Nasionalisme Indonesia awalnya bersifat sempit dan berwawasan regional. Gerakan nasionalisme pada awal abad ke-20 dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda dan berfokus pada identitas suku dan daerah. Nasionalisme kemudian mengubur perjuangan umat Islam yang sebenarnya lebih besar peranannya dalam melawan kolonialisme dan meraih kemerdekaan Indonesia. Hal ini berdampak pada penghapusan makna perjuangan Islam dan timbulny
1. www.eramuslim.com/berita/analisa/nasionalisme-indonesia.htm#.UXzmhaLYIaA 1/5
Ahad, 17 Jumadil Akhir 1434 H / 28 April 2013 Indeks Foto Video
30 Redaksi – Senin, 7 Rabiul Akhir 1434 H / 18 Februari 2013 13:41 WIB
BERITA TERKAIT
Nasionalisme Membahayakan
Aqidah Al Wala’ Dan Al Bara’
Kerugian Yang Diderita Umat
Manusia Dengan Menyebarkan
Nasionalisme
Merenungi Esensi Kecintaan
Terhadap Rasulullah Saw
Inilah Tujuan Operasi Militer
Perancis di Mali yang Sebenarnya
Nabi Nuh dan Banjir, Sebuah Ibrah
Home » Berita » Analisa » Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme Indonesia
Sementara itu di
Indonesia yang
mayoritas penduduknya
Islam, kita dapati
gerakan Nasionalisme
tak kalah serunya.
Nasionalisme ini mulai
dikenal di Indonesia pada awal abad ke-20, tepatnya ketika muncul
pergerakan Nasional yang dimotori “Boedi Oetomo”. Padahal menurut
K.H. Firdaus AN, Boedi Ooetomo tidak lebih dari perpanjangan tangan
Kolonial Belanda.
Itu bisa dibuktikan umpamanya dengan melihat UUD Boedi Oetomo pasal 2 yang menyebutkan salah
satu tujuannya, yaitu “Menggalang kerja sama, guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura
secara harmonis”
Ditambah lagi, bahwa keanggotaan Boedi Oetomo hanya bersifat regional dan kesukuan yang sempit,
Jawa dan Madura, sebagaimana tercantum pada pasal 4.[1] Dari sini menjadi jelas, bahwa munculnya
Nasionalisme secara umum dan khususnya di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan Kolonialisme.
Berbeda sekali, umpamanya dengan pergerakan yang bersifat atau berlabel Islam. Syarekat Islam
sebagai contoh, adalah pergerakan yang sangat komitmen dan mempunyai peran yang sangat besar di
dalam membebaskan Indonesia dari Kolonial Belanda. Syarekat Islam yang mulai berdiri sejak tanggal 16
Oktober 1905, dengan nama Syarikat Dagang Islam, mempunyai tujuan yang sangat mulia, yaitu:
“ Akan menjalankan Islam seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya supaya mendapatkan suatu Dunia
Islam yang sejati”
Dengan kata lain SI bertujuan Islam Raya, dengan meng-Islamkan Indonesia dahulu. Di sini, SI sudah
mempunyai wawasan international yang digali dari ajaran Islam yang murni. Namun sangat disayangkan
sekali, orang-orang Nasionalis telah mengubur perjuangan mereka dengan memanipulasi sejarah.
Menurut Dr. Muchtar Aziz, dosen sejarah dan peradaban Islam pada Fakultas Adab dan Program pasca
sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, faktor utamanya adalah distrosi politik, sehingga orang tidak
berani menganalisa apa adanya. Padahal, menurutnya, perjuangan umat Islam selama lima puluh tahun
adalah sangatlah berharga. Beliau mempertanyakan juga, kenapa konstituanse dibubarkan, padahal
waktu itu sudah mendekati penyelesaian. Tetapi begitu hampir selesai lantas dihentikan. “Ini jelas ada
orang-orang yang takut kepada Islam” Ujar beliau.
[1] Suara Hidayatullah, Mei 1997, hal: 70-71
Sebaliknya Boedi Oetomo, yang merupakan kaki tangan Belanda tersebut dijadikan tonggak Kebangkitan
Nasional. Sebuah sejarah yang sudah salah kaprah. Nampaknya mereka takut kalau Islam berkuasa.
