ABSTRAK
NAUFAL. Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru (dibimbing oleh Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin)
Penelitian ini bertujuan (1) menentukan dan menganalisis kesesuaian lokasi untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru, (2) menganalisis kesesuain lahan untuk jenis tanaman yang dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan Hutan Tanaman Rakyat, dan (3) mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan basis spasial yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, menejemen pengelolaan, preferensi pasar dan industri.
Penelitian akan membuat model desain pembangunan hutan tanaman rakyat yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri yang berbasiskan spasial.
Dari hasil analisis spasial didapatkan areal – areal yang sesuai, agak sesuai, dan tidak sesuai. Masing masing kelas sesuai seluas 1.095 ha (6.5%), agak sesuai seluas 6.373 (37.8%) dan tidak sesuai untuk dikembangkan HTR 9.388 ha seluas (55.7%). Kesimpulan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengusulan HTR dimasa yang akan datang.
Kata kunci : hutan tanaman rakyat, kesesuain lahan, desain pembangunan
ABSTRACT
NAUFAL. Design of the Development of Community Forest in the Barru Regency (Supervised by Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin)
The study aims to : (1) determine and analyse the suitability of location for the development of community forest in Barru regency; (2) analyse the suitability of the area for plants suistable for community forest development; (3) provide a design of community forest development with a spatial base integrated to the space pattern, land suitability, management, market and industry preferences.
A model of community forest development design was made. It was integrated with space pattern, land suitability, management, market, location, and spatial-based need of industrial raw material.
Result of analysis reveals that the suitable land (1.095 hectares / 6.5%), partly-suistable land (6.373 hectares / 37.8%), and non-suitable land (9.388 hectares / 55.7%). Be Used as reference to be considered in proposing the design of community forest development in the future of HTR.
Keywords : community forest plantation, location suitability, development design
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
1. i
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT
KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN
N A U F A L
P3700212006
PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
2. ii
TESIS
DESAIN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN RAKYAT
DI KABUPATEN BARRU
Disusun dan diajukan oleh
N A U F A L
Nomor Pokok P3700212006
Telah dipertahankan di depan Panitian Ujian Tesis
Pada tanggal 22 Agustus 2014
sehingga dinyatakan telah lulus dan memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasihat,
Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr
Prof. Dr. Ir. Baharuddin Nurkin, M.Si
Ketua Program Studi
Ilmu Kehutanan
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Ir. Muh Dassir, M.Si Prof. Dr. Syamsul Bahri, SH.MH
3. iii
ABSTRAK
NAUFAL. Desain Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru
(dibimbing oleh Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin)
Penelitian ini bertujuan (1) menentukan dan menganalisis
kesesuaian lokasi untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di
Kabupaten Barru, (2) menganalisis kesesuain lahan untuk jenis tanaman
yang dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan
Hutan Tanaman Rakyat, dan (3) mendesain Rancangan Pembangunan
Hutan Tanaman Rakyat dengan basis spasial yang terintegrasi dengan tata
ruang, kesesuaian lahan, menejemen pengelolaan, preferensi pasar dan
industri.
Penelitian akan membuat model desain pembangunan hutan
tanaman rakyat yang terintegrasi dengan tata ruang, kesesuaian lahan,
pengelola/masyarakat, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri yang
berbasiskan spasial.
Dari hasil analisis spasial didapatkan areal – areal yang sesuai, agak
sesuai, dan tidak sesuai. Masing masing kelas sesuai seluas 1.095 ha
(6.5%), agak sesuai seluas 6.373 (37.8%) dan tidak sesuai untuk
dikembangkan HTR 9.388 ha seluas (55.7%). Kesimpulan hasil penelitian
ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengusulan HTR dimasa
yang akan datang.
Kata kunci : hutan tanaman rakyat, kesesuain lahan, desain pembangunan
4. iv
ABSTRACT
NAUFAL. Design of the Development of Community Forest in the Barru
Regency (Supervised by Daud Malamassam dan Baharuddin Nurkin)
The study aims to : (1) determine and analyse the suitability of
location for the development of community forest in Barru regency; (2)
analyse the suitability of the area for plants suistable for community forest
development; (3) provide a design of community forest development with a
spatial base integrated to the space pattern, land suitability, management,
market and industry preferences.
A model of community forest development design was made. It was
integrated with space pattern, land suitability, management, market,
location, and spatial-based need of industrial raw material.
Result of analysis reveals that the suitable land (1.095 hectares /
6.5%), partly-suistable land (6.373 hectares / 37.8%), and non-suitable land
(9.388 hectares / 55.7%). Be Used as reference to be considered in
proposing the design of community forest development in the future of HTR.
Keywords : community forest plantation, location suitability, development
design
5. v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Rabbil Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Berkat dan Kasih-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Desain
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Barru”, yang skaligus
merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister di Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Begitu banyak doa, dukungan, dan perhatian yang penulis dapatkan
selama penyusunan tesis ini berlangsung, sehingga segala hambatan yang
ada dapat terlewati dan dapat dihadapi dengan penuh sukacita. Oleh
karena itu, dengan penuh kerendahan hati, penulis menghaturkan ucapan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang telah
banyak membantu dan meluangkan waktunya dalam penyelesain tesis ini:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M. Agr dan Bapak Prof. Dr. Ir.
Baharuddin Nurkin, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah
banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya, meluangkan waktunya
yang begitu berharga untuk memberi bimbingan dan pengarahan
dengan baik, dan memberikan dukungan serta motivasi dalam
penyelesaian tesis ini.
2. Bapak Prof.Dr. Supratman, S.Hut, M.P, Prof. Dr. Ir. Muh. Dassir, M.Si, dan
Dr. Suhasman, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji yang telah
meluangkan waktunya dan banyak memberi masukan, koreksi serta
arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan lebih baik.
3. Direktur Pascasarjana, Ketua Program Studi Ilmu Kehutanan beserta
staf pengajar dan pegawai yang telah memberikan sumbangsih yang
sangat besar kepada penulis.
4. Bapak Bupati Barru dan Kepala Dinas Kehutanan beserta staff yang
telah memberikan kesempatan melaksanakan kegiatan di wilayah
penelitian, dan telah memfasilitasi dalam kelancaran dan pelaksaan
penelitian ini.
6. 5. Kanda Haudec Herawan atas segenap bantuannya yang sangat berarti
vi
dalam penyelesaian penelitian ini. Terimkasih sekali lagi kanda.
6. Teman dan Adinda tercinta di Tim Layanan Kehutanan Masyarakat :
Haeruddin, Ismed Tanunata, Aksan Firmansyah, Faisal Hidayat, Ikha
rurul, Laode Muh Ikbal, Mulyadi, Laode Ifrisal, Nurul, Afif, Ridwan, Muh
Ickhwan terimakasih atas dukungan tenaga dan pikirannya serta
anugrahandini nasir, selalu menyelesaikan masalah yang tidak dapat
diselesaikan oleh penulis. Kalian adalah anak muda yang sukses
dimasanya, semoga impian kalian segera tercapai.
7. Seluruh Staf di Sulawesi Community Foundation (SCF), yang telah
memfasilitasi secara tidak langsung tapi sangat berdampak dalam
merangkumkan dan menyelesaikan studi ini.
8. Seluruh Staf di Medialingkungan.com yang telah memberikan
sumbangsih pikiran dan wawasan sehingga memberikan jalan dan
pikiran yang segar dalam menyelesaikan tiap masalah yang dihadapi
selama penelitian ini. Terimakasih sekali lagi untuk prosesnya.
9. Kawan-kawan peneliti di Tropical Rain Forest, yang selalu menjadi
lawan diskusi dan teman berfikir, sehingga membuka wawasan baru
dalam penyelesai studi ini.
10. Teman teman seperjuangan Ilmu kehutanan Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin 2012, terimakasih atas segala canda tawa, dan
waktu suka duka yang telah dilalui bersama. Kalian semua bisa, ini
hanya persoalan waktu.
11. Secara khusus penghargaan, rasa hormat dan rasa terima kasih yang
tak terhingga ku persembahkan kepada kedua orang tua ku tercinta:
Asmin Dunggio dan Adam Achmad yang telah membesarkan,
mendidik dan mendoakan dengan segala kasih sayang dan perhatian
beliau selama ini, sehingga selalu diberikan jalan untuk menyelesaikan
studi hingga jenjang Magister.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tesis ini masih
memiliki kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
7. membangun sangat penulis harapkan. Kiranya tesis ini dapat bermanfaat
serta dapat menjadi salah satu bahan informasi pengetahuan bagi pembaca
sekalian.
Makassar, Agustus 2014
vii
N a u f a l
8. viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................ ii
ABSTRAK ...................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ...................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5
D. Kegunaan Penelitian ................................................................. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengelolaan Hutan........................................................... 7
1. Pengelolaan Hutan Konvensional & Permasalahan .......... 7
2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) ............ 9
B. Perkembangan Industri Perkayuan & Permasalahan
Bahan Baku ........................................................................... 17
1. Kebijakan Industri Perkayuan ........................................... 17
2. Degradasi/Penurunan Potensi Hutan ................................ 20
3. Kesenjangan antara Pontensi Hutan & Kebutuhan
Bahan Baku ...................................................................... 24
C. Pembangunan HTR .............................................................. 27
1. Konsep HTR ..................................................................... 27
2. Model Pembangunan HTR ............................................... 31
3. Permasalahan HTR .......................................................... 37
4. Rencana Pembangun HTR di Kabupaten Barru ............... 39
D. Kerangka Pikir ...................................................................... 42
9. ix
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Peneltian .................................................. 45
B. Jenis dan Sumber Data ......................................................... 45
C. Populasi & Teknik Sampel ...................................................... 46
D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 47
E. Analisis Data .......................................................................... 47
1. Analisis Spasial ................................................................ 47
2. Analisis Kesesuain Lahan ................................................. 50
3. Skenario Pola HTR ........................................................... 51
F. Kerangka Penelitian ................................................................. 52
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
A. Kawasan Hutan ...................................................................... 55
B. Hutan Tanaman Rakyat & Perkembangannya ....................... 56
C. Kondisi BIofisik Kawasan ....................................................... 56
1. Penutupan Lahan ............................................................. 56
2. Iklim .................................................................................. 57
3. Topografi .......................................................................... 60
4. Jenis Tanah ...................................................................... 61
5. Kondisi Geologi ................................................................ 61
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kesesuain Lokasi Pengembangan HTR ................................ 63
B. Penyusunan Kelas Kesesuian Lahan .................................... 66
1. Penyusunan Karekteristik Lahan ..................................... 66
2. Penyusunan Persyaratan Tumbuh .................................. 68
3. Kesesuain Lahan ............................................................. 68
C. Evaluasi Kondisi Eksisting HTR ............................................. 71
D. Skenario Pengembangan HTR .............................................. 74
1. Skenario Pesimis .............................................................. 76
2. Skenario Moderat .............................................................. 77
3. Skenario Optimis ............................................................... 77
E. Pengembangan Industri ........................................................ 80
1. Jenis Industri....................................................................... 80
2. Kapasitas Industri .............................................................. 82
3. Lokasi Industri – Tata Ruang Wilayah ................................. 83
10. x
F. Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat .................................... 86
1. Kelembagaan...................................................................... 86
2. Adaptibilty ........................................................................... 88
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................ 91
B. Saran ..................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 93
LAMPIRAN
11. xi
DAFTAR TABEL
No Teks
Halaman
1. Pergeseran Konseptual Dari Paradigma Kehutanan Negara ke
Kehutanan Masyarakat………...…………..………………….......
11
2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru ….…………... 40
3. Luas Pencanagan & Izin HTR Kabupaten Barru…….…………. 41
4. Bobot Landuse terhadap HTR……………………………………. 48
5. Bobot Jarak Pemukiman terhadap HTR……………………….… 48
6. Bobot Kelas Lereng terhadap HTR………………………………. 49
7. Klasifikasi Kelas Kesesuian Pengembangan HTR……………... 50
8. Luas Kawasan Hutan dalam setiap Kecamatan………………... 55
9. Penggunaan Tanah………………………………………………... 59
10. Perensentase Kemiringan Lahan……………..………………….. 60
11. Persentase Ketinggian Lahan…………………………………….. 62
12. Jenis Tanah…………………………………………………………. 62
13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR………………………….. 64
14. Daftar jenis tanaman yang berpotensi dikembangkan…………. 69
15. Kesesuian Lahan HPT…………………………………………….. 69
16. Skenario Pembangunan HTR, melalui jenis Sengon & Jati…… 76
17. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Pesimis……... 78
18. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Moderat...…... 78
19. Volume dan Nilai Produksi HTR untuk Skenario Optimis……... 78
20. Perizinan Industri Primer Hasil Hutan Kayu…………………….. 82
12. xii
DAFTAR GAMBAR
No Teks
Halaman
1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan.……………………... 26
2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Barru……………. 40
3. Kerangka Pikir…………………………………………………… 42
4. Kerangka Penelitian……………………...……………,………. 52
5. Curah Hujan Rata-Rata Bulanan Kabupaten Barru..….….…. 59
6. Histogram Hari Hujan Rata-Rata Bulanan……………………. 60
7. Kelembapan Udara Rata-Rata Bulanan……………..……..… 61
8. Peta Kelas Kesesuian Pengembangan HTR………………… 67
9. Peta Kesesuain Lahan HPT..…………..…………………...…. 70
10
Peta Kelas Kesesuain Pengembangan Terhadap Eksisting
.
