SlideShare a Scribd company logo
1 of 29
REVIEW JURNAL
Philosophy of Sport to Philosophies of Sports
Dosen Pengampu :
Dr. Made Pramono, S.S. M.Hum.
Disusun Oleh :
INDRA SAPUTRA 20060484065 2020B
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU OLAHRAGA
JURUSAN PENDIDIKAN KESEHATAN DAN REKREASI
PRODI S-1 ILMU KEOLAHRAGAAN
TAHUN AJARAN 2021/2022
I
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puja
dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga saya bisa menyelesaikan review jurnal yang berjudul “Philosophy of Sport to
Philosophies of Sports” dengan tepat waktu.
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen Dr. Made Pramono, S.S. M.Hum. selaku
pengampu mata kuliah Fisafat dan Sejarah Olahraga yang telah mengizinkan saya untuk
menyusun makalah ini, serta teman-teman sekalian yang telah membantu memberikan
informasi mengenai tata cara pembuatan makalah dan lain sebagainya.
Review jurnal dalam bentuk makalah ini saya susun dengan tujuan untuk menjelaskan
mengenai “Philosophy of Sport to Philosophies of Sports” yang saya sesuaikan dengan RPS
mata kuliah Filsafat dan Sejarah Olahraga. Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas yang
wajib dalam mata kuliah Filsafat dan Sejarah Olahraga.
Terlepas dari itu semua, saya menyadari seutuhnya masih jauh dari kata sempurna baik
dari segi susunan kalimat maupun tata kebahasaannya. Oleh karena itu,dengan tangan terbuka
saya menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca, sehingga saya
bisa melakukan perbaikan dari makalah ini menjadi makalah yang baik dan benar.
Harapan saya semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk pembaca dan bisa
memberikan wawasan bagi pembaca.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Penyusun
INDRA SAPUTRA
II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................I
DAFTAR ISI...............................................................................................................................II
BAB I..........................................................................................................................................1
JURNAL.....................................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................... 20
HASIL RIVIEW....................................................................................................................... 20
A. Harapan dari Filosofi Olahraga yang Lengkap.............................................................. 20
B. Perkembangan Filosofi Olahraga .................................................................................. 20
C. Konsep Filosofi Olahraga .............................................................................................. 21
D. Perkembangan Budaya Gerakan Luas .......................................................................... 21
E. Pandangan Filosofi Olahraga Hingga Filosofi Olahraga Tertentu................................. 22
BAB III..................................................................................................................................... 23
PENUTUP................................................................................................................................ 23
A. Kesimpulan.................................................................................................................... 23
B. Saran ............................................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 25
LINK........................................................................................................................................ 26
1
BAB I
JURNAL
File ini diunduh dari gudang institusi Brage NIH - brage.bibsys.no/nih
Breivik, G. (2019). Dari 'filosofi olahraga' hingga 'filosofi olahraga'?
Sejarah, identitas dan diversifikasi filosofi olahraga. Jurnal Filsafat
Olahraga, 46 (3), 301-320. 10. 1080 / 00948705.2019.1660882
Dette er siste tekst-versjon av artikkelen, dan g den kan inneholde små
forskjeller fra forlagets pdf-versjon. Forlagets pdf-versjon finner du her:
http://dx.doi.org/10.1080/00948705.2019.1660882
Ini adalah versi teks terakhir dari artikel, dan mungkin terdapat sedikit
perbedaan dari versi pdf jurnal. Publikasi asli tersedia di
sini: http://dx.doi.org/10.1080/00948705.2019.1660882
Dari 'filosofi olahraga' hingga'filosofi olahraga'? Sejarah,Identitas
dan Diversifikasi Filsafat Olahraga
Abstrak
Tujuan saya dalam artikel ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana filosofi
olahraga modern yang dimulai pada tahun 1972 berkembang dari batas paradigmatik yang
relatif sempit menjadi disiplin ilmu internasional yang beragam dan multi paradigmatik.
Perkembangan ini mencakup beberapa perubahan tetapi juga beberapa kesinambungan.
Saya mengidentifikasi tiga prinsip utama yang mungkin dapat diterapkan di masa depan.
Salah satunya adalah dengan fokus pada paradigma filosofis olahraga tradisional, yang
berambisi untuk mengidentifikasi esensi olahraga. Pilihan kedua adalah mengembangkan
2
pendekatan yang lebih spesifik, dengan fokus pada olahraga tunggal atau jenis olahraga,
seperti sepak bola atau panjat tebing. Alternatif ketiga adalah mengembangkan filosofi,
tidak hanya tentang olahraga tetapi juga 'homo movens', mempelajari manusia yang
bergerak dalam konteks lingkungan dan sosial budaya yang berbeda. Ketiga opsi tersebut
layak dan harus disambut baik.
KATA KUNCI: Olah Raga, Filsafat Olah Raga, Sejarah Perkembangan,
Diversifikasi, Masa Depan, Identitas 1
Pendahuluani
Sejak dimulainya awal tahun 1970-an filosofi olahraga telah mengalami banyak perubahan
dan telah berkembang dari suatu disiplin akademis dalam batas-batas paradigmatik yang
relatif sempit menjadi bidang studi yang jauh lebih beragam. Ini adalah tujuan saya dalam
presentasi berikut untuk menjelaskan beberapa aspek sentral dari perkembangan ini dan
untuk merefleksikan di mana filosofi olahraga sekarang dan kemana arahnya di masa
depan. Saya menyadari kemungkinan sesuatu seperti filosofi olahraga saat menghadiri
Kongres Ilmiah Pra-Olimpiade di Munich pada tahun 1972 dan sejak itu saya dapat
mengamati dan mengambil bagian dalam pertumbuhan yang menarik dan perubahan
filosofi olahraga sebagai akademisi yang serius. belajar. Saya menggarisbawahi bahwa
adalah perspektif, kesan, dan pengalaman saya sendiri tentang pertumbuhan dan masa
depan filosofi olahraga yang akan saya hadirkan. Dan saya harus menambahkan bahwa
refleksi saya disajikan dari sudut pandang Eropa, sebenarnya dari sebuah negara kecil di
Eropa Utara.
Di bagian pertama artikel saya merenungkan apa yang diharapkan seseorang dari disiplin
ilmu dan bagaimana filsafat olahraga mendapatkan fondasi paradigmatik pertamanya di
awal tahun 1970-an. Saya kemudian memberikan gambaran bagaimana filosofi olahraga
dalam dekade-dekade mendatang memperluas cakupannya terhadap objek kajian serta
pendekatan filosofis alternatif. Sepertinya perpindahan dari 'filosofi olahraga' ke filosofi
olahraga '. Saya kemudian merenungkan bagaimana filosofi olahraga dapat memperluas
visibilitas dan daya tariknya dan melihat siapa filosof olahraga itu dan bagaimana
perspektif dari sudut pandang praktisi, serta penonton, dapat saling melengkapi. Akhirnya
saya merenungkan beberapa arah filosofi olahraga tradisional di masa depan yang
dicontohkan oleh tiga pendekatan baru-baru ini.
Apa yang harus kita harapkan dari filosofi olahraga yang lengkap?
Disiplin ilmu yang mapan dicirikan oleh, antara lain, kontinuitas sepanjang waktu, muatan
ilmiah yang mapan, konsep yang jelas, metode yang disepakati, sekolah dan paradigma yang
bersaing, dan kelompok penelitian yang stabil. Saya pikir adil untuk mengatakan bahwa
butuh beberapa waktu sebelum filosofi olahraga menjadi disiplin yang mapan dengan
paradigma dan sekolah alternatif yang terdefinisi dengan baik. Menurut Kuhn (1962) sains
normal yang mapan di satu sisi terganggu oleh revolusi ilmiah dan di sisi lain oleh fase awal
dengan kebingungan pra-paradigmatik tanpa kesepakatan dan dengan banyak pandangan
yang saling bersaing.
Menurut Osterhoudt (1978) pertanyaan filosofis olahraga embrionik dimulai pada abad
kesembilan belas dengan, misalnya, John C.Warren's (1830) The Importance of
Physical
3
2
Education, artikel George Santayana (1894) 'Philosophy on the Bleachers', dan H. Graves
'(1900) artikel' A Philosophy of Sport'. Beasiswa yang lebih formal dikembangkan pada
abad ke-20, dengan fokus pada pendidikan jasmani dan kemudian filosofi olahraga yang
ditanyakan oleh Howard S Slusher (1967) Man, Sport and Existence: A Critical Analysis,
Eleanor Metheny's (1968) Movement and Meaning and Paul Weiss ' (1969) Olahraga:
Sebuah Pertanyaan Filsafat. Selama tahun 1960-an banyak sub-disiplin ilmu olahraga
dikembangkan dan memperoleh beberapa kemandirian dan identitas dalam kaitannya
dengan disiplin induk mereka. Psikologi olah raga, sosiologi olah raga, fisiologi olah raga
dan olah raga, kedokteran olah raga, dan lain sebagainya. Bagi banyak sub disiplin, ini
adalah periode dengan kebingungan pra-paradigmatik. Pendidikan jasmani telah lama
mengalami kebingungan tentang identitas dan konten dan hal yang sama terjadi pada ilmu-
ilmu olahraga yang berkembang pada tahun 1970-an dan 1980-an. Sampai sekitar 1990
Newell (1990) dan Renson (1989) membahas kebingungan tentang istilah dan tujuan,
disiplin dan batasan, dan organisasi pengajaran dan penelitian. Nama-nama baru, seperti
'kinesiology' atau 'kinanthropology' mencoba memberi pelajaran olahraga awal yang baru.
Satu masalah utama adalah peran praktik dan pengetahuan praktis. Menurut Newell (1990)
perkembangan telah menyukai pengetahuan deklaratif dengan biaya pengetahuan
prosedural, dan pengetahuan teoritis lebih disukai di atas pengetahuan praktisi. Dalam
filosofi olahraga, diskusi tentang mengetahui bagaimana versus mengetahui itu juga sangat
jarang. Tapi mari kita mulai dari filosofi olahraga sebagai disiplin akademis.
Perkembangan filosofi olahraga pada 1970-an dan 1980-an
Pada Kongres Ilmiah Pra-Olimpiade sebelum Olimpiade di Munich pada 1972, tinjauan
umum tentang keadaan seni dalam berbagai ilmu olahraga disajikan melalui kuliah-kuliah
utama dan dikumpulkan dalam buku Sport im Blickpunkt der Wissenschaften (Grupe et al.
1972). Sebagai mahasiswa peserta Kongres, saya terkesan dengan presentasi filsuf Jerman
Hans Lenk (1972) tentang filsafat olahraga sebagai bidang studi. Ia memberikan potret
berbagai tafsir filosofis olahraga dari berbagai filsuf, penulis dan komentator. Saya akan
kembali lagi nanti.
Pada tahun yang sama dengan kongres Pra-Olimpiade diadakan di Munich Masyarakat
Filsafat untuk Studi Olahraga (PSSS) didirikan pada Pertemuan Divisi Timur Asosiasi
Filsafat Amerika yang diadakan di Boston, Massachusetts. Jurnal filosofi olahraga ilmiah
pertama, Journal of the Philosophy of Sport, muncul dengan volume pertama pada tahun
1974. Filosofi olahraga yang dikembangkan selama dua dekade pertama setelah dimulainya
pada awal 1970-an
