SlideShare a Scribd company logo
1 of 14
Download to read offline
Page 1 of 14


                         WORKING PAPER
    INISIATIF DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN PROGRAM JAMINAN
                KESEHATAN: POLA DAN PEMBELAJARAN
                                     Oleh : Chitra Retna S & Ermy Ardhyanti


I. Latar Belakang
Penganut system Negara kesejahteraan (welfare state) memaknai sistem jaminan sosial
sebagai kewajiban Negara dan bukti eksistensi Negara. Sistem jaminan sosial menurut Bank
Dunia dan ILO1 haruslah meliputi 3 lapis, yaitu : (1) bantuan sosial (social assistance), (2)
asuransi sosial dan (3) jaminan sosial sukarela (voluntary).
Sejarah sistem jaminan sosial di Indonesia dimulai pada Repelita 1974-1979 dengan
perluasan dan peningkatan distribusi jaminan sosial. TASPEN, dana pensiun bagi PNS secara
hukum diberlakukan tahun 1969. Tahun1971 diadakan sistem asuransi untuk buruh swasta
formal, ASTEK (Asuransi Tenaga Kerja) yang berubah menjadi JAMSOSTEK (Jaminan Social
Tenaga Kerja) pada tahun 1992. Sistem Jaminan Social kemudian berkembang ke sector
kesehatan dengan ASKES dan jaminan untuk ABRI (sekarang TNI). Fokus sistem jaminan
sosial masih pada Pegawai Negeri Sipil (PNS), buruh swasta formal dan anggota ABRI (TNI).
Sistem ini membiayai 15 juta dari 100 juta angkatan kerja, dari lebih dari 200 juta penduduk
Indonesia.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dalam perspektif hak pula, Hal ini
sesuai dengan mandat yang dituangkan dalam Deklarasi PBB tentang HAM (1948), dan salah
satu turunannya berupa Kovenan Ekosob yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2005
yaitu UU No. 11 tahun 20052 memuat hak-hak warga yaitu : (1) hak atas jaminan sosial,
termasuk asuransi sosial (Pasal 9), (2) hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11),
(3) hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat


1   Negara Tanpa Jaminan Sosial; Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia, Michael Raper, TURC 2006
Bantuan social berfungsi sebagai jarring pengaman (safety net) untuk semua warga Negara, murni berasal dari penerimaan pajak
yang diatur oleh negara. Sedangkan asuransi social yang berasal dari kontribusi warga dikelola oleh swasta. Jaminan social
sukarela biasanya dalam bentuk tunjangan pensiun yang diadakan warga dengan insentif dari Pemerintah

2Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya), Indonesia meratifikasi pada Oktober 2005
Page 2 of 14


dicapai (Pasal 12). Sebagai Negara Pihak dalam Kovenan, hak warga Negara menjadi
kewajiban bagi Negara untuk mewujudkannya.
Dalam konteks sistem jaminan sosial, Indonesia sejak kemerdekaannya tahun 1945 belum
pernah menerapkannya secara universal. Penyediaan jaminan kesehatan terdapat 3 program
asuransi :

       1. Jamsostek : asuransi kesehatan untuk buruh swasta formal, melayani 1,5% penduduk
            Indonesia.

       2. Askes : asuransi kesehatan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pensiunan PNS
            serta anggota TNI dan keluarganya, meleyani 8% penduduk

       3. JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) : dimulai tahun 2007, melayani
            1,9% dari jumlah penduduk

Tanggal 28 September 2004 DPR mengesahkan UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) yang menjadi system jaminan yang lebih komprehensif, terdiri dari
dana pensiun, dana kematian, cacat akibat kecelakaan kerja dan dana kesehatan.



Desentralisasi dan Penanganan Urusan Kesehatan

Dalam UU No.22/1999 j.o UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembagian
kewenangan untuk Pemerintah Kabupaten/Kota3 disebutkan dalam pasal 14 ayat (e)
penanganan bidang kesehatan. Dalam Permendagri No.13/2006 j.o Permendagri No.59/2007
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa kesehatan merupakan
salah satu urusan wajib dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Pula, sebagai salah satu sektor
pelayanan dasar selain sektor pendidikan. Sistem jaminan kesehatan, sebagai kebijakan yang
sangat erat terkait dengan pengentasan kemiskinan, merupakan salah satu agenda prioritas


3   Dijelaskan dalam pasal 14 UU No.32 tahun 2004 dijelaskan tentang
        a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan
        b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
        c. Penyelelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
        d. Penyediaan sarana dan prasarana umum
        e. Penanganan bidang kesehatan
       f.   Penyelenggaraan pendidikan
       g.   Penanggulangan masalah social
       h.   Pelayanan bidang ketenagakerjaan
       i.   Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
       j.   Pengendalian lingkungan hidup
       k.   Pelayanan pertanahan
       l.   Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
Page 3 of 14


pemerintah.

Bagi Pemerintah Daerah, sektor kesehatan bermakna 2 hal, pertama, sebagai non profit
oriented yaitu sektor yang menjadi sektor yang bersifat pelayanan dasar dan merupakan
kewajiban Pemda dalam menyediakan pelayanan, kedua adalah sebagai revenue center atau
pusat pendapatan. Di hampir semua daerah, kontribusi PAD dari sektor retribusi kesehatan
berada dalam peringkat pertama (meliputi Retribusi Puskesmas, RSUD dll). Regulasi daerah
yang diperkenankan oleh UU No.32 tahun 2004 juga berimbas pada kewenangan
menentukan aturan yang berkaitan dengan upaya yang terkadang saling bertolak belakang.
Misalnya kebijakan kesehatan gratis di satu sisi dan mempertahankan/dan atau
meningkatkan PAD. 4

Pergulatan regulasi di tingkat Pusat pun mengakibatkan variatifnya bentuk penanganan
kesehatan (terutama untuk masyarakat miskin). Sebagai sistem yang masih sangat prematur,
sistem ini dihadapkan pula pada era dimana desentralisasi sedang mencari bentuk. Disatu sisi
terdapat begitu banyak inovasi daerah yang sangat kaya akan pelajaran. Akan tetapi disisi
lain, terdapat berbagai pertanyaan mendasar yang sangat mempengaruhi orientasi dan
proses pematangan sistem tsb, khususnya terkait peran pusat dan daerah. Sejauh mana
daerah-daerah telah mengembangkan sistem jaminan kesehatan daerah, dan apa faktor-
faktor yang mempengaruhi perbedaan perkembangan tsb? Apa permasalahan mendasar
yang dihadapi daerah saat ini?


Kertas kerja ini bertujuan memotret berbagai pola jamkesda yang saat ini dipraktekkan di 7
daerah studi, faktor-faktor yang mempengaruhi, serta mengangkat persoalan-persoalan
mendasar yang dihadapi daerah. Analisa dilakukan dengan melihat sejauh mana aspek-aspek
penting dari sistem, seperti: orientasi sistem, kepesertaan, cakupan layanan, kelembagaan,
dan pembiayaan, dilihat dari sudut pandang asuransi sosial, dan posisinya terhadap program
yang dikembangkan pemerintah pusat (Jamkesmas).


Ke-7 daerah yang merupakan wilayah studi adalah: kota Solo, kota Jogjakarta, kabupaten
Purbalingga, kota Semarang, kabupaten Kendal, kabupaten Magelang, dan kota Pekalongan.
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, meliputi analisis isi atas berbagai dokumen

   4
     Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah penyumbang PAD terbesar (31,41% dari total PAD RAPBD 2008
   Kabupaten Magelang). Mengalami kenaikan signifikan (sebesar 44,67%) dari Rp. 15,2 M di tahun 2007 menjadi
   Rp. 21,9 M.
Page 4 of 14


terkait, wawancara mendalam, FGD (regional workshop) serta expert meeting sebagai upaya
triangulasi dan penajaman. Studi dilakukan selama 4 bulan, sejak Januari s/d April 2009.


Kotak 1: Profil Daerah


Ke-7 wilayah studi merupakan daerah sedang dengan penduduk antara 400.000 sampai
700.000 jiwa, kecuali Purbalingga & Semarang yang memiliki penduduk diatas 1 juta jiwa.
Proporsi penduduk miskin berkisar antara 17% sampai dengan 35%. Capaian IPM relatif
merata, antara 72 sampai dengan 77.
Kapasitas fiskal rata-rata sedang, dilihat dari besaran APBD tahunan yang berkisar antara 600
milyar dan 800 milyar, kecuali Semarang yang berjumlah diatas 1 trilyun.
Solo, Jogjakarta, Purbalingga dan Pekalongan memiliki kepala daerah yang sering
dikategorikan 'champion' atau inovator, dan termasuk daerah-daerah pertama yang
menyelenggarakan pilkada secara langsung.




III. Perbandingan Pola: Inovatif, Pemula dan Pra-Jamkesda


Perbandingan dan analisa sistem yang dikembangkan ke-7 daerah difokuskan pada tiga
aspek penting, yaitu: prinsip dan orientasi sistem, kelembagaan, dan pembiayaan. Prinsip dan
orientasi sistem menyangkut cakupan kepesertaan, cakupan layanan, dan mekanisme
pelayanan. Kelembagaan menyangkut dasar hukum dan institusi pengelolaan. Sedangkan
pembiayaan menyangkut besaran, sumber, dan aturan main yang berlaku.


Berdasarkan perbandingan dan analisa atas aspek-aspek diatas, ditemukan adanya 3 pola
atau kelompok daerah, yaitu: (I) Kelompok Jamkesda Inovatif (ii) Kelompok Jamkesda Pemula,
dan (iii) Kelompok Pra-Jamkesda (Komplementer Jamkesmas)


Kelompok Jamkesda Inovatif
Tiga daerah, yaitu Purbalingga, Solo dan Jogjakarta, adalah kelompok daerah yang telah
memiliki sistem Jamkesda relatif inovatif, yaitu program yang tidak hanya melengkapi
program Jamkesmas dari Pemerintah Pusat namun mengembangkan varian yang memiliki
ketercakupan lebih universal (tidak hanya masyarakat miskin) dengan kata lain menjadi
Page 5 of 14


sistem jaminan kesehatan yang lebih maju dibandingkan program Jamkesmas (pusat).


Kelompok Jamkesda Pemula
Dua daerah, yaitu Semarang dan Kendal, dikategorikan Kelompok Jamkesda Pemula karena
ke-2 daerah ini telah mulai mengembangkan program Jamkesda, walau saat ini masih
bersifat melengkapi program Jamkesmas (komplementer). Ditujukan untuk pembiayaan
kuratif bagi masyarakat miskin yang tidak tercakup dalam kuota Jamkesmas. Masing-masing
dibiayai oleh APBD dengan system “fee for service” pada pelayanan Puskesmas dan Kelas III
RSUD untuk Rawat Inap.


Kelompok Pra-Jamkesda
Dua daerah lainnya, yaitu Magelang dan Pekalongam, mirip dengan kelompok kedua, tetapi
saat ini baru sampai pada tahap inisiatif untuk mengalokasikan APBD sebagai tambahan bagi
Jamkesmas, belum sampai tahap merancang skema jaminan kesehatan daerah.


