SlideShare a Scribd company logo
1 of 124
Download to read offline
i 
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT 
KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN 
N A U F A L 
P3700212006 
PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN 
PROGRAM PASCA SARJANA 
UNIVERSITAS HASANUDDIN 
MAKASSAR 
2014
ii 
TESIS 
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT 
DI KABUPATEN BARRU 
Disusun dan diajukan oleh 
N A U F A L 
Nomor Pokok P3700212006 
Telah dipertahankan di depan Panitian Ujian Tesis 
Pada tanggal 22 Agustus 2014 
sehingga dinyatakan telah lulus dan memenuhi syarat 
Menyetujui 
Komisi Penasihat, 
Ketua Anggota 
Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr 
Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Si 
Ketua Program Studi 
Ilmu Kehutanan 
Direktur Program Pascasarjana 
Universitas Hasanuddin 
Prof. Dr. Ir. Muh Dassir, M.Si Prof. Dr. Syamsul Bahri, SH.MH
iii 
ABSTRAK 
NAUFAL. Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru 
(dibimbing oleh Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin) 
Penelitian ini bertujuan (1) menentukan dan menganalisis 
kesesuaian lokasi untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di 
Kabupaten Barru, (2) menganalisis kesesuain lahan untuk jenis tanaman 
yang dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan 
Hutan Tanaman Rakyat, dan (3) mendesain Rancangan Pembangunan 
Hutan Tanaman Rakyat dengan basis spasial yang terintegrasi dengan tata 
ruang, kesesuaian lahan, menejemen pengelolaan, preferensi pasar dan 
industri. 
Penelitian akan membuat model desain pembangunan hutan 
tanaman rakyat yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, 
pengelola/masyarakat, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri yang 
berbasiskan spasial. 
Dari hasil analisis spasial didapatkan areal – areal yang sesuai, agak 
sesuai, dan tidak sesuai. Masing masing kelas sesuai seluas 1.095 ha 
(6.5%), agak sesuai seluas 6.373 (37.8%) dan tidak sesuai untuk 
dikembangkan HTR 9.388 ha seluas (55.7%). Kesimpulan hasil penelitian 
ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengusulan HTR dimasa 
yang akan datang. 
Kata kunci : hutan tanaman rakyat, kesesuain lahan, desain pembangunan
iv 
ABSTRACT 
NAUFAL. Design of the Development of Community Forest in the Barru 
Regency (Supervised by Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin) 
The study aims to : (1) determine and analyse the suitability of 
location for the development of community forest in Barru regency; (2) 
analyse the suitability of the area for plants suistable for community forest 
development; (3) provide a design of community forest development with a 
spatial base integrated to the space pattern, land suitability, management, 
market and industry preferences. 
A model of community forest development design was made. It was 
integrated with space pattern, land suitability, management, market, 
location, and spatial-based need of industrial raw material. 
Result of analysis reveals that the suitable land (1.095 hectares / 
6.5%), partly-suistable land (6.373 hectares / 37.8%), and non-suitable land 
(9.388 hectares / 55.7%). Be Used as reference to be considered in 
proposing the design of community forest development in the future of HTR. 
Keywords : community forest plantation, location suitability, development 
design
v 
KATA PENGANTAR 
Alhamdulillah Rabbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan 
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Berkat dan Kasih-Nya 
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Desain 
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru”, yang skaligus 
merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister di Program 
Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 
Begitu banyak doa, dukungan, dan perhatian yang penulis dapatkan 
selama penyusunan tesis ini berlangsung, sehingga segala hambatan yang 
ada dapat terlewati dan dapat dihadapi dengan penuh sukacita. Oleh 
karena itu, dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan 
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang telah 
banyak membantu dan meluangkan waktunya dalam penyelesain tesis ini: 
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M. Agr dan Bapak Prof. Dr. Ir. 
Baharuddin Nurkin, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah 
banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya, meluangkan waktunya 
yang begitu berharga untuk memberi bimbingan dan pengarahan 
dengan baik, dan memberikan dukungan serta motivasi dalam 
penyelesaian tesis ini. 
2. Bapak Prof.Dr. Supratman, S.Hut, M.P, Prof. Dr. Ir. Muh. Dassir, M.Si, dan 
Dr. Suhasman, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji yang telah 
meluangkan waktunya dan banyak memberi masukan, koreksi serta 
arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan lebih baik. 
3. Direktur Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Kehutanan beserta 
staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan sumbangsih yang 
sangat besar kepada penulis. 
4. Bapak Bupati Barru dan Kepala Dinas Kehutanan beserta staff yang 
telah memberikan kesempatan melaksanakan kegiatan di wilayah 
penelitian, dan telah memfasilitasi dalam kelancaran dan pelaksaan 
penelitian ini.
5. Kanda Haudec Herawan atas segenap bantuannya yang sangat berarti 
vi 
dalam penyelesaian penelitian ini. Terimkasih sekali lagi kanda. 
6. Teman dan Adinda tercinta di Tim Layanan Kehutanan Masyarakat : 
Haeruddin, Ismed Tanunata, Aksan Firmansyah, Faisal Hidayat, Ikha 
rurul, Laode Muh Ikbal, Mulyadi, Laode Ifrisal, Nurul, Afif, Ridwan, Muh 
Ickhwan terimakasih atas dukungan tenaga dan pikirannya serta 
anugrahandini nasir, selalu menyelesaikan masalah yang tidak dapat 
diselesaikan oleh penulis. Kalian adalah anak muda yang sukses 
dimasanya, semoga impian kalian segera tercapai. 
7. Seluruh Staf di Sulawesi Community Foundation (SCF), yang telah 
memfasilitasi secara tidak langsung tapi sangat berdampak dalam 
merangkumkan dan menyelesaikan studi ini. 
8. Seluruh Staf di Medialingkungan.com yang telah memberikan 
sumbangsih pikiran dan wawasan sehingga memberikan jalan dan 
pikiran yang segar dalam menyelesaikan tiap masalah yang dihadapi 
selama penelitian ini. Terimakasih sekali lagi untuk prosesnya. 
9. Kawan-kawan peneliti di Tropical Rain Forest, yang selalu menjadi 
lawan diskusi dan teman berfikir, sehingga membuka wawasan baru 
dalam penyelesai studi ini. 
10. Teman teman seperjuangan Ilmu kehutanan Program Pascasarjana 
Universitas Hasanuddin 2012, terimakasih atas segala canda tawa, dan 
waktu suka duka yang telah dilalui bersama. Kalian semua bisa, ini 
hanya persoalan waktu. 
11. Secara khusus penghargaan, rasa hormat dan rasa terima kasih yang 
tak terhingga ku persembahkan kepada kedua orang tua ku tercinta: 
Asmin Dunggio dan Adam Achmad yang telah membesarkan, 
mendidik dan mendoakan dengan segala kasih sayang dan perhatian 
beliau selama ini, sehingga selalu diberikan jalan untuk menyelesaikan 
studi hingga jenjang Magister. 
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tesis ini masih 
memiliki kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan. Kiranya tesis ini dapat bermanfaat 
serta dapat menjadi salah satu bahan informasi pengetahuan bagi pembaca 
sekalian. 
Makassar, Agustus 2014 
vii 
N a u f a l
viii 
DAFTAR ISI 
Halaman 
HALAMAN JUDUL ......................................................................... i 
HALAMAN PENGESAHAN............................................................ ii 
ABSTRAK ...................................................................................... iii 
KATA PENGANTAR ...................................................................... iv 
DAFTAR ISI .................................................................................... viii 
DAFTAR TABEL ............................................................................ xi 
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xii 
I. PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang.......................................................................... 1 
B. Rumusan Masalah .................................................................... 5 
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5 
D. Kegunaan Penelitian ................................................................. 6 
II. TINJAUAN PUSTAKA 
A. Pengelolaan Hutan........................................................... 7 
1. Pengelolaan Hutan Konvensional & Permasalahan .......... 7 
2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) ............ 9 
B. Perkembangan Industri Perkayuan & Permasalahan 
Bahan Baku ........................................................................... 17 
1. Kebijakan Industri Perkayuan ........................................... 17 
2. Degradasi/Penurunan Potensi Hutan ................................ 20 
3. Kesenjangan antara Pontensi Hutan & Kebutuhan 
Bahan Baku ...................................................................... 24 
C. Pembangunan HTR .............................................................. 27 
1. Konsep HTR ..................................................................... 27 
2. Model Pembangunan HTR ............................................... 31 
3. Permasalahan HTR .......................................................... 37 
4. Rencana Pembangun HTR di Kabupaten Barru ............... 39 
D. Kerangka Pikir ...................................................................... 42
ix 
III. METODE PENELITIAN 
A. Lokasi dan Waktu Peneltian .................................................. 45 
B. Jenis dan Sumber Data ......................................................... 45 
C. Populasi & Teknik Sampel ...................................................... 46 
D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 47 
E. Analisis Data .......................................................................... 47 
1. Analisis Spasial ................................................................ 47 
2. Analisis Kesesuain Lahan ................................................. 50 
3. Skenario Pola HTR ........................................................... 51 
F. Kerangka Penelitian ................................................................. 52 
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 
A. Kawasan Hutan ...................................................................... 55 
B. Hutan Tanaman Rakyat & Perkembangannya ....................... 56 
C. Kondisi BIofisik Kawasan ....................................................... 56 
1. Penutupan Lahan ............................................................. 56 
2. Iklim .................................................................................. 57 
3. Topografi .......................................................................... 60 
4. Jenis Tanah ...................................................................... 61 
5. Kondisi Geologi ................................................................ 61 
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 
A. Kesesuain Lokasi Pengembangan HTR ................................ 63 
B. Penyusunan Kelas Kesesuian Lahan .................................... 66 
1. Penyusunan Karekteristik Lahan ..................................... 66 
2. Penyusunan Persyaratan Tumbuh .................................. 68 
3. Kesesuain Lahan ............................................................. 68 
C. Evaluasi Kondisi Eksisting HTR ............................................. 71 
D. Skenario Pengembangan HTR .............................................. 74 
1. Skenario Pesimis .............................................................. 76 
2. Skenario Moderat .............................................................. 77 
3. Skenario Optimis ............................................................... 77 
E. Pengembangan Industri ........................................................ 80 
1. Jenis Industri....................................................................... 80 
2. Kapasitas Industri .............................................................. 82 
3. Lokasi Industri – Tata Ruang Wilayah ................................. 83
x 
F. Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat .................................... 86 
1. Kelembagaan...................................................................... 86 
2. Adaptibilty ........................................................................... 88 
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 
A. Kesimpulan ............................................................................ 91 
B. Saran ..................................................................................... 92 
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 93 
LAMPIRAN
xi 
DAFTAR TABEL 
No Teks 
Halaman 
1. Pergeseran Konseptual Dari Paradigma Kehutanan Negara ke 
Kehutanan Masyarakat………...…………..…………………....... 
11 
2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru ….…………... 40 
3. Luas Pencanagan & Izin HTR Kabupaten Barru…….…………. 41 
4. Bobot Landuse terhadap HTR……………………………………. 48 
5. Bobot Jarak Pemukiman terhadap HTR……………………….… 48 
6. Bobot Kelas Lereng terhadap HTR………………………………. 49 
7. Klasifikasi Kelas Kesesuian Pengembangan HTR……………... 50 
8. Luas Kawasan Hutan dalam setiap Kecamatan………………... 55 
9. Penggunaan Tanah………………………………………………... 59 
10. Perensentase Kemiringan Lahan……………..………………….. 60 
11. Persentase Ketinggian Lahan…………………………………….. 62 
12. Jenis Tanah…………………………………………………………. 62 
13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR………………………….. 64 
14. Daftar jenis tanaman yang berpotensi dikembangkan…………. 69 
15. Kesesuian Lahan HPT…………………………………………….. 69 
16. Skenario Pembangunan HTR, melalui jenis Sengon & Jati…… 76 
17. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Pesimis……... 78 
18. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Moderat...…... 78 
19. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Optimis……... 78 
20. Perizinan Industri Primer Hasil Hutan Kayu…………………….. 82
xii 
DAFTAR GAMBAR 
No Teks 
Halaman 
1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan.……………………... 26 
2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru……………. 40 
3. Kerangka Pikir…………………………………………………… 42 
4. Kerangka Penelitian……………………...……………,………. 52 
5. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru..….….…. 59 
6. Histogram Hari Hujan Rata-Rata Bulanan……………………. 60 
7. Kelembapan Udara Rata-Rata Bulanan……………..……..… 61 
8. Peta Kelas Kesesuian Pengembangan HTR………………… 67 
9. Peta Kesesuain Lahan HPT..…………..…………………...…. 70 
10 
Peta Kelas Kesesuain Pengembangan Terhadap Eksisting 
. 
HTR………………………………………………………….….… 
73 
11 Peta Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Barru...…… 85 
12 
Persentase Jawaban Responden……………………………... 89 
.
1 
BAB I. PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
Sejak tahun 2007 Pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan 
telah menggiatkan program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat 
(HTR). Program pembangunan HTR merupakan kebijakan Pemerintah 
yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor), 
menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas 
pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi 
(pro-growth). Kebijakan HTR memberikan akses lebih kepada 
masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, dalam Peraturan 
Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan 
Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. 
Berdasarkan P.10/Menhut-II/2011, salah satu dari enam kebijakan 
prioritas pembangunan kehutanan tahun 2010-2014 adalah Revitalisasi 
Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. Pemanfaatan hutan alam 
dalam memenuhi kebutuhan industri kehutanan saat ini sudah tidak 
dapat diharapkan lagi. Kondisi hutan alam yang terdegradasi akibat 
illegal logging dan kebakaran hutan, menyebabkan kurangnya suplai 
kayu untuk industri kehutanan dan pembangunan nasional secara 
kompleks. Pengembangan hutan tanaman, baik hutan tanaman industri 
maupun hutan tanaman rakyat merupakan salah satu cara pemenuhan
kebutuhan industri kayu nasional agar tetap dapat berjalan dan tumbuh 
untuk masa kini dan masa yang akan datang. 
Permasalahan lainnya dalam pengelolaan hutan di Indonesia 
adalah rendahnya pendapatan masyarakat dari usaha kehutanan. 
Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran hutan rakyat dan hutan 
produksi yang dapat diakses oleh masyarakat melalui skema 
pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat, belum berfungsi 
secara optimal. Rendahnya pendapatan masyarakat melalui usaha 
kehutanan berdampak terhadap tingginya kegiatan konversi lahan 
hutan menjadi usaha non kehutanan. Selain itu kehidupan 
masyarakat desa sekitar hutan tidak bisa dipisahkan dengan hutan 
sebagai tempat menggantungkan hidupnya. Paradigma baru 
pembangunan pengelolaan kehutanan yang melibatkan masyarakat 
menjadi harapan baru untuk memecahkan permasalahan kehutanan 
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin 
bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah 
Sulawesi Selatan mengindikasikan bahwa terdapat beberapa 
kendala terkait dengan implementasi program Hutan Tanaman 
Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut antara lain 
meliputi, belum adanya kesepahaman bersama mengenai pentingnya 
HTR dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan 
perekonomian daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten 
memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman 
2
rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi 
antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten. 
Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya model 
pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi stakeholder terkait 
(Alif, dkk, 2010) 
Masalah lain yang cukup serius adalah masalah yang ditemukan 
pada Industri Kehutanan. Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan 
alam sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat 
ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam. 
Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki 
karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang 
disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih banyak 
dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan alam. 
Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative bahan 
baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat. Potensi paling 
besar yang memungkinkan supplai untuk industri kehutanan adalah 
berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat 
(HTR). Sedangkan pada konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat 
proses management untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki 
nilai yang tinggi dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan 
karena keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma 
pengelolaan ditingkat tapak. 
3
Kabupaten Barru memiliki potensi yang cukup besar untuk 
pengembangan hutan tanaman rakyat, Berdasarkan data yang 
didapatkan di Dinas Kehutanan, Barru memiliki pontensi hutan produksi 
yang cukup besar dan dapat dikelolah dengan baik untuk kepentingan 
pengembangan HTR dan HTI yaitu sebesar 17.312 ha (Dishut Barru, 
2012) 
Pada tahun 2010-2012 Kementerian Kehutanan telah 
mencanangkan pembangunan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh seluas 
1.497 ha di Kabupaten Barru, yang terdiri dari 3 kecamatan, yaitu 
kecamatan Balusu, Kecamatan Barru dan Kecamatan Pujananting. Areal 
ini telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu 
(IUPHHK HTR) dari Bupati dan telah diverifikasi seluas 1.481 ha. Angka 
tersebut dipastikan akan naik, karena Dinas Kehutanan Barru pada 
pertengahan tahun 2013 kembali mengusulkan Pencangan HTR sebesar 
14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, dengan model 
pengelolaan yang menggunakan skema mandiri. 
Dalam rangka mendukung kelancaran dan keberhasilan 
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat termaksud diatas, dibutuhkan 
suatu perencanaan yang bersifat komperhensif. Sehubungan dengan itu 
maka penelitian ini difokuskan pada upaya untuk mendesain 
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat secara kompleks, guna 
mendukung optimalisasi pengelolaan hutan tanaman rakyat yang 
4
terintegrasi pada pola ruang, kesesuian lahan, pengelolaa/kelompok 
tani, pasar dan industri. 
5 
B. Rumusan Masalah 
Melihat hal diatas, Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat 
secara nasional dan perregion, termasuk di Kabupaten Barru terus 
mengalami peningkatan dari tahun ketahun sedangkan riset dan 
pengembangan pengelolaan pada level pengelolaan HTR masih sangat 
minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia yang 
bangkrut karna sulitnya mendapatkan bahan baku pasokan kayu yang 
legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan kenapa riset ini penting untuk 
dilakukan, agar bagaimana mendesain pembagunan Hutan Tanaman 
Rakyat secara kompleks untuk menjawab beberapa gap kebutuhan 
Industri, Pengelolaah HTR, dan Pemda pada konteks pengelolaan hutan 
tanaman rakyat yang terintegrasi pada pola ruang, kesesuaian lahan, 
pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri 
C. Tujuan Penlitian 
Penelitian ini bertujuan untuk: 
1. Menganalisis dan menentukan tingkat kesesuaian lokasi untuk 
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru. 
2. Menganalisis kesesuain lahan untuk jenis – jenis tanaman yang 
dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan 
Hutan Tanaman Rakyat
3. Mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat 
dengan basis spasial yang terintegrasi dengan pola ruang, 
kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri. Desain 
tersebut meliputi areal-areal yang sesuai untuk dikembangkan, jenis-jenis 
tanaman, skenario pengelolaan, kelembagaan, serta jenis dan 
6 
lokasi industri. 
D. Kegunaan Penelitian 
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model rancangan 
pembangunan hutan Tanaman Rakyat yang secara kompleks dan 
terintegrasi dengan pola ruang, kesesuain lahan, pasar dan industri, 
sehingga diharapkan mendapatkan manfaat yang lebih dalam 
pembangunan kehutanan yang berbasiskan “suistanable forest 
management” pada suatu kabupaten.
7 
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 
A. Pengelolaan Hutan 
1. Pengelolaan Hutan Konvensional dan Permasalahannya 
Selama dua dasawarsa terakhir strategi pengusahaan hutan 
telah terbukti mampu memberikan peranan besar dalam 
pembangunan ekonomi, namun pembangunan ekonomi di sektor 
kehutanan yang selama ini dilakukan tidak memperhatikan aspek 
pelestarian terhadap lingkungan. Akibatnya terjadi bencana alam 
yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Masih lemahnya komitmen 
lembaga-lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan 
terhadap kelestarian hutan semakin memperparah laju tingkat 
kerusakan hutan (Kartodihardjo, 2008). 
Masalah yang sangat kompleks pada hutan dan kehutanan di 
Indonesia sangat tinggi baik dari segi administrasi sampai pada 
proses implemntasi dilapangan, kurangnya pengetahuan mengenai 
dinamika hutan, serta dominasi kepentingan dan keuntungan jangka 
pendek, telah mengakibatkan kegagalan sebagian besar program 
penanaman kembali. 
Karena prosedur pembangunan kembali hutan tropis bekas 
tebangan belum dikembangkan dengan baik, maka badan 
kehutanan mengalami kesulitan untuk menetapkan dana reboisasi 
yang dengan tepat mencerminkan biaya penanaman kembali. Lebih
lanjut, kebijakan perundang-undangan masa lalu hanya mempunyai 
sedikit pengaruh untuk memperbaiki manajemen pengusahaan 
kayu, seringkali disebabkan karena kebijakan tersebut tidak 
mempertimbangkan kemampuan Departemen Kehutanan untuk 
melaksanakan perundang-undangan tersebut (Lahjie, 2003). 
Mengantisipasi permasalahan yang telah disebutkan 
sebelumnya maka Lahjie (2003) sepakat dengan konsep 
pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan lestari lebih dikenal 
dengan istilah sustainable forest management. ITTO 
mendefinisikannya sebagai proses pengelolaan lahan hutan untuk 
mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan menyangkut 
keseimbangan produksi dari hasil hutan dan jasa yang diinginkan 
serta tidak mendapatkan dampak buruk yang tidak diinginkan. 
Secara operasional, definisi tersebut mencakup unsur-unsur sebagai 
berikut : 
1. Hasil yang berkesinambungan berupa hasil hutan kayu, hasil 
8 
hutan non kayu dan jasa pengelolaan hutan. 
2. Mempertahankan tingkat biodiversitas yang tinggi dalam konteks 
perencanaan tata guna lahan integratif mencakup jaringan kerja 
kawasan lindung dan kawasan konservasi. 
3. Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan 
penekanan pada pemeliharaan produktivitas tempat tumbuh (site
productivity), menjaga sumber benih dan unsur biodiversitas 
hutan yang diperlukan untuk regenerasi dan pemeliharaan hutan. 
4. Meningkatkan dampak positif pada kawasan hutan dan 
mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak yang 
merugikan. 
5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan 
9 
dan berupaya menyelesaikan potensi konflik. 
2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) 
Pemanfaatan hutan menurut Undang-Undang Kehutanan 
Nomor 41 Tahun 1999 bertujuan memperoleh manfaat yang optimal 
bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap 
menjaga kelestariannya. Definisi tersebut memberikan kata kunci 
bagi pengelolaan hutan yaiitu konservasi dan kesejahteraan 
masyarakat. Pengelolaan hutan harus memberikan manfaat bagi 
masyarakat yang berada pada kawasan hutan (Nadia, 2011). 
Dalam mewujudkan konservasi dan kesejahteraan masyarakat, 
diperlukan upaya bersama dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan 
hutan berbasis masyarakat menjadi konsep alternatif pengelolaan 
saat ini. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat sering kali disebut 
Community Based Forest management (CBFM). Menurut 
Supratman (2006), nilai inti pembangunan CBFM adalah ideologi 
dasar yang bersifat permanen tidak berubah menurut waktu, tempat, 
dan kondisi masyarakat di mana CBFM tersebut berlangsung. Nilai
inti pembangunan CBFM dikonstruksi dari nilai-nilai kearifan 
masyarakat membangun dan mengelola hutan seperti nilai spiritual, 
modal sosial, prinsip hidup, inisiatif lokal pelayanan publik kehutanan 
oleh lembaga lokal, dan nilai manfaat ekonomi langsung. Nilai-nilai 
tersebut menyatu dalam suatu konsep nilai inti. 
Hingga saat ini perkembangan kebijakan pembangunan 
kehutanan terus didorong kearah CBFM. Pergerakan yang 
mendorong kearah kebutuhan paradigma baru kehutanan dapat 
dilihat dari gerakan kehutanan masyarakat oleh semua pihak, baik 
dari masyarakat, pemerintah, pemerhati lingkungan, perguruan 
tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Gerakan ini terlihat jelas 
dengan semakin banyak pemikiran-pemikiran dan berbagai konsep 
untuk mewujudkan CBFM menjadi dasar pembangunan kehutanan. 
Gerakan masyarakat dan LSM dalam mewacanakan sistem 
pengelolaan hutan masyarakat setempat dan penguatan hukum adat 
semakin mewarnai dorongan perubahan (Patiung, dkk, 2006). 
Awang (2001) mengatakan bahwa gagasan community forestry 
(CF) atau kehutanan masyarakat diyakini menjadi cara terbaik untuk 
membangun sumberdaya hutan. Dalam konteks Indonesia, 
kehutanan masyarakat diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan 
yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok. Pengelolaan 
tersebut dilakukan pada lahan negara, lahan adat, atau lahan milik 
(individu atau keluarga), untuk memenuhi kebutuhan individu/rumah 
10
tangga dan masyarakat serta dapat dilakukan secara komersial 
ataupun non komersial (subsisten). Pengertian ini akan berimplikasi 
pada sistem pengelolaan hutan. Apabila dibandingkan karakteristik 
antara pengelolaan hutan yang state based dengan community 
based maka akan terlihat berbagai perubahan paradigmatik seperti 
yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini : 
Tabel 1. Pergeseran konseptual dari paradigma kehutanan negara 
11 
dengan kehutanan masyarakat. 
No. Kehutanan Negara (dari) Kehutanan Masyarakat 
(Menuju) 
A. SIKAP DAN ORIENTASI 
1. Pengendalian Dukungan/fasilitasi 
2. Penerima manfaat Mitra kerja 
3. Pengguna Pengelola 
4. 
Pembuatan keputusan uni 
lateral 
Partisipatif 
5. Orientasi peneriman Orientasi sumberdaya 
6. Keuntungan nasional Orientasi keadilan lokal 
7. Diarahkan oleh negara Proses belajar/evolusi 
B. INSTITUSIONAL DAN ADMINISTRATIF 
8. Sentralisasi Desentralisasi 
9. 
Manajemen (perencanaan, 
pelaksanaan, monitoring) 
oleh pemerintah 
Kemitraan 
10. Top down Partisipatif/negosiatif 
11. Orientasi target Orientasi proses 
12. 
Anggaran kaku untuk 
rencana kerja besar 
Anggaran fleksibel dengan 
rencana mikro
12 
13. 
Aturan-aturan untuk 
menghukum 
Penyelesaian konflik 
C. METODA MANAJEMEN 
14. Kaku Fleksibel 
15. Tujuan tunggal Tujuan ganda/beragam 
16. Keseragaman Keanekaragaman 
17. Produk tunggal Produk beragam 
18. 
Menu manajemen yang 
tetap dengan aturan 
silvikultur tunggal 
Beragam pilihan aturan 
silvikultur untuk spesifik 
lokasi 
19. Tanaman Spesifik lokal 
20. 
Tenaga kerja/buruh 
pengumpul 
Manajer/pelaksana/ 
pemroses/pemasar 
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) merupakan 
alternatif pengembangan pengelolaan hutan ke depan. Di bawah ini 
terdapat 8 kriteria yang menyatakan pentingnya konsep PHBM 
dilaksanakan (Suwarno, 2011). 
a) Pendapatan Nasional 
Melalui PHBM pendapatan nasional dari sub sektor kehutanan 
akan meningkat secara nyata. Peningkatan terjadi karena 
pengaruh efek massal positif dari pengerahan sumberdaya 
manusia sekitar 40 juta orang dalam memanfaatkan sumberdaya 
hutan, baik manfaat aktual maupun manfaat potensial. Manfaat 
aktual antara lain berupa kayu, hasil hutan non kayu dan jasa 
wisata sedangkan manfaat potensial antara lain berupa 
optimalisasi manfaat lahan untuk tanaman sela, pengembangan
usaha lebah madu, ulat sutera, dan lain-lain. Peningkatan 
pendapatan masyarakat dari sub sektor kehutanan ini akan 
memberikan multiflier effect terhadap sektor ekonomi lainnya. 
13 
b) Pendapatan Negara 
Pendapatan negara dari sub sektor kehutanan akan diperoleh 
secara langsung dari usaha komersial bersama masyarakat 
(produksi kayu, getah, rotan, ekowisata, dll), dan secara tidak 
langsung diperoleh melalui pajak dan retribusi yang dikenakan 
kepada masyarakat. Program PHBM juga diharapkan bisa 
mengurangi kebocoran kas negara dengan memperkecil 
terjadinya praktek-praktek KKN dalam tata usaha kayu dan hasil 
hutan lainnya. 
c) Pemerataan Pendapatan dan Lapangan Kerja 
Dengan PHBM tidak ada lagi monopoli penguasaan hutan oleh 
segelintir orang. Masyarakat diharapkan tidak lagi hanya 
berstatus sebagai penonton atau buruh rendahan di negeri 
sendiri. Masyarakat diharapkan memperoleh hak-hak akses 
terhadap hutan, mampu menjadi tuan untuk mengatur dan 
memanfaatkannnya secara bertanggung jawab. Sekitar 40 juta 
jiwa bangsa Indonesia yang hidup di dalam kawasan 
hutan. PHBM akan memberikan prioritas lapangan kerja kepada 
orang-orang tersebut.
14 
d) Kekuatan struktur ekonomi 
PHBM sejiwa dengan program ekonomi kerakyatan. Masyarakat 
Indonesia yang tinggal di dalam kawasan hutan umumnya masih 
berada dalam kontinum budaya meramu pertanian 
tradisional. Mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi 
terhadap flora dan fauna hutan, juga terhadap ketersediaan lahan 
garapan. Pola tersebut apabila bisa dicegah dari praktek-praktek 
destruktif, akan menjadi bagian dari basis struktur ekonomi 
nasional yang handal. 
e) Neraca Sumber Daya Alam 
Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dalam PHBM akan sangat 
dipengaruhi oleh kualitas institusi (kelembagaan) yang 
dibentuk. Institusi yang baik akan dapat menyeimbangkan unsur 
input dan output, sehingga kelestarian hutan tetap 
terjaga. PHBM memiliki potensi yang lebih tinggi membentuk 
institusi pengelolaan hutan yang lebih baik dan kuat dibanding 
sistem lainnya yang telah ada saat ini. Dikatakan memiliki 
potensi yang lebih tinggi karena masyarakat hutan sejak dahulu 
telah mempunyai nilai-nilai kearifan tradisional berkaitan dengan 
alam. Saat ini kearifan tersebut sedang mengalami degradasi 
luar bisaa disebabkan ekspasi sistem ekonomi pasar. Tugas 
pemerintah adalah bagaimana menghidupkan kembali sistem
pengelolaan berbasis kearifan tradisional ini dan diintegrasikan 
dengan ilmu pengetahuan modern. 
15 
f) Nilai Ekonomi 
Keragaman produk hasil hutan khas Indonesia, diyakini memiliki 
keunggulan komparatif di pasaran dunia. Keunggulan tersebut 
ada bukan karena polesan teknologi, melainkan kekhasan 
kualitas alamiahnya. Sebagai contoh, rotan Indonesia dikenal 
sebagai rotan berkualitas terbaik di dunia. Selain rotan, produk-produk 
seperti kayu jati dan getah damar menjadi ciri khas 
tersendiri karena negara lain jarang atau bahkan tidak bisa 
memproduksi produk tersebut. 
Keunggulan komparatif ini sangat ditentukan oleh kemampuan 
