pertanggungjawaban langsung terhadap perusahaan yang melakukan tindak pidana menjadi salah satu bentuk perkembangan hukum pidana. apa itu strict liability? bagaimana dengan kasus pencemaran di teluk buyat?
Uas perkembangan teori hukum soal strict liability
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pada era tahun 1996 hingga tahun 1997, ada salah satu kasus pencemaran
lingkungan yang menyita perhatian publik. Kasus ini mencuat bukan hanya karena
rusaknya biota laut diduga akibat pencemaran, tetapi juga terjadinya kematian warga
yang kuat dugaan penyebabnya adalah pencemaran lingkungan oleh perusahaan yang
sama di teluk Buyat. Adalah PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), yang merupakan
anak perusahaan dari Newmont Gold Company (NGC), sebuah perusahaan multi
nasional yang bermarkas di Denver, Colorado, Amerika Serikat. Perusahaan ini
adalah produsen emas terbesar kelima didunia, dimana proyeknya tak hanya ada di
Indonesia tetapi juga di Kazakhtan, Uzbekistan, Peru, Brazilia, Myanmar, dan
sejumlah wilayah lainnya.
Di Indonesia, NGC beroperasi melalui anak perusahaannya PT. NMR yang
menandatangani kontrak dengan pemerintah RI pada tanggal 6 November 1986 untuk
mengolah emas dan mineral lain dengan luas wilayah 527.448 hektar untuk masa
pengolahan 30 tahun terhitung mulai 2 desember 1986 dan tahap produksinya diawali
pada Juli 1995, sementara pengolahan bijih dilakukan mulai Maret 1996. Pada tahap
eksplorasi tepatnya tahun 1988, PT.NMR menemukan deposit emas dimana kegiata
penambangannya akan dilakukan dilahan seluas 26.805,30 hekatar yakni di Messel,
Ratatotok kecamatan Ratatotok Kabupaten Minahasa yang berjarak 65 mil barat daya
Manado.
Petaka pun terjadi pada tahun 1996-1997. Dalam proses produksinya, PT.
NMR setiap harinya membuang 2000-5000 kubik ton limbah ke perairan teluk
Buyat. Pembuangan ini mulai dilakukan pada Maret 1996. Empat bulan pasca
pembuangan limbah, tepatnya Juli 1996 nelayan mendapati puluhan bangkai ikan
mati mengapung dan terdampar di pantai. Ironisnya, kejadian ini berlangsung hingga
Oktober 1996. Sempat mereda, kasus kematian ikan secara misterius ini kembali
berulang pada Juli 1997. Merasa penasaran dengan penyebab matinya ikan, LSM
dan nelayan membawa bangkai ikan ke laboratorium Universitas sam Ratulangi
Manado dan Laboratorium Balai Kesehatan Manado. Sayangnya, kedua tempat
2. 2
tersebut menolak meneliti bangkai ikan yang mati tanpa alasan yang jelas. Akibatnya,
PT. NMR yang dituding bertanggungjawab berjanji membawanya ke Bogor dan
Australia untuk diteliti lebih lanjut. Namun janji itu tinggal janji belaka. Entah benar
diteliti atau tidak, pada kenyataannya warga tidak pernah mendapat jawaban
kematian mendadak ikan yang ada di teluk Buyat.
Hal mencengangkan terjadi pada tahun 2004 ketika Yayasan Suara Nurani
dengan dr. Jane Pangemanan,Msi bersama dengan delapan mahasiswa Pasca Sarjana
Kedokteran jurusan Kesehatan Masyarakat melalui Program Perempuan emlakukan
kegiatan pengobatan gratis bagi warga di Buyat Pante (Lakban) Ratatotok Timur
Kab. Minahasa Selatan. Dalam kegiatan ini, sebanyak 93 orang mengalami keluhan
sakit kepala, batuk, beringus, demam, gangguan daya ingat, sakit perut, sakit maag,
sesak nafas, gatal-gatal,dll. Dari data yang didapat ketika melakukan program
tersebut, tim mendapati bahwa warga Buyat Pante positif mengalami keracunan
logam berat. Hasil program pengobatan ini memperkuat penelitian yang sebelumnya
telah dilakukan oleh Ir. Markus Lasut Msc pada Februari 2004. Dalam penelitiannya,
Markus mengambil sampel rambut dari 25 orang warga Buyat. Hasilnya pun
mencengangkan karena warga terkontaminasi merkuri di dalam tubuh mereka.
