juga yg spt
ini adalah dalam masalah zakat, haji, dan lain-lain.
(2) Sebagai takhsis (pengkhususan / pengecualian) dari
keumuman Al Qur`an, misal : terdapat perintah umum dalam
Al Qur`an untuk mencambuk pezina (QS 24:2). Maka As
Sunnah mengkhususkan bahwa hukuman cambuk tsb hanya
untuk yang belum menikah, sedang bagi yang sudah menikah
(muhshon) sanksinya bukan cambuk, melainkan rajam.
(3) Sebagai taqyiid (pembatasan / pensyaratan) dari kemutlakan
Al Qur`an, misal : terdapat perintah mutlak untuk memotong
tangan pencuri dalam Al Qur`an (QS 5:38) maka As Sunnah
memberikan taqyiid, bahwa pencuri yang dipotong tangannya
74
adalah jika memenuhi syarat tertentu, misalnya barang yg
dicuri nilainya ¼ dinar atau lebih, dst.
(4) Sebagai penambah (ilhaaq) hukum baru yang terdapat hukum
pokoknya dalam Al Qur`an, misal : terdapat ketentuan
haramnya menikahi dua orang perempuan bersaudara dalam
Al Qur`an (QS 4:23) maka As Sunnah memberikan tambahan
hukum, haram pula menikahi seorang perempuan bersama
dengan bibinya (ammah / khoolah).
Ammah = sdr prp ayah.
Khoolah = sdr prp ibu.
PENGERTIAN IJMA‟
Ijma‟ menurut istilah adalah :
ٟ‫ششػ‬ ُ‫دى‬ ٗٔ‫ثؤ‬ ‫لبئغ‬ٌٛ‫ا‬ ِٓ ‫الؼخ‬ٚ ُ‫دى‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫اإلرفبق‬ ٛ٘ ‫اإلجّبع‬
Ijma‟ adalah kesepakatan atas hukum suatu peristiwa di antara
peristiwa-peristiwa yang ada, bahwa hukum itu adalah hukum
syar‟i. (Atha bin Khalil, Taisir al Wushul ilal Ushul, hlm. 82).
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat mengenai ijma‟
siapakah yang layak menjadi dalil syar‟i. Beberapa ijma‟ paling
masyhur yang diadopsi ulama ushul fiqih adalah :
75
(1) Ijma‟ shahabat
(2) Ijma‟ ahlul madinah (penduduk madinah)
(3) Ijma‟ Umat Islam
(4) Ijma‟ mujtahidin
(5) Ijma‟ ahlul bait (menurut Syiah).
KEHUJJAHAN IJMA‟ SHAHABAT
Ijma‟ shahabat adalah ijma‟ yang paling kuat dalilnya.
Karena terdapat dalil qath‟i, yang mendasari kehujjahan ijma‟
shahabat.
Dalil-dalil qath‟i tsb adalah :
(1) Pujian Allah SWT dalam al-Qur`an kpd para shahabat, misal:
QS Al Fath : 29, QS at Taubah : 100.
(2) Penegasan Allah SWT bahwa Allah akan menjaga al-Qur`an
(QS Al Hijr : 9).
Ayat diatas menunjukkan kebenaran ijma‟ shahabat, sebab
dengan ijma‟ shahabat sajalah al-Qur`an diriwayatkan hingga
sampai epada kita. Secara syar‟i ijma‟ shahabat terhindar dari
kesalahan. QS Fushshilat : 42 menjelaskan al-Qur`an tidak dapat
didatangi kebatilan. Padahal al-Qur`an itu diriwayatkan kepada
kita dengan ijma‟ shahabat. Maka ayat di atas sekaligus dalil
76
bahwa Ijma‟ shahabat adalah dalil syar‟i. Ijma‟ shahabat juga
telah mengungkapkan adanya dalil dari as Sunnah (yaksyifu an
dalilin minas sunnah), maka dalil kehujjahan as-Sunnah
sekaligus adalah dalil bagi kehujjahan Ijma‟ Shahabat.
PENGERTIAN QIYAS
Qiyas menurut para ulama ushul fiqih adalah :
‫ب‬ّٙ‫دى‬ ٍٝ‫ػ‬ ّ‫ٔض‬ ‫ال‬ ‫الؼخ‬ٚ ‫اٌذبق‬ ٛ٘ ‫بط‬١‫اٌم‬
‫ٔض‬ ‫سد‬ٚ ‫الؼخ‬ٛ‫ث‬
‫خ‬ٍّ‫ػ‬ ٟ‫ف‬ ٓ١‫الؼز‬ٌٛ‫ا‬ ٞٚ‫ٌزغب‬ ‫إٌض‬ ٗ‫ث‬ ‫سد‬ٚ ٞ‫اٌز‬ ُ‫اٌذى‬ ٟ‫ف‬ ‫ب‬ّٙ‫ثذى‬
‫ّب‬ِٕٙ ً‫و‬ ٟ‫ف‬ ُ‫اٌذى‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫اٌجبػش‬ ٟ‫ف‬ ‫الرذبدّ٘ب‬ ٞ‫أ‬ ،ُ‫اٌذى‬ ‫٘زا‬
Qiyas adalah menyamakan suatu fakta yang tak ada nash akan
hukumnya, dengan fakta yang ada nash akan hukumnya, dalam
hal hukum syar‟i, karena kesamaan dua fakta itu dalam illat
hukum, yaitu kesamaan dalam faktor pembangkit hukumnya.
Contoh Qiyas :
Menyamakan ijarah pada saat adzan Jumat dengan jual beli saat
adzan Jumat. Hukum ijarah saat adzan Jumat haram, karena
terdapat illat yang sama dengan haramnya jual beli saat adzan
77
Jumat (QS Al Jumu‟ah : 9), yaitu melalaikan shalat Jumat (al
ilha` „an sholat al jumu‟ah). Haramnya jual beli saat adzan Jumat
dapat pula diqiyaskan pada masalah-masalah lain, spt haramnya
seminar atau akad nikah saat adzan Jumat, dll
RUKUN QIYAS
Ada 4 rukun Qiyas :
(1) Ashl (asal) : yaitu masalah pokok (misal jual beli saat adzan
Jumat)
(2) Hukum asal : misal Haram
(3) Far‟u : yaitu masalah cabang (misal ijarah saat adzan jumat)
(4) Illat : yaitu sesuatu yang menjadi alasan pensyariatan hukum
(misal melalaikan sholat Jumat).
Jika 4 rukun Qiyas itu ada, maka hasilnya adalah hukum masalah
cabang.
KEHUJJAHAN QIYAS
Qiyas adalah hujjah, karena landasan Qiyas adalah illat syar‟i,
yaitu illat yang terdapat pada dalil-dalil syar‟i, yaitu Al Qur`an,
As Sunnah, dan Ijma‟ Shahabat, jadi kehujjahan Qiyas berasal
dari kehujjahan dalil-dalil syar‟i, yang membawa illat syar‟i.
78
Berarti dalil-dalil kehujjahan Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma‟
Shahabat, adalah dalil kehujjahan Qiyas. Inilah dalil qath‟I untuk
kehujjahan Qiyas.
CATATAN SEPUTAR QIYAS
Qiyas yang layak menjadi hujjah, adalah Qiyas syar‟i, bukan
Qiyas Aqli. Qiyas aqli adalah mengqiyaskan sesuatu dengan
sesuatu yang lain sekedar adanya kemiripan menurut akal,
padahal tidak didasarkan pada dalil syar‟i. Misal : mengqiyaskan
khamr dengan narkoba. Narkoba memang haram, tapi haramnya
adalah karena nash, bukan karena Qiyas. Bukan Qiyas,
menerapkan keumuman nash pada kasus-kasusnya.
79
BAB IX
PANDANGAN TERHADAP DALIL SYAR’I YANG
DIPERSELISIHKAN ULAMA
1. SYARA‟ MAN QABLANA
a. Pengertian dan Contoh
b. Pandangan Ulama ttg Syara‟ Man Qablana
c. Tarjih
2. MAZHAB SAHABAT
a. Pengertian dan Contoh
b. Pandangan Ulama ttg Madzhab Shahabat
c. Tarjih
3. ISTIHSAN
a. Pengertian dan Contoh
b. Pandangan Ulama ttg Istihsan
c. Tarjih
4. MASHALIH MURSALAH
a. Pengertian dan Contoh
b. Pandangan Ulama ttg Mashalih Mursalah
c. Tarjih
80
REVIEW MATERI SEBELUMNYA
Dalil syar‟i (sumber hukum) wajib dibuktikan keabsahannya
sebagai sumber hukum dgn dalil qath‟i, bukan dalil zhanni.
Karena dalil syar‟i wajib berupa wahyu, sedangkan sesuatu itu
wahyu atau bukan wahyu, adalah masalah Aqidah (ushul), bukan
masalah Syariah (furu‟).
Perkara-perkara dalam Aqidah Islam wajib didasarkan pada dalil
qath‟i, bukan dalil zhanni. Karena terdapat celaan (dzamm)
terhadap penggunaan dalil zhanni dalam masalah-masalah
Aqidah (QS Yunus : 36; QS Al Isra‟ : 36).
PANDANGAN THD DALIL-DALIL YANG
DIPERSELISIHKAN
Telah dibahas sebelumnya, bahwa dalil-dalil syar‟i yang
mu‟tabar (kuat) hanya empat: al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma‟
Shahabat dan Qiyas. Lalu bagaimanakah pandangan terhadap
dalil-dalil syar‟i lainnya? Ada dua prinsip pandangan terpenting
sebagai berikut :
Pertama, dalil-dalil syar‟I yang lain, seperti Syara‟ Man
Qablana, Madzhab Shahabat, Istihsan, dan Mashalih Mursalah,
tidak dianggap dalil syar‟i yang mu‟tabar (dianggap kuat).
81
Sebab dalil-dalil syar‟i yang lain tsb kehujjahannya hanya
didasarkan pada dalil zhanni, bukan dalil qath‟i. (Taqiyuddin An
Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/404; M. Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 135; Atha bin Khalil,
Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 112.)
Kedua,, namun hukum syara‟ yang diistinbath
berdasarkan dalil-dalil syar‟i yang lain itu, tetap dianggap hukum
syara‟. Sebab mempunyai syubhatud dalil. Syubhatud dalil
adalah dalil yang marjuh (lemah secara tarjih), baik syubhatud
dalil itu berupa dalil ijmali (sumber hukum) maupun dalil tafshili
(ayat/hadits tertentu). (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah
Al Islamiyyah, 3/404; M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul
Al Fiqh, hlm. 135; Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul,
hlm. 112).
82
PENGERTIAN SYARA’ MAN QABLANA
ِٓ ‫عجمٕب‬ ٌّٓ ٌٝ‫رؼب‬ ‫هللا‬ ‫ب‬ٙ‫ششػ‬ ٟ‫اٌز‬ َ‫األدىب‬ ٛ٘ ‫لجٍٕب‬ ِٓ ‫ششع‬
ٍٗ‫سع‬ٚ ٗ‫بئ‬١‫أٔج‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫ب‬ٌٙ‫أٔض‬ ٚ َ‫ا‬ٛ‫األل‬ ٚ ُِ‫األ‬
‫ؼخ‬٠‫وشش‬ ٌُٙ ُٙ‫غ‬١ٍ‫ٌزج‬
َ‫اٌغال‬ ُٙ١ٍ‫ػ‬ ٝ‫غ‬١‫ػ‬ٚ ٝ‫ع‬ِٛٚ ُ١٘‫اثشا‬
Syara‟ man Qablana (syariat sebelum kita) adalah hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi berbagai umat dan kaum
yang mendahului kita (sebelum Nabi Muhammad SAW) yang
diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya agar mereka
menyampaikan kepada kaumnya, contohnya seperti syariat Nabi
Ibrahim, Musa, dan Isa AS. (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 206).
CONTOH SYARA‟ MAN QABLANA
(1) Dalam syariat Nabi Sulaiman AS, kalau binatang spt burung
berbuat kerusakan, maka binatang tersebut dijatuhi sanksi.
(QS An Naml : 20-21).
(2) Dalam syariat Nabi Zakaria AS, disyariatkan puasa bicara
selama 3 hari. (QS Maryam : 10).
(3) Dalam syariat Nabi Musa AS, haram hukumnya binatang
yang berkuku, juga lemak dari sapi dan domba (QS Al
An‟am : 146).
83
(4) Dalam syariat Nabi Yusuf AS, hukuman untuk pencuri
adalah dijadikan budak (QS Yusuf : 75)
(5) Dalam syariat Nabi Ya‟kub AS, makanan yang diharamkan
oleh Nabi Ya‟kub adalah haram bagi kaumnya (Bani Israil)
(QS Ali „Imran : 93). (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 210).
PANDANGAN ULAMA THD SYARA‟ MAN QABLANA
A. Bahwa syara‟ man qablana adalah syariat bagi kita (umat
Islam), selama terdapat dalam Syariat kita (syariat Islam)
tanpa dukungan atau pengingkaran. Ini adalah pendapat : (1)
mayoritas ulama Hanafiyyah, (2) mayoritas ulama
Malikiyyah, (3) sebagian ulama Safi‟iyyah, dan (4) Imam
Ahmad dalam salah satu riwayat darinya.
Dalil mereka a.l. QS Al An‟am : 90; QS As Syuura : 13;
Firman Allah SWT :
ِِٖ‫ذ‬َ‫ز‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُُْ٘‫َا‬‫ذ‬ُِٙ‫ج‬َ‫ف‬ ُ َّ
‫هللا‬ َٜ‫ذ‬َ٘ َٓ٠ِ‫ز‬ٌَّ‫ا‬ َ‫ه‬ِ‫ئ‬ٌَُْٚ‫أ‬
“Mereka itulah (para nabi sebelum Muhammad) orang-orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk
84
mereka...” (QS Al An‟am : 90) (M. Husain Abdullah, Al Wadhih
fi Ushul Al Fiqh, hlm. 208).
Firman Allah SWT :
‫ب‬ََِٚ َ‫ه‬ْ١ٌَِ‫ا‬ ‫ب‬َْٕ١َ‫د‬َْٚ‫أ‬ ِٞ‫ز‬ٌَّ‫ا‬َٚ ً‫ب‬‫د‬ُٛٔ ِِٗ‫ث‬ َّٝ‫ط‬َٚ ‫ب‬َِ ِٓ٠ِّ‫ذ‬ٌ‫ا‬ ِِْٓ ُُْ‫ى‬ٌَ َ‫ع‬َ‫ش‬َ‫ش‬
‫ا‬ُٛ‫ل‬َّ‫ش‬َ‫ف‬َ‫ز‬َ‫ر‬ ‫ال‬َٚ َٓ٠ِّ‫ذ‬ٌ‫ا‬ ‫ا‬ُّٛ١ِ‫ل‬َ‫أ‬ َْْ‫أ‬ َٝ‫غ‬١ِ‫ػ‬َٚ َٝ‫ع‬َُِٛٚ َُ١ِ٘‫ا‬َ‫ش‬ْ‫ث‬ِ‫ا‬ ِِٗ‫ث‬ ‫ب‬َْٕ١َّ‫ط‬َٚ
ِٗ١ِ‫ف‬
“Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu :tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya...” (QS Syuura : 13)
(Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 208).
B. Bahwa syara‟ man qablana bukanlah syariat untuk kita
(umat Muhammad) meskipun terdapat dalam Al Qur`an. Ini
merupakan pendapat : (1) ulama al Asyaa‟irah (penganut Al
Asy‟ari), Mu‟tazilah, Syi‟ah, (2) Imam Ahmad dalam
riwayatnya yang lain, (3) Imam Ibnu Hazm, (4) sebagian
ulama Hanafiyyah, (5) mayoritas ulama Syafi‟iyyah (spt
Imam Ghazali, Amidi, Razi).
85
Dalil mereka a.l. QS Al Maidah : 48 (M. Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 209). Firman Allah SWT :
ِ‫ة‬‫ب‬َ‫ز‬ِ‫ى‬ٌْ‫ا‬ َِِٓ ِْٗ٠َ‫ذ‬َ٠ َْٓ١َ‫ث‬ ‫ب‬ٌَّّ ً‫ب‬‫ل‬ّ‫ذ‬َ‫ظ‬ُِ ّ‫ك‬َ‫ذ‬ٌْ‫ب‬ِ‫ث‬ َ‫بة‬َ‫ز‬ِ‫ى‬ٌْ‫ا‬ َ‫ه‬ْ١ٌَِ‫ا‬ ‫آ‬ٌََْٕ‫ض‬َٔ‫أ‬َٚ
ِْٗ١ٍََ‫ػ‬ ً‫ب‬ِّْٕ١ََُِٙٚ
“ Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur`an dengan
membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan “muhaiminan” (batu ujian)
terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (QS Al Maidah : 48). (M.
Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 209).
Tarjih : Pandangan yang lebih kuat adalah pandangan kedua
bahwa syara‟ man qablana bukanlah syariat untuk kita (umat
Muhammad) meskipun terdapat dalam Al Qur`an.
Dalilnya karena Allah SWT berfirman :
ِ‫ة‬‫ب‬َ‫ز‬ِ‫ى‬ٌْ‫ا‬ َِِٓ ِْٗ٠َ‫ذ‬َ٠ َْٓ١َ‫ث‬ ‫ب‬ٌَّّ ً‫ب‬‫ل‬ّ‫ذ‬َ‫ظ‬ُِ ّ‫ك‬َ‫ذ‬ٌْ‫ب‬ِ‫ث‬ َ‫بة‬َ‫ز‬ِ‫ى‬ٌْ‫ا‬ َ‫ه‬ْ١ٌَِ‫ا‬ ‫آ‬ٌََْٕ‫ض‬َٔ‫أ‬َٚ
ِْٗ١ٍََ‫ػ‬ ً‫ب‬ِّْٕ١ََُِٙٚ
“ Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur`an dengan
membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan “muhaiminan” terhadap kitab-kitab
yang lain itu.” (QS Al Maidah : 48).
86
Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan bahwa kata
Muhaiminan dalam ayat QS Al Maidah : 48 itu, artinya adalah
Naasikhan, yaitu menasakh atau menghapuskan. Walhasil, kitab
Al Qur`an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW telah
menasakh (menghapus) syariat umat-umat sebelumnya yang
terdapat dalam kitab-kitab nabi sebelumnya. (Imam Taqiyuddin
An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/408.)
PENGERTIAN MADZHAB SHAHABAT
‫ب‬ٙ‫اعزٕجط‬ ٟ‫اٌز‬ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ َ‫األدىب‬ ‫ع‬ّٛ‫ِج‬ ٛ٘ ٟ‫اٌظذبث‬ ‫ِز٘ت‬
‫ب‬ٙ‫ث‬ ٝ‫لؼ‬ٚ ‫ب‬ٙ‫ث‬ ٝ‫فؤفز‬ ٟ‫اٌظذبث‬
Madzhab shahabat adalah kumpulan hukum-hukum syara‟ yang
diistinbath oleh seorang shahabat, lalu dia fatwakan dan dia
gunakan untuk memutuskan hukum. (M. Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 198).
Contoh :
(1) Memberikan zakat kepada muallaf (pendapat Abu Bakar as
Shiddiq)
(2) Tidak memberikan zakat kepada muallaf (pendapat Umar bin
Khaththab)
87
(3) Tidak memotong tangan pencuri pada saat pencurinya
kelaparan (pendapat Umar bin Khaththab).
(4) Menjadikan diyat (tebusan) karena kasus pembunuhan tak
sengaja (dalam peperangan) sbg tanggungan prajurit2 yang
masih satu kelompok pasukan dengan si pembunuh.
(pendapat Umar bin Khaththab).
(5) Menjatuhkan talak sebanyak tiga kali, dalam satu majelis,
jatuh talak tiga (bukan talak satu). (pendapat Umar bin
Khaththab). (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al
Fiqh, hlm. 202).
PANDANGAN ULAMA THD MADZHAB SHAHABAT
Pendapat pertama, bahwa madzhab shahabat yang merupakan
hasil ijtihad shahabat adalah dalil syar‟i (sumber hukum). Ini
pendapat : (1) Imam Malik, juga ulama Malikiyyah, (2)
mayoritas ulama Hanafiyyah, (3) Imam Razi, dan (4) Imam
Syatibi. Dalil mereka a.l. ayat-ayat yang memuji shahabat seperti
QS At Taubah : 100 (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al
Fiqh, hlm. 198-199), seperti QS At Taubah : 100
88
َٓ٠ِ‫ز‬ٌَّ‫ا‬َٚ ِ‫بس‬َ‫ظ‬َٔ‫األ‬َٚ َٓ٠ِ‫ش‬ِ‫ج‬‫ب‬ٌَُّْٙ‫ا‬ ِِْٓ ٌَََُّْٛٚ‫األ‬ َُْٛ‫م‬ِ‫ث‬‫َّب‬‫غ‬ٌ‫ا‬َٚ
ُُُْ٘ٛ‫ؼ‬َ‫ج‬َّ‫ر‬‫ا‬
ِٞ‫ش‬ْ‫َج‬‫ر‬ ٍ‫د‬‫ب‬ََّٕ‫ج‬ ٌَُُْٙ َّ‫ذ‬َ‫ػ‬َ‫أ‬َٚ َُْٕٗ‫ػ‬ ‫ا‬ُٛ‫ػ‬َ‫س‬َٚ َُُْْٕٙ‫ػ‬ ُ َّ
‫هللا‬ َِٟ‫ػ‬َ‫س‬ ٍْ‫ب‬َ‫غ‬ْ‫د‬ِ‫ب‬ِ‫ث‬
ُُ١ِ‫ظ‬َ‫ؼ‬ٌْ‫ا‬ ُ‫ص‬َْٛ‫ف‬ٌْ‫ا‬ َ‫ه‬ٌَِ‫ر‬ ً‫ا‬‫ذ‬َ‫ث‬َ‫أ‬ ‫ب‬َٙ١ِ‫ف‬ َٓ٠ِ‫ذ‬ٌِ‫ب‬َ‫خ‬ ُ‫س‬‫ب‬ََْٙٔ‫األ‬ ‫ب‬ََٙ‫ز‬ْ‫َذ‬‫ر‬
“Orang-orang yg terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan orang-
orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada
mereka dan mereka pun ridho kepada Allah...” (QS At Taubah :
100) (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm.
198-199).
Pendapat kedua, madzhab shahabat bukanlah dalil syar‟i (sumber
hukum). Ini pendapat dari (1) Mu‟tazilah, (2) Imam Syafi‟i, (3)
Imam Ahmad, (4) Imam Amidi, dan (5) Imam Syaukani.
Alasannya : madzhab shahabat adalah ijtihad yang bisa salah bisa
benar. Jadi tak bisa dijadikan hujjah (dalil syar‟i). (M. Husain
Abdullah, Al Wadhih, hlm. 198-199).
Tarjih : pendapat yang rajih adalah pendapat kedua yang tidak
menjadikan madzhab shahabat sebagai dalil syar‟i. Imam
Taqiyuddin An Nabhani berkata madzhab shahabat tertolak
sebagai dalil karena firman Allah SWT :
89
ِ‫ي‬ُٛ‫ع‬ّ‫ش‬ٌ‫ا‬َٚ ِ ّ
‫هللا‬ ٌَِٝ‫ا‬ ُّٖٚ‫د‬ُ‫ش‬َ‫ف‬ ٍ‫ء‬َْٟ‫ش‬ ِٟ‫ف‬ ُُْ‫ز‬ْ‫ػ‬َ‫ص‬‫ب‬ََٕ‫ر‬ ِْ‫ب‬َ‫ف‬
“Maka jika kamu berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah
itu kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS An Nisaa` ; 59)
Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan bahwa
tempat kembali ketika ada perselisihan hanyalah Allah dan
Rasul-Nya saja, maksudnya Al Qur`an dan As Sunnah saja,
bukan yang lain. Maka selain Qur`an dan As Sunnah, termasuk
madzhab Shahabat, tidak layak menjadi tempat kembali, yakni
tidak layak menjadi dalil syar‟i. (Imam Taqiyuddin An Nabhani,
As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/416).
CATATAN PENTING TTG MADZHAB SHAHABAT :
Meskipun madzhab shahabat tidak mencapai derajat dalil syar‟i
(sumber hukum), tetapi hukum-hukum syara‟ yang diistinbath
oleh para shahabat menempati kedudukan tertinggi dalam fiqih
Islam. Boleh hukumnya mengikuti (ittiba‟) dan bertaqlid kepada
ijtihad para shahabat. (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul
Al Fiqh, hlm. 204).
90
PENGERTIAN ISTIHSAN
Menurut Syekh Muhammad Husain Abdullah, Istihsan ada dua
pengertian :
Pengertian pertama :
،ٟ‫خف‬ ‫بط‬١‫ل‬ ٌٝ‫ا‬ ٍٟ‫ج‬ ‫بط‬١‫ل‬ ٓ‫ػ‬ ‫ي‬ٚ‫اٌؼذ‬ ٛ٘ ْ‫اإلعزذغب‬
‫ِب‬ ٛ٘ٚ
ٟ‫بع‬١‫اٌم‬ ْ‫اإلعزذغب‬ ُ٘‫ػٕذ‬ ّٝ‫غ‬٠
Istihsan adalah berpindah dari Qiyas Jalli (Qiyas yang jelas)
menuju Qiyas Khafi (Qiyas yang tersembunyi). Itulah yang
dinamakan Istihsan Qiyasi menurut mereka (ulama yang
menggunakan Istihsan sbg dalil). (M Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 136)
Contoh Istihsan Qiyasi :
Katakanlah ada dua orang (misal A dan B) membeli sebuah
mobil secara kredit/utang dari dua orang (misal C dan D),
misalnya seharga 100 juta. A dan B bersyirkah, sebagaimana C
dan D juga bersyirkah. Lalu salah satu penjual, misal C sudah
menerima sebagian harganya (uang cicilan), misalnya 50 juta,
kemudian uang 50 juta ini hilang, siapakah yang menanggung
hilangnya uang ini?
91
Apakah yang menanggung C saja? Ataukah C dan D secara
bersama?
Menurut Qiyas Jalli: yakni Qiyas yang shahih, yang menanggung
adalah C dan D secara bersama. Menurut Qiyas Khafi : yang
menanggung hanya C saja, D tidak menanggung kerugian. Jadi,
istihsan di sini : adalah menimpakan kerugian hanya pada C saja,
bukan C dan D, karena berpindah dari Qiyas Jalli menuju Qiyas
Khafi. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm.
136).
Pengertian kedua:
ٓ‫رطّئ‬ ً١ٌ‫ٌذ‬ ٍٟ‫و‬ ً‫أط‬ ِٓ ‫خ‬١‫جضئ‬ ‫ِغؤٌخ‬ ‫اعزضٕبء‬ ٛ٘ ْ‫اإلعزذغب‬
‫اإلعزضٕبء‬ ‫٘زا‬ ٟ‫مزؼ‬٠ ‫ذ‬ٙ‫اٌّجز‬ ٗ١ٌ‫ا‬
Istihsan adalah mengecualikan masalah parsial (mas`alah
juz`iyyah) dari hukum pokok yang menyeluruh (al ashlu al
kulliy) menurut dalil yang dicenderungi mujtahid, yang menuntut
adanya pengecualian itu. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 137)
92
Contoh :
Misalkan penjual dan pembeli berselisih mengenai harga barang
setelah barang diserahterimakan penjual kepada pembeli,
misalnya penjual mengatakan harganya 50 juta, sementara
pembeli mengatakan harganya 40 juta, bagaimana hukumnya?
Menurut al ashlul al kulli (hukum pokok yang menyeluruh) :
Penjual wajib menunjukkan bukti (misal kuitansi or daftar
harga), sedang pembeli wajib bersumpah.
Hukum pokok tsb didasarkan pada hadits Nabi SAW :
‫أٔىش‬ ِٓ ٍٝ‫ػ‬ ٓ١ّ١ٌ‫ا‬ٚ ٝ‫ادػ‬ ِٓ ٍٝ‫ػ‬ ‫ٕخ‬١‫اٌج‬
“Bukti wajib diajukan oleh orang yang menuntut (mendakwa),
sedang sumpah wajib diucapkan oleh orang yang mengingkari
dakwaan itu.” (HR Baihaqi, sahih)
Mujtahid mengecualikan hukum pokok tersebut, atas dasar
Istihsan, yaitu yang bersumpah adalah penjual dan pembeli
sekaligus (bukan hanya pembeli).
Pengecualian ini dalilnya hadits Nabi SAW sbb :
Sabda Nabi SAW :
ٕ١‫ث‬ ‫ال‬ٚ ‫لبئّخ‬ ‫اٌغٍؼخ‬ ٚ ْ‫ؼب‬٠‫اٌّزجب‬ ‫اخزٍف‬ ‫ارا‬
‫رذبٌف‬ ‫ألدذّ٘ب‬ ‫خ‬
93
“Jika berselisih penjual dan pembeli, sedang barang dagangan
masih ada dan tidak ada bukti dari salah satu dari keduanya,
maka hendaklah keduanya bersumpah.” (HR As-habus Sunnah,
dan disahihkan oleh Al Haakim).
CATATAN :
Hukum yang dianggap Istihsan ini, sebenarnya adalah kembali
kepada al-Hadits, yaitu mentakhsis hukum pokok dgn hadits,
yang memang sah dalam Ushul Fiqih.
MACAM-MACAM ISTIHSAN
Istihsan ada 4 (empat) macam :
(1) Istihsan Qiyasi
(2) Istihsan Dharurah (Istihsan Maslahah)
(3) Istihsan Sunnah
(4) Istihsan Ijma‟
KETERANGAN :
(1) Istihsan Qiyasi adalah berpindah dari Qiyas Jalli (Qiyas
yang jelas) menuju Qiyas Khafi (Qiyas yang tersembunyi),
sebagaimana sudah diterangkan sebelumnya.
94
(2) Istihsan Dharurah (Istihsan Maslahah)
ْ‫اعزذغب‬
‫بط‬١‫اٌم‬ ُ‫دى‬ ٗ١‫ف‬ ‫ٌف‬ٛ‫خ‬ ‫ِب‬ ٛ٘ ‫اٌّظٍذخ‬ٚ ‫سح‬ٚ‫اٌؼش‬
ٚ‫أ‬ ‫ٌٍذبجخ‬ ‫عذا‬ ‫خ‬١‫ِمزؼ‬ ‫ِظٍذخ‬ ٚ‫أ‬ ، ‫ججخ‬ِٛ ‫سح‬ٚ‫ػش‬ ٌٝ‫ا‬ ‫ٔظشا‬
.‫ٌٍذشط‬ ‫دفؼب‬
Istihsan dharurah/maslahah adalah hukum yang menyalahi
hukum Qiyas karena mempertimbangkan kedaruratan yang
mengharuskan atau kemaslahatan yang menuntut, untuk
memenuhi kebutuhan atau menolak kesulitan. M Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 139.
Contoh Istihsan Dharurah (Istihsan Maslahah) :
Hukum berdasar nash : seorang ajir khusus (misalnya penjahit
yang dibayar secara khusus untuk pelanggan tertentu), jika baju
yang dijahitnya rusak bukan karena kelalaian penjahit, maka
penjahit tidak menanggung kerugiannya. Alasannya, karena
tangan penjahit termasuk tangan amanah (yad amanah) yang tak
menanggung kerugian, sesuai dalil hadits Nabi SAW sbb :
ّٓ‫اٌّئر‬ ٍٝ‫ػ‬ ْ‫ػّب‬ ‫ال‬
”Tidak ada kewajiban menanggung kerugian, atas orang yang
diberi amanah (mu`taman).” (HR Ad Daruquthni).
95
Hukum berdasar Qiyas : seorang ajir umum (misalnya penjahit
yang bekerja kepada masyarakat secara umum), jika baju yang
dijahitnya rusak bukan karena kelalaian penjahit, maka penjahit
juga tidak menanggung kerugiannya, diqiyaskan kepada ajir
khusus. Hukum berdasar Istihsan Dharurah/ Maslahah adalah
sebagai berikut:
 Ajir khusus tidak menanggung kerugian.
 Ajir umum menanggung kerugian (ini menyalahi hukum
Qiyas di atas), dengan alasan agar ajir umum tidak
menerima pekerjaan di luar batas kemampuannya.
(M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm.
139).
(3) Istihsan Sunnah
ٟ‫ف‬ ‫بط‬١‫اٌم‬ ‫سد‬ ‫جت‬ٛ٠ ‫ِب‬ ‫اٌغٕخ‬ ِٓ ‫ضجذ‬٠ ْ‫أ‬ ٛ٘ ‫اٌغٕخ‬ ْ‫اعزذغب‬
.‫لبئغ‬ٌٛ‫ا‬ ِٓ ‫الؼخ‬ٚ ُ‫دى‬
Istihsan sunnah adalah adanya dalil As Sunnah yang
mengharuskan menolak Qiyas mengenai hukum untuk satu
peristiwa dari berbagai peristiwa yang ada. (M Husain Abdullah,
Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 138).
96
Contoh Istihsan sunnah : kasus kesaksian Khuzaimah RA.
Berdasarkan hukum qiyas : tidak diterima kesaksian satu orang
sahabat Nabi bernama Khuzaimah, diqiyaskan dengan hukum
tertolaknya kesaksian satu orang laki-laki. Kesaksian nishabnya
adalah dua orang laki-laki, namun berdasarkan hukum as-Sunnah
maka qiyas tersebut tertolak, karena ada dalil as-Sunnah yang
khusus ttg Khuzaimah sbb :Sabda Rasulullah SAW :
ٗ‫دغج‬ ٛٙ‫ف‬ ‫ّخ‬٠‫خض‬ ٌٗ ‫ذ‬ٙ‫ش‬ ِٓ
”Barangsiapa yang Khuzaimah bersaksi untuknya, maka
cukuplah kesaksian itu.” (HR Abu Dawud), dalam riwayat lain
menurut Imam Nasa`i :
‫بدح‬ٙ‫ش‬
ٓ١ٍ‫سج‬ ‫بدح‬ٙ‫ثش‬ ‫ّخ‬٠‫خض‬
“Kesaksian Khuzaimah setara dengan kesaksian dua orang laki-
laki.” (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm.
138).
(4) Istihsan Ijma‟
‫إلٔؼمبد‬ ‫ِغؤٌخ‬ ٟ‫ف‬ ‫بط‬١‫اٌم‬ ‫زشن‬٠ ْ‫أ‬ ٛ٘ ‫اإلجّبع‬ ْ‫اعزذغب‬
.ٗ١ٌ‫ا‬ ‫بط‬١‫اٌم‬ ٞ‫ئد‬٠ ‫ِب‬ ‫ش‬١‫غ‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫اإلجّبع‬
97
Istihsan Qiyas adalah meninggalkan Qiyas dalam satu masalah
karena adanya Ijma‟ yang menyalahi Qiyas tersebut. (M Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 138).
Contoh Istihsan Ijma‟ :
Berdasar hukum Qiyas : tidak boleh akad istishna‟ (minta
dibuatkan barang), karena diqiyaskan dengan tidak bolehnya jual
beli barang yang tidak ada, sesuai hadis Nabi SAW :
‫ػٕذن‬ ‫ظ‬١ٌ ‫ِب‬ ‫رجغ‬ ‫ال‬
“Janganlah kamu menjual apa-apa yang tak ada di sisimu.” (HR
Tirmidzi)
Hukum berdasar Ijma‟ : membolehkan istishna‟.
Hukum Istihsan : membolehkan istishna‟, yakni meninggalkan
qiyas dan mengamalkan ijma‟. (Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 138).
KEHUJJAHAN ISTIHSAN
(1) Sebagian ulama menganggap Istihsan sebagai dalil syar‟i,
yaitu ulama Hanafiyyah, Hanabilah, dan Malikiyyah.
(2) Sebagian ulama menolak Istihsan sebagai dalil syar‟i, di
antaranya Imam Syafi‟i, Ulama Zhahiriyah, Mu‟tazilah, dan
98
Syiah. (Lihat Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, juz 2
hlm. 748).
Ulama yg menganggap Istihsan sebagai dalil syar‟i, berdalil
dengan dalil-dalil sbb :
(1) Firman Allah SWT :
ٕٗ‫أدغ‬ ْٛ‫زجؼ‬١‫ف‬ ‫ي‬ٛ‫اٌم‬ ْٛ‫غزّؼ‬٠ ٓ٠‫اٌز‬
“yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya.” (QS Az Zumar [39] : 18).
(2) Firman Allah SWT :
ٓ‫أدغ‬ ‫ا‬ٛ‫ارجؼ‬ٚ
ُ‫سثى‬ ِٓ ُ‫ى‬١ٌ‫ا‬ ‫أٔضي‬ ‫ِب‬
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu.” (QS Az Zumar [39] : 55).
(3) Hadits Nabi SAW :
ٓ‫دغ‬ ‫هللا‬ ‫ػٕذ‬ ٛٙ‫ف‬ ٓ‫دغ‬ ٍّْٛ‫اٌّغ‬ ٖ‫سآ‬ ‫ِب‬
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslim, maka ia di sisi
Allah juga baik.”
TARJIH TENTANG ISTIHSAN
Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, dari keempat macam
Istihsan di atas ada yang diterima dan ada yang ditolak. Yang
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh
ushul fiqh