HTR………………………………………………………….….…
73
11 Peta Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Barru...…… 85
12
Persentase Jawaban Responden……………………………... 89
.
13. 1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 2007 Pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan
telah menggiatkan program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat
(HTR). Program pembangunan HTR merupakan kebijakan Pemerintah
yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor),
menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas
pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi
(pro-growth). Kebijakan HTR memberikan akses lebih kepada
masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, dalam Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
Berdasarkan P.10/Menhut-II/2011, salah satu dari enam kebijakan
prioritas pembangunan kehutanan tahun 2010-2014 adalah Revitalisasi
Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. Pemanfaatan hutan alam
dalam memenuhi kebutuhan industri kehutanan saat ini sudah tidak
dapat diharapkan lagi. Kondisi hutan alam yang terdegradasi akibat
illegal logging dan kebakaran hutan, menyebabkan kurangnya suplai
kayu untuk industri kehutanan dan pembangunan nasional secara
kompleks. Pengembangan hutan tanaman, baik hutan tanaman industri
maupun hutan tanaman rakyat merupakan salah satu cara pemenuhan
14. kebutuhan industri kayu nasional agar tetap dapat berjalan dan tumbuh
untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Permasalahan lainnya dalam pengelolaan hutan di Indonesia
adalah rendahnya pendapatan masyarakat dari usaha kehutanan.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran hutan rakyat dan hutan
produksi yang dapat diakses oleh masyarakat melalui skema
pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat, belum berfungsi
secara optimal. Rendahnya pendapatan masyarakat melalui usaha
kehutanan berdampak terhadap tingginya kegiatan konversi lahan
hutan menjadi usaha non kehutanan. Selain itu kehidupan
masyarakat desa sekitar hutan tidak bisa dipisahkan dengan hutan
sebagai tempat menggantungkan hidupnya. Paradigma baru
pembangunan pengelolaan kehutanan yang melibatkan masyarakat
menjadi harapan baru untuk memecahkan permasalahan kehutanan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin
bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah
Sulawesi Selatan mengindikasikan bahwa terdapat beberapa
kendala terkait dengan implementasi program Hutan Tanaman
Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut antara lain
meliputi, belum adanya kesepahaman bersama mengenai pentingnya
HTR dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan
perekonomian daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten
memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman
2
15. rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi
antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten.
Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya model
pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi stakeholder terkait
(Alif, dkk, 2010)
Masalah lain yang cukup serius adalah masalah yang ditemukan
pada Industri Kehutanan. Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan
alam sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat
ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam.
Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki
karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang
disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih banyak
dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan alam.
Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative bahan
baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat. Potensi paling
besar yang memungkinkan supplai untuk industri kehutanan adalah
berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat
(HTR). Sedangkan pada konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat
proses management untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki
nilai yang tinggi dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan
karena keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma
pengelolaan ditingkat tapak.
3
16. Kabupaten Barru memiliki potensi yang cukup besar untuk
pengembangan hutan tanaman rakyat, Berdasarkan data yang
didapatkan di Dinas Kehutanan, Barru memiliki pontensi hutan produksi
yang cukup besar dan dapat dikelolah dengan baik untuk kepentingan
pengembangan HTR dan HTI yaitu sebesar 17.312 ha (Dishut Barru,
2012)
Pada tahun 2010-2012 Kementerian Kehutanan telah
mencanangkan pembangunan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh seluas
1.497 ha di Kabupaten Barru, yang terdiri dari 3 kecamatan, yaitu
kecamatan Balusu, Kecamatan Barru dan Kecamatan Pujananting. Areal
ini telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK HTR) dari Bupati dan telah diverifikasi seluas 1.481 ha. Angka
tersebut dipastikan akan naik, karena Dinas Kehutanan Barru pada
pertengahan tahun 2013 kembali mengusulkan Pencangan HTR sebesar
14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, dengan model
pengelolaan yang menggunakan skema mandiri.
Dalam rangka mendukung kelancaran dan keberhasilan
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat termaksud diatas, dibutuhkan
suatu perencanaan yang bersifat komperhensif. Sehubungan dengan itu
maka penelitian ini difokuskan pada upaya untuk mendesain
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat secara kompleks, guna
mendukung optimalisasi pengelolaan hutan tanaman rakyat yang
4
17. terintegrasi pada pola ruang, kesesuian lahan, pengelolaa/kelompok
tani, pasar dan industri.
5
B. Rumusan Masalah
Melihat hal diatas, Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat
secara nasional dan perregion, termasuk di Kabupaten Barru terus
mengalami peningkatan dari tahun ketahun sedangkan riset dan
pengembangan pengelolaan pada level pengelolaan HTR masih sangat
minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia yang
bangkrut karna sulitnya mendapatkan bahan baku pasokan kayu yang
legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan kenapa riset ini penting untuk
dilakukan, agar bagaimana mendesain pembagunan Hutan Tanaman
Rakyat secara kompleks untuk menjawab beberapa gap kebutuhan
Industri, Pengelolaah HTR, dan Pemda pada konteks pengelolaan hutan
tanaman rakyat yang terintegrasi pada pola ruang, kesesuaian lahan,
pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan kebutuhan bahan baku industri
C. Tujuan Penlitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis dan menentukan tingkat kesesuaian lokasi untuk
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Barru.
2. Menganalisis kesesuain lahan untuk jenis – jenis tanaman yang
dapat dikembangan pada areal yang sesuai untuk pengembagan
Hutan Tanaman Rakyat
18. 3. Mendesain Rancangan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat
dengan basis spasial yang terintegrasi dengan pola ruang,
kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri. Desain
tersebut meliputi areal-areal yang sesuai untuk dikembangkan, jenis-jenis
tanaman, skenario pengelolaan, kelembagaan, serta jenis dan
6
lokasi industri.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model rancangan
pembangunan hutan Tanaman Rakyat yang secara kompleks dan
terintegrasi dengan pola ruang, kesesuain lahan, pasar dan industri,
sehingga diharapkan mendapatkan manfaat yang lebih dalam
pembangunan kehutanan yang berbasiskan “suistanable forest
management” pada suatu kabupaten.
19. 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengelolaan Hutan
1. Pengelolaan Hutan Konvensional dan Permasalahannya
Selama dua dasawarsa terakhir strategi pengusahaan hutan
telah terbukti mampu memberikan peranan besar dalam
pembangunan ekonomi, namun pembangunan ekonomi di sektor
kehutanan yang selama ini dilakukan tidak memperhatikan aspek
pelestarian terhadap lingkungan. Akibatnya terjadi bencana alam
yang disebabkan oleh kerusakan hutan. Masih lemahnya komitmen
lembaga-lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan
terhadap kelestarian hutan semakin memperparah laju tingkat
kerusakan hutan (Kartodihardjo, 2008).
Masalah yang sangat kompleks pada hutan dan kehutanan di
Indonesia sangat tinggi baik dari segi administrasi sampai pada
proses implemntasi dilapangan, kurangnya pengetahuan mengenai
dinamika hutan, serta dominasi kepentingan dan keuntungan jangka
pendek, telah mengakibatkan kegagalan sebagian besar program
penanaman kembali.
Karena prosedur pembangunan kembali hutan tropis bekas
tebangan belum dikembangkan dengan baik, maka badan
kehutanan mengalami kesulitan untuk menetapkan dana reboisasi
yang dengan tepat mencerminkan biaya penanaman kembali. Lebih
20. lanjut, kebijakan perundang-undangan masa lalu hanya mempunyai
sedikit pengaruh untuk memperbaiki manajemen pengusahaan
kayu, seringkali disebabkan karena kebijakan tersebut tidak
mempertimbangkan kemampuan Departemen Kehutanan untuk
melaksanakan perundang-undangan tersebut (Lahjie, 2003).
Mengantisipasi permasalahan yang telah disebutkan
sebelumnya maka Lahjie (2003) sepakat dengan konsep
pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan lestari lebih dikenal
dengan istilah sustainable forest management. ITTO
mendefinisikannya sebagai proses pengelolaan lahan hutan untuk
mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan menyangkut
keseimbangan produksi dari hasil hutan dan jasa yang diinginkan
serta tidak mendapatkan dampak buruk yang tidak diinginkan.
Secara operasional, definisi tersebut mencakup unsur-unsur sebagai
berikut :
1. Hasil yang berkesinambungan berupa hasil hutan kayu, hasil
8
hutan non kayu dan jasa pengelolaan hutan.
2. Mempertahankan tingkat biodiversitas yang tinggi dalam konteks
perencanaan tata guna lahan integratif mencakup jaringan kerja
kawasan lindung dan kawasan konservasi.
3. Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan
penekanan pada pemeliharaan produktivitas tempat tumbuh (site
21. productivity), menjaga sumber benih dan unsur biodiversitas
hutan yang diperlukan untuk regenerasi dan pemeliharaan hutan.
4. Meningkatkan dampak positif pada kawasan hutan dan
mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak yang
merugikan.
5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan
9
dan berupaya menyelesaikan potensi konflik.
2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)
Pemanfaatan hutan menurut Undang-Undang Kehutanan
Nomor 41 Tahun 1999 bertujuan memperoleh manfaat yang optimal
bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya. Definisi tersebut memberikan kata kunci
bagi pengelolaan hutan yaiitu konservasi dan kesejahteraan
masyarakat. Pengelolaan hutan harus memberikan manfaat bagi
masyarakat yang berada pada kawasan hutan (Nadia, 2011).
Dalam mewujudkan konservasi dan kesejahteraan masyarakat,
diperlukan upaya bersama dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan
hutan berbasis masyarakat menjadi konsep alternatif pengelolaan
saat ini. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat sering kali disebut
Community Based Forest management (CBFM). Menurut
Supratman (2006), nilai inti pembangunan CBFM adalah ideologi
dasar yang bersifat permanen tidak berubah menurut waktu, tempat,
dan kondisi masyarakat di mana CBFM tersebut berlangsung. Nilai
22. inti pembangunan CBFM dikonstruksi dari nilai-nilai kearifan
masyarakat membangun dan mengelola hutan seperti nilai spiritual,
modal sosial, prinsip hidup, inisiatif lokal pelayanan publik kehutanan
oleh lembaga lokal, dan nilai manfaat ekonomi langsung. Nilai-nilai
tersebut menyatu dalam suatu konsep nilai inti.
Hingga saat ini perkembangan kebijakan pembangunan
kehutanan terus didorong kearah CBFM. Pergerakan yang
mendorong kearah kebutuhan paradigma baru kehutanan dapat
dilihat dari gerakan kehutanan masyarakat oleh semua pihak, baik
dari masyarakat, pemerintah, pemerhati lingkungan, perguruan
tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Gerakan ini terlihat jelas
dengan semakin banyak pemikiran-pemikiran dan berbagai konsep
untuk mewujudkan CBFM menjadi dasar pembangunan kehutanan.
Gerakan masyarakat dan LSM dalam mewacanakan sistem
pengelolaan hutan masyarakat setempat dan penguatan hukum adat
semakin mewarnai dorongan perubahan (Patiung, dkk, 2006).
Awang (2001) mengatakan bahwa gagasan community forestry
(CF) atau kehutanan masyarakat diyakini menjadi cara terbaik untuk
membangun sumberdaya hutan. Dalam konteks Indonesia,
kehutanan masyarakat diartikan sebagai sistem pengelolaan hutan
yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok. Pengelolaan
tersebut dilakukan pada lahan negara, lahan adat, atau lahan milik
(individu atau keluarga), untuk memenuhi kebutuhan individu/rumah
10
23. tangga dan masyarakat serta dapat dilakukan secara komersial
ataupun non komersial (subsisten). Pengertian ini akan berimplikasi
pada sistem pengelolaan hutan. Apabila dibandingkan karakteristik
antara pengelolaan hutan yang state based dengan community
based maka akan terlihat berbagai perubahan paradigmatik seperti
yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini :
Tabel 1. Pergeseran konseptual dari paradigma kehutanan negara
11
dengan kehutanan masyarakat.