Dibawah ini disajikan perbandingan dan analisa atas beberapa aspek kritis, yang
menunjukkan adanya ketiga pola diatas. Detil informasi disajikan pada Lampiran 1.


Bentuk dan  Kelompok Jamkesda Inovatif, telah mendesain dan melaksanakan program jaminan
dasar hukum
            kesehatan daerah dengan nama spesifik, yaitu: Jamkesda untuk Jogjakarta, PKMS untuk
               Solo, dan JPKM untuk Purbalingga. Daerah-daerah ini juga telah mengukuhkan
               programnya melalui aturan hukum yang mengikat, yaitu Perda (kecuali Jogjakarta,
               berupa Perwal). Aturan hukum tsb menjamin kontinuitas program walaupun kelak
               terjadi pergantian kepala daerah ataupun birokrasi.


               Kelompok Jamkesda Pemula, telah menggunakan tajuk jaminan kesehatan daerah
               bagi programnya, yaitu: Jamkesmaskot untuk Semarang, dan Jamkesmasda untuk
               Kendal. Walaupun demikian, program ini masih didesain untuk mengikuti pola
               Jamkesmas, yaitu hanya untuk kelompok miskin, tetapi dengan cakupan yang lebih luas
               (menambah kuota untuk maskin ataupun tambahan perawatan yang tidak tercakup
               dalam Jamkesmas). Anggaran daerah yang dialokasikan relatif besar (6 – 9 milyar).
               Aturan hukum yang memayungi masih berupa Perbub dan Perwal. Sebenarnya
               Semarang juga telah membuat Perda, akan tetapi hanya berisi jaminan pembebasan
Page 6 of 14



               biaya puskesmas dan biaya rawat inap RS kls III, bukan berupa model lengkap
               Jamkesda.


               Kelompok Pra-Jamkesda, belum menggunakana tajuk Jamkesda dan masih berupa
               program, walaupun telah mulai mewacanakan perlunya membangun Jamkesda. Sama
               seperti kelompok pemula, program ini masih didesain untuk mengikuti pola
               Jamkesmas, yaitu hanya untuk kelompok miskin (non-jamkesmas), tetapi dengan
               cakupan tambahan (peserta maupun layanan) yang lebih kecil dibanding kelompok
               pemula. Anggaran daerah yang dialokasikan pun masih relatif kecil (< 1 milyar). Fokus
               utama program adalah meng-cover kelompok miskin yang tidak termasuk dalam kuota
               Jamkesmas, atau membiayai perawatan tertentu yang tidak termasuk dalam paket
               Jamkesmas. Payung hukum yang dipakai masih berupa Perbub.

Orientasi,     Kelompok Jamkesda Inovatif sejak awal telah dirancang untuk tidak hanya
kepesertaan,
               melengkapi Jamkesmas (Pusat), tetapi juga bergerak lebih jauh dalam rangka
dan layanan
               menyediakan jaminan kesehatan bagi seluruh warganya (universal). Bila Jamkesmas
               hanya meliputi kelompok miskin, maka kelompok daerah ini telah memperluas
               cakupan kepesertaan mencakup kelompok miskin dan non-miskin. Kelompok maskin
               yang dicakup adalah maskin non-Jamkesmas, yaitu kelompok miskin yang tidak
               tercakup dalam kuota Jamkesmas. Perluasan kepesertaan Ini sesuai dengan cita-cita
               ketiga daerah untuk memiliki jaminan kesehatan yang universal, atau mencakup semua
               penduduk. Purbalingga bahkan telah memulai menyusun Perda mengenai kepesertaan
               wajib (mandatory), yang saat ini masih pada tahap konsultasi (khususnya dengan
               pemerintah pusat). Selain itu Purbalingga menciptakan sistem pendataan dan verifikasi
               lapangan yang melibatkan kader-kader dari Bapel (Badan Pelaksana) di tiap desa,
               sehingga menjamin akurasi data.


               Kelompok Jamkesda Pemula dan Kelompok Pra-Jamkesda menjadikan maskin-non-
               jamkesmas sebagai target peserta program, karena masih banyak kelompok miskin
               yang tidak tercakup dalam kuota Jamkesmas (ditentukan oleh pusat berdasarkan
               masukan kabupaten). Data yang digunakan untuk menentukan kepesertaan adalah data
               pemda sendiri. Selain itu beberapa daerah menggunakan verifikasi tambahan, bahkan
               hingga ke lapangan, untuk menentukan kepesertaan.
Page 7 of 14



Cakupan      Ketiga kelompok daerah ini pada dasarnya memberikan pelayanan (jenis perawatan,
Layanan
             obat, yang ditanggung program) yang, walau disana sini ada perbedaan, tidak berbeda
             terlalu jauh dengan Jamkesmas. Inovasi menarik terdapat di Solo, dimana layanan
             kesehatan peserta Gold (maskin) justru lebih banyak dibandingkan peserta Silver (non-
             maskin). Ini muncul dari pemikiran bahwa kelompok maskin justru harus menjadi
             prioritas dan bukannya kelompok tersisih, sehingga bahkan penamaan kartu-pun
             dibuat memprioritaskan maskin.

Kelembagaan Kelompok Jamkesda Inovatif menggunakan dua pilihan institusi, yaitu UPT (berada
             dibawah Dinas, Jogja dan Solo), dan Bapel (Purbalingga). UPT menjadi pilihan karena
             'aman' dari sisi hukum, walaupun mulai dirasakan ruang geraknya kurang untuk
             mengembangkan sistem Jamkesda selanjutnya. Purbalingga memilih Bapel, karena
             lembaga ini sudah digunakan sejak pilot project JPKM (2002), dan dianggap institusi
             yang tepat menjalankan fungsi Jamkesda-nya yang sudah berkembang.


             Kelompok Jamkesda Pemula dan Kelompok Pra-Jamkesda belum memiliki
             kelembagaan khusus untuk menjalankan programnya, karena masih berupa program
             didalam Dinas Kesehatan.

Sumber       Kelompok Jamkesda Inovatif menunjukkan variasi pembiayaan (dari APBD) yang
Pembiayaan
             menarik. Jogja dan Solo, menunjukkan trend anggaran yang terus meningkat, bahkan
             Solo memulai dengan anggaran yang sudah fantastik besarnya (16,5 milyar). Sebaliknya
             Purbalingga, karena model sistemnya yang mengiur, relatif stabil, hanya sampai kisaran
             2,8 M (2008). Selain itu di Purbalingga, anggaran yang berasal dari iuran (non-maskin
             dan paska maskin) menjadi lebih dominan sebagai sumber pembiayaan dibanding
             subsidi APBD.


             Kelompok Jamkesda Pemula mengalokasikan anggaran yang relatif besar, bahkan
             anggaran Semarang lebih besar dari Kelompok Inovatif (9 milyar). Semua anggaran
             terserap untuk pembayaran pelayanan kelompok miskin.


             Kelompok Pra-Jamkesda mengalokasikan anggaran relatif kecil, berkisar antara 720 –
             750 juta (2008).

Mekanisme    Ketiga kelompok daerah ini pada dasarnya tidak menunjukkan perbedaan variasi dari
Page 8 of 14



Pembayaran     sisi mekanisme pembayaran, dibandingkan pola Jamkesmas, yaitu menggunakan
               prinsip fee for service (dimana pembayaran didasarkan pelayanan yang diberikan)
               untuk PPK II (RS) dan kapitasi untuk PPK I (Puskesmas). Belum ada satu daerahpun
               yang menerapkan sistem managed care (pembayaran diberikan dan dikelola oleh
               pemberi layanan, RS/Puskesmas).
               Dari sisi pembayaran ke unit pelayanan, hampir semua memiliki pola yang sama
               dengan Jamkesmas, yaitu pembayaran dilakukan oleh Dinas Kesehatan langsung ke PPK
               I dan PPK II. Kecuali Jogja yang masih melakukan pola reimbursing, yaitu pasien
               membayar dulu biaya untuk kemudian diganti (klaim) oleh Dinas. Ini membuat beban
               bagi pasien.
               Contoh menarik juga dilakukan Purbalingga, yang berani memakai sistem kapitasi baik
               untuk PPK I (puskesmas) maupun PPK II. Premi yang dibayar peserta dibagikan
               dengan pembagian: puskesmas (37.000), puskesmas ranap (5.300), RSUD (47.700)
               dan Bapel (10.000).




IV. Faktor Berpengaruh, Tantangan dan Masalah


Mencermati dinamika perkembangan sistem jaminan kesehatan daerah diatas, pertanyaan
penting yang muncul adalah: faktor-faktor apa sebenarnya yang secara signifikan
mempengaruhi dinamika tersebut? Apa yang mendorong suatu daerah memilih
mengembangkan Jamkesda, bahkan jauh melebihi pusat, sementara daerah lain memilih
mengalokasikan sejumlah besar anggaran untuk membangun Rumah Sakit, misalnya,
ketimbang mengembangkan Jamkesda? Dibutuhkan satu penelitian lain yang lebih mendalam
untuk mengungkap faktor-faktor determinan tsb, tetapi hasil FGD dan analisa mendalam
dengan stakeholder terkait menunjukan beberapa bukti awal yang menarik.


Pertama, komitmen dan inovasi kepala daerah.


Empat kepala daerah dari ke-7 daerah tsb dikenal sebagai seorang 'champion', atau kepala
daerah yang inovatif dan berani, yaitu Solo, Jogjakarta, Purbalingga dan Pekalongan. Kepala
daerah hasil pemilihan langsung di empat daerah ini dikenal memiliki komitmen tinggi,
wawasan yang luas, dan berani mengambil langkah inovatif walaupun menghadapi banyak
Page 9 of 14


kendala. Walaupun demikian, kasus Pekalongan menjadi sebuah pertanyaan tersendiri,
mengingat Pekalongan memilih menganggarkan puluhan milyar selama tiga tahun terakhir
untuk membangun Rumah Sakit Daerah dibanding mengembangkan Jamkesda yang inovatif.


Pilihan terhadap pembiayaan kesehatan yang dilakukan Purbalingga dengan JPKM pun
beresiko dari sisi regulasi, yaitu substansi dari JPKM sebagai pra-asuransi yang akan
bertabrakan dengan UU Asuransi. Namun, resiko tersebut tak membuat Bupati Purbalingga
menghentikan program JPKM. Pilihan bentuk kelembagaan juga yang membuat beberapa
daerah misalnya Yogya, Solo memilih UPT, sedang yang lain seperti Magelang, Kendal, Kota
Semarang, berada dalam tubuh Dinas Kesehatan.
Kelemahan factor komitmen ini adalah persoalan sustainabilitas program. Pada saat
pergantian kepemimpinan akan berakhir pula komitmen. Akan lebih baik bila komitmen
dilanjutkan dengan regulasi yang lebih mengikat secara administratif dan hukum (misalnya di
dalam Perda).