More Related Content

What's hot

Muhkam Mutasyabih
Muhkam MutasyabihMuhkam Mutasyabih
Muhkam Mutasyabihqoida malik
 
Ijma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyasIjma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyasRikza Adhia
 
PPT.KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM.pptx
PPT.KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM.pptxPPT.KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM.pptx
PPT.KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM.pptxDiKi33
 
01.1 METODE STUDI FIQIH KONTEMPORER
01.1 METODE STUDI FIQIH KONTEMPORER01.1 METODE STUDI FIQIH KONTEMPORER
01.1 METODE STUDI FIQIH KONTEMPORERfissilmikaffah1
 
PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)Khusnul Kotimah
 
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)Erta Erta
 
sejarah pembukuan hadits
sejarah pembukuan hadits sejarah pembukuan hadits
sejarah pembukuan hadits khoirotul ula
 
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyadMarhamah Saleh
 
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARITAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARIarfian kurniawan
 
I'jaz al qur'an (muhammad maghfur amin)
I'jaz al qur'an (muhammad maghfur amin)I'jaz al qur'an (muhammad maghfur amin)
I'jaz al qur'an (muhammad maghfur amin)Maghfur Amien
 
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'ifHadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'ifAzzahra Azzahra
 
Ushul Fiqh - Syara man Qoblana
Ushul Fiqh - Syara man QoblanaUshul Fiqh - Syara man Qoblana
Ushul Fiqh - Syara man QoblanaRendra Fahrurrozie
 
Kodifikasi al quran
Kodifikasi al quranKodifikasi al quran
Kodifikasi al quranNisa Ell
 

What's hot (20)

9. metode instinbath
9. metode instinbath9. metode instinbath
9. metode instinbath
 
I'jaz Al Qur'an
 I'jaz Al Qur'an I'jaz Al Qur'an
I'jaz Al Qur'an
 
Muhkam Mutasyabih
Muhkam MutasyabihMuhkam Mutasyabih
Muhkam Mutasyabih
 
Ijma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyasIjma’ dan qiyas
Ijma’ dan qiyas
 
Asbababun nuzul powerpoint
Asbababun nuzul powerpointAsbababun nuzul powerpoint
Asbababun nuzul powerpoint
 
Asbabun nuzul
Asbabun nuzulAsbabun nuzul
Asbabun nuzul
 
Sanad hadits
Sanad haditsSanad hadits
Sanad hadits
 
PPT.KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM.pptx
PPT.KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM.pptxPPT.KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM.pptx
PPT.KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM.pptx
 
01.1 METODE STUDI FIQIH KONTEMPORER
01.1 METODE STUDI FIQIH KONTEMPORER01.1 METODE STUDI FIQIH KONTEMPORER
01.1 METODE STUDI FIQIH KONTEMPORER
 
Amar nahi
Amar nahiAmar nahi
Amar nahi
 
PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
PPT 'AM dan KHASH (Ulumul Qur'an 2)
 
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
Balaghoh (ma'ani, badi', bayan)
 
sejarah pembukuan hadits
sejarah pembukuan hadits sejarah pembukuan hadits
sejarah pembukuan hadits
 
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
3. ‘am, khash, muthlaq, muqayyad
 
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARITAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
TAFSIR BIL MA’TSUR, TAFSIR BIR RA’YI DAN TAFSIR ISYARI
 
Asbabul wurud
Asbabul wurudAsbabul wurud
Asbabul wurud
 
I'jaz al qur'an (muhammad maghfur amin)
I'jaz al qur'an (muhammad maghfur amin)I'jaz al qur'an (muhammad maghfur amin)
I'jaz al qur'an (muhammad maghfur amin)
 
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'ifHadits Shahih, Hasan, Dlo'if
Hadits Shahih, Hasan, Dlo'if
 
Ushul Fiqh - Syara man Qoblana
Ushul Fiqh - Syara man QoblanaUshul Fiqh - Syara man Qoblana
Ushul Fiqh - Syara man Qoblana
 
Kodifikasi al quran
Kodifikasi al quranKodifikasi al quran
Kodifikasi al quran
 

Similar to ushul fiqh

Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)
Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)
Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)Marhamah Saleh
 
Ulumul_Quran.pptx
Ulumul_Quran.pptxUlumul_Quran.pptx
Ulumul_Quran.pptxmiduwidang
 
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2013 2014)
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2013 2014)Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2013 2014)
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2013 2014)Muhsin Hariyanto
 
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2014 2015)
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2014 2015)Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2014 2015)
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2014 2015)Muhsin Hariyanto
 
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik dan
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik danFilsafat hukum islam di masa ulama klasik dan
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik danratnasuraiya
 
Ilmu musthalah hadits gratis
Ilmu musthalah hadits gratisIlmu musthalah hadits gratis
Ilmu musthalah hadits gratisQomaruz Zaman
 
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptxnimalfaiz1
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Jingga Matahari
 
Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Amiruddin Ahmad
 
MATERI SYARIAH 11 DALIL SYARIAH YANG DZANNY rev.pdf
MATERI SYARIAH 11 DALIL SYARIAH YANG DZANNY rev.pdfMATERI SYARIAH 11 DALIL SYARIAH YANG DZANNY rev.pdf
MATERI SYARIAH 11 DALIL SYARIAH YANG DZANNY rev.pdfNurulZaman4
 
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docxmakalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docxAmeliaJonson1
 

Similar to ushul fiqh (20)

Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)
Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)
Presentasi Ushul Fiqh (Ta'rif, Tarikh, Mashadir)
 
Pemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islamPemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islam
 
Pemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islamPemikiran hukum islam
Pemikiran hukum islam
 
Pemikiran hukum
Pemikiran hukum Pemikiran hukum
Pemikiran hukum
 
Pemikiran hukum
Pemikiran hukum Pemikiran hukum
Pemikiran hukum
 
Ulumul_Quran_Bag_1_pptx.pptx
Ulumul_Quran_Bag_1_pptx.pptxUlumul_Quran_Bag_1_pptx.pptx
Ulumul_Quran_Bag_1_pptx.pptx
 
Ulumul_Quran.pptx
Ulumul_Quran.pptxUlumul_Quran.pptx
Ulumul_Quran.pptx
 
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2013 2014)
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2013 2014)Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2013 2014)
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2013 2014)
 
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2014 2015)
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2014 2015)Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2014 2015)
Bahan ajar ushul fiqh (semester gasal 2014 2015)
 
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik dan
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik danFilsafat hukum islam di masa ulama klasik dan
Filsafat hukum islam di masa ulama klasik dan
 
Buwaih makalah
Buwaih makalahBuwaih makalah
Buwaih makalah
 
08 isi pelajaran
08 isi pelajaran08 isi pelajaran
08 isi pelajaran
 
Bahan ajar ushul fiqh
Bahan ajar ushul fiqhBahan ajar ushul fiqh
Bahan ajar ushul fiqh
 
Ilmu musthalah hadits gratis
Ilmu musthalah hadits gratisIlmu musthalah hadits gratis
Ilmu musthalah hadits gratis
 
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx
1. SEJARAH PERKEMBANGAN USUL FIQH.pptx
 
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
Syari’at, fiqh, dan ushul fiqh
 
Qiyas Istisnai'iyyah
Qiyas Istisnai'iyyahQiyas Istisnai'iyyah
Qiyas Istisnai'iyyah
 
Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1Qawaid fiqh koleksi pt 1
Qawaid fiqh koleksi pt 1
 
MATERI SYARIAH 11 DALIL SYARIAH YANG DZANNY rev.pdf
MATERI SYARIAH 11 DALIL SYARIAH YANG DZANNY rev.pdfMATERI SYARIAH 11 DALIL SYARIAH YANG DZANNY rev.pdf
MATERI SYARIAH 11 DALIL SYARIAH YANG DZANNY rev.pdf
 
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docxmakalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
makalah qawaid uhuliyah dan fiqiyah 2.docx
 

Recently uploaded

1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptxmohamadhafiz651
 
interpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxinterpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxekahariansyah96
 