No. Kehutanan Negara (dari) Kehutanan Masyarakat
(Menuju)
A. SIKAP DAN ORIENTASI
1. Pengendalian Dukungan/fasilitasi
2. Penerima manfaat Mitra kerja
3. Pengguna Pengelola
4.
Pembuatan keputusan uni
lateral
Partisipatif
5. Orientasi peneriman Orientasi sumberdaya
6. Keuntungan nasional Orientasi keadilan lokal
7. Diarahkan oleh negara Proses belajar/evolusi
B. INSTITUSIONAL DAN ADMINISTRATIF
8. Sentralisasi Desentralisasi
9.
Manajemen (perencanaan,
pelaksanaan, monitoring)
oleh pemerintah
Kemitraan
10. Top down Partisipatif/negosiatif
11. Orientasi target Orientasi proses
12.
Anggaran kaku untuk
rencana kerja besar
Anggaran fleksibel dengan
rencana mikro
24. 12
13.
Aturan-aturan untuk
menghukum
Penyelesaian konflik
C. METODA MANAJEMEN
14. Kaku Fleksibel
15. Tujuan tunggal Tujuan ganda/beragam
16. Keseragaman Keanekaragaman
17. Produk tunggal Produk beragam
18.
Menu manajemen yang
tetap dengan aturan
silvikultur tunggal
Beragam pilihan aturan
silvikultur untuk spesifik
lokasi
19. Tanaman Spesifik lokal
20.
Tenaga kerja/buruh
pengumpul
Manajer/pelaksana/
pemroses/pemasar
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) merupakan
alternatif pengembangan pengelolaan hutan ke depan. Di bawah ini
terdapat 8 kriteria yang menyatakan pentingnya konsep PHBM
dilaksanakan (Suwarno, 2011).
a) Pendapatan Nasional
Melalui PHBM pendapatan nasional dari sub sektor kehutanan
akan meningkat secara nyata. Peningkatan terjadi karena
pengaruh efek massal positif dari pengerahan sumberdaya
manusia sekitar 40 juta orang dalam memanfaatkan sumberdaya
hutan, baik manfaat aktual maupun manfaat potensial. Manfaat
aktual antara lain berupa kayu, hasil hutan non kayu dan jasa
wisata sedangkan manfaat potensial antara lain berupa
optimalisasi manfaat lahan untuk tanaman sela, pengembangan
25. usaha lebah madu, ulat sutera, dan lain-lain. Peningkatan
pendapatan masyarakat dari sub sektor kehutanan ini akan
memberikan multiflier effect terhadap sektor ekonomi lainnya.
13
b) Pendapatan Negara
Pendapatan negara dari sub sektor kehutanan akan diperoleh
secara langsung dari usaha komersial bersama masyarakat
(produksi kayu, getah, rotan, ekowisata, dll), dan secara tidak
langsung diperoleh melalui pajak dan retribusi yang dikenakan
kepada masyarakat. Program PHBM juga diharapkan bisa
mengurangi kebocoran kas negara dengan memperkecil
terjadinya praktek-praktek KKN dalam tata usaha kayu dan hasil
hutan lainnya.
c) Pemerataan Pendapatan dan Lapangan Kerja
Dengan PHBM tidak ada lagi monopoli penguasaan hutan oleh
segelintir orang. Masyarakat diharapkan tidak lagi hanya
berstatus sebagai penonton atau buruh rendahan di negeri
sendiri. Masyarakat diharapkan memperoleh hak-hak akses
terhadap hutan, mampu menjadi tuan untuk mengatur dan
memanfaatkannnya secara bertanggung jawab. Sekitar 40 juta
jiwa bangsa Indonesia yang hidup di dalam kawasan
hutan. PHBM akan memberikan prioritas lapangan kerja kepada
orang-orang tersebut.
26. 14
d) Kekuatan struktur ekonomi
PHBM sejiwa dengan program ekonomi kerakyatan. Masyarakat
Indonesia yang tinggal di dalam kawasan hutan umumnya masih
berada dalam kontinum budaya meramu pertanian
tradisional. Mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi
terhadap flora dan fauna hutan, juga terhadap ketersediaan lahan
garapan. Pola tersebut apabila bisa dicegah dari praktek-praktek
destruktif, akan menjadi bagian dari basis struktur ekonomi
nasional yang handal.
e) Neraca Sumber Daya Alam
Kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dalam PHBM akan sangat
dipengaruhi oleh kualitas institusi (kelembagaan) yang
dibentuk. Institusi yang baik akan dapat menyeimbangkan unsur
input dan output, sehingga kelestarian hutan tetap
terjaga. PHBM memiliki potensi yang lebih tinggi membentuk
institusi pengelolaan hutan yang lebih baik dan kuat dibanding
sistem lainnya yang telah ada saat ini. Dikatakan memiliki
potensi yang lebih tinggi karena masyarakat hutan sejak dahulu
telah mempunyai nilai-nilai kearifan tradisional berkaitan dengan
alam. Saat ini kearifan tersebut sedang mengalami degradasi
luar bisaa disebabkan ekspasi sistem ekonomi pasar. Tugas
pemerintah adalah bagaimana menghidupkan kembali sistem
27. pengelolaan berbasis kearifan tradisional ini dan diintegrasikan
dengan ilmu pengetahuan modern.
15
f) Nilai Ekonomi
Keragaman produk hasil hutan khas Indonesia, diyakini memiliki
keunggulan komparatif di pasaran dunia. Keunggulan tersebut
ada bukan karena polesan teknologi, melainkan kekhasan
kualitas alamiahnya. Sebagai contoh, rotan Indonesia dikenal
sebagai rotan berkualitas terbaik di dunia. Selain rotan, produk-produk
seperti kayu jati dan getah damar menjadi ciri khas
tersendiri karena negara lain jarang atau bahkan tidak bisa
memproduksi produk tersebut.
Keunggulan komparatif ini sangat ditentukan oleh kemampuan
dan strategi kepemimpinan pemerintah. Bila PHBM mampu
mengalihkan orientasi pemanfaatan hutan dari timber
oriented menjadi pengambilan manfaat-manfaat lainnya
(terutama hasil hutan non kayu) yang tidak merusak kelestarian
ekosistem, maka multiproduk hutan ini sangat berpotensi untuk
meningkatkan perolehan keuntungan dari hutan. Banyak jenis-jenis
hasil hutan non kayu yang setiap unitnya memiliki nilai
ekonomi jauh lebih tinggi daripada kayu, misalnya gaharu, madu,
tanaman obat, rotan, dan lain-lain. Hal tersebut semakin baik bila
kita mampu menciptakan bentuk-bentuk inovasi usaha yang
semakin mempertinggi produktifitas hutan.
28. 16
g) Kapasitas Lingkungan Hidup
Ada kekhawatiran terhadap pengerahan massal sejumlah besar
masyarakat kedalam hutan untuk mengelola dan memanfaatkan
hutan bisa menimbulkan resiko kerusakan hutan. Namun di sisi
lain apabila kita merefleksikan praktek-praktek di masa lalu,
sesungguhnya masyarakat sekitar hutan telah memiliki nilai-nilai
kearifan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dalam
mengelola sumberdaya lingkungan. Oleh karena itu, pengaruh
PHBM terhadap kapasitas lingkungan akan ditentukan oleh hidup
tidaknya kembali kearifan lokal serta penerapan inovasi teknologi
baru yang ramah lingkungan.
h) Sumberdaya Genetik Generasi Mendatang
Nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat mempunyai
semacam pantangan untuk merusak sumberdaya lingkungan
dengan semena-mena. Institusi sosial yang dibangun sesuai
dengan karakteristik sumberdaya alam yang dikelola, akan
memberikan perlindungan yang efektif terhadap sumberdaya
alam itu sendiri. Pelanggaran oleh satu anggota masyarakat,
akan mendatangkan sanksi sosial yang keras dari kesatuan
anggota masyarakat yang lainnya. Ketika keanekaragaman
sumberdaya hayati telah menjadi unsur yang disepakati untuk
dilindungi, maka keberadaannya akan lebih terjamin untuk
generasi di masa yang akan datang.
29. 17
B. Perkembangan Industri Perkayuan dan Permasalahan Bahan
Baku
1. Kebijakan Industri Perkayuan
Pengelolaan sumber daya hutan secara lestari dan
berkelanjutan merupakan kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk
menjawab amanat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Pasal ini diatribusi ke dalam UU No. 41 T ahun 1999
tentang Kehutanan, yang kemudian mengalami perubahan
berdasarkan Perpu No. 1 T ahun 2004. Perpu ini kemudian
disahkan sebagai UU No. 19 Tahun 2004.
Dalam pasal 2 UU No. 41 T ahun 1999 disebutkan bahwa
“Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari,
keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan“. Secara
teoritis, dalam asas ini terlihat upaya pemerintah untuk
mengimplementasikan 4 prinsip good governance dalam
penyelenggaraan kehutanan guna menjamin dan melindungi serta
mengamankan fungsi hutan (Forest Watch Indonesia, 2011).
Selanjutnya pada masa orde baru, kewenangan perizinan
industri pengelolahan kayu dikuasi oleh pemerintah pusat, dibawah
kewenangan Departemen Perindustrian dan Pedagangan, Upaya
mempercepat tumbuhnya industri pengelolaan kayu juga didukung
30. dengan kemudahan birokrasi. Wujud sentratlistik tersebut
ditegaskan dalam PP No.17 Tahun 1986 yang menyebutkan bahwa
kewenangan industri berada ditangan presiden yang
pelakasanaannya diserahkan kepada Menteri Perindustrian, serta
tanggung jawab menteri-mentri lain sesuai dengan bidangnya
(Greenomics Indonesia, 2004).
PP No. 17 Tahun 1986 ditindaklanjuti dengan PP No.13 tahun
1987 tentang Izin Usaha Industri, yang mengatur ketentuan bahwa
izin usaha industri merupakan kewenangan Manteri Perindustrian.
Bentuk perizinan idnustri yang menjadi kewenangan Departemen
Perindustrian tersebut terdiri dari izin tetap dan izin perluasan.
Kewenangan Departemen Perindustrian tidak hanya mencakup
kewenangan perizinan, namun juga diperluas dalam bentuk
kewenangan pembinaan terhadap iklim usaha, sarana, usaha, dan
produksi dari industri pengelolaan kayu. Selain pembinaan jufa
dilakukan pengawsan terhadap perusahan industri yang telah
mendapatkan izin usaha industri (Greenomics Indonesia, 2004).
Pada tahun 1997, Menteri Perindustrian dan Perdagangan
melimpahkan kewenangan perizinan dibidang industri dan
perdagangan kepada Dirjen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan,
dengan pertimbangan untuk kelancaran proses perizinan bidang
industri dan perdagangan. Pelimpahan kewenagan tersebut
dituangkan dalam Kepmenperindag No. 255/MPP/Kep/7/1997.
18
31. Menteri Kehutanan juga melimpahkan kewenangan dalam hal
pelaksanaan kepemilikan dan keterkaitan HPH dengan industri
pengelolaan kayu kepada Dirjen Pengusahaan Hutan, dengan
pertimbangan untuk efisiensi dan mempercepat pelayanan
(Greenomics Indonesia, 2004).
Bentuk kewenangan yang diberikan kepada Direktur Jendral
Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan meliputi kewenangan dalam
pemberian izin, kewenangan menoloak permohonan, pemberian
peringatam, pembekuan dan pencabutan izin industri (Greenomics
Indonesia, 2004).
Setelah rezim orde baru yang ditandai dengan lahirnya era
otonomi daerah, memberikan dampak pada dimulainya proses
desentralisasi kewenangan terkait dengan perizinan industri
pengelolaan kayu. Pelimpahan sebagaian urusan dan kewenagan
pusat kepada daerah yang diatur melalui UU No.22 tahun 1999 dan
UU No.25 tahun 1999 juga mencakup kewenangan perizinan industri
pengelolaan kayu. Pada oktober 1999, Menteri Perindustrian dan
Perdagangan menetapkan pelimpahan kewenangann pemberian
izin bidang industri dan perdaganan kepada Kabupaten/Kota dan
Provinsi.
Kewenangan tersebut mencakup kewenangan untuk
memberikan peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin.
Pembagian wewenang perizinan industri tersebut hanya
19
32. berdasarkan nilai investrasi perusahaan industri yang bersangkutan,
tanpa memperhatikan volume atau kapasitas produksi industri itu
sendiri (Greenomics Indonesia, 2004).
Izin usaha industri pengolahan kayu dapat diberikan kepada
perorangan, perusahan, persekutuan atau badan hukum yang
berkedudukan di Indonesia. Pelimpahan kewenangan pemberikan
perizinan industri pengelolaan kayu tersebut mencakup industri
penggergajian kayu, industri pengawetan kayu, industri kayu lapis,
industri kayu lapis laminasi termasuk Decorative Plywood, industri
panel kayu lainnya, industri venner dan industri moulding dan
komponen bahan bangunan.