3
didominasi oleh olahraga Amerika dan ideologinya dan oleh lingkungan akademis Amerika.
Artinya antara lain filsafat olahraga menjadi akademis dan serius, dan akibatnya
memisahkan diri dari kehidupan masyarakat dan masyarakat, seperti halnya dengan filsafat
pada umumnya (Boradori 1994). Filsafat analitik dengan fokus pada pendekatan konseptual
mendominasi diskusi. Perdebatan mulai berfokus pada karakteristik formal olahraga, peran
berbagai jenis aturan, dan definisi permainan, permainan, dan olahraga. Sebuah
esensialisme tertentu mendominasi; fokusnya adalah pada apa yang dianggap sebagai
elemen umum atau esensial dari semua olahraga. Namun, dalam praktiknya, ini sering kali
berarti permainan fisik atau olahraga tim. Dominasi analitis, bagaimanapun, tidak total. Ada
beberapa masukan penting dari fenomenologi, dengan Bill Harper dan Scott Kretchmar,
4
keduanya mahasiswa Howard Slusher, sebagai contoh yang baik. Masukan lain datang dari
penggabungan filosofi dan sejarah olahraga, seperti yang dicontohkan dalam bukuEleanor
Metheny (1968) Gerakan dan Makna. Pengaruh-pengaruh ini agak mengubah dominasi
analitis. Tokoh sentral dalam tahun-tahun pertama ini adalah Warren Fraleigh dan
lingkungan yang dia ciptakan di Universitas Negeri New York, Brockport, di mana dia
pernah menjadi Dekan di Sekolah Tinggi Pendidikan Jasmani dan Rekreasi. (Untuk lebih
jelasnya lihat McNamee dan Morgan 2015.)
Konsekuensi lain dari penyematan filosofi olahraga Amerika adalah fokus pada etika dan
identitas normatif olahraga. Olahraga dianggap menurut ideologi Amerika sebagai bagian
dari sistem sekolah dan dengan dasar dan dasar moral dan ideologis yang jelas. Seperti yang
dikatakan Harry Edwards (1973), olahraga adalah cermin sempurna dari masyarakat
Amerika dan ideologinya. Etika olahraga, terutama etika kebajikan, dengan fokus pada fair
play dan sportivitas, menjadi topik penting. Jenis olahraga yang digambarkan kemudian
disebut 'olahraga hegemoni' (bahasa Inggris 2017). Ini adalah olahraga yang disukai oleh
pria kelas menengah atau atas (kebanyakan berkulit putih) di masyarakat Barat.
Jika seseorang harus meringkas perkembangan dari tahun 1972 dan dua dekade
berikutnya,PSSS asosiasidan Journal of the Philosophy of Sport adalah penanda identitas
dari disiplin baru. Terutama dua paradigma yang menarik banyak diskusi. Salah satunya
terkait dengan definisi permainan dan olahraga Bernard Suits (1967; 1973) dan yang lainnya
terkait dengan cita-cita etika kebajikan yang terkait dengan olahraga Inggris dan Olimpiade.
Belakangan, gagasan Alasdair MacIntyre (1984) tentang komunitas praktik berdasarkan
etika Aristoteles menjadi paradigma yang dominan.
Berbaris di tahun 1990-an dan seterusnya menuju saat ini
4
Pada tahun 1990-an, dan dalam beberapa kasus sebelumnya, anggota baru dari
komunitas filosofis olahraga kecil ikut serta. Ini termasuk para sarjana dari Inggris
Raya, Jepang, Jerman, Australia, Belanda, Norwegia, Spanyol, dan semakin banyak
orang dari Eropa Timur (Slovenia, Republik Ceko, Polandia), dari Asia Timur, dan dari
Amerika Selatan. Filosofi olahraga sekarang ada di semua benua.
Asosiasi dan jurnal baru telah muncul selama beberapa dekade terakhir, seperti British
Philosophy of Sport Association (BPSA) (2002) dengan kelompok kerja European
Association for Sport Philosophy. The BPSA menerbitkan sejak 2007 jurnal Sport, Etika
danFilsafat.Juga Slovenia (2009), dan Republik Ceko (2011) telah mengembangkan
asosiasi nasional yang berhubungan dengan Polandia dan Hongaria. Jepang cukup awal
mendirikan Perkumpulan Jepang untuk Filsafat Olahraga dan Pendidikan Jasmani, yang
didirikan pada tahun 1978. Asosiasi yang lebih baru adalah Asociación Latina de Filosofía
del Deporte (Asosiasi Latin untuk Filsafat Olahraga), yang didirikan pada tahun 2013. Ini
menerbitkan jurnal Fair Play. Revista de Filosofía, Ética y Derecho del Deporte / Fair
Play, Jurnal Filsafat, Etika dan Hukum Olahraga.
Dengan negara-negara baru, asosiasi baru, dan konsepsi filosofi baru, muncullah
keragaman yang lebih besar dari pendekatan filosofis olahraga; fenomenologi,
eksistensialisme, pragmatisme, neo marxisme, teori kritis, hermeneutika, neo-
5
strukturalisme, post-strukturalisme, dan sebagainya. Juga pendekatan filosofis Asia, baik
yang tradisional maupun yang lebih modern, semakin memasuki panggung.
Demikian pula, objek studi mencakup jenis aktivitas baru dan lebih luas, tidak terbatas
pada olahraga kompetitif tradisional. Studi baru berfokus pada aktivitas yang cukup
beragam seperti olahraga gaya hidup, olahraga berisiko, kebugaran dan pelatihan, olahraga
luar ruangan, berburu, hiking, rekreasi, olahraga hewan, duel dan perkelahian, yoga, dan
berbagai olahraga Asia.
Pendekatan baru dari negara baru sering kali berarti jarak akademis yang lebih sedikit,
normatif yang lebih sedikit, lebih banyak keterlibatan dengan masyarakat dan politik.
Sementara filsuf Amerika, menurut sebuah studi oleh Boradori (1994), tetap agak eksklusif
dan jauh dari masyarakat lainnya, filsuf Eropa lebih terlibat dalam politik dan diskusi
publik. Contoh terbaru adalah Habermas, filsuf akademis terkenal, tetapi juga salah satu
intelektual yang paling banyak dikutip di media umum di Eropa. Hubungan dengan debat
publik bagi banyak filsuf olahraga terutama melalui dilema etika dalam olahraga, terutama
masalah doping dan debat peningkatan umum.
5
Gagasan filosofi olahraga dengan demikian secara bertahap menjadi lebih terbuka untuk
pendekatan baru, misalnya lebih banyak kontak dengan pekerjaan empiris dalam ilmu
sosial, studi budaya dan ilmu saraf. Contoh terbaru adalah kombinasi sejarah olahraga dan
filosofi olahraga oleh Kretchmar, Dyreson, Llewellyn, dan Gleaves (2017) dalam History
and Philosophy of Sport and Physical Activity mereka. Contoh lain adalah edisi khusus
tentang filosofi olahraga, etika dan ilmu saraf yang diedit oleh Jeffrey Fry dan Mike
McNamee (2017) dalam Sport, Ethics and Philosophy.
Keseimbangan gender juga berubah. Sekalipun wanita adalah bagian dari filosofi
komunitas olahraga sejak awal para filosof olahraga wanita telah menjadi lebih terwakili,
membawa minat dan perspektif mereka lebih kuat ke dalam kancah filosofis olahraga.
Bidang filosofi olahraga menjadi jauh lebih menarik dengan keragaman perspektif.
Meskipun tidak melupakan studi sebelumnya, seperti wanita dalam olahraga maskulin
(Postow 1980) dan gender dan seksualitas dalam olahraga (Schneider 1995), artikel terbaru
telah berfokus pada topik yang merupakan bagian dari budaya feminis yang lebih luas
yang menguji batas gender dan kesetaraan gender di berbagai bidang kehidupan.
Kontribusi terbaru oleh filsuf olahraga wanita menunjukkan keragaman pengujian baru,
yang mencakup topik seperti wanita transgender dalam olahraga (Bianchi 2017),
kesetaraan gender dalam tenis (Davis dan Edwards 2017), atlet lesbian dan matriks
heteroseksual (Tredway 2014), gender dalam olahraga tarung (Weaving 2014), gender dan
kompetisi (Inggris 2017), gender eauality dalam gerakan Olimpiade (Koenigsberger
(2017), olahraga dan gender di Jepang (Mizuho 2014), dan topik hangat 'permainan setara,
upah setara 'dalam sepak bola (Archer & Prange 2019).
Kontinuitas - beberapa tema lama masih berpawai
Konsep filosofi olahraga dan olahraga dalam banyak hal telah berubah selama beberapa
dekade terakhir. Namun demikian, paradigma yang dikembangkan oleh Suits dan filsuf
olahraga sentral seperti Fraleigh , Kretchmar dan Morgan masih sangat hidup, cukup
membandingkan bab-bab utama dan tema dalam dua antologi filosofi olahraga, satu dari
tahun 1979 dan yang lainnya dari tahun 2010.filosofi
6
6
Tabel 1. Isi dari duaolahraga buku phical dengan konten serupa.
Gerber, EW & WJ Morgan,
penyunting. 1979: Olahraga dan
Tubuh: Simposium Filsafat. Edisi
kedua. Pittsburgh: Lea & Febiger.
Hardman, AC & C. Jones,
penyunting. 2010: Filsafat
olahraga.internasional
Perspektif. Newcastle: Penerbitan
Cendekiawan Cambridge.
• Sifat olahraga
• Olahraga sebagai pengalaman yang
berarti
• Tubuh dan keberadaan
• Olahraga dan perhatian yang
berorientasi pada nilai •
Olahraga dan estetika
• Olahraga dan spekulasi metafisik
• Sifat olahraga, permainan dan
permainan • Olahraga dan makna: seni,
sastra dan Spiritualitas
• Olah Raga dan Tubuh
• Olah Raga dan Etika
• Olah Raga dan Internasionalisasi
Bab-bab utama dalam kedua buku tersebut adalah tentang 'sifat dasar olahraga', 'olahraga
dan makna', 'olahraga dan tubuh', 'olahraga dan etika'. Kesejajarannya mencolok bahkan
jika bab tentang estetika dan metafisika dalam buku Gerber dan Morgan tidak memiliki
tindak lanjut dalam buku Hardman and Jones. Sebaliknya, sesuai dengan pandangan buku,
ada bab tentang 'olahraga dan internasionalisasi'.
Buku Hardman and Jones menunjukkan bahwa ada kontinuitas dalam filosofi olahraga.
Paradigma yang dikembangkan di tahun-tahun awal masih populer. Tapi orang bisa bertanya
apakah paradigmanya terlalu sempit dan tidak cukup luas untuk memasukkan luas dan
keragaman budaya gerakan yang lebih luas. Mungkin perspektif yang lebih luas ini bisa saja
terwujud lebih awal.
Kemungkinan kontrafaktual: bagaimana jika Hans Lenk menang pada 1970-an?
Butuh beberapa waktu untuk beralih dari ortodoksi normatif filosofi olahraga dan olahraga
ke pandangan yang lebih beragam saat ini. Tapi bagaimana jika Hans Lenk menang di
tahun 1970-an? Atau diungkapkan secara berbeda: Apa filosofi olahraga dengan
meminggirkan Hans Lenk? Dalam buku Sport im Blickpunkt der Wissenschaften yang
muncul pada Kongres Pra-Olimpiade pada tahun 1972 Hans Lenk (1972) memiliki bab
tentang filosofi olahraga, sebenarnya bab pertama dalam buku itu, yang disebut “Olahraga
di Filsafat Sicht”. Di sini ia menyuguhkan berbagai pandangan filosofis tentang olahraga.
Izinkan saya merangkum pandangan dan pendukung utamanya:
7
• Olahraga sebagai permainan (Huizinga)
7
• Olahraga sebagai perjuangan kelas (Nitschke, Kleine)
• Olahraga sebagai estetika (Barthes, Fraysinnet)
• Olahraga sebagai pelatihan etis (Berry, Kuchler)
• Olahraga dan psikoanalisis (Beisser)
• Olahraga sebagai adaptasi terhadap masyarakat industri (Plessner, Habermas)
• Olahraga, evolusi dan agresi (Lorenz)
• Olahraga sebagai realisasi diri yang eksistensial (Weiss, Slusher)
• Olahraga sebagai Kreativitas dan kehidupan (Ortega y Gasset)
• Olahraga sebagai sistem tanda (karangan bunga)
Lenk di sini membuka panorama tafsir umum yang berbeda tentang olahraga sebagai
fenomena biologis, sosial, psikologis dan metafisik. Presentasi tersebut memiliki pandangan
yang murah hati tentang apa yang seharusnya dianggap sebagai objek studi yang layak.
Tidak hanya olahraga dalam arti sempit, tetapi berbagai macam bentuk permainan,
kehidupan, dan olahraga digambarkan dan didiskusikan. Presentasi ini juga memiliki
pandangan yang terbuka dan murah hati tentang apa yang dapat disebut filsafat karena
memasukkan interpretasi sastra, evolusioner, psikologis, semiotik dan historis sebagai
bagian dari sikap filosofis.
