1. join facebook.com/suryaonline
hal
2
DIGITAL NEWSPAPER
edisipagisurabaya.tribunnews.com surya.co.id | SELASA, 01 OKTOBER 2013 | Terbit 2 halaman
follow @portalsurya
Spirit Baru Jawa Timur
Vonis Ditunda
Tuhan Bantu
Wilfrida
SURYA Online - Na-
sionalisme bangsa kita
sudah tercabik-cabik
pasca reformasi. Bahkan
terhadap hari-hari berse-
jarah bangsa sendiri saja,
sudah tidak lagi terlalu
diindahkan. Itu dapat
dilihat ketika peringatan
peristiwa Gerakan 30
September (G-30S/PKI)
2013, yang merupakan
sejarah buruk perjalanan
bangsa ini, sudah jarang
terlihat pengibaran
bendera setengah tiang.
Seolah bangsa ini sudah
acuh tak acuh, bahkan
disana sini ada yang
berusaha untuk memutar-
mutar sejarah sehingga
semakin membingungkan rakyat. Yang
akhirnya rakyat pun apatis dengan
sejarah bangsanya sendiri.
Padahal founding father Ir Soekarno
dalam pidatonya sering mengungkapkan
istilah Jas Merah, Jangan Melupakan
Sejarah. Bahkan era Soeharto, peringat-
an-peringatan hari bersejarah nasional
selalu diberikan porsi yang selayaknya
dan khusuk.
Kondisi ini semestinya mendapat
perhatian pemerintah dan seluruh
komponen bangsa, khususnya bagian
sosial politik Departemen Dalam Negeri,
dimana pembinaan nasionalisme bangsa
seharusnya ditingkatkan dalam upaya
menghadapi kebebesan informasi dan
kemajuan teknologi yang tidak mungkin
dibendung.
Peristiwa G 30 S/PKI sendiri adalah
sebuah peristiwa buruk yang mencoreng
bangsa Indonesia, di tengah malam
tanggal 30 September sampai 1 Oktober
1965, di mana enam perwira tinggi
militer Indonesia beserta beberapa orang
lainnya dibunuh oleh pasukan berseragam
Cakra Bhirawa yang dituduh pendukung
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pahlawan Revolusi yang terbunuh
dalam peristiwa G 30S/PKI adalah :
1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/
Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf
Komando Operasi Tertinggi).
2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi
II Menteri/Panglima AD bidang Adminis-
trasi).
3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono
(Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan).
4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten
I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen).
5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan
(Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang
Logistik).
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
(Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal
Angkatan Darat).
7. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal
kediaman resmi Wakil Perdana Menteri
II dr.J. Leimena).
8. Kolonel Katamso Darmokusumo
(Komandan Korem 072/Pamungkas,
Jogjakarta).
9. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto
(Kepala Staf Korem 072/Pamungkas,
Jogjakarta).
Adalah Jenderal TNI Abdul Harris
Nasution yang menjadi sasaran utama,
justru selamat dari upaya pembunuhan
tersebut. Namun tragisnya, putrinya, Ade
Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau,
Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas
dalam usaha pembunuhan tersebut.
Waktu itu, Partai Komunis Indonesia
(PKI) merupakan partai komunis terbe-
sar di seluruh dunia, di luar Tiongkok
dan Uni Soviet. Sampai Tahun 1965
anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta,
ditambah 3 juta pergerakan pemuda-
nya. PKI juga mengontrol pergerakan
serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta
anggota dan Barisan Tani Indonesia yang
mempunyai 9 juta anggota. Termasuk
pergerakan wanita (Gerwani), organi-
sasi penulis dan artis dan pergerakan
sarjana, PKI mempunyai lebih dari 20
juta anggota dan pendukung.
Bulan Juli 1959, Parlemen dibubarkan
dan Presiden Soekarno yang kemudian
menetapkan konstitusi di bawah Dekrit
Presiden dalam upaya mempersekutukan
tiga kekuatan bangsa, Nasionalis, Agama
dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke
Tiongkok, Perdana
Menteri Zhou Enlai
menjanjikan 100.000
pucuk senjata jenis
chung, penawaran
ini gratis tanpa
syarat dan kemudian
dilaporkan ke Bung
Karno meski belum
diketahui kapan
waktunya sampai
akhirnya meletusnya
peristiwa G30S.