Dengan adanya pelimpahan kewenangan perizinan industri
pengelolaan kayu kepada pemerintah daerah, maka pemerintah
pusat berperan dalam pembinaan industri. Kewenagan pembinaan
berada pada Direktur Jendral Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan
untuk perusahaan dengan nilai ivenstasi diatas 1 Milyar. Sedangkan
untuk perusahaan industri dengan nilai investasi sampai dengan 1
milyar, kewenangan pembinaannya berada pada Direktur Jendral
Industri Kecil dan Dagangan Kecil (Greenomics Indonesia, 2004).
20
2. Degradasi / Penurunan Potensi Hutan
Berdasarkan hasil temuan Forest Watch Indonesia (2011),
mengemukakan beberapa temuan-temuan terkait deradasi yang
berimpact pada penurutunan potensi hutan sebagai berikut :
33. Pertama, Laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009 adalah
sebesar 1,51 juta ha/tahun, dengan laju deforestasi terbesar
terjadi di Kalimantan yaitu sebesar 550.586,39 ha/tahun. Jika laju
deforestasi tidak ditekan, diperkirakan pada tahun 2020 tutupan
hutan di Jawa akan habis dan pada tahun 2030 tutupan hutan di
Bali-Nusa T enggara juga akan habis.
Kedua, Pada tahun 2003, sektor kehutanan memberikan
sumbangan 1,09% terhadap produk domestik bruto, menurun
menjadi 1,05 persen pada tahun berikutnya. Pada tahun 2008,
kontribusi ini hanya 0,79 persen. Kecenderungan penurunan
kontribusi ini menjadi pertanyaan mengingat pada rentang waktu
yang relatif sama, produksi kayu bulat nasional justru meningkat
drastis dalam jangka 4 tahun, yaitu dari 11,42 juta meter kubik pada
tahun 2003 menjadi 31,49 juta meter kubik pada tahun 2007 dan
meningkat lagi menjadi 31,98 juta meter kubik pada tahun 2008.
Ketiga, kebijakan produksi kayu nasional selama ini menopang
pengrusakan hutan alam Indonesia:
a) Tingginya total produksi tahunan dari seluruh izin pemanfaatan
kayu mengindikasikan adanya aktivitas pembukaan hutan alam
setiap tahun dengan luasan yang berbading lurus
b) Kebutuhan kawasan hutan untuk aktivitas di luar sektor
21
kehutanan, terutama perkebunan dan pertambangan
34. c) Pemegang konsesi hutan tanaman industri banyak melakukan
pemanenan terhadap kayu hutan alam secara besar-besaran
dengan memanfatakan izin pemanfaatan kayu
Keempat, berkurangnya luas areal kerja Hak Pengusahaan Hutan
berjalan seiring dengan berkurangnya tutupan hutan. Pada tahun
2000, luas areal Hak Pengusahaan Hutan seluas 39, 16 juta ha,
sedangkan tahun 2009 menurun menjadi 26,16 juta ha. Pada
rentang waktu yang sama tutupan hutannya berkurang dari 22,01
juta ha menjadi 20,42 juta ha.
Kelima, laju deforestasi di kawasan hutan produksi dan hutan
produksi terbatas yang dilakukan oleh perusahaan pemegang
konsesi Hak Pengusahaan Hutan antara lain disebabkan oleh:
perusahaan tidak melakukan kewajiban silvikultur tebang pilih
tanam Indonesia yang dipersyaratkan bagi unit manajemen Hak
Pengusahaan Hutan, tidak mel akukan pengayaan, menyusun
laporan realisasi fiktif, Laporan Hasil Cruising fiktif, tidak
melakukan inventarisasi tegakan, tidak melakukan penataan
batas secara lugas, menebang di luar areal kerja tahunan,
menebang melebihi jatah tebangan, menerima hasil-hasil
pembalakan liar.
Forest Watch Indonesia (2011), juga menuliskan bahwa terjadi
tekanan terhadap kawasan hutan secara tidak langsung dapat
diakibatkan oleh kebijakan penataan ruang wilayah dan kawasan
22
35. hutan. Mekanisme paduserasi tataguna hutan kesepaatan dengan
rencana tata ruang wilayah Provinsi, tidak diikuti dengan aturan
yang jelas dan tegas. Tidak ada mekanisme penyelesaian konflik
kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemda
dalam proses paduserasi.
Akibatnya, meski belum melalui proses paduserasi, pemda
kerap menjadikan Rencana Tata Ruang Wilayah. Ditambah lagi
Kebijakan-kebijakan yang kontra produktif menjadi katalis
perusakan hutan alam menjadi perkebunan terutama perkebunan
sawit. Peraturan yang ada sebenarnya mengatur kriteria pelepasan
untuk keperluan perkebunan dimana hutan yang dapat
dilepaskan adalah HutanProduksi yang dapat dikonversi.
Namun karena ketidakjelasan aturan, Hutan Produksi dapat
dirubah menjadi Hutan Produksi Konversi yang tidak lama
berselang dapat dilepaskan secara parsial menjadi perkebunan.
Pada berbagai kasus, perusahaan tidak segan-segan untuk
melakukan pembukaan lahan dengan membabat hutan tanpa izin
pelepasan kawasan.
Sektor pertambangan juga memberi tekanan yang besar
terhadap kawasan hutan. Hingga tahun 2011 lebih dari 6.000
kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan
hanya sekitar 200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai
kawasan hutan. Ketika legalitas dan legitimasi kawasan hutan
23
36. diragukan , praktik-praktik ilegal pertambangan di kawasan hutan
seolah tidak tersentuh oleh hukum (Forest Watch Indonesia, 2011).
3. Kesenjangan antara Potensi Hutan dan Kebutuhan Bahan Baku
Memasuki abad 21, pembangunan kehutanan Indonesia
dihadapkan pada permasalahan yang makin kompleks dan bersifat
multidimensional. Salah satu masalah yang cukup menonjol adalah
masalah tidak seimbangnya antara pasokan kayu bulat terhadap
permintaan bahan baku industri pengolahan kayu. Beberapa faktor
dominan yang menyebabkan tidak seimbangnya antara pasokan
dan permintaan kayu antara lain adalah menurunnya potensi
produksi hutan alam yang diakibatkan oleh menyusutnya hutan
perawan (virgin forest) dan meningkatnya luas areal bekas tebang
(log over forest). Selain itu pasokan kayu bulat yang berasal dari
hutan tanaman yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah
sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan
(Prahasto & Nurfatriani 2001).
Dalam konteks industrialisasi di Indonesia, industri kayu
memiliki peluang untuk dapat dikembangkan, mengingat Indonesia
memiliki keunggulan komparatif berupa tersedianya lahan yang luas
untuk menyediakan bahan baku kayu sebagai sumber daya alam
dari hutan tanaman. Industri kayu mempunyai potensi yang kuat dari
sisi internal supply serta sebagai salah satu unsur dalam pilar industri
agro. Namun demikian, perlu diingat bahwa ketersediaan
24
37. sumberdaya alam seringkali terbatas meskipun sumber daya
tersebut termasuk yang dapat diperbaharui (Clawson & Sedjo, 1982)
mengingatkan bahwa ketersediaan sumber daya hutan dan jaminan
manfaat jangka panjang tergantung pada tindakan saat ini dan yang
akan datang.
Permasalahan utama industri perkayuan adalah terjadinya
penurunan produksi kayu yang diambil dari hutan, sehingga terjadi
kekurangan pasokan bahan baku bagi industri. Akibat kesenjangan
supply dan demand yang paling ekstrim adalah berhentinya operasi
industri kayu. Dampak terjadinya penurunan pasokan terhadap
ekonomi nasional dapat dilihat dari adanya kecenderungan
menurunnya kontribusi kehutanan yang tercermin dari menurunnya
nilai PDB sektor kehutanan (Gambar 1). Departemen Perindustrian
(2005) juga mencatat. bahwa penurunan ekspor barang-barang kayu
pada periode tahun 2001 – 2005 sebesar 1,7%.
Sedangkan Kebutuhan industri perkayuan Indonesia
diperkirakan 70 juta meter kubik per tahun dengan kenaikan rata-rata
sebesar 14,2%/tahun (Pryono, 2001). Untuk produksi kayu
bulat sendiri diperkirakan hanya sebesar 25 juta meter kubik per
tahun atau dengan kata lain terjadi defisit sebesar 45 juta meter
kubik. Hal ini menujukkan bahwa sebenarnya daya dukung hutan
sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan kayu (Setyawati, 2003).
25
38. 26
Gambar 1. Grafik PDB Nasional Sektor Kehutanan
Menyikapi kondisi ini industri perkayuan harus memiliki
strategi yang tepat dalam menjaga kelanjutan proses produksinya
ditengah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Industri perkayuan
harus dapat mempertahankan kondisi dimana bahan baku kayu
bulat tetap dalam kondisi yang stabil khususnya dari segi jumlah.
Jika persediaan bahan baku kayu bulat terlalu besar maka
industri akan mengalami kerugian, demikian pula jika persediaan
bahan baku dalam jumlah yang lebih kecil dari kapasitas mesin
maka industri juga akan mengalami kerugian. Agar proses
produksi dapat berlangsung secara berkesinambungan, maka
industri harus dapat memperkirakan seberapa besar kebutuhan
39. bahan baku kayu bulat yang diperlukan di masa yang akan datang
(Makarennu dkk, 2009)
27
C. Pembangunan HTR sebagai salah satu Model PHBM
1. Konsep HTR
Hutan tanaman rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada
hutan produksi yang dibangun oleh masyarakat untuk meningkatkan
potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem
silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan pasar
dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan program
HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan kemiskinan,
pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi kehutanan
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi permintaan
bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010).
Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda
revitalisasi pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga
merupakan implementasi dari Kebijakan Prioritas Sektor Kehutanan
dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat setempat sehingga sektor
kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup,
mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada
areal sekitar hutan (Emila dan Suwito, 2007).
40. HTR berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
No.23/Menhut-II/2007 adalah hutan tanaman yang dibangun oleh
perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas
Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka
menjamin kelestarian sumber daya hutan. Dengan kata lain HTR
adalah kegiatan rehabilitasi Hutan Produksi yang dilaksanakan oleh
masyarakat baik perorangan maupun koperasi untuk kelestarian
sumber daya hutan, di mana masyarakat dapat memperoleh manfaat
ekonomi dari apa yang ditanamnya untuk peningkatan
kesejahteraan.
Kawasan hutan yang dapat dijadikan lokasi pembangunan
HTR adalah Hutan Produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani
hak (ijin) serta telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai
lokasi HTR dengan luasan 15 Ha tiap Kepala Keluarga (KK) atau
sesuai kemampuan untuk koperasi. Lokasi HTR diutamakan berada
dekat dengan industri hasil hutan untuk memudahkan pemasaran.
Pengembangan HTR juga biasanya dilakukan dengan
mengkombinasikan berbagai varietas tanaman pokok. Hal tersebut
dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan
dari tanaman budidaya tahunan selama masa menunggu waktu
penebangan kayu, di samping hasil tambahan lain melalui kegiatan
tumpang sari tanaman hortikultura/palawija. Prosentase komposisi
jenis tanaman untuk pembangunan HTR yang menggunakan
28
41. tanaman pokok berbagai jenis ditetapkan sebagai berikut: tanaman
hutan berkayu ± 70%, tanaman budidaya tahunan berkayu ± 30%.
(Pemegang ijin dapat melakukan kegiatan tumpangsari tanaman
budidaya musiman/palawija diantara tanaman pokok sampai dengan
2–3 tahun).
Pengaturan letak komposisi jenis tanaman pokok disesuaikan
dengan jarak tanam, kesesuaian persyaratan tempat tumbuh dan
kondisi fisiografi lapangan. Di samping tanaman pokok, pada batas
areal kerja atau batas antar blok/ petak tanaman pokok dapat
dikembangkan jenis-jenis tanaman lain yang dapat berfungsi
sebagai tanaman tepi yaitu berupa tanaman pagar, tanaman sekat
bakar, tanaman pelindung dan tanaman kehidupan (Prijono, 2010).
Alif, dkk (2010) mengatakan bahwa peraturan mengenai
hutan rakyat kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat
dalam Hutan Tanaman yang mengalami revisi pada tahun 2008
melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.5/Menhut-II/2008
tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.23/Menhut-II/2007. Adapun aturan-aturan lanjutan mengenai
hutan tanaman rakyat lebih rinci dan dilengkapi oleh beberapa
Peraturan Menteri Kehutanan dan Peraturan Direktur Jenderal Bina
Produksi Kehutanan :
29
42. 1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2008 tentang
Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk Mendapatkan Pinjaman
Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.
2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008
tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.
3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2009
tentang Standart Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri
dan Hutan Tanaman Rakyat.