Terbaru Terpopuler
Rahasia Kematian, Alam Akhirat dan Kiamat
FBI Membohongi Publik di Kasus Bom Boston
Kenapa Muslimin Eropa Timur Bergabung
Dengan Hitler Melawan RusiaAher : Ajang Miss World Tidak Menggunakan
Bikini, InsyaAllah Lebih SopanIslam Phobia
Manusia Sekuler Ekstrim Pun Membutuhkan
Syariat IslamCintai Rasulullah SAW maka Ikuti Langkah
Beliau, Inilah Salah Satu Kitab Yang Perlu
Dimiliki
Burma Memaksa Muslim Rohingya Merubah
Kewarganegaraan MerekaAmalan Keseharian Uje yang Ringan dimata
Manusia, Tapi Bisa Jadi Mulia di Hadapan AllahPasca Bom Boston Kaum Muslimin Jerman
Dibawah Kontrol Intelijen
WEBMAILWEBMAIL ERAMUSLIM MY TEAMERAMUSLIM MY TEAM PROPERTYPROPERTY Pencarian...
DepanDepan BeritaBerita Oase ImanOase Iman PeradabanPeradaban FokusFokus MuslimahMuslimah HikmahHikmah Pendidikan & KeluargaPendidikan & Keluarga BisnisBisnis UstadzUstadz Suara LangitSuara Langit NovelNovel KonsultasiKonsultasi
ShareShareShareShareMore
Berbagai ujian, cobaan, dan kesulitan di dunia dapat
menambah iman kepada Allah dan memperdalam keyakinan
tauhid. Semua itu merupakan sarana pendidikan bagi jiw a
manusia. Ujian dan cobaan yang datang bukanlah untuk
diratapi karena tidaklah ujian dan cobaan tersebut melainkan
BSM: Kami percaya diri untuk IPO
Memang sudah lama Bank Syariah Mandiri
merencanakan untuk melantai di Bursa Efek
Indonesia. Pada 2014 mendatang, BSM yakin
dan percaya diri untuk menggelar IPO. Yuslam
Fauzi, Direktur Utama BSM, kembali
meyakinkan akan langkah BSM tersebut. “Niat
untuk IPO sudah cukup kuat. Para pemegang
2. www.eramuslim.com/berita/analisa/nasionalisme-indonesia.htm#.UXzmhaLYIaA 2/5
Konsep kebangsaan (Nasionalisme) waktu itu memang terlalu bersahaja dan berwawasan sempit.
Tokoh-tokohnya seperti Ir. Soekarno sering mengidentikan Nasionalisme Indonesia dengan gagasan
Kemal Attaturk di Turki. Begitu pula yang di sebutkan Dr. Soetomo ketika ia menulis di “Soera Oemoem”
media massa BU yang terbit di Surabaya, bahwa:
“Digul Lebih utama dari Mekkah. Buanglah Ka’bah dan jadikan Demak itu kamu punya kiblat”
Atau yang diungkapkan Sundari, yang cenderung mempersepsikan paham kebangsaan sebagai suatu
sikap penolakan terhadap fasilitas yang dibenar Islam untuk beristri sampai empat. [1]
Pernyataan-pernyataan diatas menunjukan bahwa BU anti agama dan anti Islam. Karena pernyataan itu
mengandung unsur penghinaan terhadap Islam yang sulit ditolerir.
Diantara usaha gerakan-gerakan nasionalisme Indonesia yang sangat merugikan umat Islam dan masih
terasa biasnya sampai hari ini antara lain:
Pertama : Gerakan untuk memperbaharui sebutan “Pahlawan Islam” seperti Pangeran Diponegoro,
Jendral Soedirman dengan sebutan “Pahlawan Nasional”.[1]
Karena berangkat dari pijakan dan cara berfikir yang salah, mereka menafsirkan seluruh perjuangan
Umat Islam Indonesia selama ini, seolah-olah hanya membela negri dan tanah air saja. Propaganda
nasionalisme dengan gaya seperti ini terus saja digencarkan sampai hari ini. Di dalam salah satu tulisan
pada salah satu majalah disebutkan:
“Ikuti berbagai kisah, dari Tjut Nya’ Dhien sampai Pangeran Diphonegoro, dari Sultan Hasanuddin
sampai para Kyai di Banten, yang harus tersungkur peluru Belanda demi negri tercinta.”[2]
Padahal mereka para Alim Ulama, Kyiai dan para pemimpin Islam pada waktu itu, khususnya sebelum
berdirinya RI pada tahun 1945, berjuang melawan Kolonial, bukan semata-mata karena negri atau tanah
air, akan tetapi terdorong oleh semangat jihad membela agama.
