1. 3
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA
A. SEJARAH BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya pada saat
Sumpah Pemuda 1928. Para pemuda yang menjadi pendiri bangsa dan
negara Indonesia pada waktu itu mengucapkan sumpah bahwa mereka
mengaku (1) bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, (2) berbangsa satu,
bangsa Indonesia, serta (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda, resmilah bahasa Melayu,
yang sudah dipakai sejak abad VII itu menjadi bahasa Indonesia. Pada
waktu itu bahasa Indonesia dalam masyarakat masih disebut sebagai
“bahasa Melayu”. Bahkan Pemerintah Hindia Belanda melarang pemakaian
nama “bahasa Indonesia” sampai mereka takluk pada balatentara Jepang
(1942).
Pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan dengan nama
“bahasa Indonesia”, dilatarbelakangi berbagai alasan. Bahasa Melayu sudah
menjadi bahasa yang kosmopolitan dan Internasional sebelum tercetusnya
Sumpah Pemuda. Bahasa tersebut sudah dipakai sebagai bahasa perantara
(lingua franca) bukan saja di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir
di seluruh Asia Tenggara. Bahasa Melayu digunakan tidak hanya untuk
komunikasi antar suku bangsa tetapi dengan bangsa lain seperti Arab, Cina,
India, Belanda dan bangsa asing lainnya. Ini tidak hanya sekedar sebagai
alat komunikasi di bidang ekonomi (perdagangan), tetapi juga di bidang
2. 4
sosial (alat komunikasi massa), politik (perjanjian antar kerajaan), sastra-
budaya, termasuk dalam penyebaran agama.
Berbagai batu tulis seperti (1) Prasasti Kedukan Bukit (683) dan
Prasasti Talang Tuo (684) di Palembang, (2) Prasasti Kota Kapur (686) di
Bangka Barat, dan (3) Prasasti Karang Brahi (688), di Merangi, Jambi
menggunakan teks bahasa Melayu Kuno. Selain ditemukan di Pulau
Sumatra, beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno tersebut juga
ditemukan di beberapa tempat di Pulau Jawa seperti di Gandasuli (832)
Jawa Tengah, dan prasasti Bogor (942) di Jawa Barat serta ditemukan
makam berbahasa Melayu Minye, Tujoh, Aceh. Selain di Nusantara juga
ditemukan benda-benda arkeologi berbahasa Melayu di Pulau Luzon,
Filipina, Ligor, Thailand, dan Trengganu,Malaysia.
Alasan lainnya ialah bahasa Melayu lebih egaliter dibandingkan
bahasa-bahasa lain di Nusantara seperti Jawa, Sunda, Bali, yang jauh lebih
rumit, baik dalam cara tulis maupun hirarkienya. Bahasa-bahasa tersebut
mengenal tingkatan bahasa halu, biasa, dan kasar yang digunakan untuk
orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Oleh
karenanya, bahasa tersebut tidak dapat dipakai berkomunikasi dalam
masyarakat demokratis yang menghendaki setiap orang berdiri sama tinggi
dan duduk sama rendah. Bahasa Melayu pun mengenal kata-kata khusus
untuk raja atau Tuhan, namun hanya sekadarnya saja, sama dengan bahasa-
bahasa lain di dunia.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda pemakaian bahasa Melayu
makin meluas karena sudah digunakan di sekolah-sekolah dan penerbitan
termasuk buku-buku, majalah-majalah (Pandji Poestaka dan Sri Poestaka),
dan almanak yang diusahakan oleh pemerintah Belanda. Bahasa Melayu
yang digunakan Pemerintah Hindia Belanda adalah bahasa Melayu “resmi”
yang dikenal Bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi itu juga
digunakan pers yang pro Hindia Belanda yang disebut “pers putih”.
