1. Sejarah Barzanji Al-Barzanji adalah kitab karangan “Syekh Ja’far bin Husain bin Abdul Karim
al-Barzanji”. Beliau lahir di Madinah tahun 1690 M, dan wafat tahun 1766 M. Barzanji berasal
dari nama suatu daerah di Kurdikistan Barzinj. Sebenarnya, kitab tersebut berjudul ‘Iqd al-
jawahir (kalung permata), tapi kemudian lebih terkenal dengan sebutan al-barzanji. Kitab
tersebut, menceritakan tentang sejarah Nabi Muhammad yang mencakup silsilahnya, perjalanan
hidup semasa kecil, remaja, menginjak dewasa hingga diangkat menjadi Rasul. Selain itu, juga
menyebutkan sifat-sifat Rasul, keistimewaan-keistimewaan dan berbagai peristiwa yang bisa
dijadikan teladan bagi umat manusia. Dengan bahasa dan sastra yang tinggi menjadikan kitab ini
enak dibaca. Di Indonesia, barzanji adalah kitab yang populer di kalangan orang Islam, terutama
di Jawa. Kitab ini merupakan bacaan wajib pada acara-acara barjanjen atau diba’ yang
merupakan acara rutin bagi sebagian kaum muslim di Indonesia. Kontroversi Budaya Barzanji
Banyak dari kalangan umat Islam yang menolak tradisi barjanjen. Mereka menganggap bid’ah
karena perbuatan tersebut tidak dilakukan Rasulallah SAW. Selain itu, barzanji hanyalah karya
sastra, bukan menjadi rujukan sumber orang Islam seperti Al Qur’an dan Hadist. Jadi, mereka
menolak dengan tegas terhadap tradisi tersebut. Namun, sebagian pihak menganggap pembacaan
Al-barzanji adalah refleksi kecintaan umat terhadap figur Nabi sebagai pemimpin agamanya
sekaligus untuk meneladani sifat-sifat luhur Nabi Muhammad SAW. Kecintaan pada Nabi berarti
juga kecintaan, ketaatan kepada Allah SWT. Menurut penulis, tradisi ini meskipun banyak yang
setuju dan tidak setuju, harus ada pemahaman yang tajam. Pasalnya, hampir seluruh umat Islam
di Indonesia melestarikan tradisi ini. Sebuah hadist Nabi riwayat Bukhari Muslim
menyatakan,”Barang siapa melakukan amalan tidak sebagaimana sunnahku, maka amalan itu
tertolak”. Wallahu ‘alam bisshowab. Hanya Allah yang maha mengetahui. Membumikan
Barzanji Selain dilakukan pada bulan Maulid, tradisi barzanji juga dilakukan kaum muslim pada
setiap moment penting seperti pengajian, tasyakuran pernikahan, kelahiran anak, menjelang
keberangkatan haji dan sebagainya. Barjanjen, merupakan tradisi yang dilakukan sejak dulu,
terutama bagi umat Islam warga Nahdliyyin (warga NU). Mereka membacanya pada tiap malam
Jumat dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren di Jawa Tengah, barjanjen
menjadi kegiatan wajib. Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi sepertinya sudah melembaga,
bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap memasuki Rabi’ul Awal, berbagai ormas
Islam, masjid, musholla, institusi pendidikan, dan majelis taklim bersiap memperingatinya
dengan beragam cara dan acara; dari sekadar menggelar pengajian, dialog keagamaan, bakti
sosial, hingga ritual-ritual yang sarat tradisi (lokal). Di antaranya adalah: Manyanggar Banua,
Mapanretasi di Pagatan, Ba’ayun Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan.
Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, Gerebeg Mulud di Demak, Panjang Jimat di
Kasultanan Cirebon, Mandi Barokah di Cikelet Garut, dan sebagainya. Tradisi barzanji,
seharusnya menjadi spirit beragama bagi kaum muslim. Idealnya, barzanji bukan hanya sebagai
rutinitas saja. Esensi Maulid Nabi adalah spirit sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai
satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur
dari idealisme, kristalisasi dari berbagai falsafah hidup yang diyakini. Teladan sejarah dan
penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awal. Berpijak
dari itu, sudah saanya umat Islam melestarikan tradisi tersebut. Pasalnya, dewasa ini banyak
orang islam yang beragama setengah hati, atau dengan kata lain “Islam KTP”. Secara logika,
daripada melestarikan budaya barat, lebih baik melestarikan budaya islam sendiri, sebagai suatu
wujud ketaatan hamba dengan Tuhannya. Jadi, melihat tradisi barjanjen yang hanya menjadi
rutinitas di bulan maulid, penulis lebih sepakat dan mendukung untuk melestarikan budaya
barjanjen yang harus dijalankan setiap waktu, kapan pun dan dimana pun. Hal itu termasuk
2. wujud bukti kecintaan kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Meskipun momen bulan
maulid terasa sudah lewat, namun melestarikan tradisi barzanji merupakan sebuah keniscayaan
bagi warga NU. Menjadi umat yang cinta Nabi Muhammad SAW, sudah saatnya membumikan
tradisi ini sejak dini. Mau tidak mau, barzanji merupakan ciri khas warga NU. Jadi, melestarikan
tradisi barzanji adalah harga mati.
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/36619/melestarikan-tradisi-barzanji