1. JOURNAL READING
Herpetic uveitis caused by herpes simplex
virus after cataract surgery in a patient
without prior viral keratitis or uveitis: a case
report
Adzkia Zahidah
212011101090
Pembimbing: dr. Erwanda Fredy, Sp.M
KSM ILMU KESEHATAN MATA
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2022
3. Inflamasi intraokular pascaoperasi katarak ketidaknyamanan,
pemulihan yang tertunda, dan pengurangan ketajaman visual.
Invasi bakteri/jamur selama proses operasi katarak
endophthalmitis.
Tingkat kekambuhan herpes zoster setelah dilakukan operasi
katarak dengan teknik fakoemulsifikasi sering dilaporkan terjadi
pada mata dengan riwayat keratitis dan/atau uveitis akibat
herpes zoster sebelumnya.
Latar Belakang
4. Melaporkan kasus uveitis herpes yang disebabkan
oleh virus herpes simpleks setelah operasi katarak
pada pasien tanpa riwayat keratitis virus atau uveitis
sebelumnya.
Tujuan
5. • Desain studi: Deskriptif (Case report)
• Waktu : 2 Agustus 2021
• Tempat: Rumah Sakit Beijing Tongren, China
Metodologi
6. Seorang wanita berusia 70 tahun dirujuk ke rumah sakit beijing tongren dengan keluhan
mata kanan kabur dan kemerahan sejak 1 bulan terakhir. Pasien menjalani prosedur operasi
katarak fakoemulsifikasi dan implantasi lensa intraokular di mata kanan.
• Pada 1 hari pasca operasi, ketajaman visual pada mata kanan pasien yaitu 20/20.
• Pada hari ke 10 pasca operasi, pasien mengeluh penglihatan kabur secara tiba-tiba, nyeri,
dan kemerahan. Tekanan Intraokular (IOP) pada mata kanan yaitu 35 mmHg, terdapat
hiperemi konjungtiva, dan edema kornea. Pasien menerima obat tetes prednisolon asetat
dan brimonidin untuk mata kanan.
• Pada hari ke 17 pasca operasi, ketajaman visual pada mata kanan adalah 20/33 dengan TIO 11
mmHg, dan pasien diberi injeksi triamcinolone acetonide.
• Pada hari ke 26 pasca operasi, ketajaman visual di mata kanan berkurang menjadi 20/333
dengan TIO 7 mmHg.
• Pada hari ke 27 pasca operasi, pasien diberi injeksi vankomisin intravitreal di mata kanan.
• Pada hari ke 34 pasca operasi, terjadi eksudasi fibrin di bilik mata kanan dan dirujuk ke klinik
dengan ketajaman visual yang masih menurun.
Pasien tidak memiliki riwayat keratitis herpes atau uveitis anterior sebelumnya.
Laporan kasus
7. Pada pemeriksaan awal, ketajaman visual pada OD 20/400 dan OS 20/20 dengan TIO OD 8
mmHg dan TIO OS 15 mmHg. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan menunjukkan adanya
kongesti konjungtiva, edema kornea, endapan keratik berpigmen, sel 1+ di bilik anterior, sinekia
posterior, fibrin berpigmen yang menempel pada permukaan anterior lensa intraokular, serta
perdarahan pada iris.
Hasil kultur bakteri dan jamur dari biopsi vitreous mata kanan yaitu negatif. Next-generation
sequencing analysis untuk HSV pada aqueous humor mata kanan hasilnya positif. Diagnosis
uveitis herpetik pada mata kanan didasarkan pada manifestasi klinis dan hasil tes diagnostik dari
cairan intraokular. Pasien diberi injeksi gansiklovir intravitreal dan mendapat valasiklovir oral
selama dua bulan. Tiga bulan setelah mendapat terapi antivirus, ketajaman visual pada mata kanan
pasien meningkat menjadi 20/33, peradangan di bilik mata depan dan badan vitreous telah hilang.
Laporan kasus
8. Perdarahan pada iris (Gbr. 1A dan B).
Pemeriksaan retina menunjukkan
adanya opasitas vitreous padat (Gbr.
1C) tetapi tidak ada lesi nekrotik pada
retina atau lesi fokal di mata kanan
(Gbr. 1D). Hasil segmen anterior dan
pemeriksaan retina mata kiri tidak
terdapat apa-apa. Ultrasonografi
okular menunjukkan adanya opasitas
vitreous padat di mata kanan (Gbr.
1E).
9. OCT pada mata kanan
menunjukkan bahwa area
macula menempel (Gbr. 1F).
Peradangan di bilik mata
depan dan badan vitreous telah
hilang (Gbr. 1G-I).
