Makna proklamasi kemerdekaan ke 70 tanggal 17 Agustus 2015;AKBP DADANG DK-JAMBIWoro Handayani
Mengenai makna kemerdekaan, Ir.Soekarno secara tegas menjelaskan dan bunyinya adalah demikian, “Saudara-saudara, apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ’33 saya telah menulis risalah yang bernama ‘Mencapai Indonesia merdeka’. Maka didalam risalah tahun’33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, polietieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan didalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.”
1. Kota Palembang
Para pemuka masyarakat palembang memperoleh informasi mengenai
proklamasi kemerdekaan itu pada tanggal 18 Agustus 1945 dar i Maylan, seorang
Redaktur Palembang Syimbun, yang kemudian menyiarkan berita itu melalui
Radio Palembang. Salah seorang yang menerima berita itu adalah A.K. Gani,
yang kemudian melakukan hubungan telepon dengan R.Sudarsono di Jambi.
Sumber lain menyebutkan bahwa masyarakat Palembang mengetahui
berita Proklasmasi itu beberapa hari kemudian, pada tanggal 19 atau 20 Agustus
1945, melalui orang-orang Palembang yang datang dari Jakarta (Mo’moen
Abdullah dkk, 1991/1992 : 168)
Pemerintah bala tentara Jepang pada tanggal 22 Agustus 1945
mengadakan pertempuran dengan para pemuda anggota Badan Kebaktian Rakyat
dan pimpinan masyarakat Palembang, antara lain : Abdul Rozak , Nungtjik AR,
Bay Ho. Dalam pertempuran itu Chokan Myako Tosio memberikan informasi
tentang penyerahan Jepang kepada kemerdekaan Indonesia (Kementrian
Penerangan RI, 1954 : 37)
Setelah pertemuan dengan Chokan Myako Tosio itu, para pemimpin
masyarakat Palembang mengadakan rapat untuk membicarakan langkah-langkah
apa yang perlu di ambil pada saat itu. Keputusan rapat itu adalah mengirimkan
satu delegasi di pimpin oleh Nungtjik AR untuk menemui Chokan Myako Tosio
pada hari itu juga (22 Agustus 1945). Delegasi itu diberin tugas untuk
menyampaikan pernyataan sikap para pemimpin masyarakat Palembang.
Ada empat penyataan sikap yang di sampaikan kepada Chokan Myako
Tosio,yaitu :
1. Keamanan merupakan tanggung jawab bangsa Indonesia sepenuhnya.
2. Pihak Jepang harus memberikan jaminan mengenali keselamatan segenap
pemimpin rakyat.
2. 3. Pihak Jepang tidak boleh bertindak sendiri, tanpa sepengetahuan para
pemimpin rakyat.
4. Kemerdekaan Indonesia adalah masalah bangsa Indonesia sendiri dan
tidak boleh di halang-halangi.
Dengan adanya pernyataan sikap itu dapat di ketahui bahwa bangsa Indonesia
memang sudah merdeka. Peristiwa ini di sambut gembira oelh para pemuka
masyarakat, tokoh, pemuda, dan lain-lain. Para pemuda mengadakan rapat
komolidasi pada siang hari tanggal 22 Agustus 1945 itu juga di Rumah Bari.
Tokoh-tokoh pemuda yang hadir dalam rapat itu adalah Maylan, Habibullah
Ashary, Abi Hasan Said, Mattjik Rosad, Adrian, Chodewy Amir, Amantjik,
Yunus S. , dan Baharuddinn.
Rapat itu membicarakan gerakan aksi massa yang perlu dilakukan untuk
mendukung pemenrintahan Republik Indonesia dengan penempelan pamflet
mengenai Indonesia merdeka dan pengibaran bendera Merah Putih di rumah
penduduk kota Palembang. Pamflet mengenai proklamasi itu di cetak melalui
percetakan K.A. Ebling dan di bagikan oleh Yunus Syamsuddin pada tanggal 24
Agustus 1945 kepada para pemuda yang bertugas.
Penempelan dan penyebaran pamflet titu dilakukan pada tengah malam
tanggal 24-25 Agustus 1945 oleh kelompok pemuda. Abi Hasan Said dan Rasyat
Narwawa melakukannya di daerah seberang Ulu, Kelompok Zailani di daerah
Sungai Buah, Habibullah Ashary di daerah Sekanak – Tangga Buntung,
Kelompok Chodewy Amir di pusat kota (15, 16, 17, 18, dan 19 Ilir sampai ke
Sekanak).
Informasi resmi tentang Proklamasi Kemerdekaan di terima para pemuka
masyarakat Palembang pada tanggal 24 Agustus 1945, setelah wakil-wakil dari
Sumatera yang duduk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta,
yaitu M. Amir, Teuku Moh. Hasan, dan Abbas, tiba di Palembang. Ketiga orang
itu kemudian mengadakan pertemuan dengan pemimpin masyarakat Palembang,
yaitu A.K. Gani, M. Isa, Asari, Ibrahim, Mursodo, R.Z. Fanani, Abdul Rozak, dan
3. Nungtjik A.R. Dalam pertemuan itu utusan dari Jakarta itu menjelaskan bahwa
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak ada kaitannya dengan Jepang dan
bahwa Undang- Undang Dasar (UUD) di tetapkan oleh Panitian Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Para utusan itu juga menjelaskan terbentuknya
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), susunan pemerintahan, serta usaha dan
cara pengambilalihan pemerintahan dari tangan Jepang.
Rakyat Palembang dan sekitarnya menyambut Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dengan mengibarkan bendera merah putih pada empat tiang di atas
gedung Menara Air,yang sekarang di kenal sebagai kantor Walikota Palembang.
Upacara pengibaran bendera itu diawali oleh para pemuda dan rakyat Palembang
dengan mendatangi gedung Menara Air itu dengan tujuan meresmikan
kemerdekaan Indonesia dan sekaligus menunjukkan bahwa mereka mendukung
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pengibaran dilakukan oleh bekas perwira
Gyugun, yaitu Hasan Kasim, Moh. Arif, Dani Effendi, R. Abdullah (Cek Syekh),
A. Rival, dan lain-lain, serta dibantu oleh para pemuda di bawah pimpinan
Mailan, Abi Hasan Said, Dan Bujang Yacob (Alamsyah Ratu Perwiranegara,
1985:26).
Keesokan harinya, tanggal 25 Agustus 1945, tiga orang pempimpin
masyarakat Sumatera Selatan, yaitu A.K. Gani, Tosio untuk memberikan
penjelasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bersamaan dengan itu,
diumumkan kepada seluruh rakyat hal-hal mengenai Proklamasi, UUD, rencana
KNIP, dan pembentukan Badan-Badan Keamanan Rakyat.
Kepada para pemimpin masyarakat daerah lainnya (Lampung, Jambi dan
Bengkulu) diinstruksikan agar mengikat gerak langkah yang dilakukan di
Palembang.