4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2009
tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri dan Hutan
Tanaman Rakyat.
5. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor
P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan
Hutan Tanaman Rakyat.
6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan P.06/VI-BPHT/
2008 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bina
Produksi Kehutanan Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang
Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.
Berdasarkan pembelajaran terhadap beberapa program
pemberdayaan masyarakat sebelumnya, Emila dan Suwito (2007)
30
43. menyimpulkan bahwa HTR harus dijalankan dengan prinsip-prinsip
pemberdayaan masyarakat yaitu :
a. Masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan
kebutuhannya ( people organized themselves based on their
necessity) yang berarti pemberdayaan hutan beserta
masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh proyek
ataupun bantuan luar negeri karena kedua hal tersebut tidak
akan membuat masyarakat mandiri dan hanya membuat
“kebergantungan” masyarakat.
b. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat karya
(labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi
pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab.
c. Pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan
memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang
tadinya informal di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor
formal ekonomi kehutanan/ekonomi lokal, nasional dan global
sehingga bebas dari pemerasan oknum birokrasi
dan premanisme pasar
31
2. Model Pembagunan HTR
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua
kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta pada wilayah
zona inti dan zona rimba taman nasional. Pemanfaatan hutan
dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi
44. kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya baik kelestarian lingkungan (ekologi),
maupun kelestarian fungsi produksi dan fungsi sosialnya.
Pemanfaatan setiap fungsi hutan adalah sebagai berikut
(Malamassam, 2009) :
1. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil
hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, serta pemungutan hasil
hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan hutan produksi hanya
bisa dilakukan oleh pihak yang memiliki ijin, seperti ijin usaha
pemanfaatan kawasan hutan (IUPKH), izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan (IUPJL), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
(IUPHHK), ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
(IUPHHBK), atau ijin usaha pemungutan hasil hutan kayu dan
bukan kayu.
2. Pemanfaatan hutan lindung juga dapat berupa pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil
hutan bukan kayu (yang tidak mengganggu fungsi pokok).
Dengan demikian, pemanfaatan hutan lindung hanya dapat
dilaksanakan oleh pihak yang memiliki ijin usaha pemanfaatan
kawasan hutan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan ijin
pemungutan hasil hutan bukan kayu.
32
45. 3. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan
hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengelolaan kehutanan seharusnya mengikuti paradigma baru
pembangunan kehutanan yang menekankan pada konsep
manajemen hutan lestari dan berbasis pada masyarakat. Soedirman
(1995) mengatakan bahwa pengelolaan hutan secara lestari adalah
proses pengelolaan areal hutan permanen untuk mencapai satu atau
lebih tujuan yang telah ditentukan dengan berdasarkan kontinuitas
produksi dan manfaat lainyang diinginkan, tanpa mengakibatkan
kemunduran nilai produktivitas hutan di masa dating dan timbulnya
akibat yang diharapkan pada komponen fisik dan lingkungan
sosialnya.
Selain itu Alam (2011) mengungkapkan betapa pentingnya
konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dimuat melalui
kehutanan masyarakat. Kehutanan masyarakat (community forestry)
merupakan suatu konsep pengelolaan hutan yang menempatkan
masyarakat sekitar hutan sebagai pelaku utama dalam mengelola
sumberdaya hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan
melestarikan fungsi hutan.
Pemanfaatan dan penggunaan hutan oleh masyarakat selama
ini, umumnya masih tergolong kegiatan yang bersifat illegal dan
cenderung merusak hutan. Selain itu, sebagian warga masyarakat
33
46. cenderung mengkonversi lahan hutan menjadi lahan usaha komoditi
pangan/ perkebunan umumnya belum mengusahakan komoditi
kehutanan. Bentuk pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat
umumnya hanya berupa kegiatan pemungutan kayu, hasil hutan non
kayu dan pemanfaatan kawasan hutan untuk tanaman
pangan/perkebunan.
Mereka pada dasarnya belum mengusahakan komoditas
kehutanan dan karena itu pula maka kegiatan-kegiatan yang mereka
lakukan belum dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dan
belum berorientasi pada upaya pelestarian fungsi hutan.oleh karena
itu diperlukan sebuah model yang membangun hutan lestari dan
dikelola oleh masyarakat sekitar hutan (Alam, 2011).
Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi
dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan
hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan
timbal balik dalam istila sebab akibat. Oleh karena suatu model
adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang
kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan
lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang
sedang dikaji (Eriyatno, 2003).
Eriyatno (2003) mengklasifikasikan model, Klasifikasi
perbedaan dari model dapat memberikan pendalaman pada tingkat
kepentingannya, karena dapat dijelaskan dalam banyak cara. Model
34
47. dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok
pengkajian atau derajat keabstrakannya. Kategori umum adalah
jenis model yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi :
1. Model ikonik (model fisik)
Model ikonik adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam
bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik
mempunyai karakteristik yang sama dengan hal yang diwakili,
dan terutama amat sesuai untuk menerangkan kejadian pada
waktu yang spesifik. Model ikonik dapat berdimensi dua (foto,
peta, cetak biru) atau tiga dimensi (prototip mesin, alat). Apabila
model berdimensi lebih dari tiga maka tidak mungkin lagi
dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model
simbolik.
35
2. Model analog (model diagramatik)
Model analog dapat mewakili situasi dinamik, yaitu pada keadaan
berubah menurut waktu. Model ini lebih sering dipakai daripada
model ikonik karena kemampuannya untuk mengetengahkan
karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model analog banyak
berkesesuaian dengan penjabaran hubungan kuantitatif antara
sifat dan klas-klas yang berbeda.
Dengan melalui transformasi sifat menjadi analognya,
makakemampuan untuk membuat perubahan dapat ditingkatkan.
Contoh dari model analog ini adalah kurva permintaan, kurva
48. distribusi frekuensi pada statistik dan diagram alir. Model analog
dipakai karena kesederhanaan namun efektif pada situasi yang
khas seperti pada proses pengendalian mutu industri (Operating
Characteristic Curve).
36
3. Model simbolik (model matematik)
Pada hakekatnya, ilmu sistem memusatkan perhatian pada
model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji.
Format model simbolik dapat berupa bentuk angka, simbol dan
rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu
persamaan.
Terdapat beberapa hal/informasi yang perlu diperhatikan dalam
rangka pembentukan unit pengelolaan hutan, sebagai unit
pengelolaan hutan terkecil pada hamparan lahan hutan, untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal atau informasi
termaksud adalah sebagai berikut (Malamassam, 2009) :
1. Karakteristik lahan
2. Tipe hutan
3. Fungsi hutan
4. Kondisi daerah aliran sungan (DAS)
5. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar dan di dalam
kawasan hutan
6. Kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat
hukum adat
49. 37
7. Batas administrasi pemerintahan
8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan
9. Batas alam dan atau buatan yang bersifat permanen
10. Penggunaan lahan
3. Permasalahan HTR
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas
Hasanuddin bekerjasama dengan Balai Penelitian dan
Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa
ada beberapa kendala terkait implementasi program Hutan
Tanaman Rakyat di Sulawesi Selatan. Kendala-kendala tersebut
mulai dari kesepahaman bersama mengenai pentingnya HTR
dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan perekonomian
daerah, belum adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten
memberikan porsi anggaran pada pembangunan hutan tanaman
rakyat, mekanisme yang birokratis, hingga kurangnya komunikasi
antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten.
Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh belum adanya
model pengelolaan di tingkat tapak yang mengatur fungsi
stakeholder terkait (Alif, dkk, 2010)
Masalah lainya adalah masalah yang ditemukan pada Industri
Kehutanan. berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam
sangat menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat
ini masih menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam.
50. Karena kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki
karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang
disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih
banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan
alam.
Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative
bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat.
Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri
kehutanan adalah berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan
Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada konteks
pengelolaan hutan tanaman rakyat proses management untuk
membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi dan
diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena keterbatasan
pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan ditingkat tapak.
4. Rencana Pembangunan HTR di Sulsel dan Khususnya di
38
Kabupaten Barru
Pada kasus pengembangunan HTR di Kabupaten Barru, Barru
memiliki pontensi yang cukup besar untuk pengembangan hutan
tanaman rakyat, dari data yang didapatkan di dinas kehutanan
Kabupaten Barru sendiri memiliki potensi hutan produksi yang cukup
besar dan dapat dikelolah baik untuk pengembangan HTR dan HTI
yaitu sebesar 17.312 ha (Tabel. 2)
51. Data tahun 2010-2012 dikabupaten barru sendiri telah dilakukan
pencanangan Hutan tanaman Rakyat (HTR) oleh Kementiran
Kehutanan seluas 1.497 ha yang terdiri dari 3 kecamatan (lihat Tabel
3). Sedangkan yang telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfatan
Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR) Kayu dari Bupati dan telah
diverifikasi oleh sebesar 1.481 ha. Pada tahun pertengan tahun 2013
angka tersebut naik, menurut Dinas Kehutanan Barru pertengahan
tahun ini dinas kehutanan kembali mengusulkan Pencangan HTR
sebesar 14.000 ha yang tersebar hampir disetiap kecamatan, model
pengelolaannya pun menggunakan skema mandiri.
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa potensi Hutan Produksi yang telah
mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HTR)
sebesar 1.481 ha yang berarti masih ada 1.147 ha yang sudah di
canangkan akan melakukan pengusulan izin dan 14.000 ha sedang dalam
pengusulan pencangan di kementerian kehutanan.
39
52. Tabel 2. Hutan Produksi disetiap Kecamatan/Desa Kabupaten Barru
40
Kecamatan Desa
Hutan Produksi
Luas (ha)
Balusu Balusu 800.90
Binuang 1,029.70
Kamiri 2,782.58
Takkalasi 49.35
Total 4,662.54
Barru Galung 1,729.11
Mangempang 2.97
Sepee 482.93
Siawung 217.52
Tompo 302.18
Total 2,734.72
Mallusetasi Manuba 21.17
Nepo 7.01
Total 28.18
Pujananting Bacu-bacu 2,479.50
Gattareng 267.61
Pattappa 1,720.84
Pujananting 390.08
Total 4,858.03
Soppeng
Riaja Ajakkang 343.25
Paccekke 763.74
Total 1,106.98
Tanete Riaja Harapan 1,733.74
Libureng 94.30
Lompo Riaja 723.30
Mattirowalie 1,370.66
Total 3,922.00
Grand Total 17,312.45
Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Barru 2013
53. 41
Tabel 3. Luas Pencanangan & Izin HTR di Kabupaten Barru
KECAMATAN DESA HPT
(ha)
PENCAN
DANGA
N
HTR
Usulan Izin
Kelompok LUAS
(ha)
Kelompok LUAS
(ha)
Ballusu Kammiri 2,782 1.273 KTH Semangat 258 KTH Semangat 251
KTH Coppo
Barraming 299
KTH Coppo
Barraming 312
Balusu 800 800 KTH Bolong Ringgi 300 KTH Bolong Ringgi 274
KTH Jempo Salo 200 KTH Jempo Salo 200
Barru Galung 1,729 170 KTH Samuddae 170 KTH Samudae 170
Sepee 482 115 KTH Deae 155 KTH Deae 66
Pujananting Bacu-bacu 2,479 411 KTH Padang Pobbo 270 KTH Padang Pobbo 208
Jumlah 8,272 1,497 1,652 1,481
Sumber : Dinas Kehutanan Barru 2012
Potensi Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat secara
nasional dan per region seperti halnya kabupaten barru terus
mengalami peningkatan dari tahun ketahun tetapi riset dan
pengembangan pengelolaann dilevel masyarakat masih sangat
minim, disisi lain banyaknya kasus industri kehutanan di Indonesia
yang gulung tikar atau bangkurt karna sulitnya mendapatkan bahan
pasokan kayu yang legal, hal ini lah yang kemudian menjadikan
kenapa riset ini penting untuk dilakukan, untuk menjadikan justifikasi
pengelolaan hutan tanaman rakyat dilakukan dengan menajemen
yang kompleks mempertimbangakan beberapa aspek seperti pola
ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar dan industri,
sehingga dapat memberikan jaminan kepada masyarakat,
pemerintah daerah, Industri dan hutan akan kebutuhan setiap
stakholder dapat terpenuhi.
54. 42
5. Kerangka Pikir
Pengelolaan Hutan
Industri Kehutanan Pembangunan HTR
Penyusutan Bahan Baku Pontensi Produksi Kayu
Desain Pembangunan HTR
Gambar 2. Kerangka Pikir
Pada kerangka pikir (Gambar 2), maksud yang melatar belakangi
penelitian ini jika dilihat secara makro ialahpengelolaan hutan dari
dua bagian; Pertama sektor industri yang berada pada hilir, yang
mengelola hasil kayu dari hutan dan sektor Hutan Tanaman Rakyat
yang berada di daerah hulu yang memproduksi kayu dari hutan
produksi.