Potret yang diberikan Lenk tentang filosofi olahraga tidak bertahan sebagai penentu tren.
Seperti yang telah disebutkan, pandangan akademis, normatif dan formal yang relatif
sempit mendominasi untuk sementara waktu. Apa yang akan terjadi jika potret Lenk
ditindaklanjuti? 40 tahun kemudian kami lebih terbuka dengan gambar yang dilukis Lenk
untuk kami pada tahun 1972. Butuh beberapa saat untuk sampai ke sana.
Evolusi atau revolusi - perkembangan budaya gerakan yang luas
Sejak awal tahun 1970-an, jelaslah bahwa filosofi olahraga tidak dapat dibatasi pada
olahraga kompetitif jenis Olimpiade atau Amerika. Selama dekade berikutnya objek studi
diperluas dari model kompetitif paradigmatik ke olahraga untuk anak-anak, olahraga untuk
lanjut usia, olahraga massal, olahraga elit, olahraga alam liar, olahraga motorik, olahraga
ekstrim, bahkan olahraga, latihan kebugaran dan rekreasi.
Saya dapat mencontohkan perubahan dengan contoh dari tempat asal saya.
NorwegiaSekolah Ilmu Olahraga adalah lembaga di tingkat universitas yang dibesarkan
dengan dukungan kuat dari Norwegia Sport Federation. Awalnya dimaksudkan untuk
melayani organisasi olahraga sukarela dan pendidikan jasmani di sekolah-sekolah.
Paradigma yang mendominasi sejak awal tahun 1968 adalah olahraga kompetitif dalam
tradisi Inggris dan Olimpiade. Selama tahun 1970-an,
8
kegiatan baru seperti tari, kebugaran, dan pendidikan luar ruangan ('friluftsliv' bahasa
Norwegia) dimasukkan ke dalam kurikulum dan portofolio penelitian. Pelebaran fokus ini
berlanjut dengan bentuk-bentuk kegiatan baru yang dimasukkan selama tahun 1980-an dan
1990-an. Sekitar tahun 2000 Dewan memutuskan bahwa obyek pengajaran dan penelitian
adalah segala bentuk gerak manusia atau homo movens, yaitu manusia yang bergerak. Ada
beberapa alasan bagus untuk melakukannya. Untuk mempelajari hubungan antara otak,
pikiran dan gerakan atau antara gerakan manusia dan kesehatan fisik dan mental, perlu
8
untuk melintasi batas konseptual antara kerja dan waktu luang atau antara bentuk aktivitas
fisik kompetitif dan non-kompetitif. Pelebaran obyek kajian ilmu-ilmu keolahragaan secara
umum juga berimplikasi pada filsafat olah raga.
Homo movens - model fenomenologis-eksistensial olahraga sebagai eksplorasi
Konsep gerakan manusia yang lebih luas ini mengundang refleksi filosofis tentang
bagaimana manusia mengeksplorasi kemungkinan gerakan dalam kaitannya dengan elemen
alam yang berbeda dan di dalam pengaturan sosial budaya yang berbeda. Dalam pidato
kepresidenan saya kepada Philosophic Society for the Study of Sport pada tahun 1997, saya
melakukan upaya pertama untuk mendefinisikan konteks yang lebih luas ini dalam bentuk
model empat kali lipat (Breivik 1998; lihat juga versi yang lebih terperinci dan diperluas
dalam Breivik 2019). Saya mengambil titik awal saya dari pengalaman manusia lucu yang
menjelajahi dunia melalui gerakan tubuh. Eksplorasi ini berlangsung dalam dimensi yang
berbeda dengan karakteristik fenomenologi dan pengalaman yang sangat berbeda.
Eksistensial I berhubungan setidaknya dengan empat dimensi eksistensial dasar: Alam,
Masyarakat, Diri Sendiri dan Yang Lain. Para filsuf berkonsentrasi secara berbeda pada
dimensi-dimensi ini; Sartre awal tentang individu, I dan kesadarannya; Buber dan Levinas
on the You; Marx tentang Masyarakat; Arne Næss di Nature. Bentuk yang berbeda dari
permainan dan olahraga berkonsentrasi pada dimensi yang berbeda dan karenanya kualitas
pengalaman yang berbeda. Pengalaman pelari kesepian di jalan atau pesenam di atas ring
berbeda dengan bertemu 'yang lain' dalam duel di pagar atau ring tinju. Pengalaman berada
dalam tim yang mencoba mengalahkan skor tim lain dalam sepak bola atau rugby berbeda
dengan berinteraksi dengan batu vertikal keras atau bermain kayak di air terjun.
Model ini menggambarkan bagaimana konsep olahraga yang lebih luas harus memasukkan
aktivitas yang memiliki kualitas ontologis dan pengalaman yang cukup beragam. Para
filsuf olahraga lebih sibuk dengan Masyarakat hubungandaripada hubungan dengan Anda
dan lebih fokus pada individu I daripada Alam, yang baru-baru ini menjadi sebuah tema.
Konsep asli olahraga yang sempit sebagai permainan fisik, dan fokus pada olahraga
sebagai kompetisi, dengan demikian dapat diperluas untuk mencakup bidang kegiatan yang
lebih luas dan bahkan melampaui kerangka khusus
9
olahraga Barat dengan konsekuensi sejarah, sosial dan budayanya dan termasuk
aktivitas pergerakan dari belahan dunia lain. Mari kita lihat beberapa kemungkinan
untuk perluasan lebih lanjut.
Apa yang menarik tentang olahraga - dari sudut pandang filosofis yang lebih luas?
Fokus yang lebih luas ini disampaikan oleh Mike McNamee saat meluncurkan jurnal baru
Sport, Ethics and Philosophy pada tahun 2007. 'Sementara di seluruh Eropa olahraga
paradigmatik yang kami kenali sebagai olahraga Olimpiade dipraktikkan dan dipromosikan,
demikian juga budaya gerakan alternatif termasuk kebugaran- dan kesehatan- grup aktivitas
terkait, dan organisasi olahraga untuk semua, yang hanya memiliki kemiripan keluarga
dengan aktivitas yang diatur aturan dan aktivitas kompetitif yang biasanya kita anggap dan
klasifikasikan sebagai "olahraga" di Barat '(McNamee 2007a, 2). Alih-alih lebih banyak
diskusi tentang tiga serangkai permainan, permainan dan olahraga atau perbedaan antara tes
dan kontes, jurnal baru akan berusaha untuk menerbitkan esai yang berkaitan dengan
'praktik aktivitas gerakan seperti pembinaan, promosi kesehatan dan pendidikan. Itu juga
akan menerbitkan esai di bidang intelektual serumpun seperti filsafat tubuh, filsafat
9
pendidikan dan pendidikan jasmani, filsafat kesehatan dan kedokteran, filsafat teknologi dan
sebagainya sejauh mereka menantang dan secara kritis menginformasikan pemahaman kita
tentang olahraga - banyak dipakai - sebagai praktik sosial '(McNamee 2007a, 4). Sementara
etika telah mendominasi banyak perdebatan filosofis olahraga, McNamee menyambut lebih
banyak pekerjaan dalam ontologi, epistemologi, dan filsafat tindakan. Visi baru
mengundang eksplorasi yang lebih luas dan perspektif baru. Seseorang bisa pergi ke dua
arah yang berbeda. Seseorang dapat membuka diri dan mempelajari olahraga dan aktivitas
serupa lainnya dalam konteks yang berbeda. Atau seseorang dapat menutup dan
mempelajari olahraga tertentu atau jenis olahraga tertentu. Mari kita lihat perspektif yang
lebih luas dan berikan beberapa contoh. Contoh pertama adalah melihat penampilan tubuh
manusia - di berbagai lingkungan, sosial dan budaya yang berbeda. Kita dapat melihat
kesamaan gerakan homo dalam konteks yang berbeda seperti bermain, olahraga,
transportasi, ekspedisi, sirkus, peperangan, balet, dll. Pendekatan ini akan berfokus pada
kapasitas dasar, serta lanjutan, fisik dan mental manusia. berada dalam konteks sosial
budaya dan lingkungan yang berbeda. Faktanya, banyak artikel filosofis olahraga yang
menggunakan misalnya Merleau-Ponty, Heidegger, atau Dreyfus dalam analisis mereka
tentang gerakan tubuh beroperasi pada level ini.
Contoh kedua adalah memfokuskan secara khusus pada aspek pikiran dari pikiran tubuh
dan bagaimana hal itu dapat dipelajari di seluruh pengaturan sosial-budaya. Apa peran
intensionalitas motorik di seluruh area gerakan? Apa peran kesadaran dalam gerakan
manusia secara umum dan dalam
10
olahraga? Dapatkah misalnya pertunjukan olahraga ekstrim membantu kita melihat
bagaimana kesadaran terlibat bahkan pada tingkat keterampilan motorik tertinggi? (lihat
Breivik 2013; Montero 2016) Contoh ketiga adalah melihat persaingan dan gagasan
kesempurnaan manusia di berbagai bidang pertunjukan, seperti olahraga, musik, sirkus,
kerajinan tangan, lukisan, catur, keterampilan kerja, sains. Ini akan menjadi filosofi
persaingan dengan fokus pada keadilan dan gagasan kesempurnaan manusia. Olahraga
dapat berkontribusi di sini karena, menurut von Krockow (1972), tidak ada area lain di
mana kemenangan begitu penting dan di mana pemenang dipilih dan diberi penghargaan
yang lebih adil menurut kinerja daripada dalam olahraga kompetitif.
Bidang keempat yang sangat menarik dan menjanjikan dalam kaitannya dengan debat
masyarakat umum adalah doping dan secara umum berbagai sarana peningkatan dalam
olahraga. Filsuf olahraga telah berkontribusi di sini tetapi masih banyak lagi yang akan
datang. Seperti yang dibahas dalam buku Homo Deus oleh Yuval Noah Harari (2017) cara
baru untuk meningkatkan dapat membawa lebih banyak kesenangan, kesehatan yang lebih
baik, hidup lebih lama tetapi dengan biaya semakin dikendalikan oleh algoritma dan
kecerdasan buatan. Olahraga sejak lama harus berhadapan dengan berbagai cara legal dan
ilegal untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental. Itu memiliki sesuatu untuk
ditawarkan pada debat. Lalu apa yang akan terjadi pada olahraga atau budaya pergerakan
secara umum jika prediksi Harari menjadi kenyataan?
Empat contoh yang digambarkan di atas menunjukkan kemungkinan kita harus
menggunakan metode dan wawasan dari filosofi olahraga untuk memperluas objek
penelitian kita dan untuk mengalihkan fokus perhatian kita ke daerah tetangga dan dengan
demikian menjadi lebih relevan dan menarik untuk filsafat umum, ilmu lain dan debat
publik. . Contoh perspektif yang lebih luas yang melintasi batas antara kelompok kegiatan
yang berbeda adalah filosofi seni pertunjukan Davies (2011).
10
Pandangan yang lebih sempit: Dari filosofi olahraga hingga filosofi olahraga tertentu.
Kemungkinan lain adalah bergerak ke arah yang berlawanan dan fokus pada jenis olahraga
tertentu atau bahkan olahraga tunggal atau aktivitas fisik. Seseorang dapat mengembangkan
filosofi olah raga alam atau olah raga duel. Atau bahkan lebih sempit lagi, filosofi olahraga
tunggal seperti sepak bola atau golf. Argumen untuk mempelajari olahraga tertentu dapat
ditemukan dalam teori pembentukan konsep Eleanor Rosch '(1978). Menurut teori ini,
pembentukan konsep kami beroperasi pada tiga tingkat yang berbeda, tingkat superordinat,
tingkat dasar dan tingkat bawahan. 'Olahraga' berada pada tingkat superordinat, 'renang'
pada tingkat dasar dan 'gaya dada' pada tingkat bawahan. Pemahaman konseptual kami
11
adalah yang terbaik dan kelas objek paling kaya di tingkat dasar: 'Objek tingkat dasar adalah
tingkat klasifikasi paling inklusif di mana objek memiliki jumlah atribusi yang sama' (Rosch
1978, 32). Artinya filosofi olahraga tertentu seperti sepak bola akan memiliki kandungan
konseptual yang lebih kaya daripada konsep superordinat seperti olahraga. Ini mungkin
argumen untuk mengembangkan filosofi olahraga tertentu, daripada melanjutkan filosofi
olahraga umum yang lebih 'lemah'. Akan tetapi, ini akan berbeda dengan pendapat umum
yang menurutnya filsafat seharusnya beroperasi pada tingkat abstraksi yang tinggi dan tidak
ditempati oleh fenomena tertentu, kecuali ketika mereka digunakan sebagai contoh. Para
filsuf yang mencari abstraksi harus menyadari bahwa mereka beroperasi di 'udara tipis' di
mana pikiran tidak dalam kondisi terbaiknya dan di mana tugas itu sangat menuntut.