Karena Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi umat yang mulia, umat yang tidak rela dijajah dan
diinjak-injak kehormatannya oleh para penjajah yang nota bene adalah orang-orang kafir. Perjuangan
umat Islam ini tidak terbatas hanya pada tanah air atau daerah yang ia tempati saja, akan tetapi
berkembang dan meluas ke negara-negara lain, di mana umat Islam berada.
Di sini letak perbedaan antara perjuangan untuk negri dan tanah air an sich, dengan perjuangan membela
agama. Walaupun ada letak kesamaan yaitu berjuang mengusir penjajah.
Lebih dari itu, justru dengan semangat keagamaan seperti ini suatu bangsa akan lebih maju dan bisa
lebih gigih berjuang melawan segala bentuk penjajahan dan aksi kolonial.
Bukankah organisasi yang berlevel Islam yang mengeluarkan resolusi jihad ketika terjadi pemberontakan
PKI pada tahun 1948? Bahkan kemerdekaan Indonesia bisa diraih karena perjuangan umat Islam.
Kenyataan seperti ini diakui sendiri oleh penulis-penulis sejarah, seperti Harry J. Benda, yang
menyatakan bahwa konsolidasi Belanda yang semakin meluas, terus menerus diancam dengan
perjuangan-perjuangan lokal yang dipimpin ulama. Bahkan oleh George Mc. Turnan Kahin, menyebutnya
sebagai “Ideological Weapon” bahwa Islam telah dijadikan senjata ideologis untuk menentang kaum
kolonial.[3]
Ternyata semangat untuk mengusir penjajah justru timbul dari ruh perjuangan keagamaan, bukan hanya
semata-mata milik kelompok yang menyatakan dirinya Nasionalis.
Pernyataan seperti ini dikuatkan dengan rentetan kejadian yang menyebabkan timbulnya gerakan
kolonialisme, yang mempunyai kaitan erat dengan runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Mungkin bisa
dikatakan bahwa kolonialisme merupakan folow up dari pertarungan antara Islam dan musuh-musuhnya.
Penyelewengan makna perjuangan ini, akan sangat mempengaruhi cara berfikir anak didik dan generasi
Islam pada masa-masa mendatang, karena mereka akan memahami bahwa pahlawan-pahlawan Islam
itu berjuang sekedar membela tanah air, bukan untuk menegakkan kalimatullah. Akibatnya, pemahaman
dan ruh jihad melawan orang-orang kafir akan hilang secara pelan-pelan dari jiwa generasi Islam, sebuah
rekayasa yang sangat membahayakan.
3. www.eramuslim.com/berita/analisa/nasionalisme-indonesia.htm#.UXzmhaLYIaA 3/5
Kedua : Melakukan pemugaran tempat-tempat bersejarah yang sebagian besar dibangun sebelum
masuknya Islam ke Indonesia, dengan tujuan mengingatkan generasi muda Islam pada leluhur mereka
agar dihormati dan diagung-agungkan, yang akhirnya lupa terhadap kebudayaan Islam yang telah
dibangun para Ulama.
Selain itu, di sana ada usaha-usaha untuk membelokkan beberapa kebudayaan Islam kepada arah yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri, seperti: “Sekaten”, jika dahulu dipakai oleh para Wali
Songo untuk menggiring orang masuk Islam (bersyahadat), saat ini digunakan untuk merongrong nilai
keIslaman dan merusak ajaran tauhid itu sendiri.
Akibatnya, timbul corak ke-Islaman yang baru yaitu keislaman yang penuh dengan bid’ah dan khurafat,
serta segala bentuk kesyirikan yang selanjutnya, akan mengaburkan pemahaman aqidah yang benar dan
bersih.
