pembalasan menjadi salah satu dasar dilakukannya pemidanaan. dalam perkembangannya terdapat pro dan kontra mengenai pembalasan itu sendiri. dua jenis pembalasan menjadi bahasan dalam presentasi ini.
2. Bahasan utama dari bab ini adalah mengenai
klasifikasi teori pemidanaan yang dominan
Dibedakan kedalam dua golongan yakni:
1. konsekuensialis (nantinya dinamakan teori
instrumentalis) : menganggap hukuman
adalah benar karena membawa dampak baik
2. pembenaran retribusi (pembalasan) sebagai
hukuman : melihat hukuman sebagai acuan
(referensi, petunjuk, rujukan) penderitaan
setimpal yang bagaimana yang pantas
diberikan kepada pelaku kesalahan
3. sub sistem dari hukuman konsekuensialis:
1. “konsekuensi pembalasan”
2. “konsekuensi diluar pembalasan” sebagai
suatu altermatif
Dua jenis retribusi yakni :
1. consequentialist retributivist (nama lain dari
retributivist consequentialism)
2. non-consequentialist retributivism
4. teori mengenai pemidanaan, diantaranya :
1. deterrence (pencegahan) yang disampaikan
Bentham dan Beccaria
2. reform (perbaikan) oleh Plato
3. retribution(pembalasan) oleh Kant
4. annulment(pembatalan) oleh Hegel
5. denunciation(dakwaan terbuka) oleh
Durkheim.
5. teori pemidanaan yang berkembang
dikelompokkan menjadi dua tradisi yang
dominan:
1. tradisi konsekualis yang diusung Beccaria
dan Bentham
2. tradisi retribusi yang diakui sebagai karya
Kant.
Namun seiring dengan berkembangnya ilmu,
pembedaan kedua teori besar pemidanaan ini
menjadi tidak jelas
6. John Cottingham, ada Sembilan teori berbeda
yang ida kemukakan mengenai retribusi
(pembalasan), antara lain :
Pelaku pantas dihukum
Melalui hukuman yang diberikan, pelaku
tindak pidana membayar kesalahannya pada
masyarakat
Hukuman membatalkan kejahatan
Hukuman memperbaiki kondisi yang tidak
seimbang antara pelaku dan korban
Hukuman membebaskan rasa bersalah yang
mendalam pada masyarakat
Hukuman memenuhi kebutuhan korban dan
public atas keadilan dan balas dendam.
7. “penganut ajaran retribusi kontemporer
memperlakukan gagasan “setimpal (desert)”
sebagai pokok bahasan dalam teori retribusi,
dimana hukuman yang diberikan kepada
pelaku tindak pidana mesti setimpal”
Larry Alexander : ‘para penganut ajaran
retribusi berpendapat hukuman yang
diberikan harus diakui mampu menderitakan
orang yang dipidana”. Kalimat ini kemudian
disebut sebagai inti retribusi “the desert
claim” (ukuran setimpal) : hukuman
dibenarkan bagi pelaku pidana”.
8. Joel Feinberg yang menganalisis mengenai
“setimpal” (layak) ke dalam hubungan dari
tiga basis:
1. pelaku sebagai agen,
2. apa yang patut diterima,
3. alasan mengapa agen patut menerimanya.
“hukuman dibenarkan karena orang pantas
mendapatkannya”
“seluruh teori pembalasan menegaskan
pelaku tindak pidana pantas menderita”
9. Lawrence Davis dalam essay yang ia buat
“they deserve to suffer” , pembalasan
mengesampingkan sejumlah keberatan bila
apa yang disebut setimpal adalah
menderitakan bukan menghukum. Sehingga
bisa dibuat sebuah konstruksi bahwa pelaku
pidana pantas menderita sesuai dengan
perhitungan mengenai kesalahannya dan
proporsi dari tingkat kesalahan yang sudah
dilakukannya
the desert claim disebut sebagai the desert-s
claim.
10. “the language of intrinsic goodness”
Tahun 1993 , Michael Moore, tokoh retribusi
kontemporer terkemuka, setuju dengan
adanya nilai positif yang terkandung dari
retribusi
Jika instrument hukuman guna memperoleh
keadilan adalah kelas, keragaman nilai, maka
kemudian mereka secara langsung mencakup
nilai kebaikan dari pembalasan
11. Moore membantah bahwa retribusi butuh
diasimilasikan pada teori instrumentalis
karena pada pandangannya ada bentuk
paham instrumental dan non-instrumental
dimana keduanya sama-sama dikenal
Dolinko membantah teori retribusi dapat
diasimilasikan ke teori instrumentalis karena
dalam pandangannya teori retribusi tidak
dapat dipisahkan pada aturan terkait model
hukuman intrumentalis.