Pembentukan dan Penyempurnaan Aparatur Pemerintah Sipil di Sumatera
Bagaian Selatan
Propinsi Sumatera Selatan
4. Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang bukan hal yang mudah. Kekuasan
militer Jepang yang masih sangat kuat dan teratur, lengkap dengan segala alat
senjata perang. Sejak diumumkannya penghentian perang oleh Jepang pada
tanggal 22 Agustus 1945. Jepang sejak hari pengumuman itu membakar segala
macam arsip dan memberhentikan pegawai-pegawainya dengan memberikan
hadiah berupa barang.kesibukan bertambah dengan pembubaran pekerja-pekerja
romusha,heiho,dan gyugun.setelah pusat pemerintahan sipil yang dikuasai A.K
gani terbentuk,keadaan dapat dikuasai. pada tanggal 23 agustus pagi, A.K gani
mengadakan pertemuan untuk menyusun konsep susunan pemerintah indonesia.
hadir dalam pertemuan ini adalah dr.M.Isa, Tjik den, parmono, Ir.Ibrahim,
R.M.Mursodo, H.Tjikwan, Abdulrozak, Rd.Hanan, Asari, R.M.Utojo, R.Z.Fanani,
dan Nungtjik AR.
Konsep susunan Pemerintahan Indonesia untuk daerah Keresidenan Palembang
adalah sebagai berikut :
Kepala Pemerintah : A.K. Gani
Wakil Kepala Pemerintahan : Abdul Rozak
Kepala Kepolisan : Asaari dan Mursodo
Bagian Kemakmuran : Ir. Ibrahim
Bagian Penerangan : Nungtjik Ar
Kepala Urusan Minyak dan Pertambangan : Dr. M. Isa
Kepala Urusan Pemerintahan Umum : R.Z. Fanani dan H. Tjikwan
Kepala Urusan Pemerintahan Kota Palembang : Raden Hasan
Kepala Urusan Perhubungan (Pos dan Telegrap) : RM. Utoyo
Propinsi sumatera selatan
Palembang
5. Di kota palembang pasukan BKR dibawah pimpinan M.arief, joko, dan
Dani Effendi, yang dibantu oleh Raden Abdullah (tje’syeh),menyerbu gudang
tekstil, beras dan gula di jalan merdeka pada saat dikuasai oleh jepang. Dalam
penyerbuan gudang itu terdapat korban dari pihak pejuang republik indonesia
sebanyak 20 orang gugur dan 30 orang luka-luka. Pada pihak jepang terdapat 5
orang gugur dan 15 orang luka-luka
BKR dan barisan pejuang lasykar berhasil merampas tiga buah gerbong
kereta api dan menyerbuh gudang senjata Jepang yang ada di rumah Bari.
Beberapa markas Jepang berhasil diduduki oleh BKR walaupun mereka hanya
bersenjata pedang, tombak dan bambu runcing. Jiwa dan semangat mereka yang
berkobar-kobar membuat tentara Jepang penik. Beberapa tentara Jepang ditawan
oleh BKR. Selain BKR, terdapat pula baris pemuda Republik Indonesia (BPRI),
yang dibantuk pada tanggal 9oktober 1945, yang juga merebut senjata Jepang
(Dinas Sejarah Kodam II Bukit Barisan, 1948: 269)
Dalam rangka penyusunan organisasi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) maka
pada bulan Desember 1945, dr. AK Gani -sebagai salah seorang tokoh perjuangan
nasional yang berkedudukan di Palembang- ditunjuk oleh markas besar TKR di
Yogyakarta sebagai koordinator pembentukan TKR seluruh pulau Sumatera.
Dengan wewenang yang ada, kemudian dr. AK Gani membentuk TKR
Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Bertindak sebagai Panglima dan Kepala Staf adalah : Mayor Jendral Soehardjo
Hardjowardojo dan M. Noeh.
Konferensi TKR di Bukit Tinggi pada tanggal 17 Mei 1946 memutuskan bahwa
kekuatan militer di Sumatera Selatan ( Sumsel ) adalah satu sub komandemen,
yaitu Sub Komandemen Sumatera Selatan ( Subkoss ) yang membawahkan 2
divisi. Keputusan ini berlaku surut, yaitu sejak tanggal 1 Januari 1946. Divisi I
Garuda Bermarkas di Lahat berkekuatan 4 resimen, yang disebarkan di Bengkulu,
6. Baturaja, Lahat dan Tanjung Karang. Divisi II bermarkas di Palembang, Jambi
dan Bangka.
Dengan demikian tanggal ini merupakan titik awal tersusunnya kesatuan-kesatuan
perjuangan bersenjata dalam wilayah Sumbagsel, sekaligus secara resmi
menerima panji-panji TKR sebagai ikatan korps di bawah naungan dan
pengendalian satu komando.
Pada tanggal 10 Januari 1947, Subkoss dihapuskan. Sebagai gantinya, semua
kekuatan bersenjata bergabung dalam Divisi Garuda VIII, yang membawahkan
tiga resimen dan satu brigade pertempuran Garuda Merah, ditambah satu batalyon
istimewa. Markas Divisi ditetapkan berkedudukan di Lahat.
Untuk perang gerilya, diperlukan kekuatan berstruktur bersenjata. Akibatnya,
Divisi VIII diubah lagi menjadi Subkoss, yang terdiri dari 3 sub teritorial. Markas
Subkoss ditetapkan di Muara Beliti, sementara markas sub-sub teritorial di Jambi,
Palembang dan Tanjung Karang.
Pada tanggal 17 Desember 1949, keberadaan sub-sub teritorial digantikan oleh
sebuah brigade yang membawahkan 5 batalyon infantri. Jambi dan Lampung
masing-masing ditempati oleh 1 batalyon, sementara Palembang dijatahkan 3.
Pada awal tahun 1952, brigade tersebut beralih rupa menjadi Teritorium II/
Sumatera, yang lebih dikenal dengan sebutan TT II/Sriwijaya.
7. Berdasarkan surat keputusan Kasad Nomor Skep/953/10/1959 tanggal 25 Oktober
1959 dan keputusan Panglima Nomor 222/1/1961 tanggal 19 November 1961,
Teritorium II/Sriwijaya berubah menjadi Kodam IV/Sriwijaya.
Dalam rangka reorganisasi ABRI, maka berdasarkan surat keputusan Kasad
Nomor 346/II/1985 tanggal 12 Februari 1985, Kodam IV/Sriwijaya menjadi
Kodam II/ Sriwijaya.
Perubahan ini diresmikan di Jakarta pada tanggal 9 April 1985, ditandai dengan
penyerahan pataka Komando, sedangkan daerah tanggung jawab meliputi wilayah
Kodam IV/Sriwijaya. Markas Kodam. ditetapkan berkedudukan di bekas Markas
Kodam IV/Sriwijaya.