10. • Herpes zoster oftalmikus (HZO) disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang mempengaruhi
bagian oftalmik dari saraf trigeminal. Keterlibatan okular pada pasien HZO dilaporkan terjadi sebanyak 30% -78%,
dengan manifestasi berupa adanya konjungtivitis, keratitis, uveitis, serta trabekulitis. Terdapat kemungkinan
terjadinya kekambuhan kerato-uveitis setelah dilakukannya operasi katarak pada pasien dengan riwayat HZO
sebelumnya.
• Durasi antara operasi katarak dan kekambuhan HZO biasanya cukup lama. Lu dkk. melaporkan bahwa
kekambuhan HZO sebagian besar terjadi dalam 2 tahun pertama setelah dilakukannya operasi katarak.
• Dalam kasus ini, diagnosis uveitis herpetik dikonfirmasi oleh next-generation sequencing analysis dan uji PCR
dari aqueous humor.
• Pasien memiliki respon yang baik terhadap terapi antivirus yang diberikan.
• Pada laporan kasus ini, didapatkan informasi bahwa aktivasi atau reaktivasi virus dianggap sebagai penyebab
potensial dari inflamasi intraokular setelah dilakukannya operasi katarak.
Hasil diskusi
11. • Beberapa efek lokal seperti adanya paparan sinar ultraviolet, penggunaan laser excimer,
pemberian timolol, latanoprost, epinefrin, dan kortikosteroid adalah faktor risiko kekambuhan
keratitis herpes.
• Laser iridotomi perifer juga merupakan faktor risiko terjadinya reaktivasi uveitis herpes
anterior. Riset menunjukkan bahwa sitokin pro-inflamasi dilepaskan setelah dilakukannya laser
iridotomi dan kemungkinan berperan dalam patogenesis terjadinya rekurensi uveitis herpetik.
• Operasi katarak fakoemulsifikasi dapat memicu peradangan non-infeksius pada mata oleh
karena kerusakan jaringan yang tidak dapat dihindari.
• Kekambuhan lebih besar terjadi pada penderita HSV di tahun pertama setelah operasi katarak
pada pasien dengan riwayat keratitis HSV dan/atau uveitis anterior.
Hasil diskusi
12. • Uveitis herpes anterior ditandai dengan atrofi iris, peningkatan TIO akut, sebaran presipitat keratik, pelebaran
pupil terdistorsi, dan keterlibatan kornea.
• Peningkatan TIO adalah komplikasi okular yang paling umum pada pasien dengan uveitis anterior herpes
(75%), keratitis (59%), sinekia posterior (34%), katarak (32%), dan glaukoma (15%).
• Endoftalmitis pasca operasi onset akut didefinisikan sebagai endophthalmitis yang terjadi 30 hari setelah
prosedur pembedahan pada pasien katarak. Durasi rata-rata antara operasi katarak dan diagnosis endophthalmitis
dalam kasus ini adalah 8 hari.
• Faktor risiko endoftalmitis setelah operasi katarak yaitu usia lanjut, status imunokompromis, adanya fokus
septik di area mata, kerusakan kapsul posterior, serta adanya luka terbuka. Endoftalmitis pascaoperasi ditandai
dengan inflamasi berat pada anterior chamber dan opasitas padat pada vitreous.
• Dalam beberapa tahun terakhir, teknik diagnostik molekuler untuk cairan intraokular telah digunakan sebagai
prosedur tambahan dalam mendiagnosis endoftalmitis dan uveitis virus.
Hasil diskusi
13. • Teknik diagnostik melibatkan metode seperti PCR dan next-generation sequencing. PCR menjadi alat yang
cukup baik dalam mendiagnosis infeksi intraokular.
• Dalam kasus ini, diagnosis endophthalmitis masih harus dipertimbangkan oleh karena tidak terdapat infeksi
bakteri dan/atau jamur dari hasil kultur pada kedua vitreus dan test next generation sequencing dari aqueous
humor.
• Peradangan non-infeksi pasca operasi katarak dapat diakibatkan “surgery attacks”.
Hasil diskusi
14. •Reaktivasi virus herpes dapat terjadi setelah dilakukannya operasi intraokular pada pasien
tanpa riwayat penyakit virus pada mata sebelumnya, reaktivasi ini menginduksi inflamasi
atipikal intraokular pascaoperasi katarak.
•Aktivasi HSV dapat memperburuk peradangan pasca operasi katarak pada anterior chamber
dan badan vitreous, yang gambaran klinisnya menyerupai endoftalmitis.
•Operasi katarak fakoemulsifikasi dapat memicu peradangan pada mata
•Studi ini juga menyoroti pentingnya memonitoring kondisi klinis pasien post OP katarak
•Studi ini juga menyoroti pentingnya menskrining kondisi klinis pasien pre OP katarak, riwayat
penyakit yang dialami serta pengobatan yang telah dijalani
•Pengamatan ini mungkin dapat membantu dalam mendiagnosis dan mencegah kemungkinan
adanya komplikasi yang terjadi setelah dilakukannya operasi katarak.
Kesimpulan