12. Dolinko menggunakan sejumlah artikel yang
menyarankan bahwa sebuah pembalasan
dipercaya sebagai hal yang memiliki nilai
positif dan dia menekankan harus ada alasan
yang rasional atau pembenaran secara moral.
dua jenis instrumentalis yaitu retribusi dan
non retribusi
13. dua jenis perbedaan dari pembenaran :
1. “all things considered”(segala sesuatu yang
dianggap) dan ‘tailor”(sengaja dibuat)
o semua Tindakan atau percobaan yang
secara moral dibenarkan atau diijinkan, dan
jelas dalam semua pertimbangan
2. Sebaliknya ‘tailor” , merupakan tindakan
atau percobaan yang pada prakteknya
diperbolehkan karena alasan tertentu yang
kemudian didefinisikan sebagai “demand
base” (dasar permintaan).
14. Moore “ kekhasan dari retribusi
(pembalasan)ndapat dilihat dari pandangan
bahwa “yang bersalah menerima hukuman
yang setimpal dengan sebuah nilai positif
didalamnya” tanpa meninggalkan intuisi
bahwa semestinya terkandung suatu hal
penting dan sangat berbeda terkait nilai
retribusi dan instrumentalis dari pembenaran
suatu hukuman.”
15. hukuman kadang tidak adil jika menimbulkan
penderitaan tidak layak meskipun dia adalah pelaku
kejahatan mempercayai bahwa hukuman itu layak
atau bahwa praktek hukumannya adalah tidak adil
jika hasil dari hukuman itu tidak layak.
Kondisi kebutuhan hanya mempertahankan bahwa
tidak adil untuk menjatuhkan hukuman pada
seseorang yang diketahui tidak melakukan kejahatan
atau tidak layak dikenakan penderitaan. bahkan
dengan demikian dampak dari retribusivis bahwa
kejahtan yang layak adalah suatu kondisi kebutuhan
dari hukuman yang adil yang meletakan retribusivism
pada peluang kompotensi dengan dasar keadilan
instrumentalis pada hukuman sebagai kondisi
retribusivism yang tidak kecukupan.
16. Retribusivis non-instrumentalis tidak perlu
menyangkal mengenai hal:
(1). Bahwa instrumentalis tentang hukuman
berbeda dengan pertanyaan apakah pelaku
kejahatan yang melukai korban adalah suatu
instrinsik yang baik.
(2). Atau bahwa mereka memberikan sesuatu yang
penting yang sama dengan orang-orang yang
menjawab pertanyaan dalam afirmatif; melainkan
bahwa mereka hanya perlu bersikeras
(3). Bahwa mereka memanfaatkan klaim bahwa
pelaku kejahatan layak untuk menderita atau
dihukum.
17. Justifikasi non instrumental memperhitungkan
terhadap hal yang lebih pas dideskripsikannya,
contohnya sebagai sesuatu yang ekspresif dan areatik
tidak akan sesuai dengan biaya.
klaim retribusi non instrumetal yang dibagi dalam:
1. Menghalangi hukuman dari orang yang tidak
bersalah
2. Memahami hukuman sebagai landasan keadilan.
3. Kita mempunyai kewajiban untuk menghukum para
pelaku kejahatan yang tidak hanya bahwa hukuman
tersebut diperbolehkan/dibenarkan
4. Menolak bahwa kebenaran dari hukuman direduksi
menjadi klaim tentang yang baik atau berharga.
18. Instrumentalis yang lebih signifikan lagi tentang
hukuman tidak selalu membutuhkan konsekuensialis
murni, tentu saja merupakan sangat menunjuk dari
penamaan ulang sebagai instrumentalis yang telah
diselewengkan sebagai justifikasi “konsekuensialis”
untuk pemberian hukuman. Karena instrumentalis
hukuman membutuhkan tidak sebagai
konsekuensialis tentang etika, mereka melawan
bukan kontradiksi dalam pembelaan hukuman yg
dijustifikasi oleh sesuatu yang diproduksi praktik
(termasuk untuk instrumentalis retribusif,
keuntungan dalam menemukan fakta layak
menderita) tapi memang agak lama kita tidak
menghukum seseorang yang dipercaya kurang
memiliki “ill-desert” personal.
19. non instrumentalis retributivism dimulai dengan pengamatan
bahwa retribusivism secara rutin digambarkan sebagai teori
keadilan. Ia mempetahankan bahwa tuntutan keadilan pelaku
diberikan pesakitan yang setimpal. Mengutip pernyataan yang
diberikan oleh Michael Moore, bahwa pelaku kejahatan yang
layak:
“memberikan masyarakat yang lebih dari sekedar hak untuk
menghukum pelanggar yang bersalah.. untuk sebuah retributivis,
tanggungjawab moral dari pelanggar juga memberikan
masyarakat kewajiban untuk menghukum. Retribusivism adalah
benar-benar sebuah teori keadilan sehingga jika itu benar kita
memiliki kewajiban untuk mendirikan lembaga sehingga
retribusi dapat tercapai.”
hukuman haruslah dilakukan jika adanya keadaan dimana pelaku
menderita karena dalam proporsi untuk kesalahan trecelanya
adalah mengandung sesuatu yang baik bahwa negara memilki
alasan moral untuk menghukum.
