1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Air mata merupakan media yang berfungsi untuk membersihkan dan
melubrikasi bola mata. Air mata diproduksi oleh glandula lakrimal utama dan
asesorius. Ketinggian lapisan air mata di permukaan bola mata normalnya
sekitar 3,4 µm. Ketinggian lapisan air mata ini meningkat pada pasien yang
mengeluhkan mata berair.1,2,3
Sekitar 40% pasien datang ke dokter mata dengan keluhan mata
berair. Keluhan ini sangat mempengaruhi kenyamanan pasien dan dapat
mempengaruhi fungsi penglihatan. Keluhan mata berair dapat disebabkan
hipersekresi dan gangguan ekskresi air mata. 1,2,3
Tatalaksana keluhan mata berair bergantung pada etiologinya. Setiap
penyebab dari keluhan dan tanda mata berair menimbulkan manifestasi
klinis yang berbeda-beda. Dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan lanjutan yang baik untuk mencari tahu etiologi mata berair.1,2,3
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk menjelaskan
mengenai keluhan mata berair terutama pada etiologi dan cara menegakan
3. 3
BAB II
SISTEM LAKRIMAL
2.1. Anatomi
Sistem lakrimal terbagi menjadi dua berdasarkan fungsinya, yaitu
sekresi dan ekskresi air mata. Glandula lakrimal terletak pada fossa lakrimal
di kuandan temporolateral rongga orbita. Glandula lakrimal mirip seperti
glandula lain di tubuh, merupakan jenis glandula tubuloalveolar. Glandula
ini terbagi mejadi dua bagian oleh muskulus levator palpebral superior
menjadi segmen palpebral dan segmen orbita. Secara hitologis, glandula
lakrimal merupakan sel epitel kolumnar yang dilapisi sel mioepitel.2,4
Gambar 1. Anatomi Sisktem Lakrimal.
Dikutip dari: Lawrence ML, Brar VS, Glodstein MH. Orbits, Eyelid, and Lacrimal System.
American Academy Of Ophthalmology. Section 7. 2015-2016: 245
Iritasi pada permukaan bola mata mengaktivasi produksi air mata dari
kelenajar air mata. Cabang oftalmik pada nervus trigeminus memberikan
4. 4
jalur aferen (sensori) pada refleks air mata. Jalur eferen parasimpatis keluar
dari pons di nukleus salivatori superior melewati batang otak dan melalui
nervus kranialis VII. Dari jalur tersebut jaras lakrimal memasuki glandula
lakrimalis melalui cabang superior nervus zigomatikus. Kelenjar lakrimal
asesorius yakni kelenjar krausse dan wolfring berada di bagian dalam
forniks superior dan berada sangat dekat pada pinggir tarsus superior.
Kelenjar ini memiliki inervasi yang identik dengan kelenjar lakrimalis utama
dan menghasilkan kira-kira 10% dari total sekresi air mata.2,5
Pintu masuk sistem ekskresi lakrimal adalah pungta yang terletak di
bagian medial pada margin kelopak mata atas dan bawah. Pada pungta
terdapat ampula yang merupakan bagian yang menonjol ke arah dalam di
margin kelopak mata. Pungta memiliki diameter 0,3 mm dan terletak kira-
kira 6 mm dari temporal kantus medialis, dan pungta inferior sedikit lebih ke
temporal. Pungta ini mengarah ke kanalikuli.2,4.5
Kanalikuli terdiri dari segmen vertikal yang pendek dan segmen
horizontal. Kanalikuli tersebut dilapisi sel epitelium squamous stratified non
keratinizing. Kanalikula ini memiliki panjang sekitar 2 mm ke arah vertikal
dan sekitar 8-10 mm ke arah horizontal. Tiap kanalikuli bermuara pada
sakus lakrimalis. Sambungan dari kanalikuli dan sakus lakrimal dibatasi
oleh Katup Rossenmuler. Katup ini berfungsi mencegah refluks dari sakus
lakrimal ke kanalikuli.2,4
5. 5
Sakus lakrimal merupakan struktur yang kistik yang dilapisi sel epitel
kolumnar. Terletak pada bagian medial dari anterior orbit. Duktus
Nasolakrimalis (DNL) melewati tulang sepanjang lebih dari 12 mm. DNL
berakhir di ostium di meatus inferior yang sebagian tertutupi oleh lapisan
mukosa (katup hesner). Kegagalan di tingkat ostium ini menyebabkan
obstruksi duktus nasolakrimalis yang bersifat kongenital.2,4-6
Eksresi air mata sangat dipengaruhi patensi saluran ini secara
anatomis. Pungta harus secara anatomis setinggi meniskus film air mata.
Masuk nya air mata dipengaruhi pompa dan difragma pada sakus lakrimalis
memberikan tekanan positif. Patensi saluran ini dapat dievaluasi melalui tes
pewarnaan, irigasi, dan dakriosistografi.2,3,6
Gambar 2. Reabsorbsi Komponen Air Mata Pada Saluran Lakrimal
Dikutip dari: Weber RK, Keer L, Schaefar RD, Rocca Della CR. Atlas of Lacrimal Surgery.
Jerman. Springer. 2007:12
Epitel pada sakus dan duktus nasolakrimal memiliki peran penting
dalam absorbsi air mata. Berdasarkan teori jones, air mata mengalir dari
kanalikula lakrimalis melalui pungtum lakrimal dan dikumpulkan selama
beberapa waktu. Mukosa sakus dan duktus nasolakrimal terdiri dari struktur
6. 6
sel epitel dua lapis yakni stratum basale yang berbentuk mikrovili dan sel
kolumnar. Di bawah lapisan sel ini, terdapat pleksus venosus yang
membentuk kavernosum. Pembuluh darah ini kemudian bersatu pada
pembuluh darah ekstraorbita. Absorbsi air mata ini akan memberikan
positive feedback pada produksi air mata.2,4,7
2.2 Fisiologi Sistem Lakrimal
2.2.1 Fisiologi Sistem Sekresi Air Mata
Lapisan air mata prekorneal penting mempertahankan fungsi normal
dari kornea. Lapisan film ini terdiri dari 3 lapisan, yaitu :
2.2.1.1 Lapisan Lipid
Lapisan lipid yang terdapat pada bagian paling luar air mata. Lapisan
ini dihasilkan oleh glandula meibom yang terletak pada tarsus. Glandula ini
berjajar dan setinggi tarsus. Terdapat sebanyak 30-40 glandula meibom
pada kelopak mata atas dan 20-30 glandula meibom pada kelopak mata
bawah. Fungsi lapisan lipid pada film air mata adalah:2,8
a. Mengurangi evaporasi.
b. Sebagai barier hidropobik.
c. Mencegah kerusakan pada kornea dan konjungtiva akibat gesekan
kelopak mata.
7. 7
2.2.1.2 Lapisan Akuos
Lapisan akuos yang disekresi oleh glandula lakrimal utama dan
asesorius (Krause dan Wolfring). Lapisan ini memiliki fungsi :1,5,9
a. Menyediakan oksigen dan nutrisi ke kornea serta membawa
karbondiksida dan metabolit lainnya.
b. Mempertahankan keseimbangan elektrolit air mata. Elekrolit ini
berfungsi untuk mempertahankan aliran osmotik (300–304 mOsm)
dan menyeimbangkan pH air mata (7,14 - 7,82). Ion yang berpengaruh
terhadap keseimbangan elektrolit ini adalah bikarbonat (HCO3-).
c. Menyediakan kofaktor enzim untuk mempertahankan permeabilitas
dinding sel. Diantara sel acini pada glandula lakrimal terdapat banyak
sel plasma yang mengekskresikan IgA dan menjadi bagian penting
dari eye-associated lymphoid tissue (EALT). Sel plasma menginduksi
terbentuk nya peptida antimikroba seperti beta defensins, protein
surfaktan A dan D seperti musin MUC4, MUC5AC, MUC5B, and
MUC7.
d. Melapisi kornea bagian depan dan menutupi permukaan kornea yang
ireguler sehingga membantu kemampuan refraktif kornea.
e. Menghilangkan debris.
f. Memodulasi fungsi sel kornea dan konjungtiva.
