Legal Framework of Contract Disclosure of Oil and Gas, Mineral and Coal Secto...
The Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI)
1. Indonesia
Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Transparansi & Akuntabilitas Tatakelola Sumberdaya Ekstraktif (Migas dan Pertambangan)
The Extractive Industries Transparency
Initiatives (EITI)
Foto: Pokja 30 Samarinda
Apakah yang dimaksud EITI?
•The Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) merupakan inisiatif
yang bersifat sukarela, yang didukung oleh koalisi perusahaan, pemerintah, investor dan organisasi masyarakat sipil yang bertujuan untuk membentuk tata
aturan dalam industri ekstraktif yang lebih baik, melalui penerapan transparansi dan akuntabilitas.
•Pada intinya, EITI menuntut adanya transparansi dalam pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan dan pendapatan yang diterima oleh pemerintah terkait dengan eksploitasi sumber daya ekstraktif sebuah negara. Transparansi
akan memberdayakan masyarakat sipil untuk menjaga pemerintahan senantiasa bertanggungjawab atas pengelolaan sumber daya tersebut.
•EITI diinisiasi oleh Perdana Menteri Inggris Tony Blair pada World Summit for
Sustainable Development di Johanesburg, Oktober 2002. Inisiatif ini merupakan respons dari gerakan sipil yang menuntut adanya transparansi di bidang industri ekstraktif, antara lain yang digerakkan oleh koalisi organisasi
masyarakat sipil “Publish What You Pay.”1
Sekretariat: PWYP - Indonesia Gdg Jiwasraya, Lt 3, Jl.. RP Seoroso No.41, Gondangdia - Menteng, Jakarta Pusat,
INDONESIA Tel +62 21 3939022 Fax +62 21 3909917, Kode Pos 10350
2. Extractive
Industries
TransparInisiatif Transparansi
= Inisiatif ini dimulai sebagai antisipasi terhadap adanya fenomena kutukan sumber
daya (resource curse atau paradox of plenty)
yang banyak terjadi di negara-negara yang
kaya sumber daya alam (resource rich countries). Tata kelola sumber daya alam yang tidak transparan dan akuntabel menyebabkan
kekayaan tersebut bukan menjadi sumber
pendapatan dan peningkatan kesejahteraan
rakyat, tetapi justru menjadi sarang korupsi,
perebutan sumber daya, dan pemerintahan
diktator yang pada akhirnya menimbulkan
malapetaka dalam bentuk kemiskinan, konflik
sosial, pelanggaran HAM, dan kerusakan lingkungan.
= EITI hanya menuntut agar pembayaranpembayaran oleh perusahaan dan pendapatan
pemerintah direkonsiliasikan secara independen dan dipublikasikan. Laporan perusahaanperusahaan dan pemerintah harus bersumber dari laporan-laporan keuangan yang telah
diaudit sesuai dengan standart pengauditan
internasional, kecuali para stakeholder menyepakati bahwa data tersebut dapat diterima
dalam bentuk lain (biasanya dalam bentuk apa
adanya).
Apa relevansinya bagi Indonesia?
= Menurut perkiraan Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral, penerimaan negara dari
kegiatan hulu migas pada tahun 2008 diperkirakan mencapai US$ 35,30 miliar atau 48%
lebih tinggi dibanding tahun 2007. Data BP
Migas sejak tahun 2004 hingga 2008, penerimaan negara dari kegiatan hulu migas rata-rata
meningkat 21,75% per tahun akibat kenaikan
harga minyak dunia dan pencapaian produksi/
lifting. bahkan di daerah-daerah penghasil migas, 85-95% APBD disumbang dari dana bagi
hasil.
= Setiap tahun negara dirugikan puluhan
triliun akibat buruknya pengelolaan pendapatan di sektor ekstraktif (hulu), yaitu tambang,
minyak dan gas. Berdasarkan hasil audit BPK
hingga semester II 2008, serta perhitungan
ICW selama periode 2000-2008, total kerugian
negara dari sektor ini mencapai Rp 345,96
triliun. Artinya, setiap tahun negara dirugikan
sekitar Rp 38,4 triliun.
= Selama ini, pengelolaan sector ekstraktif di
Indonesia khususnya Migas tidak efisien dan
tertutup. Bagi hasil dengan kontraktor Production Sharing Contract juga banyak merugikan. Dengan kondisi harga minyak dunia yang
tinggi seperti saat ini kontraktor justru lebih
banyak diuntungkan, sementara pemerintah
justru menerima bagian lebih sedikit. Pola bagi
hasil yang berlaku saat ini, yakni 85% untuk
pemerintah dan 15% untuk KKKS. Penghasilan pemerintah itu masih harus dibagi dengan
daerah lokasi pertambangan, dan menanggung cost recovery.
Akankah Indonesia mengadopsi EITI?
=Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2008 tentang
Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009,
menyatakan bahwa perbaikan tata kelola sektor migas dan pertambangan akan dilakukan
melalui peningkatan transparansi dalam pengelolaan kedua sektor tersebut. Sasarannya
adalah meningkatkan transparansi pengelolaan fiskal sektor migas dan pertambangan.
=Langkah penerapan Inpres tersebut telah
diwujudkan dalam Nota Kesepahaman antara
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Departemen Keuangan dan Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang
ditandatangani pada 15 Januari 2009. Dokumen itu memuat rencana dibentuknya Tim
Persiapan Pelaksanaan Transparansi Pendapatan Negara dari Sektor Ekstraktif. Pemerintah
pun sudah menggandeng EITI untuk memformulasikan rencana kerja dalam peningkatan
transparansi industri ekstraktif.
Negara mana saja yang sudah menerapkan EITI?
= Sejauh ini sudah sekitar 40 negara berniat
untuk melaksanakan EITI. Dua puluh negara
telah mengadopsi prinsip ETI dalam pengelolaan industry eksttraktif. Hanya delapan negara yang benar-benar mengeluarkan laporan
sesuai EITI yakni Nigeria, Kamerun, Guinea,
Gabon, Ghana, , Azerbaijan, Mauritania, dan
Kyrgyzstan. Sejumlah negara maju juga mendukung penerapan EITI. Mereka adalah: Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda,
Norwegia, Amerika Serikat, dan Inggris. Inisiatif ini juga didukung sejumlah perusahaan
ekstraktif multinasional, asosiasi industri, lembaga pembiayaan dan organisasi internasional.1