dan strategi kepemimpinan pemerintah. Bila PHBM mampu 
mengalihkan orientasi pemanfaatan hutan dari timber 
oriented menjadi pengambilan manfaat-manfaat lainnya 
(terutama hasil hutan non kayu) yang tidak merusak kelestarian 
ekosistem, maka multiproduk hutan ini sangat berpotensi untuk 
meningkatkan perolehan keuntungan dari hutan. Banyak jenis-jenis 
hasil hutan non kayu yang setiap unitnya memiliki nilai 
ekonomi jauh lebih tinggi daripada kayu, misalnya gaharu, madu, 
tanaman obat, rotan, dan lain-lain. Hal tersebut semakin baik bila 
kita mampu menciptakan bentuk-bentuk inovasi usaha yang 
semakin mempertinggi produktifitas hutan.
16 
g) Kapasitas Lingkungan Hidup 
Ada kekhawatiran terhadap pengerahan massal sejumlah besar 
masyarakat kedalam hutan untuk mengelola dan memanfaatkan 
hutan bisa menimbulkan resiko kerusakan hutan. Namun di sisi 
lain apabila kita merefleksikan praktek-praktek di masa lalu, 
sesungguhnya masyarakat sekitar hutan telah memiliki nilai-nilai 
kearifan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dalam 
mengelola sumberdaya lingkungan. Oleh karena itu, pengaruh 
PHBM terhadap kapasitas lingkungan akan ditentukan oleh hidup 
tidaknya kembali kearifan lokal serta penerapan inovasi teknologi 
baru yang ramah lingkungan. 
h) Sumberdaya Genetik Generasi Mendatang 
Nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat mempunyai 
semacam pantangan untuk merusak sumberdaya lingkungan 
dengan semena-mena. Institusi sosial yang dibangun sesuai 
dengan karakteristik sumberdaya alam yang dikelola, akan 
memberikan perlindungan yang efektif terhadap sumberdaya 
alam itu sendiri. Pelanggaran oleh satu anggota masyarakat, 
akan mendatangkan sanksi sosial yang keras dari kesatuan 
anggota masyarakat yang lainnya. Ketika keanekaragaman 
sumberdaya hayati telah menjadi unsur yang disepakati untuk 
dilindungi, maka keberadaannya akan lebih terjamin untuk 
generasi di masa yang akan datang.
17 
B. Perkembangan Industri Perkayuan dan Permasalahan Bahan 
Baku 
1. Kebijakan Industri Perkayuan 
Pengelolaan sumber daya hutan secara lestari dan 
berkelanjutan merupakan kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk 
menjawab amanat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “bumi, 
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai 
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran 
rakyat”. Pasal ini diatribusi ke dalam UU No. 41 T ahun 1999 
tentang Kehutanan, yang kemudian mengalami perubahan 
berdasarkan Perpu No. 1 T ahun 2004. Perpu ini kemudian 
disahkan sebagai UU No. 19 Tahun 2004. 
Dalam pasal 2 UU No. 41 T ahun 1999 disebutkan bahwa 
“Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, 
keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan“. Secara 
teoritis, dalam asas ini terlihat upaya pemerintah untuk 
mengimplementasikan 4 prinsip good governance dalam 
penyelenggaraan kehutanan guna menjamin dan melindungi serta 
mengamankan fungsi hutan (Forest Watch Indonesia, 2011). 
Selanjutnya pada masa orde baru, kewenangan perizinan 
industri pengelolahan kayu dikuasi oleh pemerintah pusat, dibawah 
kewenangan Departemen Perindustrian dan Pedagangan, Upaya 
mempercepat tumbuhnya industri pengelolaan kayu juga didukung
dengan kemudahan birokrasi. Wujud sentratlistik tersebut 
ditegaskan dalam PP No.17 Tahun 1986 yang menyebutkan bahwa 
kewenangan industri berada ditangan presiden yang 
pelakasanaannya diserahkan kepada Menteri Perindustrian, serta 
tanggung jawab menteri-mentri lain sesuai dengan bidangnya 
(Greenomics Indonesia, 2004). 
PP No. 17 Tahun 1986 ditindaklanjuti dengan PP No.13 tahun 
1987 tentang Izin Usaha Industri, yang mengatur ketentuan bahwa 
izin usaha industri merupakan kewenangan Manteri Perindustrian. 
Bentuk perizinan idnustri yang menjadi kewenangan Departemen 
Perindustrian tersebut terdiri dari izin tetap dan izin perluasan. 
Kewenangan Departemen Perindustrian tidak hanya mencakup 
kewenangan perizinan, namun juga diperluas dalam bentuk 
kewenangan pembinaan terhadap iklim usaha, sarana, usaha, dan 
produksi dari industri pengelolaan kayu. Selain pembinaan jufa 
dilakukan pengawsan terhadap perusahan industri yang telah 
mendapatkan izin usaha industri (Greenomics Indonesia, 2004). 
Pada tahun 1997, Menteri Perindustrian dan Perdagangan 
melimpahkan kewenangan perizinan dibidang industri dan 
perdagangan kepada Dirjen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, 
dengan pertimbangan untuk kelancaran proses perizinan bidang 
industri dan perdagangan. Pelimpahan kewenagan tersebut 
dituangkan dalam Kepmenperindag No. 255/MPP/Kep/7/1997. 
18
Menteri Kehutanan juga melimpahkan kewenangan dalam hal 
pelaksanaan kepemilikan dan keterkaitan HPH dengan industri 
pengelolaan kayu kepada Dirjen Pengusahaan Hutan, dengan 
pertimbangan untuk efisiensi dan mempercepat pelayanan 
(Greenomics Indonesia, 2004). 
Bentuk kewenangan yang diberikan kepada Direktur Jendral 
Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan meliputi kewenangan dalam 
pemberian izin, kewenangan menoloak permohonan, pemberian 
peringatam, pembekuan dan pencabutan izin industri (Greenomics 
Indonesia, 2004). 
Setelah rezim orde baru yang ditandai dengan lahirnya era 
otonomi daerah, memberikan dampak pada dimulainya proses 
desentralisasi kewenangan terkait dengan perizinan industri 
pengelolaan kayu. Pelimpahan sebagaian urusan dan kewenagan 
pusat kepada daerah yang diatur melalui UU No.22 tahun 1999 dan 
UU No.25 tahun 1999 juga mencakup kewenangan perizinan industri 
pengelolaan kayu. Pada oktober 1999, Menteri Perindustrian dan 
Perdagangan menetapkan pelimpahan kewenangann pemberian 
izin bidang industri dan perdaganan kepada Kabupaten/Kota dan 
Provinsi. 
Kewenangan tersebut mencakup kewenangan untuk 
memberikan peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin. 
Pembagian wewenang perizinan industri tersebut hanya 
19
berdasarkan nilai investrasi perusahaan industri yang bersangkutan, 
tanpa memperhatikan volume atau kapasitas produksi industri itu 
sendiri (Greenomics Indonesia, 2004). 
Izin usaha industri pengolahan kayu dapat diberikan kepada 
perorangan, perusahan, persekutuan atau badan hukum yang 
berkedudukan di Indonesia. Pelimpahan kewenangan pemberikan 
perizinan industri pengelolaan kayu tersebut mencakup industri 
penggergajian kayu, industri pengawetan kayu, industri kayu lapis, 
industri kayu lapis laminasi termasuk Decorative Plywood, industri 
panel kayu lainnya, industri venner dan industri moulding dan 
komponen bahan bangunan. 
Dengan adanya pelimpahan kewenangan perizinan industri 
pengelolaan kayu kepada pemerintah daerah, maka pemerintah 
pusat berperan dalam pembinaan industri. Kewenagan pembinaan 
berada pada Direktur Jendral Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan 
untuk perusahaan dengan nilai ivenstasi diatas 1 Milyar. Sedangkan 
untuk perusahaan industri dengan nilai investasi sampai dengan 1 
milyar, kewenangan pembinaannya berada pada Direktur Jendral 
Industri Kecil dan Dagangan Kecil (Greenomics Indonesia, 2004). 
20 
2. Degradasi / Penurunan Potensi Hutan 
Berdasarkan hasil temuan Forest Watch Indonesia (2011), 
mengemukakan beberapa temuan-temuan terkait deradasi yang 
berimpact pada penurutunan potensi hutan sebagai berikut :
Pertama, Laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009 adalah 
sebesar 1,51 juta ha/tahun, dengan laju deforestasi terbesar 
terjadi di Kalimantan yaitu sebesar 550.586,39 ha/tahun. Jika laju 
deforestasi tidak ditekan, diperkirakan pada tahun 2020 tutupan 
hutan di Jawa akan habis dan pada tahun 2030 tutupan hutan di 
Bali-Nusa T enggara juga akan habis. 
Kedua, Pada tahun 2003, sektor kehutanan memberikan 
sumbangan 1,09% terhadap produk domestik bruto, menurun 
menjadi 1,05 persen pada tahun berikutnya. Pada tahun 2008, 
kontribusi ini hanya 0,79 persen. Kecenderungan penurunan 
kontribusi ini menjadi pertanyaan mengingat pada rentang waktu 
yang relatif sama, produksi kayu bulat nasional justru meningkat 
drastis dalam jangka 4 tahun, yaitu dari 11,42 juta meter kubik pada 
tahun 2003 menjadi 31,49 juta meter kubik pada tahun 2007 dan 
meningkat lagi menjadi 31,98 juta meter kubik pada tahun 2008. 
Ketiga, kebijakan produksi kayu nasional selama ini menopang 
pengrusakan hutan alam Indonesia: 
a) Tingginya total produksi tahunan dari seluruh izin pemanfaatan 
kayu mengindikasikan adanya aktivitas pembukaan hutan alam 
setiap tahun dengan luasan yang berbading lurus 
b) Kebutuhan kawasan hutan untuk aktivitas di luar sektor 
21 
kehutanan, terutama perkebunan dan pertambangan
c) Pemegang konsesi hutan tanaman industri banyak melakukan 
pemanenan terhadap kayu hutan alam secara besar-besaran 
dengan memanfatakan izin pemanfaatan kayu 
Keempat, berkurangnya luas areal kerja Hak Pengusahaan Hutan 
berjalan seiring dengan berkurangnya tutupan hutan. Pada tahun 
2000, luas areal Hak Pengusahaan Hutan seluas 39, 16 juta ha, 
sedangkan tahun 2009 menurun menjadi 26,16 juta ha. Pada 
rentang waktu yang sama tutupan hutannya berkurang dari 22,01 
juta ha menjadi 20,42 juta ha. 
Kelima, laju deforestasi di kawasan hutan produksi dan hutan 
produksi terbatas yang dilakukan oleh perusahaan pemegang 
konsesi Hak Pengusahaan Hutan antara lain disebabkan oleh: 
perusahaan tidak melakukan kewajiban silvikultur tebang pilih 
tanam Indonesia yang dipersyaratkan bagi unit manajemen Hak 
Pengusahaan Hutan, tidak mel akukan pengayaan, menyusun 
laporan realisasi fiktif, Laporan Hasil Cruising fiktif, tidak 
melakukan inventarisasi tegakan, tidak melakukan penataan 
batas secara lugas, menebang di luar areal kerja tahunan, 
menebang melebihi jatah tebangan, menerima hasil-hasil 
pembalakan liar. 
Forest Watch Indonesia (2011), juga menuliskan bahwa terjadi 
tekanan terhadap kawasan hutan secara tidak langsung dapat 
diakibatkan oleh kebijakan penataan ruang wilayah dan kawasan 
22
hutan. Mekanisme paduserasi tataguna hutan kesepaatan dengan 
rencana tata ruang wilayah Provinsi, tidak diikuti dengan aturan 
yang jelas dan tegas. Tidak ada mekanisme penyelesaian konflik 
kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemda 
dalam proses paduserasi. 
Akibatnya, meski belum melalui proses paduserasi, pemda 
kerap menjadikan Rencana Tata Ruang Wilayah. Ditambah lagi 
Kebijakan-kebijakan yang kontra produktif menjadi katalis 
perusakan hutan alam menjadi perkebunan terutama perkebunan 
sawit. Peraturan yang ada sebenarnya mengatur kriteria pelepasan 
untuk keperluan perkebunan dimana hutan yang dapat 
dilepaskan adalah HutanProduksi yang dapat dikonversi. 
Namun karena ketidakjelasan aturan, Hutan Produksi dapat 
dirubah menjadi Hutan Produksi Konversi yang tidak lama 
berselang dapat dilepaskan secara parsial menjadi perkebunan. 
Pada berbagai kasus, perusahaan tidak segan-segan untuk 
melakukan pembukaan lahan dengan membabat hutan tanpa izin 
pelepasan kawasan. 
Sektor pertambangan juga memberi tekanan yang besar 
terhadap kawasan hutan. Hingga tahun 2011 lebih dari 6.000 
kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan 
hanya sekitar 200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai 
kawasan hutan. Ketika legalitas dan legitimasi kawasan hutan 
23
diragukan , praktik-praktik ilegal pertambangan di kawasan hutan 
seolah tidak tersentuh oleh hukum (Forest Watch Indonesia, 2011). 
3. Kesenjangan antara Potensi Hutan dan Kebutuhan Bahan Baku 
Memasuki abad 21, pembangunan kehutanan Indonesia 
dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks dan bersifat 
multidimensional. Salah satu masalah yang cukup menonjol adalah 
masalah tidak seimbangnya antara pasokan kayu bulat terhadap 
permintaan bahan baku industri pengolahan kayu. Beberapa faktor 
dominan yang menyebabkan tidak seimbangnya antara pasokan 
dan permintaan kayu antara lain adalah menurunnya potensi 
produksi hutan alam yang diakibatkan oleh menyusutnya hutan 
perawan (virgin forest) dan meningkatnya luas areal bekas tebang 
(log over forest). Selain itu pasokan kayu bulat yang berasal dari 
hutan tanaman yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah 
sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan 
(Prahasto & Nurfatriani 2001). 
Dalam konteks industrialisasi di Indonesia, industri kayu 
memiliki peluang untuk dapat dikembangkan, mengingat Indonesia 
memiliki keunggulan komparatif berupa tersedianya lahan yang luas 
untuk menyediakan bahan baku kayu sebagai sumber daya alam 
dari hutan tanaman. Industri kayu mempunyai potensi yang kuat dari 
sisi internal supply serta sebagai salah satu unsur dalam pilar industri 
agro. Namun demikian, perlu diingat bahwa ketersediaan 
24
sumberdaya alam seringkali terbatas meskipun sumber daya 
tersebut termasuk yang dapat diperbaharui (Clawson & Sedjo, 1982) 
mengingatkan bahwa ketersediaan sumber daya hutan dan jaminan 
manfaat jangka panjang tergantung pada tindakan saat ini dan yang 
akan datang. 
Permasalahan utama industri perkayuan adalah terjadinya 
penurunan produksi kayu yang diambil dari hutan, sehingga terjadi 
kekurangan pasokan bahan baku bagi industri. Akibat kesenjangan 
supply dan demand yang paling ekstrim adalah berhentinya operasi 
industri kayu. Dampak terjadinya penurunan pasokan terhadap 
ekonomi nasional dapat dilihat dari adanya kecenderungan 
menurunnya kontribusi kehutanan yang tercermin dari menurunnya 
nilai PDB sektor kehutanan (Gambar 1). Departemen Perindustrian 
(2005) juga mencatat. bahwa penurunan ekspor barang-barang kayu 
pada periode tahun 2001 – 2005 sebesar 1,7%. 
Sedangkan Kebutuhan industri perkayuan Indonesia 
diperkirakan 70 juta meter kubik per tahun dengan kenaikan rata-rata 
sebesar 14,2%/tahun (Pryono, 2001). Untuk produksi kayu 
bulat sendiri diperkirakan hanya sebesar 25 juta meter kubik per 
tahun atau dengan kata lain terjadi defisit sebesar 45 juta meter 
kubik. Hal ini menujukkan bahwa sebenarnya daya dukung hutan 
sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan kayu (Setyawati, 2003). 
25
26 
Gambar 1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan 
Menyikapi kondisi ini industri perkayuan harus memiliki 
strategi yang tepat dalam menjaga kelanjutan proses produksinya 
ditengah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Industri perkayuan 
harus dapat mempertahankan kondisi dimana bahan baku kayu 
bulat tetap dalam kondisi yang stabil khususnya dari segi jumlah. 
Jika persediaan bahan baku kayu bulat terlalu besar maka 
industri akan mengalami kerugian, demikian pula jika persediaan 
bahan baku dalam jumlah yang lebih kecil dari kapasitas mesin 
maka industri juga akan mengalami kerugian. Agar proses 
produksi dapat berlangsung secara berkesinambungan, maka 
industri harus dapat memperkirakan seberapa besar kebutuhan
bahan baku kayu bulat yang diperlukan di masa yang akan datang 
(Makarennu dkk, 2009) 
27 
C. Pembangunan HTR sebagai salah satu Model PHBM 
1. Konsep HTR 
Hutan tanaman rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada 
hutan produksi yang dibangun oleh masyarakat untuk meningkatkan 
potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem 
silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. 
Dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan pasar 
dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan program 
HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan kemiskinan, 
pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi kehutanan 
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi permintaan 
bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010). 
Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda 
revitalisasi pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga 
merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas Sektor Kehutanan 
dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat setempat sehingga sektor 
kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada 
pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup, 
mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada 
areal sekitar hutan (Emila dan Suwito, 2007).
HTR berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan 
No.23/Menhut-II/2007 adalah hutan tanaman yang dibangun oleh 
perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas 
Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka 
menjamin kelestarian sumber daya hutan. Dengan kata lain HTR 
adalah kegiatan rehabilitasi Hutan Produksi yang dilaksanakan oleh 
masyarakat baik perorangan maupun koperasi untuk kelestarian 
sumber daya hutan, di mana masyarakat dapat memperoleh manfaat 
ekonomi dari apa yang ditanamnya untuk peningkatan 
kesejahteraan. 
Kawasan hutan yang dapat dijadikan lokasi pembangunan 
HTR adalah Hutan Produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani 
hak (ijin) serta telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai 
lokasi HTR dengan luasan 15 Ha tiap Kepala Keluarga (KK) atau 
sesuai kemampuan untuk koperasi. Lokasi HTR diutamakan berada 
dekat dengan industri hasil hutan untuk memudahkan pemasaran. 
Pengembangan HTR juga biasanya dilakukan dengan 
mengkombinasikan berbagai varietas tanaman pokok. Hal tersebut 
dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan 
dari tanaman budidaya tahunan selama masa menunggu waktu 
penebangan kayu, di samping hasil tambahan lain melalui kegiatan 
tumpang sari tanaman hortikultura/palawija. Prosentase komposisi 
jenis tanaman untuk pembangunan HTR yang menggunakan 
28
tanaman pokok berbagai jenis ditetapkan sebagai berikut: tanaman 
hutan berkayu ± 70%, tanaman budidaya tahunan berkayu ± 30%. 
(Pemegang ijin dapat melakukan kegiatan tumpangsari tanaman 
budidaya musiman/palawija diantara tanaman pokok sampai dengan 
2–3 tahun). 
Pengaturan letak komposisi jenis tanaman pokok disesuaikan 
dengan jarak tanam, kesesuaian persyaratan tempat tumbuh dan 
kondisi fisiografi lapangan. Di samping tanaman pokok, pada batas 
areal kerja atau batas antar blok/ petak tanaman pokok dapat 
dikembangkan jenis-jenis tanaman lain yang dapat berfungsi 
sebagai tanaman tepi yaitu berupa tanaman pagar, tanaman sekat 
bakar, tanaman pelindung dan tanaman kehidupan (Prijono, 2010). 
Alif, dkk (2010) mengatakan bahwa peraturan mengenai 
hutan rakyat kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan 
Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin 
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat 
dalam Hutan Tanaman yang mengalami revisi pada tahun 2008 
melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.5/Menhut-II/2008 
tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 
P.23/Menhut-II/2007. Adapun aturan-aturan lanjutan mengenai 
hutan tanaman rakyat lebih rinci dan dilengkapi oleh beberapa 
Peraturan Menteri Kehutanan dan Peraturan Direktur Jenderal Bina 
Produksi Kehutanan : 
29
1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2008 tentang 
Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk Mendapatkan Pinjaman 
Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. 
2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008 
tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu 
Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat. 
3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2009 
tentang Standart Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri 
dan Hutan Tanaman Rakyat. 
4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2009 
tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 
P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha 
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri dan Hutan 
Tanaman Rakyat. 
5. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor 
P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan 
Hutan Tanaman Rakyat. 
6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan P.06/VI-BPHT/ 
2008 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bina 
Produksi Kehutanan Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang 
Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. 
Berdasarkan pembelajaran terhadap beberapa program 
pemberdayaan masyarakat sebelumnya, Emila dan Suwito (2007) 
30
menyimpulkan bahwa HTR harus dijalankan dengan prinsip-prinsip 
pemberdayaan masyarakat yaitu : 
a. Masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan 
kebutuhannya ( people organized themselves based on their 
necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta 
masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek 
ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak 
akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat 
“kebergantungan” masyarakat. 
b. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya 
(labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi 
pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab. 
c. Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan 
memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang 
tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor 
formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global 
sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi 
dan premanisme pasar 
31 
2. Model Pembagunan HTR 
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua 
kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta pada wilayah 
zona inti dan zona rimba taman nasional. Pemanfaatan hutan 
dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi
kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap 
menjaga kelestariannya baik kelestarian lingkungan (ekologi), 
maupun kelestarian fungsi produksi dan fungsi sosialnya. 
Pemanfaatan setiap fungsi hutan adalah sebagai berikut 
(Malamassam, 2009) : 
1. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan 
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil 
hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, serta pemungutan hasil 
hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan hutan produksi hanya 
bisa dilakukan oleh pihak yang memiliki ijin, seperti ijin usaha 
pemanfaatan kawasan hutan (IUPKH), izin usaha pemanfaatan 
jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu 
(IUPHHK), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 
(IUPHHBK), atau ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu dan 
bukan kayu. 
2. Pemanfaatan hutan lindung juga dapat berupa pemanfaatan 
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil 
hutan bukan kayu (yang tidak mengganggu fungsi pokok). 
Dengan demikian, pemanfaatan hutan lindung hanya dapat 
dilaksanakan oleh pihak yang memiliki ijin usaha pemanfaatan 
kawasan hutan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan ijin 
pemungutan hasil hutan bukan kayu. 
32
3. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan 
hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan 
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Pengelolaan kehutanan seharusnya mengikuti paradigma baru 
pembangunan kehutanan yang menekankan pada konsep 
manajemen hutan lestari dan berbasis pada masyarakat. Soedirman 
(1995) mengatakan bahwa pengelolaan hutan secara lestari adalah 
proses pengelolaan areal hutan permanen untuk mencapai satu atau 
lebih tujuan yang telah ditentukan dengan berdasarkan kontinuitas 
produksi dan manfaat lainyang diinginkan, tanpa mengakibatkan 
kemunduran nilai produktivitas hutan di masa dating dan timbulnya 
akibat yang diharapkan pada komponen fisik dan lingkungan 
sosialnya. 
Selain itu Alam (2011) mengungkapkan betapa pentingnya 
konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dimuat melalui 
kehutanan masyarakat. Kehutanan masyarakat (community forestry) 
merupakan suatu konsep pengelolaan hutan yang menempatkan 
masyarakat sekitar hutan sebagai pelaku utama dalam mengelola 
sumberdaya hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan 
melestarikan fungsi hutan. 
Pemanfaatan dan penggunaan hutan oleh masyarakat selama 
ini, umumnya masih tergolong kegiatan yang bersifat illegal dan 
cenderung merusak hutan. Selain itu, sebagian warga masyarakat 
33
cenderung mengkonversi lahan hutan menjadi lahan usaha komoditi 
pangan/ perkebunan umumnya belum mengusahakan komoditi 
kehutanan. Bentuk pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat 
umumnya hanya berupa kegiatan pemungutan kayu, hasil hutan non 
kayu dan pemanfaatan kawasan hutan untuk tanaman 
pangan/perkebunan. 
Mereka pada dasarnya belum mengusahakan komoditas 
kehutanan dan karena itu pula maka kegiatan-kegiatan yang mereka 
lakukan belum dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dan 
belum berorientasi pada upaya pelestarian fungsi hutan.oleh karena 
itu diperlukan sebuah model yang membangun hutan lestari dan 
dikelola oleh masyarakat sekitar hutan (Alam, 2011). 
Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi 
dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan 
hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan 
timbal balik dalam istila sebab akibat. Oleh karena suatu model 
adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang 
kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan 
lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang 
sedang dikaji (Eriyatno, 2003). 
Eriyatno (2003) mengklasifikasikan model, Klasifikasi 
perbedaan dari model dapat memberikan pendalaman pada tingkat 
kepentingannya, karena dapat dijelaskan dalam banyak cara. Model 
34
dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok 
pengkajian atau derajat keabstrakannya. Kategori umum adalah 
jenis model yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi : 
1. Model ikonik (model fisik) 
Model ikonik adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam 
bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik 
mempunyai karakteristik yang sama dengan hal yang diwakili, 
dan terutama amat sesuai untuk menerangkan kejadian pada 
waktu yang spesifik. Model ikonik dapat berdimensi dua (foto, 
peta, cetak biru) atau tiga dimensi (prototip mesin, alat). Apabila 
model berdimensi lebih dari tiga maka tidak mungkin lagi 
dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model 
simbolik. 
35 
2. Model analog (model diagramatik) 
Model analog dapat mewakili situasi dinamik, yaitu pada keadaan 
berubah menurut waktu. Model ini lebih sering dipakai daripada 
model ikonik karena kemampuannya untuk mengetengahkan 
karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model analog banyak 
berkesesuaian dengan penjabaran hubungan kuantitatif antara 
sifat dan klas-klas yang berbeda. 
Dengan melalui transformasi sifat menjadi analognya, 
makakemampuan untuk membuat perubahan dapat ditingkatkan. 
Contoh dari model analog ini adalah kurva permintaan, kurva
distribusi frekuensi pada statistik dan diagram alir. Model analog 
dipakai karena kesederhanaan namun efektif pada situasi yang 
khas seperti pada proses pengendalian mutu industri (Operating 
Characteristic Curve). 
36 
3. Model simbolik (model matematik) 
Pada hakekatnya, ilmu sistem memusatkan perhatian pada 
model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji. 
Format model simbolik dapat berupa bentuk angka, simbol dan 
rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu 
persamaan. 
Terdapat beberapa hal/informasi yang perlu diperhatikan dalam 
rangka pembentukan unit pengelolaan hutan, sebagai unit 
pengelolaan hutan terkecil pada hamparan lahan hutan, untuk 
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal atau informasi 
termaksud adalah sebagai berikut (Malamassam, 2009) : 
1. Karakteristik lahan 
2. Tipe hutan 
3. Fungsi hutan 
4. Kondisi daerah aliran sungan (DAS) 
5. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar dan di dalam 
kawasan hutan 
6. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat 
hukum adat
37 
7. Batas administrasi pemerintahan 
8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan 
9. Batas alam dan atau buatan yang bersifat permanen 
10. Penggunaan lahan 
3. Permasalahan HTR 
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas 
Hasanuddin bekerjasama dengan Balai Penelitian dan 
Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa 
ada beberapa kendala terkait implementasi program Hutan 
Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut 
mulai dari kesepahaman bersama mengenai pentingnya HTR 
dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan perekonomian 
daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten 
memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman 
rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi 
antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten. 
Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya 
model pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi 
stakeholder terkait (Alif, dkk, 2010) 
Masalah lainya adalah masalah yang ditemukan pada Industri 
Kehutanan. berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam 
sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat 
ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam.
Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki 
karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang 
disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih 
banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan 
alam. 
Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative 
bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat. 
Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri 
kehutanan adalah berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 
Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada konteks 
pengelolaan hutan tanaman rakyat proses management untuk 
membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi dan 
diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena keterbatasan 
pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan ditingkat tapak. 
4. Rencana Pembangunan HTR di Sulsel dan Khususnya di 
38 
Kabupaten Barru 
Pada kasus pengembangunan HTR di Kabupaten Barru, Barru 
memiliki pontensi yang cukup besar untuk pengembangan hutan 
tanaman rakyat, dari data yang didapatkan di dinas kehutanan 
Kabupaten Barru sendiri memiliki potensi hutan produksi yang cukup 
besar dan dapat dikelolah baik untuk pengembangan HTR dan HTI 
yaitu sebesar 17.312 ha (Tabel. 2)
Data tahun 2010-2012 dikabupaten barru sendiri telah dilakukan 
pencanangan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh Kementiran 
Kehutanan seluas 1.497 ha yang terdiri dari 3 kecamatan (lihat Tabel 
3). Sedangkan yang telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan 
Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR) Kayu dari Bupati dan telah 
diverifikasi oleh sebesar 1.481 ha. Pada tahun pertengan tahun 2013 
angka tersebut naik, menurut Dinas Kehutanan Barru pertengahan 
tahun ini dinas kehutanan kembali mengusulkan Pencangan HTR 
sebesar 14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, model 
pengelolaannya pun menggunakan skema mandiri. 
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa potensi Hutan Produksi yang telah 
mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR) 
sebesar 1.481 ha yang berarti masih ada 1.147 ha yang sudah di 
canangkan akan melakukan pengusulan izin dan 14.000 ha sedang dalam 
pengusulan pencangan di kementerian kehutanan. 
39
Tabel 2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Kabupaten Barru 
40 
Kecamatan Desa 
Hutan Produksi 
Luas (ha) 
Balusu Balusu 800.90 
Binuang 1,029.70 
Kamiri 2,782.58 
Takkalasi 49.35 
Total 4,662.54 
Barru Galung 1,729.11 
Mangempang 2.97 
Sepee 482.93 
Siawung 217.52 
Tompo 302.18 
Total 2,734.72 
Mallusetasi Manuba 21.17 
Nepo 7.01 
Total 28.18 
Pujananting Bacu-bacu 2,479.50 
Gattareng 267.61 
Pattappa 1,720.84 
Pujananting 390.08 
Total 4,858.03 
Soppeng 
Riaja Ajakkang 343.25 
Paccekke 763.74 
Total 1,106.98 
Tanete Riaja Harapan 1,733.74 
Libureng 94.30 
Lompo Riaja 723.30 
Mattirowalie 1,370.66 
Total 3,922.00 
Grand Total 17,312.45 
Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Barru 2013
41 
Tabel 3. Luas Pencanangan & Izin HTR di Kabupaten Barru 
KECAMATAN DESA HPT 
(ha) 
PENCAN 
DANGA 
N 
HTR 
Usulan Izin 
Kelompok LUAS 
(ha) 
Kelompok LUAS 
(ha) 
Ballusu Kammiri 2,782 1.273 KTH Semangat 258 KTH Semangat 251 
KTH Coppo 
Barraming 299 
KTH Coppo 
Barraming 312 
Balusu 800 800 KTH Bolong Ringgi 300 KTH Bolong Ringgi 274 
KTH Jempo Salo 200 KTH Jempo Salo 200 
Barru Galung 1,729 170 KTH Samuddae 170 KTH Samudae 170 
Sepee 482 115 KTH Deae 155 KTH Deae 66 
Pujananting Bacu-bacu 2,479 411 KTH Padang Pobbo 270 KTH Padang Pobbo 208 
Jumlah 8,272 1,497 1,652 1,481 
Sumber : Dinas Kehutanan Barru 2012 
Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat secara 
nasional dan per region seperti halnya kabupaten barru terus 
mengalami peningkatan dari tahun ketahun tetapi riset dan 
pengembangan pengelolaann dilevel masyarakat masih sangat 
minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia 
yang gulung tikar atau bangkurt karna sulitnya mendapatkan bahan 
pasokan kayu yang legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan 
kenapa riset ini penting untuk dilakukan, untuk menjadikan justifikasi 
pengelolaan hutan tanaman rakyat dilakukan dengan menajemen 
yang kompleks mempertimbangakan beberapa aspek seperti pola 
ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri, 
sehingga dapat memberikan jaminan kepada masyarakat, 
pemerintah daerah, Industri dan hutan akan kebutuhan setiap 
stakholder dapat terpenuhi.
42 
5. Kerangka Pikir 
Pengelolaan Hutan 
Industri Kehutanan Pembangunan HTR 
Penyusutan Bahan Baku Pontensi Produksi Kayu 
Desain Pembangunan HTR 
Gambar 2. Kerangka Pikir 
Pada kerangka pikir (Gambar 2), maksud yang melatar belakangi 
penelitian ini jika dilihat secara makro ialahpengelolaan hutan dari 
dua bagian; Pertama sektor industri yang berada pada hilir, yang 
mengelola hasil kayu dari hutan dan sektor Hutan Tanaman Rakyat 
yang berada di daerah hulu yang memproduksi kayu dari hutan 
produksi. 
Dari penjelasan tinjauan pustaka, bahwa sektor industri 
mempunyai masalah yang cukup penting dalam perkembangannya
saat ini. Hal tersebut ditandai dengan penurunan produksi kayu 
sehingga terjadi kekurangan pasokan bahan baku bagi industri. 
Akibat dari kesenjangan supply dan demand yang paling ekstrim 
adalah berhentinya operasi industri kayu. 
Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam sangat 
menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat ini masih 
menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam. Karena 
kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki 
karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang 
disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih 
banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan 
alam. 
Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative 
bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat. 
Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri 
kehutanan ialah bahan baku yang berasal dari Hutan Tanaman 
Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada 
konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat proses menejemen 
untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi 
dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena 
keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan 
ditingkat tapak. 
43
Disatu sisi pembangunan HTR terus dilakukan oleh pemerintah, 
hal tersebut terkait dengan program pemerintah sebagai upaya 
dalam melakukan pengentasan kemiskinan (pro-poor), menciptakan 
lapangan kerja baru (pro-job), dan memperbaiki kualitas 
pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku 
ekonomi (pro-growth). 
Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda revitalisasi 
pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga merupakan 
implementasi dari Kebijakan Prioritas sektor kehutanan dan 
pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat sehingga sektor 
kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada 
pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup, 
mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada 
areal sekitar hutan (Emila dan Suwito, 2007). 
Maka dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan 
pasar dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan 
program HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan 
kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi 
kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi 
permintaan bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010). Hal 
tersebutlah yang mendorong penelitian ini untuk Mendesain 
Pembangunan Hutan Tanaman rakyat yang lebih kompleks 
44
45 
III. METODE PENELITIAN 
A. Lokasi dan Waktu 
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Kabupaten Barru 
Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini mencoba meddesain 
pembangunan hutan tanaman rakyat dengan mengintegrasikan dengan 
pola ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan 
kebutuhan bahan baku industri berbasis spasial. 
Waktu pelaksanaan penelitian berlangsung dari bulan Maret 2014 
hingga bulan Juni 2014. Penelitian dilaksanakan melalui 3 tahap yaitu, 
(1) Penelitian pendahuluan (2) Pengambilan data lapangan & data 
skunder, (3) Rancangan Desain dan Rekomendasi. 
B. Jenis dan Sumber Data 
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer 
dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi pada areal 
kawasan hutan kabupaten barru dan wawancara langsung dengan 
petani hutan pemegang IUPHHK-HTR dan masyarakat sekitar hutan, 
dinas kehutanan kabupaten Barru, penyuluh kehutanan dan lembaga 
pendamping lokal. Data primer termaksud antara lain meliputi jenis 
tanaman yang diminati dan ditanam masyarakat, dan model 
pengelolaan HTR. 
Data sekunder diperoleh dari berbagai hasil penelitian, literatur 
buku, data-data dari instansi terkait, dan informasi lainnya yang terkait 
dengan penelitian ini. Data sekunder termaksud berupa kondisi umum
wilayah sekitar hutan seperti : sejarah kawasan, kondisi biofisik 
kawasan, dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Data 
sekunder lainnya berupa informasi dan data lainnya yang mendukung 
kegiatan penelitian serta bahan pustaka yang dijadikan bahan referensi 
landasan teori. 
46 
C. Populasi dan Teknik Sampel 
Populasi dalam penelitian ini berupa : 
1. Kawasan Hutan Produksi seluas 17.312 ha di Kabupaten Barru 
2. Masyarakat pengelola hutan tanaman rakyat yang telah 
mendapatkan izin, pengusulan dan masyarakat yang 
menggantungkan langsung hidupnya pada sekitar hutan. 
3. Industri pengolah kayu yang berada di sekitar kawasan pengelolaan 
hutan tanaman rakyat 
4. Dinas kehutanan Kabupaten Barru serta dinas pertanian dan 
perkebunan Kabupaten Barru. 
Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 
1. Pengambilan sampel kawasan dan masyarakat dilakukan dengan 
menggunakan purposive sampling, yaitu memilih individu pewakil 
kelompok HTR yang telah mendapatkan izin, yang terdiri dari ketua 
kelompok, sekertaris dan anggota kelompok. 
2. Pengambilan responden dilingkungan dinas kehutanan dan 
penyuluh kehutanan dilakukan dengan memilih sebagian anggota 
populasi yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
47 
D. Teknik Pengumpulan Data 
Teknik pengumpulan data primer : 
1. Kondisi Biofisik Kawasan diperoleh melalui analisis spasial dan 
survei lapangan. 
2. Pengelola izin HTR yang sudah ada, Kelompok tani yang dalam 
pengusulan dan masyakat sekitar hutan yang bergantung pada hasil 
hutan kayu, sebanyak 45 responden diwawancarai secara langsung 
dengan pendekatan partisipatif. Data yang diperoleh berupa kondisi 
sosial ekonomi masyarakat. 
3. Dinas kehutanan dan penyuluh diwawancarai secara langsung. Data 
yang diperoleh berupa peran dan fungsi instansi terkait dalam 
pengelolaan HTR serta perencanaan pengelolaan instansi terkait 
kawasan penelitian. 
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, dengan mengutip terhadap 
bahan referensi yang menunjang penelitian. Data sekunder dijadikan 
bahan pendukung dan sebagai landasan teori bagi penelitian. 
E. Analisis Data 
Analisis dalam rangka pembuatan desain pembangunan hutan 
tanaman rakyat Kabupaten Barru dilakukan sebagai berikut : 
1. Analisis Spasial 
Analsis ini digunakan untuk mengekstraksi lokasi hutan di wilayah 
penelitian yang sesuai untuk pengembangan HTR melalui variabel
penggunaan lahan, jarak hutan dari lokasi pemukiman, dan 
kelerengan. Dari ketiga variabel tersebut dilakukan pembobotan 
dengan skala Likert, seperti yang tertera berturut-turut pada Tabel 4, 
Tabel 5 dan Tabel 6. 
48 
Tabel 4. Bobot Landuse terhadap HTR 
No. Landuse Bobot 
1 Semak Belukar 4 
2 Kebun dan Tegalan 2 
3 Hutan 0 
Pada Tabel 4 bagian kawasan yang berpenutupan semak belukar 
diberi bobot tertinggi atau 4 karena bagian ini merupakan areal – 
areal bekas ladang yang telah lama ditinggalkan oleh 
pemilik/penggarapnya, disisi lain semak belukar juga lebih mudah 
dikonversi ke tanaman kayu dibanding kebun atau tegalan yang telah 
ditumbuhi tanaman masyarakat, sehingga kebun dan tegalan diberi 
bobot lebih yakni sebesar 2. Sedangkan bagian kawasan yang 
berpenutupan Hutan diberi bobot terendah atau 0 karena bagian ini 
harus tetap dipertahankan keberadaannya atau pada bagian ini tidak 
perlu dilakukan pembangunan HTR. 
Tabel 5. Bobot Jarak Pemukiman terhadap HTR 
No. Jarak Pemukiman Bobot 
1 < 1 km 4 
2 2 km 3 
3 3 km 2 
4 > 4 km 1
Pada Tabel 5, indikator aksesibilitas lokasi HTR yang dimaksudkan 
adalah jarak lokasi HTR ke lokasi pemukiman terdekat, dengan 
asumsi bahwa kondisi jalan dan sarana angkutan pada semua lokasi 
adalah sama. Jarak pemukiman terdekat ke areal calon lokasi HTR 
diberi bobot 4 (bobot tertinggi), dan sebaliknya pada jarak terjauh 
diberi bobot terendah atau 1. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa 
semakin dekat jarak lokasi HTR terhadap pemukiman maka akan 
semakin mudah bagi masyarakat mencapai ke lokasi HTR yang 
bersangkutan. 
49 
Tabel 6. Bobot Kelas Lereng terhadap HTR 
No. Kelas Lereng Bobot 
1 0-8 % 4 
2 8-15% 3 
3 15-25% 2 
4 25- 45% 1 
5 >45% 0 
Pada Tabel 6 diperlihatkan bahwa kelas lereng 0-8% diberi nilai 
bobot 4 atau nilai tertinggi karena dengan kelas lereng tersebut 
tergolong datar dan lebih menguntungkan dalam pengelolaan HTR 
daripada lokasi yang memiliki kelerengan yang terjal. Berbeda 
halnya dengan kelas lereng >25% yang tergolong curam sampai 
sangat curam, hal tersebut membuat pengelolaan HTR jauh lebih 
sulit dibanding kelas datar dan landai. Kelas lereng berpengaruh 
terhadap erosi, dimana kelerengan yang lebih besar potensial 
menyebabkan erosi yang juga lebih besar.
Berdasarkan hasil pembobotan dari ketiga variabel tersebut 
diatas maka disusun kategori kelas kesesuain lahan di wilayah 
Kabupaten Barru untuk pembangunan HTR seperti yang tertera 
pada tabel 7. 
50 
Tabel 7. Klasifikasi Kelas Kesesuain Pengembangan HTR 
No. Klasifikasi Tot. Bobot 
1 Sesuai 9 -12 
2 Agak Sesuai 5 - 8 
3 Kurang Sesuai 1 - 4 
2. Analisis Kesesuain Lahan 
Setelah mendapatkan hasil ektraksi areal kawasan hutan yang 
sesuai untuk pengembangan HTR dari beberapa variabel, maka 
analsis kesesuain lahan dilakukan untuk menentukan jenis-jenis 
tanaman yang sesuai untuk dikembangkan pada areal kawasan 
hutan tersebut. 
Proses penyusunan arahan penggunaan lahan untuk kebutuhan 
HTR dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut: 
 Penyusunan karakteristik lahan 
 Penyusunan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan 
(LURs) 
 Proses evaluasi kesesuaian lahan (Matching )Kesesuaian lahan
51 
3. Skenario Pola HTR 
Sebelumnya telah didapatkan lokasi pembangunan HTR dengan 
jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk dikembangkan pada areal 
tertentu. Tahapan ini selanjutnya dilakukan simulasi pada luas areal 
pemanfaatan yang akan dikembangkan, rotasi (tergantung jenis 
tanamanya), dan produksi (m3/thn), kualitas tempat tumbuh atau 
bonita dan luas penanaman. Dari hal tersebut diperoleh gambaran 
tentang potensi kayu, kontinyuitas, dan kuantitas potensi tegakan 
dalam pembangunan HTR dalam wilayah penelitian
52 
F. Kerangka Penelitian 
Wilayah/Areal 
Kabupaten 
Arahan Pola Kesusainya HTR pada 
setiap Unit Lahan 
Jenis-Jenis Kesesuain Lahan 
tanaman kayu : 
1. Sengon 
2. Jabon 
3. Jati 
Hasil evaluasi Kelas kesesuaian lahan 
tanaman Hutan untuk Kebutuhan Bahan 
Baku Industri 
Gambar 3. Kerangka Penelitian 
Karekteristik 
- Landuse 
- Jarak Pemukiman 
Overlay & 
Analisis 
Faktor Biofisik 
- Kelerengan 
- Fungsi Hutan 
Ekstraksi Wilayah Penelitan yang 
Mendukung Hutan Tanaman Rakyat 
Parameter : 
1. Jenis Tanah 
2. Curah 
Hujan 
3. Ketinggian 
Potensi Bahan Baku (jarak tanam, jenis, 
rotasi) & Jenis Industri Yang Sesuai 
Rekomendasi Desain Pembanguan HTR 
dalam Suatu Kabupaten
Langkah pertama pada penelitian ini seperti Gambar 3 diatas, adalah 
Ekstraksi wilayah penelitian yang mendukung HTR, maksud dari hal 
tersebut memisahkan areal penelitian sesuai dengan kebijakan HTR 
yang berada hanya pada hutan produksi. Dari beberapa fungsi kawasan 
hutan yang ada di Kabupaten Barru, hanya hutan produksi yang diambil 
sebagai fokus penelitian. 
Dari hal tersebut kemudian setiap unit lahan pada peta klas lereng, 
peta fungsi hutan, peta landuse, dan buffer jarak pemukiman masing-masing 
diberikan bobot menggunakan skala likert. Dari pembobotan 
tersebut bobot tertinggi diberikan pada unit-unit lahan yang mendukung 
pada pengembangan HTR, misalnya klas lereng yang landai diberi 
bobot tinggi dan berbanding terbalik dengan klas lereng curam. Dari 
hasil pembobotan tersebut dibuat 3 klas dari bobot tersebut masing-masing 
53 
klas sesuai, agak sesuai, tidak sesuai. 
Tahap selanjutnya membuat klas kesesuain lahan terhadap jenis-jenis 
tumbuhan yang ingin dikembangkan. Hal ini dimulai dengan 
penyusunan krakteristik lahan dengan cara penetapan satuan peta 
lahan (SPL). Dari hal tersebut kemudian dilakukan matching dengan 
persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan (LURs). Outputnya 
adalah peta kesesuain lahan untuk kebutuhan tanaman HTR. 
Setelah matching antara syarat tumbuh dan satuan peta lahan maka 
didapatkan tanaman yang akan direkomendasikan dan ditanam. Dari 
hal tersebut dilakukan skenario terhadap jarak tanam, jenis tanaman,
rotasi dan luas yang kemudian akan dikembangkan. Hal tersebut akan 
dapat memproyeksi berapa kuantitas dan kontinyuitas kayu yang akan 
dihasilkan dari areal tersebut. Dari data tersebut juga akan dapat 
menggambarkan industri apa yang cocok dikembangkan berdasarkan 
hasil pengembangan, jika skenario tersebut dijalankan. Penempatan 
industri juga diperhitungkan apabila memang layak secara pemenuhan 
bahan baku, karena penempatan industri akan mengikuti pola ruang 
yang berada di Kabupaten Barru. 
54
55 
BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 
A. Kawasan Hutan 
Kawasan Hutan Kabupaten Barru berdasarkan fungsinya dapat 
dibedakan atas Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi. 
Luas Kawasan Hutan Kabupaten Barru bardasarkan SK Menhut No. 
434 Tahun 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi 
Perairan Propinsi Sulawesi Selatan dan Perda No. 09 Tahun 2009 
Tentang RTRW Propinsi Sulawesi Selatan adalah 68.179,99 ha yang 
terdiri dari : 
 Hutan Lindung : 51.266,03 ha 
 Hutan Produksi Terbatas : 16.913,96 ha 
Secara detail sebaran kawasan hutan pada tujuh kecamatan yang 
berada di Babupaten Barru, dapat Tabel 8. 
Tabel 8. Luas Kawasan Hutan dalam setiap Kecamatan di Kabupaten 
Barru Tahun 2012. 
No. Kecamatan 
Jenis Hutan 
Hutan 
Lindung 
Hutan Produksi 
Terbatas 
Jumlah Luas 
(Ha) 
1. Pujananting 19.447,25 4.858,08 23.601,99 
2. Tanete Riaja 3.499,65 3.922,82 8.142,47 
3. Tanete Rilau 2.164,09 - 2.164,09 
4. Barru 6.978,28 2.734,72 10.135,96 
5. Balusu 1.649,38 4.662,54 5.996.60 
6. Soppeng Riaja 1.526,84 1.106,98 2.464,76 
7. Mallusetasi 16.000,54 28,18 16.137,68 
JUMLAH 51.266,03 17.312,45 68.179,99 
Sumber : Dinas Kehutanan Tahun 2013.
56 
B. Hutan Tanaman Rakyat & Perkembangannya 
Barru memiliki pontensi yang cukup besar untuk pengembangan 
hutan tanaman rakyat, dari data yang didapatkan di dinas kehutanan 
Kabupaten Barru sendiri memiliki potensi hutan produksi yang cukup 
besar dan dapat dikelolah dengan baik untuk pengembangan HTR yaitu 
sebesar 17.312 ha, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 8. 
Pada tahun 2010-2013 Kementerian Kehutanan telah melakukan 
pencanangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Kabupaten Barru seluas 
1.497 ha, yang meliputi 3 kecamatan (llihat pada Tabel 3). Sedangkan 
yang telah mendapatkan izin usaha pemanfatan hasil hutan kayu 
(IUPHHK HTR) dari Bupati dan telah diverifikasi adalah seluas 1.481 ha 
(llihat pada Tabel 3). Pada pertengahan tahun 2013 Dinas Kehutanan 
kembali mengusulkan areal pencadangan HTR sebesar 14.000 ha yang 
tersebar hampir disetiap kecamatan, dengan model pengelolaan yang 
menggunakan skema mandiri. 
C. Kondisi Biofisik Kawasan 
1. Penutupan lahan 
Luas Kawasan Hutan Kabupaten Barru, berdasarkan SK 
Menhut No. 434 Tahun 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan 
dan Konservasi Perairan Propinsi Sulawesi Selatan serta Perda No. 
09 Tahun 2009 Tentang RTRW Propinsi Sulawesi Selatan adalah 
sebesar 68.179,99 ha atau 58,04% dari total luas wilayah Kabupaten
Barru dengan rincian Kawasan Hutan Lindung seluas 51.266,03 ha 
dan Kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 16.913,96 ha. 
Wilayah Kabupaten Barru yang masih berpenutupan vegetasi 
berupa hutan (berhutan) adalah seluas 16.377,00 Ha dan yang 
bukan berupa hutan (non hutan) adalah seluas 100.648,00 ha 
(terdapat 1.867,00 ha tertutup awan). Kawasan hutan di Kabupaten 
Barru telah ditata batas 100 % pada tahun 1997/1998 dengan 
panjang batas luar sebesar 554,12 km. Tata batas fungsi hutan 
lindung/hutan produksi terbatas tahun 2000 dengan panjang tata 
batas 31,23 km. Pola tata guna hutan di kawasan hutan ini selain 
terdiri dari kawasan hutan lindung, dan hutan produksi terbatas juga 
terdapat kawasan budidaya, yang terdiri dari sawah dan lahan 
kering. Luas dan sebaran kawasan budidaya dapat dilihat pada 
Tabel 9. 
57 
2. Iklim 
Berdasarkan pembagian tipe iklim dengan metoda zone 
agroklimatologi yang menggunakan perbandingan jumlah bulan 
basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) dan bulan kering (curah 
hujan kurang dari 100 mm/bulan). Wilayah Kabupaten Barru teridiri 
atas 84.340 ha atau sekitar 71,79 % bagian bertipe iklim C dengan 
bulan basah 5 – 7 bulan (Oktober – April) dan bulan kering kurang 
dari 2 bulan (Mei – September). Curah hujan tertinggi diwilayah ini 
terjadi pada bulan Desember, sedangkan curah hujan terendah
terjadi pada pada bulan Agustus. Data curah hujan rata-rata bulanan 
di wilayah Kabupaten Barru periode tahun 1998 – 2007, yang 
diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Stasiun 
Klimatologi Kelas I Panakkukang-Maros, dapat dilihat pada Gambar 
4. 
Total hari hujan pertahun di Wilayah Kabupaten Barru ialah 
sebanyak 113 hari dengan jumlah curah hujan sebesar 5.252 mm. 
Curah hujan di Kabupaten Barru berdasarkan hari hujan terbanyak 
pada bulan Desember dan Januari adalah masing-masing sebesar 
1.335 mm dan 1.138 mm, sedangkan hari hujan masing-masing 2 
hari dengan jumlah curah hujan masing-masing 104 mm dan 17 mm. 
Data hari hujan rata-rata bulanan di wilayah Kabupaten Barru dapat 
dilihat pada Gambar 5. 
Untuk kelembaban udara rata – rata di sekitar wilayah 
Kabupaten Barru dapat dilihat pada Gambar 6, yang 
mengindikasikan bahwa kelembapan udara rata-rata di wilayah 
Kabupaten Barru berkisar 66 – 88 %, dengan suhu maksimum dan 
minimum rata-rata 29 oC dan 27 oC. 
58
59 
Tabel 9. Penggunaan Tanah di Kabupaten Barru Tahun 2012. 
No. Penggunaan Tanah 
Luas dan Persentase 
ha (%) 
1. Kampung / Pemukiman 2.767,92 2,36 
2. S a w a h 15.959,23 13,59 
3. Kolam / Tambak 2.903,55 4,47 
4. Kebun Campuran 18.586,95 15,82 
5. Ladang / Tegalan 5.138,70 4,37 
6. Lahan Terbuka 3.367,53 2,87 
7. M a n g r o v e 288,89 0,25 
8. Semak Belukar 12.712,11 10,82 
9. Alang – alang 265,32 0,23 
10. H u t a n 55.481,80 47,23 
TOTAL 117.472,00 100,00 
Sumber : Badan Pertanahan Kabupaten Barru, 2012. 
Gambar 5. Histogram Hari Hujan Rata - Rata Bulanan di Lokasi Studi. 
Hari Hujan Rata - Rata Bulanan Kab. Barru 
25 
20 
15 
10 
5 
0 
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des 
B u l a n 
Hari Hujan 
Hari Hujan 
Sumber : BMG Stasiun Klimatologi Kelas I Panakkukang, Maros, 2012
Gambar 6. Kelembaban Udara Rata - Rata Bulanan di Lokasi Studi. 
60 
KELEMBABAN UDARA RATA - RATA BULANAN 
100 
80 
60 
40 
20 
0 
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des 
Bulan 
Kelembaban Udara (%) 
Sumber : BMG Stasiun Klimatologi Kelas I Panakkukang, Maros, 2012. 
3. Topografi 
a. Kemiringan Lereng 
Kondisi topografi Kabupaten Barru merupakan dataran tinggi dan 
perbukitan yang berada pada ketinggian 100 – 500 meter dari 
permukaan laut (mdpl) dengan persentase kemiringan mencapai 
0 – <40 %. Persentase kemiringan lahan Kabupaten Barru dapat 
dilihat pada Tabel 10. 
Tabel 10. Persentase Kemiringan Lahan 
No Kemiringan (%) Luas Areal 
(Ha) (%) 
1 0 - 2 26.596 22,64 
2 3 – 15 7.043 5,49 
3 16 – 40 33.246 28,31 
4 > 40 50.587 43,06 
Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM)
61 
b. Ketinggian wilayah 
Luas wilayah Kabupaten Barru berdasarkan ketinggian dapat 
diklasifikasikan seperti pada Tabel 11. Areal tersebut didomonasi 
dengan ketingggian 100-500 mdpl dengan persentase luas 
sebesar 50.07%, dan areal yang ketinggian >1500 hanya sebesar 
0.07%. 
c. Jenis Tanah 
Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Barru terdiri atas 
beberapa jenis tanah antara lain jenis regosol, mediteran, litosol 
dan alluvial. Besarnya luas dan persentase jenis tanah tersebut 
dapat dilihat pada Tabel 12. 
d. Kondisi Geologi 
Kabupaten Barru memiliki sifat geologi yaitu seri endapan gunung 
api yang meliputi 27,59 % dari total wilayah Kabupaten, dengan 
berbagai jenis batuan penyusunnya. Litologi penyusun Wilayah 
Kabupaten Barru dapat dibagi menjadi 11 kelompok antara lain: 
- Kompleks Ophiolit Barru, Batuan Malihan, Kompleks Melange, 
Formasi Belang Barru, Formasi Mallawa, Formasi Tonasa, 
Formasi Camba, Anggota Batuan Gunung Api Camba, Anggota 
Batu Gamping Formasi Camba, Batu Gamping Formasi 
Walanae dan Endapan Alluvium
62 
Tabel 11. Persentase Ketinggian Lahan di Kabupaten Barru 
No Ketinggian (mDPL) 
Luas Areal 
(Ha) (%) 
1 0 – 25 17.229 14,67 
2 25 – 100 17.683 15,05 
3 100 – 500 58.814 50,07 
4 500 - 1000 23.663 20,14 
5 > 1500 84 0,07 
Sumber : Barru dalam Angka Tahun 2012. 
Tabel 12. Luas dan Persentase Jenis Tanah 
Luas Areal 
No Jenis Tanah 
(Ha) (%) 
1 Regosol 41.254 38,20 
2 Mediteran 32.516 27,68 
3 Litosol 29.043 24,72 
4 Alluvial 4.659 12,48 
Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM)
63 
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 
A. Kesesuan Lokasi Pengembangan HTR 
Dengan dasar bahwa persyaratan areal untuk bisa dijadikan areal 
pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) menurut Peraturan 
Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 adalah areal tersebut 
harus berada di kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan 
tidak dibebani hak. 
Maka dipenelitian ini pada tahap untuk membuat kesesuain lokasi 
pengembangan HTR dilakukan dengan analisis spasial dengan 
mengekstraksi peta kawasan hutan produksi, untuk membentuk unit 
lahan dan membuat kelas kesesuain lahan untuk arahan penggunaan 
HTR. Hal tersebut didapatkan dari hasil analisis pada peta penggunaan 
Lahan, Aksesibilitas, dan Kelas Lereng yang berfokus pada areal HPT 
Kabupaten Barru. Beberapa parameter tersebut di beri bobot dengan 
mengunakan Skala likert. Variabel – variabel yang akan berdampak 
positive atau memberikan daya dukung yang baik bagi pengembangan 
HTR akan diberi bobot tertinggi dan begitu pula sebaliknya jika 
parameter tersebut tidak mendukung kearah pengembangan HTR akan 
diberi bobot terendah. 
Dari hasil analisis spasial terhadap klasifikasi kelas bobot terhadap 
kesesuain pengembangan HTR tersebut didapatkan masing masing 
luasan kelas seperti yang ada pada Tabel 13.
Kelas Luas (ha) % 
Sesuai 1.095,0 6.5 
Agak Sesuai 6.373,2 37.8 
Tidak Sesuai 9.388,7 55.7 
TOTAL 1.6856,83 100 
64 
Tabel 13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR 
Masing-masing luas yang didapatkan dari hasil analisis spasial ialah 
kelas “Sesuai” seluas 1.095,0 ha atau sebesar 6.5% dari total luasan 
HPT di Kabupaten Barru. “Agak Sesuai” sebesar 6.373,2 ha atau 
sebesar 37.8% dan yang dikategorikan “Tidak Sesuai” sebesar 9.388,7 
atau sebesar 55.7%. Sedangkan sebaran kelas tersebut dapat dilihat 
pada Gambar 7. 
Pada Gambar 7 tersebut dapat dijelaskan bahwa pada kelas “Tidak 
Sesuai” memiliki faktor-faktor pembatas berdasarkan variabel 
penyusunnya, seperti jarak yang cukup jauh dari pemukiman terdekat, 
didominasi kelerengan yang cukup curam, dan areal yang masih 
berhutan. Dari hasil analisis yang telah dilakukan maka pada areal 
tersebut direkomendasikan untuk dihindari dalam pembangunan hutan 
tanaman rakyat karena akan menyebabkan pengelolaan hutan yang 
tidak optimal.
65 
Gambar 7. Peta Kelas Kesesuain Pengembangan HTR
Pada kelas “Sesuai” dimaksudkan adalah areal yang layak dapat 
dikembangakan HTR berdasarkan variabel penyusunnya. Sehingga 
areal tersebut merupakan areal yang prioritas atau direkomendasikan 
untuk pembangunan hutan tanaman rakyat untuk terciptanya 
pengelolaannya yang optimal. Sedangkan pada kelas “Agak Sesuai” 
merupakan areal yang dapat dikembangkan tetapi dengan beberapa 
kondisi tertentu agar dari segi pengelolaannya dapat berjalan dengan 
optimal. 
Kondisi-kondisi tertentu yang dimaksudkan pada kelas “Agak 
Sesuai” ialah, pada beberapa areal yang ditemukan pada kelas lereng 
25% hingga >45% dapat ditanami tanaman-tanaman yang berakar 
dalam sehingga mengidarkan dari erosi dan longsor, memperpendek 
jarak tanam, atau mengindari areal tersebut jika kemiringan lereng 
cukup tinggi dan bervegateasi rapat. Untuk kondisi areal yang cukup 
jauh dari pemukiman masyarakat, akan sangat terbantu bila kondisi 
jalan tersebut baik dan memiliki kendaraan yang dapat digunakan. 
66 
B. Penyusunan Kelas Kesesuain Lahan untuk Kebutuhan HTR 
1. Penyusunan Karakteristik Lahan 
Penyusunan karekteristik lahan dengan cara penetapan satuan 
peta lahan (SPL). Setiap SPL akan menggambarkan karakteristik 
lahan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan 
lingkungannya diperoleh dari data yang tertera pada legenda peta 
tanah dan uraiannya, peta/data iklim dan peta topografi/elevasi.
Karakteristik lahan diuraikan pada setiap satuan peta tanah (SPT) 
dari peta tanah, yang meliputi: bentuk wilayah/lereng, drainase 
tanah, kedalaman tanah, PH tanah, KTK. Data iklim terdiri dari curah 
hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara 
diperoleh dari stasiun pengamat iklim yang tergambar pada peta 
landsystem. Secara sistimatik dapat dilihat pada Gambar 8. 
Data/Topografi 
- Relief 
- Elevasi 
PERSYARATAN 
TANAMAN 
67 
Data/Peta Iklim 
- Curah Hujan 
- Temperatur 
Data/Peta Tanah 
- Lereng 
- Karakteristik Tanah 
KARAKTERISTIK 
LAHAN 
KESESUAIN LAHAN 
UNTUK KOMODITAS 
Gambar 8. Bagan Penyusunan Karakteristik Lahan 
Dari hasil overlay dan analisis spasial yang dilakukan maka 
dapat dilihat beberapa karakteristik lahan pada setiap SPL yang 
berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas Kabupaten Barru. Dari 
setiap SPL tersebutlah yang digunakan untuk menyamakan 
persyaratan beberapa jenis tanaman untuk kebutuhan pembagunan 
HTR di kabupaten barru Karekterisitik lahan pada setiap SPL dibuat 
dengan tingkatan pada tingkat semi detail disajikan pada Tabel
Karekteristik lahan pada Setiap Satuan Peta Lahan (SPL) yang 
dapat dilihat dalam lampiran. 
2. Penyusunan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan 
68 
(LURs) 
Persyaratan tumbuh dapat diperoleh dari berbagai referensi, 
seperti pada Djaenudin et al. (2003). Sedangkan untuk pemilihan 
jenis tanaman sendiri yang dijadikan bahan untuk mencocokan 
dengan karakteristik lahan pada setiap SPL adalah hasil dari 
wawancara yang dilakukan dilapangan dan masukan peneliti 
terhadap beberapa kayu komersil. Jenis-jenis tanaman tersebut 
dapat dilihat pada Tabel 14. Proses Kesesuain Lahan (Matching) 
Gambar 9 & Tabel 15 memperlihatkan hasil matching antara 
karakteristik lahan dan persayaratan tumbuh beberapa tanaman 
yang berpotensi dikembangkan di HPT Kabupaten Barru. Secara 
umum Tanaman Jati dapat tumbuh diseluruh wilayah tersebut 
dengan kelas yang mendominasi ialah kelas kesesuaian lahan S2 
untuk tanaman Jati.
Tabel 14. Daftar Jenis tanaman yang berpontesi dikembangkan 
No. Jenis Tanaman Jumlah Pemilih Persentase % Ranking 
69 
Jangka Panjang 
1 Jabon 10 22.2 3 
2 Sengon 7 15.5 4 
3 Jati lokal 13 28.8 1 
4 Aren 4 8.8 5 
5 Kemiri 11 24.4 2 
Jangka Pendek 
1 Jagung 15 33.3 1 
2 Kacang Tanah 8 17.7 2 
3 Lombok 6 13.3 4 
4 Rumput gajah 6 13.3 3 
5 Jahe 5 11.1 5 
Tabel 15. Kesesuaian Lahan HPT Kab.Barru
70 
Gambar 9. Peta Kesesuaian Lahan HPT Kab.Barru
Untuk tanaman sengon sendiri, berdasarkan hasil analisis 
spasial dan proses matching yang telah dilakukan, maka didapatkan 
jenis sengon merupakan tanaman yang paling baik dikembangkan 
karena dapat tumbuh diseluruh areal HPT dan didominasi pada kelas 
kesesuaian lahan S1 untuk tanaman sengon tersebut. Hal serupa 
sama dengan tanaman semusim rumput gajah, karena rumput gajah 
dapat tumbuh pada seluruh wilayah HPT di Kabupaten Barru. Dari 
Hasil analisis juga didapatkan rumput gajah sangat sesuai ditanam 
pada hampir seluruh wilayah tersebut. 
Gambar 9 & Tabel 15 juga menjelaskan bahwa ada beberapa 
areal yang memiliki kendala pembatas terhadap tumbuhnya suatu 
tanaman. Kendala pembatas tersebut seperti kurangnya unsur hara 
yang tersedia, Kedalaman tanah dibawah 50 cm sehingga 
menyulitkan perakaran tanaman yang mebutuhkan lebih dari itu, 
kondisi lereng yang sangat curam diatas 45% pada beberapa areal, 
dan kekurangan unsur hara. 
C. Evaluasi Kondisi Eksisting HTR terhadap Kesesuian Lahan 
71 
Pengembangan HTR 
Evaluasi kondisi eksiting HTR dimaksudkan untuk melihat kondisi 
existing yang ada terhadap hasil analisis yang telah dilakukan. Hal 
tersebut akan memberikan masukan tambahan untuk pengembangan 
HTR secara umum. Dari hal ini juga dapat dilihat beberapa kendala-kendala 
masyarakat terkait kondisi existing izin yang telah diterima
masyarakat. Dengan metode overlay peta izin HTR yang telah ada 
sampai dengan 2013 dengan peta kesesuaian pengembangan HTR 
yang telah dibuat sebelumnya. 
Pada Gambar 10 dari hasil analisis spasial, dapat dilihat bahwa 
kelompok HTR Dae adalah satu-satunya kelompok HTR yang lokasinya 
berada pada kelas “Sesuai” pada penelitian ini. Hal tersebut 
menggambarkan untuk jalannya proses pengembagan HTR jika ditinjau 
dari beberapa variabel seperti landuse, kelerengan, dan aksesibilitas 
maka kelompok tani HTR Dae secara teknis dapat mengoptimalkan 
hasil dari pengelolaan HTR. 
Kelompok HTR Coppo Beramming mungkin perlu melakukan hal hal 
khusus dalam rencana pengembangannya karena sebesar 99.1% atau 
seluas 285.4 ha wilayahnya berada dalam kelas “Kurang Sesuai” hal 
tersebut mengindikasikan bahwa areal tersebut sulit dioptimalkan 
berdasarkan beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Hal 
tersebut juga terverifikasi dari hasil wawancara yang dilakukan pada 
kelompok HTR Coppo Beramming. Seperti halnya Pak Saharudding (55 
tahun) dan Pak Lahewo (57 tahun) mengemukakan bahwa sangat sulit 
mengelolaa lahan HTR yang dimilikinya, karena areal-areal tersebut 
sudah padat ditumbuhi pohon-pohon jenis kenanga, gantungan, wajo, 
bikatte dan cendana, sehingga mereka sangat sulit untuk bisa menanam 
lagi jika memanfaatkan ruang-ruang kecil yang terbuka. 
72
73 
Gambar 10. Peta Kelas Kesesuain HPT terhadap Existing HTR
Begitu pula pada kelompok HTR Padang Pabbo dan HTR Bolong 
Ringgi lebih didominasi oleh kelas “Kurang Sesuai” masing-masing 
sebesar 98.5% dan 58.2%, yang menggambarkan dalam teknis 
pengelolaannya kedepan kedua kelompok HTR ini akan mendapatkan 
hasil yang kurang optimal berdasarkan asumsi pada variabel yang 
dibangun penelitian ini. 
74 
D. Skenario Pengembangan HTR 
Dalam rencana pengembangan HTR dalam penelitian ini akan 
dilakukan melalui 3 skenario, yaitu skenario pesimis, skenario moderat 
dan skenario optimis. 
1. Skenario pesimis ialah skenario bilamana luas areal yang 
dimanfaatkan hanya terbatas pada lahan yang berada pada kelas 
“Sesuai” dan luas efektif yang dapat dimanfaatkan dari kelas 
“Sesuai” hanya sebesar 65%, serta diasumsikan pula bahwa kualitas 
tempat tumbuh areal yang diusahakan tergolong rendah (bonita I - 
II). 
2. Skenario moderat ialah skenario bilamana areal yang dimanfaatkan 
meliputi lahan kelas “Sesuai + Agak Sesuai”, luas efektif yang 
dimanfaatkan dari kelas “Sesuai” dan sebagian lahan “Agak Sesuai” 
yang tadinya ± 65% (pada skenario pesimis) berubah menjadi ±70%, 
serta kualitas tempat tumbuh yang rendah (bonita I & II) pada 
skenario pesimis dapat dirubah ke bonita III - IV. Perlakukan yang 
dilakukan didalamnya sehingga beberapa faktor pembatas dapat
berubah, antara lain melalui pemberian pupuk untuk menaikkan 
kesuburan tanag pada lahan-lahan yang kurang subur, menambah 
alokasi tenaga ataupun pendanaan sehingga dapat menambah luas 
efektif lahan yang dapat dikelola. 
3. Skenario optimis ialah skenario bilamana kondisi faktor-faktor dalam 
pengelolaan dioptimalkan sebaik mungkin. Dalam skenarion ini luas 
efektif areal yang dimanfaatkan pada lahan yang berada pada kelas 
“Sesuai + Agak Sesuai”, dapat mencapai ±75%, serta kualitas 
tempat tumbuh setelah dioptimalkan dapat menjadi bonita V. 
Perlakukan yang dilakukan antara lain pemberian pupuk untuk 
menaikan unsur hara pada lahan-lahan yang kurang unsur hara, 
menambah alokasi tenaga ataupun pendanaan, penerapan silvikutur 
intensif sehingga dapat menambah luas efektif lahan yang dapat 
dikelola, penguatan keterampilan kelompok dan pengelolaan 
kelembagaan sampai penerapan peralatan dan teknologi yang lebih 
maju. 
Sedangkan untuk asumsi produksi tiap skenario terhadap pada jenis 
tanaman sengon dan jati di dapatkan dari tabel tegakan dalam buku 
Vademecum Kehutanan Indonesia (1987). 
75
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT  KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