8. 8
2.2.1.3 Lapisan Musin
Lapisan musin dihasilkan oleh sel goblet. Lapisan ini merupakan
lapisan paling dalam yang terdiri dari musin, elektrolit, protein , dan air.
Fungsi dari lapisan ini:5,9
a. Penghubung antara lapisan yang hidrofobik menjadi hidrofilik.
b. Menstabilkan lapisan air mata dengan cara menurunkan tekanan
permukan air mata.
c. Melubrikasi bola mata dari kelopak mata.
d. Bersifat antibakterial dan antiviral dengan berikatan pada lapisan
konjungtiva dan kornea sehingga mecegah kontak dengan bakteri
atau virus.
2.2.2 Fisiologi Sistem Eksresi Air Mata
Air mata tersebar di seluruh permukaan bola mata dengan mengedip
dan membentuk lapisan film prekorneal air mata. Setiap kontraksi dari otot
orbikularis okuli menekan air mata sehingga memasuki sistem saluran air
mata. Kira-kira 1,2 UL/ menit dan dapat meningkat hingga 100 kali apabila
terdapat refleks air mata. Sebanyak 90% dari air mata yang dikeluarkan ini
mengalir melalui duktus nasolakrimalis dan sisa nya melalui dasar dari
cavum nasal. Kecepatan evaporasi air mata sangat bervariasi namun
normalnya sebanding dengan selisih kecepatan produksi dan kecepatan air
mata yang mengalir melalui duktus nasolakrimal.4,6
9. 9
Gambar 3. Pompa Lakrimal
Dikutip dari: Weber RK, Keer L, Schaefar RD, Rocca Della CR. Atlas of Lacrimal Surgery.
Jerman. Springer. 2007: 5
Kontraksi otot orbikularis okuli menimbulkan mekanisme pompa
terhadap ekskresi air mata. Penutupan kelopak mata menimbulkan tekanan
negatif pada saluran ekskresi air mata yang mendorong air mata ke sakus
lakrimalis. Ketika mata terbuka, dan otot orbikularis okuli akan relaksasi dan
timbul tekanan positif sehingga, air mata yang berada di sakus memasuki
duktus lakrimal. Semua hal yang menimbukan gangguan fungsi pompa
lakrimal dan kelainan posisi dari pungta menimbulkan keluhan mata berair.6
10. 10
BAB III
MATA BERAIR
Mata berair merupakan suatu kondisi yang disebabkan banyak faktor.
Kondisi ini disebabkan ketidakseimbangan antara produksi air mata dan
gangguan pada sistem ekskresi air mata. Terdapat banyak penyebab, cara
menegakan diagnosa, dan tatalaksana keluhan mata berair. Diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan yang tepat untuk menentukan terapi
berdasarkan penyakit yang mendasarinya.3
3. 1 Epidemiologi Mata Berair
Berdasarkan penelitian Guang Lin Shen dkk, menyatakan bahwa
terdapat sekitar 40% pasien yang berobat ke dokter mata, mengeluhkan
mata berair yang disebabkan sindroma mata kering. Namun, penelitian
yang sama juga menyatakan bahwa obstruksi saluran lakrimal merupakan
etiologi tersering pada pasien yang berobat ke dokter okuloplastik.
Sumbatan yang tersering menimbulkan keluhan terjadi pada sistem lakrimal
bawah. Namun pada subjek yang berusia di atas 75 tahun, malposisi
kelopak mata merupakan penyebab tersering keluhan mata berair.3
11. 11
Etiologi Jenis Kelamin (%) Rerata
Usia
Prevalensi
(%)Perempuan Laki-laki
Malposisi kelopak mata 46 54 64.5±28.6 11
Refleks mata berair 55 45 61,2±19,2 22
Obstruksi Lakrimal
Obstruksi Duktus
Nasolakrimal Kongenital
Obtruksi atas
Obstruksi bawah
65
35
73
69
35
65
27
31
45±28,1
3,5±3,9
42,6±24,6
57,1±28,1
46
7
11
27
Multifaktorial
2 penyebab
3 penyebab
38
17
3
62
57
75
69,0±14,1
68,2±15,0
71,5±10,3
22
16
5,06
Tabel 1. Etiologi Mata Berair
Dikutip dari: Guang Lin Shen, John D NG, Xiao Ping Ma. Etiology, Diagnosis ,
Management, and Outcome of Epiphora Referrals to an Oculoplastic Practice.
International Journal of Ophthalmology. 2016: 1752.
Pada penelitian lain, Arie N Yamet, memberikan kesimpulan hasil
yang mirip. Terdapat perbedaan prevalensi antara pasien yang megeluhkan
mata berair yang berobat ke dokter mata dan yang berobat ke dokter
okuloplastik. Keluhan mata berair pada pasien yang diakibatkan
hipersekresi akibat sindroma mata kering sebesar 5-35%, dan sebesar
0,03% akibat obstruksi saluran lakrimal. Penelitian yang mengambil sampel
di tempat praktek dokter okuloplastik menunjukan prevalensi keluhan mata
berair akibat obstruksi saluran lakrimal meningkat menjadi 32-48% dan 30-
40% akibat hipersekresi.10
Tabel 2. Karakteristik Epifora Berdasarkan Jenis Kelamin
Dikutip dari: Arie Y. Nemet. The Etiology of Epiphora: A Multifactorial Issue. Seminar in
Ophthalmology. Israel. 2016: 3
12. 12
Insidensi etiologi mata berair berbeda antara kelompok usia. Pada
kelompok usia di bawah 70 tahun, penyebab terbanyak keluhan mata berair
adalah obstruksi saluran lakrimal. Namun berbeda pada kelompok usia di
atas 70 tahun. Penyebab terbanyak keluhan mata berair adalah malposisi
kelopak mata.3,10
Gambar 4. Grafik Epidemiologi Mata Berair Berdasarkan Usia
Dikutip dari: Arie Y. Nemet. The Etiology of Epiphora: A Multifactorial Issue. Seminar in
Ophthalmology. Israel. 2016: 3
3.2 Penegakan Diagnosa Mata Berair
3.2.1 Anamnesis
Tujuan anamnesis yang pertama adalah untuk menentukan keluhan
mata berair disebabkan oleh lakrimasi atau epifora. Beberapa pertanyaan
yang diperlikan untuk membantu menegakan diagnosa antara lain:2,4,6
13. 13
a. Sifat keluhan mata berair: terus menerus atau intermiten.
Perlu ditanyakan pula kondisi yang memperberat keluhan misalnya
suhu untuk mencari kemungkinan penyebab akibat kegagalan patensi
saluran eksresi air mata.
b. Terdapat remisi atau tidak.
c. Kondisi unilateral atau bilateral.
d. Rasa tidak nyaman pada mata.