Dalam filosofi olahraga saat ini kita melihat kecenderungan dua arah, filosofi olahraga
tertentu pada level dasar maupun filosofi olahraga pada umumnya pada level superordinat.
Kecenderungan ke arah pendekatan yang lebih spesifik tampaknya mendapat dukungan
yang semakin besar. Izinkan saya memberikan beberapa contoh. Sedangkan Steven
Connnor (2011) menulis buku tentang filosofi olahraga di tingkat superordinat, sedangkan
Mike McNamee (2007b) telah menyunting buku tentang jenis olahraga tertentu, olahraga
petualangan. Yang lebih spesifik dan pada tingkat dasar adalah buku-buku filosofi tentang
olahraga tertentu, seperti T. Richards (2010) tentang sepak bola, MW Austin (2007)
tentang lari, SE Schmid (2010) tentang panjat tebing, dan J. Illundain-Aguruzza, M.
Allhoff dan L. Zinn (2011) tentang bersepeda.
Demikian pula jenis pendekatannya menjadi lebih tepat, misalnya dengan menggunakan
pendekatan fenomenologis, seperti dalam buku Phenomenological Approaches to Sport
yang diedit oleh I. Martinkova dan J. Parry (2012). Sebelumnya WJ Morgan (1994) menulis
sebuah buku tentang Teori Olahraga Kiri. Filsafat Timur juga digunakan seperti dalam
buku oleh J. Stevens (2001) tentang aikido dan oleh F. Boedicker dan M. Boedicker (2009))
dalam buku tentang Tai Chi Chuan.
Beberapa orang pesimis mungkin berpendapat bahwa perkembangan yang digambarkan di
sini akan mengarah pada kekacauan pasca paradigmatik. Kami akan memiliki mosaik
buku filsafat yang saling silang tentang olahraga tertentu dengan pendekatan filosofis yang
berbeda dan beberapa paradigma yang stabil untuk menjamin kesinambungan dari waktu
ke waktu. Yang lain akan menyambut baik diversifikasi dan perluasan filosofi olahraga
menuju banyak pendekatan, di mana paradigma yang lebih spesifik dan stabil secara
bertahap dapat berkembang.
11
Salah satu faktor penting dalam perkembangan filosofi olahraga di masa depan adalah
para filosof olahraga. Filsafat olahraga seperti apa yang akan kita miliki di masa
depan? Apakah mereka akan menjadi
12
praktisi atau penonton, apakah mereka akan terikat pada ilmu olahraga atau filsafat
umum? Apakah mereka akan menjadi generalis di seluruh area pergerakan atau spesialis
olahraga tertentu?
Siapakah filsuf olahraga?
Filsuf masa lalu dan olahraga
Sebuah buku terkenal oleh Heather Reid (2002) berjudul The Philosophical Athlete. Kita
bisa membalikkannya dan bertanya kepada filsuf atletik. Siapa dia? Jika kita bersama Reid
kembali ke Yunani klasik, kita mengamati bahwa olahraga dan filosofi dikembangkan pada
waktu yang bersamaan. Kami menemukan filsuf atletik seperti Plato yang adalah seorang
pegulat. Socrates dan yang lainnya berdiskusi di gimnasia, stadion olahraga. Sekolah
filosofis terkait erat dengan lapangan olahraga. Plato berpendapat bahwa pendidikan
jasmani penting sebagai bagian dari perkembangan yang harmonis antara jasmani dan
rohani. Tubuh yang kuat dan indah adalah bagian dari cita-cita kaloskagathos, yang baik
dan yang indah. Kebajikan, arête, termasuk moralitas dalam olahraga.
Belakangan, hubungan antara filsafat dan olahraga melemah. One could, as Torres (2014)
does, point to Plato, Socrates, Cicero, Erasmus, Hobbes, and Nietzsche who showed
interest for sporting or bodily activities. One could point to Ortega y Gasset and his
interest for hunting, Sartre's notes on skiing, Derrida who was a goalkeeper, Ayer a
football fan and cricketer. Heidegger played football and was an expert skier. But in
general the link between sport and philosophy weakened after the Greek start. The
philosophical athletes as well as the athletic philosophers disappeared. In his interesting
book The Philosophers. Their Lives and the Nature of theirTthought Ben-Ami Scharfstein
(1980) maintains that it is typical for many of the great philosophers through history to
combine on the one hand being a precocious child and having intellectual superiority with
on the other hand showing bodily clumsiness and inaptness for sports.
Bodily clumsiness is well attested for Montaigne, Kant, Hegel, Mill, Russell, and Broad.
Montaigne was surpassed by almost everyone in physical agility, except in running, in
which he was just fair. Montaigne writes about himself: 'At dancing, tennis, wrestling, I
have never been able to acquire any but very slight and ordinary ability; at swimming,
fencing, vaulting, and jumping, none at all. My hands are so clumsy that I cannot even write
so that I can read it' (Scharfstein 1980, 366). Kant's friend and disciple Wasiansky says
about Kant: 'As skillful as Kant was in brainwork, he was clumsy in handiwork. He could
govern only the pen, but not the pen-knife. I therefore usually had to cut the quill to fit his
hand' (Scharfstein 1980,
13
366). Mill said: 'I never could, nor can I now, do anything, requiring the smallest manual
dexterity, but I never put even a common share of exercise of understanding into practical
things' (Scharfstein 1980, 366-367). A friend of Russell wrote: 'Bertie was, in fact, almost a
caricature of the unpractical philosopher, and the idea that he should actually know what to
do in a domestic/mechanical emergency was laughable' (Scharfstein 1980, 367). He could
not even make his own tea.
12
To be fair some philosophers had some practical capacities. Descartes was a physician and
spent much of his time with anatomical experiments. Locke was an expert physician.
Santayana loved drawing and other handiwork. Wittgenstein was skilled in building models
of machines, was a gardener for some time, and designed a house for his sister. Popper
attempted to become a manual worker and practiced cabinet-making (see Scharfstein 1980,
368).
All of the clumsy philosophers mentioned above were also precociously intellectual. So
were Pascal, Leibniz, Hume, Peirce, Collingwood, Kierkegaard and Sartre. So an athletic
philosopher has been a relatively rare specimen in the history of philosophy. It seems that
being a genius in philosophy has had some bodily costs. But what if the leading Western
philosophers had been practical, bodily active, experts on knowing how? What if, as a
contrafactual possibility, they had typically been athletic philosophers? Would mind-body
dualism then have been a prevailing position? What if a philosopher like Merleau-Ponty and
the interest in the bodymind had come much earlier? And what about the sport philosopher
of today and tomorrow?
The modern sport philosopher – identity and affiliation
When modern sport philosophy developed from 1972 and onwards it was forwarded by two
different groups, one attached to philosophical departments and one to sport scientific or
physical education departments or schools. The steering group that founded the new society
Philosophic Society for the Study of Sport in 1972 consisted of two philosophers (Paul
Weiss and Richard Zander) and two physical educators (Warren Fraleigh and Ellen Gerber)
(see Torres 2014, 2). Since then philosophers coming from general philosophy departments
as well as sport philosophers coming from sport scientific departments (kinesiology,
physical education, etc.) have contributed to the development of the new discipline. To take
an example from the Nordic countries: While Sigmund Loland and myself have been active
in a sport scientific school that educates students to professions that are related sport or
physical activity, the Swedish sport philosophers Thorbjörn Tännsjö and ClaudioTamburrini
have
14
worked in general philosophical departments. Their personal backgrounds and interests
made them active in sport philosophy, not their professional affiliation.
I think we will need both groups in the future. Sport philosophy as part of sport sciences
and institutionalized at sport scientific schools make for continuity and stability while the
input from sport-interested general philosophers add both to new ideas and contact with
general philosophy. In addition we have people coming from other areas: from
anthropology, psychology, sociology, cultural studies, history, neuroscience and so on.
They are welcome and they contribute to the widening of the sport philosophical
perspectives.
The participant view versus the spectator view
Sport philosophy can be developed from two perspectives, that of the spectator and that of
the participant. I think the perspective that dominated during the first developmental period
in the 1970s was the spectator view which maybe was inherent in the analytical and
detached perspective on sports as rule-based physical games. While the spectator
perspective is a view from the outside, the participant perspective is the perspective of the
actively involved sportsperson. This perspective is more associated with existentialistic and
13
phenomenological approaches. I would add that also engaged spectators can be studied from
within: They are participants on the bleachers, but they are not on the fields (see Mumford
2012). It may be that the participant perspective and the focus on the view from within is
easier to develop at schools and departments that educate people to practical professions as
coaches, trainers, guides etc. This does not exclude the practitioner perspective among
general philosophers, such as Colin McGinn (2008) who writes surprisingly little about
philosophy and many would say too much about his own practical engagement as
practitioner in various sports.
Where did we come from and where do we go from here?
Let me end by going back to the start, to the kind of sport philosophy where only sport,
descriptively or normatively defined, is focused. Is there still a place for a philosophy of
sport which is about sport and only sport, neither about general physical activities, nor
about specific types of sport? Let me suggest three alternative roads that may be interesting
to explore further if one wants to develop a philosophy of sport in the traditional sense, as a
theory of sport and only sport. Let me underline that it is the method or approach used by
the philosophers I discuss in the following that is of interest. I do not endorse the results, as
is evident, for instance in my discussion of Papineau.
15
The first alternative
The first alternative represents in many ways a continuation of the early attempts to find the
essence of sport. The alternative is exemplified by Steven Connor (2011) in his book A
Philosophy of Sport. Connor states: 'What I want to do is to bring to bear some perspectives
and procedures from certain kinds of philosophy to try to focus as closely and interestingly
as I can, and with as little precomprehension as possible, about the kind, or kinds, of thing
sport is' (Connor 2011, 13). Connor wants to look at sport with fresh eyes: 'I try to make out
what sport means, in the sense of what it means to do, almost, one might incautiously say,
what sport (in the mind it does not have) might have in mind' (Connor 2011, 14). Connor
accepts his approach being called 'cultural phenomenology', where the goal is to understand