More Related Content

What's hot

Persyaratan Teknis Penyediaan TPS dan TPS-3R
Persyaratan Teknis Penyediaan TPS dan TPS-3RPersyaratan Teknis Penyediaan TPS dan TPS-3R
Persyaratan Teknis Penyediaan TPS dan TPS-3RJoy Irman
 
Kelembagaan pengelolaan sampah di masyarakat
Kelembagaan pengelolaan sampah di masyarakatKelembagaan pengelolaan sampah di masyarakat
Kelembagaan pengelolaan sampah di masyarakatSugeng Budiharsono
 
Pola Penanganan Sampah Domestik
Pola Penanganan Sampah DomestikPola Penanganan Sampah Domestik
Pola Penanganan Sampah Domestikinfosanitasi
 
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)Joy Irman
 
Instalasi pengelolaan lumpur tinja iplt di kota surabaya
Instalasi pengelolaan lumpur tinja iplt di kota surabayaInstalasi pengelolaan lumpur tinja iplt di kota surabaya
Instalasi pengelolaan lumpur tinja iplt di kota surabayaIndriany ,
 
laporan praktikum dastan acara 4 pengamatan tanah dengan indra
laporan praktikum dastan acara 4 pengamatan tanah dengan indralaporan praktikum dastan acara 4 pengamatan tanah dengan indra
laporan praktikum dastan acara 4 pengamatan tanah dengan indraAlfian Nopara Saifudin
 
Rencana Induk Persampahan (Master Plan)
Rencana Induk Persampahan (Master Plan)Rencana Induk Persampahan (Master Plan)
Rencana Induk Persampahan (Master Plan)Joy Irman
 
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis Masyarakat
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis MasyarakatTPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis Masyarakat
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis MasyarakatJoy Irman
 
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)Joy Irman
 
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)Joy Irman
 
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan SampahPersyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan SampahJoy Irman
 
Sistematika Dokumen Rencana Induk (Master Plan) Air Limbah
Sistematika Dokumen Rencana Induk (Master Plan) Air LimbahSistematika Dokumen Rencana Induk (Master Plan) Air Limbah
Sistematika Dokumen Rencana Induk (Master Plan) Air LimbahJoy Irman
 
UKL UPL Pada industri tembakau
UKL UPL Pada industri tembakauUKL UPL Pada industri tembakau
UKL UPL Pada industri tembakauHerry Prakoso
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...infosanitasi
 
Matrik-UKL-UPL-Pabrik-Plywood.pdf
Matrik-UKL-UPL-Pabrik-Plywood.pdfMatrik-UKL-UPL-Pabrik-Plywood.pdf
Matrik-UKL-UPL-Pabrik-Plywood.pdfArtantraHPYudha
 
Pengenalan Permakultur ( Introduce Permaculture )
Pengenalan Permakultur ( Introduce Permaculture )Pengenalan Permakultur ( Introduce Permaculture )
Pengenalan Permakultur ( Introduce Permaculture )Yo Soemito
 
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lampiran 3
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lampiran 3Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lampiran 3
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lampiran 3infosanitasi
 
Ekoling6. sistem managemen lingkungan
Ekoling6. sistem managemen lingkunganEkoling6. sistem managemen lingkungan
Ekoling6. sistem managemen lingkunganWahyu Yuns
 
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanaman
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanamanPertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanaman
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanamanAndary Aindåapryl
 
Evaluasi dampak amdal
Evaluasi dampak amdalEvaluasi dampak amdal
Evaluasi dampak amdalEka Iriadenta
 

What's hot (20)

Persyaratan Teknis Penyediaan TPS dan TPS-3R
Persyaratan Teknis Penyediaan TPS dan TPS-3RPersyaratan Teknis Penyediaan TPS dan TPS-3R
Persyaratan Teknis Penyediaan TPS dan TPS-3R
 
Kelembagaan pengelolaan sampah di masyarakat
Kelembagaan pengelolaan sampah di masyarakatKelembagaan pengelolaan sampah di masyarakat
Kelembagaan pengelolaan sampah di masyarakat
 
Pola Penanganan Sampah Domestik
Pola Penanganan Sampah DomestikPola Penanganan Sampah Domestik
Pola Penanganan Sampah Domestik
 
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)
 
Instalasi pengelolaan lumpur tinja iplt di kota surabaya
Instalasi pengelolaan lumpur tinja iplt di kota surabayaInstalasi pengelolaan lumpur tinja iplt di kota surabaya
Instalasi pengelolaan lumpur tinja iplt di kota surabaya
 
laporan praktikum dastan acara 4 pengamatan tanah dengan indra
laporan praktikum dastan acara 4 pengamatan tanah dengan indralaporan praktikum dastan acara 4 pengamatan tanah dengan indra
laporan praktikum dastan acara 4 pengamatan tanah dengan indra
 
Rencana Induk Persampahan (Master Plan)
Rencana Induk Persampahan (Master Plan)Rencana Induk Persampahan (Master Plan)
Rencana Induk Persampahan (Master Plan)
 
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis Masyarakat
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis MasyarakatTPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis Masyarakat
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis Masyarakat
 
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
Aspek Teknis Operasional Pengelolaan Sampah (3/4)
 
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)
Opsi Teknologi Pengelolaan Air Limbah Sistem Terpusat - Pengelolaan Akhir (IPAL)
 
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan SampahPersyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
Persyaratan Teknis Pengumpulan, Pemindahan dan Pengangkutan Sampah
 
Sistematika Dokumen Rencana Induk (Master Plan) Air Limbah
Sistematika Dokumen Rencana Induk (Master Plan) Air LimbahSistematika Dokumen Rencana Induk (Master Plan) Air Limbah
Sistematika Dokumen Rencana Induk (Master Plan) Air Limbah
 
UKL UPL Pada industri tembakau
UKL UPL Pada industri tembakauUKL UPL Pada industri tembakau
UKL UPL Pada industri tembakau
 
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
Permen PUPR 26 2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem A...
 