Menanggapi kasus ini, pemerintah sempat meminta kerugian sebesar 124 juta
dollar Amerika Serikat, namun nominal ini ditolak oleh PT. NMR karena mereka
hanya menyanggupi pembayaran sebesar 30 juta dollar Amerika Serikat dan
menyelesaikan kasus ini melalui jalur non litigasi sebagai jalan keluar yang tepat.
Namun hal ini ternyata tidak memuaskan warga. Tahun 2005, kasus ini masuk ke
ranah pidana dan diputuskan Mahkamah Agung untuk bisa diadili di Pengadilan
Negeri Manado. Sidang kasus pidana pencemaran teluk Buyat oleh PT. NMR
menyita perhatian karena sidang berlangsung selama dua tahun hingga tahun 2007.
Menariknya, putusan hakim dalam kasus ini, membebaskan terdakwa PT NMR dan
Richard Bruce Ness selaku Presiden Direktur PT. NMR.
Kasus ini mengecewakan banyak pihak termasuk warga, karena semestinya
PT. NMR dan Presiden Direkturnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas
pencemaran yang terjadi di Teluk Buyat. Namun ternyata kedua terdakwa divonis
bebas murni dan dipulihkan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta
martabatnya. Sementara biaya perkara selama dua tahun ini, dibebankan kepada
negara selaku penggugat.
3. 3
1.2 RUMUSAN PERMASALAHAN
Dari latar belakang yang disampaikan, terkait mengenai pencemaran yang
diduga dilakuakn PT. NMR di teluk Buyat yang menyebabkan rusaknya biota laut
dan mengkontaminasi warga, penulis merumuskan dua permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini. Permasalahan tersebut adalah :
Bagaimana penerapan asas strict liability dalam Hukum Pidana pada kasus
pencemaran teluk Buyat ?
Apakah penyelesaian non penal dalam bentuk ganti rugi yang dibayarkan
sesuai dengan aturan yang berlaku dalam kaitannya dengan
pertanggungjawaban korporasi?
Bagaimana pula pemidanaan yang dilakukan terhadap korporasi pelanggar
peraturan kaitannya dengan badan hukum sebagai subjek hukum dan atasan
sebagai pemegang tanggung jawab operasional?
4. 4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KASUS TELUK BUYAT
Penambangan yang dilakukan PT. NMR dinilai telah merusak perairan Teluk
Buyat akibat buangan 2000 ton tailing setiap harinya. Kerusakan yang terjadi tidak
hanya pada biota laut dengan banyaknya ikan yang mati tetapi juga pada warga yang
kondisi kesehatannya terganggu. Adalah bayi Andini, bayi yang diduga tewas akibat
keracunan logam berat dari perairan teluk Buyat1.
Selama beroperasi dalam kurun waktu delapan tahun, PT. NMR telah
membuang 5,5 juta ton merkuri dan arsenic ke teluk Buyat. Atas dugaan ini,
Newmont membantah tetapi mengakui melepas 17 ton merkuri ke udara dan 16 ton
ke air selama lima tahun. Jumlah ini merupakan nilai yang jauh dibawah standart.
Pada tahun 1997 perusahaan ini memasang alat pengolah biji tambang yang
mengandung merkuri tinggi. Alat ini diguakan untuk menarik emas yang terbungkus
mineral lainnya. Proses ekstraksi emas pada badan bijih yang ditambang
menghasilkan limbah halus atau tailing. Metode ini menggunakan senyawa sianida.
Dimana pada prosesnya sejumlah logam berat ikut terangkat diantaranya Hg
(Merkuri), Ar (Arsen), Cd (Cadmium), timah dan emas. Dari ekstraksi tersebut,
emas diambil tetapi logam berat lainnya dialirkan menjadi limbah halus melalui pipa
tailing ke Teluk Buyat.
Pada bulan Juli 1998, pipa limbah PT. NMR mengalami kebocoran. Pihak
perusahaan membenarkan bocornya pipa limbah bawah laut pada sambungan flens
di kedalaman 10 meter yang menyebabkankerugian perusahaan hingga Rp 52 Miliar.
Akibat kebocoran ini, perusahaan tidak menjelaskan lebih lanjut dampak yang
ditimbulkan pada biota laut di perairan Buyat.