the way in which things appear and are experienced. Contrary to those who see these
experiences as inner or individual Connor wants to focus upon the sporting phenomena as
external and collective phenomena.
While Connor's approach in many ways is a perspective from the outside, a spectator
view, another possibility is the view from within, the participant's perspective. It is the
perspective of phenomenal consciousness, of the qualia, of what it feels like to be an
active sportsperson. The participant perspective is well developed in the existential
phenomenology used by Kenneth Aggerholm (2015) in his book Talent Development,
Existential Philosophy and Sport and in some of the essays in in the book on
phenomenology of sport edited by Martinkova and Parry (2012).
The second alternative
The second alternative problematizes philosophy of sport as a specific discipline. It is
exemplified by Graham McFee (2004) who maintains that general philosophical concepts
and ideas cannot simply be transferred to sports philosophy: 'One cannot typically find
concepts or ideas “ready to hand” in general philosophy to apply straightforwardly to the
14
philosophy of sport' (McFee 2004, 15). He admits, however: 'Of course, there may
sometimes be such concepts or ideas in a developed state which—mirabile dictu—fit the
bill; but we should neither expect this nor be surprised not to find it' (McFee 2004, 15).
Later he states even more strongly that there is no place for a philosophy of sport (McFee
2013). There are some ethical, definitional and other sport-related questions but they do
not justify a philosophy of sport as a study area. What we have is just general
philosophical problems exemplified in sport contexts. The main point for McFee is that
philosophy is one
16
subject, one single discipline (McFee 2013, 416). This means that philosophers should be
generally informed and versed in all areas even if they specialize in one or two. And it
means that sport philosophy should not be isolated from other philosophy areas and
philosophy as such. Philosophy of sport should take part in the general Wittgensteinian
therapeutic mission of clearing up pseudo-problems and misunderstandings.
McFee's perspective is interesting and useful, not least for connecting sport philosophy
to general philosophy and for clearing up misunderstandings and misconceptions. I
think, however, that there is more to do, and more to develop, in the intersection
between philosophy and sport than McFee's views admit.
The third alternative
A third approach is exemplified by David Papineau (2017) who in his recent book
Knowing the Score wants to study what sports can teach us about philosophy and what
philosophy can teach us about sports. He writes about his book: 'If there is a common form
to the chapters, each starts with some sporting point that is of philosophical significance. A
first step is to show how philosophical thinking can cast light on the sporting topic. But in
nearly all cases the spotlight of illumination is then reversed. The sporting example tells us
something about the philosophical issues' (Papineau 2017, 4).
I think this is an excellent idea but Papineau instead focuses too much on the psychology of
fast reactions in sport in the first chapter and in the remaining chapters tells us too little
about philosophical perspectives and their implications. But I applaud the idea that
philosophy of sport should use philosophical theories and perspectives and test them on
sport. Not only in sport ethics can sport be a laboratory, as argued but McFee. I think there
is much more to do in ontology, epistemology, philosophy of mind/body and philosophy of
action. This third approach is maybe not a philosophy of sport but a 'philosophy AND sport'
where philosophical problems such as skill and knowledge, consciousness and movement,
mind and body, fairness and perfection, are tested and illuminated by sporting phenomena.
It is an undertaking open to analytical as well as phenomenological perspectives, and to
bridging the gap between British-American and Continental approaches. A good example is
the Dreyfus Searle debate on consciousness and skillful coping where both agree that we
need descriptive phenomenological content as well as conceptual analyses. While Searle
starts with description and focuses most on analysis Dreyfus wants it the other way around.
But they are on the same debate platform, which is something to which we should aspire.
17
Conclusion
15
My goal in this article has not been to present a continuous and coherent interpretation of
the historical development of sport philosophy but rather to identify some trends and tenets,
some twists and turns, some possibilities and options. The title of this article suggested a
possible development going from a 'philosophy of sport' to a diversity of different
'philosophies of sports'. As we have seen this has to some extent been confirmed. There is a
main general trend running from pre-paradigmatic efforts in the 1960s and earlier, through a
period of paradigmatic agreement in the 1970s to the 1990s, and towards multi-
paradigmatic diversity during the last couple of decades.
There is change but also some continuity, especially represented by analytical approaches
trying to identify the essence of sport (understood as a unitary phenomenon). We found
this continuity in the thematic similarity in the sport philosophy books by Gerber/Morgan
and Hardman/Jones as well as in the attempt to identify the essence of sport in the recent
monograph by Connor. Continuity is maybe best exemplified in the long and continuous
debates around such key theoretical concepts as 'formalism', 'internalism',
'conventionalism', 'objectivism' and 'relativism'. They all try to identify and carve out
something of the essence of sport, a project started by Suits and other early pioneers. In
contrast to the continuous debate around the essence of sport I pointed to contrafactual
possibilities represented by the example of Hans Lenk. Sport philosophy could have been
more open to grand theories from various academic fields right from the start in 1972. The
opening up for greater diversity came later, exemplified in the program for the new
journal Sport, Ethics and Philosophy (2007). During the last couple of decades we have
seen an increasing diversity of philosophical methods and approaches and a narrowing as
well as a widening of the object of study. The new development represented a
geographical and cultural expansion to new countries and continents and to a better gender
balance. I think the sport philosophy field thus has become much richer, more open and
diverse. In conclusion I guess we will have to live with, and welcome, three typical
approaches in the future, a) the traditional philosophy of sport looking for the essence of
sport, b) philosophies of specific sports, like the philosophy of football or philosophy of
climbing, c) philosophy of homo movens, focusing on bodymind, skill, movement,
knowledge, etc. as well as ethics and value problems across a wide panorama of action
fields.
18
It seems that there are still many old problems to solve, and many new problems to
develop and define, as sport philosophy in the narrow, as well in the broad, sense has
reached maturity.
References
Aggerholm, K. 2015. Talent Development, Existential Philosophy and Sport.
London: Routledge.
Archer, A. and M. Prange (2019) “'Equal Play, Equal Pay': Moral Grounds for Equal Pay
in Football”, Journal of the Philosophy of Sport, DOI: 10.1080/00948705.2019.1622125
16
Austin, MW ed. 2007. Running & Fhilosophy. Malden: Penerbitan Blackwell.
Bianchi, A. 2017. “Transgender Women in Sport”, Journal of the Philosophy of Sport, 44,
2, 229-242
Boedicker, F. and M. Boedicker 2009. The Philosophy of Tai Chi Chuan: Wisdom
from Confucius, Lao Tzu and Other Great Thinkers. Berkeley, Ca: Blue Snake
Books.
Boradori, G. 1994. The American Philosopher. Chicago: Chago University Press.
Breivik, G. 1998. “Sport in high modernity. Sport as a carrier of social values”. Journal of
the Philosophy of Sport, 25, 103-118
Breivik, G. 2013. “Zombie-like or Superconscious? The Role of Consciousness in
Elite Sport.” Journal of Philosophy of Sport 40 (1): 85–106.
Breivik, G. 2019. “The Sporting Exploration of the World; Toward a Fundamental
Ontology of the Sporting Human Being”, Sport, Ethics and Philosophy, DOI:
10.1080/17511321.2019.1572214
Connor, S. 2011. A Philosophy of Sport. London: Reaktion Books
Davies, D. 2011. Philosophy of the Performing arts. Malden: Wiley-Blackwell.
Davis, P. and L. Edwards. 2017. “Is it Defensible for Women to Play fewer Sets than Men
in Grand Slam Tennis?” Journal of the Philosophy of Sport, 44, 3, 388-407.
Edwards, H. 1973. Sociology of Sport. Homewood, Illinois: Dorsey Press.
19
English, C. 2017. “Toward Sport Reform: Hegemonic Masculinity and
Reconceptualizing Competition”, Journal of the Philosophy of Sport, 44, 2, 183-198.
Fry, J. and M. McNamee, Eds.2017. “Sport, Ethics and Neuroscience”, Sport, Ethics
and Philosophy, 11,3
Gerber, EW and WJ Morgan. Eds. 1979. Sport and the Body. A Philosophical Symposium.
Edisi kedua. Philadelphia: Lea & Febiger.
Graves. H. 1900. "A Philosophy of Sport." Contemporary Review. 78, 877- 893
Grupe, O., Kurz, D. and JM Teipel, Eds. 1972. Sport im Blickpunkt der
Wissenschaften. Perspektiven, Aspekte, Ergebnisse. Berlin: Springer-Verlag.,
Harari, YN 2017. Homo Deus. A brief History of Tomorrow. New York: HarperCollins
Hardman, A and C. Jones 2010. Philosophy of Sport. International Perspectives.
Newcastle: Cambridge Scolars Publishing.
17
Ilundain-Agurruza, J., Austin, MW and L. Zinn, (eds).2011. Cycling –Philosohy
for Everyone: A Philosophical Tour de Force. London: Wiley-Blackwell. _
Koenigsberger, AA 2017. “Gender Equality in the Olympic Movement: not a
simple Question, not a simple Answer”, Journal of the Philosophy of Sport, 44, 3,
329-341.
Kretchmar, RS, Dyreson, M., Llewellyn, MP and J. Gleaves 2017. History and Philosophy
of Sport and Physical Activity. Champaign, Ill.:Human Kinetics.
Krockow, CG von, 1972. Sport und Industrigesellschaft. München: Piper.
Kuhn, TS 1962. The structure of scientific revolutions. Chicago dan London: The
University of Chicago Press.
Lenk, H. 1972. “Sport in Philosophischer Sicht”. In Sport im Blickpunkt der
Wissenschaften. Perspektiven, Aspekte, Ergebnisse, edited by Grupe, O, Kurz, D and JM
Teipel, 115-40. Berlin: Springer-Verlag.
MacIntyre, A. 1984. After Virtue: A Study in Moral Theology, 2.nd ed. Notre
Dame: University of Notre Dame Press.
20
Martinkova, I. and J. Parry, eds. 2012. Phenomenological Approaches to Sport. London
and New York: Routledge
McFee, G. 2004. “Normativity, Justification, and (MacIntyrean) Practices: Some Thoughts
on Methodology for the Philosophy of Sport”. Journal of the Philosophy of Sport, 31, 15-
33
McFee, G. 2013. “Making Sense of the Philosophy of Sport”. Sport, Ethics and