Kedua, dukungan legislatif yang memadai.


Dukungan kuat dari legislatif atas ide Jamkesda memang terjadi di kelompok pertama, yaitu
Solo, Jogjakarta dan Purbalingga. Walaupun di Solo sempat terjadi perdebatan cukup panas
sebelum PKMS diluncurkan di Solo, tetapi isu perdebatan lebih mengenai besaran premi.
Walikota Solo menginginkan seluruh biaya disubsidi APBD, tetapi dewan berkukuh harus ada
iuran peserta, yang akhirnya diterima walau jumlahnya sangat kecil untuk disebut sebagai
premi. Di Purbalingga, dukungan meluas secara mudah dicapai karena telah adanya proyek
JPKM sejak 2002.
Dukungan legislative ini erat kaitannya dengan factor politik, yaitu relasi antara legislator
dengan konstituen maupun dengan masyarakat secara umum. Elektabilitas seorang calon
legislator juga akan ditentukan oleh isu populis yang diperjuangkan, dalam hal ini, kesehatan
gratis adalah menu yang sangat mudah dijumpai dalam janji caleg karena menyangkut
kepentingan seluruh rakyat. Jadi, mewujudkan kesehatan gratis, selain komitmen moral, juga
akan menjadi salah satu investasi politik di masa depan.


Ketiga, kuatnya tuntutan civil society.


Adanya civil society yang matang ditemui di dua daerah, yaitu Solo dan Jogjakarta. Semenjak
desentralisasi, dorongan dari kalangan masyarakat sipil di Kota Solo dan Yogyakarta untuk
Page 10 of 14


penyelenggaraan kesehatan gratis dan berkualitas sangat kuat. Faktor dinamisasi masyarakat
sipil banyak terlihat pada wilayah berbentuk Kota, dimana banyak kelompok penekan yang
tumbuh (akademisi, mahasiswa, wartawan, LSM, Ormas), sehingga control terhadap
Pemerintahan kuat dan perubahan terhadap kebijakan lebih cepat terjadi. Untuk
Purbalingga, sebagai daerah dengan inovasi paling depan, tampaknya lebih didorong oleh
pengaruh pilot project JPKM dibandingkan pengaruh tuntutan civil society.


Selain ketiga faktor diatas, terdapat beberapa masalah mendasar yang dihadapi daerah dalam
mengembangkan Jamkesda.


Pertama, ketidakjelasan lembaga pelaksana.


Daerah Kelompok Jamkesda Inovatif adalah daerah yang berani menabrak atau mengambil
langkah ditengah ketidakjelasan pemerintah pusat atas desain besar jaminan kesehatan
Indonesia, khususnya menyangkut dasar hukum institusi pelaksana. Di tengah perdebatan
besar mengenai bagaimana bentuk BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial), Purbalingga
berani tetap mempertahankan bentuk Bapel. Hal ini khususnya didorong oleh 'kemenangan'
atas Judicial Review UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang mencabut pasal mengenai
dominasi PT Askes sebagai satu-satunya institusi pelaksana. Saat ini langkah lain yang juga
menjadi tonggak bagi percobaan daerah, adalah upaya Purbalingga untuk membuat Perda
mengenai aturan wajib kepesertaan bagi seluruh penduduk (mandatory).


Kedua, masalah portabilitas.


Isu portabilitas menyangkut bagaimana pelayanan diakses oleh warga yang bukan penduduk
resmi suatu daerah. Berbeda-bedanya cakupan dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh
Jamkesda masing-masing daerah, dan aturan yang mengharuskan pelayanan hanya diberikan
pada penduduk resmi daerah tsb, menyebabkan sejumlah pihak menganggap jaminan
kesehatan sebaiknya dilakukan secara sentralistik. Isu ini merupakan ganjalan besar bagi
inovasi yang dilakukan daerah-daerah, dan hingga kini belum terpecahkan.
Misal Kota Semarang, dalam Perwal disyaratkan bahwa yang dapat mengakses Jamkesda adalah
yang ber-KK dan berdomisili di Kota Semarang. Alasannya adalah untuk mengontrol moral
hazard penduduk non-Semarang menyeberang untuk mendapatkan pelayanan gratis.
Bagi daerah yang berbentuk Kota (Solo, Yogya, Semarang), yang memiliki kompleksitas masalah
Page 11 of 14


perkotaan karena derasnya mobilitas antar daerah dan peboro akan sangat rentan bagi
pertumbuhan kemiskinan baru non-penduduk. Seperti fenomena gunung es yang akan
menimbulkan dampak pada pertumbuhan penyakit-penyakit khas (HIV/AIDS), masalah social
lainnya serta hukum (perdagangan manusia/human trafficking). Peran dari Provinsi adalah
salah satu rekomendasi dari isu portabilitas ini. Contohnya : Provinsi DI Jogjakarta memiliki
Jamkesos. Hal ini dapat mengatasi masalah portabilitas di level antar daerah (eksternalitas
regional). Perjanjian antar daerah (biasanya diwadahi dalam Kerjasama Antar Daerah) belum
menyentuh pada portabilitas pelayanan dasar. Padahal semua Warga Negara berhak mendapat
pelayanan kesehatan.


Ketiga, keberlanjutan dari sisi finansial.


Isu penting dari keberlanjutan inovasi daerah adalah isu finansial. Solo dan Semarang, adalah
dua contoh daerah yang dianggap 'sangat berani' mengalokasikan sejumlah besar anggaran
untuk membiayai program ini, khususnya Semarang yang sebenarnya cakupan pelayanan
belum seluas Solo, Jogjakarta atau Purbalingga. Di Solo sejumlah pihak khawatir dengan
'ketahanan' APBD ke depan, khususnya karena trend alokasi program ini pastinya terus
meningkat (seperti sinyalemen yang mungkin juga dialami oleh Jembrana). Ini karena nyaris
seluruh biaya disubsidi oleh pemerintah daerah, sementara sistem pembayaran yang masih
menggunakan pola 'fee for service' akan mengurangi kontrol biaya. Sebaliknya Purbalingga
merupakan contoh yang lebih baik, karena dukungan iuran warga membuat subsidi
pemerintah terhadap program terkontrol dan justru belakangan menurun.
Keberlanjutan dari sisi financial dipengaruhi pula oleh tren menurunnya Dana Perimbangan
(DAU), pada tahun anggaran 2009 dengan kenaikan gaji PNS sebesar 15%, namun DAU hanya
naik 7%. Padahal peruntukan DAU adalah untuk belanja tidak langsung yang sifatnya fix cost
seperti gaji pegawai. Resikonya adalah belanja langsung atau belanja pembangunan yang akan
dikurangi untuk menutupnya. Di lain pihak, komitmen menggratiskan kesehatan akan
menghilangkan sebagian besar PAD dalam bentuk retribusi pada sektor kesehatan.
Bila pembiayaan kesehatan menggantungkan pada APBD semata, pada kondisi dimana
terdapat external shock seperti turunnya DAU, akan menjadikan ketidakpastian pembiayaan
pada jangka panjang, karena tergantung pada bagaimana kondisi pada saat APBD ditetapkan.
Page 12 of 14


Keempat, kapasitas fiscal


Kapasitas fiscal berkaitan erat dengan kemampuan daerah dalam APBD serta kewajiban yang
harus ditanggung. Dalam beberapa daerah dengan kapasitas fiscal besar, sebagian besar
adalah daerah berbentuk Kota (Semarang, Solo, Yogyakarta), walaupun Kabupaten Kendal
juga mengalokasikan anggaran yang besar. Di daerah seperti Kabupaten Magelang, dengan
penduduk 1,3 juta dan APBD sejumlah 800-an M. Argumentasi rendahnya belanja langsung
adalah kewajiban daerah dalam menanggung dampak peraturan, seperti di PP No.72 yang
mengamatkan pe


V. Kesimpulan


Ditengah ketidakpastian mengenai desain dan aturan sistem jaminan kesehatan yang akan
diterapkan di Indonesia, beberapa daerah telah mulai mengembangkan inovasi yang
beragam. Disatu sisi, analisa diatas menunjukkan bahwa ketersediaan anggaran bukanlah
faktor determinan yang utama. Kapasitas fiskal daerah yang relatif sama, memunculkan
variasi model yang kaya ragamnya. Akan tetapi ketersediaan anggaran tanpa desain yang
matang dan efisien juga bisa menimbulkan jebakan finansial di masa depan, yang
mengancam sustainabilitas pelayanan.


Di sisi lain, tampaknya perkembangan inovasi diatas justru lebih dipengaruhi oleh faktor-
faktor non-anggaran. Komitmen kepala daerah, dukungan politik dan keaktifan civil society,
mungkin hanya sebagian dari faktor-faktor internal yang mempengaruhi dinamika.
Sebaliknya, posisi pemrintah pusat justru tidak menjadikan inovasi daerah berkembang,
karena ketidakjelasan aturan main terkait sistem jaminan kesehatan.
Page 13 of 14


Lampiran 1: Profil Jaminan Kesehatan Masing-masing Daerah Studi


    Purbalingga merupakan daerah yang tergolong paling awal menerapkan sistem ini (2002).
    Bermula dari penyelenggaraan program JPSBK pada tahun 2001, yang dikelola oleh lembaga
    berupa Badan Penyelenggara (Bapel). Program ini menjadi pemicu Bupati dan jajarannya untuk
    mengembangkan program sejenis tetapi dengan orientasi yang lebih maju. Cakupan
    kepesertaan total saat ini berkisar antara 60.000 – 70.000/tahun (5%) dengan premi sebesar
    Rp 100.000/jiwa/tahun. Kepesertaan terbagi atas tiga kelompok: (i) maskin, premi disubsidi
    penuh oleh pemda (ii) paska maskin, premi disubsidi pemda setengahnya, sisanya dibayar
    peserta (Rp 50.000) (iii) non-maskin, mengiur premi utuh.




    Jogjakarta memulai program pada tahun 2005, berpayung peraturan walikota (Perwal).
    Cakupan kepesertaan saat ini sekitar 70.000 (20%). Jogjakarta berbeda dari daerah lain,
    menambahkan kelompok khusus sebagai sasaran program, yaitu kelompok yang dianggap
    menjadi bagian dari kepemerintahan daerah dan kelompok rentan (PKK, RT/RW, penderita
    penyakit tertentu, ibu hamil, dll) yang mencerminkan karakteristik daerah urban. Untuk
    Jogjakarta kepesertaan non maskin belum berjalan.
    Pencakupan jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin di Jogjakarta juga dibagi dengan
    Provinsi dengan program Jamkesos.