Dari penelitian sejumlah ahli, penempatan limbah tailing di Teluk Buyat
mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk bathimetri, dimana dari hasil
pengukuran ketebalan sedimen diperoleh bahwa ada tumpukan deposisi limbah di
kedalaman 80-90 meter atau di sekitar anus pipa buangan terdapat limbah setebal 10
meter. Kemiringan teluk inipun juga mengalami perubahan, dari yang awalmnya
1 Apa yang Terjadi di teluk Buyat, http://cumilebay.com, diakses pada minggu 18 Desember 2014
pukul 18.00 wib
5. 5
barada pada 5 derajat, pada kurun waktu 1997-1999. Kuntjoro seperti dikutip laman
setaaja menyampaiakan, jika menilik kemiringan perairan sebenarnya teluk Buyat
tidak layak dilewati pipa pembuangan limbang tailing karena sesungguhnya
kemiringan yang disyaratkan agar dapat dilewati pipa adalah 10-20 derajat2.
Pembuangan limbah di Teluk Buyat dimulai pada bulan Maret 1996, ketika
pertama kali dialirkan ke kedalaman 82 meter dan jarak 900 meter tepi pantai,
peristiwa matinya ikan terjadi. Penduduk juga mendapati bawah laut semakin keruh
dan ikan sulit didapat.
Pada perkembangannya, muncul dugaan adanya penyakit Minamata yang
merupakan penyakit akibat tercemarnya lingkungan oleh logam berat khususnya
Arsen, Merkuri, Sianida. Pencemaran lingkungan ini sifatnya bioakumulatif yang
artinya kadar logam berat akan makin meningkat pada konsumen tingkat tinggi di
rantai makanan. Gejala yang timbul adalah mual, pusing, sakit kepala hebat,
persendian sakit, lemah, kram, gemetar, bahkan yang secara fisik tampak adalah
muncul benjolan pada bagian tubuh tertentu. Gejala inilah yang dirasakan
kebanyakan warga teluk Buyat. Sayangya, hasil penelitian yang menunjukkan
kandungan merkuri dalam tubuh warga teluk Buyat baru didapat pada tahun 2004.
Kasus ini sempat diajukan ke pengadilan dengan gugatan perdata dimana
pemerintah selaku penggugat dan PT. NMR sebagai tergugat. Namun hal ini
kemudian tidak dilanjutkan dan pemerintah mencabut gugatannya.
2.2 PERADILAN PIDANA KASUS BUYAT
Akibat meninggalnya bayi Andini serta temuan mencengangkan mengenai
kontaminasi logam berat pada warga membuat PT. Newmont Minahasa Raya
digugat karena telah mencemari teluk Buyat ketika melakukan penambangan di
Sulawesi Utara. PT.NMR beserta Presiden Direkturnya Richard B. Ness ditetapkan
sebagai Tersangka dan diajukan ke Pengadilan Negeri Manado.
Persidangan kasus ini dimulai pada tanggal 5 Agustus 2005. Sebanyak 61
orang saksi serta ahli dengan rincian 34 saksi/ahli diajukan JPU dan 27 saksi/ahli
dihadirkan terdakwa. Selain saksi, JPU kasus pencemaran lingkungan ini
menghadirkan 42 alat bukti. Sementara kedua terdakwa menghadirkan 107 alat
bukti. Dalam sidang kasus pencemaran lingkungan ini, Jaksa Penuntut Umum(JPU)
2 Penyelesaian Kasus Buyat, http://setaaja.blogspot.com,diakses pada minggu 18 Desember 2014
6. 6
menuntut PT.NMR selaku terdakwa I dengan Pasal 41 Ayat 1 Junto Pasal 45, Pasal
46 Ayat 1, dan Pasal 47 UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkugan
Hidup. Kepada Terdakwa I, JPU mengajukan hukuman denda Rp. 1 miliar.
Sementara kepada terdakwa II, Richard B. Ness, JPU menuntut pidana penjara
selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp. 500 juta dengan berdasar pada Pasal 41
ayat 1 dan Pasal 42 Ayat 2 UU No. 23 Tahun 1997. Selain itu untuk subsidernya,
Richard dituntut kurungan selama tiga bulan penjara3.
Sidang yang berlangsung sejak tahun 2005 – 2007 ini, akhirnya pada 24 April
2007, Hakim Pengadilan Negeri Manado memvonis bebas murni kedua terdakwa
karena dinilai tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana dalam dakwaan primer, dakwaan subsider, dakwaan lebih subsider, dakwaan
lebih subsider lagi dan membebaskan kedua terdakwa dari seluruh dakwaan dan
tuntutan jaksa penuntut umum. Pengadilan juga menyatakan pemulihan hak kedua
terdakwa.