Wilayah Kodam II/Sriwijaya meliputi 4 daerah provinsi, yaitu Sumsel, Bengkulu,
Jambi dan Lampung yang masing-masing dibawahkan oleh 1 Komando Resort
Militer. Strukturnya adalah sebagai berikut :
Korem 041 Garuda Emas di Bengkulu
Korem 042 Garuda Putih di Jambi
Korem 043 Garuda Hitam di Lampung
Korem 044 Garuda Dempo di Palembang
Beberapa sudut Palembang saat perang 5 hari 5 malam 1-5 Januari 1947
8. Setelah Perang Dunia II, Sekutu memboncengi NICA ke Indonesia dengan
maksud agar Belanda dapat kembali menguasai Indonesia. Konflik RI dan
Belanda semakin menimbulkan ketegangan. Para pasukan RI, lasykar dan rakyat
berusaha mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai pada 17 Agustus
1945. Usaha untuk mencapai kepentingan Belanda berlanjut dengan pertempuran
besar. Pertempuran besar yang menentukan antara lain Bandung Lautan Api,
Pertempuran Ambarawa, Medan Area, Puputan Margarana dan lain-lain. Di
Sumatera Selatan pun terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang. pertempuran ini terjadi pada
tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang
tiga matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang
tersebut terjadi melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara. Belanda sangat
berkepentingan untuk menguasai Palembang secara total karena tinjauan Belanda
terhadap Palembang dari aspek politik, ekonomi dan militer. Dalam aspek politik,
Belanda berusaha untuk menguasai Palembang karena ingin membuktikan kepada
dunia internasional bahwa mereka benar-benar telah menguasai Jawa dan
Sumatera. Ditinjau dari aspek ekonomi berarti jika Kota Palembang dikuasai
sepenuhnya maka berarti juga dapat menguasai tempat penyulingan minyak di
Plaju serta Sei Gerong. Selain itu, dapat pula me- manfaatkan Palembang sebagai
pusat perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk tujuan ekspor. Sedangkan
jika ditinjau dari segi militer, sebenarnya Pasukan TRI dan pejuang yang
dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan yang relatif mempunyai
persenjataan yang terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan–pasukan yang
berada di luar kota. Oleh karena itu, jika Belanda berhasil menguasai Kota
Palembang secara total, maka akan mempermudah gerakan operasi militer mereka
ke daerah-daerah pedalaman.
Peranan rakyat sangat besar dalam pertempuran Lima Hari Lima Malam.
Motivasi perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan khususnya para pejuang di
daerah Sumatera Selatan yakni adanya “sense to be a nation”, rasa harga diri
9. sebagai suatu bangsa yang telah merdeka. Semboyan “Merdeka atau Mati” yang
berkumandang semasa periode Perang Kemerdekaan adalah wujud usaha untuk
menjaga agar tetap berdirinya Negara Republik Indonesia.
Provokasi Belanda
Daerah Keresidenan Palembang pada masa-masa menjelang Pertempuran
Lima Hari Lima Malam memiliki keunikan tersendiri, bila dibandingkan dengan
daerah-daerah Indonesia lainnya yang telah diduduki oleh Sekutu (NICA), seperti
Medan, Padang, Jakarta, Bandung, dan lain-lainnya, yang masih terdapat
pemerintahan RI lengkap dengan pasukan, karena keberhasilan diplomasi yang
dilakukan oleh kepala pemerintahan setempat. Setelah Belanda menggantikan
Inggris di Palembang pada 24 Oktober 1946, Kolonel Mollinger menjadi
Komandan territorial Belanda untuk Sumatera Selatan (Palembang, Lampung,
Bangka, dan Jambi). Penyerahan pendudukan Inggris kepada Belanda
berlangsung pada 7 November 1946. Setelah menggantikan Inggris, Belanda
menuntut garis demarkasi yang lebih jauh. Untuk mencegah timbulnya insiden
dilakukanlah perundingan antara pihak Belanda dan RI pada tanggal November
1946.
Hal terpenting dari perundingan itu antara lain tentara Belanda tidak akan
memperluas atau melewati batas daerah yang diserahkan kepadanya oleh Inggris
dan akan memelihara status quo. Sementara itu di Palembang mulai dilakukan
pengembangan kekuatan militer oleh Pasukan TRI sedangkan, pihak Belanda giat
menyusun posisi dan memperkuat pasukannya di Palembang.
Pada bulan Desember 1946, pihak Belanda telah menyusun pasukan-
pasukannya di Kota Palembang dan sekitarnya. Kapal-kapal perang Belanda
mulai melakukan pencegahan terhadap lalu lintas pelayaran antara Palembang –
Lampung – Jambi – Singapura, yang bertujuan untuk mengadakan blokade
ekonomi dan militer. Blokade bertujuan agar hubungan timbal balik antara Jambi,
Lampung, Palembang dan Singapura terputus sehingga hasil bumi, barang
kebutuhan hidup dan senjata tidak dapat diimpor dan diselundupkan dari
10. Singapura. Dr. A.K. Gani melakukan kegiatan menembus blokade tersebut untuk
memperkuat perjuangan sehingga dia dijuluki “The biggest smuggler of South
East”.
Panglima Komando Sumatera, Jenderal Mayor Suharjo Harjowardoyo
mengeluarkan Perintah Harian lewat corong Radio Republik Indonesia di
Palembang pada akhir Desember 1946 yang ditujukan kepada pasukan-pasukan
RI di daerah pendudukan Belanda di Medan, Padang dan terutama yang di
Palembang untuk selalu siap siaga dan waspada menunggu instruksi dari
pemerintahan pusat.
Pada tanggal 28 Desember 1946, seorang anggota Lasykar Napindo
bernama Nungcik ditembak mati karena melewati pos pasukan Belanda di
Benteng. Malam harinya Belanda melanggar garis demarkasi yang telah
ditentukan. Dua buah Jeep yang dikendarai oleh pasukan Belanda dari Talang
Semut melewati Jalan Merdeka, Jalan Tengkuruk (sekarang Jalan Sudirman),
Rumah Sakit Charitas sambil melepaskan tembakan-tembakan secara
membabibuta. Pancingan itu segera mendapat jawaban dari pasukan RI.
Meletuslah pertempuran yang berlangsung sekitar 13 jam lamanya. Setelah
terjadinya perang sekitar 13 jam, situasi Palembang dalam kondisi cease fire.
Insiden ini menunjukkan akan meletusnya perang yang lebih besar, karena
Belanda berusaha meningkatkan pertahanannya.