    Solo termasuk baru memulai program, yaitu pada tahun 2007, dengan payung hukum berupa
    Perda. Cakupan kepesertaan total saain ini sekitar 150.000 (35%). Kepesertaan Solo terdiri dari
    Kelompok Gold (maskin), dengan iuran premi sebesar Rp 1.000/jiwa/tahun disubsidi
    pemerintah, dan Kelompok Silver (non-maskin) yang mengiur Rp 4.000/jiwa/tahun. Dengan
    pola seperti itu Solo sudah masuk pada inisiasi Universal Coverage
Page 14 of 14

More Related Content

What's hot

BPJS KESEHATAN: JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN NASIONAL
BPJS KESEHATAN: JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN NASIONALBPJS KESEHATAN: JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN NASIONAL
BPJS KESEHATAN: JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN NASIONALfirii JB
 
Rpjpk pembahasan diy
Rpjpk pembahasan diyRpjpk pembahasan diy
Rpjpk pembahasan diyAbi Muhlies
 
Jaminan kesehatan nasional_ringkas
Jaminan kesehatan nasional_ringkasJaminan kesehatan nasional_ringkas
Jaminan kesehatan nasional_ringkasMuh Saleh
 
Makalah sistim pembiayaan kesehatan
Makalah sistim pembiayaan kesehatanMakalah sistim pembiayaan kesehatan
Makalah sistim pembiayaan kesehatanady suhardi
 
Social Accounting; Tendensi Kemaslahatan Publik dibalik Kenaikan Tarif BPJS ...
Social Accounting; Tendensi  Kemaslahatan Publik dibalik Kenaikan Tarif BPJS ...Social Accounting; Tendensi  Kemaslahatan Publik dibalik Kenaikan Tarif BPJS ...
Social Accounting; Tendensi Kemaslahatan Publik dibalik Kenaikan Tarif BPJS ...State Islamic University Alauddin Makassar
 
Jurnal blu jamsoskes
Jurnal blu jamsoskesJurnal blu jamsoskes
Jurnal blu jamsoskesmamazidane
 
Pkm difabel (revisi 251012) baru
Pkm  difabel (revisi 251012) baruPkm  difabel (revisi 251012) baru
Pkm difabel (revisi 251012) baruZakiyul Mu'min
 
Pengertian bpjs
Pengertian bpjsPengertian bpjs
Pengertian bpjsprayoga945
 
Bpjs farmasi
Bpjs farmasiBpjs farmasi
Bpjs farmasicasamateo
 
Pertemuan ke 12 - Pak Kartika
Pertemuan ke 12 - Pak KartikaPertemuan ke 12 - Pak Kartika
Pertemuan ke 12 - Pak Kartikanindyapurnamasari
 
UU 24 tahun 2011 tentang BPJS
UU 24 tahun 2011 tentang BPJSUU 24 tahun 2011 tentang BPJS
UU 24 tahun 2011 tentang BPJSM Ungang
 

What's hot (18)

Renstra Kementrian Sosial 2010 2014
Renstra Kementrian Sosial 2010 2014Renstra Kementrian Sosial 2010 2014
Renstra Kementrian Sosial 2010 2014
 
Renstra Kementerian Sosial RI Thn. 2010-2014
Renstra Kementerian Sosial RI Thn. 2010-2014Renstra Kementerian Sosial RI Thn. 2010-2014
Renstra Kementerian Sosial RI Thn. 2010-2014
 
Pkn menanggapi artikel
Pkn menanggapi artikelPkn menanggapi artikel
Pkn menanggapi artikel
 
BPJS KESEHATAN: JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN NASIONAL
BPJS KESEHATAN: JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN NASIONALBPJS KESEHATAN: JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN NASIONAL
BPJS KESEHATAN: JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN NASIONAL
 
Rpjpk pembahasan diy
Rpjpk pembahasan diyRpjpk pembahasan diy
Rpjpk pembahasan diy
 
Jaminan kesehatan nasional_ringkas
Jaminan kesehatan nasional_ringkasJaminan kesehatan nasional_ringkas
Jaminan kesehatan nasional_ringkas
 
Makalah sistim pembiayaan kesehatan
Makalah sistim pembiayaan kesehatanMakalah sistim pembiayaan kesehatan
Makalah sistim pembiayaan kesehatan
 
Buku Panduan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-49 tahun 2013
Buku Panduan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-49 tahun 2013Buku Panduan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-49 tahun 2013
Buku Panduan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-49 tahun 2013
 
Bps kesejahteraan-pns
Bps kesejahteraan-pnsBps kesejahteraan-pns
Bps kesejahteraan-pns
 
Social Accounting; Tendensi Kemaslahatan Publik dibalik Kenaikan Tarif BPJS ...
Social Accounting; Tendensi  Kemaslahatan Publik dibalik Kenaikan Tarif BPJS ...Social Accounting; Tendensi  Kemaslahatan Publik dibalik Kenaikan Tarif BPJS ...
Social Accounting; Tendensi Kemaslahatan Publik dibalik Kenaikan Tarif BPJS ...
 
Buku pdbk
Buku pdbkBuku pdbk
Buku pdbk
 
Jurnal blu jamsoskes
Jurnal blu jamsoskesJurnal blu jamsoskes
Jurnal blu jamsoskes
 
Pkm difabel (revisi 251012) baru
Pkm  difabel (revisi 251012) baruPkm  difabel (revisi 251012) baru
Pkm difabel (revisi 251012) baru
 
Bab i dan ii
Bab i dan iiBab i dan ii
Bab i dan ii
 
Pengertian bpjs
Pengertian bpjsPengertian bpjs
Pengertian bpjs
 
Bpjs farmasi
Bpjs farmasiBpjs farmasi
Bpjs farmasi
 
Pertemuan ke 12 - Pak Kartika
Pertemuan ke 12 - Pak KartikaPertemuan ke 12 - Pak Kartika
Pertemuan ke 12 - Pak Kartika
 
UU 24 tahun 2011 tentang BPJS
UU 24 tahun 2011 tentang BPJSUU 24 tahun 2011 tentang BPJS
UU 24 tahun 2011 tentang BPJS
 

Similar to JAMKESDA INOVATIF

123Pembangunan_Berwawasan_Kesehatan.docx
123Pembangunan_Berwawasan_Kesehatan.docx123Pembangunan_Berwawasan_Kesehatan.docx
123Pembangunan_Berwawasan_Kesehatan.docxemyubkn033
 
6 KAK JKN.docx
6 KAK JKN.docx6 KAK JKN.docx
6 KAK JKN.docxholipah2
 
Presentasi Sistem Ekonomi Indonesia
Presentasi Sistem Ekonomi IndonesiaPresentasi Sistem Ekonomi Indonesia
Presentasi Sistem Ekonomi Indonesiawiwitwijanarko
 
Sistem pelayanan kesehatan
Sistem pelayanan kesehatanSistem pelayanan kesehatan
Sistem pelayanan kesehatanOcta Pranata
 
Proposal di buat dalm bentuk buku
Proposal di buat dalm bentuk  bukuProposal di buat dalm bentuk  buku
Proposal di buat dalm bentuk bukuNikmon Amal
 
Reformasi Birokrasi - Surya Tjandra
Reformasi Birokrasi - Surya TjandraReformasi Birokrasi - Surya Tjandra
Reformasi Birokrasi - Surya TjandraKurniawan Saputra
 
Skripsi nikmon bauru refisi
Skripsi nikmon bauru refisiSkripsi nikmon bauru refisi
Skripsi nikmon bauru refisiNikmon Amal
 
Undang undang tentang jaminan sosial
Undang undang tentang jaminan sosialUndang undang tentang jaminan sosial
Undang undang tentang jaminan sosialSisKa L. Putri
 
Profil kesehatan kabupaten Mamuju tahun 2014
Profil kesehatan kabupaten Mamuju tahun 2014Profil kesehatan kabupaten Mamuju tahun 2014
Profil kesehatan kabupaten Mamuju tahun 2014Muh Saleh
 
95955969-Konsep-Dasar-Ekonomi-Kesehatan.pdf
95955969-Konsep-Dasar-Ekonomi-Kesehatan.pdf95955969-Konsep-Dasar-Ekonomi-Kesehatan.pdf
95955969-Konsep-Dasar-Ekonomi-Kesehatan.pdfNorma Gladme Rambe
 
33121043 makalah-pembiayaan-rs
33121043 makalah-pembiayaan-rs33121043 makalah-pembiayaan-rs
33121043 makalah-pembiayaan-rsSega Prirahmadan
 
Tantangan Kesehatan Kabinet Jokowi 01 - Paradigma Sakit Sebagai Dasar Pembang...
Tantangan Kesehatan Kabinet Jokowi 01 - Paradigma Sakit Sebagai Dasar Pembang...Tantangan Kesehatan Kabinet Jokowi 01 - Paradigma Sakit Sebagai Dasar Pembang...
Tantangan Kesehatan Kabinet Jokowi 01 - Paradigma Sakit Sebagai Dasar Pembang...Suprijanto Rijadi
 

Similar to JAMKESDA INOVATIF (20)

123Pembangunan_Berwawasan_Kesehatan.docx
123Pembangunan_Berwawasan_Kesehatan.docx123Pembangunan_Berwawasan_Kesehatan.docx
123Pembangunan_Berwawasan_Kesehatan.docx
 
6 KAK JKN.docx
6 KAK JKN.docx6 KAK JKN.docx
6 KAK JKN.docx
 
Presentasi Sistem Ekonomi Indonesia
Presentasi Sistem Ekonomi IndonesiaPresentasi Sistem Ekonomi Indonesia
Presentasi Sistem Ekonomi Indonesia
 
Sistem pelayanan kesehatan
Sistem pelayanan kesehatanSistem pelayanan kesehatan
Sistem pelayanan kesehatan
 
Jurnal 1
Jurnal 1Jurnal 1
Jurnal 1
 
Proposal di buat dalm bentuk buku
Proposal di buat dalm bentuk  bukuProposal di buat dalm bentuk  buku
Proposal di buat dalm bentuk buku
 
COMMON GOOD BIOETIKA.pptx
COMMON GOOD BIOETIKA.pptxCOMMON GOOD BIOETIKA.pptx
COMMON GOOD BIOETIKA.pptx
 
Reformasi Birokrasi - Surya Tjandra
Reformasi Birokrasi - Surya TjandraReformasi Birokrasi - Surya Tjandra
Reformasi Birokrasi - Surya Tjandra
 
Skripsi nikmon bauru refisi
Skripsi nikmon bauru refisiSkripsi nikmon bauru refisi
Skripsi nikmon bauru refisi
 
3.sistem kesehatan-nasional-2009
3.sistem kesehatan-nasional-20093.sistem kesehatan-nasional-2009
3.sistem kesehatan-nasional-2009
 
Undang undang tentang jaminan sosial
Undang undang tentang jaminan sosialUndang undang tentang jaminan sosial
Undang undang tentang jaminan sosial
 
Profil kesehatan kabupaten Mamuju tahun 2014
Profil kesehatan kabupaten Mamuju tahun 2014Profil kesehatan kabupaten Mamuju tahun 2014
Profil kesehatan kabupaten Mamuju tahun 2014
 
Jurnal Ibu Ketut.docx
Jurnal Ibu Ketut.docxJurnal Ibu Ketut.docx
Jurnal Ibu Ketut.docx
 
95955969-Konsep-Dasar-Ekonomi-Kesehatan.pdf
95955969-Konsep-Dasar-Ekonomi-Kesehatan.pdf95955969-Konsep-Dasar-Ekonomi-Kesehatan.pdf
95955969-Konsep-Dasar-Ekonomi-Kesehatan.pdf
 
PPT yeww.pptx
PPT yeww.pptxPPT yeww.pptx
PPT yeww.pptx
 
33121043 makalah-pembiayaan-rs
33121043 makalah-pembiayaan-rs33121043 makalah-pembiayaan-rs
33121043 makalah-pembiayaan-rs
 
Sistem yankes
Sistem yankesSistem yankes
Sistem yankes
 
Tantangan Kesehatan Kabinet Jokowi 01 - Paradigma Sakit Sebagai Dasar Pembang...
Tantangan Kesehatan Kabinet Jokowi 01 - Paradigma Sakit Sebagai Dasar Pembang...Tantangan Kesehatan Kabinet Jokowi 01 - Paradigma Sakit Sebagai Dasar Pembang...
Tantangan Kesehatan Kabinet Jokowi 01 - Paradigma Sakit Sebagai Dasar Pembang...
 