Isi Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 284/Pid.B/2005/PN.Mnd yang
membebaskan terdakwa menggunakan hasil riset dari lembaga luar negeri termasuk
WHO, CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization).
Penelitian yang dilakukan CSIRO menguatkan penelitian yang dilakukan WHO dan
National Institute for MInamata Desease yang dikeluarkan pada 4 oktober 2004
serta laporan penelitian Tim Terpadu Pemerintah Indoonesia yang dikeluarkan pada
19 Oktober di tahun yang sama. Dari seluruh penelitian yang digunakan sebagai alat
bukti, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pencemaran di perairan Teluk Buyat4
2.3 STRICT LIABILITY
Istilah strict dalam bahasa Inggris jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia secara harafiah memiliki pengertian tegas, tepat, teliti dan keras.
Sehingga secara harafiah istilah strict liability bila diterjemahkan berarti :
Tanggung jawab secara tegas;
Tanggung jawab secara tepat;
Tanggung jawab secara teliti;
Tanggung jawab secara keras.
3 PT. Newmont Minahasa raya Pencemar Teluk Buyat, http://pseudorechtspraak.wordpress.com,
diakses pada minggu 18 Desember 2014
4 Penyelesaian Kasus Buyat, http://setaaja.blogspot.com,diakses pada minggu 18 Desember 2014
7. 7
Secara substantif, strict liability merupakan bentuk peningkatan dari liability based
on risk yang melahirkan kewajiban hukum untuk membayar ganti rugi yang
dikaitkan dengan penentuan batas tertinggi yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Konsep strict liability berasal dari para ahli hukum Anglo-saxon (common
law countries). Konsep ini dimaksudkan untuk menanggulangi tindak pidana yang
melanggar kesejahteraan masyarakat (public welfare offences) dan umumnya
pelanggaran besar terhadap ketentuan tentang kesejahteraan masyarakat ini
dilakukan korporasi5. Lebih lanjut konsep mengenai strict liability ini dapat
dijelaskan sebagai bentuk pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without
fault), yang dalam hal ini si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan
perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang,
tanpa mellihat lebih jauh sikap batin si pembuat6. Mengutip pendapat Eric Colvin
dalam buku yang sama, bahwa7 :
“It is sometimes said that absoluteliability means liability without fault and
the strict liability means that althought lack of fault is a defence, the burden
is on the accused to prove its absebce”
Mengutip pendapat Mas Achmad Santosa yang dituliskan kembali oleh Muhammad
Erwin, disampaikan bahwa apabila seseorang menjalankan kegiatan yang dapat
digolongkan sebagai ultrahazardous (teramat sangat berbahaya) maka ia diwajibkan
memikul segala kerugian yang ditimbulkan walaupun ia telah bertindak dengan
sangat hati-hati (utmost care) untuk mencegah bahaya atau kerugian tersebut,
walaupun dilakukan tanpa kesengajaan8.
Tiga alasan dianutnya konsep strict liability yang disampaikan LB Curzon
dalam buku karangan Hamzah Hatrik, adalah sebagai berikut9 :
Adalah sangat menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang
diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat;
Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sulit untuk pelanggaran yang
berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat;
5 Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan, Jakarta : Pusat
Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007, hal 110
6 Hamzah Hatrik, SH, MH, Asas Pertanggungjawaban Korporasi DalamHukum Pidana
Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cetakan pertama
November 1996, hal 110
7 Ibid
8 Muhammad Erwin, SH, M.Hum, Hukum Lingkungan DalamSistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung : PT. Regika Aditama, cetakan pertama Februari 2008, hal 126
9 Hamzah Hatrik, SH, MH, op Cit hal 113
8. 8
Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang
bersangkutan.
Alasan ini disampaikan karena memang konsep strict liability yang dianut negara
Anglo-Saxon mengajarkan adanya pertanggung jawaban tanpa kesalahan dan
ditunjukan kepada tindak pidana yang tidak membutuhkan mens rea (keadaan
batiniah yang salah)10. Curzon menyadari betapa sulitnya mendapat pembuktian
kasus tertentu sementara perbuatan pidana yang dilakukan memiliki tingkat bahaya
bagi kesejahteraan manusia. Sistem hukum ini sangat menguntungkan korban dalam
rangka untuk mengklaim pertanggung jawaban pelaku11.