Pada anamnesis juga harus ditanyakan keluhan yang menyertai,
misalnya rasa mengganjal pada mata atau keluhan mata merah. Hal
ini bertujuan untuk mencari tahu kemungkinan keluhan mata berair
yang diakibatkan hipersekresi.
e. Riwayat alergi.
f. Riwayat penggunaan obat topikal.
g. Riwayat probing terdahulu.
h. Riwayat infeksi penyakit.
i. Riwayat penyakit sinus atau operasi.
j. Riwayat infeksi sakus lakrimal.
k. Sifat air matanya jernih atau terdapat sekret atau darah.
3.2.2 Pemeriksaan Oftalmologi
Tujuan pertama pemeriksaan pada pasien mata berair adalah untuk
mentukan penyebabnya dan untuk membedakan keluhan mata berair
akibat hipersekresia atau akibat obstruksi sistem lakrimal.
14. 14
Lakrimasi Epifora
Tes Sekresi Tes Anatomi Tes Fisiologi
Tes Schimer
Tes Rose Bengal
Tear Film Break Up
Palpasi Sakus Lakrimal
Irigasi
Probing Diagnostik
Dakrioscintigrafi
Pemeriksaan hidung
CT dan MRI
Flourescein Test
Disappearance
Scintiagrafi
Jones Dye I
Tabel 3. Pemeriksaan pada Pasien Mata Berair
Dikutip dari: Weber RK, Keer L, Schaefar RD, Rocca Della CR. Atlas of Lacrimal Surgery.
Jerman. Springer. 2007: 33
3.2.2.1 Inspeksi
Pemeriksaan eksternal pada pungta dan kelopak mata menggunakan
lampu slit. Pemeriksaan ini penting dilakukan sebelum pemeriksaan
diagnostik lain. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menentukan
penyebab mata berair, misalnya akibat lakrimasi atau akibat obstruksi
saluran ekskresi air mata.4,11
Kelopak mata Kelemahan kelopak mata bawah, entropion, ektropion,
eversi pungta, trikiasis, blefaritis, tes snap back, pinch
test, dll.
Kantus
Medial
Pembesaran sakus lakrimal di bawah tendon kantus
medial (dakriosistitis, mukokel), pembesaran sakus
lakrimal di atas tendon kantus medial (neoplasia).
Sakus
lakrimal
Refluks mukopurulen, nyeri pada saat penekanan.
Tabel 4. Inspeksi dan Palpasi Pasien Mata Berair
Dikutip dari: Weber RK, Keer L, Schaefar RD, Rocca Della CR. Atlas of Lacrimal Surgery.
Jerman. Springer. 2007: 33
15. 15
Hal yang mungkin tampak:4,6,11
a. Bendungan air mata di bagianmedial mata atau sebelah lateral kantus
mata mengindikasikan kemungkinan gangguan drainase air mata.
b. Sekret yang mukopurulen umumnya menyertai pada obstruksi
lakrimal di duktus nasolakrimalis daripada obstruksi di tingkat pungta.
c. Stenosis pungta. Stenosis ini terjadi sekitar sebanyak 50% pada
setiap populasi.
d. Kondisi kelopak mata seperti ektropion, kelemahan, fistula,
blepharitis.
e. Malposisi pungta.
3.2.2.2 Palpasi
Pada dakriosistitis, palpasi daerah sakus lakrimal akan menyebabkan
nyeri. Palpasi ini juga penting untuk menyingkirkan kemungkinan tumor
atau batu.4,6
3.2.3 Pemeriksaan Oftalmologi Tambahan
3.2.3.1 Tes Schimer
Tes ini bertujuan untuk memberikan gambaran fungsi glandula
lakrimalis. Tes schimer menilai kuantitas air mata yang disekresikan dan
bukan kualitas. Pada sindroma mata kering tipe defisiensi akuos, hasil
16. 16
pemeriksaan schimer menurun sementara pada sindroma mata kering
evaporatif, tes schimer menunjukan hasil yang normal. Pada sindroma
mata kering evaporatif, lapisan air mempertahankan homeostasis akibat
berkurangnya lapisan lipid. Pemeriksaan schimer dapat dilakukan dengan
anastesi untuk menilai sekresi dasar dan tanpa anastesi untuk menilai
sekresi maksimum dari sekresi dasar dan refleks.6,13,14
Cara tes schimer adalah sebagai berikut :6,13
a. Kertas filter (Whatman no 41) dilipat 5 mm dari ujung kertas dan
diinsersi di kelopak mata bawah sekitar ½ sampai 1/3.
b. Pasien diinstruksikan menutup mata secara hati-hati sehingga kertas
filter terhindar dari kornea.
c. Setelah 5 menit, kertas filter diambil dan dihitung jarak dari bagian
yang basah dan lipatan.
d. Jarak kurang dari 10 mm pada mata yang tidak dianastesi atau 6 mm
pada mata yang dianastesi dinyatakan tidak normal.
3.2.3.2 Tes Rose Bengal
Pewarnaan rose bengal merupakan pewarnaan yang larut air.
Pewarnaan ini akan melekat pada lapisan epitel kornea dan konjungtiva
yang epitelnya mati yang tidak tertutupi oleh lapisan musin air mata.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan pada pasien
17. 17
dengan sindroma mata kering, atau yang dicurigai memiliki kelainan pada
lapisan epitel misalnya neoplasma intraepitelial.3,6
Gambar 5. Pewarnaan Konjungtiva Flourescein dan Rose Bengal
Dikutip dari : Jack J Kanski,Brad Bowling, Ken Nischal, Andrew Pearson. Clinical
Ophthalmology A Systemic Approach. Edisi 8. 2011: 123
3.2.3.3 Tear Break Up Time (TBUT)
Tear Break Up Time bertujuan untuk menilai stabilitas air mata. Tes
ini mengukur kekeringan kornea stetelah satu kedipan. Tujuan nya untuk
menilai fungsi lapisan musin pada film air mata. Musin berfungsi untuk
membantu penyebaran air mata pada kornea. Cara melakukan TBUT
adalah: 6,12,13
a. Fluoresein strip diinsersi pada forniks inferior atau konjungtiva bulbar
atau cairan fluoresein 2-5% pada konjungtiva bulbar sebanyak 1-5 µl.
b. Pasien diminta berkendip beberapa kali dan menggerakan matanya
agar zat warna fluoresein tercampur air mata.
c. Mata pasien diobservasi dengan sinar kobalt biru dari lampu slit
dengan lebar kurang lebih 4 mm.
d. Kemudian diamati permukaan bola mata dari satu sisi hingga ke sisi
lain.
18. 18
e. Pasien diminta berkedip alami sehingga dapat diamati lapisan
fluoresein yang homogen.
f. Waktu diukur sampai terlihat pecahnya lapisan air mata.
g. Nilai TBUT dapat dihitung dari satu kali percobaan atau rerata dari 3
percobaan.
Waktu yang kurang dari 10 detik dinilai memiliki fungsi musin yang
buruk. TBUT meningkat pada pasien sindroma mata kering evaporatif dan
sindroma mata kering defisiensi akuos. TBUT juga memiliki korelasi dengan
jumlah berkedip pasien sindroma mata kering. Pasien sindroma mata
kering berkedip lebih sering untuk meningkatkan kualitas regularitas lapisan
air mata.6,12,13
3.2.3.4 Flourescein Disappearance Test (FDT)
Pada banyak pasien dengan keluhan mata berair, meniskus film air
mata tidak meningkat signifikan diatas 0,6 mm, dimana ketinggian
meniskus mata normal 0,2-0,4 mm. Tidak terdapat perbedaan hasil FDT
pada pasien dengan kelainan anatomi atau fungsional. Tes ini bersifat
sensitif dan umum dilakukan pada anak karena sulitnya melakukan irigasi
lakrimal tanpa sedasi.4,6
Tes ini dilakukan melalui penetesan cairan fluoresein 1-2% di forniks
konjungtiva atau dengan penggunaan fluoresein strip yang dibasahi.
