Bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa persatuan dan nasional melalui Sumpah Pemuda pada 1928. Perkembangannya terhambat oleh politik bahasa kolonial Belanda tetapi mendapat dukungan saat pendudukan Jepang. Bahasa Indonesia secara resmi ditetapkan sebagai bahasa negara pada 1945 dan sejak itu mengalami berbagai perkembangan melalui kongres-kongres bahasa, perubahan ejaan, dan pembentukan lembaga pemb
2. Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai
suku bangsa dengan berbagai ragam
bahasa daerah yang dimilikinya
memerlukan adanya satu bahasa persatuan
guna menggalang semangat kebangsaan.
Semangat kebangsaan ini sangat penting
dalam perjuangan mengusir penjajah dari
bumi Indonesia. Kesadaran politis semacam
inilah yang memunculkan ide pentingnya
bahasa yang satu, bahasa persatuan,
bahasa yang dapat menjembatani
keinginan pemuda-pemudi dari berbagai
suku bangsa dan budaya di Indonesia saat
itu.
3. Pemuda-pemudi Indonesia pada masa
pergerakan berhasil menyelenggarakan
Kongres Pemuda Indonesia. Dalam kongres
tersebut tercetuslah ikrar bersama yang
lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda. Ikrar
Sumpah Pemuda yang dikumandangkan
pada tanggal 28 Oktober 1928 itu salah
satu butirnya adalah menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Adapun bunyi
ikrar lengkap pemuda Indonesia yang
dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda
itu adalah sebagai berikut.
4. - Kami putera dan puteri Indonesia mengaku
bertumpah darah yang satu, Tanah Air
Indonesia.
- Kami putera dan puteri Indonesia mengaku
berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
- Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung
bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
5. Secara historis bahasa Indonesia berakar pada bahasa Melayu Riau
sebab bahasa yang dipilih sebagai bahasa nasional itu adalah bahasa
Melayu, yang sudah menjadi lingua franca di pelabuhan-pelabuhan
perniagaan yang tersebar di wilayah Nusantara, yang kemudian diberi
nama bahasa Indonesia.
Alasan dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional adalah
sebagai berikut.
Bahasa Melayu telah berabad-abad lamanya dipakai sebagai lingua
franca (bahasa perantara atau bahasa pergaulan di bidang perdagangan)
di seluruh wilayah NUsantara.
Bahasa Melayu memunyai struktur sederhana sehingga mudah
dipelajari, mudah dikembangkan pemakaiannya, dan mudah menerima
pengaruh luar untuk memerkaya dan menyempurnakan fungsinya.
Bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak memperlihatkan adanya
perbedaan tingkatan bahasa berdasarkan perbedaan status sosial
pemakainya, sehingga tidak menimbulkan perasaan sentimen dan
perpecahan.
Adanya semangat kebangsaan yang besar dari pemakai bahasa daerah
lain untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Adanya semangat rela berkorban dari masyarakat Jawa demi tujuan
yang mulia.
6. Meskipun bukti-bukti autentik tidak ditemukan, bahasa yang digunakan pada
masa kejayaan kerajaan Sriwijaya pada abad VII adalah bahasa Melayu. Sementara
itu, bukti-bukti yang tertulis mengenai pemakaian bahasa Melayu dapat
ditemukan pada tahun 680 Masehi, yakni digunakannya bahasa Melayu untuk
penulisan batu prasasti, di antaranya sebagai berikut.
Prasasti yang ditemukan di Kedukan Bukit berangka tahun 683 Masehi.
Prasasti yang ditemukan di Talang Tuwo (dekat Palembang) berangka tahun
686 Masehi.
Prasasti yang ditemukan di Kota Kapur (Bangka Barat) berangka tahun 686
Masehi.
Prasasti yang ditemukan di Karang Brahi (antara Jambi dan Sungai Musi)
berangka tahun 686 Masehi.
Prasasti dengan nama Inskripsi Gandasuli yang ditemukan di daerah Kedu dan
berasal dari tahun 832 Masehi.
Pada tahun 1356 ditemukan lagi sebuah prasasti yang bahasanya berbentuk
prosa diselingi puisi (?).