Penghentian tembak-menembak tersebut tidaklah berlangsung lama,
Belanda kembali melanggar kesepakatan pada 29 Desember 1946, berupa
terjadinya penembakan terhadap Letnan Satu A. Riva’i, Komandan Datasemen
Divisi Dua, yang mengendarai sepeda motor Harley Davidson saat sedang
melakukan inspeksi kepada pasukan-pasukan dan pos-pos pertahanan TRI-
Subkoss/ Lasykar. Ketika melintas di depan Charitas, ia ditembak dengan senjata
otomatis oleh pasukan belanda yang berada di Charitas. Letnan Satu A. Riva’i
berhasil menyelamatkan diri walaupun tembakan itu tepat mengenai perutnya.
11. Provokasi Belanda terus terjadi pada 31 Desember 1946 menyebabkan
insiden dengan pihak TRI yang sifatnya sporadis. Belanda melakukan konvoi dari
Talang Semut menuju arah Jalan Jenderal Sudirman. Mobil tersebut melaju
dengan kencang dan melepaskan tembakan-tembakan. Kontak senjata tidak
terelakkan di depan Masjid Agung dan sekitar rumah penjara Jalan Merdeka.
Pasukan TRI melakukan pengepungan dan serangan terhadap kekuatan Belanda di
Charitas sehingga tidak mungkin Belanda untuk keluar dan meneriman bantuan
dari luar. Akhirnya Belanda meminta bantuan Panglima Divisi II (Kol. Hasan
Kasim) dan Gubernur Sumatera Selatan (dr. M. Isa) untuk penghentian tembak-
menembak (cease fire).
Tujuan dilakukan penghentian tembak-menembak bagi Belanda adalah
untuk menyusun kembali kekuatan tempurnya. Sebelum Belanda melakukan
serangan udara itu memakan waktu yang relatif singkat, yaitu beberapa jam
sebelum matahari terbenam menjelang malam. Belanda melakukan penembakan
dengan mortir ke tempat dimana Pasukan TRI/ Lasykar berada yaitu di Gedung
Perjuangan (sekarang Pusat Perbelanjaan Bandung), di daerah dekat Sungai
Jeruju, daerah Tangga Buntung dan sebagainya. Dengan demikian telah berakhir
kesepakatan penghentian tembak-menembak oleh Belanda.
Insiden-insiden yang terjadi pada akhir tahun 1949 tersebut menjadikan
situasi di Kota Palembang dan sekitarnya menjadi panas (Perwiranegara, 1987 :
58). Insiden yang terjadi sesungguhnya adalah cara Belanda untuk memicu
keributan dengan tujuan agar terjadi pertempuran yang lebih besar.
Pada hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947, sekitar pukul 05.30 pagi, sebuah
kendaraan Jeep yang berisi pasukan Belanda keluar dari Benteng dengan
kecepatan tinggi. Mereka melampaui daerah garis demarkasi yang sudah
disepakati. Ternyata mereka mabuk setelah pesta semalam suntuk merayakan
datangnya tahun baru. Kendaraan Jeep itu melintasi Jalan Tengkuruk membelok
dari Jalan Kepandean (sekarang Jalan TP. Rustam Efendi) lalu menuju Sayangan,
kemudian melintasi ke arah Jalan Segaran di 15 Ilir, yang banyak terdapat markas
12. pasukan RI/ Lasykar seperti Markas Napindo, Markas TRI di Sekolah Methodist,
rumah kediaman A.K. Gani, Markas Divisi 17 Agustus, Markas Resimen 15 dan
markas Polisi Tentara.
Pada kesempatan yang sama para pemimpin milter dan lasykar
mengadakan rapat komando untuk menentukan sikap dalam menghadapi
provokasi Belanda. Rapat dihadiri pimpinan pemerintah sipil Gubernur Muda M.
Isa. Dalam rapat tersebut, Panglima Divisi II Kolonel Bambang Utoyo, Gubernur
Muda M. Isa maupun Panglima Lasykar 17 Agustus, Kolonel Husin Achmad
menyatakan bahwa dalam menghadapi provokasi Belanda, pihak RI bertindak
tidak lagi sekedar membalas serangan, melainkan harus berinisiatif untuk
menggempur semua kedudukan dan posisi pertahanan Belanda di seluruh sektor.
Kepala staf Divisi II, Kapten Alamsyah, mengeluarkan perintah “Siap dan Maju”
untuk bertempur menghadapi Belanda.
Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam
Front Seberang Ilir Timur
Front Seberang Ilir Timur meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk sampai RS.
Charitas – Lorong Pagar Alam – Jalan Talang Betutu – 16 Ilir – Kepandean –
Sungai Jeruju – Boom Baru – Kenten. Pertempuran pertama terjadi pada hari
Rabu tanggal 1 Januari 1947. Belanda melancarkan serangan dan tembakan yang
terus menerus diarahkan ke lokasi pasukan RI yang ada di sekitar RS. Charitas.
RS. Charitas berada di tempat yang strategis karena berada di atas bukit sehingga
menjadi basis pertahanan yang baik bagi Belanda. Daerah Front Seberang Ilir
(RS. Charitas) menjadi tanggung jawab dari Komandan Resimen Mayor Dani
Effendi. Basis strategi pertahanan di Front Seberang Ilir Timur terutama berlokasi
di depan Masjid Agung, simpang tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang
Pasar Cinde), Lorong Candi Angkoso dan di Jalan Ophir (sekarang Lapangan
13. Hatta).
Dibawah pimpinan Mayor Dani Effendi, Pasukan TRI melancarkan serangan ke
Rumah Sakit Charitas dan daerah di Talang Betutu. Serangan ini dilakukan
bersama dengan satu kompi dan batalyon Kapten Animan Akhyat yang bertahan
di simpang Jalan Talang Betutu (Perwiranegara, 1987 : 67). Tujuan serangan ini
adalah untuk memblokir bantuan Belanda yang datang dari arah Lapangan Udara
Talang Betutu menuju arah Palembang dan untuk menghalangi hubungan antara
pusat pertahanan Belanda di RS. Charitas dengan Benteng.
Pada sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan pasukan tank dan panser
untuk menerobos pertahanan dan barikade Pasukan TRI di sepanjang Jalan
Tengkuruk. Mereka kemudian berhasil menduduki Kantor Pos dan Kantor
Telepon melalui perlawanan seru dari Pasukan TRI. Dengan berhasilnya Belanda
menduduki kantor Telepon, maka hubungan melalui alat komunikasi menjadi
terputus secara total. Setelah itu, Belanda memperluas gerakannya hingga
menduduki Kantor Residen dan Kantor Walikota. Pasukan TRI yang berada di
daerah tersebut mengundurkan diri ke Jalan Kebon Duku dan Jalan Kepandean
sedangkan di RS. Charitas, kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan
dari Pasukan TRI.
Pada pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama diarahkan terhadap
pasukan dan pertahanan Belanda di RS. Charitas. Namun, Belanda berhasil
menerobos lini Talang Betutu setelah terlebih dahulu berhadapan dengan Lettu
Wahid Uddin bersama Kapten Animan Achyat. Belanda telah memperkuat
tempat-tempat yang telah mereka kuasai, terutama di depan Masjid Agung.