3. 5
Sementara itu, bahasa Melayu Rendah, untuk membedakan dengan bahasa
Melayu Tinggi, digunakan di kalangan pergerakan kebangsaan dalam rapat-
rapat dan kongres serta dalam berbagai penerbitan. Para pemimpin
pergerakan seperti H.O.S Tjokroaminoto, H. Agoes Salim, Abdoel Moeis,
Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sjahrir, M. Natsir, dan lain-lain tidak hanya
mempergunakan bahasa Melayu sebagai sarana pikiran-pikiran tetapi
memperkaya dengan kosakata wacana tentang kolonialisme, marxisme,
sosialisme, demokrasi dalam pidato dan tulisan-tulisannya.
Bahasa Melayu Rendah dikenal juga dengan bahasa Melayu Pasar.
Istilah Melayu Pasar karena dihubungkan dengan kenyataan bahwa bahasa
tersebut digunakan dalam jual beli di pasar, yaitu sebagai bahasa
perhubungan ( lingua franca) antarbangsa (Pribumi, Arab, Cina, India,
Belanda dan lain-lain) dan antarsuku (Jawa, Melayu, Sunda, Bali, Manado,
Banjar dan lain-lain) selama berabad-abad. “Bahasa Melayu Pasar”
digunakan juga oleh masyarakat Cina (peranakan) dalam komunikasi
maupun berkesusastraan yang dikenal “Sastra Melayu Tionghoa” (menurut
Nio Joe Land, 1946) atau “Sastra Melayu Asimilasi” (menurut Pramodya
Ananta Toer (dalam pengantar bukunya Tempo Doeloe) serta dalam koran-
korannya yang dikenal “pers kuning”.
Beberapa peristiwa itulah yang menyebabkan bahasa Melayu, bahasa
yang berasal dari Riau yang penutur dan hasil kesusastraan tidak sebanyak
bahasa-bahasa lain di Nusantara menjadi bahasa persatuan sebagai bekal
untuk mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dalam berjuang melawan
pemerintah Kolonial Belanda. Peresmian tersebut diterima dengan penuh
kesadaran oleh masyarakat Indonesia sampai sekarang. Orang yang paling
bersemangat hendak memajukan bahasa daerah di mana pun, tak pernah
menggugat kedudukan bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa
persatuan dan kesatuan.
4. 6
Beberapa peristiwa penting yang mengandung arti dalam sejarah
perkembangan bahasa Indonesia dapat disebutkan sebagai berikut.
1. Pemerintah Hindia Belanda pada1901 menunjuk Prof. Charles Van
Ophuisjsen dibantu Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim untuk menyusun pembakuan bahasa
Melayu, yang melahirkan sistim ejaan penulisan bahasa Melayu dengan
huruf Latin, yang kemudian dikenal sebagai “Ejaan van Ophuijsen” dan
dimuat dalam Kitab Logat Melajoe dengan anak judul Woordenlisjst
voor de spelling der Maleische Taal met Latinjnsche Karakter.
Pembakuan tersebut disesuaikan dengan logika pemikiran Belanda dan
efisiensi penyelenggara administrasi kolonial. Upaya ini dilakukan
untuk mengoptimalkan bahasa Melayu untuk menjalankan kekuasaan
dan ekploitasi kolonialisme Belanda.
2. Selain diajarkan di sekolah-sekolah Pemerintah Belanda, yang
dibangun untuk menyiapkan tenaga pemerintahan kolonial, bahasa
Melayu olahan pemerintah tersebut disebarkan secara sistematis
melalui bacaan-bacaan. Untuk menjalankan kegiatan tersebut didirikan
Commisie voor de Inlandche Shool en Volslectuur (Taman Bacaan
Rakyat, 1908) yang kemudian menjadi Kantoor voor de Volksectuur
yang diberi nama “Balai Pustaka” (1917). Badan penerbitan ini bukan
saja berusaha mengontrol dan mengatur bahasa Melayu yang dipakai
tetapi juga menjauhkan pembaca dari bacaan-bacaan yang dapat
merusak kekuasaan Belanda dan membangkitkan nasionalisme. Karena
itu bacaan-bacaan yang diterbitkan harus sejalan dengan kebijakan
pemerintah kolonial Belanda di bidang pendidikan.