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxmuhammadarsyad77
 
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum ViktimologiSaktaPrwt
 
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...Indra Wardhana
 
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxpdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxINTANAMALINURAWALIA
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIdillaayuna
 
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfSumardi Arahbani
 
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANharri34
 
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahamateri hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahayunitahatmayantihafi
 

Recently uploaded (10)

1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
 
interpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxinterpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptx
 
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
 
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
 
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
 
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxpdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
 
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
 
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
 
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahamateri hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
 

ushul fiqh

  • 1. 1 BAB I PENDAHULUAN DEFINISI USHUL FIQH ً‫أط‬ ‫جّغ‬ ‫ٌغخ‬ ‫ي‬ٛ‫األط‬ . ٟ‫اٌز‬ ‫اػذ‬ٛ‫اٌم‬ ٚ‫أ‬ ‫األعظ‬ ٟ٘ ‫ي‬ٛ‫األط‬ ‫ش٘ب‬١‫غ‬ ‫ب‬ٙ١ٍ‫ػ‬ ٕٝ‫ج‬٠ . ُٙ‫اٌف‬ ‫ٌغخ‬ ٗ‫اٌفم‬ . ٗ‫اٌفم‬ ٍُ‫اٌؼ‬ ٛ٘ ‫اططالدب‬ ‫خ‬١ٍ١‫اٌزفظ‬ ‫ب‬ٙ‫أدٌز‬ ِٓ ‫اٌّغزفبدح‬ ‫خ‬١ٍّ‫اٌؼ‬ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ َ‫ثبألدىب‬ . ‫ي‬ٛ‫أط‬ ٟ‫اٌز‬ ‫اػذ‬ٛ‫اٌم‬ٚ ‫خ‬١ٌ‫اإلجّب‬ ‫األدٌخ‬ ٟ٘ ٗ‫اٌفم‬ ٍُ‫اٌؼ‬ ٌٝ‫ا‬ ‫ب‬ٙ‫ث‬ ً‫ط‬ٛ‫ز‬٠ .‫خ‬١ٍ١‫اٌزفظ‬ ‫ب‬ٙ‫أدٌز‬ ِٓ ‫اٌّغزفبدح‬ ‫خ‬١ٍّ‫اٌؼ‬ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ َ‫ثبألدىب‬ PENJELASAN DEFINISI USHUL FIQIH 1. Adillah Al Ijmaliyah (Dalil Ijmali ) = adalah dalil-dalil global (bukan dalil-dalil tafshili), seperti Al Qur`an, As Sunnah, Ijma‟, dll. 2. Qawa‟id (Kaidah-Kaidah ), meliputi dua macam kaidah : a. Qawa‟id Fiqhiyah (kaidah fiqih), seperti kaidah “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib.”
  • 2. 2 b. Qawa‟id Ushuliyah (Kaidah Ushul Fiqih), seperti kaidah “al ashlu fi al kalaam al haqiqah” dan kaidah “al „aam yabqaa „ala „umuumihi maa lam yarid dalil at takhsis”. 3. Al „Ilmu (pengetahuan) = adalah terwujudnya “malakah” (hushulul malakah) yaitu suatu pemahaman mendalam pada diri seorang faqih. 4. Al „amaliyah = maksudnya, yang berhubungan dengan perbuatan manusia (lahaa „alaqah bi a‟maal al „ibad), spt sholat, jual beli, jihad, nashbul khalifah (mengangkat khalifah), dll. 5. Al Mustafaadah = maksudnya, yang diambil dengan istinbath atau tanpa istinbath. 6. Adillah Tafshiiliyah (dalil-dalil terperinci) = maksudnya dalil-dalil juz‟i (parsial), yaitu sebuah ayat atau hadits tertentu, atau bagian dari ayat atau hadits tertentu. Ushul fiqih intinya adalah suatu minhaj (metode) yang ditempuh mujtahid untuk mengistinbath hukum dari sumber-sumber hukum (dalil syara‟).
  • 3. 3 OBJEK KAJIAN (maudhuu‟) USHUL FIQIH ‫ي‬ٚ‫زٕب‬٠ ‫ي‬ٛ‫أط‬ ‫ا‬ ٌ : ‫خ‬١ٌ‫اٌزب‬ ‫األسثؼخ‬ ‫س‬ِٛ‫األ‬ ٗ‫فم‬ 1 . ‫بط‬١‫اٌم‬ ٚ ‫اإلجّبع‬ ٚ ‫اٌغٕخ‬ٚ ‫اٌىزبة‬ :‫خ‬١ٌ‫اإلجّب‬ ‫األدٌخ‬ ٚ ٚ , ‫اٌّشعٍخ‬ ‫اٌّظبٌخ‬ ٚ , ْ‫اإلعزذغب‬ : ً‫ِض‬ ‫ش٘ب‬١‫غ‬ ٚ , ٟ‫اٌظذبث‬ ‫ِز٘ت‬ ٚ , ‫لجٍٕب‬ ِٓ ‫ششع‬ ٚ , ‫اٌؼشف‬ . ‫اإلعزظذبة‬ 2 . ٗ‫ث‬ ‫زؼٍك‬٠ ‫ِب‬ ٚ ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬ ‫اع‬ٛٔ‫أ‬ٚ , ُ‫اٌذى‬ ٕٝ‫ِؼ‬ : َٛ‫اٌّذى‬ ٚ , ُ‫(اٌذبو‬ ُ‫اٌذى‬ ْ‫أسوب‬ ٚ , ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬ ) ٗ١‫ف‬ َٛ‫اٌّذى‬ ٚ , ٗ١ٍ‫ػ‬ 3 . ‫األٌفبد‬ ‫دالالد‬ ‫ش‬١‫د‬ ِٓ ‫اٌغٕخ‬ ٚ ‫اٌىزبة‬ ‫أٌفبظ‬ ‫دالالد‬ : . ‫رٌه‬ ‫ش‬١‫غ‬ ٚ ‫ب‬ٙ‫خفبئ‬ ‫ش‬١‫د‬ ِٓ ٚ ‫ب‬ٙ‫د‬ٛ‫ػ‬ٚ 4 . ‫ذ‬١ٍ‫اٌزم‬ٚ ‫بد‬ٙ‫اإلجز‬
  • 4. 4 (1) Dalil-dalil Ijmali, atau disebut juga Dalil Syara‟ (sumber hukum), seperti Al Qur`an, As Sunnah, Ijma‟ Shahabat, dll, dibahas dari segi kehujjahannya dan kedudukannya dalam istidlal. (2) Hukum Syara‟, dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti pembahasan apa itu hukum syara‟, macam-macam hukum syara‟, rukun hukum (hakim, mahkum alahi, mahkum fiihi) (3) Dalalah lafazh (pengertian yang ditunjukkan dalil) dari Al Qur`an dan As Sunnah, atau disebut juga Fahmu Dalil (pemahaman terhadap dalil), spt manthuq, mafhum, umum, khusus, mutlak, muqayyad, dsb. (4) Ijtihad dan Taqlid, spt pembahasan ttg definisi, hukum, dan syarat Ijtihad atau Taqlid. Juga pembahasan ttg Ta‟adul dan Tarajih.
  • 5. 5 PERBEDAAN USHUL FIQIH DAN FIQIH TUJUAN BELAJAR USHUL FIQIH 1) Untuk menetapkan (itsbat) secara pasti (qath‟i) bahwa suatu dalil ijmali (misal Al Qur`an dan As Sunnah) adalah benar- benar wahyu dari Allah SWT. Dalil ijmali / dalil syar‟i termasuk masalah masalah ushul (aqidah) yang wajib ditetapkan berdasarkan dalil qath‟i, bukan dalil zhanni. (Lihat QS Yunus : 36, QS Al Isra` : 36 dan M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 20-21) 2) Bagi mujtahid : untuk menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqih pada dalil-dalil tafshili untuk mengistinbath hukum syara‟
  • 6. 6 yang mutlak diperlukan oleh kaum muslimin dalam kehidupan mereka. Ini tujuan yg amat mulia, karena akan membantu manusia beribadah, sbg tujuan diciptakannya manusia oleh Allah SWT (QS Adzariyat : 56), yang tak mungkin ibadah itu terlaksana tanpa mengetahui hukum syara‟. (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 20-21). 3) Bagi muqallid : untuk memahami kaidah-kaidah yang digunakan oleh mujtahid dalam mengistinbath hukum syara‟ dari dalil syara‟. Ini penting, karena di samping menjadi satu tahapan kompetensi pra ijtihad, juga untuk memantapkan hati bahwa para mujtahid terdahulu adalah ulama yang layak untuk diikuti dan pendapat mereka adalah hukum syara‟ yang sahih. (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, hlm. 30).
  • 7. 7 BAB II SEJARAH USHUL FIQH Pokok Pembahasan: 1. Imam Syafii Peletak Dasar Ushul Fiqih 2. Ushul Fiqih Sebelum Masa Imam Syafii 3. Ushul Fiqih Sesudah Masa Imam Syafii : a. Metode Mutakallimin b. Metode Fuqoha 4. Kitab-kitab Ushul Fiqih Terpenting IMAM SYAFI‟I PELETAK USHUL FIQIH Imam Syafi‟i hidup 150 – 204 H. Termasuk generasi Tabi‟it Tabiin. Berguru kepada Imam Malik di Madinah dan bertemu dengan murid-murid Imam Abu Hanifah (w. 150 H), seperti Muhammad bin Al Hasan di Baghdad. Imam Syafi‟i disebut peletak dasar ilmu Ushul Fiqih. Mengapa? Karena beliau ulama pertama yang menulis kitab Ushul Fiqih secara sistematis, berjudul “Ar Risalah”. Imam Ibnu Khaldun dalam kitabnya “Muqaddimah” hlm. 455 ketika membahas ilmu ushul fiqih berkata :
  • 8. 8 ٗ١‫ف‬ ٍِٝ‫أ‬ ،ٕٗ‫ػ‬ ‫هللا‬ ٟ‫سػ‬ ٟ‫اٌشبفؼ‬ ٗ١‫ف‬ ‫وزت‬ ِٓ ‫ي‬ٚ‫أ‬ ْ‫وب‬ ٚ ،‫اٌخجش‬ٚ ،ْ‫ب‬١‫اٌج‬ٚ ،ٟ٘‫ا‬ٌٕٛ‫ا‬ٚ ‫اِش‬ٚ‫األ‬ ٗ١‫ف‬ ٍُ‫رى‬ ،‫سح‬ٛٙ‫اٌّش‬ ٗ‫سعبٌز‬ ‫ا‬ٚ ...‫بط‬١‫اٌم‬ ٟ‫ف‬ ‫طخ‬ٛ‫إٌّظ‬ ‫اٌؼٍخ‬ ُ‫دى‬ٚ ،‫ٌٕغخ‬ “Orang pertama yang menulis dalam bidang itu [ushul fiqih] adalah As Syafi‟i RA, di dalamnya beliau mendiktekan kitab Ar Risalah yang terkenal, di dalamnya beliau bicara tentang amar dan nahi, bayan, khabar (hadits), nasakh, dan hukum illat yang disebut dalam nash dalam Qiyas…” (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 28) USHUL FIQIH PRA IMAM SYAFI‟I Pada masa Rasulullah SAW, shahabat, dan tabi‟in, ilmu ushul fiqih belum ada, atau setidaknya belum tertulis. Ijtihad oleh shahabat di masa Rasulullah SAW, juga masa shahabat dan masa tabi‟in, dilakukan secara alamiah. Karena mereka menguasai bahasa Arab, sebagai bahasa Al Qur`an dan As Sunnah. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 26)
  • 9. 9 Pada awal abad kedua Hijriyah, seiring dengan futuhat dan perluasan Daulah Islamiyah, banyak bangsa non Arab masuk Islam (Romawi, Persia, India, Barbar, dll). Akibat interaksi bangsa Arab dan non Arab itu, kemampuan bahasa Arab di kalangan muslim Arab mulai melemah karena pengaruh bahasa dan lahjah (dialek) bangsa non Arab. Maka dirasakan ada kebutuhan untuk menetapkan kaidah (qawa‟id) dan norma (dhawabith) bahasa Arab untuk mengistinbath hukum dari Al Qur`an dan As Sunnah. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 26) Dari sekumpulan kaidah (qawa‟id) dan norma (dhawabith) bahasa Arab itulah, maka terbentuk disiplin ilmu bernama : USHUL FIQIH. Ulama pertama yang menghimpun berbagai kaidah dan norma tersebut, konon adalah Imam Abu Yusuf, shahabat Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebut oleh Ibnu Nadiim dalam kitabnya Al Fihris. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, hlm. 17). Tapi sayang kitab beliau tidak sampai kpd kita. Kitab pertama ttg ushul fiqih yang sampai kepada kita adalah Ar Risalah karya Imam Syafi‟i. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 27)
  • 10. 10 USHUL FIQIH PASCA IMAM SYAFI‟I Meski Imam Syafi‟i adalah penulis kitab ushul fiqih pertama, tapi kitab ini belumlah sempurna dan menyeluruh. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 28). Karena itu, para ulama ada yang mendukung kitab Ar Risalah, ada yang menambahkan kaidah-kaidah baru, dan ada yang menyalahi kaidah2 yang dibuat Imam Syafi‟i. Setelah berkembangnya mazhab-mazhab fiqih, mereka mempunyai sikap masing-masing terhadap kitab Ar Risalah. SIKAP MAZHAB SYAFI‟I Mereka mendukung kitab Ar Risalah dan membuat berbagai syarah (penjelasan / uraian) dari kitab Ar Risalah. Mereka itu misalnya : (1) Abu Bakar Muhammad As Shairafi (w. 330 H). (2) Abu Muhammad Al Qaffaal As Syaasyi (w. 365) (3) Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al Juwaini (w. 438). SIKAP MAZHAB HANAFI Mereka menambahkan dua dalil ijmali (sumber hukum) yaitu Al Istihsan dan Urf.
  • 11. 11 Dua dalil ijmali itu menambah dalil-dalil ijmali dalam kitab Ar Risalah yang terbatas pada empat saja : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma‟, dan Qiyas. Kitab ushul fiqih yang awal, misalnya Risalah Al Karkhiy, karya Imam Al Karkhiy (w. 340 H). Juga kitab Ushul Al Jashshash, karya Imam Al Jashshash (w. 370 H). SIKAP MAZHAB MALIKI Mereka menambahkan tiga dalil ijmali (sumber hukum) yaitu Ijma‟ Ahlil Madinah, Al Istihsan, dan Al Mashalih Al Mursalah. Imam Syafii tidak setuju dengan tiga dalil ijmali tersebut. Ulama Malikiyah juga memperluas pembahasan Saddudz Dzaraa`i‟. Kitab ushul fiqih mazhab Maliki misalnya : At Ta‟rif wal Irsyad fi Tartib Thuruqil Ijtihad Karya Imam Qadhi Baqilani (w. 403 H). SIKAP MAZHAB HAMBALI Mereka mengikuti pendapat Imam Syafi‟I, namun ada sedikit perbedaan khususnya masalah Ijma‟. Imam Ahmad bin Hanbal hanya mengambil Ijma‟ Shahabat sebagai dalil syar‟i. Sementara Imam Syafii mengambil Ijma‟ Mujtahidin Umat Islam. (lebih umum). Namun ulama Hanabilah pasca Imam Ahmad ada yang mengambil Ijma‟ Mujtahidin Umat seperti pendapat Imam
  • 12. 12 Syafi‟i. Misalnya : Imam Ibnu Qudamah (w. 630 H) dalam kitabnya Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir. SIKAP MAZHAB ZHAHIRI Mereka tidak mengakui Qiyas, dan hanya berpegang dengan zhahir nash. Pendiri mazhab Zhahiri adalah Imam Dawud Az Zhahiri (w. 270 H). Ulama mazhab Zhahiri yang terkenal adalah Imam Ibnu Hazm (w. 456 H), dengan karyanya Al Muhalla. SIKAP MAZHAB SYIAH Mereka menolak Qiyas, menolak hadits yang bertentangan dgn paham mereka ttg Khilafah / Imamah, hanya mengakui ijtihad imam2 mereka. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushu;l Al Fiqh, hlm. 31). DALAM PENYUSUNAN ILMU USHUL FIQIH, PARA ULAMA MENEMPUH DUA METODE (THARIQAH) : A. METODE MUTAKALLIMIN Mutakallimin adalah istilah untuk menyebut ulama yang menggunakan dalil akal untuk menetapkan ushuluddin (aqidah / keimanan). Metode mutakallimin dalam ushul fiqih, adalah
  • 13. 13 menetapkan kaidah-kaidah (qawaid) ushul fiqih secara murni lebih dahulu, tanpa terpengaruh oleh furu‟ (hukum fiqih). Substansi metode: qawaid mendahului furu‟ (induk mendahului cabang / anak). Contoh : ada satu qaidah ushuliyah berbunyi Ijma‟ Ahli Madinah bukanlah hujjah (dalil syara‟). Kaidah tersebut ditetapkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Raudhatun Nazhir berdasarkan burhan (bukti) akal, misalnya : (1) Bahwa penduduk Madinah tidak semuanya mendengar hadits Nabi SAW. (2) Bahwa Makkah lebih utama dari Madinah, tapi toh tidak ada Ijma‟ Ahli Makkah. Lihat M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 33. Metode mutakallimin dirintis oleh Imam Syafi‟i dan dilanjutkan oleh ulama-ulama pengikutnya selanjutnya. Yang menggunakan metode mutakallimin antara lain ulama mazhab Syafi‟i, Maliki, dan Hambali. Ulama mazhab Hanafi menggunakan metode lain, yaitu metode fuqoha. B. METODE FUQOHA Metode Fuqoha dalam ushul fiqih, adalah menetapkan kaidah- kaidah (qawaid) ushul fiqih dengan dipengaruhi oleh furu‟ (hukum fiqih) yang sudah ada lebih dahulu. Substansi metode :
  • 14. 14 furu‟ mendahului qawaid (cabang / anak mendahului induk). Metode digunakan oleh para ulama pengikut Imam Abu Hanifah. Contoh : ada satu qaidah ushuliyah berbunyi Al „Ibrah bi „umumil lafzhi laa bi khusus as sababi. Artinya : yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh bukan kekhususan sebab. Kaidah tersebut disimpulkan dari furu‟, yaitu hukum-hukum fiqih yang sudah ada. Hukum2 tsb diamalkan oleh para shahabat dan tabi‟in. Hukum-hukum tersebut antara lain : (1) Keumuman hukum sucinya kulit bangkai yang disamak, meski sababul wurudnya adalah bangkai kambing milik Maimunah. (2) Keumuman hukum potong tangan bagi pencuri (QS 5:38), meski sababun nuzulnya adalah tentang pencurian baju milik Shofwan. (3) Keumuman hukum li‟an antara suami isteri (QS 24 : 5-9), meski sababun nuzulnya adalah tentang kasus li‟an Hilal bin Umayyah. Hukum-hukum furu‟ tersebut, ternyata penerapannya tidak hanya pada sebabnya yang khusus (sababun nuzul ayat atau sababul wurud hadits), melainkan diterapkan secara umum pada kasus
  • 15. 15 lainnya. Dari hukum-hukum furu‟ itulah disimpulkan kaidah ushul Al Ibrah biumumil lafzhi dst. KITAB USHUL FIQIH TERPENTING Metode mutakallimin. (1) Kitab Al Mu‟tamad karya Abul Hasan Al Bashri (w. 463 H) (2) Kitab Al Burhan karya Imam Al Haramain Al Juwaini (w. 487 H) (3) Kitab Al Mustashfa karya Imam Ghazali (w. 505 H). (4) Kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam karya Imam Al Amidi (w. 631 H), menghimpun 3 kitab sebelumnya. Metode Fuqoha. (1) Kitab Risalah Al Karkhi karya Imam Al Karkhi (w. 340 H) (2) Kitab Ushul Al Jashshash karya Imam Al Jashshash (w. 370 H) (3) Kitab Ushulul Sarakhsi karya Imam Sarakhsi (w. 483 H). (4) Kitab Ushul Al Bazdawi karya Imam Al Bazdawi (w. 482 H).