Dari penjelasan tinjauan pustaka, bahwa sektor industri
mempunyai masalah yang cukup penting dalam perkembangannya
55. saat ini. Hal tersebut ditandai dengan penurunan produksi kayu
sehingga terjadi kekurangan pasokan bahan baku bagi industri.
Akibat dari kesenjangan supply dan demand yang paling ekstrim
adalah berhentinya operasi industri kayu.
Berkurangnya sumber bahan baku dari hutan alam sangat
menggangu keberlangsungan industri kehutanan yang saat ini masih
menggantungkan supplai bahan bakunya pada hutan alam. Karena
kayu yang dihasilkan dari hutan alam cenderung memiliki
karakteristik diameter besar, termasuk jenis-jenis komersial yang
disenangi pembeli (buyer), variasi produk yang dihasilkan lebih
banyak dan rendemen output lebih maksimal yang berasal dari hutan
alam.
Sehingga Industri pengolahan kayu harus mencari alternative
bahan baku seperti dari hutan tanaman rakyat atau kayu rakyat.
Potensi paling besar yang memungkinkan supplai untuk industri
kehutanan ialah bahan baku yang berasal dari Hutan Tanaman
Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sedangkan pada
konteks pengelolaan hutan tanaman rakyat proses menejemen
untuk membuat kayu yang ditanam dapat memiliki nilai yang tinggi
dan diserap oleh industri kehutanan tidak dilakukan karena
keterbatasan pengetahuan masyarakat dan pradigma pengelolaan
ditingkat tapak.
43
56. Disatu sisi pembangunan HTR terus dilakukan oleh pemerintah,
hal tersebut terkait dengan program pemerintah sebagai upaya
dalam melakukan pengentasan kemiskinan (pro-poor), menciptakan
lapangan kerja baru (pro-job), dan memperbaiki kualitas
pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku
ekonomi (pro-growth).
Pembangunan HTR sebagaimana menjadi agenda revitalisasi
pertanian, kelautan dan kehutanan. Kebijakan HTR juga merupakan
implementasi dari Kebijakan Prioritas sektor kehutanan dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat sehingga sektor
kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pertumbuhan ekonomi nasional, perbaikan lingkungan hidup,
mensejahterakan masyarakat dan memperluas lapangan kerja pada
areal sekitar hutan (Emila dan Suwito, 2007).
Maka dengan konsep integrasi antara kepastian produksi dan
pasar dengan basis pemberdayaan masyarakat lokal diharapkan
program HTR dapat menjadi salah satu agenda pengurangan
kemiskinan, pengurangan pengangguran, peningkatan kontribusi
kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan memenuhi
permintaan bahan baku industri kayu (Alif, dkk, 2010). Hal
tersebutlah yang mendorong penelitian ini untuk Mendesain
Pembangunan Hutan Tanaman rakyat yang lebih kompleks
44
57. 45
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Kabupaten Barru
Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini mencoba meddesain
pembangunan hutan tanaman rakyat dengan mengintegrasikan dengan
pola ruang, kesesuaian lahan, pengelola/masyarakat, pasar, lokasi dan
kebutuhan bahan baku industri berbasis spasial.
Waktu pelaksanaan penelitian berlangsung dari bulan Maret 2014
hingga bulan Juni 2014. Penelitian dilaksanakan melalui 3 tahap yaitu,
(1) Penelitian pendahuluan (2) Pengambilan data lapangan & data
skunder, (3) Rancangan Desain dan Rekomendasi.
B. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi pada areal
kawasan hutan kabupaten barru dan wawancara langsung dengan
petani hutan pemegang IUPHHK-HTR dan masyarakat sekitar hutan,
dinas kehutanan kabupaten Barru, penyuluh kehutanan dan lembaga
pendamping lokal. Data primer termaksud antara lain meliputi jenis
tanaman yang diminati dan ditanam masyarakat, dan model
pengelolaan HTR.
Data sekunder diperoleh dari berbagai hasil penelitian, literatur
buku, data-data dari instansi terkait, dan informasi lainnya yang terkait
dengan penelitian ini. Data sekunder termaksud berupa kondisi umum
58. wilayah sekitar hutan seperti : sejarah kawasan, kondisi biofisik
kawasan, dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Data
sekunder lainnya berupa informasi dan data lainnya yang mendukung
kegiatan penelitian serta bahan pustaka yang dijadikan bahan referensi
landasan teori.
46
C. Populasi dan Teknik Sampel
Populasi dalam penelitian ini berupa :
1. Kawasan Hutan Produksi seluas 17.312 ha di Kabupaten Barru
2. Masyarakat pengelola hutan tanaman rakyat yang telah
mendapatkan izin, pengusulan dan masyarakat yang
menggantungkan langsung hidupnya pada sekitar hutan.
3. Industri pengolah kayu yang berada di sekitar kawasan pengelolaan
hutan tanaman rakyat
4. Dinas kehutanan Kabupaten Barru serta dinas pertanian dan
perkebunan Kabupaten Barru.
Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Pengambilan sampel kawasan dan masyarakat dilakukan dengan
menggunakan purposive sampling, yaitu memilih individu pewakil
kelompok HTR yang telah mendapatkan izin, yang terdiri dari ketua
kelompok, sekertaris dan anggota kelompok.
2. Pengambilan responden dilingkungan dinas kehutanan dan
penyuluh kehutanan dilakukan dengan memilih sebagian anggota
populasi yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
59. 47
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer :
1. Kondisi Biofisik Kawasan diperoleh melalui analisis spasial dan
survei lapangan.
2. Pengelola izin HTR yang sudah ada, Kelompok tani yang dalam
pengusulan dan masyakat sekitar hutan yang bergantung pada hasil
hutan kayu, sebanyak 45 responden diwawancarai secara langsung
dengan pendekatan partisipatif. Data yang diperoleh berupa kondisi
sosial ekonomi masyarakat.
3. Dinas kehutanan dan penyuluh diwawancarai secara langsung. Data
yang diperoleh berupa peran dan fungsi instansi terkait dalam
pengelolaan HTR serta perencanaan pengelolaan instansi terkait
kawasan penelitian.
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, dengan mengutip terhadap
bahan referensi yang menunjang penelitian. Data sekunder dijadikan
bahan pendukung dan sebagai landasan teori bagi penelitian.
E. Analisis Data
Analisis dalam rangka pembuatan desain pembangunan hutan
tanaman rakyat Kabupaten Barru dilakukan sebagai berikut :
1. Analisis Spasial
Analsis ini digunakan untuk mengekstraksi lokasi hutan di wilayah
penelitian yang sesuai untuk pengembangan HTR melalui variabel
60. penggunaan lahan, jarak hutan dari lokasi pemukiman, dan
kelerengan. Dari ketiga variabel tersebut dilakukan pembobotan
dengan skala Likert, seperti yang tertera berturut-turut pada Tabel 4,
Tabel 5 dan Tabel 6.
48
Tabel 4. Bobot Landuse terhadap HTR
No. Landuse Bobot
1 Semak Belukar 4
2 Kebun dan Tegalan 2
3 Hutan 0
Pada Tabel 4 bagian kawasan yang berpenutupan semak belukar
diberi bobot tertinggi atau 4 karena bagian ini merupakan areal –
areal bekas ladang yang telah lama ditinggalkan oleh
pemilik/penggarapnya, disisi lain semak belukar juga lebih mudah
dikonversi ke tanaman kayu dibanding kebun atau tegalan yang telah
ditumbuhi tanaman masyarakat, sehingga kebun dan tegalan diberi
bobot lebih yakni sebesar 2. Sedangkan bagian kawasan yang
berpenutupan Hutan diberi bobot terendah atau 0 karena bagian ini
harus tetap dipertahankan keberadaannya atau pada bagian ini tidak
perlu dilakukan pembangunan HTR.
Tabel 5. Bobot Jarak Pemukiman terhadap HTR
No. Jarak Pemukiman Bobot
1 < 1 km 4
2 2 km 3
3 3 km 2
4 > 4 km 1
61. Pada Tabel 5, indikator aksesibilitas lokasi HTR yang dimaksudkan
adalah jarak lokasi HTR ke lokasi pemukiman terdekat, dengan
asumsi bahwa kondisi jalan dan sarana angkutan pada semua lokasi
adalah sama. Jarak pemukiman terdekat ke areal calon lokasi HTR
diberi bobot 4 (bobot tertinggi), dan sebaliknya pada jarak terjauh
diberi bobot terendah atau 1. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa
semakin dekat jarak lokasi HTR terhadap pemukiman maka akan
semakin mudah bagi masyarakat mencapai ke lokasi HTR yang
bersangkutan.
49
Tabel 6. Bobot Kelas Lereng terhadap HTR
No. Kelas Lereng Bobot
1 0-8 % 4
2 8-15% 3
3 15-25% 2
4 25- 45% 1
5 >45% 0
Pada Tabel 6 diperlihatkan bahwa kelas lereng 0-8% diberi nilai
bobot 4 atau nilai tertinggi karena dengan kelas lereng tersebut
tergolong datar dan lebih menguntungkan dalam pengelolaan HTR
daripada lokasi yang memiliki kelerengan yang terjal. Berbeda
halnya dengan kelas lereng >25% yang tergolong curam sampai
sangat curam, hal tersebut membuat pengelolaan HTR jauh lebih
sulit dibanding kelas datar dan landai. Kelas lereng berpengaruh
terhadap erosi, dimana kelerengan yang lebih besar potensial
menyebabkan erosi yang juga lebih besar.
62. Berdasarkan hasil pembobotan dari ketiga variabel tersebut
diatas maka disusun kategori kelas kesesuain lahan di wilayah
Kabupaten Barru untuk pembangunan HTR seperti yang tertera
pada tabel 7.
50
Tabel 7. Klasifikasi Kelas Kesesuain Pengembangan HTR
No. Klasifikasi Tot. Bobot
1 Sesuai 9 -12
2 Agak Sesuai 5 - 8
3 Kurang Sesuai 1 - 4
2. Analisis Kesesuain Lahan
Setelah mendapatkan hasil ektraksi areal kawasan hutan yang
sesuai untuk pengembangan HTR dari beberapa variabel, maka
analsis kesesuain lahan dilakukan untuk menentukan jenis-jenis
tanaman yang sesuai untuk dikembangkan pada areal kawasan
hutan tersebut.
Proses penyusunan arahan penggunaan lahan untuk kebutuhan
HTR dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut:
Penyusunan karakteristik lahan
Penyusunan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan
(LURs)
Proses evaluasi kesesuaian lahan (Matching )Kesesuaian lahan
63. 51
3. Skenario Pola HTR
Sebelumnya telah didapatkan lokasi pembangunan HTR dengan
jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk dikembangkan pada areal
tertentu. Tahapan ini selanjutnya dilakukan simulasi pada luas areal
pemanfaatan yang akan dikembangkan, rotasi (tergantung jenis
tanamanya), dan produksi (m3/thn), kualitas tempat tumbuh atau
bonita dan luas penanaman. Dari hal tersebut diperoleh gambaran
tentang potensi kayu, kontinyuitas, dan kuantitas potensi tegakan
dalam pembangunan HTR dalam wilayah penelitian
64. 52
F. Kerangka Penelitian
Wilayah/Areal
Kabupaten
Arahan Pola Kesusainya HTR pada
setiap Unit Lahan
Jenis-Jenis Kesesuain Lahan
tanaman kayu :
1. Sengon
2. Jabon
3. Jati
Hasil evaluasi Kelas kesesuaian lahan
tanaman Hutan untuk Kebutuhan Bahan
Baku Industri
Gambar 3. Kerangka Penelitian
Karekteristik
- Landuse
- Jarak Pemukiman
Overlay &
Analisis
Faktor Biofisik
- Kelerengan
- Fungsi Hutan
Ekstraksi Wilayah Penelitan yang
Mendukung Hutan Tanaman Rakyat
Parameter :
1. Jenis Tanah
2. Curah
Hujan
3. Ketinggian
Potensi Bahan Baku (jarak tanam, jenis,
rotasi) & Jenis Industri Yang Sesuai
Rekomendasi Desain Pembanguan HTR
dalam Suatu Kabupaten
65. Langkah pertama pada penelitian ini seperti Gambar 3 diatas, adalah
Ekstraksi wilayah penelitian yang mendukung HTR, maksud dari hal
tersebut memisahkan areal penelitian sesuai dengan kebijakan HTR
yang berada hanya pada hutan produksi. Dari beberapa fungsi kawasan
hutan yang ada di Kabupaten Barru, hanya hutan produksi yang diambil
sebagai fokus penelitian.