Sementara itu, kapal-kapal perang (korvet) Belanda mulai bergerak hilir mudik di
Sungai Musi sambil menembakkan peluru mortirnya ke segala arah. Secara
spontanitas, rakyat dan pemuda di dalam kota dan luar kota turut serta bertempur
melawan Belanda. Mobilisasi umum di kalangan masyarakat agraris-tradisional
terus berlangsung untuk menghadapi Belanda. Melihat kemajuan-kemajuan di
14. pihak kita, Belanda pun segera mengadakan pengintaian, bahkan melakukan
tembakan dari udara terhadap kereta api yang membawa bahan makanan, bantuan
dari Baturaja, Lubuk Linggau dan Lahat, Rakyat yang berada di Front Seberang
Ilir menjadi sangat menderita karena keterbatasan kesediaan pangan akibat Sungai
Musi dikuasai Belanda dan penembakan kereta api.
Oleh karena lokasi Markas Besar Staf Komando Divisi II tidak lagi aman, maka
dipindahkan dari Sungai Jeruju ke daerah Kenten, tepatnya di Jalan Duku. Hal ini
disebabkan karena Belanda terus-menerus melakukan pengintaian dan
pengeboman terhadap markas-markas Pasukan TRI/ Lasykar. Keberhasilan
pengeboman jarak jauh yang dilakukan oleh Belanda tidak terlepas dari peranan
para pengintai atau mata-mata.
Ternyata dalam pemeriksaan dan interogerasi yang dilaksanakan, memberi
banyak petunjuk bahwa pihak Belanda secara licik menggunakan warga kota
keturunan Tionghoa sebagai informan mereka, disamping sebagai pelayan
kegiatan ekonomi bagi kepentingan Belanda. Kapten Alamsyah Ratu
Perwiranegara menilai bahwa kasus mata-mata ini sangat sensitif, ia segera
memerintahkan Letnan Dua Asmuni Nas untuk merazia dan menyita semua
telepon yang digunakan oleh keturunan Tionghoa di sepanjang Pasar 16 Ilir.
Pertempuran ketiga berlangsung pada hari Jum’at, tanggal 3 Januari 1947. Saat
itu, Kolonel Mollinger memerintahkan angkatan perangnya (Darat, Laut dan
Udara) untuk menghancurkan semua garis pertahanan Pasukan TRI/ Lasykar. Ini
menunjukkan terjadinya konsep perang tiga matra yang dilakukan Belanda di
Palembang.
Berdasarkan perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis baja keluar dari
Benteng menuju RS. Charitas menerobos Jalan Tengkuruk, melepaskan tembakan
di sekitar Masjid Agung dan Markas BPRI. Gerakan penerobosan Belanda ke
Charitas itu dihambat oleh pasukan kita yang berada di Pasar Cinde dengan
15. ranjau-ranjau, namun gagal karena ranjau-ranjau tersebut gagal meledak.
Akibatnya Pasar Lingkis (Cinde) dapat dikuasai oleh musuh. Tapi, sore harinya
pasar itu dapat dikuasai kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII). senjata dan
amunisi yang dimiliki pasukan RI jumlahnya terbatas, dan sebagian besar senjata
yang digunakan oleh pasukan kita banyak yang telah tua (out of date) sebagai
hasil rampasan dari serdadu Jepang (Abdullah, 1996 : 43). Sampai hari ketiga,
keadaan Palembang sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima kota telah hancur
terkena serangan bom dan peluru mortir Belanda.
Kehancuran Kota Palembang karena bom-bom Belanda tersebut ditambah lagi
dengan adanya aksi bumi hangus, seperti jembatan kayu di 24 Ilir, atas perintah
Kepala Pertahanan Divisi II, Kapten Alamsyah. Pembongkaran ini dimaksudkan
agar jembatan tidak digunakan oleh Belanda untuk menerobos dari arah Bukit
Kecil menuju Charitas. Bahkan, perintah yang benar-benar ditakuti oleh Belanda
adalah “aksi bumi hangus Plaju dan Sungai Gerong”.
Pada pertempuran keempat (4 Januari 1947), Belanda memfokuskan pertahanan di
Plaju. Sehingga pasukan Mayor Dani Effendi berhasil memanfaatkan situasi
tersebut untuk menguasai Charitas dan sekitarnya. Akibatnya pasukan Belanda
mulai terdesak. Pasukan TRI berhasil mendekati gudang amunisi di RS. Charitas
dan menembak serdadu Belanda yang berusaha mendekati gudang tersebut.
Pada 5 januari 1947, pihak Belanda dapat menguasai beberapa tempat dengan
bantuan kapal-kapal perang yang hilir mudik di Sungai Musi dan pesawat terbang
yang menjatuhkan bom-bom ke arah posisi Pasukan TRI. Namun demikian
pasukan Belanda mengalami keadaan yang sama dengan Pasukan TRI yaitu letih,
kurang tidur dan merasa stress, sedangkan Pasukan TRI telah banyak menderita
kerugian baik dari materi ataupun yang gugur dan luka-luka.
Front Seberang Ilir Barat
16. Front Seberang Ilir Barat meliputi kawasan mulai dari 36 Ilir yaitu meliputi
Tangga Buntung – Talang – Bukit Besar – Talang Semut – Talang Kerangga –
Emma Laan – Sungai Tawar – Sekanak – Benteng.
Markas Batalyon 32 Resimen XV Divisi II dipimpin Makmun Murod yang berada
di Front Seberang Ilir Barat, yaitu di Sekanak. Komandan Resimen XV dan
Komandan Batalyon 32/XV beserta para perwira yang berada di markas, sibuk
mengatur pertahanan dan merencanakan untuk menyerang benteng-benteng
pertahanan Belanda. Suara tembakan yang saling bersahutan sudah semakin
gencar diselingi oleh dentuman senjata-senjata berat yang ditembakkan dari pos-
pos dan gedung-gedung pertahanan Belanda ke arah kubu pertahanan Pasukan
TRI dan barisan pertahanan rakyat.