Kolaborasi Kesehatan
Kolaborasi KesehatanKolaborasi Kesehatan
Kolaborasi Kesehatan
 
MD2
MD2MD2
MD2
 

More from Article33

Comval BK: New EITI Standards, Philippine Candidacy and PH-EITI Work Plan
Comval BK: New EITI Standards, Philippine Candidacy and PH-EITI Work PlanComval BK: New EITI Standards, Philippine Candidacy and PH-EITI Work Plan
Comval BK: New EITI Standards, Philippine Candidacy and PH-EITI Work PlanArticle33
 
Comval BK: Bojonegoro Social Innovation on Extractive Revenue
Comval BK: Bojonegoro Social Innovation on Extractive Revenue Comval BK: Bojonegoro Social Innovation on Extractive Revenue
Comval BK: Bojonegoro Social Innovation on Extractive Revenue Article33
 
Comval BK: O&G Revenue for Sustainable Welfare in Bojonegoro
Comval BK: O&G Revenue for Sustainable Welfare in BojonegoroComval BK: O&G Revenue for Sustainable Welfare in Bojonegoro
Comval BK: O&G Revenue for Sustainable Welfare in BojonegoroArticle33
 
Comval BK: Indigenous People Transparency Mechanism
Comval BK: Indigenous People Transparency MechanismComval BK: Indigenous People Transparency Mechanism
Comval BK: Indigenous People Transparency MechanismArticle33
 
Comval BK: Compostela Valley Transparency Initiative
Comval BK: Compostela Valley Transparency InitiativeComval BK: Compostela Valley Transparency Initiative
Comval BK: Compostela Valley Transparency InitiativeArticle33
 
Comval BK: Minahang Bayanihan: Small Scale Mining Initiatives
Comval BK: Minahang Bayanihan: Small Scale Mining InitiativesComval BK: Minahang Bayanihan: Small Scale Mining Initiatives
Comval BK: Minahang Bayanihan: Small Scale Mining InitiativesArticle33
 
A33 Position Note: Post-2015 Development Agenda
A33 Position Note: Post-2015 Development AgendaA33 Position Note: Post-2015 Development Agenda
A33 Position Note: Post-2015 Development AgendaArticle33
 
PB 01, 2013: Encouraging Transparency of Forestry State Revenue
PB 01, 2013: Encouraging Transparency of Forestry State RevenuePB 01, 2013: Encouraging Transparency of Forestry State Revenue
PB 01, 2013: Encouraging Transparency of Forestry State RevenueArticle33
 
Brief 03, 2011: Memperkuat Efektivitas dan Akuntabilitas Kebijakan Anggaran BOS
Brief 03, 2011: Memperkuat Efektivitas dan Akuntabilitas Kebijakan Anggaran BOSBrief 03, 2011: Memperkuat Efektivitas dan Akuntabilitas Kebijakan Anggaran BOS
Brief 03, 2011: Memperkuat Efektivitas dan Akuntabilitas Kebijakan Anggaran BOSArticle33
 
Brief 02, 2011: Peta Jalan Pendidikan Dasar Gratis
Brief 02, 2011: Peta Jalan Pendidikan Dasar GratisBrief 02, 2011: Peta Jalan Pendidikan Dasar Gratis
Brief 02, 2011: Peta Jalan Pendidikan Dasar GratisArticle33
 
Brief 01, 2011: Dana Alokasi Khusus Pendidikan
Brief 01, 2011: Dana Alokasi Khusus Pendidikan Brief 01, 2011: Dana Alokasi Khusus Pendidikan
Brief 01, 2011: Dana Alokasi Khusus Pendidikan Article33
 
Kajian Pelingkupan Penerimaan Kehutanan
Kajian Pelingkupan Penerimaan KehutananKajian Pelingkupan Penerimaan Kehutanan
Kajian Pelingkupan Penerimaan KehutananArticle33
 
Profil Article 33 Indonesia
Profil Article 33 IndonesiaProfil Article 33 Indonesia
Profil Article 33 IndonesiaArticle33
 
WP 03/2012 - Riko - Belantara Rente Hutan Kayu
WP 03/2012 - Riko - Belantara Rente Hutan KayuWP 03/2012 - Riko - Belantara Rente Hutan Kayu
WP 03/2012 - Riko - Belantara Rente Hutan KayuArticle33
 
Module for Managing Oil & Gas Revenue: Indonesia Sub-National Experience
Module for Managing Oil & Gas Revenue: Indonesia Sub-National ExperienceModule for Managing Oil & Gas Revenue: Indonesia Sub-National Experience
Module for Managing Oil & Gas Revenue: Indonesia Sub-National ExperienceArticle33
 
Module for Multistakeholder Engagement for Extractive Industry Better Governance
Module for Multistakeholder Engagement for Extractive Industry Better GovernanceModule for Multistakeholder Engagement for Extractive Industry Better Governance
Module for Multistakeholder Engagement for Extractive Industry Better GovernanceArticle33
 
Article33 jointresearchscheme
Article33 jointresearchschemeArticle33 jointresearchscheme
Article33 jointresearchschemeArticle33
 
Mural 3: Perda Kandungan Lokal
Mural 3: Perda Kandungan Lokal Mural 3: Perda Kandungan Lokal
Mural 3: Perda Kandungan Lokal Article33
 
Mural 1: Mekanisme Transparansi Migas
Mural 1: Mekanisme Transparansi MigasMural 1: Mekanisme Transparansi Migas
Mural 1: Mekanisme Transparansi MigasArticle33
 
EI3 Perbandingan Perda (handout bahasa)
EI3 Perbandingan Perda (handout bahasa)EI3 Perbandingan Perda (handout bahasa)
EI3 Perbandingan Perda (handout bahasa)Article33
 

More from Article33 (20)

Comval BK: New EITI Standards, Philippine Candidacy and PH-EITI Work Plan
Comval BK: New EITI Standards, Philippine Candidacy and PH-EITI Work PlanComval BK: New EITI Standards, Philippine Candidacy and PH-EITI Work Plan
Comval BK: New EITI Standards, Philippine Candidacy and PH-EITI Work Plan
 
Comval BK: Bojonegoro Social Innovation on Extractive Revenue
Comval BK: Bojonegoro Social Innovation on Extractive Revenue Comval BK: Bojonegoro Social Innovation on Extractive Revenue
Comval BK: Bojonegoro Social Innovation on Extractive Revenue
 
Comval BK: O&G Revenue for Sustainable Welfare in Bojonegoro
Comval BK: O&G Revenue for Sustainable Welfare in BojonegoroComval BK: O&G Revenue for Sustainable Welfare in Bojonegoro
Comval BK: O&G Revenue for Sustainable Welfare in Bojonegoro
 
Comval BK: Indigenous People Transparency Mechanism
Comval BK: Indigenous People Transparency MechanismComval BK: Indigenous People Transparency Mechanism
Comval BK: Indigenous People Transparency Mechanism
 
Comval BK: Compostela Valley Transparency Initiative
Comval BK: Compostela Valley Transparency InitiativeComval BK: Compostela Valley Transparency Initiative
Comval BK: Compostela Valley Transparency Initiative
 
Comval BK: Minahang Bayanihan: Small Scale Mining Initiatives
Comval BK: Minahang Bayanihan: Small Scale Mining InitiativesComval BK: Minahang Bayanihan: Small Scale Mining Initiatives
Comval BK: Minahang Bayanihan: Small Scale Mining Initiatives
 
A33 Position Note: Post-2015 Development Agenda
A33 Position Note: Post-2015 Development AgendaA33 Position Note: Post-2015 Development Agenda
A33 Position Note: Post-2015 Development Agenda
 
PB 01, 2013: Encouraging Transparency of Forestry State Revenue
PB 01, 2013: Encouraging Transparency of Forestry State RevenuePB 01, 2013: Encouraging Transparency of Forestry State Revenue
PB 01, 2013: Encouraging Transparency of Forestry State Revenue
 
Brief 03, 2011: Memperkuat Efektivitas dan Akuntabilitas Kebijakan Anggaran BOS
Brief 03, 2011: Memperkuat Efektivitas dan Akuntabilitas Kebijakan Anggaran BOSBrief 03, 2011: Memperkuat Efektivitas dan Akuntabilitas Kebijakan Anggaran BOS
Brief 03, 2011: Memperkuat Efektivitas dan Akuntabilitas Kebijakan Anggaran BOS
 
Brief 02, 2011: Peta Jalan Pendidikan Dasar Gratis
Brief 02, 2011: Peta Jalan Pendidikan Dasar GratisBrief 02, 2011: Peta Jalan Pendidikan Dasar Gratis
Brief 02, 2011: Peta Jalan Pendidikan Dasar Gratis
 
Brief 01, 2011: Dana Alokasi Khusus Pendidikan
Brief 01, 2011: Dana Alokasi Khusus Pendidikan Brief 01, 2011: Dana Alokasi Khusus Pendidikan
Brief 01, 2011: Dana Alokasi Khusus Pendidikan
 
Kajian Pelingkupan Penerimaan Kehutanan
Kajian Pelingkupan Penerimaan KehutananKajian Pelingkupan Penerimaan Kehutanan
Kajian Pelingkupan Penerimaan Kehutanan
 
Profil Article 33 Indonesia
Profil Article 33 IndonesiaProfil Article 33 Indonesia
Profil Article 33 Indonesia
 
WP 03/2012 - Riko - Belantara Rente Hutan Kayu
WP 03/2012 - Riko - Belantara Rente Hutan KayuWP 03/2012 - Riko - Belantara Rente Hutan Kayu
WP 03/2012 - Riko - Belantara Rente Hutan Kayu
 
Module for Managing Oil & Gas Revenue: Indonesia Sub-National Experience
Module for Managing Oil & Gas Revenue: Indonesia Sub-National ExperienceModule for Managing Oil & Gas Revenue: Indonesia Sub-National Experience
Module for Managing Oil & Gas Revenue: Indonesia Sub-National Experience
 