3. Pada 25 Juni 1918 keluar ketetapan Ratu Belanda yang memberikan
kebebasan kepada anggota-anggota Dewan Rakyat (Volksrad) untuk
mempergunakan bahasa Melayu dalam perundingan-perundingan.
Ketetapan tersebut berkat desakan-desakan dan hasrat ingin
5. 7
memperjuangkan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional oleh para
tokoh-tokoh pergerakan yang sebagian besar menggunakan bahasa
Melayu dalam kongres-kongres, rapat-rapat, tulisan-tulisan, dan lain-
lain. Jahja Datoek Kajo, orang pertama kali yang berpidato
menggunakan bahasa Melayu di Volksrad.
4. Pada Mei 1933 Sutan Takdir Alisyahbana menerbitkan majalah
Pujangga Baru sebagai reaksi atas sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadap karya sastrawan, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme. Tujuan pendiriannya untuk
menumbuhkan kesusastraan baru yang sesuai semangat zamannya dan
mempersatukan para sastrawan dalam satu wadah karena sebelumnya
cerai berai dengan menulis di berbagai majalah. Penyebaran majalah ini
terbatas ke kalangan guru dan mereka yang dianggap memiliki
perhatian terhadap masalah kebudayaan dan kesusastraan. Di antara
yang terbatas itu ada juga yang sampai ke Malaysia hingga ikut
berpengaruh terhadap perkembangan sastra Melayu.
Meskipun pembacanya tidak banyak, tetapi pengaruh majalah ini besar
sekali. Banyak ahli yang menyumbangkan tulisan, di antaranya Prof.
Husein Djajadiningrat, Maria Ulfah Santoso, Amir Sjarifuddin, Mr.
Sumanang, Poerwadarmintan dan beberapa intelektual Indonesia
lainnya. Terobosan Pujangga Baru misalnya penggunaan bahasa yang
ditawarkan STA yang mengesampingkan bahasa Melayu yang
kemudian digantikan dengan perpaduan bahasa daerah masing-masing
pengarang dan bahasa asing. Hal itulah yang dikritik oleh kaum
bangsawan Melayu dan para guru yang setia kepada pemerintah
kolonial Belanda termasuk beberapa tokoh bahasa pun seperti H. Agus
Salim, Sutan Moh. Zain dan S.M. Latif. Mereka beranggapan bahasa
dalam majalah itu merusak bahasa Melayu. Selain mendirikan majalah
6. 8
Pujangga Baru, STA pada 1936 menyusun Tatabahasa Bahasa
Indonesia.
5. Tahun 1938, dalam rangka memperingati sepuluh tahun Sumpah
Pemuda, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Jawa
Tengah. Kongres ini dihadiri oleh bahasawan dan budayawan
terkemuka pada saat itu, seperti Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Prof.
Dr. Poerbatjaraka, dan Ki Hajar Dewantara. Dalam kongres tersebut
dihasilkan beberapa keputusan yang sangat besar artinya bagi
pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Keputusan tersebut,
antara lain:
a. mengganti Ejaan van Ophuysen,
b. mendirikan Institut Bahasa Indonesia, dan
c. menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam
Badan Perwakilan.
Selanjutnya Kongres Bahasa Indonesia II dilaksanakan pada 28
Oktober s.d. 2 November 1954 di Medan, Sumatera Utara. Kongres ini
terselenggara atas prakarsa Menteri Pendidikan, Pengajaran,
Kebudayaan, Mr. Mohammad Yamin. Setelah itu setiap lima tahun
sekali diadakan Kongres Bahasa Indonesia seperti tercantum di bawah
ini.
a. Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta, 28 Oktober s.d. 3
November 1978
b. Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta, 21 s.d. 26 November
1983
c. Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta, 27 Oktober s.d. 3
November 1988
d. Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta, 28 Oktober s.d. 2
November 1993
7. 9
e. Kongres Bahasa Indonesia VII di Jakarta, 26 s.d. 30 Oktober
1998
f. Kongres Bahasa Indonesia VIII di Jakarta, 14 s.d. 17 Oktober
2003
g. Kongres Bahasa Indonesia IX di Jakarta, 20 Oktober s.d. 1
November 2008
h. Kongres Bahasa Indonesia X di Jakarta, 2013
6. Tahun 1942-1945 (masa pendudukan Jepang), Jepang melarang
pemakaian bahasa Belanda yang dianggapnya sebagai bahasa musuh.
Penguasa Jepang terpaksa menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi untuk kepentingan penyelenggaraan administrasi
pemerintahan dan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan,
sebab bahasa Jepang belum banyak dikuasai oleh bangsa Indonesia.
Soekarno, Moh. Hatta, dan para pemimpin lain berkeliling berpidato,
membakar semangat rakyat, dan juga melalui siaran-siaran melalui
radio selalu mempergunakan bahasa Indonesia sehingga bahasa
Indonesia kian dekat dengan rakyat. Hal yang demikian menyebabkan
bahasa Indonesia mempunyai peran yang semakin penting sehingga
untuk pertama kalinya pada masa ini bangsa Indonesia memiliki Kamus
Istilah.
7. Tahun 1947 masa Negara Republik Indonesia berpusat di Yogyakarta,
dibentuklah sebuah panitia Ejaan Bahasa Indonesia yang diketuai oleh
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan ketika itu yaitu Mr.
Soewandi. Pada 19 Maret 1947 Menteri Mr. Soewandi dalam surat
keputusannya SK No. 264/Bhg. A/47 menetapkan perubahan ejaan
bahasa Indonesia. Ejaan yang diperbaharui ini kemudian dikenal
dengan nama Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi.
8. Tahun 1963 ada upaya dari pemerintah Republik Indonesia dan
pemerintah Diraja Malaysia untuk mengadakan satu ejaan dengan
8. 10
mengingat antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu yang
dipergunakan sebagai bahasa resmi pemerintah Diraja Malaysia masih
satu rumpun atau memiliki kesamaan. Usaha itu antara lain
pemufakatan ejaan Melindo (Melayu-Indonesia) dengan membentuk
panitia Indonesia dan Melayu, masing-masing diketuai oleh Prof. Dr.
Slamet Mulyana dari Indonesia dan Syed Nasir bin Ismail dari
Persekutuan Tanah Melayu. Panitia ini menghasilkan konsep bersama
yang dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Ejaan Melayu-Indonesia).
Namun, upaya ini akhirnya kandas karena situasi politik antara
Indonesia dan Malaysia yang sempat memanas.
9. Tahun 1948 terbentuk sebuah lembaga yang menangani pembinaan
bahasa dengan nama Balai Bahasa. Lembaga ini, pada tahun 1968,
diubah namanya menjadi Lembaga Bahasa Nasional dan pada tahun
1972 diubah menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Pusat Bahasa.
10.Pada 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia, Soeharto
meresmikan penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (kemudian biasa
disingkat EYD) yang dikuatkan dengan Keputusan Presiden Nomor 57,
tahun 1972 dan Tap. MPR No. 2/1972. Ejaan tersebut menggantikan
ejaan lam, ejaan Republik atau ejaan Soewandi. Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pembentukan Istilah resmi
diberlakukan 31 Agustus 1972.
B. KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang penting bagi bangsa
Indonesia tercermin dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928,
dan UUD 1945, Bab XV Pasal 36. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang
berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,
9. 11
bahasa Indonesia”, tersebut menegaskan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional. Sebagai bahasa nasional dirumuskan fungsi bahasa Indonesia
dalam “Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan oleh Pusat
Bahasa di Jakarta, 25 - 28 Februari 2010. Hasil rumusan seminar tersebut
mengungkapkan bahwa sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki
fungsi sebagai :
1. Lambang kebanggaan nasional
2. Lambang identitas nasional
3. Alat pemersatu masyarakat yang berbeda latar budayanya
4. Alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia
mencerminkan nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan
keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga
dengannya, kita harus menjunjungnya, dan kita harus mempertahankannya.