Muladi seperti dikutip Hamzah Hatrik menyatakan bahwa pemidanaan
terhadap korporasi, dilakukan atas dasar kepentingan masyarakat, bukan atas dasar
kesalahan subyektif. Strict liability merupakan refleksi kecenderungan untuk
menjaga keseimbangan kepentingan sosial12. Dalam karangan yang sama, dikutip
pula pendapat Roeslan Saleh yang menyatakan dalam praktek pertanggungjawaban
pidana leyap bila ada salah satu keadaan yang memaafkan. Praktek pula yang
melahirkan aneka macam tindakan keadaan mental yang menjadi syarat peniadaan
pidana sehingga lahir kelompok kejahatan yang pengenaan pidananya cukup dengan
strict liability13.
Sejumlah kriteria pengenaan strict liability yang dituangkan dalam The
Restatement of Torts (pendapat para ahli hukum yang bersumber dari putusan
pengdilan yang kemudian dijadikan rujukan dalam putusan) adalah14 :
Mengandung atau menimbulkan tingkat resiko bahaya yang tonggi terhadap
manusia, tanah, atau harta benda bergerak (existance of a high degree of
some harm to the person, land or chattel of others)
Kemungkinan terjadinya bahaya sangat besar (likehold that harm results from
it will be great)
Ketidakmampuan meniadakan risiko dengan melakukan tindakan atau sikap
hati-hati yang layak (inability to eliminate risk by the exercise of reasonable
care)
10 Mardjono Reksodiputro, Op Cit hal 111
11 Muhammad Erwin, SH, M.Hum, Op Cit hal 126
12 Hamzah Hatrik, SH, MH, Op Cit hal 113
13 Ibid
14 Muhammad Erwin, SH, M.Hum, Op Cit 127 - 128
9. 9
Kegiatan yang bersangkutan bukan merupakan hal atau kegiatan yang lazim
(extent to which the activity is not a matter of common usage)
Ketidaksesuaian antara sifat kegiatan yang bersangkutan dengan lingkgan
atau tempat dimana kegiatan itu diselenggarakan (inapproprateness of
activity to the place where it is carried on)
Manfaat dari kegiatan tersebut bagi masysrakat dikalahkan oleh sifat bahaya
dari kegiatan (extent to which its value to the community is outwheighed by
its dangerous attributes)
Untuk menentukan secara konkrit apakah sebuah kegiatan termasuk dalam kategori
kegiatan sangat berbahaya sehingga tunduk pada strict liability merupakan tugas
pengadilan atau hakim15.
Jenis kegiatan yang tunduk pada asas tanggung jawab mutlak seperti disampaikan
Mas Ahmad Santosa, dalam karangan Muhammad erwin, yaitu16 :
1. Menurut Anglo Amerika
Kegiatan usaha penghasil pengolahan dan pengangkutan limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3);
Penyimpanan gas yang mudah terbakar dalam jumlah besar di kawasan
perkotaan;
Instalasi nuklir;
Pengeboran minyak;
Penggunaan mesin pematok tiang besar (pile driving) yang
menimbulkan getaran luar biasa;
Limpahan air.
2. Menurut Hukum Belanda
Kegiatan pengolahan bahan berbahaya;
Kegiatan pengolahan limbah bahan berbahaya;
Kegiatan pengangkutan bahan berbahaya melalui laut, sungai, dan
darat;
Kegiatan pengeboran dan tanah yan menimbulkan ledakan.
3. Menurut The International Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage (CLC)
15 Ibid
16 Ibid hal 129 - 130
10. 10
Kegiatan yang harus tunduk pada asas tanggung jawab mutlak adalah
pengangkutan minyak melalui laut yang menimbulkan pencemaran.