Pada tahun 1380 di Minye Tujoh, Aceh, ditemukan batu nisan yang berisi
suatu model syair tertua.
7. Pada abad XVI, ketika orang-orang Eropa datang ke
Nusantara mereka sudah mendapati bahasa Melayu
sebagai bahasa pergaulan dan bahasa perantara dalam
kegiatan perdagangan. Bukti lain yang dapat
dipaparkan adalah naskah/daftar kata yang disusun
oleh Pigafetta pada tahun 1522. Di samping itu,
pengakuan orang Belanda, Danckaerts, pada tahun
1631 yang mendirikan sekolah di Nusantara terbentur
dengan bahasa pengantar. Oleh karena itu, pemerintah
kolonial Belanda mengeluarkan surat keputusan: K.B.
1871 No. 104 yang menyatakan bahwa pengajaran di
sekolah-sekolah bumiputera diberi dalam bahasa
Daerah, kalau tidak dipakai bahasa Melayu.
8. Setelah Sumpah Pemuda, perkembangan
Bahasa Indonesia tidak berjalan dengan
mulus. Belanda sebagai penjajah melihat
pengakuan pada bahasa Indonesia itu
sebagai kerikil tajam. Oleh karena itu,
dimunculkanlah seorang ahli pendidik
Belanda bernama Dr. G.J. Niewenhuis
dengan politik bahasa kolonialnya. Isi
politik bahasa kolonial Niewenhuis itu lebih
kurang sebagai berikut.
9. Pengaruh politik bahasa yang dicetuskan Niewenhuis itu
tentu saja menghambat perkembangan bahasa Indonesia.
Banyak pemuda pelajar berlomba-lomba mempelajari bahasa
Belanda, bahkan ada yang meminta pengesahan agar diakui
sebagai orang Belanda (seperti yang dilukiskan Abdul Muis
dalam roman Salah Asuhan pada tokoh Hanafi).
Sebaliknya, pada masa pendudukan Dai Nippon, bahasa
Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Tentara
pendudukan Jepang sangat membenci semua yang berbau
Belanda; sementara itu orang-orang bumiputera belum bisa
berbahasa Jepang. Oleh karena itu, digunakanlah bahasa
Indonesia untuk memperlancar tugas-tugas administrasi dan
membantu tentara Dai Nippon melawan tentara Belanda dan
sekutu-sekutunya.
10. Bahasa Indonesia mempunyai dua
kedudukan yang sangat penting, yaitu (1)
sebagai bahasa nasional, dan (2) sebagai
bahasa resmi/negara.
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional diperoleh sejak awal
kelahirannya, yaitu tanggal 28 Oktober
1928 dalam Sumpah Pemuda. Bahasa
Indonesia dalam kedudukannya sebagai
bahasa nasional sekaligus merupakan
bahasa persatuan.
11. Adapun dalam kedudukannya sebagai bahasa
nasional, bahasa Indonesia mempunyai fungsi
sebagai berikut.
Lambang jati diri (identitas).
Lambang kebanggaan bangsa.
Alat pemersatu berbagai masyarakat yang
mempunyai latar belakang etnis dan sosial-
budaya, serta bahasa daerah yang berbeda.
Alat penghubung antarbudaya dan
antardaerah.
12. Kedudukan bahasa Indonesia yang kedua adalah
sebagai bahasa resmi/negara; kedudukan ini
mempunyai dasar yuridis konstitusional, yakni Bab
XV pasal 36 UUD 1945. Dalam kedudukannya
sebagai bahasa resmi/negara, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai berikut.
Bahasa resmi negara.
Bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga
pendidikan.
Bahasa resmi dalam perhubungan tingkat nasional
untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan serta pemerintahan.
Bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan
dan pemanfaatan ilmu dan teknologi.
13.
14. Pada tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda
mendirikan Commissie voor de Volkslectuur (Komisi
untuk Bacaan Rakyat) melalui Surat Ketetapan
Gubernemen tanggal 14 September 1908 yang
bertugas:
mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita
rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di
kalangan rakyat, serta menerbitkannya dalam bahasa
Melayu setelah diubah dan disempurnakan;
menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa;
menerima karangan pengarang-pengarang muda
yang isinya sesuai dengan keadaan hidup di
sekitarnya.