20. Retribusifis yang percaya bahwa mereka mempunyai tugas
untuk menghukum mungkin percaya ada beberapa tipe
alasan, seberat apapun, adalah tipe kesalahan yang secara
sederhana dapat dimasukkan ke dalam kalulus moral
sebagai alasan melawan penegakan hukum.
Tugas yang diberikan untuk menghukum dapat berrefleksi
kepada “alasan melindungi” untuk menghukum pelanggar,
yang dapat juga dikatakan sebagai pertimbangan bahwa
kedua belah pihak bekerja atas dasar lasan utama untuk
menjatuhkan hukuman (nyatanya, alasan utama dari beban
substansional) dan fungsi tingkat dua dari pengecualian
beberapa pertimbangan (tapi bukan semua) atas apa yang
harusnya tidak dihukum atas alasan utama.
21. Retribusifisme non instrumentalis bisa dikatakan sebagai
kosntitusi terbaik dalam artian tugas negara untuk
menghukum dibanding kebenaran untuk memberikan
hukuman, dimana “kebenaran” dapat dipahami negara
sebagai alasan “keharusan” dan saat ini sangat umum
digunakan.
Retribusifisme non instrumentalis diharapkan untuk
memberikan pertimbangan bahwa hukuman telah dijustifikasi
karena dalam melakukannya saja sudah benar (sesuatu yang
ada alasannya dan harus dilakukan) dan dimana
kebenarannya tidak berlaku derivatif dari nilainya.
Retribusifis instrumentalis dapat juga menjustifikasi hak
hukuman. Meraka dapat mengatakannya hal tersebut benar
karean (sejauh ini adalah) mengutamakan kebenaran.
Retribusifisme non instrumentalis bergantung tidak atas
kebenaran seharusnya dari hukuman, tapi lebih kepada klaim
bahwa kebenaran tersebut tidak diturunkan dari nilainya.
22. Retribusifisme non instrumentalis yang
menjustifikasi hukuman sebagai hak bukan
atas dasar nilai instrumentalisnya harus
menyangkal pelanggar memang layak
dihukum.
Retribusifisme non instrumentalis harus
menolak spesifikasi atas klaim tak beralasan.
Secara terpisah mereka harus mengartikulasi
dan membela spesifasi pembelaan pelanggar
yang tidak dapat diekspersikan tanpa
referensi pada aksi oleh agen responsif
23. Bila hukuman didefinisikan sebagai infliksi penderitaan pelanggaran
sebagai respon pembelaannya, maka derita pelanggar adalah
konsekuensi intrinsik dari tiap aksi hukuman. Bertolak belakang, bila
hukuman diartikan sebagai variasi bentuk perlakuan perlakuan yang
didesain atau ditujukan sebagai bentuk opresif, maka setiap aksinya
menyebabkan ada keberatan dalam pertanyaan perwakilan. Tentu saja
hal ini jauh dari hanya sekedar kemungkinan definisional.
Poin pentingnya, walau akun retribusitif akan menjustifikasi hukuman
dengan tendensi untuk mengangkat pernyataan layak dihukum ditujukan
pada perwakilan atau konsekuensionalisme intrisik semua bergantung
pada bagaimana kita mendefinisikan hukuman itu sendiri. Tapi itu hanya
mengarahkan kita kembali kepada debat definitif yang pernah
dikemukakan sebagian besar pilsuf hukum kriminal.
Pemahaman terbaik kita atas justifikasi hukuman yang berbeda-beda,
baik pertimbangan justifikasi sebagian yang dimiliki perwakilan atau
subkonsekuwnsionalis intrinsik, tergantung pada spesifikasi hukuman
yang lebih sesuai dan spesifikasi yang bisa ditandingkan. Untuk mereka
hal tersebut bergantung pada spesifikasi pembelaan atas apa yang layak
pelanggar terima.
24. Para pilsuf hukum pidana membagi potensial dari pertimbangan
justifikasional atas hukuman kriminal menjadi dua kelas besar:
retribusitifis dan konskekuensialis, kelas yang dipilih untuk
digambarkan sebagai retribusitifis dan instrumentalis untuk
menekankan para pengikutnya dari posisi nantinya tidak harus
mendorong konsekuensialisme hanya sebagai teori moral
komprehensif.