4. Menurut Council of Europe on Civil Liability for Damage Resolving from
Activities Dangerous to the Environment
Kegiatan memproduksi, mengolah, menyimpan, menggunakan,
membuang satu atau lebih bahan berbahaya atau setiap kegiatan yang
berkaitan dengan bahan berbahaya;
Kegiatan memproduksi, mengolah, menangani, menimpan,
menggunakan, menghancurkan, membuang, melepas atau kegiatan
yang berkaitan dengan satu atau lebih :
a. Organisme yang mengalami perubahan genetika yang
penggunaannya mengandung resiko bermakna terhadap manusia,
lingkungan hidup dan harta benda;
b. Mikroorganisme yang karena sifat-sifat dan kondisinya jika
dimanfaatkan emngandung tesiko bermakna terhadap manusia,
lingkungan hidup atau harta benda, misalnya mikroorganisme yang
bersifat pathogenik atau yang menghasilkan toksin;
Kegiatan pengoperasian onstalasi atau tempat pembakaran, pengolahan,
penanganan atau pendaur ulangan limbah dengan jumlah yang
menimbulkan resiko bermakna terhadap manusia, lingkungan hidup
dan harta benda, seperti :
a. Instalasi atau tempat pembuangan limbah gas cair dan padat dengan
cara pembakaran di darat atau di laut;
b. Instalasi atau tempat pengahncuran limbah gas, cair, dan padat
dengan penguraian suplai oksigen;
c. Instalasi pengolahan senyawa limbah padat, cair, dan gas dengan
tenaga panas;
d. Instalasi pengolahan limbah secara biologis, fisika, dan kimiawi
untuk tujuan daur ulang atau pembuangan;
e. Instalasi pencampuran sebelum dibawa ke tempat pembuangan
tetap;
f. Instalasi penempatan kembali sebelum dibawa ke tempat
pembuangan tetap;
11. 11
g. Instalasi pengolahan limbah padat, cair, dan gas untuk tujuan daur
ulang dan penggunaan kembali.
Pengoperasian tempat pembuangan limbah yang bersifat tetap
(permanent deposit if wastes).
Bahan berbahaya yang dimaksudkan adalah bahan atau zat yang memiliki
sifat yang mengandung resiko tinggi bagi manusia, lingkungan hidup, harta
benda yakni bahan atau zat yang bersifat meledak, oksidasi, sangat mudah
terbakar, mudah terbakar, dapat terbakar, sangat beracun, beracun, menderai,
korosif, iritasi, sensitisasi, karsiogenik, mutagenik, dan beracun bagi
reproduksi atau membahayakan lingkungan hidup.
Peraturan mengenai kejahatan yang dilakukan korporasi biasanya memuat
sanksi administratif namun belakangan ada kecenderungan mengaturnya pula dalam
bentuk sanksi pidana dengan menggunakan konsep ini. Terkait strict liability, sistem
hukum Indonesia yang menganut aliran civil law sebenarnya tidak mengenal ajaran
strict liability, sehingga dapat dipergunakan ajaran fait materiel yang ada di bahan
pustaka hukum Belanda17. Namun dalam perkembanganya, konsep ini mulai
dimasukkan ke dalam Undang-Undang di luar KUHP seperti misalnya Undang-
Undang No.5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-
Undang No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Undang-Undang No.23 Tahun
1997 tentan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Kepres No. 18 tahun 1978 yang
merupakan ratifikasi dari The International Convention on Civil Liability for Oil
Pollution Damage (CLC).
Dalam kaitannya dengan kasus pencemaran di Teluk Buyat, konsep ini coba
diterapkan untuk menjerat para terdakwa yakni PT. NMR dan Presdir-nya.
Sayangnya dipengadilan, tidak dapat dibuktikan secara sah bahwa kedua terdakwa
telah melakukan kegiatan berbahaya yang berdampak luas pada masyarakat sekitar.
Apalagi penelitian yang dijadikan alat bukti untuk menunjukkan telah dilakukannya
pembuangan limbah beruba logam berat, justru berisi sebaliknya. Padahal dalam
sejumlah penelitian kualitas kesehatan masyarakat sekitar Teluk Buyat yakni di
Buyat Pate, ditemukan adanya kontaminasi logam berat dalam tubuh manusia.
Sayangnya hal in tidak dijadikan acuan hakim dalam memutus perkara ini.
17 Mardjono Reksodiputro, Op Cit hal 112
12. 12
2.4 KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM PIDANA DALAM KEJAHATAN
KORPORASI
Indonesia sebagai negara hukum yang berkiblat pada ajaran civil law terdapat
sejumlah hal menarik khususnya dalam perkembangan KUHP yang merupakan
warisan dari Belanda. Kaitannya dengan kejahatan korporasi dan tangun jawab
pidanaya Pasal 59 KUHP menjadi diskusi yang patut dicermati karena ada beberapa
penafsiran yang berbeda. Selama ini selalu dikatakan bahwa beban “tugas
mengurus” suatu “kesatuan orang” atau korporasi harus berada pada pengurusnya,
dan korporasi bukan subyek tindak pidana sehingga bila pengurus tidak memenuhi
kewajiban yang merupakan beban korporasi maka mereka yang bertanggung jawab
secara pidana. Namun pada prakteknya, dua penafsiran yang berbeda, yakni18 :
Ketentuan pidana yang bersangkutan memang telah memberikan kewajiban
keada seseorang pemilik perusahaan atau pengusaha, sedangkan pemilik atau
pengusahanya adalah korporasi akan tetapi ketentuan pidana itu tidak
menyatakan bahwa pengurusnyalah yang harus bertanggung jawab;
Korporasi dapat diakui sebagai pelaku tetapi pertanggungjawaban pidananya
berada pada pengurus.