Dari hal tersebut kemudian setiap unit lahan pada peta klas lereng,
peta fungsi hutan, peta landuse, dan buffer jarak pemukiman masing-masing
diberikan bobot menggunakan skala likert. Dari pembobotan
tersebut bobot tertinggi diberikan pada unit-unit lahan yang mendukung
pada pengembangan HTR, misalnya klas lereng yang landai diberi
bobot tinggi dan berbanding terbalik dengan klas lereng curam. Dari
hasil pembobotan tersebut dibuat 3 klas dari bobot tersebut masing-masing
53
klas sesuai, agak sesuai, tidak sesuai.
Tahap selanjutnya membuat klas kesesuain lahan terhadap jenis-jenis
tumbuhan yang ingin dikembangkan. Hal ini dimulai dengan
penyusunan krakteristik lahan dengan cara penetapan satuan peta
lahan (SPL). Dari hal tersebut kemudian dilakukan matching dengan
persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan (LURs). Outputnya
adalah peta kesesuain lahan untuk kebutuhan tanaman HTR.
Setelah matching antara syarat tumbuh dan satuan peta lahan maka
didapatkan tanaman yang akan direkomendasikan dan ditanam. Dari
hal tersebut dilakukan skenario terhadap jarak tanam, jenis tanaman,
66. rotasi dan luas yang kemudian akan dikembangkan. Hal tersebut akan
dapat memproyeksi berapa kuantitas dan kontinyuitas kayu yang akan
dihasilkan dari areal tersebut. Dari data tersebut juga akan dapat
menggambarkan industri apa yang cocok dikembangkan berdasarkan
hasil pengembangan, jika skenario tersebut dijalankan. Penempatan
industri juga diperhitungkan apabila memang layak secara pemenuhan
bahan baku, karena penempatan industri akan mengikuti pola ruang
yang berada di Kabupaten Barru.
54
67. 55
BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
A. Kawasan Hutan
Kawasan Hutan Kabupaten Barru berdasarkan fungsinya dapat
dibedakan atas Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi.
Luas Kawasan Hutan Kabupaten Barru bardasarkan SK Menhut No.
434 Tahun 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi
Perairan Propinsi Sulawesi Selatan dan Perda No. 09 Tahun 2009
Tentang RTRW Propinsi Sulawesi Selatan adalah 68.179,99 ha yang
terdiri dari :
Hutan Lindung : 51.266,03 ha
Hutan Produksi Terbatas : 16.913,96 ha
Secara detail sebaran kawasan hutan pada tujuh kecamatan yang
berada di Babupaten Barru, dapat Tabel 8.
Tabel 8. Luas Kawasan Hutan dalam setiap Kecamatan di Kabupaten
Barru Tahun 2012.
No. Kecamatan
Jenis Hutan
Hutan
Lindung
Hutan Produksi
Terbatas
Jumlah Luas
(Ha)
1. Pujananting 19.447,25 4.858,08 23.601,99
2. Tanete Riaja 3.499,65 3.922,82 8.142,47
3. Tanete Rilau 2.164,09 - 2.164,09
4. Barru 6.978,28 2.734,72 10.135,96
5. Balusu 1.649,38 4.662,54 5.996.60
6. Soppeng Riaja 1.526,84 1.106,98 2.464,76
7. Mallusetasi 16.000,54 28,18 16.137,68
JUMLAH 51.266,03 17.312,45 68.179,99
Sumber : Dinas Kehutanan Tahun 2013.
68. 56
B. Hutan Tanaman Rakyat & Perkembangannya
Barru memiliki pontensi yang cukup besar untuk pengembangan
hutan tanaman rakyat, dari data yang didapatkan di dinas kehutanan
Kabupaten Barru sendiri memiliki potensi hutan produksi yang cukup
besar dan dapat dikelolah dengan baik untuk pengembangan HTR yaitu
sebesar 17.312 ha, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 8.
Pada tahun 2010-2013 Kementerian Kehutanan telah melakukan
pencanangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Kabupaten Barru seluas
1.497 ha, yang meliputi 3 kecamatan (llihat pada Tabel 3). Sedangkan
yang telah mendapatkan izin usaha pemanfatan hasil hutan kayu
(IUPHHK HTR) dari Bupati dan telah diverifikasi adalah seluas 1.481 ha
(llihat pada Tabel 3). Pada pertengahan tahun 2013 Dinas Kehutanan
kembali mengusulkan areal pencadangan HTR sebesar 14.000 ha yang
tersebar hampir disetiap kecamatan, dengan model pengelolaan yang
menggunakan skema mandiri.
C. Kondisi Biofisik Kawasan
1. Penutupan lahan
Luas Kawasan Hutan Kabupaten Barru, berdasarkan SK
Menhut No. 434 Tahun 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan
dan Konservasi Perairan Propinsi Sulawesi Selatan serta Perda No.
09 Tahun 2009 Tentang RTRW Propinsi Sulawesi Selatan adalah
sebesar 68.179,99 ha atau 58,04% dari total luas wilayah Kabupaten
69. Barru dengan rincian Kawasan Hutan Lindung seluas 51.266,03 ha
dan Kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 16.913,96 ha.
Wilayah Kabupaten Barru yang masih berpenutupan vegetasi
berupa hutan (berhutan) adalah seluas 16.377,00 Ha dan yang
bukan berupa hutan (non hutan) adalah seluas 100.648,00 ha
(terdapat 1.867,00 ha tertutup awan). Kawasan hutan di Kabupaten
Barru telah ditata batas 100 % pada tahun 1997/1998 dengan
panjang batas luar sebesar 554,12 km. Tata batas fungsi hutan
lindung/hutan produksi terbatas tahun 2000 dengan panjang tata
batas 31,23 km. Pola tata guna hutan di kawasan hutan ini selain
terdiri dari kawasan hutan lindung, dan hutan produksi terbatas juga
terdapat kawasan budidaya, yang terdiri dari sawah dan lahan
kering. Luas dan sebaran kawasan budidaya dapat dilihat pada
Tabel 9.
57
2. Iklim
Berdasarkan pembagian tipe iklim dengan metoda zone
agroklimatologi yang menggunakan perbandingan jumlah bulan
basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) dan bulan kering (curah
hujan kurang dari 100 mm/bulan). Wilayah Kabupaten Barru teridiri
atas 84.340 ha atau sekitar 71,79 % bagian bertipe iklim C dengan
bulan basah 5 – 7 bulan (Oktober – April) dan bulan kering kurang
dari 2 bulan (Mei – September). Curah hujan tertinggi diwilayah ini
terjadi pada bulan Desember, sedangkan curah hujan terendah
70. terjadi pada pada bulan Agustus. Data curah hujan rata-rata bulanan
di wilayah Kabupaten Barru periode tahun 1998 – 2007, yang
diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Stasiun
Klimatologi Kelas I Panakkukang-Maros, dapat dilihat pada Gambar
4.
Total hari hujan pertahun di Wilayah Kabupaten Barru ialah
sebanyak 113 hari dengan jumlah curah hujan sebesar 5.252 mm.
Curah hujan di Kabupaten Barru berdasarkan hari hujan terbanyak
pada bulan Desember dan Januari adalah masing-masing sebesar
1.335 mm dan 1.138 mm, sedangkan hari hujan masing-masing 2
hari dengan jumlah curah hujan masing-masing 104 mm dan 17 mm.
Data hari hujan rata-rata bulanan di wilayah Kabupaten Barru dapat
dilihat pada Gambar 5.
Untuk kelembaban udara rata – rata di sekitar wilayah
Kabupaten Barru dapat dilihat pada Gambar 6, yang
mengindikasikan bahwa kelembapan udara rata-rata di wilayah
Kabupaten Barru berkisar 66 – 88 %, dengan suhu maksimum dan
minimum rata-rata 29 oC dan 27 oC.
58
71. 59
Tabel 9. Penggunaan Tanah di Kabupaten Barru Tahun 2012.
No. Penggunaan Tanah
Luas dan Persentase
ha (%)
1. Kampung / Pemukiman 2.767,92 2,36
2. S a w a h 15.959,23 13,59
3. Kolam / Tambak 2.903,55 4,47
4. Kebun Campuran 18.586,95 15,82
5. Ladang / Tegalan 5.138,70 4,37
6. Lahan Terbuka 3.367,53 2,87
7. M a n g r o v e 288,89 0,25
8. Semak Belukar 12.712,11 10,82
9. Alang – alang 265,32 0,23
10. H u t a n 55.481,80 47,23
TOTAL 117.472,00 100,00
Sumber : Badan Pertanahan Kabupaten Barru, 2012.
Gambar 5. Histogram Hari Hujan Rata - Rata Bulanan di Lokasi Studi.
Hari Hujan Rata - Rata Bulanan Kab. Barru
25
20
15
10
5
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
B u l a n
Hari Hujan
Hari Hujan
Sumber : BMG Stasiun Klimatologi Kelas I Panakkukang, Maros, 2012
72. Gambar 6. Kelembaban Udara Rata - Rata Bulanan di Lokasi Studi.
60
KELEMBABAN UDARA RATA - RATA BULANAN
100
80
60
40
20
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
Bulan
Kelembaban Udara (%)
Sumber : BMG Stasiun Klimatologi Kelas I Panakkukang, Maros, 2012.
3. Topografi
a. Kemiringan Lereng
Kondisi topografi Kabupaten Barru merupakan dataran tinggi dan
perbukitan yang berada pada ketinggian 100 – 500 meter dari
permukaan laut (mdpl) dengan persentase kemiringan mencapai
0 – <40 %. Persentase kemiringan lahan Kabupaten Barru dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Persentase Kemiringan Lahan
No Kemiringan (%) Luas Areal
(Ha) (%)
1 0 - 2 26.596 22,64
2 3 – 15 7.043 5,49
3 16 – 40 33.246 28,31
4 > 40 50.587 43,06
Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM)
73. 61
b. Ketinggian wilayah
Luas wilayah Kabupaten Barru berdasarkan ketinggian dapat
diklasifikasikan seperti pada Tabel 11. Areal tersebut didomonasi
dengan ketingggian 100-500 mdpl dengan persentase luas
sebesar 50.07%, dan areal yang ketinggian >1500 hanya sebesar
0.07%.
c. Jenis Tanah
Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Barru terdiri atas
beberapa jenis tanah antara lain jenis regosol, mediteran, litosol
dan alluvial. Besarnya luas dan persentase jenis tanah tersebut
dapat dilihat pada Tabel 12.
d. Kondisi Geologi
Kabupaten Barru memiliki sifat geologi yaitu seri endapan gunung
api yang meliputi 27,59 % dari total wilayah Kabupaten, dengan
berbagai jenis batuan penyusunnya. Litologi penyusun Wilayah
Kabupaten Barru dapat dibagi menjadi 11 kelompok antara lain:
- Kompleks Ophiolit Barru, Batuan Malihan, Kompleks Melange,
Formasi Belang Barru, Formasi Mallawa, Formasi Tonasa,
Formasi Camba, Anggota Batuan Gunung Api Camba, Anggota
Batu Gamping Formasi Camba, Batu Gamping Formasi
Walanae dan Endapan Alluvium
74. 62
Tabel 11. Persentase Ketinggian Lahan di Kabupaten Barru
No Ketinggian (mDPL)
Luas Areal
(Ha) (%)
1 0 – 25 17.229 14,67
2 25 – 100 17.683 15,05
3 100 – 500 58.814 50,07
4 500 - 1000 23.663 20,14
5 > 1500 84 0,07
Sumber : Barru dalam Angka Tahun 2012.
Tabel 12. Luas dan Persentase Jenis Tanah
Luas Areal
No Jenis Tanah
(Ha) (%)
1 Regosol 41.254 38,20
2 Mediteran 32.516 27,68
3 Litosol 29.043 24,72
4 Alluvial 4.659 12,48
Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM)
75. 63
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kesesuan Lokasi Pengembangan HTR
Dengan dasar bahwa persyaratan areal untuk bisa dijadikan areal
pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) menurut Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 adalah areal tersebut
harus berada di kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan
tidak dibebani hak.
Maka dipenelitian ini pada tahap untuk membuat kesesuain lokasi
pengembangan HTR dilakukan dengan analisis spasial dengan
mengekstraksi peta kawasan hutan produksi, untuk membentuk unit
lahan dan membuat kelas kesesuain lahan untuk arahan penggunaan
HTR. Hal tersebut didapatkan dari hasil analisis pada peta penggunaan
Lahan, Aksesibilitas, dan Kelas Lereng yang berfokus pada areal HPT
Kabupaten Barru. Beberapa parameter tersebut di beri bobot dengan
mengunakan Skala likert. Variabel – variabel yang akan berdampak
positive atau memberikan daya dukung yang baik bagi pengembangan
HTR akan diberi bobot tertinggi dan begitu pula sebaliknya jika
parameter tersebut tidak mendukung kearah pengembangan HTR akan
diberi bobot terendah.