Keislaman seperti ini lebih dikenal sebagai Islam kejawen atau Islam abangan yang menjurus kearah
mistik klasik khas jawa, karena merupakan hasil sinkretisme dari unsur Jawa, Hindu dan Budha.
Akhirnya agenda pengislaman yang belum digarap secara sempurna oleh wali songo tersebut, menjadi
terbengkalai sebagai Islam yang separu-separuh dan kepalang tanggung.[4]
Ketiga : Menghidupkan acara yang diwariskan para leluhur yang sebagian besar bertentangan dengan
Aqidah Islamiyah. Seperti kebiasaan “Kirab” di keraton Jogja yang terkadang disertai sesaji pada ratu
Roro Kidul, iring-iringan “Kyai Slamet” di keraton Solo setiap awal bulan Muharam. Kyai Slamet adalah
seekor kerbau bule yang sangat dikramatkan oleh masyarakat Solo dan sekitarnya. Kadang-kadang
mereka berebut kotoranya untuk “melalap barokah”, ironis memang.[5]
Al-Quran sebagai way of live bagi umat Islam mencatat fenomena semacam ini jauh-jauh sebelumnya.
Di dalam banyak ayat-ayatnya sering disebutkan bahwa kebudayaan nenek moyang sering kali menjadi
penghalang bagi seseorang untuk mendapakan dan menerima kebenaran. Sebagai contoh, bisa dibuka
ayat-ayat di bawah ini:
Qs. Al-Baqarah:170, Qs. Al-Maidah:104, Qs. Al-A’raf:28, 70, Qs. Hud:62, 87, Qs. Yunus : 78, Qs.
Ibrahim:10, Qs. Al-anbiya’:53, Qs. As-Syu’ara:75, Qs. Luqman:21, Qs. Saba’:43, Qs. Az-Zukhruf:22, 23
Keempat : Menggalakkan pemakaian bahasa Sansekerta di Instansi-instansi resmi, seperti: Adi Puro, Tri
Dharma, Bhineka Tunggal Ika dll.
Perubahan-perubahan kejawa-jawaan nampaknya telah direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-tokoh
kejawen, yang sementara ini banyak menduduki kursi di pemerintahan Indonesia, seperti yang pernah
diungkapkan oleh Emha Ainun Najib, sehingga terkesan adanya upaya-upaya untuk mengembalikan
tanah Jawa kepada ajaran Hindu Budha.
Berhubungan dengan usaha-usaha untuk mengembangkan kebudayaan dan warisan leluhur ini, penulis
perlu menyertakan peryataan salah seorang orientalis, yang pernah menulis buku “Timur Dekat,
Masyarakat Kebudayaannya”. Di dalam buku ini, ia mengungkapkan bahwa:
”Di setiap negara Islam yang kami masuki, kami melakukan penelitian-penelitian terhadap kebudayaan-
kebudayaan leluhur sebelum datangnya Islam di tempat tersebut, praktek semacam itu saya lakuakan
agar seorang muslim menjadi bimbang dengan adanya kebudayaan tersebut, kemana ia harus
memberikan loyalitasnya, kepada peninggalan leluhur tersebut atau kepada agamanya (Islam)”.[6]
Islam mengajak umatnya untuk maju, akan tetapi mereka ingin kembali ke zaman purbakala, taqlid
dengan nenek moyangnya. Allah berfirman:
ﺎَﻧِﺗﺎَﯾﺂِﺑ ْاوُﺑﱠذَﻛ َﯾنِذﱠﻟا ِم َْوﻘْﻟا ُلَﺛَﻣ َكِﻟﱠذ ثَﮭْﻠَﯾ ُﮫْﻛُرْﺗَﺗ ْوَأ ْثَﮭْﻠَﯾ ِﮫْﯾَﻠَﻋ ْلِﻣَْﺣﺗ نِإ ِبْﻠَﻛْﻟا ِلَﺛَﻣَﻛ ُﮫُﻠَﺛَﻣَﻓ ُهاَوَھ َﻊَﺑﱠﺗاَو ِض ْرَﻷا ﻰَﻟِإ َدَﻠْﺧَأ ُﮫﱠﻧِﻛـَﻟَو ﺎَﮭِﺑ ُهﺎَﻧْﻌَﻓَرَﻟ ﺎَﻧْﺋِﺷ ْوَﻟَو