Matrik-UKL-UPL-Pabrik-Plywood.pdf
Matrik-UKL-UPL-Pabrik-Plywood.pdfMatrik-UKL-UPL-Pabrik-Plywood.pdf
Matrik-UKL-UPL-Pabrik-Plywood.pdf
 
Pengenalan Permakultur ( Introduce Permaculture )
Pengenalan Permakultur ( Introduce Permaculture )Pengenalan Permakultur ( Introduce Permaculture )
Pengenalan Permakultur ( Introduce Permaculture )
 
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lampiran 3
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lampiran 3Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lampiran 3
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lampiran 3
 
Ekoling6. sistem managemen lingkungan
Ekoling6. sistem managemen lingkunganEkoling6. sistem managemen lingkungan
Ekoling6. sistem managemen lingkungan
 
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanaman
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanamanPertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanaman
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanaman
 
Evaluasi dampak amdal
Evaluasi dampak amdalEvaluasi dampak amdal
Evaluasi dampak amdal
 

Viewers also liked

Grand Strategy - Pengelolaan HHBK Unggulan yang Terintegrasi Berbasis Bentang...
Grand Strategy - Pengelolaan HHBK Unggulan yang Terintegrasi Berbasis Bentang...Grand Strategy - Pengelolaan HHBK Unggulan yang Terintegrasi Berbasis Bentang...
Grand Strategy - Pengelolaan HHBK Unggulan yang Terintegrasi Berbasis Bentang...CIFOR-ICRAF
 
PERANAN ASPEK SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI RENCANA HTR
PERANAN ASPEK SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI RENCANA HTRPERANAN ASPEK SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI RENCANA HTR
PERANAN ASPEK SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI RENCANA HTREDIS BLOG
 
Grand Strategi Integrasi Pengelolaan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu
Grand Strategi Integrasi Pengelolaan Kayu dan Hasil Hutan Bukan KayuGrand Strategi Integrasi Pengelolaan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu
Grand Strategi Integrasi Pengelolaan Kayu dan Hasil Hutan Bukan KayuCIFOR-ICRAF
 
Naskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoliNaskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoliYohannes Halawa
 
Laporan praktikum 1 pengenalan alat
Laporan praktikum 1 pengenalan alatLaporan praktikum 1 pengenalan alat
Laporan praktikum 1 pengenalan alatAndi Azizah
 
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGUofa_Unsada
 
Contoh Sistematika Best Practice Guru
Contoh Sistematika Best Practice GuruContoh Sistematika Best Practice Guru
Contoh Sistematika Best Practice GuruLintang Sore
 
Kumpulan Artikel Terkait Pariwisata Bahari
Kumpulan Artikel Terkait Pariwisata BahariKumpulan Artikel Terkait Pariwisata Bahari
Kumpulan Artikel Terkait Pariwisata BahariFitri Indra Wardhono
 

Viewers also liked (13)

Buku hutan kota
Buku hutan kotaBuku hutan kota
Buku hutan kota
 
Hutan Kota
Hutan KotaHutan Kota
Hutan Kota
 
Grand Strategy - Pengelolaan HHBK Unggulan yang Terintegrasi Berbasis Bentang...
Grand Strategy - Pengelolaan HHBK Unggulan yang Terintegrasi Berbasis Bentang...Grand Strategy - Pengelolaan HHBK Unggulan yang Terintegrasi Berbasis Bentang...
Grand Strategy - Pengelolaan HHBK Unggulan yang Terintegrasi Berbasis Bentang...
 
09 e00248
09 e0024809 e00248
09 e00248
 
Sulaiman 121510601102
Sulaiman 121510601102Sulaiman 121510601102
Sulaiman 121510601102
 
PERANAN ASPEK SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI RENCANA HTR
PERANAN ASPEK SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI RENCANA HTRPERANAN ASPEK SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI RENCANA HTR
PERANAN ASPEK SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI RENCANA HTR
 
Grand Strategi Integrasi Pengelolaan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu
Grand Strategi Integrasi Pengelolaan Kayu dan Hasil Hutan Bukan KayuGrand Strategi Integrasi Pengelolaan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu
Grand Strategi Integrasi Pengelolaan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu
 
Naskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoliNaskah akademik perda bumd gunungsitoli
Naskah akademik perda bumd gunungsitoli
 
Tata Kelola, Penerimaan Negara dan Dana Bagi Hasil Sektor Kehutanan
Tata Kelola, Penerimaan Negara dan Dana Bagi Hasil Sektor KehutananTata Kelola, Penerimaan Negara dan Dana Bagi Hasil Sektor Kehutanan
Tata Kelola, Penerimaan Negara dan Dana Bagi Hasil Sektor Kehutanan
 
Laporan praktikum 1 pengenalan alat
Laporan praktikum 1 pengenalan alatLaporan praktikum 1 pengenalan alat
Laporan praktikum 1 pengenalan alat
 
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANGANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
ANALISIS PENGENDALIAN INTERNAL ATAS PERSEDIAAN BARANG DAGANG
 
Contoh Sistematika Best Practice Guru
Contoh Sistematika Best Practice GuruContoh Sistematika Best Practice Guru
Contoh Sistematika Best Practice Guru
 
Kumpulan Artikel Terkait Pariwisata Bahari
Kumpulan Artikel Terkait Pariwisata BahariKumpulan Artikel Terkait Pariwisata Bahari
Kumpulan Artikel Terkait Pariwisata Bahari
 

Similar to DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaengStudi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaengNaufal Achmad
 
Uswaton%20 khasanah
Uswaton%20 khasanahUswaton%20 khasanah
Uswaton%20 khasanahyogisaka1
 
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAI
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAISKRIPSI , APEDIUS M. MAGAI
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAIapedius
 
5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara
  5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara  5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara
5-kata pengantar ekonomi pencemaran udaraFurqaan Hamsyani
 
Rekomendasi Kesesuaian lahan.pdf
Rekomendasi Kesesuaian lahan.pdfRekomendasi Kesesuaian lahan.pdf
Rekomendasi Kesesuaian lahan.pdfmusakhadim2
 
Strategi penanggulangan gangguan hutan di kab sinjai
Strategi penanggulangan gangguan hutan di kab sinjaiStrategi penanggulangan gangguan hutan di kab sinjai
Strategi penanggulangan gangguan hutan di kab sinjaiSudirman Sultan
 
FAKTOR RISIKO PENYEBAB ASFIKSIA NEONATORUM DI RUANG TERATAI RSUD KABUPATEN MU...
FAKTOR RISIKO PENYEBAB ASFIKSIA NEONATORUM DI RUANG TERATAI RSUD KABUPATEN MU...FAKTOR RISIKO PENYEBAB ASFIKSIA NEONATORUM DI RUANG TERATAI RSUD KABUPATEN MU...
FAKTOR RISIKO PENYEBAB ASFIKSIA NEONATORUM DI RUANG TERATAI RSUD KABUPATEN MU...Warnet Raha
 
Tesis Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdf
Tesis Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdfTesis Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdf
Tesis Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdfSudirman Sultan
 
Filsafat ilmu dan metode riset
Filsafat ilmu dan metode risetFilsafat ilmu dan metode riset
Filsafat ilmu dan metode risetSyafrizal Helmi
 
KARAKTERISTIK IBU BERSALIN DENGAN KETUBAN PECAH DINI DI RUMAH SAKIT UMUM DAER...
KARAKTERISTIK IBU BERSALIN DENGAN KETUBAN PECAH DINI DI RUMAH SAKIT UMUM DAER...KARAKTERISTIK IBU BERSALIN DENGAN KETUBAN PECAH DINI DI RUMAH SAKIT UMUM DAER...
KARAKTERISTIK IBU BERSALIN DENGAN KETUBAN PECAH DINI DI RUMAH SAKIT UMUM DAER...Warnet Raha
 
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...Konsultan Pendidikan
 
Studi penataan dan pengembangan kawsan permukiman di Kepulauan Seribu
Studi penataan dan pengembangan kawsan permukiman di Kepulauan SeribuStudi penataan dan pengembangan kawsan permukiman di Kepulauan Seribu
Studi penataan dan pengembangan kawsan permukiman di Kepulauan SeribuLontongSayoer
 
GAMBARAN FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA MINAT PESERTA KB TERHADA...
GAMBARAN FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA MINAT PESERTA KB TERHADA...GAMBARAN FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA MINAT PESERTA KB TERHADA...
GAMBARAN FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA MINAT PESERTA KB TERHADA...Warnet Raha
 
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...Novita Rini Wardani
 
HUBUNGAN PEMAKAIAN KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN TEKANAN DARAH DI PUSKESMAS WAP...
HUBUNGAN PEMAKAIAN KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN TEKANAN DARAH DI PUSKESMAS WAP...HUBUNGAN PEMAKAIAN KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN TEKANAN DARAH DI PUSKESMAS WAP...
HUBUNGAN PEMAKAIAN KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN TEKANAN DARAH DI PUSKESMAS WAP...Warnet Raha
 

Similar to DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN (20)

Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaengStudi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
Studi landskap hutan desa pattaneteang kabupaten bantaeng
 
Uswaton%20 khasanah
Uswaton%20 khasanahUswaton%20 khasanah
Uswaton%20 khasanah
 
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAI
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAISKRIPSI , APEDIUS M. MAGAI
SKRIPSI , APEDIUS M. MAGAI
 
5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara
  5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara  5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara
5-kata pengantar ekonomi pencemaran udara
 
Rekomendasi Kesesuaian lahan.pdf
Rekomendasi Kesesuaian lahan.pdfRekomendasi Kesesuaian lahan.pdf
Rekomendasi Kesesuaian lahan.pdf
 
Strategi penanggulangan gangguan hutan di kab sinjai
Strategi penanggulangan gangguan hutan di kab sinjaiStrategi penanggulangan gangguan hutan di kab sinjai
Strategi penanggulangan gangguan hutan di kab sinjai
 
Kti ratma ningsih
Kti ratma ningsihKti ratma ningsih
Kti ratma ningsih
 
FAKTOR RISIKO PENYEBAB ASFIKSIA NEONATORUM DI RUANG TERATAI RSUD KABUPATEN MU...
FAKTOR RISIKO PENYEBAB ASFIKSIA NEONATORUM DI RUANG TERATAI RSUD KABUPATEN MU...FAKTOR RISIKO PENYEBAB ASFIKSIA NEONATORUM DI RUANG TERATAI RSUD KABUPATEN MU...
FAKTOR RISIKO PENYEBAB ASFIKSIA NEONATORUM DI RUANG TERATAI RSUD KABUPATEN MU...
 
Tesis Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdf
Tesis Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdfTesis Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdf
Tesis Strategi Penanggulangan Gangguan Hutan di Kabupaten Sinjai.pdf
 
Filsafat ilmu dan metode riset
Filsafat ilmu dan metode risetFilsafat ilmu dan metode riset
Filsafat ilmu dan metode riset
 
Kti arni akbid paramata raha
Kti arni akbid paramata rahaKti arni akbid paramata raha
Kti arni akbid paramata raha
 
KARAKTERISTIK IBU BERSALIN DENGAN KETUBAN PECAH DINI DI RUMAH SAKIT UMUM DAER...
KARAKTERISTIK IBU BERSALIN DENGAN KETUBAN PECAH DINI DI RUMAH SAKIT UMUM DAER...KARAKTERISTIK IBU BERSALIN DENGAN KETUBAN PECAH DINI DI RUMAH SAKIT UMUM DAER...
KARAKTERISTIK IBU BERSALIN DENGAN KETUBAN PECAH DINI DI RUMAH SAKIT UMUM DAER...
 
SP19030.pdf
SP19030.pdfSP19030.pdf
SP19030.pdf
 
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...
Proyek penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasiskan masya...
 
Studi penataan dan pengembangan kawsan permukiman di Kepulauan Seribu
Studi penataan dan pengembangan kawsan permukiman di Kepulauan SeribuStudi penataan dan pengembangan kawsan permukiman di Kepulauan Seribu
Studi penataan dan pengembangan kawsan permukiman di Kepulauan Seribu
 
GAMBARAN FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA MINAT PESERTA KB TERHADA...
GAMBARAN FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA MINAT PESERTA KB TERHADA...GAMBARAN FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA MINAT PESERTA KB TERHADA...
GAMBARAN FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA MINAT PESERTA KB TERHADA...
 
Kti novita sari
Kti novita sariKti novita sari
Kti novita sari
 
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...
PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASION...
 
HUBUNGAN PEMAKAIAN KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN TEKANAN DARAH DI PUSKESMAS WAP...
HUBUNGAN PEMAKAIAN KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN TEKANAN DARAH DI PUSKESMAS WAP...HUBUNGAN PEMAKAIAN KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN TEKANAN DARAH DI PUSKESMAS WAP...
HUBUNGAN PEMAKAIAN KONTRASEPSI HORMONAL DENGAN TEKANAN DARAH DI PUSKESMAS WAP...
 