Philosophy, 7, 4, 412-429
McGinn, C. 2008. Sport. Stocksfield: Acumen
McNamee, M. 2007a. “Sport, Ethics and Philosophy; Context, History, Prospects”,
Sport, Ethics and Philosophy 1,1-6
McNamee, MJ ed. 2007b. Philosophy, Risk and Adventure Sports. London: Routledge.
McNamee, M. and WJ Morgan (2015) “A Historical Introduction to the Philosophy of
Sport”. In Routledge Handbook of the Philosophy of Sport, edited by M. McNamee and WJ
Morgan, 1-8, London: Routledge.
Metheny, E. 1968. Movement and Meaning. New York: McGraw-Hill.
Mizuho, T. 2014. “Prolegomena to Philosophical Considerations of Sports and Gender:
a Critical Consideration of Research in Japan”, Journal of the Philosophy of Sport, 41,
1, 97- 111.
18
Montero, BG (2016) Thought in Action. Expertise and the Conscious Mind. Oxford:
Oxford University Press.
Morgan, WJ 1994. Leftist Theories of Sport. A Critique and Reconstruction. Urbana
and Chicago: University of Illinois Press.
Mumford, S. 2012. Watching sport. Aesthetics, Ethics and Emotion. Oxon: Routledge
Newell, KM 1990. “Physical Activity, Knowledge Types, and Degree Programs”, Quest,
42, 243-268
Osterhoudt, RG 1978. “The History and Philosophy of Sport: The Re-unification of
once Separated Opposites", Journal of the Philosophy of Sport, 5, 71-76
21
Papineau, D. 2017. Knowing the Score. What Sports can Teach us about Philosophy
and what Philosophy can Teach us about Sports. New York: Basic Books.
Postow, BC 1980. “Women and Masculine Sports”, Journal of the Philosophy of Sport, 7,
1, 51-58.
Reid, H. 2002. The Philosophical Athlete. Carolina Durham: Academic Press
Renson, R. (1989) “From Physical Education to Kinanthropology: A Quest for Academic
and Professional identity.” Quest, 41, 235-256
Richards, T. ed. 2010. Soccer and Philosophy. Chicago: Open Court.
Rosch, E. 1978. “Principles of Categorization”. In Cognition and Categorization., edited
by Rosch, E. and BB Lloyd, 27-48. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.
Santayana, G. 18994 "Philosophy on the Bleachers." Harvard Monthly, 18, 181-190.
Schmid, SE ed. 2010. Climbing. Philosophy for Everyone. Because It's There. Chichester:
Wiley-Blackwell
Scharfstein, B.-A. 1980. The Philosophers. Their Lives and the Nature of their Thought.
New York: Oxford University Press.
Schneider, A. 1995. “Gender, Sexuality, and Sport in America”, Journal of the Philosophy
of Sport, 22, 1, 143-149.
Slusher, H. 1967. Man, Sport and Existence: A Critical Analysis Philadelphia: Lea &
Febiger Stevens, J. 2001. The Philosophy of Aikido .Tokyo: Kodansha International. Suits,
B. 1967. “What is a Game?” Philosophy of Science, 34, 148-156.
Suits, B. 1973. “The Elements of Sport”. In The Philosophy of Sport: A Collection of
Essays. Edited by R. Osterhoudt, 48-64. Springfield, Ill: Charles C Thomas Publisher.
19
Torres, C. 2014. “Introduction”. In The Bloomsbury Companion to the Philosophy of
Sport, edited by C. Torres, 1-14. London: Bloomsbury.
Tredway, K. 2014. “Judith Butler Redux – the Heterosexual Matrix and the Out
Lesbian Athlete: Amélie Mauresmo, Gender Performance, and Women's Professional
Tennis”, Journal of the Philosophy of Sport, 41,2, 163-176.
Warren, JC 1831. The Importance of Physical Education. Boston: American Institute of
Instruction.
22
Weaving, C. 2014. “Cage Fighting Like a Girl: Exploring Gender Constructions in the
Ultimate Fighting Championship (UFC)”, Journal of the Philosophy of Sport, 41,1, 129-
142.
Weiss, P. 1969. Sport: A Philosophic Inquiry. Carbondale: Southern Illinois University
Press.
i
The articleis based on the keynote lecture presented atthe Ann ual Conference of the
International Association for the Philosophy of Sport in Oslo September 5.-8, 2018.
20
BAB II
HASIL RIVIEW
A. Harapan dari Filosofi Olahraga yang Lengkap
Disiplin ilmu yang mapan dicirikan oleh, antara lain, kontinuitas sepanjang
waktu, muatan ilmiah yang mapan, konsep yang jelas, metode yang disepakati, sekolah
dan paradigma yang bersaing, dan kelompok penelitian yang stabil.
Selama tahun 1960-an banyak sub-disiplin ilmu olahraga dikembangkan dan
memperoleh beberapa kemandirian dan identitas dalam kaitannya dengan disiplin induk
mereka. Psikologi olah raga, sosiologi olah raga, fisiologi olah raga dan olah raga,
kedokteran olah raga, dan lain sebagainya.
Menurut Newell (1990) perkembangan telah menyukai pengetahuan deklaratif
dengan biaya pengetahuan prosedural, dan pengetahuan teoritis lebih disukai di atas
pengetahuan praktisi. Dalam filosofi olahraga, diskusi tentang mengetahui bagaimana
versus mengetahui itu juga sangat jarang. Tapi mari kita mulai dari filosofi olahraga
sebagai disiplin akademis.
B. Perkembangan Filosofi Olahraga
1. Perkembangan pada tahun 1970-an dan 1980-an
Pada tahun yang sama dengan kongres Pra-Olimpiade diadakan di
Munich Masyarakat Filsafat untuk Studi Olahraga (PSSS) didirikan pada
Pertemuan Divisi Timur Asosiasi Filsafat Amerika yang diadakan di Boston,
Massachusetts.
Filosofi olahraga yang dikembangkan selama dua dekade pertama
setelah dimulainya pada awal 1970-an didominasi oleh olahraga Amerika dan
ideologinya dan oleh lingkungan akademis Amerika. Perdebatan mulai berfokus
pada karakteristik formal olahraga, peran berbagai jenis aturan, dan definisi
permainan, permainan, dan olahraga.
21
Sebuah esensialisme tertentu mendominasi; fokusnya adalah pada apa
yang dianggap sebagai elemen umum atau esensial dari semua olahraga.
Konsekuensi lain dari penyematan filosofi olahraga Amerika adalah fokus pada
etika dan identitas normatif olahraga.
2. Perkembangan pada tahun 1990-an menuju saat ini
Dengan negara-negara baru, asosiasi baru, dan konsepsi filosofi baru,
muncullah keragaman yang lebih besar dari pendekatan filosofis olahraga;
fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, neo marxisme, teori kritis,
hermeneutika, neo-strukturalisme, post-strukturalisme, dan sebagainya.
Gagasan filosofi olahraga dengan demikian secara bertahap menjadi
lebih terbuka untuk pendekatan baru, misalnya lebih banyak kontak dengan
pekerjaan empiris dalam ilmu sosial, studi budaya dan ilmu saraf.
C. Konsep Filosofi Olahraga
1. Sifat olahraga, permainan dan permainan
2. Olahraga dan makna: seni, sastra dan Spiritualitas
3. Olah Raga dan Tubuh
4. Olah Raga dan Etika
5. Olah Raga dan Internasionalisasi
D. Perkembangan Budaya Gerakan Luas
Selama dekade berikutnya objek studi diperluas dari model kompetitif
paradigmatik ke olahraga untuk anak-anak, olahraga untuk lanjut usia, olahraga massal,
olahraga elit, olahraga alam liar, olahraga motorik, olahraga ekstrim, bahkan olahraga,
latihan kebugaran dan rekreasi. Awalnya dimaksudkan untuk melayani organisasi
olahraga sukarela dan pendidikan jasmani di sekolah-sekolah.
Untuk mempelajari hubungan antara otak, pikiran dan gerakan atau antara
gerakan manusia dan kesehatan fisik dan mental, perlu untuk melintasi batas konseptual
antara kerja dan waktu luang atau antara bentuk aktivitas fisik kompetitif dan non-
kompetitif.
22
E. Pandangan Filosofi Olahraga Hingga Filosofi OlahragaTertentu
Kemungkinan filosofi bergerak ke arah yang berlawanan dan fokus pada jenis
olahraga tertentu atau bahkan olahraga tunggal atau aktivitas fisik. Menurut teori ini,
pembentukan konsep kami beroperasi pada tiga tingkat yang berbeda, tingkat
superordinat, tingkat dasar dan tingkat bawahan.
'Olahraga' berada pada tingkat superordinat, 'renang' pada tingkat dasar dan
'gaya dada' pada tingkat bawahan. Ini mungkin argumen untuk mengembangkan filosofi
olahraga tertentu, daripada melanjutkan filosofi olahraga umum yang lebih 'lemah'.
Akan tetapi, ini akan berbeda dengan pendapat umum yang menurutnya filsafat
seharusnya beroperasi pada tingkat abstraksi yang tinggi dan tidak ditempati oleh
fenomena tertentu, kecuali ketika mereka digunakan sebagai contoh.
Dalam filosofi olahraga saat ini kita melihat kecenderungan dua arah, filosofi
olahraga tertentu pada level dasar maupun filosofi olahraga pada umumnya pada level
superordinat.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari jurnal yang telah saya baca bahwa filosofi olahraga dapat memperluas visibilitas
dan daya tariknya. Sub-disiplin ilmu olahraga yang kaitannya dengan disiplin induk
seperti sikologi olah raga, sosiologi olah raga, fisiologi olah raga dan olah raga,
kedokteran olah raga, dan lain sebagainya.
Filosofi olahraga yang dikembangkan selama dua dekade pertama setelah
dimulainya pada awal 1970-an didominasi oleh olahraga Amerika yang berfokus pada
karakteristik formal olahraga, peran berbagai jenis aturan, dan definisi permainan,
permainan, dan olahraga.
Dengan negara-negara baru, asosiasi baru, dan konsepsi filosofi baru,
muncullah keragaman yang lebih besar dari pendekatan filosofis olahraga;
fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, neo marxisme, teori kritis,
hermeneutika, neo-strukturalisme, post-strukturalisme, dan sebagainya.
Konsep filosofi olahraga, diantaranya :
1. Sifat olahraga, permainan dan permainan
2. Olahraga dan makna: seni, sastra dan Spiritualitas
3. Olah Raga dan Tubuh
4. Olah Raga dan Etika
5. Olah Raga dan Internasionalisasi
Pembentukan konsep filosofi beroperasi pada tiga tingkat yang berbeda, tingkat
superordinat, tingkat dasar dan tingkat bawahan.
.
24
B. Saran
Makalah yang saya buat ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi
susunan kalimat maupun tata kebahasaannya. Oleh karena itu,dengan tangan terbuka
saya menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca,
sehingga saya bisa melakukan perbaikan dari makalah ini menjadi makalah yang baik
dan benar.
25
DAFTAR PUSTAKA
Breivik, G. 2013. “Zombie-like or Superconscious? The Role of Consciousness in
Elite Sport.” Journal of Philosophy of Sport 40 (1): 85–106.
26
LINK
1. PPT ReviewJurnal
https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/m-farhan-kholidi-hblibiography
2. Gabungan 5 Jurnal
https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/m-farhan-kholidi-hblibiography1
3. Review Jurnal A Hermeneutical Analysis ofthe InternalistApproachin the Philosophy of
Sport
https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/review-jurnala-hermeneutical-
analysis-of-the-internalistapproachin-the-philosophy-of-sport
4. Review Jurnal Teaching Philosophy More Than Two DecadesofExperience.
https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/review-jurnalteaching-
philosophy-more-than-two-decades-of-experience
5. Review Jurnal What is the Philosophy ofSport
https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/review-jurnalwhat-is-the-
philosophy-of-sport
6. Review Jurnal Sports Intregrity Needs Sports Ethics And Sports Philosophers And
Sports EthiToocists
https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/review-jurnalsports-intregrity-
needs-sports-ethics-and-sports-philosophers-and-sports-ethitoocists
7. Review Jurnal Philosophy ofSport to Philosophies ofSports.
https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/review-jurnalphilosophy-of-
sport-to-philosophies-of-sports