َونُرﱠﻛَﻔَﺗَﯾ ْمُﮭﱠﻠَﻌَﻟ َصَﺻَﻘْﻟا ِصُﺻْﻗَﺎﻓ
“ Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi
dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya
seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya, dan jika kamu membiarkannya, dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al-a’raf:176)
4. www.eramuslim.com/berita/analisa/nasionalisme-indonesia.htm#.UXzmhaLYIaA 4/5
Suka 107 TweetTweet 32 30
Perlu dicatat disini:
Bahwa gerakan-gerakan nasionalisme yang bermunculan pada tiga tahun terakhir ini, seperti PCPP
(Persatuan Cendikiawan Pembangunan Pancasila), YKPK (Yayasan Kerukunan Persaudaraan
Kebangsaan) dan PNI Baru, hanyalah akibat dari frustasi dan tak puas terhadap organisasi sosial yang
ada. Terbukti bahwa kebanyakan anggotanya adalah para mantan politis, dan tokoh-tokohnya adalah
dulunya dedengkot Partai Nasional Indonesia (PNI), atau berasal dari jajaran GMNI yang merupakan
bekas organisasi mahasiswa PNI.
Oleh karenanya, tak salah kalau Prof. Nazaruddin Syamsuddin, seorang pengamat dari UI Jakarta,
berkomentar bahwa orang-orang yang frustasi saja yang akan mendukung partai-partai semacam ini.
Bahkan menurut Harold Crouch, pengamat politik Indonesia dari Australia, bahwa Organisasi Nasionalis
yang bermunculan itu hanya untuk mengimbangi ICMI- yang sementara ini sangat dekat dengan
pemerintah. Nampaknya, mereka sangat ambisius dan terobsesi dengan kekuasaan.
Orang-orang seperti ini kalau memegang kekuasaan dikhawatirkan akan mengikuti jejak para
pendahulunya, Soekarno dan Soeharto.
Disetujui atau tidak, akhirnya hanya Islamlah yang akan menjadi alternatif tunggal untuk kembali
memimpin manusia dan membawanya kepada kebahagiaan hakiki Dunia dan Akhirat. Hanya dengan
hukum Islamlah, sebuah bangsa akan maju, aman dan makmur. Hanya dengan pemimpin Muslim yang
komitmen dengan ajaran Islam, negara Indonesia akan bisa dibawa kepada keadilan sosial, baldatun
toyyibatun wa robbun Ghofur.
[1] Majalah Gatra, 8 april 1995
[2] Majalah Gatra, 11 November 1995
[3] M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, hal. 3.
[4] Widji Saksono, MengIslamkan Tanah jawa tela’ah atas metode Dakwah Wali Songo, Penerbit Mizan,
hal. 219,226,227.
[5] Gatra 9 April 1995
[6] Muhammad Sa’id Al-Qhohthoni, al-Wala’ wal Bara’, Daarut Thoyibah 1415, hal. 420
[1] Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia, hal: 25
Analisa Terbaru
Islam Phobia
Jihad itu Bukan Terorisme …
R.A. Kartini dan Para Yahudi Belanda
Kenapa Assad Perlukan Perbatasan Suriah-Jordan ?
Syirik di Tengah Kita, Mulai Eyang Subur Sampai Ritual UN
Perang Otak di Zaman Kotak-kotak
6. khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=14 1/4
search...