19. 19
Normalnya, fluoresein ini akan hilang setelah 5-10 menit. Ketidaknormalan
pada tes ini mengindikasikan kemungkinan inadekuat drainase lakrimal.4,6
Derajat Hasil FDT
0 Tidak ada fluoresein pada sakus konjungtiva
1 Terdapat sedikit fluoresein pada sakus lakrimal
2 Fluoresein lebih banyak daripada derajat 1, namun tidak
sebanyak pada derajat 3
3 Terdapat fluoresein yang banyak pada sakus lakrimal
Tabel 5. Hasil Flourescein Dissapearance Test
Dikutip dari: Weber RK, Keer L, Schaefar RD, Rocca Della CR. Atlas of Lacrimal Surgery.
Germany. Springer. 2007: 36
3.2.3.5 Irigasi Lakrimal
Tes ini hanya dapat dilakukan pada kondisi dimana pungta lakrimal
diyakini tidak ada hambatan dan merupakan kontraindikasi pada kondisi
infeksi akut. Tujuan tes ini untuk menilai patensi saluran ekskresi lakrimal
secara anatomis.2,6,11
Cara melakukan irigasi lakrimal melalui:2,6,11
a. Anastesi lokal diberikan di forniks konjungtiva.
b. Dilatasi orifisium pungta dengan dilator. Dimasukan secara vertikal
kemudian diteruskan ke horizontal dengan memberikan tarikan ke
lateral pada kelopak mata. Tarikan ini berfungsi untuk mencegah
kingking kanalikuli.
c. Dengan kanula lakrimal berukuran 26-27 Gauge yang disambungkan
dengan spuit 3 cc yang terisi larutan salin dimasukan melalui orifisium
pungta inferior dan diteruskan hingga ke kanalikuli.
20. 20
d. Irigasi dengan larutan salin. Mengalirnya larutan ini akan terasa oleh
pasien di hidung dan tenggorokan. Hal ini mengindikasikan patensi
saluran ekskresi air mata walau masih memungkinkan bila ada
stenosis, atau akibat kegagalan pompa lakrimal. Kegagalan larutan
salin mengalir ke hidung atau tenggorokan mungkin disebabkan
obstruksi pada duktus nasolakrimalis Pada kondisi ini sakus lakrimal
akan sedikit terdistensi dan timbul regurgitasi pada pungta superior
dan inferior.
Gambar 6. Irigasi Lakrimal
Dikutip dari: Hold JB, Chang WJ, Durairaj WD, dkk. Orbits, Eyelid, and Lacrimal System.
American Academy Of Ophthalmology. Section 7. 2015-2016: 260
3.2.3.6 Probing
Tes diagnosis probing dilakukan apabila tes irigasi lakrimal atau tes
lain menunjukan terdapat obstruksi dan menunjukan lokasi dari obstruksi.
Obstruksi terletak di bawah kanalikuli komunis menimbulakan regurgitasi
21. 21
yang terjadi pada pungta yang berlawanan. Pemeriksa sering
menggunakan Probe Bowman karena terdapat 3 jenis ukuran.4,6
Cara melakukan tes diagnosis probing, antara lain:4,6
a. Mata yang diperiksa diberikan anastesi topikal.
b. Pungta didilatasi dengan dilator.
c. Probe dimasukan secara vertikal melalui pungta kemudian diteruskan
secara horizontal dengan menarik kelopak mata secara horizontal
sampai memasuki tulang lakrimal atau bertemu obstruksi di kanalikuli.
d. Soft stop timbul apabila kanula terhenti pada sambungan kanalikuli
dan sakus lakrimal. Hal ini timbul akibat kanula terhambat jaringan
lunak.
e. Hard stop timbul apabila probe memasuki sakus lakrimal dan
menyentuk dinding medial. Hal ini mengindikasi patensi kanalikuli.
f. Apabila terdapat obstruksi pada kanalikuli, jarak dari pungta dan lokasi
obstruksi diukur.
Gambar 7. Tehnik Probing Pungta Lakrimal
Dikutip dari: Jack J Kanski,Brad Bowling, Ken Nischal, Andrew Pearson. Clinical
Ophthalmology A Systemic Approach. Edisi 8. 2011: 67
22. 22
3.2.3.7 Jones Dye Testing
Tes ini dilakukan pada pasien yang terindikasi mengalami obstruksi
partial pada sistem drainase lakrimal. Keluhan epifora ada namun pada tes
irigasi dengan salin dinyatakan postif. Terdapat dua fase pada tes ini: 4,6,7,11
3.2.3.7.1 Tes Primer
Tes primer pada Jones Dye Testing adalah tes untuk menilai fungsi
saluran lakrimal. Tes ini mirip seperti tes sakarin yang menilai fisiologi
saluran lakrimal. Namun Jones Dye Testing dapat dilakukan pada anak-
anak. Cara tes ini melalui penetesan cairan flurescein 2% di sakus lakrimal.
Setelah 2 dan 5 menit kapas lidi yang dioleskan anastesi alis di meatus
inferior.
a. Hasil positif ditandai dengan fluoresein yang terdapat pada meatus
inferior mengindikasikan patensi pada saluran eksresi air mata.
Kemungkinan keluhan mata berair akibat hipersekresi dan tidak
memerlukan tambahan tes lain.
b. Hasil negatif mengindikasikan sumbatan pada sistem ekskresi air
mata atau kegagalan pompa lakrimal. Apabila didapatkan hasil negatif
pada tes primer maka tes jones dilanjutkan ke tes sekunder untuk
membantu menegakan diagnsosa nya.
23. 23
Gambar 7. Tes Primer Jones Dye Testing
Dikutip dari: Jack J Kanski,Brad Bowling, Ken Nischal, Andrew Pearson. Clinical
Ophthalmology A Systemic Approach. Edisi 8. 2011: 68
3.2.3.7.2 Tes Sekunder
Tujuan tes sekunder pada pemeriksaan jones dye adalah untuk
menentukan apakah penyebabnya kegagalan pompa atau akibat obstruksi
partial saluran air mata. Cara melakukan nya adalah dengan memberikan
anastesi topikal. Kemudian larutan fluoresein yang pada tes pertama
dibersihkan dari konjungtiva. Diikuti dengan irigasi sakus lakrimalis dengan
larutan fluoresein dan kapas lidi di meatus inferior. Hasil postif bila
pewarnaan fluoresein tampak pada kapas lidi dan mengindikasikan
obstruksi parsial pada saluran dustus nasolakrimal bagian distal atau
kegagalan fisilogi lakrimal. Hasil negatif bila terdapat obstruksi total pada
saluran lakrimal.
24. 24
Gambar 8. Tes Sekunder Pada Jones Dye Testing.
Dikutip dari: Jack J Kanski,Brad Bowling, Ken Nischal, Andrew Pearson. Clinical
Ophthalmology A Systemic Approach. Edisi 8. 2011: 68
3.2.4 Pemeriksaan Penunjang
3.2.4.1 Dakriosistografi dengan Kontras
Dakriosistografi dengan kontras dilakukan dengan cara menyuntikan
zat kontras (ethiozid oil) ke kanalikuli dan diikuti dengan pengambilan foto
rontgen. Indikasi tes ini adalah untuk memastikan posisi sumbatan yang
nanti nya bisa digunakan sebagai petunjuktidakan operasi, dan dapat
digunakan untuk membantu penegakan diagnosa misalnya, divertikulitis,
fistula, atau fillingdefect pada batu atau tumor. Kontra indikasi tes ini adalah
pada saat infeksi akut dan pada sumbatan yang jelas lokasinya (misalnya
terdapat regurgitasi mukokel).4,6
25. 25
Gambar 9. Dakriosistografi dengan Kontras.