Pada awal Tahun
1965 Bung Karno atas
saran PKI dan tawaran
Perdana Menteri RRC,
Zhou Enlai, mempu-
nyai ide pembentukan
Angkatan Kelima
yang berdiri sendiri
terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Ang-
katan Darat tidak setuju dan hal ini lebih
menimbulkan nuansa curiga-mencurigai
antara militer dan PKI.
Dari Tahun 1963, kepemimpinan
PKI makin lama makin berusaha
memprovokasi bentrokan-bentrokan
antara aktivis massa dengan polisi dan
militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga
menginfiltrasi polisi dan tentara dengan
slogan kepentingan bersama polisi dan
rakyat. Pemimpin PKI DN Aidit mengil-
hami slogan Untuk Ketentraman Umum
Bantu Polisi. Di bulan Agustus 1964,
Aidit menganjurkan semua anggota
PKI membersihkan diri dari sikap-sikap
sektarian kepada angkatan bersenjata,
mengimbau semua pengarang dan seni-
man sayap-kiri untuk membuat massa
tentara subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965
ribuan petani bergerak merampas tanah
yang bukan hak mereka atas hasutan
PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi
antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu
oleh propaganda PKI yang menyatakan
bahwa petani berhak atas setiap tanah,
tidak peduli tanah siapapun (milik
negara = milik bersama). Kemungkinan
besar PKI meniru revolusi Bolsevik
di Rusia, di mana rakyat dan partai
komunis menyita tanah milik Tsar dan
membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, buruh mulai
menyita perusahaan-perusahaan karet
dan minyak milik Amerika Serikat.
Kepemimpinan PKI menjawab ini
dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-
jenderal militer juga menjadi anggota
kabinet. Jendral-jendral tersebut
masuk kabinet karena jabatannya di
militer oleh Soekarno disamakan seting-
kat menteri. Hal ini dapat dibuktikan
dengan munculnya jabatan Menpangab,
Menpangad dan lain-lain.
Menteri-menteri PKI tidak hanya
duduk di sebelah para petinggi militer
di dalam kabinet Soekarno ini, tetapi
mereka terus mendorong ilusi yang
sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah bagian dari revolusi
demokratis rakyat.
Keributan antara PKI dan Islam,
tidak hanya NU tapi juga dengan Persis
dan Muhammadiyah, terjadi di hampir
semua tempat di Indonesia. Di Jawa
Barat, Jawa Timur dan provinsi-provinsi
lain PKI sudah mengancam kiai-kiai
bahwa mereka akan disembelih setelah
tanggal 30 September 1965.
Lubang Buaya
1 Oktober 1965 dini hari, enam jen-
deral senior dan beberapa orang lainnya
yang dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana
(Cakra Bhirawa) yang dianggap loyal
kepada PKI dan pada saat itu dipimpin
oleh Letkol Untung.
Panglima Komando Strategi Angkatan
Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemu-
dian mengadakan penumpasan terhadap
gerakan tersebut.
Hingga saat ini tidak ada bukti
keterlibatan aktif Soeharto dalam aksi
penculikan tersebut. Satu-satunya bukti
yang bisa dielaborasi adalah pertemuan
Soeharto sebagai Pangkostrad dengan
Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit
Angkatan Darat.
Para korban tersebut kemudian
dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede,
Jakarta yang dikenal sebagai Lubang
Buaya. Mayat mereka ditemukan 3
Oktober 1965. Semoga arwah pah-
lawan-pahlawan revolusi yang mulai
dilupakan, tetap mendapat tempat
disisi Allah. (wahjoe harjanto/berbagai
sumber)
Peringatan G30S/PKI
SEMAKINMEMUDAR
2. join facebook.com/suryaonline follow @portalsurya
SELASA, 01 OKTOBER 2013 | surya.co.id | surabaya.tribunnews.com2
SURYA Online - Pengadilan Malaysia
menunda persidangan terhadap Tenaga
Kerja Wanita (TKW) asal Nusa Tenggara
Timur, Wilfrida Soik, yang terancam
hukuman mati hingga 17 November
2013, untuk mengumpulkan bukti baru,
Senin (30/9/2013).
Jaksa menuntut Wilfrida dengan hu-
kuman mati atas dugaan pembunuhan
terhadap Yeap Seok Pen, warga negara
Malaysia, orangtua dari majikan tempat
Wilfrida bekerja, 7 Desember 2010
Sidang kemarin semulanya dijadwal-
kan menjadi sidang terakhir sebelum
hakim memutuskan untuk menerima
atau menolak hukuman mati terhadap
Wifrida.