Home Tentang Kami Kontak kami Guestbook Search Sunday, 28 April 2013
Menu Utama
HOME
REDAKTUR
Editorial
Flashnews / Dari kami
BERITA
Terbaru
Politik
Lain Lain
ARTIKEL
Siyasah
Ekonomi
Pemikiran
Nafsiyyah
Aqidah
Tsaqofah
Seluruh Katagori
Search
Links
News Feeds
TENTANG KAMI
KALENDER ACARA
KEGIATAN
Konsultasi
Ma'had
Liputan Kegiatan
Hubungi Kami
Anggota / Member
23495 registered
14 today
14 this week
2083 this month
Last: anhvfrp
Statistics
Members: 23495
News: 810
Web Links: 2
MEMBUANG NASIONALISME KE TEMPAT
SAMPAH
Written by Redaksi
Thursday, 13 October 2005
Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Kondisi umat Islam saat ini sangat memilukan. Mereka yang
jumlahnya 1 milyar lebih terpecah-belah menjadi 57 negara
berdasarkan nasionalisme dalam format negara-bangsa
(nation-state). Bahkan mungkin jumlah ini akan bertambah,
seiring dengan upaya dan rekayasa licik dari penjajah Barat
pimpinan AS untuk semakin mencerai-beraikan berbagai
negara di dunia, dengan gerakan separatisme dan prinsip â
€œmenentukan nasib sendiriâ€(right of self determinism)
melalui legitimasi PBB yang disetir AS. Kasus lepasnya Timor
Timur dari Indonesia adalah contoh yang amat telanjang di
hadapan mata kita.
Kondisi cerai-berai ini dengan sendirinya membuat umat
menjadi lemah dan ringkih sehingga mudah untuk
dikendalikan dan dijajah oleh negara-negara imperialis.
Prinsip “devide et imperaâ€(Arab : farriq tasud) ternyata
belum berakhir. Penjajahan yang dulu dilakukan secara
langsung dengan pendudukan militer, kini telah bersalin rupa
menjadi penjajahan gaya baru yang lebih halus dan canggih.
Di bidang ekonomi, Barat menerapkan pemberian utang luar
negeri, privatisasi, globalisasi, pengembangan pasar modal,
dan sebagainya. Di bidang budaya, Barat mengekspor
liberalisme melalui film, lagu, novel, radio, musik, dan lain-
lain. Di bidang politik, Barat memaksakan ide masyarakat
madani (civil society), demokrasi, hak asasi manusia (HAM),
pluralisme, dan lain-lainnya. Bentuk-bentuk penjajahan gaya
baru ini dapat berlangsung, karena kondisi umat yang
terpecah-belah tadi.
Nasionalisme, dengan demikian, dapat ditunjuk sebagai
salah satu biang keladi atau biang kerok perpecahan dan
keterpurukan umat yang dahsyat di bawah tindasan
imperialisme Barat gaya baru tersebut.
Maka dari itu, salah besar kalau umat Islam terus
mengagung-agungkan ide kafir itu, atau menganggapnya
sebagai ide sakral yang tidak boleh dibantah. Padahal,
faktanya, nasionalisme telah menghancur-leburkan
persatuan umat Islam. Maka, Umat Islam harus segera
mengambil sikap tegas terhadap ide rusak ini dengan
menolak dan mengikis habis ide ini dari benak mereka. Jika
tidak, neo-imperialisme Barat akan terus berlangsung dan
umat pun akan tetap terseok-seok menjalani pinggir-pinggir
peradaban secara nista di bawah telapak kaki para penjajah
yang kafir.
Absurditas Nasionalisme
Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk mempersatukan
sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas
sebagai sebuah “bangsaâ€. Pengertian “bangsaâ€ini,
pada praktiknya sangat luas dan kadang malah bersifat
imajiner. Kesamaan “bangsaâ€kadang bisa berarti
kesamaan ras, budaya, bahasa, sejarah, dan sebagainya.
Dalam wacana ilmu politik mutakhir, pengertian “bangsaâ
€lebih bersifat imajinatif (Benedict Anderson, 1999).
Penduduk pesisir timur Sumatera (yang berâ€bangsaâ€
Indonesia) sebenarnya bukan hanya dekat secara fisik
Flash News
Assalamu'alaikum wr wb
Untuk memberi komentar,
tanggapan, atau ingin
berkonsultasi, silakan kirim
e-mail ke :
shiddiq_aljawi@yahoo.com.
Atau ke nomor hp : 081-
3287-44133.