Dikutip dari: Jack J Kanski,Brad Bowling, Ken Nischal, Andrew Pearson. Clinical
Ophthalmology A Systemic Approach. Edisi 8. 2011: 68
3.2.4.2 Nuklear Lakrimal Scintigrafi
Scintigrafi digunakan untuk menilai patensi saluran lakrimal dalam
suasana yang fisiologis. Hal ini digunakan untuk mengkonfirmasi
kemungkinan penyebab sumbatan yang disebabkan hal yang fungsional.
Lakrimal scintigrafi tidak boleh dilakukan pada pasien dengan infeksi mata,
alergi terhadap zat kontras, ibu hamil, dan menyusui. 4,6
Lakrimal scintigrafi dilakukan tanpa memberikan tekanan positif saat
memasukan zat kontras. Dengan menggunakan kamera gamma, misalnya
Siemens Digitrac 3700 Kamera Orbiter Spect Gamma (Siemens, Erlangen,
Germany), dengan pin-hole collimator, sebanyak 50 μCi Tc-99 m
pertechnetate (dalam 50 μl salin) dimasukan di konjungtiva forniks dan
diusahakan tidak mengenai permukaan kornea. Pasien berdiri di depan
kamera gamma, mengedip secara normal. Dilakukan pengambilan gambar
tiap 10 detik – 10 menit.15
26. 26
Batas waktu yang digunakan untuk menilai aliran zat kontras
umumnya 10-15 menit. Pada pasien dengan keluhan mata berair,
dikatagorikan fungtional impedence apabila terdapat hambatan pengaliran.
Hambatan aliran dapat terjadi di beberapa titik, misalnya pra sakus, pra
duktus, atau interduktus. Namun dikatagorikan mengalami obstruksi
apabila tidak terdapat zat kontras di meatus.15
3.2.4.3 CT dan MRI
CT dan MRI digunakan untuk mencari tahu kemungkinan sumbatan
akibat gangguan di sinus paranasal atau sakus lakrimalis. Umumnya
dipakai apabila dicurigai sumbatan berasal dari bagian luar duktus lakrimal.
MRI tidak rutin digunakan, hanya pada kasus tertentu.4,6
3.2.5 Pemeriksaan Internal Nasal
Tujuan pemeriksaan internasal adalah untuk mengevaluasi apakah
sumbatan terletak di distal akibat gangguan di hidung misal polip atau
septum deviasi. Pemeriksaan dapat menggunakan spekulum hidung
namun memberikan visualisasi yang kurang baik, dan dapat juga
menggunakan endokopi untuk memberikan visualisasi yang lebih baik.4,6
27. 27
Pemeriksaan internal nasal, meliputi 3 langkah, anatar lain:4,6
a. Pemeriksaan generalisata, inspeksi vestibula nasal, nasofaring,
meatus inferior.
b. Endoskopi pada bagian posterior meatus medial untuk menilai cavum
nasi superior.
c. Endoskopi pada bagian meatus medial untuk menilai dinding lateral
cavum nasi.
3.3 Klasifikasi Mata Berair
Sistem lakrimal ini sangat berkaitan dengan keseimbangan antara
produksi dan kehilangan air mata. Hal ini sangat berpengaruh pada
kesimbangan faktor lingkungan, fisik, dan biologi. Klasifikasi mata berair
berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi hipersekresi air mata dan
sumbatan pada saluran lakrimal.
Hipersekresi
(Lakrimasi)
Penurunan Ekskresi Air Mata(Epifora)
Faktor Anatomi Faktor Fisiologi
1. Benda asing di
kornea
2. Iritasi pada kornea
3. Inflamasi pada bola
mata
4. Gangguan refraksi
5. Iritasi dan inflamasi
cavum nasi
1. Striktur
2. Obstruksi
3. Benda asing
(misalnya batu)
4. Tumor
1. Kelemahan otot
orbicularis okuli
2. Malposisi pungta dan
kelopak mata
3. Obstruksi di cavum
nasi dengan patensi
saluran ekskresi air
mata
Tabel 6. Klasifikasi Etiologi Mata Berair
Dikutip dari: Mynor Yanoff. Jay S Dunker. Jefrey J Hurwitz. Ophthalmology. Third
Edition. Elsevier. London. 2009
28. 28
3.3.1 Hipersekresi
Hipersekresi air mata dapat disebabkan penyakit atau inflamasi pada
bagian anterior bola mata. Hipersekresi pada pasien mata berair sering
disertai keluhan lain dari penyakit yang mendasari. Kondisi lain yang
menyebabkan hipersekresi air mata antara lain kehilangan air mata
berlebih (evaporasi). Salah satu penyebab evaporasi air mata berlebih
adalah sindroma mata kering.3,6
Sindroma mata kering diklasifiklasikan menjadi 2 tipe yaitu, defisiensi
sekresi akuos pada glandula lakrimal dan tipe evaporasi berlebihan.
Ketidakstabilan lapisan air mata menyebabkan tingginya evaporasi
sehingga menstimulasi reseptor neurosensori di kornea dan konjungtiva
untuk menurunkan osmolaritas air mata. Berdasarkan Dry Eye Workshop,
instabilitas film air mata merupakan inti dari mekanisme yang mendasari
sindroma mata kering. Sekitar 20,6% dari pasien yang mengalami kronik
epiphora, memiliki meibomitis dan ketidakstabilan film air mata sebagai
penyebab utama mata berair. 3,6,10
Sindroma Non-Sjogren (SNS) merupakan penyebab terbanyak dari
kasus sindroma mata kering defisiensi akuos, sementara disfungsi kelenjar
meibom merupakan penyebab terbanyak dari sindroma mata kering
evaporatif. Mata berair pada Disfungsi Kelenjar Meibom (DKM) yang
menimbulkan keluhan mata berair merupakan tipe aliran kecil.Tipe aliran
29. 29
kecil DKM disebabkan hiposekresi lipid atau obstruksi saluran duktus
terminal glandula meibom.3,6,10,12,14
Tes schimer dapat digunakan untuk mengetahui fungsi kelenjar air
mata. Pada pasien sindroma mata kering evaporatif, tidak terdapat
perbedaan signifikan hasil tes schimer dengan orang normal dan menurun
pada pasien sindroma mata kering defisiensi akuos. Hasil Tear Break Up
Time antara DKM obstruktif dan sindroma mata kering defisiensi akuos
tidak menunjukan perbedaan signifikan. Ketinggian mesniskus air mata
pada pasien mata kering evaporatif dan orang normal relatif sama pada
penilaian dengan Optic Coherence Tomography ( > 220 µm). Pada mata
kering evaporatif, terdapat peningkatan sekresi air mata untuk
mempertahankan fungsi air mata sebagai bentuk kompensasi gangguan
fungsi kelenjar meibom. Sehingga pada pasien mata kering evaporatif,
memiliki meniskus film air mata yang lebih tinggi.12,14
3.3.2 Sistem Eksresi Air Mata
Penurunan dari pengaliran air mata dapat disebabkan malposisi
kelopak mata, disfungsi pompa lakrimal yang disebabkan kelemahan
kelopak mata, obstruksi dari saluran nasolakrimal, stenosis pungta, dan
lain-lain.6
30. 30
Berdasarkan tempat terjadinya, obstruksi sistem ekskresi lakrimal
terbagi menjadi:
3.3.2.1 Gangguan pada Konjungtiva
Gangguan pada konjungtiva dapat menimbulkan keluhan mata berair
misalnya konjuntivokalasis. Konjuntivokalasis merupakan lipatan satu atau
lebih dari konjungtiva. Lipatan konjungtiva di daerah margin kelopak mata
bawah dapat disebabkan hilangnya perlekatan konjungtiva dengan lapisan
di bawahnya yaitu kapsul tenson dan episklera. Lipatan ini menimbulkan
gejala sindroma mata kering dan menimbulkan keluhan epifora.