Dari dua penafsiran ini, Mardjono Reksodiputro menyatakan :
“Oleh karena itu pasal 59 KUHP harus ditafsirkan dengan ajaran kedua
bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, hanya saja
pertanggungjawaban pidananya dibebankan pada pengurus. Yang dapat
dihapus pidananya hanya pengurus yang dapat membuktikan dirinya tidak
terlibat.”
Ketika suda disepakati bersama bahwa korporasi bisa dijadikan pelaku dalam tindak
pidana dan sekaligus bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut, maka harus ada
perubahan dalam KUHP yang sekarang ini masih digunakan di Indonesia. Karena
Belanda sebagai kiblat hukum Indonesia sudah emlakukan perubahan pasal
mengenai subjek hukum pidana. Mardjono Reksodiputro dalam tulisannya
menyatakan19 :
“dalam tahun 1976 Belanda melangkah lebih jauh lagi dan merubah sama
sekali pasal 51 mereka sehingga pasal yang bari menyatakan dengan tegas
bahwa dalam hukum pidana umum (KUHP) Belanda, tindak pidana
18 Ibid hal 99
19 Ibid hal 100-106
13. 13
dilakukan oleh manusia (natuurlijken personen) dan badan hukum
(rechtpersonen)...kebijaksanaan dalam penegakan hukum pidana (politik
kriminal;criminal policy) untuk menuntut pertanggungjawaban korporasi
memerlukan perkembangan ilmu hukum pidana yang lebih maju dari
sekarang”.
Dengan demikian, perlu adanya revisi dalam KUHP Indonesia agar aturan mengenai
korporasi sebagai subjek hukum memiliki cantolan kuat yang termaktub dalam
KUHP. Ini makin menguatkan Undang-Undang di luar KUHP untuk menjerat
korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
Kaitannya dengan dua penafsiran yang disampaikan sebelumnya, muncul dua
pertanyaan terkait pertanggungjawaban yang mesti segera dijawab, yakni20 :
Tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan
sebagai perbuatan korporasi
Tentang kesalahan pada korporasi
Terkait dua pertanyaan ini, Mardjono merujuk bahan pustaka dari Inggris dimana
penegakan hukum menggunakan “asas identifikasi” yang mempersamakan perbuatan
pengurus atau pegawai suatu korporasi sebagai perbautan korporasi itu sendiri.
karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia, maka
pelimpahan pertanggungjawaban dai perbuatan manusia ini menajdi perbuatan
korporasi dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas bermasyarakat
berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan.
Kaitannya dengan kasus Teluk Buyat, penuntut umum menggunakan
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang didalamnya sudah
menggunakan konsep strict liability sehingga memungkinkan korporasi beserta
pengurusnya untuk bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan dari tindakan
yang telah dilakukan. Dugaan tindakan penceraman yang terjadi akibat libah
PT.NMR membuat pertanggungjawaban bisa dimintakan kepada PT.NMR sebagai
subjek hukum pidana karena tindakan pembuangan limbah dinilai sebagai tindakan
korporasi. Hal ini yang menurut Mardjono Reksodiputro dalam pustaka hukum
pidana dikenal sebagai pelaku fungsional (fungsionale dader). Sementara Presiden
Direkturnya sebagai penanggung jawab perusahaan merupakan subjek hukum yang
secara langsung kepadanya dapat dimintakan tanggung jawab karena dia adalah
manusia (natuurlijken personen).
20 Ibid
14. 14
BAB III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Kasus Teluk Buyat merupakan salah satu kasus lingkungan yang kemudian
dibawa ke ranah pidana karena ada dugaan terjadi kejahatan korporasi yang
menyebabkan ancaman bagi warga sekitar Teluk Buyat akibat pembuangan limbah
yang dilakukan PT. NMR dalam bentuk tailing. Ada kejadian menarik yakni matinya
ikan tiba-tiba di perairan ini, perubahan kemiringan dasar perairan, dan temuan kadar
merkuri dalam rambut warga Buyat Pate yang tampaknya dalam sidang tidak
menunjukkan terjadinya pencemaran akibat pembuanagn limbah oleh PT.NMR.