Popular
BAITUL MAL
TINJAUAN HISTORIS
DAN KONSEP
IDEALNYA
DASAR-DASAR
INTELIJEN (BAGIAN
1)
DASAR-DASAR
INTELIJEN OLEH :
LETJEND (PURN) ZA
MAULANI (MANTAN
KEPALA BAKIN)
MEMAHAMI
KARAKTER SALAFI
KITAB BARU HIZBUT
TAHRIR:
7. khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=14 2/4
dengan penduduk di Semenanjung Malaysia sebelah barat
(yang berâ€bangsaâ€Malaysia), yang hanya dipisahkan oleh
Selat Malaka. Mereka pun satu suku, sehingga mereka bisa
saling memahami ucapan dan adat masing-masing. Tetapi,
mereka “mengimajinasiâ€sebagai bangsa yang berbeda,
dan saling menganggap sebagai bangsa asing. Sebaliknya
penduduk Sumatera, yang sama sekali tidak memiliki
kesamaan bahasa ibu dan kesukuan dengan orang Ambon,
ternyata telah “mengimajinasi†sebagai satu â
€œbangsa†dengan orang Ambon. Di sinilah letak
absurdnya nasionalisme. Yang “samaâ€bisa menjadi â
€œbangsaâ€yang berbeda, sementara yang “tidak
samaâ€bisa menjadi satu “bangsaâ€.
Karena itulah, nasionalisme sesungguhnya adalah ide
absurd, tidak mengandung suatu hakikat pengertian yang
pasti. Nasionalisme adalah ide yang kosong dari makna-
makna yang konkret. Nasionalisme lebih mengandalkan
sentimen atau emosi yang semu, yang dibangkitkan
sewaktu-waktu sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan
sempit penguasa. Nasionalisme tidak bertolak dari ide yang
lahir melalui proses berpikir yang benar dan sadar.
Maka dari itu, nasionalisme bukan ide yang layak untuk
membangkitkan umat manusia. Sebab dalam suatu
kebangkitan, diperlukan suatu pemikiran yang menyeluruh
(fikrah kulliyah) tentang kehidupan, alam semesta, dan
manusia; serta pemikiran tentang pengaturan kehidupan
yang lahir dari pemikiran menyeluruh itu untuk memecahkan
problem-problem manusia (Taqiyuddin An-Nabhani, 1953).
Pemikiran seperti inilah yang dapat membangkitkan
manusia. Sebab dia memiliki konsep-konsep yang
menerangkan makna keberadaan manusia dalam
kehidupan, menjelaskan pandangan hidup serta jenis
peradaban, masyarakat, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Ini
semua diperlukan untuk sebuah kebangkitan, yang faktanya,
tidak dimiliki oleh nasionalisme (Abdus Sami’ Hamid,
1998)
Masuknya Nasionalisme di Dunia Islam
Umat Islam tak pernah mengenal paham nasionalisme
dalam sejarahnya yang panjang selama 10 abad, hingga
adanya upaya imperialis untuk memecah-belah negara
Khilafah pada abad ke-17 M. Mereka melancarkan serangan
pemikiran melalui para misionaris dan merekayasa partai-
partai politik rahasia untuk menyebarluaskan paham
nasionalisme dan patriotisme. Banyak kelompok misionaris â
€“sebagian besarnya dari Inggris, Perancis, dan Amerika--
didirikan sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 M untuk
menjalankan misi tersebut. Namun hingga saat itu upaya
mereka belum berhasil.
Barulah pada tahun 1857, penjajah mulai memetik
kesuksesan tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian
Scientific Society) yang menyerukan nasionalisme Arab.
Sebuah sekolah misionaris terkemuka --dengan nama Al-
Madrasah Al-Wataniyah-- didirikan di Syiria oleh Butros Al-
Bustani, seorang Kristen Arab (Maronit). Nama sekolah ini
menyimbolkan esensi misi Al-Bustani, yakni paham
patriotisme (cinta tanah air, hubb al-wathan). Langkah
serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa'ah Badawi Rafi' At
Tahtawi (w. 1873 M) mempropagandakan patriotisme dan
sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik
yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki
Muda (Turkiya Al Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk
mengarahkan gerak para nasionalis Turki. Kaum misionaris
kemudian memiliki kekuatan riil di belakang partai-partai
politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk
menghancurkan Khilafah (Syaikh Afif Az-Zain, 1993).