Pada pertempuran yang terjadi pada tanggal 1 Januari 1947, pasukan-pasukan
disekitar belakang Benteng mulai terdesak lalu mengundurkan diri ke sekitar Jalan
Kelurahan Madu dan Jalan Kebon Duku. TRI/ Lasykar yang berlokasi di Bukit
terpaksa mengubah taktik yaitu memencarkan diri masuk ke kampung-kampung
di sekitar Bukit Siguntang dan sekitarnya. Tindakan ini dilakukan untuk
mencegah pasukan Belanda yang akan menerobos ke 35 Ilir. Karena apabila
pasukan Belanda yang akan beroperasi di 36 Ilir, Suro, 29 Ilir dan Sekanak akan
terkepung. Usaha Pasukan TRI dibawah pimpinan Mayor Surbi Bustan dilakukan
untuk menyerang Gedung BPM Handelszaken. Serangan ini dibantu oleh Kapten
Makmun Murod, Letnan Satu Asnawi Mangkualam dan Kapten Riyacudu. Dalam
pertempuran tersebut, seorang prajurit yang diketahui pemuda keturunan
Tionghoa, Sing, tertembak dan gugur. Belanda dengan menggunakan kendaraan
berlapis baja dan persenjataan modern berhasil menguasai Kantor Pos, Kantor
Telegraf, Kantor Residen, Kantor Walikota dan disekitar Jalan Guru-guru di 19
Ilir.
17. Secara keseluruhan, pertempuran pada hari pertama tersebut, inisiatif sepenuhnya
berada di tangan Pasukan TRI dan pejuang. Belanda dengan segala
kemampuannya berusaha mempertahankan pos-pos pertahanan dan kedudukannya
sambil terus melancarkan tembakan-tembakan ke arah pasukan yang menyerang.
Pasukan Belanda boleh dikatakan tidak berani keluar dari kubu pertahanannya,
terutama yang berkedudukan di Seberang Ilir, karena gencarnya serangan Pasukan
TRI dan Lasykar. Pasukan Belanda hanya membalas tembakan dari tempat
perlindungan, dengan memuntahkan peluru mortir dan dengan tembakan howitzer
untuk sasaran jarak jauh.
Belanda menerapkan sistem pertahanan saling dukung antar pos-pos mereka. Jika
satu tempat pertahanan terkepung oleh Pasukan TRI, maka dalam waktu singkat
akan mendapat bantuan dari kubu pertahanan Belanda lainnya. Bantuan sering
berupa tembakan, mortir atau howitzer atau dukungan tembakan dari kapal perang
De Ruiter. Kapal Belanda memang hilir mudik di sungai Musi, khususnya jenis
korvet.
Pada pertempuran hari kedua, Belanda menembakkan mortirnya dengan
mem****buta ke arah Sekanak sampai ke Tangga Buntung. Tujuan utama adalah
menembaki markas batalyon dan pos-pos pertahanan TRI dan rakyat yang
terdapat antara Sekanak sampai Tangga Buntung. Tidak dapat dihindari lagi
peluru tersebut telah mengenai daerah pemukiman penduduk. Gencarnya
tembakan yang dilakukan Belanda dari benteng pertahanann dan yang dilakukan
Belanda dari benteng pertahanan dan pesawat udara pada 2 Januari 1947
menyebabkan staf Komando Batalyon 32/ XV oleh Mayor Zurbi Bustan bersama
Kapten Makmun Murod dipindahkan ke Talang. Daerah Suro dan Talang
Kerangga pada saat itu tidak luput dari sasaran musuh.
18. Dengan dorongan semangat dan do’a, Pasukan TRI tetap berusaha untuk
mempertahankan diri. Penambahan pasukan terjadi melalui bantuan Batalyon
Ismail Husin dari Lampung yang berhasil menyeberang melalui Tangga Buntung.
Rakyat atau penduduk sipil pun ikut serta memberi bantuan tenaga.keterbatasan
senjata tidak membuat pasukan kita menyerah. “Molotov” adalah bensin yang
dimasukkan yang dimasukkan ke dalam botol dicampur dengan karet untuk
kemudian diberi sumbu menjadi alat yang sangat efisien. Kapten Alamsjah
memerintahkan Sersan Mayor M. Amin Suhud untuk mencuri persediaan bensin
Belanda yang akan digunakan untuk membuat bom molotov. Sersan Mayor M.
Amin Suhud berhasil mendapatkan bensin d markas Kesulitan bahan makanan
dialami oleh Front Seberang Ilir Barat karena blokade yang dilakukan oleh
Belanda. Dalam kondisi demikian, bantuan bahan makanan dari dapur umum di
garis belakang yang dikirimkan oleh ibu-ibu dan remaja puteri sangat berarti.
Begitu pula peran anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan PPI (Pemuda Putri
Indonesia) yang mengurus korban pertempuran dan mengurus bahan makanan.
Pada hari ketiga, pertempuran tiga matra yang dilakukan oleh Belanda semakin
aktif, setelah dikeluarkan perintah oleh Kolonel Mollinger untuk menghancurkan
garis pertahanan RI di Emma Laan (Jalan Kartini) dan Sekolah MULO Talang
Semut. Pasukan TRI dibawah pimpinan Letda Ali Usman berhasil
menghancurkan sekitar 3 regu Pasukan Belanda yaitu Pasukan Gajah Merah
(Perwiranegara, 1987 : 75). Belanda tidak tinggal diam, segera membalas
serangan di Emma Laan. Sehingga pada pertempuran hari keempat, Satbtu tanggal
4 Januari 1947, Pasukan TRI/ Lasykar terdesak sehingga mundur ke arah Kebo
Gede, Talang dan Tangga Buntung.
Sebagai resiko perjuangan dari bangsa yang baru merdeka, maka setiap gerakan
pasukan musuh berakibat pada pemindahan dislokasi pasukan. Walaupun situasi
19. pertempuran selalu dilaporkan kepada komando pertempuran. Namun laporan
tersebut mengalami keterlambatan akibat sulitnya hubungan komunikasi.
Pada hari kelima pertempuran di Front Seberang Ilir Barat terus berlangsung,
walaupun Pasukan TRI/ Lasykar dan rakyat mulai menampakkan keletihan dan
pengiriman makanan dari dapur umum mulai tidak teratur lagi akibat blokade
Belanda. Sebenarnya blokade ini juga berdampak pada pihak Belanda juga karena
bahan makanan dari luar kota sulit masuk ke Kota Palembang.
3. Front Seberang Ulu
Front Seberang Ulu meliputi kawasan mulai dari 1 Ulu Kertapati sampai Bagus
Kuning, selanjutnya meliputi kawasan Plaju – Simpang Kayu Agung – Sungai
Gerong. Untuk tanggung jawab pertahanan dan keamanan di daerah Palembang
Ulu dibebankan kepada Batalyon 34 Resimen XV dengan Komandan Batalyon
Kapten Raden Mas yang bermarkas di sekolah Cina 7 Ulu (sekarang SHD), yang
melakukan perlawanan di Kertapati sampai Plaju.
Pada awal pertempuran taanggal 1 Januari 1947, tembakan mortir dari pasukan
Belanda yang berada di Bagus Kuning, Plaju dan Sungai Gerong terus ditujukan
ke markas batalyon yang dipimpin Kapten Raden Mas. Namun demikian, kapal
perang Belanda yang berada di Boom Plaju atau Sungai Gerong belum dapat
bergerak leluasa, karena dihambat oleh pasukan ALRI di Boom Baru.