Meksipun setelah melalui perjalanan panjang akhirnya baik terdakwa I dalam
hal ini PT. NMR dan terdakwa II yakni Presdir PT.NMR divonis bebas murni, tetapi
ada beberapa hal yang patut dijadikan catatan dalam perkembangan hukum pidana di
Indonesia. Dimana dalam kasus ini digunakan aturan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup yang didalamnya mulai mengadopsi konsep strict liability untuk
menjerat pelaki yang dinilai membahayakan masyarakat luas. Selain itu, korporasi
juga bisa dijadikan subjek hukum yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana
dengan meminjam konsep hukum perdata. Ini merupakan kemajuan hukum di
Indonesia yang patut diapresiasi meskipun dalam penerapannya masih terjadi
inkonsistensi kebijakan, ambivalensi kelembagaan, serta kendala di tubuh aparat
penegak hukum21. Walaupun pada dasarnya prinsip ini tidak ada dalam hukum
pidana Indonesia, namun ada padanan yang bisa digunakan sehingga tidak terjadi
penyimpangan dalam hukum itu sendiri.
Terkait dengan rumusan permasalahan22, dalam kasus teluk Buyat konsep
strict liability sudah digunakan dalam peradilan pidana yang dalam hal ini nampak
pada penggunaan UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaa Lingkungan Hidup.
Penyelesaian non penal yakni dengan memberikan ganti rugi kepada pemerintah
sebesar 30 Juta Dollar Amerika Serikat dari sisi hukum perdata sudah memenuhi
aturan, dimana PT. NMR sebagai pelaku pencemaran memberikan kompensasi
21 Muhammad Erwin, SH, M.Hum, Op Cit hal 120
22 Lihat Bab I pada Rumusan Permasalahan
15. 15
kepada pemerintah terkait dugaan pencemaran yang terjadi di Teluk Buyat. Ini
dilakukan karena ada gugatan dari pemerintah secara perdata, yang kemudian
diselesaikan denagn negosiasi antara pihak terkait. Ketidakadilan yang dirasakan
warga Teluk Buyat, memunculkan gugatan melalui jalur pidana di Pengadilan
Negeri Manado. Dengan menggunakan asas strict liability, PT.NMR dan Presdirnya
diajukan ke peradilan pidana, walaupun akhirnya keduanya bebas murni.
Sementara pemidanaan korporasi dalam kaitannya korporasi sebagai subjek
hukum sudah dijelaskan bahwa hukum pidana mengalami kemajuan dengan
meminjam konsep hukum perdata mengenai pelaku fungsional.
3.2 SARAN
Untuk dapat menguatkan konsep strict liability dan korporasi sebagai subjek
hukum pidana, diperlukan adanya perubahan dalam KUHP seperti yang telah
dilakukan oleh Belanda pada KUHP-nya. Kesegeraan perubahan ini dimaksudkan
guna menguatkan Undang-Undang di luar KUHP yang menggunakan konsep ini,
terutama kaitannya dalam menjerat korporasi yang telah mengancam atau bahkan
telah merugikan masyarakat luas.
16. 16
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah Hatrik, SH, MH, Asas Pertanggungjawaban Korporasi DalamHukumPidana Indonesia
(Strict Liability dan VicariousLiability), Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada,cetakan
pertama November 1996
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan, Jakarta :Pusat
Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007
Muhammad Erwin, SH, M.Hum, HukumLingkungan DalamSistemKebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung : PT. Regika Aditama, cetakan pertama
Februari 2008
Apa yang Terjadi di teluk Buyat, http://cumilebay.com, diakses pada minggu 18 Desember 2014
Penyelesaian Kasus Buyat, http://setaaja.blogspot.com, diakses pada minggu 18 Desember 2014
PT. Newmont Minahasa raya Pencemar Teluk Buyat, http://pseudorechtspraak.wordpress.com,
diakses pada minggu 18 Desember 2014
Penyelesaian Kasus Buyat, http://setaaja.blogspot.com, diakses pada minggu 18 Desember 2014
Pemerintah Minta Dukungan Untuk Melawan Newmont, http://tempo.co, diakses pada minggu
18 Desember 2014
Persoalan Perdamaian Pemerintah – Newmont, http://tempo.co, diakses pada minggu 18
Desember 2014
Eks Warga Buyat Long March 300 Kilometer ke Manado, http://tempo.co, diakses pada minggu
18 Desember 2014
Walhi Akan Sampaikan Sikap Soal Putusan Bebas Newmont, , http://tempo.co, diakses pada
minggu 18 Desember 2014