  • 16. 16 BAB III HUKUM SYARA’ Pokok Pembahasan: 1. Pengertian Hukum Syara‟ 2. Hukum Taklifi dan Hukum Wadh‟i 3. Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadh‟i 4. Tiga Rukun Hukum Syara‟ : a. Al Hakim, b. Mahkum alaihi (Mukallaf), c. Mahkum fiihi. DEFINISI HUKUM SYARA‟ Kata “al hukmu” menurut bahasa, artinya “al man‟u”, yakni mencegah. Misalnya ungkapan : ِٓ ْ‫اٌذظب‬ ‫ِٕغ‬ ٞ‫أ‬ ، ْ‫اٌذظب‬ ُ‫دى‬ ‫اإلٔطالق‬ Hakama al hishan, seseorang “menghukum” kuda, artinya, dia mencegah kuda itu dari lari. M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 219; Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/37
  • 17. 17 Hukum syara‟ menurut istilah ulama ushul fiqih : ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬ ‫اٌؼجبد‬ ‫ثؤفؼبي‬ ‫اٌّزؼٍك‬ ‫اٌشبسع‬ ‫خطبة‬ ٛ٘ : .‫ػغ‬ٌٛ‫ا‬ ٚ‫ا‬ ‫ش‬١١‫اٌزخ‬ ٚ‫ا‬ ‫ثبإللزؼبء‬ Hukum syara‟ adalah seruan / firman dari As Syari‟ (Allah sebagai Pembuat Hukum) yang terkait dengan perbuatan- perbuatan hamba, baik berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan sesuatu sebagai pengatur hukum. (M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 219; Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 9) Definisi lain : ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬ ٓ١‫اٌّىٍف‬ ‫ثؤفؼبي‬ ‫اٌّزؼٍك‬ ‫هللا‬ ‫خطبة‬ ٛ٘ : .‫ػغ‬ٌٛ‫ا‬ ٚ‫ا‬ ‫ش‬١١‫اٌزخ‬ ٚ‫ا‬ ‫ثبإللزؼبء‬ Hukum syara‟ adalah seruan / firman dari Allah yang terkait dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf, baik berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan sesuatu sebagai pengatur hokum. (Lihat: Wahbah Az Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz I hlm. 38.)
  • 18. 18 Penjelasan definisi : ‫اٌشبسع‬ .‫بط‬١‫اٌم‬ٚ ‫اٌظذبثخ‬ ‫اجّبع‬ٚ ‫خ‬ّٕ‫اٌغ‬ٚ ْ‫اٌمشآ‬ ٛ٘ : : ‫اٌشبسع‬ ‫خطبة‬ ٟ‫ف‬ ‫ت‬١‫اٌزشاو‬ٚ ‫األٌفبظ‬ ‫ب‬ٙ‫رؼّٕز‬ ٟ‫اٌز‬ ٟٔ‫اٌّؼب‬ )‫بط‬١‫اٌم‬ٚ ‫اٌظذبثخ‬ ‫اجّبع‬ٚ ‫خ‬ّٕ‫اٌغ‬ٚ ْ‫(اٌمشآ‬ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ ‫ص‬ٛ‫إٌظ‬ ‫اٌؼجبد‬ ُ١‫ز‬١ٌ‫ا‬ٚ ْٕٛ‫اٌّج‬ٚ ّٟ‫اٌظج‬ٚ ‫ف‬ٍَّ‫اٌّى‬ ُٙ١‫ف‬ ‫ثّب‬ ‫إٌبط‬ : .ُ٘‫ش‬١‫غ‬ٚ ‫اإللزؼبء‬ ‫اٌطٍت‬ : – .ً‫فؼ‬ ‫ؽٍت‬ ٚ‫ا‬ ‫رشن‬ ‫ؽٍت‬ ْ‫وب‬ ‫اء‬ٛ‫ع‬ ‫ؽٍت‬ ٞ‫أ‬ ‫ش‬١١‫اٌزخ‬ ‫اإلثبدخ‬ : - ً‫فؼ‬٠ ‫ال‬ ٚ‫ا‬ ً‫فؼ‬٠ ْ‫ا‬ ‫ٌٍّىٍف‬ ‫أجبص‬ ٞ‫أ‬ . ‫ػغ‬ٌٛ‫ا‬ ُ‫اٌذى‬ ٟ‫ف‬ ٓ٠‫أِش‬ ٓ١‫ث‬ ‫سثؾ‬ ‫لذ‬ ‫اٌشبسع‬ ْٛ‫ى‬٠ ْ‫أ‬ : – ٟ٘ َ‫األدىب‬ َ‫أدىب‬ – ْ‫وب‬ ‫ِب‬ٚ ً‫ب‬‫ِبٔؼ‬ ْ‫وب‬ ‫ِب‬ٚ ً‫ب‬‫عجج‬ ْ‫وب‬ ‫ِب‬ ًّ‫ش‬ ‫لذ‬ٚ ‫ف‬ ٚ‫ا‬ ً‫ال‬‫ثبؽ‬ ٚ‫أ‬ ً‫ب‬‫ذ‬١‫طذ‬ ْ‫وب‬ ‫ِب‬ٚ ً‫ب‬‫ششؽ‬ ٚ‫ا‬ ً‫خ‬‫سخظ‬ ْ‫وب‬ ‫ِب‬ٚ ً‫ا‬‫بعذ‬ .‫ّخ‬٠‫ػض‬ ‫ص‬ ،‫اجب‬ٛ‫اٌخ‬ ‫صبثذ‬ ،ٖ‫ِظبدس‬ٚ ِٗ‫ألغب‬ ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬ : ‫أٔظش‬ 9 – 11 ٟ‫ف‬ ‫اػخ‬ٌٛ‫ا‬ ، ‫ص‬ ،‫هللا‬ ‫ػجذ‬ ٓ١‫دغ‬ ‫ِذّذ‬ ،ٗ‫اٌفم‬ ‫ي‬ٛ‫أط‬ 221
  • 19. 19 HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH‟I Dari definisi hukum syara‟ yang terpilih, yaitu : ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬ ‫اٌشبسع‬ ‫خطبة‬ ٛ٘ : ‫اٌؼجبد‬ ‫ثؤفؼبي‬ ‫اٌّزؼٍك‬ .‫ػغ‬ٌٛ‫ا‬ ٚ‫ا‬ ‫ش‬١١‫اٌزخ‬ ٚ‫ا‬ ‫ثبإللزؼبء‬ Maka hukum syara‟ itu ada dua bagian : Pertama, hukum taklifi, yaitu hukum untuk mengatur perbuatan manusia, dengan hukum berupa tuntutan (thalab) dan pemberian pilihan (takhyir). Kedua, hukum wadh‟i, yaitu hukum untuk mengatur hukum taklifi itu. Hukum taklifi, meliputi : (1) Tuntutan tegas (thalab jazim), yaitu haram dan wajib. (2) Tuntutan tidak tegas (thalab ghairu jazim), yaitu sunnah (mandub) dan makruh. (3) Pemberian pilihan (takhyir), yaitu mubah. Hukum wadh‟i, meliputi sebab, syarat, mani‟, azimah – rukhsah, serta sah – batal – fasad. (Lihat: Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 9)
  • 20. 20 PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH‟I Terdapat dua perbedaan utama : (1) Hukum taklifi merupakan hukum yang langsung mengatur perbuatan manusia, contoh : sholat hukumnya wajib (hukum taklifi). Sedang hukum wadh‟i, hukum yang mengatur perbuatan manusia secara tidak langsung, contoh : Wudhu adalah syarat sholat (hukum wadh‟i) (2) Hukum taklifi berada dalam kuasa mukallaf (maqdur lil mukallaf), misalnya: wudhu sebagai syarat sholat, mencuri sebagai sebab hukum potong tangan, dll. Sedang hukum wadh‟i, kadang dalam kuasa mukallaf seperti wudhu sbg syarat sholat dan kadang tidak berada dalam kuasa manusia seperti tergelincirnya matahari sebagai sebab sholat zhuhur (QS Al Isra` : 78). (Lihat: M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 249-250). PENGERTIAN RUKUN-RUKUN HUKUM SYARA‟ Yang dimaksud pembahasan Rukun-Rukun Hukum Syara‟ (Arkan al hukm as syar‟i) adalah pembahasan tentang : (1) Al Haakim, yaitu siapa yang berhak membuat hukum; apakah Allah SWT ataukah manusia?
  • 21. 21 (2) Al Mahkum „alaihi, yaitu membahas siapa yang menjadi objek hukum (mukallaf). (3) Al Mahkum fiihi, yaitu membahas apa yang dihukumi (perbuatan manusia). AL HAAKIM Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul, bahwa al haakim hanyalah Allah SWT, bukan manusia. Note : inilah perbedaan mendasar Islam dengan demokrasi, yang menetapkan manusia sebagai pembuat hukum. Itulah yang disebut prinsip kedaulatan di tangan rakyat (the soreignty belongs to the people). Prinsip ini bertentangan dengan Aqidah Islam (QS Al An‟aam : 57). Para ulama menetapkan bahwa al haakim hanyalah Allah SWT, berdasarkan dua dalil : Pertama, dalil akli, yaitu pembuktian berdasarkan akal bahwa manusia tidak mungkin mampu menetapkan hukum untuk mengatur manusia itu sendiri. Kedua, dalil naqli, yaitu dalil-dalil nash Al Qur`an atau As Sunnah yang mewajibkan manusia berhukum dengan hukum
  • 22. 22 Allah, atau yang mengharamkan manusia berhukum dengan selain hukum Allah. Bahwasanya manusia mempunyai jangkauan akal yang terbatas. Akal manusia hanya mampu menjangkau fakta yang dapat diindera (al waqi‟ al mahsus). Definisi akal: “Proses pemindahan penginderaan terhadap fakta ke dalam otak melalui panca indera, yang kemudian ditafsirkan dengan pengetahuan sebelumnya.” (Lihat kitab At Tafkir karya Taqiyuddin An Nabhani). Berdasarkan definisi itu, maka akal manusia tidak mungkin menjangkau suatu perbuatan dipuji Allah atau dicela Allah. Bahwa sholat itu dipuji Allah, tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Bahwa zina itu dicela Allah, juga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Pujian dan celaan Allah hanya dapat diketahui lewat wahyu, tak mungkin diketahui oleh akal secara langsung. Banyak sekali nash Al Qur`an atau As Sunnah yang mewajibkan manusia berhukum dengan hukum Allah, atau yang mengharamkan manusia berhukum dengan selain hukum Allah. QS An Nisaa` : 59, 65; An Nuur : 63, QS Al An‟aam : 57; dll. Sabda Rasulullah SAW, ”Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Muslim).
  • 23. 23 AL MAHKUM ALAIHI Mahkum alaihi adalah : orang yang perbuatannya terkait dengan Khitaabus Syaari‟. Disebut dengan istilah : mukallaf. Mukallaf sesungguhnya adalah seluruh manusia. Sebab Islam (baik aqidah maupun syariahnya) adalah risalah untuk seluruh manusia tanpa kecuali. Lihat QS Al A‟raaf : 158; Saba` : 28. Syarat Mukallaf ada dua : (1) Syarat umum mukallaf, maksudnya tidak ada bedanya untuk muslim mapun kafir, yaitu ada 3 syarat : berakal, baligh, dan mampu. (2) Syarat khusus mukallaf, yaitu keislaman seseorang, missal: untuk perbuatan-perbuatan tertentu yang ditetapkan syara‟ , spt shalat, dll. AL MAHKUM FIHI Mahkum fiihi adalah : apa-apa yang terkait dengan Khithaabus Syari‟. Apa-apa yang terkait dengan Khitaabus Syari‟ adalah : perbuatan manusia. (af‟aal). Juga benda-benda yang digunakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya (asy-yaa`).
  • 24. 24 BAB IV HUKUM TAKLIFI POKOK BAHASAN (1) MACAM-MACAM HUKUM TAKLIFI :  Definisi 5 macam Hukum Taklifi dan Contohnya  Catatan Tentang Wajib, Mandub, Mubah, Makruh, Haram (2) QARINAH DAN MACAM-MACAMNYA :  Pengertian Qarinah  Macam-macam Qarinah DEFINISI LIMA MACAM HUKUM TAKLIFI 1 . ‫اٌشبسع‬ ‫ؽٍت‬ ‫ِب‬ ٛ٘ )‫(اٌفشع‬ ‫اجت‬ٌٛ‫ا‬ ‫جبصِب‬ ‫ؽٍجب‬ ٍٗ‫فؼ‬ ٗ١‫ف‬ ‫اٌضوبح‬ ٚ ‫اٌظالح‬ : ً‫ِض‬ 2 . ‫(اٌغٕخ‬ ‫ة‬ٚ‫إٌّذ‬ ‫ِب‬ ٛ٘ )‫ع‬ٛ‫اٌزط‬ ٚ‫أ‬ ‫اٌّغزذت‬ ٚ‫أ‬ ‫إٌبفٍخ‬ ٚ‫أ‬ َ‫جبص‬ ‫ش‬١‫غ‬ ‫ؽٍجب‬ ٍٗ‫فؼ‬ ٗ١‫ف‬ ‫اٌشبسع‬ ‫ؽٍت‬ ‫اٌظذلخ‬ : ً‫ِض‬
  • 25. 25 3 . ٗ‫رشو‬ ٗ١‫ف‬ ‫اٌشبسع‬ ‫ؽٍت‬ ‫ِب‬ ٛ٘ )‫اٌذظش‬ ٚ‫أ‬ ‫س‬ٛ‫(اٌّذظ‬ َ‫اٌذشا‬ ِ‫جبص‬ ‫ؽٍجب‬ ‫ب‬ . ٚ ‫اٌشثب‬ : ً‫ِض‬ ‫اٌضٔب‬ 4 . َ‫جبص‬ ‫ش‬١‫غ‬ ‫ؽٍجب‬ ٗ‫رشو‬ ٗ١‫ف‬ ‫اٌشبسع‬ ‫ؽٍت‬ ‫ِب‬ ٛ٘ ٖٚ‫اٌّىش‬ ‫اٌّذشِبد‬ ٚ ‫ثبٌٕجبعبد‬ ٞٚ‫اٌزذا‬ ٚ َ‫اٌذّب‬ ٟ‫ف‬ ‫ش‬٠‫اٌذذ‬ : ً‫ِض‬ 5 . ‫اٌزشن‬ٚ ً‫اٌفؼ‬ ٓ١‫ث‬ ٗ١‫ف‬ ‫اٌشبسع‬ ‫ش‬١‫خ‬ ‫ِب‬ ٛ٘ ‫اٌّجبح‬ ‫ح‬ٛٙ‫اٌم‬ٚ ٞ‫اٌشب‬ٚ ‫اٌّبء‬ ‫ششة‬ : ً‫ِض‬ (M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 221) CATATAN TENTANG WAJIB 1) Wajib dan Fardhu menurut jumhur ulama (selain ulama mazhab Hanafi) artinya sama. Menurut ulama Hanafiyah, fardhu adalah apa-apa yang ditetapkan berdasarkan dalil qath‟i (qath‟i tsubut dan qath‟i dalalah), seperti zakat. Sedangkan wajib, adalah apa-apa yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni, seperti zakat fitrah. 2) Wajib atau Fardhu dapat juga didefinisikan apa-apa yang diberi pahala atau dipuji bagi yang melaksanakannya dan yang akan disiksa dan dicela bagi yang meninggalkannya.
  • 26. 26 3) Macam-macam wajib menurut waktu pelaksanaannya : Wajib mutlak = waktunya tidak tertentu. Misal : membayar kaffarah atau nadzar yang bersifat mutlak, mengqadha puasa Ramadhan (menurut Hanafiyah). Wajib muqayyad=waktunya sudah tertentu, misal : sholat lima waktu, puasa Ramadhan, dsb. Wajib muqayyad dibagi lagi menjadi dua: a. Wajib muwassa‟ = yaitu kewajiban pada waktu tertentu tapi masih memungkinkan mengerjakan yang semisalnya, misal sholat zhuhur. b. Wajib mudhayyaq = kewajiban pada waktu tertentu tapi tidak memungkinkan mengerjakan yang semisalnya, misal puasa Ramadhan 4) Pembagian wajib berdasarkan tertentu tidaknya kewajiban: Wajib mu‟ayyan = yaitu kewajiban yang sudah tertentu dan tak bisa digantikan yang lain, misal ; sholat lima waktu, tak bisa digantikan dengan qiraatul Qur`an. Wajib mukhayyar atau wajib ghair mu‟ayyan = yaitu kewajiban yang tidak tertentu dan bisa digantikan yang lain, misal : kaffarah melanggar sumpah (QS Al Maidah : 89).
  • 27. 27 5) Pembagian wajib berdasarkan mukallaf pelakunya : Wajib „ain = yaitu kewajiban yang berlaku untuk setiap mukallaf, bukan sebagian saja dari mukallaf, misal ; sholat lima waktu, puasa ramadhan, dll. Wajib kifayah = yaitu kewajiban yang jika sudah dilaksanakan oleh sebagian, gugur kewajiban sebagian lainnya yang tidak mengerjakan, misal : sholat jenazah. 6) Pembagian wajib berdasarkan penetapan kadarnya : Wajib muhaddadul miqdar = yaitu kewajiban yang sudah ditetapkan kadarnya atau ukurannya, misalnya sholat lima waktu, sudah ditetapkan jumlah rekaatnya, dll. Wajib ghair muhaddad al miqdar = yaitu kewajiban yang tidak ditetapkan kadarnya atau ukurannya, misal : infaq fi sabilillah (jihad), kadar nafkah. Kaidah : Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa waajib. Artinya : sesuatu dapat menjadi wajib jika tanpa sesuatu itu akan mengakibatkan suatu kewajiban tidak terlaksana. Misal : belajar bahasa Arab wajib, karena tak mungkin memahami Al Qur`an dengan sempurna kecuali dengan bahasa Arab.
  • 28. 28 Misal : menegakkan Khilafah wajib, karena tak mungkin menerapkan syariah secara kaffah kecuali dalam negara Khilafah. CATATAN TENTANG MANDUB Mandub dapat juga didefinisikan apa-apa yang pelakunya dipuji dan diberi pahala dan tidak dicela bagi yang tidak melakukannya. Istilah lain dari mandub : sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu‟. Walaupun tidak wajib, tapi muslim dianjurkan memperbanyak yang mandub. Hikmah mengerjakan yang mandub, atara lain menghapus dosa (QS Huud : 114). Ada kalanya suatu perbuatan mandub bagi orang per orang, tapi wajib bagi umat secara keseluruhan, seperti nikah. CATATAN TENTANG HARAM Haram dapat juga didefinisikan apa-apa yang pelakunya dicela dan berhak mendapat siksa serta bagi yang meninggalkannya mendapat pahala. Istilah lain dari haram : mahzhuur, atau hazhar. Pembagian haram : (1) Haram li dzatihi : yaitu haram pada sesuatu itu sendiri, seperti zina, minum khamr.
  • 29. 29 (2) Haram li ghairihi : yaitu haram bukan pada dirinya sendiri, tapi karena ada illat syar‟iyah yang mengharamkannya. Misal : jual beli saat adzan jumat. Kaidah : al Wasilah ila al harami haram. Artinya : segala perantaraan, baik berupa perbuatan atau benda, yang hukum asalnya tidak haram, menjadi haram jika diduga kuat akan mengantarkan kepada yg haram, misal : menyewakan kamar bagi PSK, menjual anggur bagi pembuat khamr, dll. CATATAN TENTANG MAKRUH Makruh merupakan perbuatan yang jika ditinggalkan akan mendapat pahala dan tidak disiksa jika dikerjakan. Contoh : idho‟atul maal (boros). Menurut ulama Hanafiyah, makruh ada dua : (1) Makruh tahriim = yaitu makruh yang pelakunya berhak mendapat siksa. (2) Makruh tanziih = yaitu makruh yang pelakunya tidak mendapat siksa. Jumhur ulama menetapkan bahwa perbuatan yang berhak mendapat siksa lebih tepat digolongkan kepada haram, bukan makruh.
  • 30. 30 CATATAN TENTANG MUBAH Mubah itu bukan berarti sesuatu yang tidak ada dalilnya, melainkan ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu mubah. Kaidah tentang benda berbunyi : al Ashlu fil asy-yaa` al ibaahah maa lam yarid dalil at tahrim. Artinya : Hukum asal mengenai benda-benda adalah boleh, selama tak terdapat dalil yang mengharamkan. Kaidah tentang perbuatan berbunyi : al Ashlu fil af‟aal at taqayyudu bil hukmis syar‟i. Artinya : hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara‟. Maksud dari kaidah ini, bahwa setiap perbuatan manusia pasti ada hukumnya dalam syariah Islam Sehingga tidak boleh seorang muslim melakukan suatu perbuatan, kecuali setelah dia mengetahui hukumnya, apakah itu wajib, mandub, mubah, makruh, atau haram. Tanda mengamalkan kaidah tersebut, adalah bertanya hukum sebelum berbuat.
  • 31. 31 PENGERTIAN QARINAH Qarinah (‫ٕخ‬٠‫اٌمش‬) dalam bahasa Arab berasal dari kata qarana, yang artinya jama‟a (menggabungkan atau mengumpulkan) atau shaahaba (membarengi atau membersamai). Jadi qarinah menurut pengertian bahasa Arab artinya adalah sesuatu yang berkumpul atau membarengi sesuatu yang lain. („Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19; Nazar Ma‟ruf Muhammad Jan Bantan, Al Qara`in wa Ahammiyatuhaa fi Bayan Al Murad min Al Khithab „Inda Al Ushuliyyin wa Al Fuqoha, klm. 31-32). Adapun menurut istilah ushul fiqih, qarinah adalah setiap apa- apa yang memperjelas jenis tuntutan dan menentukan makna tuntutan itu jika dia digabungkan atau dibarengkan dengan tuntutan tersebut ( ‫ِب‬ ‫ارا‬ ٖ‫ِؼٕب‬ ‫ذذد‬٠ ٚ ‫اٌطٍت‬ ‫ع‬ٛٔ ٓ١‫ج‬٠ ‫ِب‬ ً‫و‬ ٗ‫طبدج‬ ٚ ٗ١ٌ‫ا‬ ‫جّغ‬). („Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19). Qarinah ini tak dapat dilepaskan dari kaidah ushul fiqih (qa‟idah ushuliyah) yang berbunyi : al ashlu fi ma‟na al amr at thalab (asal dari makna perintah adalah tuntutan). Artinya, jika terdapat