Namun, Koordinator Migrant Care di
Malaysia,Alex Ong, mengatakan, tim
pengacara Wilfrida meminta waktu kepada
hakim untuk memberikan bukti baru.
“Pihak pengacara Wilfrida meminta
hakim untuk memundurkan keputusan
untuk menerima tuntutan jaksa Malay-
sia,” kata Alex kepada wartawan BBC
Arti Ekawati Senin (30/9/2013) sore.
Diantara bukti-bukti baru yang akan
dikumpulkan itu adalah bahwa Wilfrida
masih berada di bawah umur ketika
peristiwa itu terjadi dan dokumen
perjalanan yang dipakai olehnya adalah
palsu.
Berdasarkan paspornya
yang dipalsukan, saat
itu tertera ia berusia 21
tahun. Namun belakangan
terungkap bahwa ketika
berangkat ke Malaysia,
Oktober 2010, usia Wilfrida
masih 17 tahun.
“Wilfrida memang anak
bawah umur, dalam sistem
kehakiman Malaysia tidak
boleh diancam hukuman
mati,” kata Alex.
Kedua, pengacara juga
mengatakan, Wilfrida
pernah diperiksa dan
terbukti menderita depresi
berat. Atas dasar itulah
mereka kemudian meminta
Wilfrida diperiksa lagi oleh
ahli psikologi yang mereka
tunjuk dan disetujui oleh
jaksa Malaysia untuk
mengevaluasi status mental Wilfrida.
“Selain itu juga diminta ada tes
tulang dan giginya untuk menetukan
usianya,” kata Alex. Pemeriksaan ini
akan dilakukan di Rumah Sakit Universi-
ty Schience di Kelantan Malaysia.
“Dari tanggal 17 (November) itu akan
sidang kembali dengan bahan-bahan
bukti yang akan ditunjukkan oleh pihak
pembela,” kata Alex.
Sebelumnya, pegiat Migrant Care di
Indonesia menyerukan kepada DPR agar
ikut membantu membebaskan Wilfrida.
Saat ini Wilfrida juga didampingi oleh
seorang pemuka agama untuk membe-
rikan bantuan dan konseling spiritual
kepadanya dan keluarganya.
Migrant Care berupaya menggalang
petisi menolak hukuman mati terhadap
Wilfrida Soik di situs Change.org yang
sejauh ini telah berhasil menggalang
dukungan sekitar 13.000 orang.
Menurut Migrant Care ada sekitar
300-an TKI di Malaysia yang terancam
hukuman mati.
Peristiwa seperti yang dialami
Wilfrida tidak hanya terjadi di Malaysia,
tetapi juga di negara-negara lain,
seperti Arab Saudi, Hongkong, dan
negara-negara lain.
Namun sejauh ini, Pemerintah
seolah tidak pernah mengevaluasi dan
justru merasa bangga dengan predikat
penghasil Tenaga Kerja murah. Dalam
setiap pemuatan berita yang muncul di
media masa, terutama menjelang Harya
Raya Idul Fitri, dengan bangga Bank
Indonesia menyebutkan ada pnyaluran
uang masuk Indonesia besar-besaran
dari TKI. Masyaallah.
Padahal, semestinya, sebagai
negara yang dianugerahi kekayaan
alam berlimpah oleh Yang Maha Kuasa,
menjadi tanggungjawab pemerintah
untuk menyediakan lapangan pekerjaan
sehingga tidak ada rakyat yang justru
senang keluar negeri.
Padahal, seperti pengalaman saya
di Arab Saudi, (Mekkah dan Medinah),
keberadaan TKI Indonesia sebenarnya
jauh dari yang mereka banggakan
ketika pulang kampung.
Sedikit saja TKI yang mene-
rima perlakuan profesional
sebagai tenaga kerja yang
dibutuhkan. Siksaan dan
perlakuan tidak manusiawi,
bahkan lebih ekstrim boleh
dikatakan seperti budak,
itulah yang terjadi. Belum
lagi kejar-kejaran dengan
polisi. Tentu kondisi ini
harusnya menjadi pemikiran
utama Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi. Semoga
kasus Wilfrida ini menjadi
yang terakhir dan menjadi
renungan sendiri pejabat
Indonesia. Jangan bangga
menjadi negara dengan
predikat penghasil tenaga
kerja murahan. (wahjoe
harjanto/berbagai sum-
ber).
Vonis Ditunda
TUHANBANTUWILFRIDA