Dari hasil analisis spasial terhadap klasifikasi kelas bobot terhadap
kesesuain pengembangan HTR tersebut didapatkan masing masing
luasan kelas seperti yang ada pada Tabel 13.
76. Kelas Luas (ha) %
Sesuai 1.095,0 6.5
Agak Sesuai 6.373,2 37.8
Tidak Sesuai 9.388,7 55.7
TOTAL 1.6856,83 100
64
Tabel 13. Kelas Kesesuain Pengembangan HTR
Masing-masing luas yang didapatkan dari hasil analisis spasial ialah
kelas “Sesuai” seluas 1.095,0 ha atau sebesar 6.5% dari total luasan
HPT di Kabupaten Barru. “Agak Sesuai” sebesar 6.373,2 ha atau
sebesar 37.8% dan yang dikategorikan “Tidak Sesuai” sebesar 9.388,7
atau sebesar 55.7%. Sedangkan sebaran kelas tersebut dapat dilihat
pada Gambar 7.
Pada Gambar 7 tersebut dapat dijelaskan bahwa pada kelas “Tidak
Sesuai” memiliki faktor-faktor pembatas berdasarkan variabel
penyusunnya, seperti jarak yang cukup jauh dari pemukiman terdekat,
didominasi kelerengan yang cukup curam, dan areal yang masih
berhutan. Dari hasil analisis yang telah dilakukan maka pada areal
tersebut direkomendasikan untuk dihindari dalam pembangunan hutan
tanaman rakyat karena akan menyebabkan pengelolaan hutan yang
tidak optimal.
77. 65
Gambar 7. Peta Kelas Kesesuain Pengembangan HTR
78. Pada kelas “Sesuai” dimaksudkan adalah areal yang layak dapat
dikembangakan HTR berdasarkan variabel penyusunnya. Sehingga
areal tersebut merupakan areal yang prioritas atau direkomendasikan
untuk pembangunan hutan tanaman rakyat untuk terciptanya
pengelolaannya yang optimal. Sedangkan pada kelas “Agak Sesuai”
merupakan areal yang dapat dikembangkan tetapi dengan beberapa
kondisi tertentu agar dari segi pengelolaannya dapat berjalan dengan
optimal.
Kondisi-kondisi tertentu yang dimaksudkan pada kelas “Agak
Sesuai” ialah, pada beberapa areal yang ditemukan pada kelas lereng
25% hingga >45% dapat ditanami tanaman-tanaman yang berakar
dalam sehingga mengidarkan dari erosi dan longsor, memperpendek
jarak tanam, atau mengindari areal tersebut jika kemiringan lereng
cukup tinggi dan bervegateasi rapat. Untuk kondisi areal yang cukup
jauh dari pemukiman masyarakat, akan sangat terbantu bila kondisi
jalan tersebut baik dan memiliki kendaraan yang dapat digunakan.
66
B. Penyusunan Kelas Kesesuain Lahan untuk Kebutuhan HTR
1. Penyusunan Karakteristik Lahan
Penyusunan karekteristik lahan dengan cara penetapan satuan
peta lahan (SPL). Setiap SPL akan menggambarkan karakteristik
lahan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan
lingkungannya diperoleh dari data yang tertera pada legenda peta
tanah dan uraiannya, peta/data iklim dan peta topografi/elevasi.
79. Karakteristik lahan diuraikan pada setiap satuan peta tanah (SPT)
dari peta tanah, yang meliputi: bentuk wilayah/lereng, drainase
tanah, kedalaman tanah, PH tanah, KTK. Data iklim terdiri dari curah
hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara
diperoleh dari stasiun pengamat iklim yang tergambar pada peta
landsystem. Secara sistimatik dapat dilihat pada Gambar 8.
Data/Topografi
- Relief
- Elevasi
PERSYARATAN
TANAMAN
67
Data/Peta Iklim
- Curah Hujan
- Temperatur
Data/Peta Tanah
- Lereng
- Karakteristik Tanah
KARAKTERISTIK
LAHAN
KESESUAIN LAHAN
UNTUK KOMODITAS
Gambar 8. Bagan Penyusunan Karakteristik Lahan
Dari hasil overlay dan analisis spasial yang dilakukan maka
dapat dilihat beberapa karakteristik lahan pada setiap SPL yang
berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas Kabupaten Barru. Dari
setiap SPL tersebutlah yang digunakan untuk menyamakan
persyaratan beberapa jenis tanaman untuk kebutuhan pembagunan
HTR di kabupaten barru Karekterisitik lahan pada setiap SPL dibuat
dengan tingkatan pada tingkat semi detail disajikan pada Tabel
80. Karekteristik lahan pada Setiap Satuan Peta Lahan (SPL) yang
dapat dilihat dalam lampiran.
2. Penyusunan persyaratan tumbuh tanaman/penggunaan lahan
68
(LURs)
Persyaratan tumbuh dapat diperoleh dari berbagai referensi,
seperti pada Djaenudin et al. (2003). Sedangkan untuk pemilihan
jenis tanaman sendiri yang dijadikan bahan untuk mencocokan
dengan karakteristik lahan pada setiap SPL adalah hasil dari
wawancara yang dilakukan dilapangan dan masukan peneliti
terhadap beberapa kayu komersil. Jenis-jenis tanaman tersebut
dapat dilihat pada Tabel 14. Proses Kesesuain Lahan (Matching)
Gambar 9 & Tabel 15 memperlihatkan hasil matching antara
karakteristik lahan dan persayaratan tumbuh beberapa tanaman
yang berpotensi dikembangkan di HPT Kabupaten Barru. Secara
umum Tanaman Jati dapat tumbuh diseluruh wilayah tersebut
dengan kelas yang mendominasi ialah kelas kesesuaian lahan S2
untuk tanaman Jati.
81. Tabel 14. Daftar Jenis tanaman yang berpontesi dikembangkan
No. Jenis Tanaman Jumlah Pemilih Persentase % Ranking
69
Jangka Panjang
1 Jabon 10 22.2 3
2 Sengon 7 15.5 4
3 Jati lokal 13 28.8 1
4 Aren 4 8.8 5
5 Kemiri 11 24.4 2
Jangka Pendek
1 Jagung 15 33.3 1
2 Kacang Tanah 8 17.7 2
3 Lombok 6 13.3 4
4 Rumput gajah 6 13.3 3
5 Jahe 5 11.1 5
Tabel 15. Kesesuaian Lahan HPT Kab.Barru
82. 70
Gambar 9. Peta Kesesuaian Lahan HPT Kab.Barru
83. Untuk tanaman sengon sendiri, berdasarkan hasil analisis
spasial dan proses matching yang telah dilakukan, maka didapatkan
jenis sengon merupakan tanaman yang paling baik dikembangkan
karena dapat tumbuh diseluruh areal HPT dan didominasi pada kelas
kesesuaian lahan S1 untuk tanaman sengon tersebut. Hal serupa
sama dengan tanaman semusim rumput gajah, karena rumput gajah
dapat tumbuh pada seluruh wilayah HPT di Kabupaten Barru. Dari
Hasil analisis juga didapatkan rumput gajah sangat sesuai ditanam
pada hampir seluruh wilayah tersebut.
Gambar 9 & Tabel 15 juga menjelaskan bahwa ada beberapa
areal yang memiliki kendala pembatas terhadap tumbuhnya suatu
tanaman. Kendala pembatas tersebut seperti kurangnya unsur hara
yang tersedia, Kedalaman tanah dibawah 50 cm sehingga
menyulitkan perakaran tanaman yang mebutuhkan lebih dari itu,
kondisi lereng yang sangat curam diatas 45% pada beberapa areal,
dan kekurangan unsur hara.
C. Evaluasi Kondisi Eksisting HTR terhadap Kesesuian Lahan
71
Pengembangan HTR
Evaluasi kondisi eksiting HTR dimaksudkan untuk melihat kondisi
existing yang ada terhadap hasil analisis yang telah dilakukan. Hal
tersebut akan memberikan masukan tambahan untuk pengembangan
HTR secara umum. Dari hal ini juga dapat dilihat beberapa kendala-kendala
masyarakat terkait kondisi existing izin yang telah diterima
84. masyarakat. Dengan metode overlay peta izin HTR yang telah ada
sampai dengan 2013 dengan peta kesesuaian pengembangan HTR
yang telah dibuat sebelumnya.
Pada Gambar 10 dari hasil analisis spasial, dapat dilihat bahwa
kelompok HTR Dae adalah satu-satunya kelompok HTR yang lokasinya
berada pada kelas “Sesuai” pada penelitian ini. Hal tersebut
menggambarkan untuk jalannya proses pengembagan HTR jika ditinjau
dari beberapa variabel seperti landuse, kelerengan, dan aksesibilitas
maka kelompok tani HTR Dae secara teknis dapat mengoptimalkan
hasil dari pengelolaan HTR.
Kelompok HTR Coppo Beramming mungkin perlu melakukan hal hal
khusus dalam rencana pengembangannya karena sebesar 99.1% atau
seluas 285.4 ha wilayahnya berada dalam kelas “Kurang Sesuai” hal
tersebut mengindikasikan bahwa areal tersebut sulit dioptimalkan
berdasarkan beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Hal
tersebut juga terverifikasi dari hasil wawancara yang dilakukan pada
kelompok HTR Coppo Beramming. Seperti halnya Pak Saharudding (55
tahun) dan Pak Lahewo (57 tahun) mengemukakan bahwa sangat sulit
mengelolaa lahan HTR yang dimilikinya, karena areal-areal tersebut
sudah padat ditumbuhi pohon-pohon jenis kenanga, gantungan, wajo,
bikatte dan cendana, sehingga mereka sangat sulit untuk bisa menanam
lagi jika memanfaatkan ruang-ruang kecil yang terbuka.
72
85. 73
Gambar 10. Peta Kelas Kesesuain HPT terhadap Existing HTR
86. Begitu pula pada kelompok HTR Padang Pabbo dan HTR Bolong
Ringgi lebih didominasi oleh kelas “Kurang Sesuai” masing-masing
sebesar 98.5% dan 58.2%, yang menggambarkan dalam teknis
pengelolaannya kedepan kedua kelompok HTR ini akan mendapatkan
hasil yang kurang optimal berdasarkan asumsi pada variabel yang
dibangun penelitian ini.
74
D. Skenario Pengembangan HTR
Dalam rencana pengembangan HTR dalam penelitian ini akan
dilakukan melalui 3 skenario, yaitu skenario pesimis, skenario moderat
dan skenario optimis.
1. Skenario pesimis ialah skenario bilamana luas areal yang
dimanfaatkan hanya terbatas pada lahan yang berada pada kelas
“Sesuai” dan luas efektif yang dapat dimanfaatkan dari kelas
“Sesuai” hanya sebesar 65%, serta diasumsikan pula bahwa kualitas
tempat tumbuh areal yang diusahakan tergolong rendah (bonita I -
II).
2. Skenario moderat ialah skenario bilamana areal yang dimanfaatkan
meliputi lahan kelas “Sesuai + Agak Sesuai”, luas efektif yang
dimanfaatkan dari kelas “Sesuai” dan sebagian lahan “Agak Sesuai”
yang tadinya ± 65% (pada skenario pesimis) berubah menjadi ±70%,
serta kualitas tempat tumbuh yang rendah (bonita I & II) pada
skenario pesimis dapat dirubah ke bonita III - IV. Perlakukan yang
dilakukan didalamnya sehingga beberapa faktor pembatas dapat
87. berubah, antara lain melalui pemberian pupuk untuk menaikkan
kesuburan tanag pada lahan-lahan yang kurang subur, menambah
alokasi tenaga ataupun pendanaan sehingga dapat menambah luas
efektif lahan yang dapat dikelola.
3. Skenario optimis ialah skenario bilamana kondisi faktor-faktor dalam
pengelolaan dioptimalkan sebaik mungkin. Dalam skenarion ini luas
efektif areal yang dimanfaatkan pada lahan yang berada pada kelas
“Sesuai + Agak Sesuai”, dapat mencapai ±75%, serta kualitas
tempat tumbuh setelah dioptimalkan dapat menjadi bonita V.
Perlakukan yang dilakukan antara lain pemberian pupuk untuk
menaikan unsur hara pada lahan-lahan yang kurang unsur hara,
menambah alokasi tenaga ataupun pendanaan, penerapan silvikutur
intensif sehingga dapat menambah luas efektif lahan yang dapat
dikelola, penguatan keterampilan kelompok dan pengelolaan
kelembagaan sampai penerapan peralatan dan teknologi yang lebih
maju.
Sedangkan untuk asumsi produksi tiap skenario terhadap pada jenis
tanaman sengon dan jati di dapatkan dari tabel tegakan dalam buku
Vademecum Kehutanan Indonesia (1987).
75