  • 32. 32 perintah (amr) dalam Al Qur`an atau As Sunnah, maka pengertian dasar dari amr itu adalah tuntutan (thalab). Yang menentukan jenis amr itu, apakah berupa amr yang jazm (tegas), atau amr yang ghair jazm (tidak tegas), atau amr yang berupa takhyir (piliihan), adalah qarinah .(„Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 13). MACAM-MACAM QARINAH Menurut Syaikh „Atha bin Khalil dalam kitab beliau, Taysir Wushul Ila Al Ushul terdapat 3 (tiga) macam qarinah, yaitu : 1. Qarinah yang menunjukkan jazim (hukum tegas), baik yang menunjukkan hukum haram maupun hukum wajib. 2. Qarinah yang menunjukkan ghair jazim (hukum tidak tegas), baik yang menunjukkan hukum mandub (sunnah) maupun hukum makruh. 3. Qarinah yang menunjukkan istiwa` (hukum mubah), yaitu qarinah yang menunjukkan kesamaan antara tuntutan mengerjakan dengan tuntutan meninggalkan perbuatan. („Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19-28).
  • 33. 33 QARINAH YANG MENUNJUKKAN JAZIM Qarinah yang menunjukkan jazm adalah qarinah yang menunjukkan hukum wajib atau haram. Qarinah ini banyak bentuknya. Antara lain adanya siksaan/hukuman di dunia atau di akhirat, atau yang semakna dengan itu misalnya celaan keras, terhadap suatu perbuatan yang dikerjakan, ataupun perbuatan yang tidak dikerjakan. CONTOH 1 : Qarinah yang menjelaskan adanya hukuman untuk perbuatan yang dikerjakan, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri. Adanya hukuman yang berat untuk perbuatan mencuri ini, merupakan qarinah bahwa perbuatan mencuri itu hukumnya haram. Firman Allah SWT : ُ‫خ‬َ‫ل‬ِ‫َّبس‬‫غ‬ٌ‫ا‬َٚ ُ‫ق‬ِ‫َّبس‬‫غ‬ٌ‫ا‬ َٚ ِ َّ ‫هللا‬ َِِٓ ً‫ال‬‫ىب‬َٔ ‫جب‬َ‫غ‬َ‫و‬ ‫ّب‬ِ‫ث‬ ً‫ء‬‫ضا‬َ‫ج‬ ‫ُّب‬َٙ٠ِ‫ذ‬ْ٠َ‫أ‬ ‫ا‬ُٛ‫ؼ‬َ‫ط‬ْ‫ل‬‫ب‬َ‫ف‬ ُ َّ ‫هللا‬َٚ ٌُ١ِ‫ى‬َ‫د‬ ٌ‫ض‬٠ِ‫َض‬‫ػ‬ “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Maidah [5] : 38).
  • 34. 34 CONTOH 2 : Qarinah yang menjelaskan adanya hukuman untuk perbuatan yang tidak dikerjakan, misalnya siksaan di neraka Saqar bagi orang yang tidak sholat. Adanya ancaman siksaan ini, merupakan qarinah bahwa mengerjakan sholat hukumnya wajib. Misalkan firman Allah SWT ( ‫اٌظالح‬ ‫ا‬ّٛ١‫أل‬) (QS An Nuur : 56). Ini adalah tuntutan (thalab) kepada muslim untuk sholat. Tuntutan ini ternyata disertai qarinah-qarinah yang bersifat jazm (tegas), yaitu adanya ancaman siksa neraka bagi yang tak sholat. Ini berarti sholat itu hukumnya wajib. Qarinah itu antara lain firman Allah SWT : ٓ١ٍ‫اٌّظ‬ ِٓ ‫ٔه‬ ٌُ ‫ا‬ٌٛ‫لب‬ ‫عمش‬ ٟ‫ف‬ ُ‫عٍىى‬ ‫ِب‬ “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab,”Kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS Al Muddatstsir [74] : 42-43). CONTOH 3 : Qarinah yang berupa celaan yang keras terhadap perbuatan yang tidak dilakukan. Misalnya predikat mati jahiliyah bagi yang tidak mempunyai baiat kepada khalifah. Qarinah ini menunjukkan bahwa baiat kepada seorang khalifah hukumnya wajib. Sabda Rasulullah SAW : ‫خ‬١ٍ٘‫جب‬ ‫زخ‬١ِ ‫ِبد‬ ‫ؼخ‬١‫ث‬ ٗ‫ػٕم‬ ٟ‫ف‬ ‫ظ‬١ٌٚ ‫ِبد‬ ِٓ
  • 35. 35 “Barangsiapa mati sedang di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam / khalifah) maka matinya mati jahiliyah.” (HR Muslim). CONTOH 4 : Qarinah yang berupa celaan yang keras terhadap perbuatan yang dilakukan, misal firman Allah SWT : ‫ال‬١‫عج‬ ‫عبء‬ٚ ‫فبدشخ‬ ْ‫وب‬ ٗٔ‫ا‬ ‫اٌضٔب‬ ‫ا‬ٛ‫رمشث‬ ‫ال‬ٚ “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Isra` [17] : 32). Ayat tersebut mengandung tuntutan (thalab), yaitu tuntutan untuk meninggalkan perbuatan zina (wa laa taqrabuz zina). Pada nash yg sama, terdapat qarinah berupa celaan keras bagi yg berzina, maka zina hukumnya haram (innahu kaana fahisyatan wa saa`a sabiila). QARINAH YANG MENUNJUKKAN TIDAK JAZIM Qarinah yang menunjukkan tidak jazim adalah qarinah yang menunjukkan hukum mandub (sunnah) atau makruh. Qarinah ini juga banyak bentuknya. Antara lain, adanya nash yang menunjukkan tarjih, yaitu melakukannya lebih dikuatkan
  • 36. 36 daripada tak melakukannya, tetapi kosong dari qarinah-qarinah yang menunjukkan jazm. CONTOH 1 : Misal sabda Rasulullah SAW : ‫طذلخ‬ ‫ه‬١‫أخ‬ ٗ‫ج‬ٚ ٟ‫ف‬ ‫رجغّه‬ “Senyummu di hadapan saudaramu, adalah sedekah.” (HR Tirmidzi). Hadits tersebut menunjukkan adanya tarjih, yaitu tersenyum itu lebih dikuatkan daripada tidak tersenyum, karena ada pujian bahwa senyum kepada sesama muslim itu adalah sedekah. Tapi nash ini tidak disertai qarinah yang menunjukkan jazm, misalnya yang tidak tersenyum akan mati jahiliyah, atau dianggap melakukan perbuatan keji, dsb. Maka tersenyum pada saat berjumpa dengan sesama muslim hukumnya adalah sunnah (mandub), bukan wajib. Bentuk qarinah ghairu jazm lainnya adalah adanya larangan, tapi masih ada toleransi bagi yang melakukannya. CONTOH 2 : sabda Nabi SAW : ‫ِٕب‬ ‫ظ‬١ٍ‫ف‬ ‫ٕىخ‬٠ ٌُٚ ‫عشا‬ِٛ ْ‫وب‬ ِٓ
  • 37. 37 “Barangsiapa sudah mampu menikah tapi dia tidak menikah, maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR Bukhari, Muslim, dll) Hadits tersebut berisi tuntutan untuk meninggalkan hidup membujang bagi yang sudah mampu menikah. Sebab Nabi SAW memberi predikat orang seperti itu sebagai orang yang “bukan golongan kami”. Tapi Nabi SAW telah membiarkan sebagian shahabatnya tidak menikah, padahal sudah mampu menikah. Diamnya Nabi SAW ini merupakan qarinah bahwa larangan hidup membujang bagi yang sudah mampu menikah adalah larangan makruh, bukan larangan haram. CONTOH 3 : terdapat larangan berobat dengan sesuatu yang najis atau haram, sabda nabi SAW : ً‫ء‬‫ا‬ََٚ‫د‬ ٍ‫ء‬‫َا‬‫د‬ ًُِّ‫ى‬ٌِ ًََ‫ؼ‬َ‫ج‬َٚ َ‫ء‬‫ا‬َٚ‫اٌذ‬َٚ َ‫ء‬‫اٌذا‬ َ‫ي‬َ‫ض‬َْٔ‫أ‬ َ ّ ‫هللا‬ ِْ‫ا‬ َ‫ال‬َٚ ‫ا‬َْٚٚ‫َا‬‫ذ‬َ‫ز‬َ‫ف‬ ، ٍَ‫ا‬َ‫ش‬َ‫ذ‬ِ‫ث‬ ‫ا‬َْٚٚ‫َا‬‫ذ‬َ‫ر‬ "Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram." (HR Abu Dawud, no 3376).
  • 38. 38 Tapi Nabi SAW membolehkan orang-orang suku 'Ukl dan Urainah yang sakit untuk meminum air susu unta dan air kencing unta. (Sahih Bukhari, no 226). Dalam Musnad Imam Ahmad, Nabi SAW pernah memberi rukhshash (keringanan) kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk mengenakan sutera karena keduanya menderita penyakit kulit. (HR Ahmad, no. 13178). Kedua hadis ini adalah qarinah, bahwa berobat dengan sesuatu yang najis (spt air kencing unta), dan sesuatu yang haram (spt sutera) bukanlah haram, melainkan makruh. QARINAH YANG MENUNJUKKAN ISTIWA` (MUBAH) Qarinah yang menunjukkan istiwa‟, adalah qarinah yang menunjukkan kedudukan yang sama (istiwa`) antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Dengan kata lain, qarinah yang menunjukkan istiwa` adalah qarinah yang menunjukkan MUBAH. Qarinah ini banyak bentuknya. Misalnya adanya perintah setelah larangan, yang dirumuskan dalam kaidah ushuliyah yang berbunyi Al Amru ba‟da an nahyi yufiidul ibaahah (perintah setelah larangan menunjukkan hukum mubah).
  • 39. 39 Misalnya perintah berburu binatang setelah adanya larangan berburu bagi yang berihram, jika jamaah haji sudah melakukan tahallul. Allah SWT berfirman : ‫ا‬ٚ‫فبططبد‬ ُ‫دٍٍز‬ ‫ارا‬ٚ “Dan apabila kamu sudah menyelesaikan ibadah haji (bertahallul), maka berburulah.” (QS Al Maaidah [5] : 2). Perintah untuk berburu ini bukanlah berarti perintah wajib, namun sekedar kebolehan berburu. karena sebelum selesai beribadah haji, jamaah haji diharamkan untuk berburu. Yang semisal itu adalah perintah untuk bertebaran di muka bumi (intisyar fi al ardhi), seperti berjual beli (QS Al Jumuah : 10), setelah sebelumnya ada larangan jual beli pada saat sholat Jumat (QS Al Jumuah : 9). Perintah itu bukan berarti perintah wajib, melainkan sekedar boleh. Seperti itu pula adalah perintah untuk menggauli isteri setelah isteri selesai dari haid (QS Al Baqarah : 222), setelah sebelumnya ada larangan menggauli isteri pada saat haid (QS Al Baqarah : 222). Perintah untuk menggauli isteri pasca haid juga bukan perintah wajib atas suami, melainkan sekedar boleh.
  • 40. 40 BAB V HUKUM WADH’I POKOK BAHASAN Macam-Macam Hukum Wadh‟i (a) Sebab (b) Syarat (c) Mani‟ (d) Azimah & Rukhshah (e) Sah, Batal, Fasad PENGERTIAN HUKUM WADH‟I ٞ‫أ‬ .ُ‫اٌذى‬ ٟ‫ف‬ ٓ٠‫أِش‬ ٓ١‫ث‬ ‫سثؾ‬ ‫لذ‬ ‫اٌشبسع‬ ْٛ‫ى‬٠ ْ‫ا‬ ٛ٘ٚ :ٗ‫ف‬٠‫رؼش‬ َ‫أدىب‬ ٟ٘ .َ‫األدىب‬ Definisinya : hukum di mana as Syari‟ (Allah SWT Sebagai Pembuat Hukum) telah mengaitkan dua perkara di dalam satu hukum. Artinya, hukum wadh‟i adalah hukum-hukum yang mengatur hukum. (Tasbit Al Khawaja, Al Hukmus Syar‟i, Aqsamuhu wa Mashadiruhu, hlm. 16.)
  • 41. 41 DEFINISI SEBAB ‫اٌغجت‬ ٟ‫اٌغّؼ‬ ً١ٌ‫اٌذ‬ ّ‫ي‬‫د‬ ٞ‫اٌز‬ ‫إٌّؼجؾ‬ ‫اٌظب٘ش‬ ‫طف‬ٌٛ‫ا‬ ٛ٘ ‫غ‬٠‫ٌزشش‬ ‫ال‬ ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٌٛ ً‫ب‬‫ف‬ِّ‫ش‬‫ِؼ‬ ٚ‫ا‬ ً‫خ‬ِ‫ػال‬ ٗٔٛ‫و‬ ٍٝ‫ػ‬ .ِٗ‫ػذ‬ ِٗ‫ػذ‬ ِٓ َ‫ٍض‬٠ٚ ‫َّت‬‫ج‬‫اٌّغ‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ٖ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ِٓ َ‫ٍض‬٠ٚ ُ‫اٌذى‬ Sebab adalah sifat yg jelas dan konsisten yg ditunjukkan oleh dalil sam‟i bhw sifat itu adalah tanda atau pengenal adanya hukum (bukan tanda disyariatkannya hukum). Keberadaan sebab memastikan adanya musabab (akibat hukum), dan tiadanya sebab memastikan tiadanya musabab. .ٟ‫اٌششػ‬ ُ‫اٌذى‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ٍٝ‫ػ‬ ‫رذي‬ ‫أِبسح‬ ٛ٘ ٚ‫أ‬ Atau ringkasnya, sebab itu adalah tanda akan adanya suatu hukum syara‟. Contoh : (1) Sebab adanya sholat zhuhur, adalah tergelincirnya matahari (dulukis syamsi). (QS 17 : 78) (2) Sebab adanya puasa Ramadhan adalah rukyatul hilal (menyaksikan bulan sabit). (HR Muslim dll) TANBIH (WARNING) : Tanda (dalil) wajibnya sholat/puasa BUKAN tanda adanya sholat/puasa.
  • 42. 42 CONTOH SEBAB Contoh-contoh sebab dan musabab (akibat hukumnya) : DEFINISI SYARAT ‫اٌششؽ‬ ِٓ َ‫ٍض‬٠ٚ ،ُ‫اٌذى‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ٗ١ٍ‫ػ‬ ‫لف‬ٛ‫ز‬٠ ٞ‫اٌز‬ ‫األِش‬ ٛ٘ َ‫ٍض‬٠ ‫ال‬ٚ ،ُ‫اٌذى‬ َ‫ػذ‬ ِٗ‫ػذ‬ .ُ‫اٌذى‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ٖ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ِٓ Syarat adalah perkara yang kepadanya bergantung hukum. Ketiadaan syarat memastikan ketiadaan hukum, tapi keberadaan syarat tidak memastikan keberadaan hokum, missal : wudhu adalah syarat sholat, tanpa wudhu tak akan ada sholat tapi adanya wudhu tak memastikan adanya sholat. Contoh syarat dan masyruuth (hukum yang memerlukan syarat itu) sebagai berikut:
  • 43. 43 DEFINISI MANI‟ ‫اٌّبٔغ‬ ْ‫ثطال‬ ٚ‫ا‬ ُ‫اٌذى‬ ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ َ‫ػذ‬ ٖ‫د‬ٛ‫ج‬ٚ ِٓ َ‫ٍض‬٠ ‫ِب‬ ٛ٘ .‫اٌغجت‬ Mani‟ adalah apa-apa yang keberadaannya memastikan tiadanya hukum, atau memastikan batalnya sebab. Mani‟ adalah kebalikan dari sebab. Contoh : haid dan nifas adalah mani‟ dilakukannya sholat bagi wanita. Hilangnya akal (tidur / gila) adalah mani‟ dilakukannya sholat, puasa, dll. MACAM-MACAM MANI‟ Mani‟ ada 2 (dua) macam : (1) Mani‟ yang tidak dapat bertemu dengan tholab (tuntutan untuk melaksanakan suatu hukum syara‟). Disebut mani‟ min
  • 44. 44 ath thalab wa al ada`. Artinya, mencegah dari tuntutan dan pelaksanaan hukum. Contohnya adalah haid & nifas adalah mani‟ dilakukannya sholat bagi wanita. Artinya, pada saat sedang haid atau nifas, wanita haram untuk sholat. (2) Mani‟ yang dapat bertemu dengan tholab (tuntutan untuk melaksanakan suatu hukum syara‟). Disebut mani‟ min ath thalab laa min al ada`. Artinya, mencegah dari tuntutan, tapi tak mencegah pelaksanaan hukum. Contohnya, keadaan jenis kelamin perempuan adalah mani‟ (pencegah) dilakukannya sholat Jumat bagi wanita. Tapi kalau wanita mau sholat Jumat, sah dan tidak dilarang. Contoh lain : kondisi belum baligh terkait kewajiban sholat dan puasa. CONTOH MANI‟
  • 45. 45 DEFINISI AZIMAH ‫ّخ‬٠‫اٌؼض‬ ًّ‫ثبٌؼ‬ ‫اٌؼجذ‬ َ‫أٌض‬ٚ ً‫ب‬ِ‫ػب‬ ً‫ب‬‫ؼ‬٠‫رشش‬ َ‫األدىب‬ ِٓ ‫ع‬ِّ‫ش‬ُ‫ش‬ ‫ِب‬ : ‫رخزض‬ ‫ال‬ ٟ‫اٌز‬ ‫اٌؼبِخ‬ َ‫األدىب‬ ِٓ ً‫خ‬ٌ‫أطب‬ ‫هللا‬ ٗ‫ششػ‬ ‫ِب‬ ٞ‫أ‬ .ٗ‫ث‬ ٟ٘ٚ َ‫ػب‬ ُ‫دى‬ ٟ٘ ٞ‫أ‬ ،‫ِىٍف‬ ْٚ‫د‬ ‫ثّىٍف‬ ‫ال‬ٚ ‫دبي‬ ْٚ‫د‬ ‫ثذبي‬ ٍٟ‫األط‬ ُ‫اٌذى‬ . Azimah adalah hukum syara‟ yg disyariatkan scr umum dan mewajibkan seorang hamba utk melaksanakannya, artinya, azimah adalah apa yang disyaratkan Allah sbg hukum asal berupa hukum umum yang tidak dikhususkan untuk kondisi tertentu atau untuk mukallaf tertentu. Artinya, azimah adalah hukum umum atau hukum asal. DEFINISI RUKHSAH ‫اٌشخظخ‬ ‫ثمبء‬ ‫ِغ‬ ٍ‫ٌؼزس‬ ‫ّخ‬٠‫ٌٍؼض‬ ً‫ب‬‫ف‬١‫رخف‬ َ‫األدىب‬ ِٓ ‫ِّع‬‫ش‬ُ‫ش‬ ‫ِب‬ : ‫هللا‬ ٗ‫ششػ‬ ‫ِب‬ ٟ٘ ٞ‫أ‬ .‫ب‬ٙ‫ث‬ ًّ‫ثبٌؼ‬ ‫اٌؼجبد‬ َ‫ٍض‬٠ ‫ال‬ٚ .‫ّخ‬٠‫اٌؼض‬ ُ‫دى‬ .‫خبطخ‬ ‫دبالد‬ ٟ‫ف‬ ‫اٌّىٍف‬ ٍٝ‫ػ‬ ً‫ب‬‫ف‬١‫رخف‬ َ‫األدىب‬ ِٓ Rukhsah adalah hukum syara‟ yg disyariatkan untuk meringankan azimah karena suatu udzur (alasan) disertai tetapnya hukum azimah. Tidak mewajibkan hamba untuk
  • 46. 46 melaksanakannya. Artinya, rukhsah adalah hukum yang disyariatkan Allah sebagai keringanan bagi mukallaf dalam kondisi-kondisi yang khusus. CONTOH AZIMAH & RUKHSAH DEFINISI SAH ‫اٌظذخ‬ ‫آصبس‬ ‫ت‬ُّ‫ر‬‫رش‬ ‫ب‬ٙ‫ث‬ ‫شاد‬٠ٚ ‫رطٍك‬ٚ .‫اٌشبسع‬ ‫أِش‬ ‫افمخ‬ِٛ ٟ٘ ٟ‫ف‬ ًّ‫اٌؼ‬ ‫آصبس‬ ‫ت‬ُّ‫ر‬‫رش‬ ‫ب‬ٙ‫ث‬ ‫شاد‬٠ٚ ‫رطٍك‬ٚ ‫وّب‬ .‫ب‬١ٔ‫اٌذ‬ ٟ‫ف‬ ًّ‫اٌؼ‬ .‫خشح‬٢‫ا‬ Sah adalah sesuai dengan perintah as Syaari‟ (Allah SWT). Sah digunakan untuk menyebut akibat suatu perbuatan di dunia, (lepas dari tuntutan peradilan). Juga digunakan untuk menyebut akibat suatu perbuatan di akhirat (pahala). Contoh : sholat yg
  • 47. 47 sah, artinya pelakunya lepas dari tanggungan dan tak dapat diadili (akibat dunia) dan ada harapan pahala (akibat akhirat) DEFINISI BATAL ْ‫اٌجطال‬ ‫أِش‬ ‫افمخ‬ِٛ َ‫ػذ‬ ٛ٘ٚ ،ً‫ب‬ِ‫رّب‬ ‫اٌظذخ‬ ً‫مبث‬٠ ‫ِب‬ ٛ٘ ‫ب‬١ٔ‫اٌذ‬ ٟ‫ف‬ ًّ‫اٌؼ‬ ‫آصبس‬ ‫ت‬ُّ‫ر‬‫رش‬ َ‫ػذ‬ ٗ‫ث‬ ‫شاد‬٠ٚ ‫طٍك‬٠ٚ .‫اٌشبسع‬ ‫ء‬ٞ‫ِجض‬ ‫ش‬١‫غ‬ ًّ‫اٌؼ‬ ْٛ‫ى‬٠ ْ‫أ‬ ٕٝ‫ثّؼ‬ .‫خشح‬٢‫ا‬ ٟ‫ف‬ ٗ١ٍ‫ػ‬ ‫اٌؼمبة‬ٚ ‫ٌٍم‬ ‫ِغمؾ‬ ‫ال‬ٚ ‫ٌٍزِخ‬ ‫ء‬ٞ‫ِجش‬ ‫ال‬ٚ .‫ؼبء‬ Batal adalah lawan dari sah, yaitu tidak sesuai dengan perintah as Syari‟ (Allah SWT). Batal digunakan untuk menyebut tiadanya akibat suatu perbuatan di dunia, (lepas dari tuntutan peradilan) Juga digunakan untuk menyebut akibat perbuatan di akhirat (azab). Contoh : sholat yg tak memenuhi rukunnya disebut batal, artinya pelakunya tak lepas dari tanggungan dan dapat diadili (akibat dunia) dan tiada harapan pahala (akibat akhirat) DEFINISI FASAD ‫اٌفغبد‬ ًِّ‫خ‬ٌُّ‫ا‬ ٗ‫طف‬ٚ ٓ‫ٌى‬ٚ ،‫ٌٍششع‬ ً‫ب‬‫افم‬ِٛ ٍٗ‫أط‬ ْٛ‫ى‬٠ ْ‫أ‬ ٛ٘ .‫اٌشبسع‬ ‫ألِش‬ ‫اٌّخبٌف‬ ٛ٘ ً‫ثبألط‬
  • 48. 48 Fasad adalah kondisi perbuatan yang pada asalnya sesuai syara‟, tapi sifat dari perbuatan itu (di luar rukun dan syarat) membuat cacat perbuatan asal tersebut, yaitu menyimpang dari perintah as syaari‟. Fasad hanya ada pada muamalat, sedang dalam ibadah yang ada hanya sah dan batal saja. Contohnya : orang kota berjual beli dengan orang dusun yang tidak mengetahui harga kota. Jual belinya secara asal adalah sah, tapi ada sifat dalam jual beli itu, di luar rukun dan akad jual beli, yaitu pengetahuan ttg harga yang hanya diketahui salah satu pihak, yang menyimpang dari syara‟. Akad yg fasad tidak wajib diulang, tapi cukup menyempurnakan apa yang dianggap cacat. CONTOH SAH DAN BATAL PERBUATAN HUKUM WADH‟I Sholat memenuhi syarat dan rukunnya Sah Jual beli memenuhi syarat dan rukunnya Sah Sholat tanpa wudlu Batal Jual beli, barangnya tidak ada Batal Sholat tidakmembaca al- faatihah Batal Nikah tidak ada ijaab qobuul Batal