Module for Multistakeholder Engagement for Extractive Industry Better Governance
Module for Multistakeholder Engagement for Extractive Industry Better GovernanceModule for Multistakeholder Engagement for Extractive Industry Better Governance
Module for Multistakeholder Engagement for Extractive Industry Better Governance
 
Article33 jointresearchscheme
Article33 jointresearchschemeArticle33 jointresearchscheme
Article33 jointresearchscheme
 
Mural 3: Perda Kandungan Lokal
Mural 3: Perda Kandungan Lokal Mural 3: Perda Kandungan Lokal
Mural 3: Perda Kandungan Lokal
 
Mural 1: Mekanisme Transparansi Migas
Mural 1: Mekanisme Transparansi MigasMural 1: Mekanisme Transparansi Migas
Mural 1: Mekanisme Transparansi Migas
 
EI3 Perbandingan Perda (handout bahasa)
EI3 Perbandingan Perda (handout bahasa)EI3 Perbandingan Perda (handout bahasa)
EI3 Perbandingan Perda (handout bahasa)
 

JAMKESDA INOVATIF

  • 1. Page 1 of 14 WORKING PAPER INISIATIF DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN: POLA DAN PEMBELAJARAN Oleh : Chitra Retna S & Ermy Ardhyanti I. Latar Belakang Penganut system Negara kesejahteraan (welfare state) memaknai sistem jaminan sosial sebagai kewajiban Negara dan bukti eksistensi Negara. Sistem jaminan sosial menurut Bank Dunia dan ILO1 haruslah meliputi 3 lapis, yaitu : (1) bantuan sosial (social assistance), (2) asuransi sosial dan (3) jaminan sosial sukarela (voluntary). Sejarah sistem jaminan sosial di Indonesia dimulai pada Repelita 1974-1979 dengan perluasan dan peningkatan distribusi jaminan sosial. TASPEN, dana pensiun bagi PNS secara hukum diberlakukan tahun 1969. Tahun1971 diadakan sistem asuransi untuk buruh swasta formal, ASTEK (Asuransi Tenaga Kerja) yang berubah menjadi JAMSOSTEK (Jaminan Social Tenaga Kerja) pada tahun 1992. Sistem Jaminan Social kemudian berkembang ke sector kesehatan dengan ASKES dan jaminan untuk ABRI (sekarang TNI). Fokus sistem jaminan sosial masih pada Pegawai Negeri Sipil (PNS), buruh swasta formal dan anggota ABRI (TNI). Sistem ini membiayai 15 juta dari 100 juta angkatan kerja, dari lebih dari 200 juta penduduk Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dalam perspektif hak pula, Hal ini sesuai dengan mandat yang dituangkan dalam Deklarasi PBB tentang HAM (1948), dan salah satu turunannya berupa Kovenan Ekosob yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2005 yaitu UU No. 11 tahun 20052 memuat hak-hak warga yaitu : (1) hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), (2) hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11), (3) hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat 1 Negara Tanpa Jaminan Sosial; Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia, Michael Raper, TURC 2006 Bantuan social berfungsi sebagai jarring pengaman (safety net) untuk semua warga Negara, murni berasal dari penerimaan pajak yang diatur oleh negara. Sedangkan asuransi social yang berasal dari kontribusi warga dikelola oleh swasta. Jaminan social sukarela biasanya dalam bentuk tunjangan pensiun yang diadakan warga dengan insentif dari Pemerintah 2Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), Indonesia meratifikasi pada Oktober 2005
  • 2. Page 2 of 14 dicapai (Pasal 12). Sebagai Negara Pihak dalam Kovenan, hak warga Negara menjadi kewajiban bagi Negara untuk mewujudkannya. Dalam konteks sistem jaminan sosial, Indonesia sejak kemerdekaannya tahun 1945 belum pernah menerapkannya secara universal. Penyediaan jaminan kesehatan terdapat 3 program asuransi : 1. Jamsostek : asuransi kesehatan untuk buruh swasta formal, melayani 1,5% penduduk Indonesia. 2. Askes : asuransi kesehatan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pensiunan PNS serta anggota TNI dan keluarganya, meleyani 8% penduduk 3. JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) : dimulai tahun 2007, melayani 1,9% dari jumlah penduduk Tanggal 28 September 2004 DPR mengesahkan UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menjadi system jaminan yang lebih komprehensif, terdiri dari dana pensiun, dana kematian, cacat akibat kecelakaan kerja dan dana kesehatan. Desentralisasi dan Penanganan Urusan Kesehatan Dalam UU No.22/1999 j.o UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembagian kewenangan untuk Pemerintah Kabupaten/Kota3 disebutkan dalam pasal 14 ayat (e) penanganan bidang kesehatan. Dalam Permendagri No.13/2006 j.o Permendagri No.59/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa kesehatan merupakan salah satu urusan wajib dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Pula, sebagai salah satu sektor pelayanan dasar selain sektor pendidikan. Sistem jaminan kesehatan, sebagai kebijakan yang sangat erat terkait dengan pengentasan kemiskinan, merupakan salah satu agenda prioritas 3 Dijelaskan dalam pasal 14 UU No.32 tahun 2004 dijelaskan tentang a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang c. Penyelelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat d. Penyediaan sarana dan prasarana umum e. Penanganan bidang kesehatan f. Penyelenggaraan pendidikan g. Penanggulangan masalah social h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah j. Pengendalian lingkungan hidup k. Pelayanan pertanahan l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
  • 3. Page 3 of 14 pemerintah. Bagi Pemerintah Daerah, sektor kesehatan bermakna 2 hal, pertama, sebagai non profit oriented yaitu sektor yang menjadi sektor yang bersifat pelayanan dasar dan merupakan kewajiban Pemda dalam menyediakan pelayanan, kedua adalah sebagai revenue center atau pusat pendapatan. Di hampir semua daerah, kontribusi PAD dari sektor retribusi kesehatan berada dalam peringkat pertama (meliputi Retribusi Puskesmas, RSUD dll). Regulasi daerah yang diperkenankan oleh UU No.32 tahun 2004 juga berimbas pada kewenangan menentukan aturan yang berkaitan dengan upaya yang terkadang saling bertolak belakang. Misalnya kebijakan kesehatan gratis di satu sisi dan mempertahankan/dan atau meningkatkan PAD. 4 Pergulatan regulasi di tingkat Pusat pun mengakibatkan variatifnya bentuk penanganan kesehatan (terutama untuk masyarakat miskin). Sebagai sistem yang masih sangat prematur, sistem ini dihadapkan pula pada era dimana desentralisasi sedang mencari bentuk. Disatu sisi terdapat begitu banyak inovasi daerah yang sangat kaya akan pelajaran. Akan tetapi disisi lain, terdapat berbagai pertanyaan mendasar yang sangat mempengaruhi orientasi dan proses pematangan sistem tsb, khususnya terkait peran pusat dan daerah. Sejauh mana daerah-daerah telah mengembangkan sistem jaminan kesehatan daerah, dan apa faktor- faktor yang mempengaruhi perbedaan perkembangan tsb? Apa permasalahan mendasar yang dihadapi daerah saat ini? Kertas kerja ini bertujuan memotret berbagai pola jamkesda yang saat ini dipraktekkan di 7 daerah studi, faktor-faktor yang mempengaruhi, serta mengangkat persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi daerah. Analisa dilakukan dengan melihat sejauh mana aspek-aspek penting dari sistem, seperti: orientasi sistem, kepesertaan, cakupan layanan, kelembagaan, dan pembiayaan, dilihat dari sudut pandang asuransi sosial, dan posisinya terhadap program yang dikembangkan pemerintah pusat (Jamkesmas). Ke-7 daerah yang merupakan wilayah studi adalah: kota Solo, kota Jogjakarta, kabupaten Purbalingga, kota Semarang, kabupaten Kendal, kabupaten Magelang, dan kota Pekalongan. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, meliputi analisis isi atas berbagai dokumen 4 Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah penyumbang PAD terbesar (31,41% dari total PAD RAPBD 2008 Kabupaten Magelang). Mengalami kenaikan signifikan (sebesar 44,67%) dari Rp. 15,2 M di tahun 2007 menjadi Rp. 21,9 M.
  • 4. Page 4 of 14 terkait, wawancara mendalam, FGD (regional workshop) serta expert meeting sebagai upaya triangulasi dan penajaman. Studi dilakukan selama 4 bulan, sejak Januari s/d April 2009. Kotak 1: Profil Daerah Ke-7 wilayah studi merupakan daerah sedang dengan penduduk antara 400.000 sampai 700.000 jiwa, kecuali Purbalingga & Semarang yang memiliki penduduk diatas 1 juta jiwa. Proporsi penduduk miskin berkisar antara 17% sampai dengan 35%. Capaian IPM relatif merata, antara 72 sampai dengan 77. Kapasitas fiskal rata-rata sedang, dilihat dari besaran APBD tahunan yang berkisar antara 600 milyar dan 800 milyar, kecuali Semarang yang berjumlah diatas 1 trilyun. Solo, Jogjakarta, Purbalingga dan Pekalongan memiliki kepala daerah yang sering dikategorikan 'champion' atau inovator, dan termasuk daerah-daerah pertama yang menyelenggarakan pilkada secara langsung. III. Perbandingan Pola: Inovatif, Pemula dan Pra-Jamkesda Perbandingan dan analisa sistem yang dikembangkan ke-7 daerah difokuskan pada tiga aspek penting, yaitu: prinsip dan orientasi sistem, kelembagaan, dan pembiayaan. Prinsip dan orientasi sistem menyangkut cakupan kepesertaan, cakupan layanan, dan mekanisme pelayanan. Kelembagaan menyangkut dasar hukum dan institusi pengelolaan. Sedangkan pembiayaan menyangkut besaran, sumber, dan aturan main yang berlaku. Berdasarkan perbandingan dan analisa atas aspek-aspek diatas, ditemukan adanya 3 pola atau kelompok daerah, yaitu: (I) Kelompok Jamkesda Inovatif (ii) Kelompok Jamkesda Pemula, dan (iii) Kelompok Pra-Jamkesda (Komplementer Jamkesmas) Kelompok Jamkesda Inovatif Tiga daerah, yaitu Purbalingga, Solo dan Jogjakarta, adalah kelompok daerah yang telah memiliki sistem Jamkesda relatif inovatif, yaitu program yang tidak hanya melengkapi program Jamkesmas dari Pemerintah Pusat namun mengembangkan varian yang memiliki ketercakupan lebih universal (tidak hanya masyarakat miskin) dengan kata lain menjadi