Tatalaksana dari konjuntivokalasis ini meliputi observasi dan pemberian
lubrikan untuk kasus ringan. Dan dapat pula dengan pemberian anti steroid
topikal. Pilihan terapi bedah dipertimbangkan pada kasus berat. 6
3.3.2.2 Gangguan pada Pungta
Gangguan pada pungta lakrimal dapat disebabkan diameter yang
terlalu kecil (oklusi, stenosis), terlalu lebar (biasanya iatrogenik), malposisi
atau tertutup struktur lain. Diameter pungta yang normal sekitar 0,2 mm –
0,5 mm. Umumnya pungta superior memiliki diameter lebih kecil daripada
diameter inferior. Stenosis pungta sering diikuti dengan stenosis kanalikuli.
Tidak ada batasan ukuran diameter yang dikatakan stenosis pungta,
namun pungta dianggap stenosis apabila tidak dapat dilalui dengan kanula
31. 31
lakrimal 26 Gauge. Diameter pungta yang terlalu lebar mempersulit pompa
lakrimal sehingga menimbulkan keluhan mata berair.2,6,16
Stenosis pungta dapat disebabkan beberapa hal, antara lain blefaritis
kronis, infeksi herpes, radioterapi, konjungtivitis sikatrik, dll. Angka kejadian
stenosis pungta dan obstruksi saluran lakrimal bagian atas meningkat pada
pasien yang menggunakan mytomicin C (MMC) secara topikal. MMC
menimbulkan reaksi inflamasi, fibrosis, sehingga mengarah pada stenosis
saluran lakrimal terutama pada pungta dan kanalikuli.6,16,17
Grade Klinis
0 Tidak terdapat papila dan pungta (pungta atresia)
1 Papila ditutupi membran, eksudat, atau fibrosis sehingga
sulit menemunkan pungta.
2 Ukuran dibawah normal, pungta bisa ditemukan.
3 Normal, hanya dibutuhkan dilator pungta
4 Diameter pungta < 2 mm
5 Diameter pungta ≥ 2 mm
Tabel 7. Derajat Pungta Lakrimal Eksterna
Dikutip dari: Murdock J, Lee WW, Zatezalo CC, Ballin A. Three Snip Punctoplasty
Outcome Rates and Follow Up Treatment. 2015
Tatalaksana stenosis pungta dapat dilakukan dengan cara dilatasi
atau pungtoplasti dengan tehnik one- two-, atau three- snip. Dilatasi pungta
memiliki keuntungan mudah dikerjakan namun tingkat kegagalan relatif
tinggi. Pungtoplasti dengan tehnik one snip merupakan tatalaksana dengan
membuat irisan vertikal dinding posterior pungta hingga ke ampula.
Pungtoplasti one snip sering menimbulkan reaproksimasi sehingga
dikembangkan tehnik pungtoplasti three snip dan two snip.2,18
32. 32
Pungtoplasti two snip adalah dengan melakukan irisan di dinding
posterior pungta hingga ke ampula dan irisan vertikal hingga ke kanalikuli.
Tehnik pungtoplasti three snip merupakan tehnik operasi dengan membuat
irisan di bagian medial dan lateral pungta hingga ke ampula serta irisan
horizontal diantara kedua irisan tadi. Pungtoplasti two snip dan three snip
memiliki keberhasilan mempertahankan kesuksesan lebih tinggi daripada
pungtoplasti one snip . Namun pungtoplasti three snip dinilai lebih berhasil
mempertahankan patensi secara fungsional. Sehingga tehnik pungtoplasti
three snip dinilai lebih efektif daripada pungtoplasti two snip.16,18,19
Pungtoplasti One Snip Pungtoplasti Two Snip Pungtoplasti Three Snip
Gambar 10. Pungtoplasti
Dikutip dari: Uri Soiberman, Hirohiko Kakizaki, Dinesh Selva, Igal Leibovitch. Punctal
Stenosis: Definition, Diagnosis, and Treatment. National Library of National Institute of
Health. 2012
Pemasangan sten pada pungtoplasti kadang diperlukan selama
proses penyembuhan untuk mencegah kontraksi lumen. Tatalaksana pada
oklusi pungta komplit adalah dengan tindakan bedah kanalisasi dan
pemasangan sten.2
33. 33
3.3.2.3 Obstruksi Kanalikuli
Obstruksi kanalikuli dapat bersifat sebagian maupun total. Obstruksi
yang bersifat sebagian dapat terlihat saat irigasi lakrimal. Sebagian salin
yang diirigasi mengalir ke duktus nasolakrimal dan sebagian lainnya
teregurgitasi pada pungta yang lain. Obstruksi kanalikuli total dapat tampak
pada tidak ada salin yang mengisi sakus lakrimal dan semua salin
teregurgitasi ke pungta lainnya.2
Obstruksi kanalikular dapat disebabkan beberapa hal, antara lain:2,6,19
a. Lakrimal Plug
Plug yang kecil di pungta dapat bermigrasi ke kanalikula dan
menimbulkan sumbatan. Sumbatan ini dapat diketahui saat
melakukan probing diagnostik. Plug ini terkadang bersifat sementara
atau plug yang bisa diabsorpsi melalui proses inflamasi lokal.
Tatalaksana plug pada kalanikuli yang tidak bisa diabsorpsi adalah
dengan melakukan tindakan bedah. Terkadang diperlukan eksisi
segmen pendek kanalikuli kemudian dilakukan reanastomosis dengan
sten.
b. Medikasi
Beberapa obat yang diyakini dapat menimbulkan obstruksi
antara lain obat kemoterapi sistemik ( 5 flourouracyl, docetaxel,
idoxuridine). Obat-obat tersebit diskresikan di air mata dan
menimbulkan reaksi inflamasi dan timbulnya skar pada kanalikuli.
34. 34
Penggunaan lokal steroid dan air mata buatan mungkin menurunkan
kemungkinan timbulnya skar. Namun apabila sudah diketahui dini
sebelum obstruksi menjadi total, dapat digunakan sten untuk
mencegah progresi stenosis.
c. Infeksi pada konjungtiva atau pada sistem kanalikula.
d. Penyakit inflamasi.
Penyakit inflamasi seperti pemfigoid, steven johnson syndrome
sering menimbulkan skar pada saluran air mata yang mengarah pada
keluhan epifora.
e. Trauma pada sistem kanalikuli.
f. Neoplasma di daerah medial kantus.
Tatalaksana obstruksi kanalikuli bermacam-macam, meliputi
kanalikuli stenting, rekonstruksi, kanalikulodakrisistorhinostomi, dan
konjungtivodakriosistorhinostomi. Kanalikuli stenting merupakan
terapi lini pertama pada obstruksi kanalikuli terutama yang bersifat
sebagian. Sten ini dipertahankan selama 6 minggu – 6 bulan.2,6
Rekonstruksi pada obstruksi kanalikuli efektif apabila obstruksi hanya
beberapa milimeter terutama apabila obstruksi di bagian proksimal.