  • 49. 49 CONTOH FASAD CATATAN SEPUTAR SAH, BATAL, FASAD Terdapat perbuatan-perbuatan yang sah, tak termasuk fasad atau batal, tapi pelakunya berdosa. Misalnya : jual beli pada saat adzan Jumat. Juga akad2 lain yang diqiyaskan dengan contoh tsb, misalnya akad nikah pada saat adzan Jumat, atau melakukan akad ijarah pada saat adzan Jumat. Contoh terkenal : sholat di atas tanah rampasan, haji dengan harta yg haram.
  • 50. 50 BAB VI KAIDAH USHUL FIQH POKOK BAHASAN 1. Pengertian, Sifat, dan Contoh al-Qawaid al-Fiqhiyah 2. Perbedaan Kaidah Fiqih dan Kaidah Ushul Fiqih (al- Qawaid Al Ushuliyah) 3. Pengamalan Kaidah Fiqih 4. Kitab-kitab Kaidah Fiqih PENGERTIAN KAIDAH FIQIH Kaidah fiqih dalam istilah Arab disebut dengan al- Qawaid al-Fiqhiyyah. Istilah lainnya : al-Qawaid al-Kulliyyah atau : Al-Qawaid Al Syar‟iyyah. Ketiga istilah tsb walaupun berbeda-beda sebutannya, tapi pengertian yg dimaksudkan sama. Definisi Kaidah fiqih : ِِٗ‫ر‬‫َّب‬١ِ‫ئ‬ْ‫ُض‬‫ج‬ ٍََٝ‫ػ‬ ُ‫ك‬ِ‫ج‬َ‫ط‬ٌُّْْٕ‫ا‬ ٍُُِّّٟ‫ى‬ٌْ‫ا‬ ُِّٟ‫ػ‬ْ‫ش‬َّ‫ش‬ٌ‫ا‬ ُُْ‫ى‬ُ‫ذ‬ٌَْ‫ا‬ ٟ٘ ‫خ‬١ٙ‫اٌفم‬ ‫اٌمبػذح‬ "Kaidah fikih adalah hukum syar'i yang bersifat menyeluruh (kulliy) yang berlaku untuk bagian-bagiannya (juz`iyat).“ (Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/444.)
  • 51. 51 MACAM-MACAM HUKUM SYAR‟I Hukum syar‟i ada 2 macam : 1. Hukum kulli, yaitu hukum yang berlaku untuk banyak kasus (juz‟iyah/cabang). 2. Hukum juz`i, yaitu hukum yang hanya berlaku untuk satu kasus saja. (Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/444). MACAM-MACAM HUKUM KULLI Hukum Kulli ada 2 macam : 1. Qawaid fiqhiyyah, yaitu hukum berupa kaidah yang berlaku untuk banyak kasus (cabang/juz‟iyah) 2. Ta‟rif syar‟i (definisi secara syar‟i), yaitu hukum berupa definisi yang berlaku untuk banyak kasus. (Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/444) DUA SIFAT QAWAID FIQHIYAH Pertama, hakikatnya adalah hukum syar‟i, yang diistinbath dari dalil-dalil syar‟i. Jadi Qawaid Fiqhiyyah bukan dalil syar‟i. Kedua, merupakan hukum kulli, yakni hukum yang berlaku untuk banyak kasus. Jadi Qawaid Fiqhiyyah tak hanya berlaku untuk satu kasus saja.
  • 52. 52 QAWAID FIQHIYAH SBG HUKUM SYAR‟I 1. Misalkan kaidah : al wasilah ilal haram haram diistinbath dari QS Al An‟aam [6] : 108 2. Misalkan kaidah : maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib, diistinbath dari QS Al Maa`idah [5] : 6 3. Misalkan kaidah : maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu, diistinbath dari sabda Rasulullah SAW : ُ‫اعزطؼز‬ ‫ِب‬ ِٕٗ ‫ا‬ٛ‫فؤر‬ ‫ثؤِش‬ ُ‫أِشرى‬ ‫ارا‬ “Jika aku perintahkan kalian melakukan suatu perintah, maka lakukan itu sekuat kemampuanmu.” (HR Bukhari dan Muslim). 4. Misalkan kaidah : kullu maa hurrima „alal al ibaad fa bai‟uhu haram, diistinbath dari sabda Rasulullah SAW : ّٕٗ‫ص‬ ُٙ١ٍ‫ػ‬ َ‫دش‬ ‫ء‬ٟ‫ش‬ ً‫أو‬ َٛ‫ل‬ ٍٝ‫ػ‬ َ‫دش‬ ‫ارا‬ ‫هللا‬ ْ‫ا‬ ٚ “Dan sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Allah haramkan pula harga sesuatu itu.” (HR Bukhari)
  • 53. 53 QAWAID FIQHIYAH SBG HUKUM KULLI 1. Misalkan kaidah : al wasilah ilal haram haram, dapat diterapkan untuk banyak kasus, misalnya : a. Menjual anggur kepada orang yang akan mengolah anggur menjadi khamr b. Menjual pisau kpd orang yang akan menggunakannya dlm kejahatan c. Haramnya menjual baju tidak menutup aurat (spt daster) kpd prp yang akan menggunakannya di tempat umum 2. Misalkan kaidah : maa laa yatimmul waajibu dst, dapat diterapkan untuk banyak kasus, misalnya : a. Wajibnya belajar bahasa Arab untuk mempelajari Al Qur`an. b. Wajibnya Khilafah untuk menerapkan Syariah secara kaaffah (menyeluruh). c. Wajibnya kutlah (kelompok) untuk berjuang menegakkan Khilafah.
  • 54. 54 PERBEDAAN KAIDAH FIQIH DAN KAIDAH USHUL FIQIH FAKTOR PEMBEDA KAIDAH FIQIH KAIDAH USHUL FIQIH Segi Fakta Faktanya hukum syara‟ Faktanya bukan hokum syara‟ tapi kaidah-kaidah bahasa Arab (qawaid lughawiyah) Segi Fungsi Fungsinya untuk menetapkan hukum syara‟ pada kasus cabang (hukum pokok) Fungsinya untuk mengistinbath hukum syara dari dalil syara‟ (al Qur`an dan As Sunnah) Segi Obyek Kajian Perbuatan mukallaf dan halal-haram Nash-nash syara‟ (dalil syara‟) untuk mengambil hokum syara‟ darinya. Segi Pengguna Digunakan oleh mujtahid dan selain mujtahid (muqollid) Digunakan oleh mujtahid saja, muqollid tidak bisa menggunakan. Segi Waktu Muncul Muncul belakangan seiring lahirnya Islam Muncul lebih awal sejak bahasa Arab ada. Segi Pengecualian dalam pengamalan Kaidah fiqih diamalkan dengan perkecualian. Kaidah ushul fiqih diamalkan dengan tanpa perkecualian. PENGAMALAN QAWAID FIQHIYAH Meski pun Qawaid Fiqhiyyah bukan dalil syar‟i, tapi diamalkan seperti halnya dalil syar‟i. Maksudnya, dapat menjadi dasar bagi penetapan hukum-hukum syara‟ baru. Hukum-hukum syara‟ baru ini bukan hukum yang sama sekali baru, melainkan
  • 55. 55 sekedar cabang hukum dari hukum pokoknya (yaitu kaidah fiqih itu sendiri). Syarat pengamalan kaidah fiqih tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syara‟ dalam Al Qur`an dan As Sunnah. Jika bertentangan dengan nash-nash syara‟, maka yang diamalkan adalah nash syara‟ sedangkan kaidah fiqihnya wajib diabaikan (tidak boleh diamalkan). (Lihat: Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/449). BEBERAPA KITAB QAWAID FIQHIYAH 1. Al Asybah wa An Nazhair karya Imam Suyuthi. 2. Al Asybah wa An Nazhair karya Imam Tajuddin As Subki. 3. Al Asybah wa An Nazhair karya Imam Ibnu Nujaim. 4. Ghamzu Uyunil Basha`ir Syarah Al Asybah wa An Nazhair karya Imam Ibnu Nujaim. 5. Al Qawaid An Nuraniyyah karya Ibnu Taimiyah. 6. Al Qawaid Al Fiqhiyah karya Ibnu Rajab Al Hanbali 7. Al Mantsur fil Qawaid karya Imam Zarkasyi. 8. Maushu‟ah Al Qawaid Al Fiqhiyah karya Muhammad Shidqi Al Burnu. 9. Al Qawaid Al Fiqhiyah fi Al Madzahib Al Arba‟ah karya Muhammad Az Zuhaili.
  • 56. 56 BAB VII DALIL SYARA’ POKOK BAHASAN 1. Pengertian Dalil Syar‟i 2. Macam-Macam Dalil Syar‟i 3. Penjelasan Pengertian Dalil Qath‟i dan Dalil Zhanni 4. Dalil Syar‟i Wajib Bersifat Qath‟iy (didasarkan pada Dalil Qath‟i) 5. Penjelasan Ttg Dalil Zhanni dalam Aqidah POSISI PEMBAHASAN DALIL SYAR‟I
  • 57. 57 PENGERTIAN DALIL SYAR‟I Dalil syar‟i disebut juga dengan istilah : ‫خ‬١‫اٌششػ‬ َ‫األدىب‬ ‫ِظبدس‬ Mashadirul Ahkam As Syar‟iyyah. Artinya : sumber-sumber hukum syara‟. (Lihat Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/417) atau disebut juga Ushulul Ahkam As Syar‟iyyah (pokok-pokok hukum syara‟). (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/66). ٕٞٛ‫ِؼ‬ ٚ‫أ‬ ٟ‫دغ‬ ‫ء‬ٟ‫ش‬ ٞ‫أ‬ ٌٝ‫ا‬ ٞ‫بد‬ٌٙ‫ا‬ : ‫ٌغخ‬ ً١ٌ‫اٌذ‬ Dalil menurut makna bahasa artinya : Petunjuk kepada sesuatu apapun baik sesuatu yang inderawi/dapat diindera (hissi) maupun sesuatu yang maknawi (tak dapat diindera). Misal : (1) Asap adalah “dalil” adanya api (inderawi), (2) Senyum adalah “dalil” adanya perasaan gembira (dalam hati) (maknawi). ُ‫دى‬ ٌٝ‫ا‬ ٗ١‫ف‬ ‫إٌظش‬ ‫خ‬١‫ثظذ‬ ً‫ط‬ٛ‫ز‬٠ ‫ِب‬ ٛ٘ : ‫اططالدب‬ ً١ٌ‫اٌذ‬ ٍّٟ‫ػ‬ ٟ‫ششػ‬ Dalil menurut istilah (terminologi) adalah : Segala sesuatu yang (jika) dipertimbangkan dengan benar akan mengantarkan pada
  • 58. 58 suatu hukum syar‟i yang amali. (Wahbah Zuhaili, Ushulul Fiqh Al Islami, 1/417). ُ‫دى‬ ٕٗ‫ػ‬ ‫س‬ٛ‫اٌّجذ‬ ْ‫أ‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫دجخ‬ ‫زخز‬٠ ٞ‫اٌز‬ ٛ٘ ٟ‫اٌششػ‬ ً١ٌ‫اٌذ‬ ٟ‫ششػ‬ Dalil Syar‟i adalah sesuatu yang dijadikan hujjah (alasan/dasar) bahwa apa yang dibahas berdasarkan hujjah itu adalah hukum syar‟i. (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/64). Note : Dalil syar‟i dalam pembahasan ushul fiqih adalah dalil syar‟i ijmali (dalil global), spt Al Kitab, As Sunnah, dll, bukan dalil syar‟i tafshili, spt ayat atau hadits tertentu sbg dasar hukum tertentu. MACAM-MACAM DALIL SYAR‟I Berdasarkan disepakati tidaknya oleh jumhur (mayoritas) ulama, terdapat dua macam dalil syar‟i : Pertama, dalil syar‟i yang disepakati oleh jumhur ulama (muttafaq „alaiha baina jumhur al ulama), ada 4 yaitu : (1) Al Kitab (Al Qur`an), (2) As Sunnah (Al Hadits),
  • 59. 59 (3) Al Ijma‟, (4) Al Qiyas. Kedua, dalil syar‟i yang diperselisihkan oleh jumhur ulama (mukhtalaf fiihaa baina jumhur al ulama), maksudnya, sebagian ulama menjadikannya sbg hujjah, sebagian ulama lainnya tidak. Yang paling termasyhur ada 7 yaitu : (1) Al Istihsan, (2) Al Mashalih Al Mursalah (Al Istishlah), (3) Madzhab As Shahabi, (4) Syar‟u Man Qablana, (5) Al Istish-hab (6) Al „Urf (7) Adz Dzara`i‟ (Wahbah Zuhaili, Ushulul Fiqh Al Islami, 1/417). Dalam kajian Aqidah Islam, ada istilah dalil aqli dan dalil naqli/ dalil sam‟i. Pengertian Dalil Aqli : ٓ‫سو‬ ٌٝ‫ا‬ ‫ي‬ٛ‫ط‬ٌٍٛ ً‫اٌؼم‬ ٍّٗ‫غزؼ‬٠ ٞ‫اٌز‬ ْ‫اٌجش٘ب‬ ٛ٘ ٍٟ‫اٌؼم‬ ً١ٌ‫اٌذ‬ ‫خ‬١ِ‫اإلعال‬ ‫ذح‬١‫اٌؼم‬ ْ‫أسوب‬ ِٓ Dalil aqli adalah bukti yang dipergunakan oleh akal untuk mencapai satu rukun di antara rukun-rukun Aqidah Islamiyah.
  • 60. 60 (M. Husain Abdullah, Dirasat fil Fikr Al Islami). Contoh dalil aqli : (1) Alam semesta, adalah dalil yang digunakan akal untuk mencapai keimanan akan adanya Allah (wujudullah). (2) Al Qur`an, adalah dalil yang digunakan akal untuk mencapai keimanan akan kenabian Muhammad SAW dan bahwa Al Qur`an adalah kalamullah. Pengertian Dalil Naqli / Sam‟i : ِٓ ٓ‫سو‬ ٓ‫ػ‬ ‫خجشٔب‬٠ ٞ‫اٌز‬ ٟ‫اٌمطؼ‬ ‫اٌخجش‬ ٛ٘ ٟ‫اٌغّؼ‬ ً١ٌ‫اٌذ‬ ‫خ‬١ِ‫اإلعال‬ ‫ذح‬١‫اٌؼم‬ ْ‫أسوب‬ Dalil Naqli (sam‟i) adalah berita (nash) yang pasti (qath‟i) yang mengabarkan kepada kita mengenai satu rukun di antara rukun- rukun Aqidah Islamiyah. (M. Husain Abdullah, Dirasat fil Fikr Al Islami). DALIL QATH‟I DAN DALIL ZHANNI Dalil Al Quran atau As Sunnah, ditinjau dari segi datangnya / bersumbernya dalil itu dari Rasulullah SAW, ada dua:
  • 61. 61 Pertama, dalil qath‟i tsubut, yaitu dalil yang secara pasti bersumber dari Rasulullah SAW, yaitu Al Qur`an dan Hadits Mutawatir. Kedua, dalil zhanni tsubut, yaitu dalil yang secara dugaan kuat bersumber dari Rasulullah SAW, yaitu Hadits Ahad. Masing-masing dalil tersebut, ditinjau dari segi pasti tidaknya dalalah (makna) yang ditunjukkan oleh dalil, ada dua: Pertama, dalil qath‟i dalalah, yaitu dalil yang tidak mempunyai makna kecuali satu makna saja. Kedua, dalil zhanni dalalah, yaitu dalil yang mengandung kemungkinan lebih dari satu makna. Maka dari itu, berdasarkan penjelasan di atas, terdapat empat macam dalil : Pertama, dalil qath‟i tsubut dan qath‟I dalalah, yaitu dalil Al Qur`an atau Hadits Mutawatir yang tidak mempunyai makna kecuali satu makna saja. INILAH YANG DISEBUT SECARA RINGKAS SEBAGAI : DALIL QATH‟I. Kedua, dalil qath‟i tsubut dan zhanni dalalah, yaitu dalil Al Qur`an atau Hadits Mutawatir yang mengandung lebih dari satu makna.
  • 62. 62 Ketiga, dalil zhanni tsubut dan qath‟i dalalah, yakni dalil Hadits Ahad yang tidak mempunyai makna kecuali satu makna saja. Keempat, dalil zhanni tsubut dan zhanni dalalah, yakni dalil Hadits Ahad yang mempunyai makna lebih dari satu makna. Dalil pada macam yang kedua, ketiga, dan keempat di atas , secara ringkas disebut : DALIL ZHANNI. Hukum syara‟ yang dalilnya dalil qath‟i, adalah hukum syara‟ yang qath‟i, yang tidak boleh ada perbedaan pendapat (khilafiyah), seperti wajibnya sholat, haramnya zina, haramnya khamr, dll. Hukum syara‟ yang dalilnya dalil zhanni, adalah hukum syara‟ yang zhanni, yang boleh ada perbedaan pendapat (khilafiyah), seperti jumlah rakaat tarawih, dll. DALIL SYAR‟I WAJIB BERSIFAT QATH‟I Imam Taqiyuddin An Nabhani merumuskan suatu kaidah ushul fiqih sbb : ْ‫أ‬ ‫جت‬٠ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ ‫األدٌخ‬ ‫خ‬١‫لطؼ‬ ْٛ‫رى‬ “Dalil-dalil syar‟i wajib bersifat qath‟i.” (Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/67.)
  • 63. 63 Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dalil syar‟i wajib bersifat qath‟i, artinya adalah wajib ada dalil qath‟i (bukan dalil zhanni) yang menunjukkan kehujjahan dalil syar‟i. Kehujjahan dalil syar‟i, artinya kelayakan suatu dalil menjadi dalil syar‟I (Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/68). Mengapa dalil syar‟i wajib bersifat qath‟i? Sebab dalil syar‟i yang layak menjadi hujjah wajib berupa wahyu Allah. Sedang wahyu adalah persoalan Aqidah (Ushuluddin), yang dalilnya wajib qath‟i, bukan persoalan hukum syara‟ (furu‟), yang dalilnya boleh dalil zhanni. Maka wajib ada dalil qath‟i (bukan dalil zhanni) yang menunjukkan kehujjahan suatu dalil syar‟i. Mengapa dalam persoalan aqidah dalilnya wajib qath‟i, tidak boleh zhanni? Sebab terdapat dalil yang mencela kita mengambil dalil zhanni (persangkaan/dugaan) dalam persoalan Aqidah.
  • 64. 64 Dalilnya firman Allah SWT : ‫ئب‬١‫ش‬ ‫اٌذك‬ ِٓ ٟٕ‫غ‬٠ ‫ال‬ ٓ‫اٌظ‬ ْ‫ا‬ ‫ظٕب‬ ‫اال‬ ُ٘‫أوضش‬ ‫زجغ‬٠ ‫ِب‬ٚ “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan/dugaan (zhann) saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS Yunus [10] : 36) Juga firman Allah SWT : ‫ٌئه‬ٚ‫أ‬ ً‫و‬ ‫اٌفئاد‬ٚ ‫اٌجظش‬ٚ ‫اٌغّغ‬ ْ‫ا‬ ٍُ‫ػ‬ ٗ‫ث‬ ‫ٌه‬ ‫ظ‬١ٌ ‫ِب‬ ‫رمف‬ ‫ال‬ٚ ‫ال‬ٛ‫ِغئ‬ ٕٗ‫ػ‬ ْ‫وب‬ “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pemgetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Isra` [17] : 36). (Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/66.) Berdasarkan kaidah ushuliyah : ‫خ‬١‫لطؼ‬ ْٛ‫رى‬ ْ‫أ‬ ‫جت‬٠ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ ‫األدٌخ‬ “Dalil-dalil syar‟i wajib bersifat qath‟i.”
  • 65. 65 Maka dalil-dalil syar‟i yang memenuhi kriteria kaidah ushul tsb hanya 4 saja, yaitu : Al Kitab, As Sunnah, Ijma‟ Shahabat, dan Qiyas. CATATAN PENTING TENTANG DALIL ZHANNI DALAM MASALAH AQIDAH Tidak mengambil dalil zhanni dalam persoalan Aqidah bukan berarti mengingkari dalil zhanni itu (misalnya Hadis Ahad), melainkan sekedar tidak membenarkan secara pasti („adamul jazm) thd dalil zhanni itu. Contoh Hadis Ahad : adzab kubur, turunnya Dajjal, dan turunnya Nabi Isa AS di akhir jaman. PENDIRIAN IMAM TAQIYUDDIN AN NABHANI TERHADAP DALIL ZHANNI DALAM MASALAH AQIDAH Pertama, haram mengi‟tiqadkan, yakni membenarkan secara pasti (jazim), terhadap dalil zhanni itu. ‫ٔض‬ ٚ ً‫اٌؼم‬ : ٓ١‫م‬٠‫اٌطش‬ ٓ٠‫٘ز‬ ٓ‫ػ‬ ‫ضجذ‬٠ ٌُ ‫ِب‬ٚ ‫اٌغٕخ‬ٚ ‫اٌىزبة‬ ٓ١‫م‬٠ ٓ‫ػ‬ ‫اال‬ ‫رئخز‬ ‫ال‬ ‫اٌؼمبئذ‬ ْ‫إل‬ ٖ‫ؼزمذ‬٠ ْ‫أ‬ ٗ١ٍ‫ػ‬ َ‫ذش‬٠ ‫خ‬١‫اٌمطؼ‬ “Dan apa saja yang tak terbukti melalui dua jalan ini, yaitu akal dan nash Al Qur`an dan As Sunnah yang qath‟i, haram baginya mengi‟tiqadkannya, sebab masalah-masalah aqidah tidak