Sepanjang masa kemerosotan Khilafah Utsmaniyah, kaum
kafir berhimpun bersama, pertama kali dengan perjanjian
Sykes-Picot tahun 1916 ketika Inggris dan Perancis
8. khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=14 3/4
merencanakan untuk membagi-bagi wilayah negara
Khilafah. Kemudian pada 1923, dalam Perjanjian Versailles
dan Lausanne, rencana itu mulai diimplementasikan.
Dari sinilah lahir negara-negara Irak, Syria, Palestina,
Lebanon, dan Transjordan. Semuanya ada di bawah mandat
Inggris, kecuali Syria dan Lebanon yang ada di bawah
Perancis. Hal ini kemudian diikuti dengan upaya Inggris
untuk merekayasa lahirnya Pakistan. Jadi, semua negara-
bangsa ini tiada lain adalah hasil rekayasa Barat yang ada di
bawah mandat mereka (Taqiyuddin An-Nabhani, 1994; Ali
Muhammad Jarisyah & Muhammad Syarif, 1992)
Lahirnya Indonesia juga tak lepas dari rekayasa penjajah
menyebarkan nasionalisme di Dunia Islam. Hal itu dapat
dirunut sejak berdirinya negara-negara bangsa di Eropa
pada abad ke-19. Perubahan di Eropa ini, dan juga adanya
persaingan yang hebat antara kekuatan-kekuatan kolonialis
Eropa di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19,
menimbulkan dampak politis terhadap negara-negara
jajahan Eropa, termasuk Hinda Belanda. Dampak
monumentalnya adalah dicanangkannya Politik Etis pada
tahun 1901. Kebijakan ini pada gilirannya membuka
kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan
Barat. Melalui pendidikan Barat inilah paham nasionalisme
dan patriotisme menginfiltrasi ke tubuh umat Islam di Hindia
Belanda, yang selanjutnya mengilhami dan menjiwai
lahirnya berbagai pergerakan nasional di Indonesia, Boedi
Utomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond,
Jong Celebes, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan
sejenisnya (Hasyim Wahid dkk, 2000).
Menyikapi Nasionalisme
Berdasarkan tinjauan filosofis dan historis di atas, dapat kita
pahami mengapa Islam menentang dan menolak ide
nasionalisme itu. Sebab nasionalisme sebenarnya adalah ide
kosong dan tidak layak untuk membangkitkan manusia.
Nasionalisme dalam sejarahnya dan konteks kekinian juga
terbukti telah membawa kemudharatan, penderitaan, dan
kesengsaraan umat manusia. Apakah masuk akal ide
destruktif dan berbahaya seperti itu kita terima tanpa
reserve ?
Secara syar’i, umat Islam diharamkan mengadopsi
nasionalisme karena nasionalisme bertentangan dengan
prinsip kesatuan umat yang diwajibkan oleh Islam. Kesatuan
umat Islam wajib didasarkan pada ikatan aqidah, bukan
ikatan kebangsaan, seperti nasionalisme. Allah SWT
berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah
bersaudara.â€(QS Al Hujurat : 13)
Ayat di atas menunjukan bahwa Umat Islam adalah
bersaudara (ibarat satu tubuh), yang diikat oleh kesamaan
aqidah Islamiyah (iman), bukan oleh kesamaan bangsa.
Rasulullah SAW bahkan mengharamkan ikatan ‘ashabiyah
(fanatisme golongan), yaitu setiap ikatan pemersatu yang
bertentangan dengan Islam, termasuk nasionalisme :
“Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan
ashabiyah (fanatisme golongan, seperti nasionalisme). (HR.
Abu Dawud)
Jelaslah, ikatan yang layak di antara umat Islam hanyalah
ikatan keimanan. Bukan ikatan kebangsaan. Sebagai
perwujudannya dalam realitas, Islam mewajibkan umatnya
untuk hidup di bawah satu kepemimpinan (Khilafah
Islamiyah). Haram bagi mereka tercerai-berai di bawah
pimpinan yang lebih dari satu. Rasulullah SAW bersabda :
“Jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah
yang terakhir dari keduanya.â€(HR. Muslim).