More Related Content

What's hot

Hubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agamaHubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agamaBuyung Iskandar
 
Makalah filsafat olahraga
Makalah filsafat olahragaMakalah filsafat olahraga
Makalah filsafat olahragaAwliya Rahmah
 
Review 5 Jurnal International
Review 5 Jurnal International Review 5 Jurnal International
Review 5 Jurnal International DefiRachmawati
 
epistemologi
epistemologiepistemologi
epistemologiM fazrul
 
Materi Penjas Tentang Atletik
Materi Penjas Tentang AtletikMateri Penjas Tentang Atletik
Materi Penjas Tentang AtletikMuhammad Mauladi
 
Soal soal filsafat
Soal soal filsafatSoal soal filsafat
Soal soal filsafatJennyJenny47
 
filsafat umum phytagoras
filsafat umum phytagorasfilsafat umum phytagoras
filsafat umum phytagorasLely Surya
 
PPT FILSAFAT OLAHRAGA
PPT FILSAFAT OLAHRAGAPPT FILSAFAT OLAHRAGA
PPT FILSAFAT OLAHRAGAAchmady1
 
Radulescu si cojocaru [ghidul antrenorului de fotbal] dumitrescu
Radulescu si cojocaru [ghidul antrenorului de fotbal]   dumitrescuRadulescu si cojocaru [ghidul antrenorului de fotbal]   dumitrescu
Radulescu si cojocaru [ghidul antrenorului de fotbal] dumitrescuDurgheuAlin
 
Mata kuliah filsafat ilmu
Mata kuliah filsafat ilmuMata kuliah filsafat ilmu
Mata kuliah filsafat ilmuMas Yono
 
E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i Erta Erta
 
Makalah Olahraga Permainan Softball
Makalah Olahraga Permainan SoftballMakalah Olahraga Permainan Softball
Makalah Olahraga Permainan SoftballAnisa Khoirul Amin
 
Makalah pendidikan jasmani dan olahraga
Makalah pendidikan jasmani dan olahragaMakalah pendidikan jasmani dan olahraga
Makalah pendidikan jasmani dan olahragaHabibi Muhammad
 
Filsafat ilmu pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuanFilsafat ilmu pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuanvian rahayu
 
Makalah integrasi ilmu
Makalah integrasi ilmuMakalah integrasi ilmu
Makalah integrasi ilmuAbuy Thea
 

What's hot (20)

Manajemen Olahraga
Manajemen OlahragaManajemen Olahraga
Manajemen Olahraga
 
Hubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agamaHubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agama
 
Makalah filsafat olahraga
Makalah filsafat olahragaMakalah filsafat olahraga
Makalah filsafat olahraga
 
Review 5 Jurnal International
Review 5 Jurnal International Review 5 Jurnal International
Review 5 Jurnal International
 
epistemologi
epistemologiepistemologi
epistemologi
 
Materi Penjas Tentang Atletik
Materi Penjas Tentang AtletikMateri Penjas Tentang Atletik
Materi Penjas Tentang Atletik
 
Soal soal filsafat
Soal soal filsafatSoal soal filsafat
Soal soal filsafat
 
filsafat umum phytagoras
filsafat umum phytagorasfilsafat umum phytagoras
filsafat umum phytagoras
 
PPT FILSAFAT OLAHRAGA
PPT FILSAFAT OLAHRAGAPPT FILSAFAT OLAHRAGA
PPT FILSAFAT OLAHRAGA
 
Makalah Senam Aerobik
Makalah  Senam  AerobikMakalah  Senam  Aerobik
Makalah Senam Aerobik
 
Idealisme
IdealismeIdealisme
Idealisme
 
Radulescu si cojocaru [ghidul antrenorului de fotbal] dumitrescu
Radulescu si cojocaru [ghidul antrenorului de fotbal]   dumitrescuRadulescu si cojocaru [ghidul antrenorului de fotbal]   dumitrescu
Radulescu si cojocaru [ghidul antrenorului de fotbal] dumitrescu
 