Tindakan ini memerlukan stent untuk memepertahankan patensi saluran
dari kontraktur terutama selama proses epitelialisasi.2
Tindakan kanalikulodkrosistorhinostomi diperlukan pada obstruksi
yang bersifat total di kanalikuli komunis. Bagian yang mengalami obstruksi
35. 35
diangkat dan kalanikuli yang paten langsung dihubungkan dengan sakus
lakrimal. Namun, karena kegagalan operasi ini cukup tinggi, penggunaan
Lester Jones Tube merupakan tindakan alternatif.2,6
Tindakan konjungtivodakriosistorhinostomi (CDCR) diperlukan pada
kasus 1 atau 2 kanalikuli mengalami obstruksi total. Dilakukan
pemasangan jones tube di setengah bawah karunkula kemudian dilakukan
osteotomi hingga ke meatus medial nasal. Tube harus dilakukan di tear
lake. Komplikasi dari operasi ini adalah sumbatan akibat mukus atau
migrasi dari tube.2,6
3.3.2.4 Obstruksi Duktus Nasolakrimal
3.3.2.4.1 Obstruksi Duktus Nasolakrimal Kongenital (ODNK)
ODNK umumnya disebabkan blokade dari Katup Hasner. Secara
embriologi, perkembangan duktus nasolakrimal dimulai dari bagian
proksimal hingga ke bagian distal. Inperforata katup hasner terjadi sekitar
30-50% bayi baru lahir cukup bulan. Kebanyakan obstruksi hilang secara
spontan dalam 4-6 minggu kelahiran dan 90% pada usia 1 tahun. Ketika
obstruksi ini gagal hilang secara spontan, maka tindakan bedah
diperlukan.2,11
Tindakan konservatif pada ODNK merupakan tindakan observasi,
masase pada sakus lakrimal, dan antibiotik topikal. Beberapa sumber
menyatakan melakukan terapi konservatif hingga usia satu tahun. Terapi
36. 36
obstruksi yang lebih dini dinilai tidak memberikan hasil yang signifikan
terhadap kejadian timbulnya anisometropia pada anak.2,11,20
Apabila pada usia 6 dan 9 bulan gejala masih ada, maka dilakukan
pemeriksaan dengan anastesi umum. Pada pasien dengan dakriosistitis,
antibiotik sistemik diberikan 24 jam sebelum tindakan dilakukan. Probe
dimasukan dengan melakukan tarikan ke arah horizontal untuk mencegah
kingking kanalikuli dan mencegah trauma pada mukosa duktus. 2,11
Jarak dari pungta ke duktus nasolakrimal pada bayi kurang lebih 20
mm. Pada anak-anak, tindakan probing dan irigasi berhasil 90% untuk
mengatasi sumbatan duktus, sementara pada dewasa tindakan probing
dan irigasi hanya digunakan untuk mambantu menegakan diagnosa.2,11
Dilakukan dilatasi pungta dan kemudian dimasukan kanula lakrimal
pada sakus lakrimal hingga timbul hard stop dan kemudian kanula
dirotasikan ke bawah hingga memasuki sakus lakrimal. Apabila tidak
terdapat patensi saluran makan kanula digantikan probe lakrimal. Patensi
dinilai dari mengalirnya cairan salin di hidung. Kegagalan tindakan probing
mungkin disebabkan abnormalitas tulang. Antibiotik lokal diberikan 3
minggu setelah tindakan probing. Apabila masih timbul keluhan setelah 3
bulan, tindakan ini dapat dilakukan kembali dan dapat dipertimbangkan
melakukan dakriosistogram.2,11
Apabila tindakan irigasi dengan spuit dan probing masih belum
berhasil, dapat dilakukan intubasi kanalikula dan saluran nasolakrimal.
37. 37
Intubasi dapat dilakukan dengan probe yang dimasukan melalui salah satu
kanalikula hingga ke nostril. Tube dipertahankan hingga minimal 6 bulan.2,11
Tindakan intubasi dilakukan pada pasien yang mampu menoleransi
silikon. Komplikasi lain pada penggunaan silikon adalah erosi pucta, iritasi
dan infeksi konjungtiva, erosi kornea, epistaksis, sinusitis. Tindakan ini
dinilai lebih efektif namun memiliki kompliksasi lebih besar daripada
tindakan probing.1,11,21
Apabila tindakan intubasi ini masih belum berhasil , maka tindakan
dakriosistorhinostomi dapat dipertimbangkan hingga anak berusia 3-4
tahun atau sebelum memasuki usia sekolah. Tindakan ini dapat dilakukan
lebih dini pada kasus dakriosistitis rekuren.2,11,21
3.3.2.4.2 Obstruksi Duktus Nasolakrimal Didapat (ODND)
Terdapat dua jenis obstruksi lakrimal yakni, Obstruksi Duktus
Nasolakrimal Didapat Primer (ODNDP) dan Obstruksi Duktus Nasolakrimal
Didapat Sekunder (ODNDS). Pada ODNLDS, obstruksi duktus
nasolakrimal disebabkan struktur lain disekitar nya mengobstruksi. Hal ini
berbeda Obstruksi Duktus Nasolakrimal Didapat Fungsional (ODNDF).
Pada ODNDF hasi tes Jones I menunjukan obstruksi sementara tes Jones
II dinyatakan positif. Berbeda dengan ODNDP, hasil tes pertama dan kedua
pada tes Jones dinyatakan negatif.6,11
38. 38
Obstruksi saluran lakrimal yang didapat mungkin disebabkan oleh
beberapa penyebab obstruksi ini antara lain stenosis involutional, dakriolit,
trauma, penyakit inflamasi, plug lakrimal, radioaktif, neoplasma.6,11
Stenosis involutional merupakan penyebab paling umum dari
obstruksi NLD. Prevalensi meningkat pada perempuan. Dapat disebakan
penyakit inflamasi, infeki yang tidak diketahui, autoimun, dan lain-lain.
Dakriolit dapat berupa sel-sel epitel, lipid, debris, baik dengan atau tanpa
deposit kalsium. Penyakit sinus.6
Tatalaksana obstruksi duktus nasolakrimal berbeda-beda tergantung
penyebabnya. Tatalaksana nya dapat meliputi operasi dakriosistorinostomi
dengan pendekatan ekternal atau transkutan dan endonasal.4,6,11
Operasi pada dakriosistorhinostomi dapat dilakukan dengan anastesi
lokal ataupun general. Apabila dilakukan anastesi lokal, diperlukan
tambahan anastesi semprot pada nostril dan larutan vasokonstriktor
misalnya kokain 4% atau ditambahkan epinefrin 1: 1000. Diberikan salep
kokain 30% ditempelkan di dinding lateral dekat dakus lakrimal. Dilakukan
anastesi infiltrat di sekitar sakus lakrimal dengan xilocain 2 % + epinefrin
kemudian dilakukan anastesi blok nervus nasosiliar.2,4,11
Operasi dakriosistorinostomi (DKR) merupakan tindakan operasi
yang bertujuan menghilangkan tulang diantara sakus lakrimal dan hidung
dan menghubungkan langsung bagian dalam sakus lakrimal dengan
dinding lateral hidung. Terdapat dua pendekatan operasi DKR, yaitu secara
39. 39
transkutaneus dan endonasal. Pendekatan endonasal menimbulkan skar
operasi yang tidak tampak, namun pendekatan DKR secara transkutaneus
dinilai lebih baik dalam mengatasi komplikasi perdarahan.2,4,11
Dakriosistorinostomi endonasal memiliki kekurangan visualisasi yang
kurang baik dan kesulitan mengatasi perdarahan. DKR dengan laser ideal
digunakan pada pasien dengan gangguan koagulasi darah namun
kontraindikasi untuk pasien yang memiliki neoplasia.4,6
Dakriosistorhinostomi (DCR) mememiliki angka keberhasilan hingga
80%. Namun memiliki komplikasi mulai dari perdarahan, infeksi, stenois,
dan pembentukan skar. Pada operasi DCR, sering digunakan stent untuk
mencegah stenosis, namun komplikasi peggunaan stent antara lain prolaps
ke okular, perlengketan, pembentukan granuloma, rekasi alergi, serta rasa
tidak nyaman. Penggunaan stent dinilai meningkatkan angka keberhasilan
menjaga patensi duktus hingga 90% namun memiliki biaya yang lebih
tinggi.4,10
40. 40
BAB IV
KESIMPULAN
Mata berair merupakan suatu kondisi yang disebabkan banyak hal.