20. Lokasi di perairan Sungai Musi sebelum pertempuran merupakan salah satu
tempat berlangsungnya aktivitas perekonomian. Namun ini berbeda pada hari
pertama pertempuran. Motorboat milik Belanda melaju dari arah Plaju menuju
Boom Yetty yang diduga membawa bahan persenjataan pasukan Belanda,
Pasukan TRI berusaha menyerang namun tidak berhasil.
Kompi I yang berkedudukan di Jalan Bakaran Plaju, dipimpin Lettu Abdullah di
Jalan kayu Agung dan Sungai Bakung diberi tugas untuk menghadapi Belanda.
Begitu juga Kompi II yang dipimpin Letda. Sumaji bertugas menghadapi Belanda
di Bagus Kuning dan Sriguna sedangkan Kompi II dibawah pimpinan Letda Z.
Anwar Lizano bertugas menghadapi Belanda di pinggir Sungai Musi yang
letaknya sejajar dengan Boom Yetty sampai Pasar 16 Ilir. Pertempuran yang telah
terjadi menimbulkan semangat patriotisme di kalangan Pasukan TRI. Bantuan
pasukan segera menuju Palembang. Letkol Harun Sohar telah melepaskan
pemberangkatan pasukannya menuju Kertapati dan Lahat dengan menggunakan
kereta api.
Kelelahan pasukan Belanda dimanfaatkan oleh Letnan Dua S. Sumaji yang
merencanakan serbuan dini hari, pada tanggal 2 Januari 1947. Pasukannya dibantu
dari Lasykar Pesindo, Napindo dan Hizbullah. Penyerbuan tersebut membuahkan
hasil. Pasukan TRI/ Lasykar dapat menguasai gudang-gudang persenjataan
musuh. Dalam pendudukan tersebut, TRI berhasil merampas persenjataan musuh
sedangkan pasukan Belanda mengundurkan diri ke kapal-kapal perang mereka.
Bendera Belanda si tiga warna yang terpancang di depan asrama telah diturunkan,
kemudian dirobek warna birunya dan dinaikkan kembali dalam keadaan si
Dwiwarna, Sang Saka Merah Putih. Namun kemenangan ini tidak berlangsung
lama pasukan Belanda kemudian melepaskan tembakan-tembakan mortir ke arah
kedudukan Pasukan TRI/ Lasykar.
21. Setelah Komandan Mollinger mengeluarkan perintah kepada seluruh unsur
kekuatan darat, laut dan udara. Belanda untuk meningkatkan gempuran dan
berusaha menerobos setiap garis pertahanan TRI dan badan-badan perjuangan
rakyat. Pesawat-pesawat terbang dan kapal-kapal perang Belanda semakin
menggiatkan aksinya, terutama di daerah-daerah yang menjadi tempat bertahan
pasukan-Pasukan TRI yang berada di Seberang Ulu dan Ilir. Kapal perang jenis
korvet menembakkan mesin ke sepanjang Sungai Musi terutama di pos-pos
pertahanan RI, terutama yang berlokasi di sekitar 7 Ulu.
Akibatnya Pasukan TRI dan Lasykar terpaksa membalas dengan menggunakan
senjata bekas persenjataan Jepang, yaitu meriam pantai milik Kompi III Batalyon
34 di 7 Ulu di tepi Sungai Musi. Dengan menggunakan senjata seperti itu,
pasukan Hisbullah dibawah pimpinan Letkol (Lasykar) M. Ali Thoyib berhasil
menembak sebuah motorboat Belanda yang sedang mengangkat amunisi milik
Belanda dari Plaju menuju ke Benteng. Serangan terhadap motorboat Belanda
mengakibatkan kemarahan pasukan Belanda. Mereka membalas dengan mengirim
pesawat Mustang dan secara terus-menerus menghujani basis pasukan di 7 Ulu
dengan tembakan bertubi-tubi selama dua jam. Hal ini menimbulkan korban yang
besar di kalangan Pasukan TRI/ Lasykar dan rakyat. Bantuan terhadap pasukan di
Front Seberang Ulu datang dari Lahat dan Baturaja dikirim ke Bagus Kuning.
Pada tanggal 4 Januari 1947 di Front Seberang Ulu pasukan Belanda semakin
memperhebat tekanannya terhadap pasukan RI sehingga pasukan TRI yang berada
di Bagus Kuning mengundurkan diri ke 16 Ulu. Kapal-kapal perang Belanda
melakukan patroli mulai dari perairan Sungai Gerong di bagian Hilir sampai ke
perairan Kertapati Keramasan di bagian Hulu. Pada hari kelima, tanggal 5 Januari
1947, pasukan kita dalam keadaan lelah, sekalipun hal itu tidak mengendorkan
semangat perjuangan
22. Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran
Sejak tanggal 4 Januari 1947 di Kota Palembang telah menerima kedatangan
Kapten A.M. Thalib, utusan Panglima Divisi II Bambang Utoyo, yang
mengabarkan tentang keinginan Mollinger untuk berunding. Ternyata Gubernur
Muda telah menerima berita dari Jakarta lewat telegram yang diterima oleh
pemancar darurat dibawah pimpinan Herry Salim, bahwa akan datang ke
Palembang secepatnya Dokter Adnan Kapau Gani sebagai utusan pemerintah
pusat untuk melakukan perundingan gencatan senjata dengan pihak Belanda.
Perundingan yang dilakukan oleh pihak RI dikarenakan ada kepentingan strategis
dengan alasan, pertama, mencegah korban lebih banyak; kedua, kita perlu
mengadakan konsolidasi kekuatan kembali; ketiga, dari segi politis akan
membelikan gambaran kepada dunia internasional bahwa RI cinta perdamaian,
sekaligus menegaskan bahwa pemerintah pusatnya dipatuhi oleh daerah-daerah.
Perhitungan yang melandasi untuk berunding dari pihak RI adalah berdasarkan :
Pertama, perjuangan kemerdekaan akan memakan waktu cukup lama, mungkin
bertahun-tahun.
Kedua, hampir 60% pasukan RI di Sumatera Selatan berada di Kota Palembang,
bila sampai bertempur habis-habisan akan memperlemah kekuatan pada masa
selanjutnya.
23. Setelah itu, ditetapkan tiga orang delegasi yang akan melakukan penjajakan
perundingan. Mereka adalah dr. M. Isa, Gubernur Muda Sumatera Selatan yang
mewakili Pemerintahan Sipil; Mayor M. Rasyad Nawawi, Kepala Staf Divisi
Garuda II yang mewakili pasukan-pasukan dari Komando Pertempuran dan
Komisaris Besar Polisi Mursoda, yang mewakili Kepolisian (Parikesit, 1995 : 69).