Kti wa ode rosmini
Kti wa ode rosminiKti wa ode rosmini
Kti wa ode rosmini
 

DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

  • 1. i DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN N A U F A L P3700212006 PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
  • 2. ii TESIS DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN BARRU Disusun dan diajukan oleh N A U F A L Nomor Pokok P3700212006 Telah dipertahankan di depan Panitian Ujian Tesis Pada tanggal 22 Agustus 2014 sehingga dinyatakan telah lulus dan memenuhi syarat Menyetujui Komisi Penasihat, Ketua Anggota Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Si Ketua Program Studi Ilmu Kehutanan Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Ir. Muh Dassir, M.Si Prof. Dr. Syamsul Bahri, SH.MH
  • 3. iii ABSTRAK NAUFAL. Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru (dibimbing oleh Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin) Penelitian ini bertujuan (1) menentukan dan menganalisis kesesuaian lokasi untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru, (2) menganalisis kesesuain lahan untuk jenis tanaman yang dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan Hutan Tanaman Rakyat, dan (3) mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan basis spasial yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, menejemen pengelolaan, preferensi pasar dan industri. Penelitian akan membuat model desain pembangunan hutan tanaman rakyat yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri yang berbasiskan spasial. Dari hasil analisis spasial didapatkan areal – areal yang sesuai, agak sesuai, dan tidak sesuai. Masing masing kelas sesuai seluas 1.095 ha (6.5%), agak sesuai seluas 6.373 (37.8%) dan tidak sesuai untuk dikembangkan HTR 9.388 ha seluas (55.7%). Kesimpulan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengusulan HTR dimasa yang akan datang. Kata kunci : hutan tanaman rakyat, kesesuain lahan, desain pembangunan
  • 4. iv ABSTRACT NAUFAL. Design of the Development of Community Forest in the Barru Regency (Supervised by Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin) The study aims to : (1) determine and analyse the suitability of location for the development of community forest in Barru regency; (2) analyse the suitability of the area for plants suistable for community forest development; (3) provide a design of community forest development with a spatial base integrated to the space pattern, land suitability, management, market and industry preferences. A model of community forest development design was made. It was integrated with space pattern, land suitability, management, market, location, and spatial-based need of industrial raw material. Result of analysis reveals that the suitable land (1.095 hectares / 6.5%), partly-suistable land (6.373 hectares / 37.8%), and non-suitable land (9.388 hectares / 55.7%). Be Used as reference to be considered in proposing the design of community forest development in the future of HTR. Keywords : community forest plantation, location suitability, development design
  • 5. v KATA PENGANTAR Alhamdulillah Rabbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Berkat dan Kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru”, yang skaligus merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Begitu banyak doa, dukungan, dan perhatian yang penulis dapatkan selama penyusunan tesis ini berlangsung, sehingga segala hambatan yang ada dapat terlewati dan dapat dihadapi dengan penuh sukacita. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang telah banyak membantu dan meluangkan waktunya dalam penyelesain tesis ini: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M. Agr dan Bapak Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya, meluangkan waktunya yang begitu berharga untuk memberi bimbingan dan pengarahan dengan baik, dan memberikan dukungan serta motivasi dalam penyelesaian tesis ini. 2. Bapak Prof.Dr. Supratman, S.Hut, M.P, Prof. Dr. Ir. Muh. Dassir, M.Si, dan Dr. Suhasman, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan banyak memberi masukan, koreksi serta arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan lebih baik. 3. Direktur Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Kehutanan beserta staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan sumbangsih yang sangat besar kepada penulis. 4. Bapak Bupati Barru dan Kepala Dinas Kehutanan beserta staff yang telah memberikan kesempatan melaksanakan kegiatan di wilayah penelitian, dan telah memfasilitasi dalam kelancaran dan pelaksaan penelitian ini.
  • 6. 5. Kanda Haudec Herawan atas segenap bantuannya yang sangat berarti vi dalam penyelesaian penelitian ini. Terimkasih sekali lagi kanda. 6. Teman dan Adinda tercinta di Tim Layanan Kehutanan Masyarakat : Haeruddin, Ismed Tanunata, Aksan Firmansyah, Faisal Hidayat, Ikha rurul, Laode Muh Ikbal, Mulyadi, Laode Ifrisal, Nurul, Afif, Ridwan, Muh Ickhwan terimakasih atas dukungan tenaga dan pikirannya serta anugrahandini nasir, selalu menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh penulis. Kalian adalah anak muda yang sukses dimasanya, semoga impian kalian segera tercapai. 7. Seluruh Staf di Sulawesi Community Foundation (SCF), yang telah memfasilitasi secara tidak langsung tapi sangat berdampak dalam merangkumkan dan menyelesaikan studi ini. 8. Seluruh Staf di Medialingkungan.com yang telah memberikan sumbangsih pikiran dan wawasan sehingga memberikan jalan dan pikiran yang segar dalam menyelesaikan tiap masalah yang dihadapi selama penelitian ini. Terimakasih sekali lagi untuk prosesnya. 9. Kawan-kawan peneliti di Tropical Rain Forest, yang selalu menjadi lawan diskusi dan teman berfikir, sehingga membuka wawasan baru dalam penyelesai studi ini. 10. Teman teman seperjuangan Ilmu kehutanan Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin 2012, terimakasih atas segala canda tawa, dan waktu suka duka yang telah dilalui bersama. Kalian semua bisa, ini hanya persoalan waktu. 11. Secara khusus penghargaan, rasa hormat dan rasa terima kasih yang tak terhingga ku persembahkan kepada kedua orang tua ku tercinta: Asmin Dunggio dan Adam Achmad yang telah membesarkan, mendidik dan mendoakan dengan segala kasih sayang dan perhatian beliau selama ini, sehingga selalu diberikan jalan untuk menyelesaikan studi hingga jenjang Magister. Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
  • 7. membangun sangat penulis harapkan. Kiranya tesis ini dapat bermanfaat serta dapat menjadi salah satu bahan informasi pengetahuan bagi pembaca sekalian. Makassar, Agustus 2014 vii N a u f a l
  • 8. viii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN............................................................ ii ABSTRAK ...................................................................................... iii KATA PENGANTAR ...................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xii I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang.......................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5 D. Kegunaan Penelitian ................................................................. 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Hutan........................................................... 7 1. Pengelolaan Hutan Konvensional & Permasalahan .......... 7 2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) ............ 9 B. Perkembangan Industri Perkayuan & Permasalahan Bahan Baku ........................................................................... 17 1. Kebijakan Industri Perkayuan ........................................... 17 2. Degradasi/Penurunan Potensi Hutan ................................ 20 3. Kesenjangan antara Pontensi Hutan & Kebutuhan Bahan Baku ...................................................................... 24 C. Pembangunan HTR .............................................................. 27 1. Konsep HTR ..................................................................... 27 2. Model Pembangunan HTR ............................................... 31 3. Permasalahan HTR .......................................................... 37 4. Rencana Pembangun HTR di Kabupaten Barru ............... 39 D. Kerangka Pikir ...................................................................... 42
  • 9. ix III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Peneltian .................................................. 45 B. Jenis dan Sumber Data ......................................................... 45 C. Populasi & Teknik Sampel ...................................................... 46 D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 47 E. Analisis Data .......................................................................... 47 1. Analisis Spasial ................................................................ 47 2. Analisis Kesesuain Lahan ................................................. 50 3. Skenario Pola HTR ........................................................... 51 F. Kerangka Penelitian ................................................................. 52 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Kawasan Hutan ...................................................................... 55 B. Hutan Tanaman Rakyat & Perkembangannya ....................... 56 C. Kondisi BIofisik Kawasan ....................................................... 56 1. Penutupan Lahan ............................................................. 56 2. Iklim .................................................................................. 57 3. Topografi .......................................................................... 60 4. Jenis Tanah ...................................................................... 61 5. Kondisi Geologi ................................................................ 61 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kesesuain Lokasi Pengembangan HTR ................................ 63 B. Penyusunan Kelas Kesesuian Lahan .................................... 66 1. Penyusunan Karekteristik Lahan ..................................... 66 2. Penyusunan Persyaratan Tumbuh .................................. 68 3. Kesesuain Lahan ............................................................. 68 C. Evaluasi Kondisi Eksisting HTR ............................................. 71 D. Skenario Pengembangan HTR .............................................. 74 1. Skenario Pesimis .............................................................. 76 2. Skenario Moderat .............................................................. 77 3. Skenario Optimis ............................................................... 77 E. Pengembangan Industri ........................................................ 80 1. Jenis Industri....................................................................... 80 2. Kapasitas Industri .............................................................. 82 3. Lokasi Industri – Tata Ruang Wilayah ................................. 83
  • 10. x F. Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat .................................... 86 1. Kelembagaan...................................................................... 86 2. Adaptibilty ........................................................................... 88 VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................ 91 B. Saran ..................................................................................... 92 DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 93 LAMPIRAN
  • 11. xi DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1. Pergeseran Konseptual Dari Paradigma Kehutanan Negara ke Kehutanan Masyarakat………...…………..…………………....... 11 2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru ….…………... 40 3. Luas Pencanagan & Izin HTR Kabupaten Barru…….…………. 41 4. Bobot Landuse terhadap HTR……………………………………. 48 5. Bobot Jarak Pemukiman terhadap HTR……………………….… 48 6. Bobot Kelas Lereng terhadap HTR………………………………. 49 7. Klasifikasi Kelas Kesesuian Pengembangan HTR……………... 50 8. Luas Kawasan Hutan dalam setiap Kecamatan………………... 55 9. Penggunaan Tanah………………………………………………... 59 10. Perensentase Kemiringan Lahan……………..………………….. 60 11. Persentase Ketinggian Lahan…………………………………….. 62 12. Jenis Tanah…………………………………………………………. 62 13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR………………………….. 64 14. Daftar jenis tanaman yang berpotensi dikembangkan…………. 69 15. Kesesuian Lahan HPT…………………………………………….. 69 16. Skenario Pembangunan HTR, melalui jenis Sengon & Jati…… 76 17. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Pesimis……... 78 18. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Moderat...…... 78 19. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Optimis……... 78 20. Perizinan Industri Primer Hasil Hutan Kayu…………………….. 82
  • 12. xii DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan.……………………... 26 2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru……………. 40 3. Kerangka Pikir…………………………………………………… 42 4. Kerangka Penelitian……………………...……………,………. 52 5. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru..….….…. 59 6. Histogram Hari Hujan Rata-Rata Bulanan……………………. 60 7. Kelembapan Udara Rata-Rata Bulanan……………..……..… 61 8. Peta Kelas Kesesuian Pengembangan HTR………………… 67 9. Peta Kesesuain Lahan HPT..…………..…………………...…. 70 10 Peta Kelas Kesesuain Pengembangan Terhadap Eksisting . HTR………………………………………………………….….… 73 11 Peta Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Barru...…… 85 12 Persentase Jawaban Responden……………………………... 89 .
  • 13. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 2007 Pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan telah menggiatkan program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Program pembangunan HTR merupakan kebijakan Pemerintah yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi (pro-growth). Kebijakan HTR memberikan akses lebih kepada masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Berdasarkan P.10/Menhut-II/2011, salah satu dari enam kebijakan prioritas pembangunan kehutanan tahun 2010-2014 adalah Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. Pemanfaatan hutan alam dalam memenuhi kebutuhan industri kehutanan saat ini sudah tidak dapat diharapkan lagi. Kondisi hutan alam yang terdegradasi akibat illegal logging dan kebakaran hutan, menyebabkan kurangnya suplai kayu untuk industri kehutanan dan pembangunan nasional secara kompleks. Pengembangan hutan tanaman, baik hutan tanaman industri maupun hutan tanaman rakyat merupakan salah satu cara pemenuhan
  • 14. kebutuhan industri kayu nasional agar tetap dapat berjalan dan tumbuh untuk masa kini dan masa yang akan datang. Permasalahan lainnya dalam pengelolaan hutan di Indonesia adalah rendahnya pendapatan masyarakat dari usaha kehutanan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran hutan rakyat dan hutan produksi yang dapat diakses oleh masyarakat melalui skema pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat, belum berfungsi secara optimal. Rendahnya pendapatan masyarakat melalui usaha kehutanan berdampak terhadap tingginya kegiatan konversi lahan hutan menjadi usaha non kehutanan. Selain itu kehidupan masyarakat desa sekitar hutan tidak bisa dipisahkan dengan hutan sebagai tempat menggantungkan hidupnya. Paradigma baru pembangunan pengelolaan kehutanan yang melibatkan masyarakat menjadi harapan baru untuk memecahkan permasalahan kehutanan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan mengindikasikan bahwa terdapat beberapa kendala terkait dengan implementasi program Hutan Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut antara lain meliputi, belum adanya kesepahaman bersama mengenai pentingnya HTR dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman 2
  • 15. rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten. Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya model pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi stakeholder terkait (Alif, dkk, 2010) Masalah lain yang cukup serius adalah masalah yang ditemukan pada Industri Kehutanan. Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam. Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan alam. Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat. Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri kehutanan adalah berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat proses management untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan ditingkat tapak. 3
  • 16. Kabupaten Barru memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan hutan tanaman rakyat, Berdasarkan data yang didapatkan di Dinas Kehutanan, Barru memiliki pontensi hutan produksi yang cukup besar dan dapat dikelolah dengan baik untuk kepentingan pengembangan HTR dan HTI yaitu sebesar 17.312 ha (Dishut Barru, 2012) Pada tahun 2010-2012 Kementerian Kehutanan telah mencanangkan pembangunan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh seluas 1.497 ha di Kabupaten Barru, yang terdiri dari 3 kecamatan, yaitu kecamatan Balusu, Kecamatan Barru dan Kecamatan Pujananting. Areal ini telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR) dari Bupati dan telah diverifikasi seluas 1.481 ha. Angka tersebut dipastikan akan naik, karena Dinas Kehutanan Barru pada pertengahan tahun 2013 kembali mengusulkan Pencangan HTR sebesar 14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, dengan model pengelolaan yang menggunakan skema mandiri. Dalam rangka mendukung kelancaran dan keberhasilan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat termaksud diatas, dibutuhkan suatu perencanaan yang bersifat komperhensif. Sehubungan dengan itu maka penelitian ini difokuskan pada upaya untuk mendesain pembangunan Hutan Tanaman Rakyat secara kompleks, guna mendukung optimalisasi pengelolaan hutan tanaman rakyat yang 4
  • 17. terintegrasi pada pola ruang, kesesuian lahan, pengelolaa/kelompok tani, pasar dan industri. 5 B. Rumusan Masalah Melihat hal diatas, Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat secara nasional dan perregion, termasuk di Kabupaten Barru terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun sedangkan riset dan pengembangan pengelolaan pada level pengelolaan HTR masih sangat minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia yang bangkrut karna sulitnya mendapatkan bahan baku pasokan kayu yang legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan kenapa riset ini penting untuk dilakukan, agar bagaimana mendesain pembagunan Hutan Tanaman Rakyat secara kompleks untuk menjawab beberapa gap kebutuhan Industri, Pengelolaah HTR, dan Pemda pada konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat yang terintegrasi pada pola ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri C. Tujuan Penlitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis dan menentukan tingkat kesesuaian lokasi untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru. 2. Menganalisis kesesuain lahan untuk jenis – jenis tanaman yang dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan Hutan Tanaman Rakyat
  • 18. 3. Mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan basis spasial yang terintegrasi dengan pola ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri. Desain tersebut meliputi areal-areal yang sesuai untuk dikembangkan, jenis-jenis tanaman, skenario pengelolaan, kelembagaan, serta jenis dan 6 lokasi industri. D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model rancangan pembangunan hutan Tanaman Rakyat yang secara kompleks dan terintegrasi dengan pola ruang, kesesuain lahan, pasar dan industri, sehingga diharapkan mendapatkan manfaat yang lebih dalam pembangunan kehutanan yang berbasiskan “suistanable forest management” pada suatu kabupaten.
  • 19. 7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Hutan 1. Pengelolaan Hutan Konvensional dan Permasalahannya Selama dua dasawarsa terakhir strategi pengusahaan hutan telah terbukti mampu memberikan peranan besar dalam pembangunan ekonomi, namun pembangunan ekonomi di sektor kehutanan yang selama ini dilakukan tidak memperhatikan aspek pelestarian terhadap lingkungan. Akibatnya terjadi bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Masih lemahnya komitmen lembaga-lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap kelestarian hutan semakin memperparah laju tingkat kerusakan hutan (Kartodihardjo, 2008). Masalah yang sangat kompleks pada hutan dan kehutanan di Indonesia sangat tinggi baik dari segi administrasi sampai pada proses implemntasi dilapangan, kurangnya pengetahuan mengenai dinamika hutan, serta dominasi kepentingan dan keuntungan jangka pendek, telah mengakibatkan kegagalan sebagian besar program penanaman kembali. Karena prosedur pembangunan kembali hutan tropis bekas tebangan belum dikembangkan dengan baik, maka badan kehutanan mengalami kesulitan untuk menetapkan dana reboisasi yang dengan tepat mencerminkan biaya penanaman kembali. Lebih
  • 20. lanjut, kebijakan perundang-undangan masa lalu hanya mempunyai sedikit pengaruh untuk memperbaiki manajemen pengusahaan kayu, seringkali disebabkan karena kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan kemampuan Departemen Kehutanan untuk melaksanakan perundang-undangan tersebut (Lahjie, 2003). Mengantisipasi permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya maka Lahjie (2003) sepakat dengan konsep pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan lestari lebih dikenal dengan istilah sustainable forest management. ITTO mendefinisikannya sebagai proses pengelolaan lahan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan menyangkut keseimbangan produksi dari hasil hutan dan jasa yang diinginkan serta tidak mendapatkan dampak buruk yang tidak diinginkan. Secara operasional, definisi tersebut mencakup unsur-unsur sebagai berikut : 1. Hasil yang berkesinambungan berupa hasil hutan kayu, hasil 8 hutan non kayu dan jasa pengelolaan hutan. 2. Mempertahankan tingkat biodiversitas yang tinggi dalam konteks perencanaan tata guna lahan integratif mencakup jaringan kerja kawasan lindung dan kawasan konservasi. 3. Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan penekanan pada pemeliharaan produktivitas tempat tumbuh (site
  • 21. productivity), menjaga sumber benih dan unsur biodiversitas hutan yang diperlukan untuk regenerasi dan pemeliharaan hutan. 4. Meningkatkan dampak positif pada kawasan hutan dan mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak yang merugikan. 5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan 9 dan berupaya menyelesaikan potensi konflik. 2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Pemanfaatan hutan menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 bertujuan memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Definisi tersebut memberikan kata kunci bagi pengelolaan hutan yaiitu konservasi dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan hutan harus memberikan manfaat bagi masyarakat yang berada pada kawasan hutan (Nadia, 2011). Dalam mewujudkan konservasi dan kesejahteraan masyarakat, diperlukan upaya bersama dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat menjadi konsep alternatif pengelolaan saat ini. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat sering kali disebut Community Based Forest management (CBFM). Menurut Supratman (2006), nilai inti pembangunan CBFM adalah ideologi dasar yang bersifat permanen tidak berubah menurut waktu, tempat, dan kondisi masyarakat di mana CBFM tersebut berlangsung. Nilai
  • 22. inti pembangunan CBFM dikonstruksi dari nilai-nilai kearifan masyarakat membangun dan mengelola hutan seperti nilai spiritual, modal sosial, prinsip hidup, inisiatif lokal pelayanan publik kehutanan oleh lembaga lokal, dan nilai manfaat ekonomi langsung. Nilai-nilai tersebut menyatu dalam suatu konsep nilai inti. Hingga saat ini perkembangan kebijakan pembangunan kehutanan terus didorong kearah CBFM. Pergerakan yang mendorong kearah kebutuhan paradigma baru kehutanan dapat dilihat dari gerakan kehutanan masyarakat oleh semua pihak, baik dari masyarakat, pemerintah, pemerhati lingkungan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Gerakan ini terlihat jelas dengan semakin banyak pemikiran-pemikiran dan berbagai konsep untuk mewujudkan CBFM menjadi dasar pembangunan kehutanan. Gerakan masyarakat dan LSM dalam mewacanakan sistem pengelolaan hutan masyarakat setempat dan penguatan hukum adat semakin mewarnai dorongan perubahan (Patiung, dkk, 2006). Awang (2001) mengatakan bahwa gagasan community forestry (CF) atau kehutanan masyarakat diyakini menjadi cara terbaik untuk membangun sumberdaya hutan. Dalam konteks Indonesia, kehutanan masyarakat diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok. Pengelolaan tersebut dilakukan pada lahan negara, lahan adat, atau lahan milik (individu atau keluarga), untuk memenuhi kebutuhan individu/rumah 10
  • 23. tangga dan masyarakat serta dapat dilakukan secara komersial ataupun non komersial (subsisten). Pengertian ini akan berimplikasi pada sistem pengelolaan hutan. Apabila dibandingkan karakteristik antara pengelolaan hutan yang state based dengan community based maka akan terlihat berbagai perubahan paradigmatik seperti yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini : Tabel 1. Pergeseran konseptual dari paradigma kehutanan negara 11 dengan kehutanan masyarakat. No. Kehutanan Negara (dari) Kehutanan Masyarakat (Menuju) A. SIKAP DAN ORIENTASI 1. Pengendalian Dukungan/fasilitasi 2. Penerima manfaat Mitra kerja 3. Pengguna Pengelola 4. Pembuatan keputusan uni lateral Partisipatif 5. Orientasi peneriman Orientasi sumberdaya 6. Keuntungan nasional Orientasi keadilan lokal 7. Diarahkan oleh negara Proses belajar/evolusi B. INSTITUSIONAL DAN ADMINISTRATIF 8. Sentralisasi Desentralisasi 9. Manajemen (perencanaan, pelaksanaan, monitoring) oleh pemerintah Kemitraan 10. Top down Partisipatif/negosiatif 11. Orientasi target Orientasi proses 12. Anggaran kaku untuk rencana kerja besar Anggaran fleksibel dengan rencana mikro
  • 24. 12 13. Aturan-aturan untuk menghukum Penyelesaian konflik C. METODA MANAJEMEN 14. Kaku Fleksibel 15. Tujuan tunggal Tujuan ganda/beragam 16. Keseragaman Keanekaragaman 17. Produk tunggal Produk beragam 18. Menu manajemen yang tetap dengan aturan silvikultur tunggal Beragam pilihan aturan silvikultur untuk spesifik lokasi 19. Tanaman Spesifik lokal 20. Tenaga kerja/buruh pengumpul Manajer/pelaksana/ pemroses/pemasar Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) merupakan alternatif pengembangan pengelolaan hutan ke depan. Di bawah ini terdapat 8 kriteria yang menyatakan pentingnya konsep PHBM dilaksanakan (Suwarno, 2011). a) Pendapatan Nasional Melalui PHBM pendapatan nasional dari sub sektor kehutanan akan meningkat secara nyata. Peningkatan terjadi karena pengaruh efek massal positif dari pengerahan sumberdaya manusia sekitar 40 juta orang dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, baik manfaat aktual maupun manfaat potensial. Manfaat aktual antara lain berupa kayu, hasil hutan non kayu dan jasa wisata sedangkan manfaat potensial antara lain berupa optimalisasi manfaat lahan untuk tanaman sela, pengembangan
  • 25. usaha lebah madu, ulat sutera, dan lain-lain. Peningkatan pendapatan masyarakat dari sub sektor kehutanan ini akan memberikan multiflier effect terhadap sektor ekonomi lainnya. 13 b) Pendapatan Negara Pendapatan negara dari sub sektor kehutanan akan diperoleh secara langsung dari usaha komersial bersama masyarakat (produksi kayu, getah, rotan, ekowisata, dll), dan secara tidak langsung diperoleh melalui pajak dan retribusi yang dikenakan kepada masyarakat. Program PHBM juga diharapkan bisa mengurangi kebocoran kas negara dengan memperkecil terjadinya praktek-praktek KKN dalam tata usaha kayu dan hasil hutan lainnya. c) Pemerataan Pendapatan dan Lapangan Kerja Dengan PHBM tidak ada lagi monopoli penguasaan hutan oleh segelintir orang. Masyarakat diharapkan tidak lagi hanya berstatus sebagai penonton atau buruh rendahan di negeri sendiri. Masyarakat diharapkan memperoleh hak-hak akses terhadap hutan, mampu menjadi tuan untuk mengatur dan memanfaatkannnya secara bertanggung jawab. Sekitar 40 juta jiwa bangsa Indonesia yang hidup di dalam kawasan hutan. PHBM akan memberikan prioritas lapangan kerja kepada orang-orang tersebut.
  • 26. 14 d) Kekuatan struktur ekonomi PHBM sejiwa dengan program ekonomi kerakyatan. Masyarakat Indonesia yang tinggal di dalam kawasan hutan umumnya masih berada dalam kontinum budaya meramu pertanian tradisional. Mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap flora dan fauna hutan, juga terhadap ketersediaan lahan garapan. Pola tersebut apabila bisa dicegah dari praktek-praktek destruktif, akan menjadi bagian dari basis struktur ekonomi nasional yang handal. e) Neraca Sumber Daya Alam Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dalam PHBM akan sangat dipengaruhi oleh kualitas institusi (kelembagaan) yang dibentuk. Institusi yang baik akan dapat menyeimbangkan unsur input dan output, sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. PHBM memiliki potensi yang lebih tinggi membentuk institusi pengelolaan hutan yang lebih baik dan kuat dibanding sistem lainnya yang telah ada saat ini. Dikatakan memiliki potensi yang lebih tinggi karena masyarakat hutan sejak dahulu telah mempunyai nilai-nilai kearifan tradisional berkaitan dengan alam. Saat ini kearifan tersebut sedang mengalami degradasi luar bisaa disebabkan ekspasi sistem ekonomi pasar. Tugas pemerintah adalah bagaimana menghidupkan kembali sistem