Kondisi ini dapat disebabkan ketidakseimbangan antara produksi air mata
atau gangguan pada sistem ekskresi air mata. Penyebab tersering keluhan
mata berair adalah hipersekresi air mata namun penyebab tersering pasien
berobat ke dokter okuloplastik adalah obstruksi saluran lakrimal . Sumbatan
tersering pada saluran lakrimal adalah sumbatan yang terletak pada sistem
lakrimal bawah. Namun pada subjek yang berusia di atas 75 tahun,
malposisi kelopak mata merupakan penyebab tersering mata berair.
Dalam menegakan diagnosa mata berair diperlukan anamnesis yang
tepat, pemeriksaan oftalmologi serta pemeriksaan penunjang. Tujuan
pemeriksaan ini adalah untuk menentukan penyebab mata berair. Hal yang
perlu dianamnesis meliputi sifat keluhan mata berair, unilateral atau
bilateral, riwayat alergi, dan penyakit, serta keluhan lain yang menyertai.
Selain anamnesis yang baik perlu dilakukan dilakukan pemeriksaan
oftalmologi, meliputi pemeriksaan eksternal dengan lampu slit, palpasi
sakus lakrimal, dan pemeriksaan oftalmologi tambahan untuk membantu
menegakan diagnosis. Pemeriksaan oftalmologi tambahan yang dilakukan
meliputi tes sekresi, anatomi, dan fisiologi. Pada pasien mata berair yang
disebabkan lakrimasi mungkin didapatkan hasil yang abnormal pada tes
41. 41
schimer, tes rose bengal, Tear Film Break Up (TFBU), dan tes lisozim air
mata.
Patensi saluran air mata secara anatomi bisa dinilai dari palpasi sakus
lakrimal, tes irigasi, probing, pemeriksaan hidung, dan pencitraan. Pada
palpasi, dinilai adakah sekret yang keluar dari pungta lakrimal dan keluhan
nyeri. Penilaian fungsi saluran lakrimal meliputi flourescein tes
disappearance, scintiagrafi, dan jones dye I.
Tes irigasi bertujuan untuk melihat refluks cairan pada kedua pungta.
Lokasi sumbatan dapat dinilai dari tes probing dan tes pencitraan. Tes
pencitraan dapat menilai penyebab sumbatan, misalnya neoplasma. Lokasi
sumbatan secara anatomis dapat dimulai dari konjungtiva, pungta,
kanalikuli, sakus, dan duktus nasolakrimal. Tatalaksana untuk keluhan
mata berair akan berbeda tergantung penyebab dan lokasi sumbatan.
42. 42
DAFTAR PUSTAKA
1. Pleyer U, Zierhut M, Behrens Baumann. Immuno-Ophthalmology.
2007
2. Lawrence ML, Brar VS, Glodstein MH. American Academy of
Opthalmology. Orbits, Eyelid, and Lacrimal System. Section 7. 2015-
2016.
3. Guang Lin Shen, John D NG, Xiao Ping Ma. Etiology, Diagnosis ,
Management, and Outcome of Epiphora Referrals to an Oculoplastic
Practice International Journal of Ophthalmology. 2012.
4. Weber RK, Keer L, Schaefar RD, Rocca Della CR. Atlas of Lacrimal
Surgery. Jerman. Springer. 2007
5. Holds JB, Chang WJ, Durairaj VD. American Academy of
Opthalmology. Fundamental and Principal of Ophthalmology.
Section 2. 2015-2016.
6. Jack J Kanski,Brad Bowling, Ken Nischal, Andrew Pearson. Clinical
Ophthalmology A Systemic Approach. 8th Edition. 2011
7. Jinhwan Park, Joohyun Kim, Mosae Kim, Sehyun Baek. Aquaporin
Expression in the Lacrimal Sac of Patients With Primary and
Functional Nasolacrimal Duct Obstruction. British Journal
Ophthalmology. 2017
8. William Tasman, Edward E Jaegger. Duane’s Ophthalmology. 2007
43. 43
9. Jorge Fischbarg.Lazlo L. Biology of the Eye. Volume 10. New York.
2006.
10.Arie Y. Nemet. The Etiology of Epiphora: A Multifactorial Issue.
Seminar in Ophthalmology. Israel. 2016
11.JRO Collin. A Manual of Systemic Eyelid Surgery. Third
Edition.United Kingdom. 2007.
12.Effie Z Rahman, Peter. K lam, Chia-kai chu, Quainta Moor,
Sthephen Cpelugfelder. Corneal Sensitivity in Tear Dysfunction and
It’s Correlation in with Clinical Parameter and Blink Rate. Elsevier.
2015
13.Sutarya Enus, Djungdjunan Ardy. Disfungsi Kelenjar Meibom. Celtics
Press. Bandung. 2012
14.Reiko Arita, Naoyuki Morishige, Shizuka Koh, dkk. Increased Tear
Respons Production As a Compensatory Response to a Meibomian
Gland Loss. Tokyo. American Academy of Ophthalmology. 2015
15.James M. Lacrimal Scintigrapghy. British Nuclear Medicine Society
Journal. 2013.
16.Uri Soiberman, Hirohiko Kakizaki, Dinesh Selva, Igal Leibovitch.
Punctal Stenosis: Definition, Diagnosis, and Treatment. National
Library of National Institute of Health. 2012
17.Mynor Yanoff. Jay S Dunker. Jefrey J Hurwitz. Ophthalmology. Third
Edition. Elsevier. London. 2009
44. 44
18.Murdock J, Lee WW, Zatezalo CC, Ballin A. Three SnipPunctoplasty
Outcome Rates and Follow Up Treatment. 2015
19.Mohsen Bahmani K, Mohammah Mehdi Parvaresh, Hoora Mirzajani,
dkk. Intraoperative Mitomycin C Use During Filtration Surgery and
Lacrimal Drainage System Obstruction. American Journal of
Ophthalmology. 2012
20.Ma Kyin Phi So, David O Hodge, Brian G Mohney. Timing of
Congenital Dacryostenosis Resolution and Development of
Anisometropia.British Journal of Ophthalmology. 2014
21.Tessa Fayer, Peter J Dolman. Bicanalicular Silikone Stent in
Endonasal Dacryocystorhinostomy- Result of Randomized Clinical
Trial. American Academy of Ophthalmology. 2016.