Kebanggaan tersebut bukan hanya karena bahasa Indonesia mengandung
nilai-nilai luhur tetapi karena sejak awal bahasa Indonesia sudah ditetapkan
sebagai bahasa nasional.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan
‘lambang’ bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya
hanya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya
sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, terutama
bahasa asing.
Sebagai pemersatu masyarakat yang berbeda latar budayanya, bahasa
Indonesia memungkinkan berbagai suku bangsa itu mencapai keserasian
hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan
identitas kesukuan dan kesetiaan pada nilai-nilai sosial budaya serta latar
belakang bahasa daerah masing-masing.
10. 12
Sebagai perhubungan antar budaya dan antardaerah, dengan bahasa
Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan, kita
dapat berhubungan satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga
kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial budaya dan
bahasa dapat dihindarkan.
Selain sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki
kedudukan sebagai bahasa negara. Hal ini tercantum dalam Undang-
Undang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36 yang berisi, “Bahasa Negara adalah
bahasa Indonesia.” Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai,
1. bahasa resmi kenegaraan,
2. bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan
3. bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta
pemerintah, dan
4. bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai di dalam
segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik dalam bentuk lisan
maupun tulis. Termasuk ke dalam kegiatan-kegiatan itu adalah penulisan
dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta pidato-pidato
kenegaraan dan surat-surat yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah.
Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa
pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak
sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia dan pada sekolah-
sekolah Indonesia di luar negeri.
Sebagai alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional dan untuk
11. 13
kepentingan pelaksanaan pemerintahan. Bahasa Indonesia dipakai bukan
saja sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat
luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antar daerah dan antarsuku,
melainkan juga sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang sama
latar belakang social budayanya.
Sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan
teknologi, bahasa Indonesia dapat menjadi alat untuk membina dan
mengembangkan kebudayaan nasional termasuk sebagai alat untuk
menyatakan nilai-nilai sosial budaya nasional kita. Hal ini juga berlaku
dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern.
12. 14
BAB III
KESIMPULAN
Bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya pada saat
Sumpah Pemuda 1928. Dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda, resmilah
bahasa Melayu, yang sudah dipakai sejak abad VII itu menjadi bahasa
Indonesia. Beberapa peristiwa penting yang mengandung arti dalam sejarah
perkembangan bahasa Indonesia, yaitu : adanya Ejaan van Ophuijsen,
badan penerbit Balai Pustaka, Jahja Datoek Kajo orang pertama kali yang
berpidato menggunakan bahasa Melayu di Volksrad, angkatan sastrawan
muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru, adanya kongres
Bahasa I di solo, adanya Kamus Istilah , Ejaan Republik atau Ejaan
Soewandi, Ejaan Melindo (Ejaan Melayu-Indonesia), Pusat Bahasa,
penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (kemudian biasa disingkat EYD).
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang penting bagi bangsa
Indonesia tercermin dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928,
dan UUD 1945, Bab XV Pasal 36. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional, memiliki fungsi sebagai lambang kebanggaan nasional, lambang
identitas nasional, alat pemersatu masyarakat yang berbeda latar
budayanya, alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara memiliki fungsi sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah,
dan bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
13. 15
DAFTAR PUSTAKA
Bahtiar, Ahmad dan Fatimah. 2014. Bahasa Indonesia untuk
Perguruan Tinggi. Bogor:Penerbit IN MEDIA.
Finoza, Lamuddin. 2008. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi.
Hs, Widjono. 2012. Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Rahardi, Kunjana. 2010. Bahasa Indonesia untukPerguruan Tinggi.
Jakarta: Penerbit Erlangga.