  • 27. pengelolaan berbasis kearifan tradisional ini dan diintegrasikan dengan ilmu pengetahuan modern. 15 f) Nilai Ekonomi Keragaman produk hasil hutan khas Indonesia, diyakini memiliki keunggulan komparatif di pasaran dunia. Keunggulan tersebut ada bukan karena polesan teknologi, melainkan kekhasan kualitas alamiahnya. Sebagai contoh, rotan Indonesia dikenal sebagai rotan berkualitas terbaik di dunia. Selain rotan, produk-produk seperti kayu jati dan getah damar menjadi ciri khas tersendiri karena negara lain jarang atau bahkan tidak bisa memproduksi produk tersebut. Keunggulan komparatif ini sangat ditentukan oleh kemampuan dan strategi kepemimpinan pemerintah. Bila PHBM mampu mengalihkan orientasi pemanfaatan hutan dari timber oriented menjadi pengambilan manfaat-manfaat lainnya (terutama hasil hutan non kayu) yang tidak merusak kelestarian ekosistem, maka multiproduk hutan ini sangat berpotensi untuk meningkatkan perolehan keuntungan dari hutan. Banyak jenis-jenis hasil hutan non kayu yang setiap unitnya memiliki nilai ekonomi jauh lebih tinggi daripada kayu, misalnya gaharu, madu, tanaman obat, rotan, dan lain-lain. Hal tersebut semakin baik bila kita mampu menciptakan bentuk-bentuk inovasi usaha yang semakin mempertinggi produktifitas hutan.
  • 28. 16 g) Kapasitas Lingkungan Hidup Ada kekhawatiran terhadap pengerahan massal sejumlah besar masyarakat kedalam hutan untuk mengelola dan memanfaatkan hutan bisa menimbulkan resiko kerusakan hutan. Namun di sisi lain apabila kita merefleksikan praktek-praktek di masa lalu, sesungguhnya masyarakat sekitar hutan telah memiliki nilai-nilai kearifan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dalam mengelola sumberdaya lingkungan. Oleh karena itu, pengaruh PHBM terhadap kapasitas lingkungan akan ditentukan oleh hidup tidaknya kembali kearifan lokal serta penerapan inovasi teknologi baru yang ramah lingkungan. h) Sumberdaya Genetik Generasi Mendatang Nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat mempunyai semacam pantangan untuk merusak sumberdaya lingkungan dengan semena-mena. Institusi sosial yang dibangun sesuai dengan karakteristik sumberdaya alam yang dikelola, akan memberikan perlindungan yang efektif terhadap sumberdaya alam itu sendiri. Pelanggaran oleh satu anggota masyarakat, akan mendatangkan sanksi sosial yang keras dari kesatuan anggota masyarakat yang lainnya. Ketika keanekaragaman sumberdaya hayati telah menjadi unsur yang disepakati untuk dilindungi, maka keberadaannya akan lebih terjamin untuk generasi di masa yang akan datang.
  • 29. 17 B. Perkembangan Industri Perkayuan dan Permasalahan Bahan Baku 1. Kebijakan Industri Perkayuan Pengelolaan sumber daya hutan secara lestari dan berkelanjutan merupakan kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk menjawab amanat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini diatribusi ke dalam UU No. 41 T ahun 1999 tentang Kehutanan, yang kemudian mengalami perubahan berdasarkan Perpu No. 1 T ahun 2004. Perpu ini kemudian disahkan sebagai UU No. 19 Tahun 2004. Dalam pasal 2 UU No. 41 T ahun 1999 disebutkan bahwa “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan“. Secara teoritis, dalam asas ini terlihat upaya pemerintah untuk mengimplementasikan 4 prinsip good governance dalam penyelenggaraan kehutanan guna menjamin dan melindungi serta mengamankan fungsi hutan (Forest Watch Indonesia, 2011). Selanjutnya pada masa orde baru, kewenangan perizinan industri pengelolahan kayu dikuasi oleh pemerintah pusat, dibawah kewenangan Departemen Perindustrian dan Pedagangan, Upaya mempercepat tumbuhnya industri pengelolaan kayu juga didukung
  • 30. dengan kemudahan birokrasi. Wujud sentratlistik tersebut ditegaskan dalam PP No.17 Tahun 1986 yang menyebutkan bahwa kewenangan industri berada ditangan presiden yang pelakasanaannya diserahkan kepada Menteri Perindustrian, serta tanggung jawab menteri-mentri lain sesuai dengan bidangnya (Greenomics Indonesia, 2004). PP No. 17 Tahun 1986 ditindaklanjuti dengan PP No.13 tahun 1987 tentang Izin Usaha Industri, yang mengatur ketentuan bahwa izin usaha industri merupakan kewenangan Manteri Perindustrian. Bentuk perizinan idnustri yang menjadi kewenangan Departemen Perindustrian tersebut terdiri dari izin tetap dan izin perluasan. Kewenangan Departemen Perindustrian tidak hanya mencakup kewenangan perizinan, namun juga diperluas dalam bentuk kewenangan pembinaan terhadap iklim usaha, sarana, usaha, dan produksi dari industri pengelolaan kayu. Selain pembinaan jufa dilakukan pengawsan terhadap perusahan industri yang telah mendapatkan izin usaha industri (Greenomics Indonesia, 2004). Pada tahun 1997, Menteri Perindustrian dan Perdagangan melimpahkan kewenangan perizinan dibidang industri dan perdagangan kepada Dirjen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, dengan pertimbangan untuk kelancaran proses perizinan bidang industri dan perdagangan. Pelimpahan kewenagan tersebut dituangkan dalam Kepmenperindag No. 255/MPP/Kep/7/1997. 18
  • 31. Menteri Kehutanan juga melimpahkan kewenangan dalam hal pelaksanaan kepemilikan dan keterkaitan HPH dengan industri pengelolaan kayu kepada Dirjen Pengusahaan Hutan, dengan pertimbangan untuk efisiensi dan mempercepat pelayanan (Greenomics Indonesia, 2004). Bentuk kewenangan yang diberikan kepada Direktur Jendral Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan meliputi kewenangan dalam pemberian izin, kewenangan menoloak permohonan, pemberian peringatam, pembekuan dan pencabutan izin industri (Greenomics Indonesia, 2004). Setelah rezim orde baru yang ditandai dengan lahirnya era otonomi daerah, memberikan dampak pada dimulainya proses desentralisasi kewenangan terkait dengan perizinan industri pengelolaan kayu. Pelimpahan sebagaian urusan dan kewenagan pusat kepada daerah yang diatur melalui UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 juga mencakup kewenangan perizinan industri pengelolaan kayu. Pada oktober 1999, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menetapkan pelimpahan kewenangann pemberian izin bidang industri dan perdaganan kepada Kabupaten/Kota dan Provinsi. Kewenangan tersebut mencakup kewenangan untuk memberikan peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin. Pembagian wewenang perizinan industri tersebut hanya 19
  • 32. berdasarkan nilai investrasi perusahaan industri yang bersangkutan, tanpa memperhatikan volume atau kapasitas produksi industri itu sendiri (Greenomics Indonesia, 2004). Izin usaha industri pengolahan kayu dapat diberikan kepada perorangan, perusahan, persekutuan atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia. Pelimpahan kewenangan pemberikan perizinan industri pengelolaan kayu tersebut mencakup industri penggergajian kayu, industri pengawetan kayu, industri kayu lapis, industri kayu lapis laminasi termasuk Decorative Plywood, industri panel kayu lainnya, industri venner dan industri moulding dan komponen bahan bangunan. Dengan adanya pelimpahan kewenangan perizinan industri pengelolaan kayu kepada pemerintah daerah, maka pemerintah pusat berperan dalam pembinaan industri. Kewenagan pembinaan berada pada Direktur Jendral Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan untuk perusahaan dengan nilai ivenstasi diatas 1 Milyar. Sedangkan untuk perusahaan industri dengan nilai investasi sampai dengan 1 milyar, kewenangan pembinaannya berada pada Direktur Jendral Industri Kecil dan Dagangan Kecil (Greenomics Indonesia, 2004). 20 2. Degradasi / Penurunan Potensi Hutan Berdasarkan hasil temuan Forest Watch Indonesia (2011), mengemukakan beberapa temuan-temuan terkait deradasi yang berimpact pada penurutunan potensi hutan sebagai berikut :
  • 33. Pertama, Laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009 adalah sebesar 1,51 juta ha/tahun, dengan laju deforestasi terbesar terjadi di Kalimantan yaitu sebesar 550.586,39 ha/tahun. Jika laju deforestasi tidak ditekan, diperkirakan pada tahun 2020 tutupan hutan di Jawa akan habis dan pada tahun 2030 tutupan hutan di Bali-Nusa T enggara juga akan habis. Kedua, Pada tahun 2003, sektor kehutanan memberikan sumbangan 1,09% terhadap produk domestik bruto, menurun menjadi 1,05 persen pada tahun berikutnya. Pada tahun 2008, kontribusi ini hanya 0,79 persen. Kecenderungan penurunan kontribusi ini menjadi pertanyaan mengingat pada rentang waktu yang relatif sama, produksi kayu bulat nasional justru meningkat drastis dalam jangka 4 tahun, yaitu dari 11,42 juta meter kubik pada tahun 2003 menjadi 31,49 juta meter kubik pada tahun 2007 dan meningkat lagi menjadi 31,98 juta meter kubik pada tahun 2008. Ketiga, kebijakan produksi kayu nasional selama ini menopang pengrusakan hutan alam Indonesia: a) Tingginya total produksi tahunan dari seluruh izin pemanfaatan kayu mengindikasikan adanya aktivitas pembukaan hutan alam setiap tahun dengan luasan yang berbading lurus b) Kebutuhan kawasan hutan untuk aktivitas di luar sektor 21 kehutanan, terutama perkebunan dan pertambangan
  • 34. c) Pemegang konsesi hutan tanaman industri banyak melakukan pemanenan terhadap kayu hutan alam secara besar-besaran dengan memanfatakan izin pemanfaatan kayu Keempat, berkurangnya luas areal kerja Hak Pengusahaan Hutan berjalan seiring dengan berkurangnya tutupan hutan. Pada tahun 2000, luas areal Hak Pengusahaan Hutan seluas 39, 16 juta ha, sedangkan tahun 2009 menurun menjadi 26,16 juta ha. Pada rentang waktu yang sama tutupan hutannya berkurang dari 22,01 juta ha menjadi 20,42 juta ha. Kelima, laju deforestasi di kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas yang dilakukan oleh perusahaan pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan antara lain disebabkan oleh: perusahaan tidak melakukan kewajiban silvikultur tebang pilih tanam Indonesia yang dipersyaratkan bagi unit manajemen Hak Pengusahaan Hutan, tidak mel akukan pengayaan, menyusun laporan realisasi fiktif, Laporan Hasil Cruising fiktif, tidak melakukan inventarisasi tegakan, tidak melakukan penataan batas secara lugas, menebang di luar areal kerja tahunan, menebang melebihi jatah tebangan, menerima hasil-hasil pembalakan liar. Forest Watch Indonesia (2011), juga menuliskan bahwa terjadi tekanan terhadap kawasan hutan secara tidak langsung dapat diakibatkan oleh kebijakan penataan ruang wilayah dan kawasan 22
  • 35. hutan. Mekanisme paduserasi tataguna hutan kesepaatan dengan rencana tata ruang wilayah Provinsi, tidak diikuti dengan aturan yang jelas dan tegas. Tidak ada mekanisme penyelesaian konflik kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemda dalam proses paduserasi. Akibatnya, meski belum melalui proses paduserasi, pemda kerap menjadikan Rencana Tata Ruang Wilayah. Ditambah lagi Kebijakan-kebijakan yang kontra produktif menjadi katalis perusakan hutan alam menjadi perkebunan terutama perkebunan sawit. Peraturan yang ada sebenarnya mengatur kriteria pelepasan untuk keperluan perkebunan dimana hutan yang dapat dilepaskan adalah HutanProduksi yang dapat dikonversi. Namun karena ketidakjelasan aturan, Hutan Produksi dapat dirubah menjadi Hutan Produksi Konversi yang tidak lama berselang dapat dilepaskan secara parsial menjadi perkebunan. Pada berbagai kasus, perusahaan tidak segan-segan untuk melakukan pembukaan lahan dengan membabat hutan tanpa izin pelepasan kawasan. Sektor pertambangan juga memberi tekanan yang besar terhadap kawasan hutan. Hingga tahun 2011 lebih dari 6.000 kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan hanya sekitar 200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan. Ketika legalitas dan legitimasi kawasan hutan 23
  • 36. diragukan , praktik-praktik ilegal pertambangan di kawasan hutan seolah tidak tersentuh oleh hukum (Forest Watch Indonesia, 2011). 3. Kesenjangan antara Potensi Hutan dan Kebutuhan Bahan Baku Memasuki abad 21, pembangunan kehutanan Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks dan bersifat multidimensional. Salah satu masalah yang cukup menonjol adalah masalah tidak seimbangnya antara pasokan kayu bulat terhadap permintaan bahan baku industri pengolahan kayu. Beberapa faktor dominan yang menyebabkan tidak seimbangnya antara pasokan dan permintaan kayu antara lain adalah menurunnya potensi produksi hutan alam yang diakibatkan oleh menyusutnya hutan perawan (virgin forest) dan meningkatnya luas areal bekas tebang (log over forest). Selain itu pasokan kayu bulat yang berasal dari hutan tanaman yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan (Prahasto & Nurfatriani 2001). Dalam konteks industrialisasi di Indonesia, industri kayu memiliki peluang untuk dapat dikembangkan, mengingat Indonesia memiliki keunggulan komparatif berupa tersedianya lahan yang luas untuk menyediakan bahan baku kayu sebagai sumber daya alam dari hutan tanaman. Industri kayu mempunyai potensi yang kuat dari sisi internal supply serta sebagai salah satu unsur dalam pilar industri agro. Namun demikian, perlu diingat bahwa ketersediaan 24
  • 37. sumberdaya alam seringkali terbatas meskipun sumber daya tersebut termasuk yang dapat diperbaharui (Clawson & Sedjo, 1982) mengingatkan bahwa ketersediaan sumber daya hutan dan jaminan manfaat jangka panjang tergantung pada tindakan saat ini dan yang akan datang. Permasalahan utama industri perkayuan adalah terjadinya penurunan produksi kayu yang diambil dari hutan, sehingga terjadi kekurangan pasokan bahan baku bagi industri. Akibat kesenjangan supply dan demand yang paling ekstrim adalah berhentinya operasi industri kayu. Dampak terjadinya penurunan pasokan terhadap ekonomi nasional dapat dilihat dari adanya kecenderungan menurunnya kontribusi kehutanan yang tercermin dari menurunnya nilai PDB sektor kehutanan (Gambar 1). Departemen Perindustrian (2005) juga mencatat. bahwa penurunan ekspor barang-barang kayu pada periode tahun 2001 – 2005 sebesar 1,7%. Sedangkan Kebutuhan industri perkayuan Indonesia diperkirakan 70 juta meter kubik per tahun dengan kenaikan rata-rata sebesar 14,2%/tahun (Pryono, 2001). Untuk produksi kayu bulat sendiri diperkirakan hanya sebesar 25 juta meter kubik per tahun atau dengan kata lain terjadi defisit sebesar 45 juta meter kubik. Hal ini menujukkan bahwa sebenarnya daya dukung hutan sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan kayu (Setyawati, 2003). 25
  • 38. 26 Gambar 1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan Menyikapi kondisi ini industri perkayuan harus memiliki strategi yang tepat dalam menjaga kelanjutan proses produksinya ditengah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Industri perkayuan harus dapat mempertahankan kondisi dimana bahan baku kayu bulat tetap dalam kondisi yang stabil khususnya dari segi jumlah. Jika persediaan bahan baku kayu bulat terlalu besar maka industri akan mengalami kerugian, demikian pula jika persediaan bahan baku dalam jumlah yang lebih kecil dari kapasitas mesin maka industri juga akan mengalami kerugian. Agar proses produksi dapat berlangsung secara berkesinambungan, maka industri harus dapat memperkirakan seberapa besar kebutuhan
  • 39. bahan baku kayu bulat yang diperlukan di masa yang akan datang (Makarennu dkk, 2009) 27 C. Pembangunan HTR sebagai salah satu Model PHBM 1. Konsep HTR Hutan tanaman rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan pasar dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan program HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi permintaan bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010). Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda revitalisasi pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas Sektor Kehutanan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat setempat sehingga sektor kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup, mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada areal sekitar hutan (Emila dan Suwito, 2007).
  • 40. HTR berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.23/Menhut-II/2007 adalah hutan tanaman yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Dengan kata lain HTR adalah kegiatan rehabilitasi Hutan Produksi yang dilaksanakan oleh masyarakat baik perorangan maupun koperasi untuk kelestarian sumber daya hutan, di mana masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi dari apa yang ditanamnya untuk peningkatan kesejahteraan. Kawasan hutan yang dapat dijadikan lokasi pembangunan HTR adalah Hutan Produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak (ijin) serta telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai lokasi HTR dengan luasan 15 Ha tiap Kepala Keluarga (KK) atau sesuai kemampuan untuk koperasi. Lokasi HTR diutamakan berada dekat dengan industri hasil hutan untuk memudahkan pemasaran. Pengembangan HTR juga biasanya dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai varietas tanaman pokok. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari tanaman budidaya tahunan selama masa menunggu waktu penebangan kayu, di samping hasil tambahan lain melalui kegiatan tumpang sari tanaman hortikultura/palawija. Prosentase komposisi jenis tanaman untuk pembangunan HTR yang menggunakan 28
  • 41. tanaman pokok berbagai jenis ditetapkan sebagai berikut: tanaman hutan berkayu ± 70%, tanaman budidaya tahunan berkayu ± 30%. (Pemegang ijin dapat melakukan kegiatan tumpangsari tanaman budidaya musiman/palawija diantara tanaman pokok sampai dengan 2–3 tahun). Pengaturan letak komposisi jenis tanaman pokok disesuaikan dengan jarak tanam, kesesuaian persyaratan tempat tumbuh dan kondisi fisiografi lapangan. Di samping tanaman pokok, pada batas areal kerja atau batas antar blok/ petak tanaman pokok dapat dikembangkan jenis-jenis tanaman lain yang dapat berfungsi sebagai tanaman tepi yaitu berupa tanaman pagar, tanaman sekat bakar, tanaman pelindung dan tanaman kehidupan (Prijono, 2010). Alif, dkk (2010) mengatakan bahwa peraturan mengenai hutan rakyat kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman yang mengalami revisi pada tahun 2008 melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.5/Menhut-II/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.23/Menhut-II/2007. Adapun aturan-aturan lanjutan mengenai hutan tanaman rakyat lebih rinci dan dilengkapi oleh beberapa Peraturan Menteri Kehutanan dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan : 29
  • 42. 1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. 2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat. 3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2009 tentang Standart Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat. 4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat. 5. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. 6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan P.06/VI-BPHT/ 2008 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Berdasarkan pembelajaran terhadap beberapa program pemberdayaan masyarakat sebelumnya, Emila dan Suwito (2007) 30
  • 43. menyimpulkan bahwa HTR harus dijalankan dengan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat yaitu : a. Masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan kebutuhannya ( people organized themselves based on their necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat “kebergantungan” masyarakat. b. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya (labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab. c. Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi dan premanisme pasar 31 2. Model Pembagunan HTR Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta pada wilayah zona inti dan zona rimba taman nasional. Pemanfaatan hutan dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi
  • 44. kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya baik kelestarian lingkungan (ekologi), maupun kelestarian fungsi produksi dan fungsi sosialnya. Pemanfaatan setiap fungsi hutan adalah sebagai berikut (Malamassam, 2009) : 1. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan hutan produksi hanya bisa dilakukan oleh pihak yang memiliki ijin, seperti ijin usaha pemanfaatan kawasan hutan (IUPKH), izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK), atau ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. 2. Pemanfaatan hutan lindung juga dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (yang tidak mengganggu fungsi pokok). Dengan demikian, pemanfaatan hutan lindung hanya dapat dilaksanakan oleh pihak yang memiliki ijin usaha pemanfaatan kawasan hutan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan ijin pemungutan hasil hutan bukan kayu. 32
  • 45. 3. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan kehutanan seharusnya mengikuti paradigma baru pembangunan kehutanan yang menekankan pada konsep manajemen hutan lestari dan berbasis pada masyarakat. Soedirman (1995) mengatakan bahwa pengelolaan hutan secara lestari adalah proses pengelolaan areal hutan permanen untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang telah ditentukan dengan berdasarkan kontinuitas produksi dan manfaat lainyang diinginkan, tanpa mengakibatkan kemunduran nilai produktivitas hutan di masa dating dan timbulnya akibat yang diharapkan pada komponen fisik dan lingkungan sosialnya. Selain itu Alam (2011) mengungkapkan betapa pentingnya konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dimuat melalui kehutanan masyarakat. Kehutanan masyarakat (community forestry) merupakan suatu konsep pengelolaan hutan yang menempatkan masyarakat sekitar hutan sebagai pelaku utama dalam mengelola sumberdaya hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan melestarikan fungsi hutan. Pemanfaatan dan penggunaan hutan oleh masyarakat selama ini, umumnya masih tergolong kegiatan yang bersifat illegal dan cenderung merusak hutan. Selain itu, sebagian warga masyarakat 33
  • 46. cenderung mengkonversi lahan hutan menjadi lahan usaha komoditi pangan/ perkebunan umumnya belum mengusahakan komoditi kehutanan. Bentuk pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat umumnya hanya berupa kegiatan pemungutan kayu, hasil hutan non kayu dan pemanfaatan kawasan hutan untuk tanaman pangan/perkebunan. Mereka pada dasarnya belum mengusahakan komoditas kehutanan dan karena itu pula maka kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan belum dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dan belum berorientasi pada upaya pelestarian fungsi hutan.oleh karena itu diperlukan sebuah model yang membangun hutan lestari dan dikelola oleh masyarakat sekitar hutan (Alam, 2011). Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istila sebab akibat. Oleh karena suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji (Eriyatno, 2003). Eriyatno (2003) mengklasifikasikan model, Klasifikasi perbedaan dari model dapat memberikan pendalaman pada tingkat kepentingannya, karena dapat dijelaskan dalam banyak cara. Model 34
  • 47. dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Kategori umum adalah jenis model yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi : 1. Model ikonik (model fisik) Model ikonik adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik mempunyai karakteristik yang sama dengan hal yang diwakili, dan terutama amat sesuai untuk menerangkan kejadian pada waktu yang spesifik. Model ikonik dapat berdimensi dua (foto, peta, cetak biru) atau tiga dimensi (prototip mesin, alat). Apabila model berdimensi lebih dari tiga maka tidak mungkin lagi dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model simbolik. 35 2. Model analog (model diagramatik) Model analog dapat mewakili situasi dinamik, yaitu pada keadaan berubah menurut waktu. Model ini lebih sering dipakai daripada model ikonik karena kemampuannya untuk mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model analog banyak berkesesuaian dengan penjabaran hubungan kuantitatif antara sifat dan klas-klas yang berbeda. Dengan melalui transformasi sifat menjadi analognya, makakemampuan untuk membuat perubahan dapat ditingkatkan. Contoh dari model analog ini adalah kurva permintaan, kurva
  • 48. distribusi frekuensi pada statistik dan diagram alir. Model analog dipakai karena kesederhanaan namun efektif pada situasi yang khas seperti pada proses pengendalian mutu industri (Operating Characteristic Curve). 36 3. Model simbolik (model matematik) Pada hakekatnya, ilmu sistem memusatkan perhatian pada model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji. Format model simbolik dapat berupa bentuk angka, simbol dan rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu persamaan. Terdapat beberapa hal/informasi yang perlu diperhatikan dalam rangka pembentukan unit pengelolaan hutan, sebagai unit pengelolaan hutan terkecil pada hamparan lahan hutan, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal atau informasi termaksud adalah sebagai berikut (Malamassam, 2009) : 1. Karakteristik lahan 2. Tipe hutan 3. Fungsi hutan 4. Kondisi daerah aliran sungan (DAS) 5. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan 6. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat
  • 49. 37 7. Batas administrasi pemerintahan 8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan 9. Batas alam dan atau buatan yang bersifat permanen 10. Penggunaan lahan 3. Permasalahan HTR Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa ada beberapa kendala terkait implementasi program Hutan Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut mulai dari kesepahaman bersama mengenai pentingnya HTR dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan perekonomian daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten. Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya model pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi stakeholder terkait (Alif, dkk, 2010) Masalah lainya adalah masalah yang ditemukan pada Industri Kehutanan. berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam.
  • 50. Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan alam. Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat. Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri kehutanan adalah berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat proses management untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan ditingkat tapak. 4. Rencana Pembangunan HTR di Sulsel dan Khususnya di 38 Kabupaten Barru Pada kasus pengembangunan HTR di Kabupaten Barru, Barru memiliki pontensi yang cukup besar untuk pengembangan hutan tanaman rakyat, dari data yang didapatkan di dinas kehutanan Kabupaten Barru sendiri memiliki potensi hutan produksi yang cukup besar dan dapat dikelolah baik untuk pengembangan HTR dan HTI yaitu sebesar 17.312 ha (Tabel. 2)
  • 51. Data tahun 2010-2012 dikabupaten barru sendiri telah dilakukan pencanangan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh Kementiran Kehutanan seluas 1.497 ha yang terdiri dari 3 kecamatan (lihat Tabel 3). Sedangkan yang telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR) Kayu dari Bupati dan telah diverifikasi oleh sebesar 1.481 ha. Pada tahun pertengan tahun 2013 angka tersebut naik, menurut Dinas Kehutanan Barru pertengahan tahun ini dinas kehutanan kembali mengusulkan Pencangan HTR sebesar 14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, model pengelolaannya pun menggunakan skema mandiri. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa potensi Hutan Produksi yang telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR) sebesar 1.481 ha yang berarti masih ada 1.147 ha yang sudah di canangkan akan melakukan pengusulan izin dan 14.000 ha sedang dalam pengusulan pencangan di kementerian kehutanan. 39
  • 52. Tabel 2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Kabupaten Barru 40 Kecamatan Desa Hutan Produksi Luas (ha) Balusu Balusu 800.90 Binuang 1,029.70 Kamiri 2,782.58 Takkalasi 49.35 Total 4,662.54 Barru Galung 1,729.11 Mangempang 2.97 Sepee 482.93 Siawung 217.52 Tompo 302.18 Total 2,734.72 Mallusetasi Manuba 21.17 Nepo 7.01 Total 28.18 Pujananting Bacu-bacu 2,479.50 Gattareng 267.61 Pattappa 1,720.84 Pujananting 390.08 Total 4,858.03 Soppeng Riaja Ajakkang 343.25 Paccekke 763.74 Total 1,106.98 Tanete Riaja Harapan 1,733.74 Libureng 94.30 Lompo Riaja 723.30 Mattirowalie 1,370.66 Total 3,922.00 Grand Total 17,312.45 Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Barru 2013
  • 53. 41 Tabel 3. Luas Pencanangan & Izin HTR di Kabupaten Barru KECAMATAN DESA HPT (ha) PENCAN DANGA N HTR Usulan Izin Kelompok LUAS (ha) Kelompok LUAS (ha) Ballusu Kammiri 2,782 1.273 KTH Semangat 258 KTH Semangat 251 KTH Coppo Barraming 299 KTH Coppo Barraming 312 Balusu 800 800 KTH Bolong Ringgi 300 KTH Bolong Ringgi 274 KTH Jempo Salo 200 KTH Jempo Salo 200 Barru Galung 1,729 170 KTH Samuddae 170 KTH Samudae 170 Sepee 482 115 KTH Deae 155 KTH Deae 66 Pujananting Bacu-bacu 2,479 411 KTH Padang Pobbo 270 KTH Padang Pobbo 208 Jumlah 8,272 1,497 1,652 1,481 Sumber : Dinas Kehutanan Barru 2012 Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat secara nasional dan per region seperti halnya kabupaten barru terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun tetapi riset dan pengembangan pengelolaann dilevel masyarakat masih sangat minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia yang gulung tikar atau bangkurt karna sulitnya mendapatkan bahan pasokan kayu yang legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan kenapa riset ini penting untuk dilakukan, untuk menjadikan justifikasi pengelolaan hutan tanaman rakyat dilakukan dengan menajemen yang kompleks mempertimbangakan beberapa aspek seperti pola ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri, sehingga dapat memberikan jaminan kepada masyarakat, pemerintah daerah, Industri dan hutan akan kebutuhan setiap stakholder dapat terpenuhi.
  • 54. 42 5. Kerangka Pikir Pengelolaan Hutan Industri Kehutanan Pembangunan HTR Penyusutan Bahan Baku Pontensi Produksi Kayu Desain Pembangunan HTR Gambar 2. Kerangka Pikir Pada kerangka pikir (Gambar 2), maksud yang melatar belakangi penelitian ini jika dilihat secara makro ialahpengelolaan hutan dari dua bagian; Pertama sektor industri yang berada pada hilir, yang mengelola hasil kayu dari hutan dan sektor Hutan Tanaman Rakyat yang berada di daerah hulu yang memproduksi kayu dari hutan produksi. Dari penjelasan tinjauan pustaka, bahwa sektor industri mempunyai masalah yang cukup penting dalam perkembangannya
  • 55. saat ini. Hal tersebut ditandai dengan penurunan produksi kayu sehingga terjadi kekurangan pasokan bahan baku bagi industri. Akibat dari kesenjangan supply dan demand yang paling ekstrim adalah berhentinya operasi industri kayu. Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam. Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan alam. Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat. Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri kehutanan ialah bahan baku yang berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat proses menejemen untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan ditingkat tapak. 43