  • 66. 66 diambil, kecuali berdasarkan dalil yang yakin (qath‟i).” (Nizhamul Islam, hlm. 12). Dalil pengharaman QS 10:36; QS 17:36. (Syakhshiyyah Islamiyyah, 3/66). Kedua, tidak mengingkari dalil zhanni itu (misalnya Hadis Ahad). Lihat kitab beliau yg berjudul Ma‟lumaat lis Syabab, hlm. 7, sbb : َ‫اٌجض‬ َ‫ػذ‬ ‫فمؾ‬ ٟٕ‫ؼ‬٠ ‫أّب‬ٚ ‫اإلٔىبس‬ ٟٕ‫ؼ‬٠ ‫ال‬ ‫اإلػزمبد‬ َ‫ػذ‬ ْ‫أ‬ ‫األ‬ “Hanya saja (perlu dipahami), bahwa tidak mengi‟tiqadkan itu tidak berarti mengingkari, melainkan artinya hanyalah tidak membenarkan secara pasti („adamul jazm).” Ketiga, boleh membenarkan dalil zhanni itu (misalnya Hadis Ahad) dengan pembenaran yang bersifat dugaan (tashdiq zhanni), bukan tashdiq jazim (pembenaran yang pasti). Lihat kitab beliau yg berjudul Ma‟lumaat lis Syabab, hlm. 7, sbb : ُ٠‫رذش‬ ٕٝ‫ِؼ‬ ‫ظ‬١ٍ‫ف‬ ‫ا‬ ‫إلػزمبد‬ ‫ش‬٠‫األدبد‬ ٖ‫٘ز‬ ٟ‫ف‬ ‫ِب‬ ‫سفغ‬ ٟٕ‫ثبٌظ‬ ‫فمؾ‬ ٖ‫ِؼٕب‬ ً‫ث‬ ،‫ب‬ٙ١‫ف‬ ‫جبء‬ ‫ثّب‬ ‫ك‬٠‫اٌزظذ‬ َ‫ػذ‬ٚ َ‫اٌجض‬ َ‫ػذ‬ ٟ‫ف‬ ‫ثّب‬ ‫ب‬ٌٙٛ‫لج‬ ‫ص‬ٛ‫ج‬٠ ٚ ‫ب‬ٙ‫ث‬ ‫ك‬٠‫اٌزظذ‬ ‫ص‬ٛ‫ج‬٠ ٓ‫ٌى‬ٚ ‫ش‬٠‫األدبد‬ ٖ‫٘ز‬ ٟ‫ف‬ ...
  • 67. 67 “Haramnya mengi‟tiqadkan sesuatu yang bersifat zhann (dugaan) bukan berarti menolak apa-apa yang terkandung dalam hadits-hadits ini (Hadits Ahad) dan tidak membenarkannya, melainkan hanya tidak memastikan apa-apa yang terkandung dalam hadits-hadits ini. Akan tetapi boleh membenarkan dan menerima hadits-hadits ini…” (Lihat juga As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz I hlm. 193).
  • 68. 68 BAB VIII MACAM-MACAM DALIL SYAR’I POKOK BAHASAN Dalil Syar‟i Yang Disepakati Jumhur Ulama : (a) Al Kitab, (b) As Sunnah, (c) Ijma‟, (d) Qiyas PENDAPAT ULAMA SEPUTAR DALIL SYAR‟I Dalil syar‟i yang disepakati oleh seluruh ulama (tanpa khilafiyah) ada dua : (1) Al Kitab (Al Qur`an) (2) As Sunnah (Al Hadits) Dalil syar‟i yang disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama ada empat : (1) Al Kitab, (2) As Sunnah, (3) Ijma‟, (4) Qiyas
  • 69. 69 Sebagian ulama, yaitu ulama Zahiriyah, menolak Qiyas (mrk disebut nufaatul Qiyas). PENGERTIAN AL QUR`AN ٗ١ٍ‫ػ‬ ‫هللا‬ ٍٝ‫ط‬ ‫ِذّذ‬ ٌٗٛ‫سع‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫إٌّضي‬ ‫هللا‬ َ‫وال‬ ٛ٘ ْ‫اٌمشآ‬ ‫ِؼٕب‬ٚ ‫ٌفظب‬ َ‫اٌغال‬ ٗ١ٍ‫ػ‬ " ً٠‫"ججش‬ ٟ‫د‬ٌٛ‫ا‬ ‫اعطخ‬ٛ‫ث‬ ٍُ‫ع‬ٚ ‫ارشا‬ٛ‫ِز‬ ‫ٔمال‬ ‫ٌٕب‬ ‫ي‬ٛ‫إٌّم‬ٚ ٗ‫ر‬ٚ‫ثزال‬ ‫اٌّؼجضاٌّزؼجذ‬ Al Qur`an adalah kalamullah yang diturunkan kepada rasul-Nya, yaitu Muhammad SAW dengan perantaraan wahyu Jibril AS secara lafal dan makna, yang bersifat mu‟jizat, yang dianggap ibadah membacanya, dan yang dinukilkan (diriwayatkan) kepada kita secara mutawatir. (Atha‟ bin Khalil, Taisir Al Wushul, hlm. 55) KEHUJJAHAN AL QUR`AN Al Qur`an layak menjadi dalil syar‟i, karena Al Qur`an adalah wahyu Allah (kalamullah). Bukti Al Qur`an itu wahyu, adalah dali aqli yang qath‟i yang membuktikan Al Qur`an adalah kalamullah. Pembuktiannya sebagai berikut, yaitu bahwa al Qur`an adalah kitab berbahasa Arab, maka kemungkinan dari mana asal
  • 70. 70 Al Qur`an hanya 3 tidak lebih: dari orang Arab, dari Rasulullah SAW atau dari Allah SWT. Kemungkinan pertama, yakni dari orang Arab, batil. Karena orang Arab telah ditantang untuk mendatangkan semisal Al Qur`an tapi tidak mampu. Lihat Al Baqarah : 23; Yunus : 37 Kemungkinan kedua, yakni dari Rasulullah SAW, juga batil, karena Rasulullah adalah bagian dari orang Arab, yang terbukti tak mampu mendatangkan semisal Al Qur`an. Selain itu, gaya ungkapan hadits berbeda dengan gaya ungkapan Al Qur`an. Kemungkinan ketiga, yaitu Al Qur`an adalah dari Allah SWT, adalah benar. Karena setelah kemungkinan pertama dan kedua dibuktikan kebatilannya, maka berarti kemungkinan ketiga saja yang benar. Kemungkinan ketiga itu sesuai dengan klaim Al Qur`an sendiri, yaitu antara lain QS Fushshilat : 42 yang menerangkan Al Qur`an diturunkan oleh Allah SWT. (tanziilun min hakiim hamiid). (Lihat Atha‟ bin Khalil, Taisir Al Wushul, hlm. 56-57). KANDUNGAN HUKUM DALAM AL QUR`AN Al Qur`an mengandung segala macam hukum yang diperlukan manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Lihat dalilnya QS An Nahl : 89.
  • 71. 71 Macam-macam hukum Al Qur`an : (1) Hukum yang mengatur hubungan Allah dengan manusia, misal : aqidah (QS 4 : 136) dan ibadah (sholat, zakat, haji, dll). (2) Hukum yang yang mengatur hubungan manusia dgn dirinya sendiri, misal : hukum makanan dan pakaian (QS 2 :168, QS 5:3; QS 24:31; QS 33:59. Juga hukum akhlaq : haramnya berdusta (QS Mursalat : 19), dll (3) Hukum yg mengatur manusia dengan manusia lainnya, misal: hukum2 pemerintahan Islam (Khilafah), seperti : (a) kewajiban menegakkan hukum Allah (QS 5:49) (b) kewajiban pemerintahan Islam berbuat adil (QS 4:58) (c) kewajiban rakyat mentaati pemerintahan Islam / ulil amri (QS 4:59) Misal lain : Hukum-hukum sistem ekonomi Islam, seperti kepemilikan (QS 24:33; QS al hadid 57 : 7). Misal lain : Hukum pergaulan pria dan wanita, misalnya pernikahan (QS 30:21). (Lihat M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 56-58).
  • 72. 72 PENGERTIAN AS SUNNAH ‫هللا‬ ٍٝ‫ط‬ ‫هللا‬ ‫ي‬ٛ‫سع‬ ٌٝ‫ا‬ ‫ف‬١‫أػ‬ ‫ِب‬ : ‫ش‬٠‫اٌذذ‬ ‫ػٍّبء‬ ‫ػٕذ‬ ‫اٌغٕخ‬ ‫طف‬ٚ ٚ‫أ‬ ٟ‫خٍم‬ ‫طف‬ٚ ٚ‫أ‬ ‫ش‬٠‫رمش‬ ٚ‫أ‬ ً‫فؼ‬ ٚ‫أ‬ ‫ي‬ٛ‫ل‬ ِٓ ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ػ‬ ٟ‫خٍم‬ As Sunnah menurut ulama hadits : adalah apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik itu perkataan, perbuatan, atau taqrir, atau sifat akhlaq (washfin khuluqiyyin), atau sifat fisik (washin khalqiyyin). ‫هللا‬ ٍٝ‫ط‬ ‫هللا‬ ‫ي‬ٛ‫سع‬ ٓ‫ػ‬ ‫سد‬ٚ ‫ِب‬ : ‫ي‬ٛ‫األط‬ ‫ػٍّبء‬ ‫ػٕذ‬ ‫اٌغٕخ‬ ً‫فؼ‬ ٚ‫أ‬ ‫ي‬ٛ‫ل‬ ِٓ ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ػ‬ ً‫فؼ‬ ٚ‫أ‬ ‫ي‬ٛ‫ٌم‬ ‫ش‬٠‫رمش‬ ٚ‫أ‬ As Sunnah menurut ulama ushul fiqih : adalah apa-apa yang berasal dari Rasulullah SAW baik itu perkataan, perbuatan, maupun taqrir (persetujuan), baik taqrir terhadap perkataan, atau perbuatan (shahabat). („Atha` bin Khalil, Taisir Wushul Ilal Ushul, hlm. 73). KEHUJJAHAN AS SUNNAH As Sunnah adalah hujjah (dalil syar‟i) karena terdapat dalil qath‟i yang membuktikan As Sunnah sebagai wahyu Allah.
  • 73. 73 Dalil-dalil tersebut a.l. : QS An Najm : 3, QS Al An‟am : 50; QS Al Hasyr : 7, QS An Nisaa` : 59, QS Ali Imran : 31, dll FUNGSI AS SUNNAH TERHADAP AL QUR`AN (1) Sebagai tafshil (rincian) dari kemujmalan Al Qur`an, misal : terdapat perintah mujmal (global) dlm Al Qur`an utk sholat (QS 24:56) maka As Sunnah memberikan rincian (tafshil) terhadap kemujmalan Al Qur`an tsb. Demikian juga yg spt ini adalah dalam masalah zakat, haji, dan lain-lain. (2) Sebagai takhsis (pengkhususan / pengecualian) dari keumuman Al Qur`an, misal : terdapat perintah umum dalam Al Qur`an untuk mencambuk pezina (QS 24:2). Maka As Sunnah mengkhususkan bahwa hukuman cambuk tsb hanya untuk yang belum menikah, sedang bagi yang sudah menikah (muhshon) sanksinya bukan cambuk, melainkan rajam. (3) Sebagai taqyiid (pembatasan / pensyaratan) dari kemutlakan Al Qur`an, misal : terdapat perintah mutlak untuk memotong tangan pencuri dalam Al Qur`an (QS 5:38) maka As Sunnah memberikan taqyiid, bahwa pencuri yang dipotong tangannya
  • 74. 74 adalah jika memenuhi syarat tertentu, misalnya barang yg dicuri nilainya ¼ dinar atau lebih, dst. (4) Sebagai penambah (ilhaaq) hukum baru yang terdapat hukum pokoknya dalam Al Qur`an, misal : terdapat ketentuan haramnya menikahi dua orang perempuan bersaudara dalam Al Qur`an (QS 4:23) maka As Sunnah memberikan tambahan hukum, haram pula menikahi seorang perempuan bersama dengan bibinya (ammah / khoolah). Ammah = sdr prp ayah. Khoolah = sdr prp ibu. PENGERTIAN IJMA‟ Ijma‟ menurut istilah adalah : ٟ‫ششػ‬ ُ‫دى‬ ٗٔ‫ثؤ‬ ‫لبئغ‬ٌٛ‫ا‬ ِٓ ‫الؼخ‬ٚ ُ‫دى‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫اإلرفبق‬ ٛ٘ ‫اإلجّبع‬ Ijma‟ adalah kesepakatan atas hukum suatu peristiwa di antara peristiwa-peristiwa yang ada, bahwa hukum itu adalah hukum syar‟i. (Atha bin Khalil, Taisir al Wushul ilal Ushul, hlm. 82). Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat mengenai ijma‟ siapakah yang layak menjadi dalil syar‟i. Beberapa ijma‟ paling masyhur yang diadopsi ulama ushul fiqih adalah :
  • 75. 75 (1) Ijma‟ shahabat (2) Ijma‟ ahlul madinah (penduduk madinah) (3) Ijma‟ Umat Islam (4) Ijma‟ mujtahidin (5) Ijma‟ ahlul bait (menurut Syiah). KEHUJJAHAN IJMA‟ SHAHABAT Ijma‟ shahabat adalah ijma‟ yang paling kuat dalilnya. Karena terdapat dalil qath‟i, yang mendasari kehujjahan ijma‟ shahabat. Dalil-dalil qath‟i tsb adalah : (1) Pujian Allah SWT dalam al-Qur`an kpd para shahabat, misal: QS Al Fath : 29, QS at Taubah : 100. (2) Penegasan Allah SWT bahwa Allah akan menjaga al-Qur`an (QS Al Hijr : 9). Ayat diatas menunjukkan kebenaran ijma‟ shahabat, sebab dengan ijma‟ shahabat sajalah al-Qur`an diriwayatkan hingga sampai epada kita. Secara syar‟i ijma‟ shahabat terhindar dari kesalahan. QS Fushshilat : 42 menjelaskan al-Qur`an tidak dapat didatangi kebatilan. Padahal al-Qur`an itu diriwayatkan kepada kita dengan ijma‟ shahabat. Maka ayat di atas sekaligus dalil
  • 76. 76 bahwa Ijma‟ shahabat adalah dalil syar‟i. Ijma‟ shahabat juga telah mengungkapkan adanya dalil dari as Sunnah (yaksyifu an dalilin minas sunnah), maka dalil kehujjahan as-Sunnah sekaligus adalah dalil bagi kehujjahan Ijma‟ Shahabat. PENGERTIAN QIYAS Qiyas menurut para ulama ushul fiqih adalah : ‫ب‬ّٙ‫دى‬ ٍٝ‫ػ‬ ّ‫ٔض‬ ‫ال‬ ‫الؼخ‬ٚ ‫اٌذبق‬ ٛ٘ ‫بط‬١‫اٌم‬ ‫ٔض‬ ‫سد‬ٚ ‫الؼخ‬ٛ‫ث‬ ‫خ‬ٍّ‫ػ‬ ٟ‫ف‬ ٓ١‫الؼز‬ٌٛ‫ا‬ ٞٚ‫ٌزغب‬ ‫إٌض‬ ٗ‫ث‬ ‫سد‬ٚ ٞ‫اٌز‬ ُ‫اٌذى‬ ٟ‫ف‬ ‫ب‬ّٙ‫ثذى‬ ‫ّب‬ِٕٙ ً‫و‬ ٟ‫ف‬ ُ‫اٌذى‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫اٌجبػش‬ ٟ‫ف‬ ‫الرذبدّ٘ب‬ ٞ‫أ‬ ،ُ‫اٌذى‬ ‫٘زا‬ Qiyas adalah menyamakan suatu fakta yang tak ada nash akan hukumnya, dengan fakta yang ada nash akan hukumnya, dalam hal hukum syar‟i, karena kesamaan dua fakta itu dalam illat hukum, yaitu kesamaan dalam faktor pembangkit hukumnya. Contoh Qiyas : Menyamakan ijarah pada saat adzan Jumat dengan jual beli saat adzan Jumat. Hukum ijarah saat adzan Jumat haram, karena terdapat illat yang sama dengan haramnya jual beli saat adzan
  • 77. 77 Jumat (QS Al Jumu‟ah : 9), yaitu melalaikan shalat Jumat (al ilha` „an sholat al jumu‟ah). Haramnya jual beli saat adzan Jumat dapat pula diqiyaskan pada masalah-masalah lain, spt haramnya seminar atau akad nikah saat adzan Jumat, dll RUKUN QIYAS Ada 4 rukun Qiyas : (1) Ashl (asal) : yaitu masalah pokok (misal jual beli saat adzan Jumat) (2) Hukum asal : misal Haram (3) Far‟u : yaitu masalah cabang (misal ijarah saat adzan jumat) (4) Illat : yaitu sesuatu yang menjadi alasan pensyariatan hukum (misal melalaikan sholat Jumat). Jika 4 rukun Qiyas itu ada, maka hasilnya adalah hukum masalah cabang. KEHUJJAHAN QIYAS Qiyas adalah hujjah, karena landasan Qiyas adalah illat syar‟i, yaitu illat yang terdapat pada dalil-dalil syar‟i, yaitu Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma‟ Shahabat, jadi kehujjahan Qiyas berasal dari kehujjahan dalil-dalil syar‟i, yang membawa illat syar‟i.
  • 78. 78 Berarti dalil-dalil kehujjahan Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma‟ Shahabat, adalah dalil kehujjahan Qiyas. Inilah dalil qath‟I untuk kehujjahan Qiyas. CATATAN SEPUTAR QIYAS Qiyas yang layak menjadi hujjah, adalah Qiyas syar‟i, bukan Qiyas Aqli. Qiyas aqli adalah mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang lain sekedar adanya kemiripan menurut akal, padahal tidak didasarkan pada dalil syar‟i. Misal : mengqiyaskan khamr dengan narkoba. Narkoba memang haram, tapi haramnya adalah karena nash, bukan karena Qiyas. Bukan Qiyas, menerapkan keumuman nash pada kasus-kasusnya.
  • 79. 79 BAB IX PANDANGAN TERHADAP DALIL SYAR’I YANG DIPERSELISIHKAN ULAMA 1. SYARA‟ MAN QABLANA a. Pengertian dan Contoh b. Pandangan Ulama ttg Syara‟ Man Qablana c. Tarjih 2. MAZHAB SAHABAT a. Pengertian dan Contoh b. Pandangan Ulama ttg Madzhab Shahabat c. Tarjih 3. ISTIHSAN a. Pengertian dan Contoh b. Pandangan Ulama ttg Istihsan c. Tarjih 4. MASHALIH MURSALAH a. Pengertian dan Contoh b. Pandangan Ulama ttg Mashalih Mursalah c. Tarjih
  • 80. 80 REVIEW MATERI SEBELUMNYA Dalil syar‟i (sumber hukum) wajib dibuktikan keabsahannya sebagai sumber hukum dgn dalil qath‟i, bukan dalil zhanni. Karena dalil syar‟i wajib berupa wahyu, sedangkan sesuatu itu wahyu atau bukan wahyu, adalah masalah Aqidah (ushul), bukan masalah Syariah (furu‟). Perkara-perkara dalam Aqidah Islam wajib didasarkan pada dalil qath‟i, bukan dalil zhanni. Karena terdapat celaan (dzamm) terhadap penggunaan dalil zhanni dalam masalah-masalah Aqidah (QS Yunus : 36; QS Al Isra‟ : 36). PANDANGAN THD DALIL-DALIL YANG DIPERSELISIHKAN Telah dibahas sebelumnya, bahwa dalil-dalil syar‟i yang mu‟tabar (kuat) hanya empat: al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma‟ Shahabat dan Qiyas. Lalu bagaimanakah pandangan terhadap dalil-dalil syar‟i lainnya? Ada dua prinsip pandangan terpenting sebagai berikut : Pertama, dalil-dalil syar‟I yang lain, seperti Syara‟ Man Qablana, Madzhab Shahabat, Istihsan, dan Mashalih Mursalah, tidak dianggap dalil syar‟i yang mu‟tabar (dianggap kuat).
  • 81. 81 Sebab dalil-dalil syar‟i yang lain tsb kehujjahannya hanya didasarkan pada dalil zhanni, bukan dalil qath‟i. (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/404; M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 135; Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 112.) Kedua,, namun hukum syara‟ yang diistinbath berdasarkan dalil-dalil syar‟i yang lain itu, tetap dianggap hukum syara‟. Sebab mempunyai syubhatud dalil. Syubhatud dalil adalah dalil yang marjuh (lemah secara tarjih), baik syubhatud dalil itu berupa dalil ijmali (sumber hukum) maupun dalil tafshili (ayat/hadits tertentu). (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/404; M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 135; Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 112).
  • 82. 82 PENGERTIAN SYARA’ MAN QABLANA ِٓ ‫عجمٕب‬ ٌّٓ ٌٝ‫رؼب‬ ‫هللا‬ ‫ب‬ٙ‫ششػ‬ ٟ‫اٌز‬ َ‫األدىب‬ ٛ٘ ‫لجٍٕب‬ ِٓ ‫ششع‬ ٍٗ‫سع‬ٚ ٗ‫بئ‬١‫أٔج‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫ب‬ٌٙ‫أٔض‬ ٚ َ‫ا‬ٛ‫األل‬ ٚ ُِ‫األ‬ ‫ؼخ‬٠‫وشش‬ ٌُٙ ُٙ‫غ‬١ٍ‫ٌزج‬ َ‫اٌغال‬ ُٙ١ٍ‫ػ‬ ٝ‫غ‬١‫ػ‬ٚ ٝ‫ع‬ِٛٚ ُ١٘‫اثشا‬ Syara‟ man Qablana (syariat sebelum kita) adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi berbagai umat dan kaum yang mendahului kita (sebelum Nabi Muhammad SAW) yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya agar mereka menyampaikan kepada kaumnya, contohnya seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa AS. (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 206). CONTOH SYARA‟ MAN QABLANA (1) Dalam syariat Nabi Sulaiman AS, kalau binatang spt burung berbuat kerusakan, maka binatang tersebut dijatuhi sanksi. (QS An Naml : 20-21). (2) Dalam syariat Nabi Zakaria AS, disyariatkan puasa bicara selama 3 hari. (QS Maryam : 10). (3) Dalam syariat Nabi Musa AS, haram hukumnya binatang yang berkuku, juga lemak dari sapi dan domba (QS Al An‟am : 146).