  • 5. Page 5 of 14 sistem jaminan kesehatan yang lebih maju dibandingkan program Jamkesmas (pusat). Kelompok Jamkesda Pemula Dua daerah, yaitu Semarang dan Kendal, dikategorikan Kelompok Jamkesda Pemula karena ke-2 daerah ini telah mulai mengembangkan program Jamkesda, walau saat ini masih bersifat melengkapi program Jamkesmas (komplementer). Ditujukan untuk pembiayaan kuratif bagi masyarakat miskin yang tidak tercakup dalam kuota Jamkesmas. Masing-masing dibiayai oleh APBD dengan system “fee for service” pada pelayanan Puskesmas dan Kelas III RSUD untuk Rawat Inap. Kelompok Pra-Jamkesda Dua daerah lainnya, yaitu Magelang dan Pekalongam, mirip dengan kelompok kedua, tetapi saat ini baru sampai pada tahap inisiatif untuk mengalokasikan APBD sebagai tambahan bagi Jamkesmas, belum sampai tahap merancang skema jaminan kesehatan daerah. Dibawah ini disajikan perbandingan dan analisa atas beberapa aspek kritis, yang menunjukkan adanya ketiga pola diatas. Detil informasi disajikan pada Lampiran 1. Bentuk dan Kelompok Jamkesda Inovatif, telah mendesain dan melaksanakan program jaminan dasar hukum kesehatan daerah dengan nama spesifik, yaitu: Jamkesda untuk Jogjakarta, PKMS untuk Solo, dan JPKM untuk Purbalingga. Daerah-daerah ini juga telah mengukuhkan programnya melalui aturan hukum yang mengikat, yaitu Perda (kecuali Jogjakarta, berupa Perwal). Aturan hukum tsb menjamin kontinuitas program walaupun kelak terjadi pergantian kepala daerah ataupun birokrasi. Kelompok Jamkesda Pemula, telah menggunakan tajuk jaminan kesehatan daerah bagi programnya, yaitu: Jamkesmaskot untuk Semarang, dan Jamkesmasda untuk Kendal. Walaupun demikian, program ini masih didesain untuk mengikuti pola Jamkesmas, yaitu hanya untuk kelompok miskin, tetapi dengan cakupan yang lebih luas (menambah kuota untuk maskin ataupun tambahan perawatan yang tidak tercakup dalam Jamkesmas). Anggaran daerah yang dialokasikan relatif besar (6 – 9 milyar). Aturan hukum yang memayungi masih berupa Perbub dan Perwal. Sebenarnya Semarang juga telah membuat Perda, akan tetapi hanya berisi jaminan pembebasan
  • 6. Page 6 of 14 biaya puskesmas dan biaya rawat inap RS kls III, bukan berupa model lengkap Jamkesda. Kelompok Pra-Jamkesda, belum menggunakana tajuk Jamkesda dan masih berupa program, walaupun telah mulai mewacanakan perlunya membangun Jamkesda. Sama seperti kelompok pemula, program ini masih didesain untuk mengikuti pola Jamkesmas, yaitu hanya untuk kelompok miskin (non-jamkesmas), tetapi dengan cakupan tambahan (peserta maupun layanan) yang lebih kecil dibanding kelompok pemula. Anggaran daerah yang dialokasikan pun masih relatif kecil (< 1 milyar). Fokus utama program adalah meng-cover kelompok miskin yang tidak termasuk dalam kuota Jamkesmas, atau membiayai perawatan tertentu yang tidak termasuk dalam paket Jamkesmas. Payung hukum yang dipakai masih berupa Perbub. Orientasi, Kelompok Jamkesda Inovatif sejak awal telah dirancang untuk tidak hanya kepesertaan, melengkapi Jamkesmas (Pusat), tetapi juga bergerak lebih jauh dalam rangka dan layanan menyediakan jaminan kesehatan bagi seluruh warganya (universal). Bila Jamkesmas hanya meliputi kelompok miskin, maka kelompok daerah ini telah memperluas cakupan kepesertaan mencakup kelompok miskin dan non-miskin. Kelompok maskin yang dicakup adalah maskin non-Jamkesmas, yaitu kelompok miskin yang tidak tercakup dalam kuota Jamkesmas. Perluasan kepesertaan Ini sesuai dengan cita-cita ketiga daerah untuk memiliki jaminan kesehatan yang universal, atau mencakup semua penduduk. Purbalingga bahkan telah memulai menyusun Perda mengenai kepesertaan wajib (mandatory), yang saat ini masih pada tahap konsultasi (khususnya dengan pemerintah pusat). Selain itu Purbalingga menciptakan sistem pendataan dan verifikasi lapangan yang melibatkan kader-kader dari Bapel (Badan Pelaksana) di tiap desa, sehingga menjamin akurasi data. Kelompok Jamkesda Pemula dan Kelompok Pra-Jamkesda menjadikan maskin-non- jamkesmas sebagai target peserta program, karena masih banyak kelompok miskin yang tidak tercakup dalam kuota Jamkesmas (ditentukan oleh pusat berdasarkan masukan kabupaten). Data yang digunakan untuk menentukan kepesertaan adalah data pemda sendiri. Selain itu beberapa daerah menggunakan verifikasi tambahan, bahkan hingga ke lapangan, untuk menentukan kepesertaan.
  • 7. Page 7 of 14 Cakupan Ketiga kelompok daerah ini pada dasarnya memberikan pelayanan (jenis perawatan, Layanan obat, yang ditanggung program) yang, walau disana sini ada perbedaan, tidak berbeda terlalu jauh dengan Jamkesmas. Inovasi menarik terdapat di Solo, dimana layanan kesehatan peserta Gold (maskin) justru lebih banyak dibandingkan peserta Silver (non- maskin). Ini muncul dari pemikiran bahwa kelompok maskin justru harus menjadi prioritas dan bukannya kelompok tersisih, sehingga bahkan penamaan kartu-pun dibuat memprioritaskan maskin. Kelembagaan Kelompok Jamkesda Inovatif menggunakan dua pilihan institusi, yaitu UPT (berada dibawah Dinas, Jogja dan Solo), dan Bapel (Purbalingga). UPT menjadi pilihan karena 'aman' dari sisi hukum, walaupun mulai dirasakan ruang geraknya kurang untuk mengembangkan sistem Jamkesda selanjutnya. Purbalingga memilih Bapel, karena lembaga ini sudah digunakan sejak pilot project JPKM (2002), dan dianggap institusi yang tepat menjalankan fungsi Jamkesda-nya yang sudah berkembang. Kelompok Jamkesda Pemula dan Kelompok Pra-Jamkesda belum memiliki kelembagaan khusus untuk menjalankan programnya, karena masih berupa program didalam Dinas Kesehatan. Sumber Kelompok Jamkesda Inovatif menunjukkan variasi pembiayaan (dari APBD) yang Pembiayaan menarik. Jogja dan Solo, menunjukkan trend anggaran yang terus meningkat, bahkan Solo memulai dengan anggaran yang sudah fantastik besarnya (16,5 milyar). Sebaliknya Purbalingga, karena model sistemnya yang mengiur, relatif stabil, hanya sampai kisaran 2,8 M (2008). Selain itu di Purbalingga, anggaran yang berasal dari iuran (non-maskin dan paska maskin) menjadi lebih dominan sebagai sumber pembiayaan dibanding subsidi APBD. Kelompok Jamkesda Pemula mengalokasikan anggaran yang relatif besar, bahkan anggaran Semarang lebih besar dari Kelompok Inovatif (9 milyar). Semua anggaran terserap untuk pembayaran pelayanan kelompok miskin. Kelompok Pra-Jamkesda mengalokasikan anggaran relatif kecil, berkisar antara 720 – 750 juta (2008). Mekanisme Ketiga kelompok daerah ini pada dasarnya tidak menunjukkan perbedaan variasi dari
  • 8. Page 8 of 14 Pembayaran sisi mekanisme pembayaran, dibandingkan pola Jamkesmas, yaitu menggunakan prinsip fee for service (dimana pembayaran didasarkan pelayanan yang diberikan) untuk PPK II (RS) dan kapitasi untuk PPK I (Puskesmas). Belum ada satu daerahpun yang menerapkan sistem managed care (pembayaran diberikan dan dikelola oleh pemberi layanan, RS/Puskesmas). Dari sisi pembayaran ke unit pelayanan, hampir semua memiliki pola yang sama dengan Jamkesmas, yaitu pembayaran dilakukan oleh Dinas Kesehatan langsung ke PPK I dan PPK II. Kecuali Jogja yang masih melakukan pola reimbursing, yaitu pasien membayar dulu biaya untuk kemudian diganti (klaim) oleh Dinas. Ini membuat beban bagi pasien. Contoh menarik juga dilakukan Purbalingga, yang berani memakai sistem kapitasi baik untuk PPK I (puskesmas) maupun PPK II. Premi yang dibayar peserta dibagikan dengan pembagian: puskesmas (37.000), puskesmas ranap (5.300), RSUD (47.700) dan Bapel (10.000). IV. Faktor Berpengaruh, Tantangan dan Masalah Mencermati dinamika perkembangan sistem jaminan kesehatan daerah diatas, pertanyaan penting yang muncul adalah: faktor-faktor apa sebenarnya yang secara signifikan mempengaruhi dinamika tersebut? Apa yang mendorong suatu daerah memilih mengembangkan Jamkesda, bahkan jauh melebihi pusat, sementara daerah lain memilih mengalokasikan sejumlah besar anggaran untuk membangun Rumah Sakit, misalnya, ketimbang mengembangkan Jamkesda? Dibutuhkan satu penelitian lain yang lebih mendalam untuk mengungkap faktor-faktor determinan tsb, tetapi hasil FGD dan analisa mendalam dengan stakeholder terkait menunjukan beberapa bukti awal yang menarik. Pertama, komitmen dan inovasi kepala daerah. Empat kepala daerah dari ke-7 daerah tsb dikenal sebagai seorang 'champion', atau kepala daerah yang inovatif dan berani, yaitu Solo, Jogjakarta, Purbalingga dan Pekalongan. Kepala daerah hasil pemilihan langsung di empat daerah ini dikenal memiliki komitmen tinggi, wawasan yang luas, dan berani mengambil langkah inovatif walaupun menghadapi banyak