  • 56. Disatu sisi pembangunan HTR terus dilakukan oleh pemerintah, hal tersebut terkait dengan program pemerintah sebagai upaya dalam melakukan pengentasan kemiskinan (pro-poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro-job), dan memperbaiki kualitas pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi (pro-growth). Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda revitalisasi pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas sektor kehutanan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat sehingga sektor kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup, mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada areal sekitar hutan (Emila dan Suwito, 2007). Maka dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan pasar dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan program HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi permintaan bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010). Hal tersebutlah yang mendorong penelitian ini untuk Mendesain Pembangunan Hutan Tanaman rakyat yang lebih kompleks 44
  • 57. 45 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini mencoba meddesain pembangunan hutan tanaman rakyat dengan mengintegrasikan dengan pola ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri berbasis spasial. Waktu pelaksanaan penelitian berlangsung dari bulan Maret 2014 hingga bulan Juni 2014. Penelitian dilaksanakan melalui 3 tahap yaitu, (1) Penelitian pendahuluan (2) Pengambilan data lapangan & data skunder, (3) Rancangan Desain dan Rekomendasi. B. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi pada areal kawasan hutan kabupaten barru dan wawancara langsung dengan petani hutan pemegang IUPHHK-HTR dan masyarakat sekitar hutan, dinas kehutanan kabupaten Barru, penyuluh kehutanan dan lembaga pendamping lokal. Data primer termaksud antara lain meliputi jenis tanaman yang diminati dan ditanam masyarakat, dan model pengelolaan HTR. Data sekunder diperoleh dari berbagai hasil penelitian, literatur buku, data-data dari instansi terkait, dan informasi lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Data sekunder termaksud berupa kondisi umum
  • 58. wilayah sekitar hutan seperti : sejarah kawasan, kondisi biofisik kawasan, dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Data sekunder lainnya berupa informasi dan data lainnya yang mendukung kegiatan penelitian serta bahan pustaka yang dijadikan bahan referensi landasan teori. 46 C. Populasi dan Teknik Sampel Populasi dalam penelitian ini berupa : 1. Kawasan Hutan Produksi seluas 17.312 ha di Kabupaten Barru 2. Masyarakat pengelola hutan tanaman rakyat yang telah mendapatkan izin, pengusulan dan masyarakat yang menggantungkan langsung hidupnya pada sekitar hutan. 3. Industri pengolah kayu yang berada di sekitar kawasan pengelolaan hutan tanaman rakyat 4. Dinas kehutanan Kabupaten Barru serta dinas pertanian dan perkebunan Kabupaten Barru. Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Pengambilan sampel kawasan dan masyarakat dilakukan dengan menggunakan purposive sampling, yaitu memilih individu pewakil kelompok HTR yang telah mendapatkan izin, yang terdiri dari ketua kelompok, sekertaris dan anggota kelompok. 2. Pengambilan responden dilingkungan dinas kehutanan dan penyuluh kehutanan dilakukan dengan memilih sebagian anggota populasi yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
  • 59. 47 D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data primer : 1. Kondisi Biofisik Kawasan diperoleh melalui analisis spasial dan survei lapangan. 2. Pengelola izin HTR yang sudah ada, Kelompok tani yang dalam pengusulan dan masyakat sekitar hutan yang bergantung pada hasil hutan kayu, sebanyak 45 responden diwawancarai secara langsung dengan pendekatan partisipatif. Data yang diperoleh berupa kondisi sosial ekonomi masyarakat. 3. Dinas kehutanan dan penyuluh diwawancarai secara langsung. Data yang diperoleh berupa peran dan fungsi instansi terkait dalam pengelolaan HTR serta perencanaan pengelolaan instansi terkait kawasan penelitian. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, dengan mengutip terhadap bahan referensi yang menunjang penelitian. Data sekunder dijadikan bahan pendukung dan sebagai landasan teori bagi penelitian. E. Analisis Data Analisis dalam rangka pembuatan desain pembangunan hutan tanaman rakyat Kabupaten Barru dilakukan sebagai berikut : 1. Analisis Spasial Analsis ini digunakan untuk mengekstraksi lokasi hutan di wilayah penelitian yang sesuai untuk pengembangan HTR melalui variabel
  • 60. penggunaan lahan, jarak hutan dari lokasi pemukiman, dan kelerengan. Dari ketiga variabel tersebut dilakukan pembobotan dengan skala Likert, seperti yang tertera berturut-turut pada Tabel 4, Tabel 5 dan Tabel 6. 48 Tabel 4. Bobot Landuse terhadap HTR No. Landuse Bobot 1 Semak Belukar 4 2 Kebun dan Tegalan 2 3 Hutan 0 Pada Tabel 4 bagian kawasan yang berpenutupan semak belukar diberi bobot tertinggi atau 4 karena bagian ini merupakan areal – areal bekas ladang yang telah lama ditinggalkan oleh pemilik/penggarapnya, disisi lain semak belukar juga lebih mudah dikonversi ke tanaman kayu dibanding kebun atau tegalan yang telah ditumbuhi tanaman masyarakat, sehingga kebun dan tegalan diberi bobot lebih yakni sebesar 2. Sedangkan bagian kawasan yang berpenutupan Hutan diberi bobot terendah atau 0 karena bagian ini harus tetap dipertahankan keberadaannya atau pada bagian ini tidak perlu dilakukan pembangunan HTR. Tabel 5. Bobot Jarak Pemukiman terhadap HTR No. Jarak Pemukiman Bobot 1 < 1 km 4 2 2 km 3 3 3 km 2 4 > 4 km 1
  • 61. Pada Tabel 5, indikator aksesibilitas lokasi HTR yang dimaksudkan adalah jarak lokasi HTR ke lokasi pemukiman terdekat, dengan asumsi bahwa kondisi jalan dan sarana angkutan pada semua lokasi adalah sama. Jarak pemukiman terdekat ke areal calon lokasi HTR diberi bobot 4 (bobot tertinggi), dan sebaliknya pada jarak terjauh diberi bobot terendah atau 1. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa semakin dekat jarak lokasi HTR terhadap pemukiman maka akan semakin mudah bagi masyarakat mencapai ke lokasi HTR yang bersangkutan. 49 Tabel 6. Bobot Kelas Lereng terhadap HTR No. Kelas Lereng Bobot 1 0-8 % 4 2 8-15% 3 3 15-25% 2 4 25- 45% 1 5 >45% 0 Pada Tabel 6 diperlihatkan bahwa kelas lereng 0-8% diberi nilai bobot 4 atau nilai tertinggi karena dengan kelas lereng tersebut tergolong datar dan lebih menguntungkan dalam pengelolaan HTR daripada lokasi yang memiliki kelerengan yang terjal. Berbeda halnya dengan kelas lereng >25% yang tergolong curam sampai sangat curam, hal tersebut membuat pengelolaan HTR jauh lebih sulit dibanding kelas datar dan landai. Kelas lereng berpengaruh terhadap erosi, dimana kelerengan yang lebih besar potensial menyebabkan erosi yang juga lebih besar.
  • 62. Berdasarkan hasil pembobotan dari ketiga variabel tersebut diatas maka disusun kategori kelas kesesuain lahan di wilayah Kabupaten Barru untuk pembangunan HTR seperti yang tertera pada tabel 7. 50 Tabel 7. Klasifikasi Kelas Kesesuain Pengembangan HTR No. Klasifikasi Tot. Bobot 1 Sesuai 9 -12 2 Agak Sesuai 5 - 8 3 Kurang Sesuai 1 - 4 2. Analisis Kesesuain Lahan Setelah mendapatkan hasil ektraksi areal kawasan hutan yang sesuai untuk pengembangan HTR dari beberapa variabel, maka analsis kesesuain lahan dilakukan untuk menentukan jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk dikembangkan pada areal kawasan hutan tersebut. Proses penyusunan arahan penggunaan lahan untuk kebutuhan HTR dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut:  Penyusunan karakteristik lahan  Penyusunan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan (LURs)  Proses evaluasi kesesuaian lahan (Matching )Kesesuaian lahan
  • 63. 51 3. Skenario Pola HTR Sebelumnya telah didapatkan lokasi pembangunan HTR dengan jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk dikembangkan pada areal tertentu. Tahapan ini selanjutnya dilakukan simulasi pada luas areal pemanfaatan yang akan dikembangkan, rotasi (tergantung jenis tanamanya), dan produksi (m3/thn), kualitas tempat tumbuh atau bonita dan luas penanaman. Dari hal tersebut diperoleh gambaran tentang potensi kayu, kontinyuitas, dan kuantitas potensi tegakan dalam pembangunan HTR dalam wilayah penelitian
  • 64. 52 F. Kerangka Penelitian Wilayah/Areal Kabupaten Arahan Pola Kesusainya HTR pada setiap Unit Lahan Jenis-Jenis Kesesuain Lahan tanaman kayu : 1. Sengon 2. Jabon 3. Jati Hasil evaluasi Kelas kesesuaian lahan tanaman Hutan untuk Kebutuhan Bahan Baku Industri Gambar 3. Kerangka Penelitian Karekteristik - Landuse - Jarak Pemukiman Overlay & Analisis Faktor Biofisik - Kelerengan - Fungsi Hutan Ekstraksi Wilayah Penelitan yang Mendukung Hutan Tanaman Rakyat Parameter : 1. Jenis Tanah 2. Curah Hujan 3. Ketinggian Potensi Bahan Baku (jarak tanam, jenis, rotasi) & Jenis Industri Yang Sesuai Rekomendasi Desain Pembanguan HTR dalam Suatu Kabupaten
  • 65. Langkah pertama pada penelitian ini seperti Gambar 3 diatas, adalah Ekstraksi wilayah penelitian yang mendukung HTR, maksud dari hal tersebut memisahkan areal penelitian sesuai dengan kebijakan HTR yang berada hanya pada hutan produksi. Dari beberapa fungsi kawasan hutan yang ada di Kabupaten Barru, hanya hutan produksi yang diambil sebagai fokus penelitian. Dari hal tersebut kemudian setiap unit lahan pada peta klas lereng, peta fungsi hutan, peta landuse, dan buffer jarak pemukiman masing-masing diberikan bobot menggunakan skala likert. Dari pembobotan tersebut bobot tertinggi diberikan pada unit-unit lahan yang mendukung pada pengembangan HTR, misalnya klas lereng yang landai diberi bobot tinggi dan berbanding terbalik dengan klas lereng curam. Dari hasil pembobotan tersebut dibuat 3 klas dari bobot tersebut masing-masing 53 klas sesuai, agak sesuai, tidak sesuai. Tahap selanjutnya membuat klas kesesuain lahan terhadap jenis-jenis tumbuhan yang ingin dikembangkan. Hal ini dimulai dengan penyusunan krakteristik lahan dengan cara penetapan satuan peta lahan (SPL). Dari hal tersebut kemudian dilakukan matching dengan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan (LURs). Outputnya adalah peta kesesuain lahan untuk kebutuhan tanaman HTR. Setelah matching antara syarat tumbuh dan satuan peta lahan maka didapatkan tanaman yang akan direkomendasikan dan ditanam. Dari hal tersebut dilakukan skenario terhadap jarak tanam, jenis tanaman,
  • 66. rotasi dan luas yang kemudian akan dikembangkan. Hal tersebut akan dapat memproyeksi berapa kuantitas dan kontinyuitas kayu yang akan dihasilkan dari areal tersebut. Dari data tersebut juga akan dapat menggambarkan industri apa yang cocok dikembangkan berdasarkan hasil pengembangan, jika skenario tersebut dijalankan. Penempatan industri juga diperhitungkan apabila memang layak secara pemenuhan bahan baku, karena penempatan industri akan mengikuti pola ruang yang berada di Kabupaten Barru. 54
  • 67. 55 BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Kawasan Hutan Kawasan Hutan Kabupaten Barru berdasarkan fungsinya dapat dibedakan atas Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi. Luas Kawasan Hutan Kabupaten Barru bardasarkan SK Menhut No. 434 Tahun 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Propinsi Sulawesi Selatan dan Perda No. 09 Tahun 2009 Tentang RTRW Propinsi Sulawesi Selatan adalah 68.179,99 ha yang terdiri dari :  Hutan Lindung : 51.266,03 ha  Hutan Produksi Terbatas : 16.913,96 ha Secara detail sebaran kawasan hutan pada tujuh kecamatan yang berada di Babupaten Barru, dapat Tabel 8. Tabel 8. Luas Kawasan Hutan dalam setiap Kecamatan di Kabupaten Barru Tahun 2012. No. Kecamatan Jenis Hutan Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Jumlah Luas (Ha) 1. Pujananting 19.447,25 4.858,08 23.601,99 2. Tanete Riaja 3.499,65 3.922,82 8.142,47 3. Tanete Rilau 2.164,09 - 2.164,09 4. Barru 6.978,28 2.734,72 10.135,96 5. Balusu 1.649,38 4.662,54 5.996.60 6. Soppeng Riaja 1.526,84 1.106,98 2.464,76 7. Mallusetasi 16.000,54 28,18 16.137,68 JUMLAH 51.266,03 17.312,45 68.179,99 Sumber : Dinas Kehutanan Tahun 2013.
  • 68. 56 B. Hutan Tanaman Rakyat & Perkembangannya Barru memiliki pontensi yang cukup besar untuk pengembangan hutan tanaman rakyat, dari data yang didapatkan di dinas kehutanan Kabupaten Barru sendiri memiliki potensi hutan produksi yang cukup besar dan dapat dikelolah dengan baik untuk pengembangan HTR yaitu sebesar 17.312 ha, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 8. Pada tahun 2010-2013 Kementerian Kehutanan telah melakukan pencanangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Kabupaten Barru seluas 1.497 ha, yang meliputi 3 kecamatan (llihat pada Tabel 3). Sedangkan yang telah mendapatkan izin usaha pemanfatan hasil hutan kayu (IUPHHK HTR) dari Bupati dan telah diverifikasi adalah seluas 1.481 ha (llihat pada Tabel 3). Pada pertengahan tahun 2013 Dinas Kehutanan kembali mengusulkan areal pencadangan HTR sebesar 14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, dengan model pengelolaan yang menggunakan skema mandiri. C. Kondisi Biofisik Kawasan 1. Penutupan lahan Luas Kawasan Hutan Kabupaten Barru, berdasarkan SK Menhut No. 434 Tahun 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Propinsi Sulawesi Selatan serta Perda No. 09 Tahun 2009 Tentang RTRW Propinsi Sulawesi Selatan adalah sebesar 68.179,99 ha atau 58,04% dari total luas wilayah Kabupaten
  • 69. Barru dengan rincian Kawasan Hutan Lindung seluas 51.266,03 ha dan Kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 16.913,96 ha. Wilayah Kabupaten Barru yang masih berpenutupan vegetasi berupa hutan (berhutan) adalah seluas 16.377,00 Ha dan yang bukan berupa hutan (non hutan) adalah seluas 100.648,00 ha (terdapat 1.867,00 ha tertutup awan). Kawasan hutan di Kabupaten Barru telah ditata batas 100 % pada tahun 1997/1998 dengan panjang batas luar sebesar 554,12 km. Tata batas fungsi hutan lindung/hutan produksi terbatas tahun 2000 dengan panjang tata batas 31,23 km. Pola tata guna hutan di kawasan hutan ini selain terdiri dari kawasan hutan lindung, dan hutan produksi terbatas juga terdapat kawasan budidaya, yang terdiri dari sawah dan lahan kering. Luas dan sebaran kawasan budidaya dapat dilihat pada Tabel 9. 57 2. Iklim Berdasarkan pembagian tipe iklim dengan metoda zone agroklimatologi yang menggunakan perbandingan jumlah bulan basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) dan bulan kering (curah hujan kurang dari 100 mm/bulan). Wilayah Kabupaten Barru teridiri atas 84.340 ha atau sekitar 71,79 % bagian bertipe iklim C dengan bulan basah 5 – 7 bulan (Oktober – April) dan bulan kering kurang dari 2 bulan (Mei – September). Curah hujan tertinggi diwilayah ini terjadi pada bulan Desember, sedangkan curah hujan terendah
  • 70. terjadi pada pada bulan Agustus. Data curah hujan rata-rata bulanan di wilayah Kabupaten Barru periode tahun 1998 – 2007, yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Stasiun Klimatologi Kelas I Panakkukang-Maros, dapat dilihat pada Gambar 4. Total hari hujan pertahun di Wilayah Kabupaten Barru ialah sebanyak 113 hari dengan jumlah curah hujan sebesar 5.252 mm. Curah hujan di Kabupaten Barru berdasarkan hari hujan terbanyak pada bulan Desember dan Januari adalah masing-masing sebesar 1.335 mm dan 1.138 mm, sedangkan hari hujan masing-masing 2 hari dengan jumlah curah hujan masing-masing 104 mm dan 17 mm. Data hari hujan rata-rata bulanan di wilayah Kabupaten Barru dapat dilihat pada Gambar 5. Untuk kelembaban udara rata – rata di sekitar wilayah Kabupaten Barru dapat dilihat pada Gambar 6, yang mengindikasikan bahwa kelembapan udara rata-rata di wilayah Kabupaten Barru berkisar 66 – 88 %, dengan suhu maksimum dan minimum rata-rata 29 oC dan 27 oC. 58
  • 71. 59 Tabel 9. Penggunaan Tanah di Kabupaten Barru Tahun 2012. No. Penggunaan Tanah Luas dan Persentase ha (%) 1. Kampung / Pemukiman 2.767,92 2,36 2. S a w a h 15.959,23 13,59 3. Kolam / Tambak 2.903,55 4,47 4. Kebun Campuran 18.586,95 15,82 5. Ladang / Tegalan 5.138,70 4,37 6. Lahan Terbuka 3.367,53 2,87 7. M a n g r o v e 288,89 0,25 8. Semak Belukar 12.712,11 10,82 9. Alang – alang 265,32 0,23 10. H u t a n 55.481,80 47,23 TOTAL 117.472,00 100,00 Sumber : Badan Pertanahan Kabupaten Barru, 2012. Gambar 5. Histogram Hari Hujan Rata - Rata Bulanan di Lokasi Studi. Hari Hujan Rata - Rata Bulanan Kab. Barru 25 20 15 10 5 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des B u l a n Hari Hujan Hari Hujan Sumber : BMG Stasiun Klimatologi Kelas I Panakkukang, Maros, 2012
  • 72. Gambar 6. Kelembaban Udara Rata - Rata Bulanan di Lokasi Studi. 60 KELEMBABAN UDARA RATA - RATA BULANAN 100 80 60 40 20 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Bulan Kelembaban Udara (%) Sumber : BMG Stasiun Klimatologi Kelas I Panakkukang, Maros, 2012. 3. Topografi a. Kemiringan Lereng Kondisi topografi Kabupaten Barru merupakan dataran tinggi dan perbukitan yang berada pada ketinggian 100 – 500 meter dari permukaan laut (mdpl) dengan persentase kemiringan mencapai 0 – <40 %. Persentase kemiringan lahan Kabupaten Barru dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Persentase Kemiringan Lahan No Kemiringan (%) Luas Areal (Ha) (%) 1 0 - 2 26.596 22,64 2 3 – 15 7.043 5,49 3 16 – 40 33.246 28,31 4 > 40 50.587 43,06 Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM)
  • 73. 61 b. Ketinggian wilayah Luas wilayah Kabupaten Barru berdasarkan ketinggian dapat diklasifikasikan seperti pada Tabel 11. Areal tersebut didomonasi dengan ketingggian 100-500 mdpl dengan persentase luas sebesar 50.07%, dan areal yang ketinggian >1500 hanya sebesar 0.07%. c. Jenis Tanah Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Barru terdiri atas beberapa jenis tanah antara lain jenis regosol, mediteran, litosol dan alluvial. Besarnya luas dan persentase jenis tanah tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. d. Kondisi Geologi Kabupaten Barru memiliki sifat geologi yaitu seri endapan gunung api yang meliputi 27,59 % dari total wilayah Kabupaten, dengan berbagai jenis batuan penyusunnya. Litologi penyusun Wilayah Kabupaten Barru dapat dibagi menjadi 11 kelompok antara lain: - Kompleks Ophiolit Barru, Batuan Malihan, Kompleks Melange, Formasi Belang Barru, Formasi Mallawa, Formasi Tonasa, Formasi Camba, Anggota Batuan Gunung Api Camba, Anggota Batu Gamping Formasi Camba, Batu Gamping Formasi Walanae dan Endapan Alluvium
  • 74. 62 Tabel 11. Persentase Ketinggian Lahan di Kabupaten Barru No Ketinggian (mDPL) Luas Areal (Ha) (%) 1 0 – 25 17.229 14,67 2 25 – 100 17.683 15,05 3 100 – 500 58.814 50,07 4 500 - 1000 23.663 20,14 5 > 1500 84 0,07 Sumber : Barru dalam Angka Tahun 2012. Tabel 12. Luas dan Persentase Jenis Tanah Luas Areal No Jenis Tanah (Ha) (%) 1 Regosol 41.254 38,20 2 Mediteran 32.516 27,68 3 Litosol 29.043 24,72 4 Alluvial 4.659 12,48 Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM)
  • 75. 63 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kesesuan Lokasi Pengembangan HTR Dengan dasar bahwa persyaratan areal untuk bisa dijadikan areal pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 adalah areal tersebut harus berada di kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak. Maka dipenelitian ini pada tahap untuk membuat kesesuain lokasi pengembangan HTR dilakukan dengan analisis spasial dengan mengekstraksi peta kawasan hutan produksi, untuk membentuk unit lahan dan membuat kelas kesesuain lahan untuk arahan penggunaan HTR. Hal tersebut didapatkan dari hasil analisis pada peta penggunaan Lahan, Aksesibilitas, dan Kelas Lereng yang berfokus pada areal HPT Kabupaten Barru. Beberapa parameter tersebut di beri bobot dengan mengunakan Skala likert. Variabel – variabel yang akan berdampak positive atau memberikan daya dukung yang baik bagi pengembangan HTR akan diberi bobot tertinggi dan begitu pula sebaliknya jika parameter tersebut tidak mendukung kearah pengembangan HTR akan diberi bobot terendah. Dari hasil analisis spasial terhadap klasifikasi kelas bobot terhadap kesesuain pengembangan HTR tersebut didapatkan masing masing luasan kelas seperti yang ada pada Tabel 13.
  • 76. Kelas Luas (ha) % Sesuai 1.095,0 6.5 Agak Sesuai 6.373,2 37.8 Tidak Sesuai 9.388,7 55.7 TOTAL 1.6856,83 100 64 Tabel 13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR Masing-masing luas yang didapatkan dari hasil analisis spasial ialah kelas “Sesuai” seluas 1.095,0 ha atau sebesar 6.5% dari total luasan HPT di Kabupaten Barru. “Agak Sesuai” sebesar 6.373,2 ha atau sebesar 37.8% dan yang dikategorikan “Tidak Sesuai” sebesar 9.388,7 atau sebesar 55.7%. Sedangkan sebaran kelas tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Pada Gambar 7 tersebut dapat dijelaskan bahwa pada kelas “Tidak Sesuai” memiliki faktor-faktor pembatas berdasarkan variabel penyusunnya, seperti jarak yang cukup jauh dari pemukiman terdekat, didominasi kelerengan yang cukup curam, dan areal yang masih berhutan. Dari hasil analisis yang telah dilakukan maka pada areal tersebut direkomendasikan untuk dihindari dalam pembangunan hutan tanaman rakyat karena akan menyebabkan pengelolaan hutan yang tidak optimal.
  • 77. 65 Gambar 7. Peta Kelas Kesesuain Pengembangan HTR
  • 78. Pada kelas “Sesuai” dimaksudkan adalah areal yang layak dapat dikembangakan HTR berdasarkan variabel penyusunnya. Sehingga areal tersebut merupakan areal yang prioritas atau direkomendasikan untuk pembangunan hutan tanaman rakyat untuk terciptanya pengelolaannya yang optimal. Sedangkan pada kelas “Agak Sesuai” merupakan areal yang dapat dikembangkan tetapi dengan beberapa kondisi tertentu agar dari segi pengelolaannya dapat berjalan dengan optimal. Kondisi-kondisi tertentu yang dimaksudkan pada kelas “Agak Sesuai” ialah, pada beberapa areal yang ditemukan pada kelas lereng 25% hingga >45% dapat ditanami tanaman-tanaman yang berakar dalam sehingga mengidarkan dari erosi dan longsor, memperpendek jarak tanam, atau mengindari areal tersebut jika kemiringan lereng cukup tinggi dan bervegateasi rapat. Untuk kondisi areal yang cukup jauh dari pemukiman masyarakat, akan sangat terbantu bila kondisi jalan tersebut baik dan memiliki kendaraan yang dapat digunakan. 66 B. Penyusunan Kelas Kesesuain Lahan untuk Kebutuhan HTR 1. Penyusunan Karakteristik Lahan Penyusunan karekteristik lahan dengan cara penetapan satuan peta lahan (SPL). Setiap SPL akan menggambarkan karakteristik lahan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan lingkungannya diperoleh dari data yang tertera pada legenda peta tanah dan uraiannya, peta/data iklim dan peta topografi/elevasi.
  • 79. Karakteristik lahan diuraikan pada setiap satuan peta tanah (SPT) dari peta tanah, yang meliputi: bentuk wilayah/lereng, drainase tanah, kedalaman tanah, PH tanah, KTK. Data iklim terdiri dari curah hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara diperoleh dari stasiun pengamat iklim yang tergambar pada peta landsystem. Secara sistimatik dapat dilihat pada Gambar 8. Data/Topografi - Relief - Elevasi PERSYARATAN TANAMAN 67 Data/Peta Iklim - Curah Hujan - Temperatur Data/Peta Tanah - Lereng - Karakteristik Tanah KARAKTERISTIK LAHAN KESESUAIN LAHAN UNTUK KOMODITAS Gambar 8. Bagan Penyusunan Karakteristik Lahan Dari hasil overlay dan analisis spasial yang dilakukan maka dapat dilihat beberapa karakteristik lahan pada setiap SPL yang berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas Kabupaten Barru. Dari setiap SPL tersebutlah yang digunakan untuk menyamakan persyaratan beberapa jenis tanaman untuk kebutuhan pembagunan HTR di kabupaten barru Karekterisitik lahan pada setiap SPL dibuat dengan tingkatan pada tingkat semi detail disajikan pada Tabel
  • 80. Karekteristik lahan pada Setiap Satuan Peta Lahan (SPL) yang dapat dilihat dalam lampiran. 2. Penyusunan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan 68 (LURs) Persyaratan tumbuh dapat diperoleh dari berbagai referensi, seperti pada Djaenudin et al. (2003). Sedangkan untuk pemilihan jenis tanaman sendiri yang dijadikan bahan untuk mencocokan dengan karakteristik lahan pada setiap SPL adalah hasil dari wawancara yang dilakukan dilapangan dan masukan peneliti terhadap beberapa kayu komersil. Jenis-jenis tanaman tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Proses Kesesuain Lahan (Matching) Gambar 9 & Tabel 15 memperlihatkan hasil matching antara karakteristik lahan dan persayaratan tumbuh beberapa tanaman yang berpotensi dikembangkan di HPT Kabupaten Barru. Secara umum Tanaman Jati dapat tumbuh diseluruh wilayah tersebut dengan kelas yang mendominasi ialah kelas kesesuaian lahan S2 untuk tanaman Jati.
  • 81. Tabel 14. Daftar Jenis tanaman yang berpontesi dikembangkan No. Jenis Tanaman Jumlah Pemilih Persentase % Ranking 69 Jangka Panjang 1 Jabon 10 22.2 3 2 Sengon 7 15.5 4 3 Jati lokal 13 28.8 1 4 Aren 4 8.8 5 5 Kemiri 11 24.4 2 Jangka Pendek 1 Jagung 15 33.3 1 2 Kacang Tanah 8 17.7 2 3 Lombok 6 13.3 4 4 Rumput gajah 6 13.3 3 5 Jahe 5 11.1 5 Tabel 15. Kesesuaian Lahan HPT Kab.Barru
  • 82. 70 Gambar 9. Peta Kesesuaian Lahan HPT Kab.Barru
  • 83. Untuk tanaman sengon sendiri, berdasarkan hasil analisis spasial dan proses matching yang telah dilakukan, maka didapatkan jenis sengon merupakan tanaman yang paling baik dikembangkan karena dapat tumbuh diseluruh areal HPT dan didominasi pada kelas kesesuaian lahan S1 untuk tanaman sengon tersebut. Hal serupa sama dengan tanaman semusim rumput gajah, karena rumput gajah dapat tumbuh pada seluruh wilayah HPT di Kabupaten Barru. Dari Hasil analisis juga didapatkan rumput gajah sangat sesuai ditanam pada hampir seluruh wilayah tersebut. Gambar 9 & Tabel 15 juga menjelaskan bahwa ada beberapa areal yang memiliki kendala pembatas terhadap tumbuhnya suatu tanaman. Kendala pembatas tersebut seperti kurangnya unsur hara yang tersedia, Kedalaman tanah dibawah 50 cm sehingga menyulitkan perakaran tanaman yang mebutuhkan lebih dari itu, kondisi lereng yang sangat curam diatas 45% pada beberapa areal, dan kekurangan unsur hara. C. Evaluasi Kondisi Eksisting HTR terhadap Kesesuian Lahan 71 Pengembangan HTR Evaluasi kondisi eksiting HTR dimaksudkan untuk melihat kondisi existing yang ada terhadap hasil analisis yang telah dilakukan. Hal tersebut akan memberikan masukan tambahan untuk pengembangan HTR secara umum. Dari hal ini juga dapat dilihat beberapa kendala-kendala masyarakat terkait kondisi existing izin yang telah diterima
  • 84. masyarakat. Dengan metode overlay peta izin HTR yang telah ada sampai dengan 2013 dengan peta kesesuaian pengembangan HTR yang telah dibuat sebelumnya. Pada Gambar 10 dari hasil analisis spasial, dapat dilihat bahwa kelompok HTR Dae adalah satu-satunya kelompok HTR yang lokasinya berada pada kelas “Sesuai” pada penelitian ini. Hal tersebut menggambarkan untuk jalannya proses pengembagan HTR jika ditinjau dari beberapa variabel seperti landuse, kelerengan, dan aksesibilitas maka kelompok tani HTR Dae secara teknis dapat mengoptimalkan hasil dari pengelolaan HTR. Kelompok HTR Coppo Beramming mungkin perlu melakukan hal hal khusus dalam rencana pengembangannya karena sebesar 99.1% atau seluas 285.4 ha wilayahnya berada dalam kelas “Kurang Sesuai” hal tersebut mengindikasikan bahwa areal tersebut sulit dioptimalkan berdasarkan beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Hal tersebut juga terverifikasi dari hasil wawancara yang dilakukan pada kelompok HTR Coppo Beramming. Seperti halnya Pak Saharudding (55 tahun) dan Pak Lahewo (57 tahun) mengemukakan bahwa sangat sulit mengelolaa lahan HTR yang dimilikinya, karena areal-areal tersebut sudah padat ditumbuhi pohon-pohon jenis kenanga, gantungan, wajo, bikatte dan cendana, sehingga mereka sangat sulit untuk bisa menanam lagi jika memanfaatkan ruang-ruang kecil yang terbuka. 72
  • 85. 73 Gambar 10. Peta Kelas Kesesuain HPT terhadap Existing HTR
  • 86. Begitu pula pada kelompok HTR Padang Pabbo dan HTR Bolong Ringgi lebih didominasi oleh kelas “Kurang Sesuai” masing-masing sebesar 98.5% dan 58.2%, yang menggambarkan dalam teknis pengelolaannya kedepan kedua kelompok HTR ini akan mendapatkan hasil yang kurang optimal berdasarkan asumsi pada variabel yang dibangun penelitian ini. 74 D. Skenario Pengembangan HTR Dalam rencana pengembangan HTR dalam penelitian ini akan dilakukan melalui 3 skenario, yaitu skenario pesimis, skenario moderat dan skenario optimis. 1. Skenario pesimis ialah skenario bilamana luas areal yang dimanfaatkan hanya terbatas pada lahan yang berada pada kelas “Sesuai” dan luas efektif yang dapat dimanfaatkan dari kelas “Sesuai” hanya sebesar 65%, serta diasumsikan pula bahwa kualitas tempat tumbuh areal yang diusahakan tergolong rendah (bonita I - II). 2. Skenario moderat ialah skenario bilamana areal yang dimanfaatkan meliputi lahan kelas “Sesuai + Agak Sesuai”, luas efektif yang dimanfaatkan dari kelas “Sesuai” dan sebagian lahan “Agak Sesuai” yang tadinya ± 65% (pada skenario pesimis) berubah menjadi ±70%, serta kualitas tempat tumbuh yang rendah (bonita I & II) pada skenario pesimis dapat dirubah ke bonita III - IV. Perlakukan yang dilakukan didalamnya sehingga beberapa faktor pembatas dapat
  • 87. berubah, antara lain melalui pemberian pupuk untuk menaikkan kesuburan tanag pada lahan-lahan yang kurang subur, menambah alokasi tenaga ataupun pendanaan sehingga dapat menambah luas efektif lahan yang dapat dikelola. 3. Skenario optimis ialah skenario bilamana kondisi faktor-faktor dalam pengelolaan dioptimalkan sebaik mungkin. Dalam skenarion ini luas efektif areal yang dimanfaatkan pada lahan yang berada pada kelas “Sesuai + Agak Sesuai”, dapat mencapai ±75%, serta kualitas tempat tumbuh setelah dioptimalkan dapat menjadi bonita V. Perlakukan yang dilakukan antara lain pemberian pupuk untuk menaikan unsur hara pada lahan-lahan yang kurang unsur hara, menambah alokasi tenaga ataupun pendanaan, penerapan silvikutur intensif sehingga dapat menambah luas efektif lahan yang dapat dikelola, penguatan keterampilan kelompok dan pengelolaan kelembagaan sampai penerapan peralatan dan teknologi yang lebih maju. Sedangkan untuk asumsi produksi tiap skenario terhadap pada jenis tanaman sengon dan jati di dapatkan dari tabel tegakan dalam buku Vademecum Kehutanan Indonesia (1987). 75