Secara umum bisa dikatakan, retribusitifis melakukan pembelaan
bahwa hukuman dijustifikasi dengan konsekuensi baik yang bersih
yang mempraktikan secara praktis, dan secara paradigma tapi
bukan sesuatu yang selalu dianggap eksklusif, sebagai pencegahan
dari agresi anti sosial.
menurut pertimbangan para retribusitifis para pelanggar mereka
layak menerima hukuman karena kesalahannya. Retribusitifis akan
menentang instrumentalisme mengisi beberapa pola, termasuk yang
menekankan: komitmen terhadap impermisibilitas dari
penghukuman dari orang2 yang bukan pelanggar dari status
retribusitifisme sebagai bentuk keadilan; dan ketidakbisaan
justifikasi instrumentalis yang masuk akal terhadap tujuan kita
dalam memberikan hukuman.
25. Teori absolut, atau teori retributif, atau teori
pembalasan (vergerldingstheorien). Menurut teori ini,
pidana dimaksudkan untuk membalas tindakan
pidana yang dilakukan seseorang. Jadi, pidana dalam
teori ini hanya untuk pidana itu sendiri.
Teori ini dikenal pada akhir abad ke-18 dan
mempunyai pengikut-pengikutnya dengan jalan
pikirannya masing-masing, seperti: Imanuel Kant,
Hegel, Herberet, dan Sthal.
Pada dasarnya aliran teori ini dibedakan atas corak
subjektif yang pembalasannya ditujukan pada
kesalahan pembuat karena tercela. Dan corak objektif
yang pembalasannya dilakukan oleh orang yang
bersangkutan
26. apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk membalas
dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si
terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula
sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam.
seseorang yang dihukum karena kesalahannya dengan cara membalas atau
menakutkan si pelaku dengan suatu pidana yang kejam memaksa diluar kehendak
rasa keadilan. Jadi pidana tidak didasarkan pada berat ringannya tindak pidana
yang dilakukan, melainkan harus didasarkan pada keperluan yang dibutuhkan
untuk dapat memperbaiki si pelaku tindak pidana.
Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan narapidana
sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa
menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat. Pidana yang ringan pun kadang-
kadang dapat merangsang narapidana untuk melakukan tindak pidana kembali.
Oleh karena itu usaha untuk menyadarkan narapidana harus dihubungkan dengan
berbagai faktor, misalnya apakah pelaku tindak pidana itu mempunyai lapangan
kerja atau tidak.
Apabila pelaku tindak pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka masalahnya
akan tetap menjadi lingkaran setan, artinya begitu selesai menjalani pidana ada
kecenderungan untuk melakukan tindak pidana kembali.
27. penjatuhan pidana keada seseorang tidak hanya
dilakukan karena menimbulkan efek jera atau
balas dendam kepada pelaku kejahatan tetapi
seharusnya memberikan suatu pelajaran agar
seseorang menjadi lebih baik lagi dari
sebelumnya.
tujuan pemidanaan adalah Preventif yaitu
pencegahan dalam arti agar mereka tidak
melakukan perbuatan pidana. Dan Represif yaitu
mengembalikan seseorang yang telah melakukan
tindak pidana atau mendidik seseorang yang
telah melakukan tindak pidana agar mereka
kembali menjadi orang yang baik dan dapat
diterima kembali dalam masyarakat.
28. Muladi dan Barda Nawawi : Sanksi pidana bertujuan
memberikan penderitaan istimewa kepada pelanggar
supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain
ditujukan pada pengenaan penderitaan pada pelaku,
sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan
pencelaan terhadap perbuatan pelaku.
KUHP konsepnya bertolak pada asas legalitas
KUHP yang ada masih dipengaruhi aliran hukum
pidana Neo Klasik dimana pembalasan dan
menderitakan terpidana menjadi salah satu tujuan
dari pemidanaan
29. RUU KUHP yang ada mulai merubah konsep dari pola
pemidanaan, tujuan, dan proses pemidanaan
pasal 51 RUU KUHP:
1.pemidanaan bertujuan:
a.mencegah dilaukkannya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat
b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna
c.menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
d.membebaskan rasa bersalah pada terpidana
2.pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan
dan merendahkan martabat manusia.
30. Pasal 52 :
1.dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan :
a.kesalahan pembuat tindak pidana
b.motif dan tujuan melakukan tindak pidana
c.sikap batin pembuat tindak pidana
d.apakah tindak pdana dilakukan dengan berencana
e.cara melakukan tindak pidana
f.sikap dan tindakan pembat sesudak melakukan tindak pidana
g.riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak
pidamna
h.pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana
i.pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban
j.pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan/atau
k.pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilaukan
2.ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaaan
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat
dijadikan pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau
mengenakan tindakan dengan memperimbangkan segi keadilan
sosial.