  • 83. 83 (4) Dalam syariat Nabi Yusuf AS, hukuman untuk pencuri adalah dijadikan budak (QS Yusuf : 75) (5) Dalam syariat Nabi Ya‟kub AS, makanan yang diharamkan oleh Nabi Ya‟kub adalah haram bagi kaumnya (Bani Israil) (QS Ali „Imran : 93). (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 210). PANDANGAN ULAMA THD SYARA‟ MAN QABLANA A. Bahwa syara‟ man qablana adalah syariat bagi kita (umat Islam), selama terdapat dalam Syariat kita (syariat Islam) tanpa dukungan atau pengingkaran. Ini adalah pendapat : (1) mayoritas ulama Hanafiyyah, (2) mayoritas ulama Malikiyyah, (3) sebagian ulama Safi‟iyyah, dan (4) Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Dalil mereka a.l. QS Al An‟am : 90; QS As Syuura : 13; Firman Allah SWT : ِِٖ‫ذ‬َ‫ز‬ْ‫ل‬‫ا‬ ُُْ٘‫َا‬‫ذ‬ُِٙ‫ج‬َ‫ف‬ ُ َّ ‫هللا‬ َٜ‫ذ‬َ٘ َٓ٠ِ‫ز‬ٌَّ‫ا‬ َ‫ه‬ِ‫ئ‬ٌَُْٚ‫أ‬ “Mereka itulah (para nabi sebelum Muhammad) orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk
  • 84. 84 mereka...” (QS Al An‟am : 90) (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 208). Firman Allah SWT : ‫ب‬ََِٚ َ‫ه‬ْ١ٌَِ‫ا‬ ‫ب‬َْٕ١َ‫د‬َْٚ‫أ‬ ِٞ‫ز‬ٌَّ‫ا‬َٚ ً‫ب‬‫د‬ُٛٔ ِِٗ‫ث‬ َّٝ‫ط‬َٚ ‫ب‬َِ ِٓ٠ِّ‫ذ‬ٌ‫ا‬ ِِْٓ ُُْ‫ى‬ٌَ َ‫ع‬َ‫ش‬َ‫ش‬ ‫ا‬ُٛ‫ل‬َّ‫ش‬َ‫ف‬َ‫ز‬َ‫ر‬ ‫ال‬َٚ َٓ٠ِّ‫ذ‬ٌ‫ا‬ ‫ا‬ُّٛ١ِ‫ل‬َ‫أ‬ َْْ‫أ‬ َٝ‫غ‬١ِ‫ػ‬َٚ َٝ‫ع‬َُِٛٚ َُ١ِ٘‫ا‬َ‫ش‬ْ‫ث‬ِ‫ا‬ ِِٗ‫ث‬ ‫ب‬َْٕ١َّ‫ط‬َٚ ِٗ١ِ‫ف‬ “Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu :tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya...” (QS Syuura : 13) (Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 208). B. Bahwa syara‟ man qablana bukanlah syariat untuk kita (umat Muhammad) meskipun terdapat dalam Al Qur`an. Ini merupakan pendapat : (1) ulama al Asyaa‟irah (penganut Al Asy‟ari), Mu‟tazilah, Syi‟ah, (2) Imam Ahmad dalam riwayatnya yang lain, (3) Imam Ibnu Hazm, (4) sebagian ulama Hanafiyyah, (5) mayoritas ulama Syafi‟iyyah (spt Imam Ghazali, Amidi, Razi).
  • 85. 85 Dalil mereka a.l. QS Al Maidah : 48 (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 209). Firman Allah SWT : ِ‫ة‬‫ب‬َ‫ز‬ِ‫ى‬ٌْ‫ا‬ َِِٓ ِْٗ٠َ‫ذ‬َ٠ َْٓ١َ‫ث‬ ‫ب‬ٌَّّ ً‫ب‬‫ل‬ّ‫ذ‬َ‫ظ‬ُِ ّ‫ك‬َ‫ذ‬ٌْ‫ب‬ِ‫ث‬ َ‫بة‬َ‫ز‬ِ‫ى‬ٌْ‫ا‬ َ‫ه‬ْ١ٌَِ‫ا‬ ‫آ‬ٌََْٕ‫ض‬َٔ‫أ‬َٚ ِْٗ١ٍََ‫ػ‬ ً‫ب‬ِّْٕ١ََُِٙٚ “ Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan “muhaiminan” (batu ujian) terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (QS Al Maidah : 48). (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 209). Tarjih : Pandangan yang lebih kuat adalah pandangan kedua bahwa syara‟ man qablana bukanlah syariat untuk kita (umat Muhammad) meskipun terdapat dalam Al Qur`an. Dalilnya karena Allah SWT berfirman : ِ‫ة‬‫ب‬َ‫ز‬ِ‫ى‬ٌْ‫ا‬ َِِٓ ِْٗ٠َ‫ذ‬َ٠ َْٓ١َ‫ث‬ ‫ب‬ٌَّّ ً‫ب‬‫ل‬ّ‫ذ‬َ‫ظ‬ُِ ّ‫ك‬َ‫ذ‬ٌْ‫ب‬ِ‫ث‬ َ‫بة‬َ‫ز‬ِ‫ى‬ٌْ‫ا‬ َ‫ه‬ْ١ٌَِ‫ا‬ ‫آ‬ٌََْٕ‫ض‬َٔ‫أ‬َٚ ِْٗ١ٍََ‫ػ‬ ً‫ب‬ِّْٕ١ََُِٙٚ “ Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan “muhaiminan” terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (QS Al Maidah : 48).
  • 86. 86 Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan bahwa kata Muhaiminan dalam ayat QS Al Maidah : 48 itu, artinya adalah Naasikhan, yaitu menasakh atau menghapuskan. Walhasil, kitab Al Qur`an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW telah menasakh (menghapus) syariat umat-umat sebelumnya yang terdapat dalam kitab-kitab nabi sebelumnya. (Imam Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/408.) PENGERTIAN MADZHAB SHAHABAT ‫ب‬ٙ‫اعزٕجط‬ ٟ‫اٌز‬ ‫خ‬١‫اٌششػ‬ َ‫األدىب‬ ‫ع‬ّٛ‫ِج‬ ٛ٘ ٟ‫اٌظذبث‬ ‫ِز٘ت‬ ‫ب‬ٙ‫ث‬ ٝ‫لؼ‬ٚ ‫ب‬ٙ‫ث‬ ٝ‫فؤفز‬ ٟ‫اٌظذبث‬ Madzhab shahabat adalah kumpulan hukum-hukum syara‟ yang diistinbath oleh seorang shahabat, lalu dia fatwakan dan dia gunakan untuk memutuskan hukum. (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 198). Contoh : (1) Memberikan zakat kepada muallaf (pendapat Abu Bakar as Shiddiq) (2) Tidak memberikan zakat kepada muallaf (pendapat Umar bin Khaththab)
  • 87. 87 (3) Tidak memotong tangan pencuri pada saat pencurinya kelaparan (pendapat Umar bin Khaththab). (4) Menjadikan diyat (tebusan) karena kasus pembunuhan tak sengaja (dalam peperangan) sbg tanggungan prajurit2 yang masih satu kelompok pasukan dengan si pembunuh. (pendapat Umar bin Khaththab). (5) Menjatuhkan talak sebanyak tiga kali, dalam satu majelis, jatuh talak tiga (bukan talak satu). (pendapat Umar bin Khaththab). (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 202). PANDANGAN ULAMA THD MADZHAB SHAHABAT Pendapat pertama, bahwa madzhab shahabat yang merupakan hasil ijtihad shahabat adalah dalil syar‟i (sumber hukum). Ini pendapat : (1) Imam Malik, juga ulama Malikiyyah, (2) mayoritas ulama Hanafiyyah, (3) Imam Razi, dan (4) Imam Syatibi. Dalil mereka a.l. ayat-ayat yang memuji shahabat seperti QS At Taubah : 100 (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 198-199), seperti QS At Taubah : 100
  • 88. 88 َٓ٠ِ‫ز‬ٌَّ‫ا‬َٚ ِ‫بس‬َ‫ظ‬َٔ‫األ‬َٚ َٓ٠ِ‫ش‬ِ‫ج‬‫ب‬ٌَُّْٙ‫ا‬ ِِْٓ ٌَََُّْٛٚ‫األ‬ َُْٛ‫م‬ِ‫ث‬‫َّب‬‫غ‬ٌ‫ا‬َٚ ُُُْ٘ٛ‫ؼ‬َ‫ج‬َّ‫ر‬‫ا‬ ِٞ‫ش‬ْ‫َج‬‫ر‬ ٍ‫د‬‫ب‬ََّٕ‫ج‬ ٌَُُْٙ َّ‫ذ‬َ‫ػ‬َ‫أ‬َٚ َُْٕٗ‫ػ‬ ‫ا‬ُٛ‫ػ‬َ‫س‬َٚ َُُْْٕٙ‫ػ‬ ُ َّ ‫هللا‬ َِٟ‫ػ‬َ‫س‬ ٍْ‫ب‬َ‫غ‬ْ‫د‬ِ‫ب‬ِ‫ث‬ ُُ١ِ‫ظ‬َ‫ؼ‬ٌْ‫ا‬ ُ‫ص‬َْٛ‫ف‬ٌْ‫ا‬ َ‫ه‬ٌَِ‫ر‬ ً‫ا‬‫ذ‬َ‫ث‬َ‫أ‬ ‫ب‬َٙ١ِ‫ف‬ َٓ٠ِ‫ذ‬ٌِ‫ب‬َ‫خ‬ ُ‫س‬‫ب‬ََْٙٔ‫األ‬ ‫ب‬ََٙ‫ز‬ْ‫َذ‬‫ر‬ “Orang-orang yg terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan orang- orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah...” (QS At Taubah : 100) (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 198-199). Pendapat kedua, madzhab shahabat bukanlah dalil syar‟i (sumber hukum). Ini pendapat dari (1) Mu‟tazilah, (2) Imam Syafi‟i, (3) Imam Ahmad, (4) Imam Amidi, dan (5) Imam Syaukani. Alasannya : madzhab shahabat adalah ijtihad yang bisa salah bisa benar. Jadi tak bisa dijadikan hujjah (dalil syar‟i). (M. Husain Abdullah, Al Wadhih, hlm. 198-199). Tarjih : pendapat yang rajih adalah pendapat kedua yang tidak menjadikan madzhab shahabat sebagai dalil syar‟i. Imam Taqiyuddin An Nabhani berkata madzhab shahabat tertolak sebagai dalil karena firman Allah SWT :
  • 89. 89 ِ‫ي‬ُٛ‫ع‬ّ‫ش‬ٌ‫ا‬َٚ ِ ّ ‫هللا‬ ٌَِٝ‫ا‬ ُّٖٚ‫د‬ُ‫ش‬َ‫ف‬ ٍ‫ء‬َْٟ‫ش‬ ِٟ‫ف‬ ُُْ‫ز‬ْ‫ػ‬َ‫ص‬‫ب‬ََٕ‫ر‬ ِْ‫ب‬َ‫ف‬ “Maka jika kamu berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS An Nisaa` ; 59) Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan bahwa tempat kembali ketika ada perselisihan hanyalah Allah dan Rasul-Nya saja, maksudnya Al Qur`an dan As Sunnah saja, bukan yang lain. Maka selain Qur`an dan As Sunnah, termasuk madzhab Shahabat, tidak layak menjadi tempat kembali, yakni tidak layak menjadi dalil syar‟i. (Imam Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/416). CATATAN PENTING TTG MADZHAB SHAHABAT : Meskipun madzhab shahabat tidak mencapai derajat dalil syar‟i (sumber hukum), tetapi hukum-hukum syara‟ yang diistinbath oleh para shahabat menempati kedudukan tertinggi dalam fiqih Islam. Boleh hukumnya mengikuti (ittiba‟) dan bertaqlid kepada ijtihad para shahabat. (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 204).
  • 90. 90 PENGERTIAN ISTIHSAN Menurut Syekh Muhammad Husain Abdullah, Istihsan ada dua pengertian : Pengertian pertama : ،ٟ‫خف‬ ‫بط‬١‫ل‬ ٌٝ‫ا‬ ٍٟ‫ج‬ ‫بط‬١‫ل‬ ٓ‫ػ‬ ‫ي‬ٚ‫اٌؼذ‬ ٛ٘ ْ‫اإلعزذغب‬ ‫ِب‬ ٛ٘ٚ ٟ‫بع‬١‫اٌم‬ ْ‫اإلعزذغب‬ ُ٘‫ػٕذ‬ ّٝ‫غ‬٠ Istihsan adalah berpindah dari Qiyas Jalli (Qiyas yang jelas) menuju Qiyas Khafi (Qiyas yang tersembunyi). Itulah yang dinamakan Istihsan Qiyasi menurut mereka (ulama yang menggunakan Istihsan sbg dalil). (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 136) Contoh Istihsan Qiyasi : Katakanlah ada dua orang (misal A dan B) membeli sebuah mobil secara kredit/utang dari dua orang (misal C dan D), misalnya seharga 100 juta. A dan B bersyirkah, sebagaimana C dan D juga bersyirkah. Lalu salah satu penjual, misal C sudah menerima sebagian harganya (uang cicilan), misalnya 50 juta, kemudian uang 50 juta ini hilang, siapakah yang menanggung hilangnya uang ini?
  • 91. 91 Apakah yang menanggung C saja? Ataukah C dan D secara bersama? Menurut Qiyas Jalli: yakni Qiyas yang shahih, yang menanggung adalah C dan D secara bersama. Menurut Qiyas Khafi : yang menanggung hanya C saja, D tidak menanggung kerugian. Jadi, istihsan di sini : adalah menimpakan kerugian hanya pada C saja, bukan C dan D, karena berpindah dari Qiyas Jalli menuju Qiyas Khafi. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 136). Pengertian kedua: ٓ‫رطّئ‬ ً١ٌ‫ٌذ‬ ٍٟ‫و‬ ً‫أط‬ ِٓ ‫خ‬١‫جضئ‬ ‫ِغؤٌخ‬ ‫اعزضٕبء‬ ٛ٘ ْ‫اإلعزذغب‬ ‫اإلعزضٕبء‬ ‫٘زا‬ ٟ‫مزؼ‬٠ ‫ذ‬ٙ‫اٌّجز‬ ٗ١ٌ‫ا‬ Istihsan adalah mengecualikan masalah parsial (mas`alah juz`iyyah) dari hukum pokok yang menyeluruh (al ashlu al kulliy) menurut dalil yang dicenderungi mujtahid, yang menuntut adanya pengecualian itu. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 137)
  • 92. 92 Contoh : Misalkan penjual dan pembeli berselisih mengenai harga barang setelah barang diserahterimakan penjual kepada pembeli, misalnya penjual mengatakan harganya 50 juta, sementara pembeli mengatakan harganya 40 juta, bagaimana hukumnya? Menurut al ashlul al kulli (hukum pokok yang menyeluruh) : Penjual wajib menunjukkan bukti (misal kuitansi or daftar harga), sedang pembeli wajib bersumpah. Hukum pokok tsb didasarkan pada hadits Nabi SAW : ‫أٔىش‬ ِٓ ٍٝ‫ػ‬ ٓ١ّ١ٌ‫ا‬ٚ ٝ‫ادػ‬ ِٓ ٍٝ‫ػ‬ ‫ٕخ‬١‫اٌج‬ “Bukti wajib diajukan oleh orang yang menuntut (mendakwa), sedang sumpah wajib diucapkan oleh orang yang mengingkari dakwaan itu.” (HR Baihaqi, sahih) Mujtahid mengecualikan hukum pokok tersebut, atas dasar Istihsan, yaitu yang bersumpah adalah penjual dan pembeli sekaligus (bukan hanya pembeli). Pengecualian ini dalilnya hadits Nabi SAW sbb : Sabda Nabi SAW : ٕ١‫ث‬ ‫ال‬ٚ ‫لبئّخ‬ ‫اٌغٍؼخ‬ ٚ ْ‫ؼب‬٠‫اٌّزجب‬ ‫اخزٍف‬ ‫ارا‬ ‫رذبٌف‬ ‫ألدذّ٘ب‬ ‫خ‬
  • 93. 93 “Jika berselisih penjual dan pembeli, sedang barang dagangan masih ada dan tidak ada bukti dari salah satu dari keduanya, maka hendaklah keduanya bersumpah.” (HR As-habus Sunnah, dan disahihkan oleh Al Haakim). CATATAN : Hukum yang dianggap Istihsan ini, sebenarnya adalah kembali kepada al-Hadits, yaitu mentakhsis hukum pokok dgn hadits, yang memang sah dalam Ushul Fiqih. MACAM-MACAM ISTIHSAN Istihsan ada 4 (empat) macam : (1) Istihsan Qiyasi (2) Istihsan Dharurah (Istihsan Maslahah) (3) Istihsan Sunnah (4) Istihsan Ijma‟ KETERANGAN : (1) Istihsan Qiyasi adalah berpindah dari Qiyas Jalli (Qiyas yang jelas) menuju Qiyas Khafi (Qiyas yang tersembunyi), sebagaimana sudah diterangkan sebelumnya.
  • 94. 94 (2) Istihsan Dharurah (Istihsan Maslahah) ْ‫اعزذغب‬ ‫بط‬١‫اٌم‬ ُ‫دى‬ ٗ١‫ف‬ ‫ٌف‬ٛ‫خ‬ ‫ِب‬ ٛ٘ ‫اٌّظٍذخ‬ٚ ‫سح‬ٚ‫اٌؼش‬ ٚ‫أ‬ ‫ٌٍذبجخ‬ ‫عذا‬ ‫خ‬١‫ِمزؼ‬ ‫ِظٍذخ‬ ٚ‫أ‬ ، ‫ججخ‬ِٛ ‫سح‬ٚ‫ػش‬ ٌٝ‫ا‬ ‫ٔظشا‬ .‫ٌٍذشط‬ ‫دفؼب‬ Istihsan dharurah/maslahah adalah hukum yang menyalahi hukum Qiyas karena mempertimbangkan kedaruratan yang mengharuskan atau kemaslahatan yang menuntut, untuk memenuhi kebutuhan atau menolak kesulitan. M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 139. Contoh Istihsan Dharurah (Istihsan Maslahah) : Hukum berdasar nash : seorang ajir khusus (misalnya penjahit yang dibayar secara khusus untuk pelanggan tertentu), jika baju yang dijahitnya rusak bukan karena kelalaian penjahit, maka penjahit tidak menanggung kerugiannya. Alasannya, karena tangan penjahit termasuk tangan amanah (yad amanah) yang tak menanggung kerugian, sesuai dalil hadits Nabi SAW sbb : ّٓ‫اٌّئر‬ ٍٝ‫ػ‬ ْ‫ػّب‬ ‫ال‬ ”Tidak ada kewajiban menanggung kerugian, atas orang yang diberi amanah (mu`taman).” (HR Ad Daruquthni).
  • 95. 95 Hukum berdasar Qiyas : seorang ajir umum (misalnya penjahit yang bekerja kepada masyarakat secara umum), jika baju yang dijahitnya rusak bukan karena kelalaian penjahit, maka penjahit juga tidak menanggung kerugiannya, diqiyaskan kepada ajir khusus. Hukum berdasar Istihsan Dharurah/ Maslahah adalah sebagai berikut:  Ajir khusus tidak menanggung kerugian.  Ajir umum menanggung kerugian (ini menyalahi hukum Qiyas di atas), dengan alasan agar ajir umum tidak menerima pekerjaan di luar batas kemampuannya. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 139). (3) Istihsan Sunnah ٟ‫ف‬ ‫بط‬١‫اٌم‬ ‫سد‬ ‫جت‬ٛ٠ ‫ِب‬ ‫اٌغٕخ‬ ِٓ ‫ضجذ‬٠ ْ‫أ‬ ٛ٘ ‫اٌغٕخ‬ ْ‫اعزذغب‬ .‫لبئغ‬ٌٛ‫ا‬ ِٓ ‫الؼخ‬ٚ ُ‫دى‬ Istihsan sunnah adalah adanya dalil As Sunnah yang mengharuskan menolak Qiyas mengenai hukum untuk satu peristiwa dari berbagai peristiwa yang ada. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 138).
  • 96. 96 Contoh Istihsan sunnah : kasus kesaksian Khuzaimah RA. Berdasarkan hukum qiyas : tidak diterima kesaksian satu orang sahabat Nabi bernama Khuzaimah, diqiyaskan dengan hukum tertolaknya kesaksian satu orang laki-laki. Kesaksian nishabnya adalah dua orang laki-laki, namun berdasarkan hukum as-Sunnah maka qiyas tersebut tertolak, karena ada dalil as-Sunnah yang khusus ttg Khuzaimah sbb :Sabda Rasulullah SAW : ٗ‫دغج‬ ٛٙ‫ف‬ ‫ّخ‬٠‫خض‬ ٌٗ ‫ذ‬ٙ‫ش‬ ِٓ ”Barangsiapa yang Khuzaimah bersaksi untuknya, maka cukuplah kesaksian itu.” (HR Abu Dawud), dalam riwayat lain menurut Imam Nasa`i : ‫بدح‬ٙ‫ش‬ ٓ١ٍ‫سج‬ ‫بدح‬ٙ‫ثش‬ ‫ّخ‬٠‫خض‬ “Kesaksian Khuzaimah setara dengan kesaksian dua orang laki- laki.” (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 138). (4) Istihsan Ijma‟ ‫إلٔؼمبد‬ ‫ِغؤٌخ‬ ٟ‫ف‬ ‫بط‬١‫اٌم‬ ‫زشن‬٠ ْ‫أ‬ ٛ٘ ‫اإلجّبع‬ ْ‫اعزذغب‬ .ٗ١ٌ‫ا‬ ‫بط‬١‫اٌم‬ ٞ‫ئد‬٠ ‫ِب‬ ‫ش‬١‫غ‬ ٍٝ‫ػ‬ ‫اإلجّبع‬
  • 97. 97 Istihsan Qiyas adalah meninggalkan Qiyas dalam satu masalah karena adanya Ijma‟ yang menyalahi Qiyas tersebut. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 138). Contoh Istihsan Ijma‟ : Berdasar hukum Qiyas : tidak boleh akad istishna‟ (minta dibuatkan barang), karena diqiyaskan dengan tidak bolehnya jual beli barang yang tidak ada, sesuai hadis Nabi SAW : ‫ػٕذن‬ ‫ظ‬١ٌ ‫ِب‬ ‫رجغ‬ ‫ال‬ “Janganlah kamu menjual apa-apa yang tak ada di sisimu.” (HR Tirmidzi) Hukum berdasar Ijma‟ : membolehkan istishna‟. Hukum Istihsan : membolehkan istishna‟, yakni meninggalkan qiyas dan mengamalkan ijma‟. (Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 138). KEHUJJAHAN ISTIHSAN (1) Sebagian ulama menganggap Istihsan sebagai dalil syar‟i, yaitu ulama Hanafiyyah, Hanabilah, dan Malikiyyah. (2) Sebagian ulama menolak Istihsan sebagai dalil syar‟i, di antaranya Imam Syafi‟i, Ulama Zhahiriyah, Mu‟tazilah, dan
  • 98. 98 Syiah. (Lihat Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, juz 2 hlm. 748). Ulama yg menganggap Istihsan sebagai dalil syar‟i, berdalil dengan dalil-dalil sbb : (1) Firman Allah SWT : ٕٗ‫أدغ‬ ْٛ‫زجؼ‬١‫ف‬ ‫ي‬ٛ‫اٌم‬ ْٛ‫غزّؼ‬٠ ٓ٠‫اٌز‬ “yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.” (QS Az Zumar [39] : 18). (2) Firman Allah SWT : ٓ‫أدغ‬ ‫ا‬ٛ‫ارجؼ‬ٚ ُ‫سثى‬ ِٓ ُ‫ى‬١ٌ‫ا‬ ‫أٔضي‬ ‫ِب‬ “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS Az Zumar [39] : 55). (3) Hadits Nabi SAW : ٓ‫دغ‬ ‫هللا‬ ‫ػٕذ‬ ٛٙ‫ف‬ ٓ‫دغ‬ ٍّْٛ‫اٌّغ‬ ٖ‫سآ‬ ‫ِب‬ “Apa yang dianggap baik oleh kaum muslim, maka ia di sisi Allah juga baik.” TARJIH TENTANG ISTIHSAN Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, dari keempat macam Istihsan di atas ada yang diterima dan ada yang ditolak. Yang