15. Tahun 1933 terbit majalah Pujangga Baru yang
diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir
Hamzah, dan Armijn Pane. Pengasuh majalah ini
adalah sastrawan yang banyak memberi
sumbangan terhadap perkembangan bahasa dan
sastra Indonesia. Pada masa Pujangga Baru ini
bahasa yang digunakan untuk menulis karya sastra
adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh
masyarakat dan tidak lagi dengan batasan-batasan
yang pernah dilakukan oleh Balai Pustaka.
16. Tahun 1938, dalam rangka memperingati sepuluh tahun
Sumpah Pemuda, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia I
di Solo, Jawa Tengah. Kongres ini dihadiri oleh bahasawan
dan budayawan terkemuka pada saat itu, seperti Prof. Dr.
Hoesein Djajadiningrat, Prof. Dr. Poerbatjaraka, dan Ki Hajar
Dewantara. Dalam kongres tersebut dihasilkan beberapa
keputusan yang sangat besar artinya bagi pertumbuhan dan
perkembangan bahasa Indonesia. Keputusan tersebut, antara
lain:
◦ mengganti Ejaan van Ophuysen,
◦ mendirikan Institut Bahasa Indonesia, dan
◦ menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar
dalam Badan Perwakilan.
17. Tahun 1942-1945 (masa pendudukan Jepang),
Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda yang
dianggapnya sebagai bahasa musuh. Penguasa
Jepang terpaksa menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi untuk kepentingan
penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan
sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan,
sebab bahasa Jepang belum banyak dimengerti
oleh bangsa Indonesia. Hal yang demikian
menyebabkan bahasa Indonesia mempunyai peran
yang semakin penting.
18. 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia
dinyatakan secara resmi sebagai bahasa
negara sesuai dengan bunyi UUD 1945, Bab
XV pasal 36: Bahasa negara adalah bahasa
Indonesia.
19. 19 Maret 1947 (SK No. 264/Bhg. A/47)
Menteri Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan Mr. Soewandi meresmikan Ejaan
Republik sebagai penyempurnaan atas ejaan
sebelumnya. Ejaan Republik ini juga dikenal
dengan sebutan Ejaan Soewandi.
20. Tahun 1948 terbentuk sebuah lembaga yang
menangani pembinaan bahasa dengan nama
Balai Bahasa. Lembaga ini, pada tahun 1968,
diubah namanya menjadi Lembaga Bahasa
Nasional dan pada tahun 1972 diubah
menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa yang selanjutnya lebih dikenal dengan
sebutan Pusat Bahasa.
21. 28 Oktober s.d. 1 November 1954
terselenggara Kongres Bahasa Indonesia II di
Medan, Sumatera Utara. Kongres ini
terselenggara atas prakarsa Menteri
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, Mr.
Mohammad Yamin.
22. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57
tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang
berlaku mulai 17 Agustus 1972, yang
dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
dan Tap.MPR No. 2/1972
23. 25 s.d. 28 Februari 1975 di Jakarta
diselenggarakan Seminar Politik Bahasa Indonesia.
Tahun 1978, bulan November, di Jakarta
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III.
Tanggal 21 s.d. 26 November 1983 berlangsung
Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta.
Tanggal 27 Oktober s.d. 3 November 1988
berlangsung Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta.
Tanggal 28 Oktober – 2 November 1993
berlangsung Kongres Bahasa Indonesia VI di
Jakarta.
24. Sebenarnya ada usaha-usaha bersama dari
pemerintah Republik Indonesia dan
pemerintah Diraja Malaysia untuk
mengadakan satu ejaan dengan mengingat
antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu
yang dipergunakan sebagai bahasa resmi
pemerintah Diraja Malaysia masih satu
rumpun atau memiliki kesamaan. Usaha itu
antara lain pemufakatan ejaan Melindo
(Melayu-Indonesia), namun usaha ini
akhirnya kandas karena situasi politik
antara Indonesia dan Malaysia yang sempat
memanas pada tahun 1963.