  • 9. Page 9 of 14 kendala. Walaupun demikian, kasus Pekalongan menjadi sebuah pertanyaan tersendiri, mengingat Pekalongan memilih menganggarkan puluhan milyar selama tiga tahun terakhir untuk membangun Rumah Sakit Daerah dibanding mengembangkan Jamkesda yang inovatif. Pilihan terhadap pembiayaan kesehatan yang dilakukan Purbalingga dengan JPKM pun beresiko dari sisi regulasi, yaitu substansi dari JPKM sebagai pra-asuransi yang akan bertabrakan dengan UU Asuransi. Namun, resiko tersebut tak membuat Bupati Purbalingga menghentikan program JPKM. Pilihan bentuk kelembagaan juga yang membuat beberapa daerah misalnya Yogya, Solo memilih UPT, sedang yang lain seperti Magelang, Kendal, Kota Semarang, berada dalam tubuh Dinas Kesehatan. Kelemahan factor komitmen ini adalah persoalan sustainabilitas program. Pada saat pergantian kepemimpinan akan berakhir pula komitmen. Akan lebih baik bila komitmen dilanjutkan dengan regulasi yang lebih mengikat secara administratif dan hukum (misalnya di dalam Perda). Kedua, dukungan legislatif yang memadai. Dukungan kuat dari legislatif atas ide Jamkesda memang terjadi di kelompok pertama, yaitu Solo, Jogjakarta dan Purbalingga. Walaupun di Solo sempat terjadi perdebatan cukup panas sebelum PKMS diluncurkan di Solo, tetapi isu perdebatan lebih mengenai besaran premi. Walikota Solo menginginkan seluruh biaya disubsidi APBD, tetapi dewan berkukuh harus ada iuran peserta, yang akhirnya diterima walau jumlahnya sangat kecil untuk disebut sebagai premi. Di Purbalingga, dukungan meluas secara mudah dicapai karena telah adanya proyek JPKM sejak 2002. Dukungan legislative ini erat kaitannya dengan factor politik, yaitu relasi antara legislator dengan konstituen maupun dengan masyarakat secara umum. Elektabilitas seorang calon legislator juga akan ditentukan oleh isu populis yang diperjuangkan, dalam hal ini, kesehatan gratis adalah menu yang sangat mudah dijumpai dalam janji caleg karena menyangkut kepentingan seluruh rakyat. Jadi, mewujudkan kesehatan gratis, selain komitmen moral, juga akan menjadi salah satu investasi politik di masa depan. Ketiga, kuatnya tuntutan civil society. Adanya civil society yang matang ditemui di dua daerah, yaitu Solo dan Jogjakarta. Semenjak desentralisasi, dorongan dari kalangan masyarakat sipil di Kota Solo dan Yogyakarta untuk
  • 10. Page 10 of 14 penyelenggaraan kesehatan gratis dan berkualitas sangat kuat. Faktor dinamisasi masyarakat sipil banyak terlihat pada wilayah berbentuk Kota, dimana banyak kelompok penekan yang tumbuh (akademisi, mahasiswa, wartawan, LSM, Ormas), sehingga control terhadap Pemerintahan kuat dan perubahan terhadap kebijakan lebih cepat terjadi. Untuk Purbalingga, sebagai daerah dengan inovasi paling depan, tampaknya lebih didorong oleh pengaruh pilot project JPKM dibandingkan pengaruh tuntutan civil society. Selain ketiga faktor diatas, terdapat beberapa masalah mendasar yang dihadapi daerah dalam mengembangkan Jamkesda. Pertama, ketidakjelasan lembaga pelaksana. Daerah Kelompok Jamkesda Inovatif adalah daerah yang berani menabrak atau mengambil langkah ditengah ketidakjelasan pemerintah pusat atas desain besar jaminan kesehatan Indonesia, khususnya menyangkut dasar hukum institusi pelaksana. Di tengah perdebatan besar mengenai bagaimana bentuk BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial), Purbalingga berani tetap mempertahankan bentuk Bapel. Hal ini khususnya didorong oleh 'kemenangan' atas Judicial Review UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang mencabut pasal mengenai dominasi PT Askes sebagai satu-satunya institusi pelaksana. Saat ini langkah lain yang juga menjadi tonggak bagi percobaan daerah, adalah upaya Purbalingga untuk membuat Perda mengenai aturan wajib kepesertaan bagi seluruh penduduk (mandatory). Kedua, masalah portabilitas. Isu portabilitas menyangkut bagaimana pelayanan diakses oleh warga yang bukan penduduk resmi suatu daerah. Berbeda-bedanya cakupan dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh Jamkesda masing-masing daerah, dan aturan yang mengharuskan pelayanan hanya diberikan pada penduduk resmi daerah tsb, menyebabkan sejumlah pihak menganggap jaminan kesehatan sebaiknya dilakukan secara sentralistik. Isu ini merupakan ganjalan besar bagi inovasi yang dilakukan daerah-daerah, dan hingga kini belum terpecahkan. Misal Kota Semarang, dalam Perwal disyaratkan bahwa yang dapat mengakses Jamkesda adalah yang ber-KK dan berdomisili di Kota Semarang. Alasannya adalah untuk mengontrol moral hazard penduduk non-Semarang menyeberang untuk mendapatkan pelayanan gratis. Bagi daerah yang berbentuk Kota (Solo, Yogya, Semarang), yang memiliki kompleksitas masalah
  • 11. Page 11 of 14 perkotaan karena derasnya mobilitas antar daerah dan peboro akan sangat rentan bagi pertumbuhan kemiskinan baru non-penduduk. Seperti fenomena gunung es yang akan menimbulkan dampak pada pertumbuhan penyakit-penyakit khas (HIV/AIDS), masalah social lainnya serta hukum (perdagangan manusia/human trafficking). Peran dari Provinsi adalah salah satu rekomendasi dari isu portabilitas ini. Contohnya : Provinsi DI Jogjakarta memiliki Jamkesos. Hal ini dapat mengatasi masalah portabilitas di level antar daerah (eksternalitas regional). Perjanjian antar daerah (biasanya diwadahi dalam Kerjasama Antar Daerah) belum menyentuh pada portabilitas pelayanan dasar. Padahal semua Warga Negara berhak mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga, keberlanjutan dari sisi finansial. Isu penting dari keberlanjutan inovasi daerah adalah isu finansial. Solo dan Semarang, adalah dua contoh daerah yang dianggap 'sangat berani' mengalokasikan sejumlah besar anggaran untuk membiayai program ini, khususnya Semarang yang sebenarnya cakupan pelayanan belum seluas Solo, Jogjakarta atau Purbalingga. Di Solo sejumlah pihak khawatir dengan 'ketahanan' APBD ke depan, khususnya karena trend alokasi program ini pastinya terus meningkat (seperti sinyalemen yang mungkin juga dialami oleh Jembrana). Ini karena nyaris seluruh biaya disubsidi oleh pemerintah daerah, sementara sistem pembayaran yang masih menggunakan pola 'fee for service' akan mengurangi kontrol biaya. Sebaliknya Purbalingga merupakan contoh yang lebih baik, karena dukungan iuran warga membuat subsidi pemerintah terhadap program terkontrol dan justru belakangan menurun. Keberlanjutan dari sisi financial dipengaruhi pula oleh tren menurunnya Dana Perimbangan (DAU), pada tahun anggaran 2009 dengan kenaikan gaji PNS sebesar 15%, namun DAU hanya naik 7%. Padahal peruntukan DAU adalah untuk belanja tidak langsung yang sifatnya fix cost seperti gaji pegawai. Resikonya adalah belanja langsung atau belanja pembangunan yang akan dikurangi untuk menutupnya. Di lain pihak, komitmen menggratiskan kesehatan akan menghilangkan sebagian besar PAD dalam bentuk retribusi pada sektor kesehatan. Bila pembiayaan kesehatan menggantungkan pada APBD semata, pada kondisi dimana terdapat external shock seperti turunnya DAU, akan menjadikan ketidakpastian pembiayaan pada jangka panjang, karena tergantung pada bagaimana kondisi pada saat APBD ditetapkan.
  • 12. Page 12 of 14 Keempat, kapasitas fiscal Kapasitas fiscal berkaitan erat dengan kemampuan daerah dalam APBD serta kewajiban yang harus ditanggung. Dalam beberapa daerah dengan kapasitas fiscal besar, sebagian besar adalah daerah berbentuk Kota (Semarang, Solo, Yogyakarta), walaupun Kabupaten Kendal juga mengalokasikan anggaran yang besar. Di daerah seperti Kabupaten Magelang, dengan penduduk 1,3 juta dan APBD sejumlah 800-an M. Argumentasi rendahnya belanja langsung adalah kewajiban daerah dalam menanggung dampak peraturan, seperti di PP No.72 yang mengamatkan pe V. Kesimpulan Ditengah ketidakpastian mengenai desain dan aturan sistem jaminan kesehatan yang akan diterapkan di Indonesia, beberapa daerah telah mulai mengembangkan inovasi yang beragam. Disatu sisi, analisa diatas menunjukkan bahwa ketersediaan anggaran bukanlah faktor determinan yang utama. Kapasitas fiskal daerah yang relatif sama, memunculkan variasi model yang kaya ragamnya. Akan tetapi ketersediaan anggaran tanpa desain yang matang dan efisien juga bisa menimbulkan jebakan finansial di masa depan, yang mengancam sustainabilitas pelayanan. Di sisi lain, tampaknya perkembangan inovasi diatas justru lebih dipengaruhi oleh faktor- faktor non-anggaran. Komitmen kepala daerah, dukungan politik dan keaktifan civil society, mungkin hanya sebagian dari faktor-faktor internal yang mempengaruhi dinamika. Sebaliknya, posisi pemrintah pusat justru tidak menjadikan inovasi daerah berkembang, karena ketidakjelasan aturan main terkait sistem jaminan kesehatan.
  • 13. Page 13 of 14 Lampiran 1: Profil Jaminan Kesehatan Masing-masing Daerah Studi Purbalingga merupakan daerah yang tergolong paling awal menerapkan sistem ini (2002). Bermula dari penyelenggaraan program JPSBK pada tahun 2001, yang dikelola oleh lembaga berupa Badan Penyelenggara (Bapel). Program ini menjadi pemicu Bupati dan jajarannya untuk mengembangkan program sejenis tetapi dengan orientasi yang lebih maju. Cakupan kepesertaan total saat ini berkisar antara 60.000 – 70.000/tahun (5%) dengan premi sebesar Rp 100.000/jiwa/tahun. Kepesertaan terbagi atas tiga kelompok: (i) maskin, premi disubsidi penuh oleh pemda (ii) paska maskin, premi disubsidi pemda setengahnya, sisanya dibayar peserta (Rp 50.000) (iii) non-maskin, mengiur premi utuh. Jogjakarta memulai program pada tahun 2005, berpayung peraturan walikota (Perwal). Cakupan kepesertaan saat ini sekitar 70.000 (20%). Jogjakarta berbeda dari daerah lain, menambahkan kelompok khusus sebagai sasaran program, yaitu kelompok yang dianggap menjadi bagian dari kepemerintahan daerah dan kelompok rentan (PKK, RT/RW, penderita penyakit tertentu, ibu hamil, dll) yang mencerminkan karakteristik daerah urban. Untuk Jogjakarta kepesertaan non maskin belum berjalan. Pencakupan jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin di Jogjakarta juga dibagi dengan Provinsi dengan program Jamkesos. Solo termasuk baru memulai program, yaitu pada tahun 2007, dengan payung hukum berupa Perda. Cakupan kepesertaan total saain ini sekitar 150.000 (35%). Kepesertaan Solo terdiri dari Kelompok Gold (maskin), dengan iuran premi sebesar Rp 1.000/jiwa/tahun disubsidi pemerintah, dan Kelompok Silver (non-maskin) yang mengiur Rp 4.000/jiwa/tahun. Dengan pola seperti itu Solo sudah masuk pada inisiasi Universal Coverage