Perundingan antara RI – Belanda dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 1947 di
Rumah Sakit Charitas. Formasi delegasi pun ditambah dengan Kolonel Bambang
Utoyo, Komandan Divisi Garuda II, yang ditunjuk sebagai Ketua dan Mayor Laut
A.R. Saroingsong. Pertemuan dengan pihak Belanda sebenarnya telah mereka
nanti-nantikan, sebab posisi Belanda benar-benar terjepit dan belum bisa
mengadakan link up. Mereka masih terkurung dalam kubu per kubu yang terpisah
satu sama lainnya
Dalam perundingan tersebut pihak Belanda menuntut Kota palembang
dikosongkan dari seluruh Pasukan TRI. Namun hal itu ditolak oleh delegasi RI.
Pihak RI bersedia menarik TRI dan Lasykar dari kota, tapi ALRI, Kepolisian dan
Pemerintahan Sipil tetap berada di dalam kota. Dengan alasan bahwa ALRI tidak
mempunyai hubungan dengan Angkatan Darat. Adapun maksud tersembunyi
adalah pasukan ALRI yang tinggal di kota Palembang akan menjadi penghubung
dan mata-mata, disamping polisi dan Pemerintahan Sipil, guna mengawasi
kegiatan Belanda.
Akhirnya pertempuran Lima Hari Lima Malam diakhiri dengan gencatan senjata
(cease fire) antara kedua belah pihak, dimana TRI/ lasykar harus keluar dari Kota
Palembang sejauh 20 Kilometer kecuali Pemerintahan Sipil RI dan ALRI masih
tetap berada di dalam kota. Sedangkan pos-pos Belanda hanya boleh sejauh 14 km
dari pusat kota. Jalan raya di dalam kota dijaga pasukan Belanda dengan rentang
24. wilayah 3 km ke kiri dan kanan jalan. Hasil perundingan ini selanjutnya segera
disampaikan ke markas besar TRI di Yogyakarta.
PERANG
LIMA HARI LIMA MALAM
Gambaran Sengitnya Pertempuran
Dengan Latar Belakang Kobaran Api dan Masjid Agung
1 Januari 1947
Dari RS. Charitas terjadi rentetan tembakan disusul oleh ledakan-ledakan
dahsyat kearah kedudukan pasukan kita yang bahu membahu dengan Tokoh
masyarakat bergerak dari pos di Kebon Duku (24 Ilir Sekarang) mulai dari
Jalan Jenderal Sudirman terus melaju kearah Borsumij, Bomyetty Sekanak,
BPM, Talang Semut.
2 Januari 1947
Diperkuat dengan Panser dan Tank Canggih Belanda bermaksud menyerbu
dan menduduki markas Tentara Indonesia di Masjid Agung Palembang.
Pasukan Batalyon Geni dibantu oleh Tokoh Masyarakat bahu membahu
memperkuat barisan mengobarkan semangat jihad yang akhirnya dapat
berhasil mempertahankan Masjid Agung dari serangan sporadis Belanda.
Pasukan bantuan belanda dari Talang Betutu gagal menuju masjid agung
karena disergab oleh pasukan Lettu. Wahid Luddien sedangkan pada hari
kedua Lettu Soerodjo tewas ketika menyerbu Javache Bank. Diseberang ulu
Lettu. Raden. M menyerbu kedudukan strategis belanda di Bagus Kuning dan
berhasil mendudukinya untuk sementara. Bertepatan dengan masuknya
pasukan bantuan kita dari Resimen XVII Prabumulih
3 Januari 1947
Pertempuran yang semakin sengit kembali memakan korban perwira penting
Lettu. Akhmad Rivai yang tewas terkena meriam kapal perang belanda di
sungai seruju. Keberhasilan gemilang diraih oleh Batalyon Geni pimpinan
Letda Ali Usman yang sukses menhancurkan Tiga Regu Kaveleri Gajah
Merah Belanda. Meskipun Letda Ali Usman terluka parah pada lengan.
Pasukan lini dua kita yang bergerak dilokasi keramat Candi Walang (24 Ilir)
menjaga posisi untuk menghindari terlalu mudah bagi belanda memborbardir
posisi mereka. Sedangkan pasukan Ki.III/34 di 4 Ulu berhasil
menenggelamkan satu kapal belanda yang sarat dengan mesiu. Akibatnya
pesawat-pesawat mustang belanda mengamuk dan menghantam selama 2
jam tanpa henti posisi pasukan ini.
Pada saat ini pasukan bantuan kita dari Lampung, Lahat dan Baturaja tiba
dikertapati namun kesulitan memasuki zona sentral pertempuran diareal
masjid agung dan sekitar akibat dikuasainya Sungai Musi oleh Pasukan
Angkatan Laut Belanda.
25. Pasukan Indonesia
Menyebrangi Sungai Musi untuk Membantu Posisi Front
4 Januari 1947
Belanda mengalami masalah amunisi dan logistik akibat pengepungan hebat
dari segala penjuru oleh tentara dan rakyat, sedangkan tentara kita
mendapat bantuan dari Tokoh masyarakat dan pemuka adat yang
mengerahkan pengikutnya untuk membuka dapur umum dan lokasi
persembunyian serta perawatan umum.
Pasukan Mayor Nawawi yang mendarat di keramasan terus melaju ke pusat
kota melalui jalan Demang Lebar Daun. Bantuan dari pasukan ke masjid
agung terhadang di Simpang empat BPM, Sekanak, dan Kantor Keresidenan
oleh pasukan belanda sehingga bantuan belum bisa langsung menuju
kewilayah charitas dan sekitar.
5 Januari 1947
Pada hari ke Lima panser belanda serentak bergerak maju kearah Pasar Cinde
namun belum berani maju karena perlawanan sengit dari Pasukan Mobrig kita
pimpinan Inspektur Wagiman dibantu oleh Batalyon Geni. Sedangkan pasukat
belanda dijalan merdeka mulai sekanak tetap tertahan tidak mampu
mendekati masjid agung. Akibat kesulitan tentara belanda dibidang logistik
dan kesulitan yang lebih besar pada pihak kita pada bidang amunisi akhirnya
dibuat kesepakatan untuk mengadakan Cease Fire.
Perundingan Cease Fire
Pasukan dari Kebun Duku diperintahkan untuk menyerang Jalan Jawa lama
dan 11 Siang telah menyusun barisan berangkat ke kenten. Tiba-tiba dalam
perjalanan Kapal Belanda menembaki rumah sekolah yang dihuni oleh
Batalyon Geni dan Laskar Nepindo sehingga pihak kita mengalami banyak
kerugian dan korban jiwa.
Dalam Cease Fire TKR dan laskar serta badan-badan perlawanan rakyat
diperintahkan mundur sejauh 20 KM dari kota palembang atas perintah
Komandan Divisi II Kolonel Bambang Utoyo. Sedangkan dikota palembang
hanya diperbolehkan pasukan ALRI dan unsur sipil dari RI yang tinggal.