2 dasar dasar pengetahuan
2 dasar dasar pengetahuan2 dasar dasar pengetahuan
2 dasar dasar pengetahuan
 
Mata kuliah filsafat ilmu
Mata kuliah filsafat ilmuMata kuliah filsafat ilmu
Mata kuliah filsafat ilmu
 
E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i
 
Makalah Olahraga Permainan Softball
Makalah Olahraga Permainan SoftballMakalah Olahraga Permainan Softball
Makalah Olahraga Permainan Softball
 
filsafat ilmu logika
 filsafat ilmu  logika  filsafat ilmu  logika
filsafat ilmu logika
 
Makalah pendidikan jasmani dan olahraga
Makalah pendidikan jasmani dan olahragaMakalah pendidikan jasmani dan olahraga
Makalah pendidikan jasmani dan olahraga
 
Filsafat ilmu pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuanFilsafat ilmu pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan
 
Makalah integrasi ilmu
Makalah integrasi ilmuMakalah integrasi ilmu
Makalah integrasi ilmu
 

Similar to FILOSOFI OLAHRAGA

REVIEW JURNAL_Philosophy of Sport to Philosophies of Sports
REVIEW JURNAL_Philosophy of Sport to Philosophies of SportsREVIEW JURNAL_Philosophy of Sport to Philosophies of Sports
REVIEW JURNAL_Philosophy of Sport to Philosophies of SportsMuhammadFarhanKholid
 
Review jurnal philosophy of sport to philosophies of sports (1)
Review jurnal philosophy of sport to philosophies of sports (1)Review jurnal philosophy of sport to philosophies of sports (1)
Review jurnal philosophy of sport to philosophies of sports (1)HestyOliviaSafitri
 
Review 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitri
Review 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitriReview 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitri
Review 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitriHestyOliviaSafitri
 
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...HestyOliviaSafitri
 
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...IndraSaputra107
 
REVIEW JURNAL_What is the Philosophy of Sport
REVIEW JURNAL_What is the Philosophy of SportREVIEW JURNAL_What is the Philosophy of Sport
REVIEW JURNAL_What is the Philosophy of SportMuhammadFarhanKholid
 
Review jurnal what is the philosophy of sport (1)
Review jurnal what is the philosophy of sport (1)Review jurnal what is the philosophy of sport (1)
Review jurnal what is the philosophy of sport (1)HestyOliviaSafitri
 
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...MuhammadFarhanKholid
 
Gabungan 5 jurnal indra saputra
Gabungan 5 jurnal  indra saputraGabungan 5 jurnal  indra saputra
Gabungan 5 jurnal indra saputraIndraSaputra107
 
M. FARHAN KHOLIDI H._BLIBIOGRAPHY1
M. FARHAN KHOLIDI H._BLIBIOGRAPHY1M. FARHAN KHOLIDI H._BLIBIOGRAPHY1
M. FARHAN KHOLIDI H._BLIBIOGRAPHY1MuhammadFarhanKholid
 
21 yudis annotated bibliography
21 yudis  annotated bibliography21 yudis  annotated bibliography
21 yudis annotated bibliographyyudissihanita
 
Paradigma pendidikan dan filsafat pembinaan sepak bola, sebuah teoritis persp...
Paradigma pendidikan dan filsafat pembinaan sepak bola, sebuah teoritis persp...Paradigma pendidikan dan filsafat pembinaan sepak bola, sebuah teoritis persp...
Paradigma pendidikan dan filsafat pembinaan sepak bola, sebuah teoritis persp...FajarArbi
 
PUTAR BALIK: MENUJU FILSAFAT DARI OLAHRAGA OLEH ALBERT PIACENTE
PUTAR BALIK: MENUJU FILSAFAT DARI OLAHRAGA OLEH ALBERT PIACENTEPUTAR BALIK: MENUJU FILSAFAT DARI OLAHRAGA OLEH ALBERT PIACENTE
PUTAR BALIK: MENUJU FILSAFAT DARI OLAHRAGA OLEH ALBERT PIACENTEMohamadSaputra1
 
Nahriyah salsabilah 2020 b_075_makalah reviuw 3
Nahriyah salsabilah 2020 b_075_makalah reviuw 3Nahriyah salsabilah 2020 b_075_makalah reviuw 3
Nahriyah salsabilah 2020 b_075_makalah reviuw 3NahriyahSalsabilah
 
HESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHY
HESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHYHESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHY
HESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHYHestyOliviaSafitri
 
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi Olahraga
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi OlahragaIlham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi Olahraga
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi OlahragaIlhamPutra61
 
MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL
MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL
MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL FayzaWibisono
 
Review Jurnal 5 the international journal of the history of sport the philoso...
Review Jurnal 5 the international journal of the history of sport the philoso...Review Jurnal 5 the international journal of the history of sport the philoso...
Review Jurnal 5 the international journal of the history of sport the philoso...MuhammadRomadlon2
 
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 1
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 1Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 1
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 1ArifUtomo7
 
beno widyadhana_kelas_E (2).docx
beno widyadhana_kelas_E (2).docxbeno widyadhana_kelas_E (2).docx
beno widyadhana_kelas_E (2).docxGossGoss
 

Similar to FILOSOFI OLAHRAGA (20)

REVIEW JURNAL_Philosophy of Sport to Philosophies of Sports
REVIEW JURNAL_Philosophy of Sport to Philosophies of SportsREVIEW JURNAL_Philosophy of Sport to Philosophies of Sports
REVIEW JURNAL_Philosophy of Sport to Philosophies of Sports
 
Review jurnal philosophy of sport to philosophies of sports (1)
Review jurnal philosophy of sport to philosophies of sports (1)Review jurnal philosophy of sport to philosophies of sports (1)
Review jurnal philosophy of sport to philosophies of sports (1)
 
Review 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitri
Review 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitriReview 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitri
Review 5 jurnal 2020 b_077_hesty olivia nur safitri
 
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
 
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
Review jurnal a hermeneutical analysis of the internalist approachin the phil...
 
REVIEW JURNAL_What is the Philosophy of Sport
REVIEW JURNAL_What is the Philosophy of SportREVIEW JURNAL_What is the Philosophy of Sport
REVIEW JURNAL_What is the Philosophy of Sport
 
Review jurnal what is the philosophy of sport (1)
Review jurnal what is the philosophy of sport (1)Review jurnal what is the philosophy of sport (1)
Review jurnal what is the philosophy of sport (1)
 
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...
REVIEW JURNAL_A Hermeneutical Analysis of the InternalistApproachin the Philo...
 
Gabungan 5 jurnal indra saputra
Gabungan 5 jurnal  indra saputraGabungan 5 jurnal  indra saputra
Gabungan 5 jurnal indra saputra
 
M. FARHAN KHOLIDI H._BLIBIOGRAPHY1
M. FARHAN KHOLIDI H._BLIBIOGRAPHY1M. FARHAN KHOLIDI H._BLIBIOGRAPHY1
M. FARHAN KHOLIDI H._BLIBIOGRAPHY1
 
21 yudis annotated bibliography
21 yudis  annotated bibliography21 yudis  annotated bibliography
21 yudis annotated bibliography
 
Paradigma pendidikan dan filsafat pembinaan sepak bola, sebuah teoritis persp...
Paradigma pendidikan dan filsafat pembinaan sepak bola, sebuah teoritis persp...Paradigma pendidikan dan filsafat pembinaan sepak bola, sebuah teoritis persp...
Paradigma pendidikan dan filsafat pembinaan sepak bola, sebuah teoritis persp...
 
PUTAR BALIK: MENUJU FILSAFAT DARI OLAHRAGA OLEH ALBERT PIACENTE
PUTAR BALIK: MENUJU FILSAFAT DARI OLAHRAGA OLEH ALBERT PIACENTEPUTAR BALIK: MENUJU FILSAFAT DARI OLAHRAGA OLEH ALBERT PIACENTE
PUTAR BALIK: MENUJU FILSAFAT DARI OLAHRAGA OLEH ALBERT PIACENTE
 
Nahriyah salsabilah 2020 b_075_makalah reviuw 3
Nahriyah salsabilah 2020 b_075_makalah reviuw 3Nahriyah salsabilah 2020 b_075_makalah reviuw 3
Nahriyah salsabilah 2020 b_075_makalah reviuw 3
 
HESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHY
HESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHYHESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHY
HESTY OLIVIA NUR SAFITRI_BLIBIOGRAPHY
 
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi Olahraga
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi OlahragaIlham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi Olahraga
Ilham Putra - Tugas Review Jurnal Filosofi Olahraga
 
MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL
MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL
MAKALAH REVIEW JURNAL INTERNASIONAL
 
Review Jurnal 5 the international journal of the history of sport the philoso...
Review Jurnal 5 the international journal of the history of sport the philoso...Review Jurnal 5 the international journal of the history of sport the philoso...
Review Jurnal 5 the international journal of the history of sport the philoso...
 
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 1
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 1Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 1
Arif utomo 049 2020_b_riview jurnal 1
 
beno widyadhana_kelas_E (2).docx
beno widyadhana_kelas_E (2).docxbeno widyadhana_kelas_E (2).docx
beno widyadhana_kelas_E (2).docx
 

FILOSOFI OLAHRAGA

  • 1. REVIEW JURNAL Philosophy of Sport to Philosophies of Sports Dosen Pengampu : Dr. Made Pramono, S.S. M.Hum. Disusun Oleh : INDRA SAPUTRA 20060484065 2020B UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS ILMU OLAHRAGA JURUSAN PENDIDIKAN KESEHATAN DAN REKREASI PRODI S-1 ILMU KEOLAHRAGAAN TAHUN AJARAN 2021/2022
  • 2. I KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan review jurnal yang berjudul “Philosophy of Sport to Philosophies of Sports” dengan tepat waktu. Kami ucapkan terima kasih kepada dosen Dr. Made Pramono, S.S. M.Hum. selaku pengampu mata kuliah Fisafat dan Sejarah Olahraga yang telah mengizinkan saya untuk menyusun makalah ini, serta teman-teman sekalian yang telah membantu memberikan informasi mengenai tata cara pembuatan makalah dan lain sebagainya. Review jurnal dalam bentuk makalah ini saya susun dengan tujuan untuk menjelaskan mengenai “Philosophy of Sport to Philosophies of Sports” yang saya sesuaikan dengan RPS mata kuliah Filsafat dan Sejarah Olahraga. Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas yang wajib dalam mata kuliah Filsafat dan Sejarah Olahraga. Terlepas dari itu semua, saya menyadari seutuhnya masih jauh dari kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata kebahasaannya. Oleh karena itu,dengan tangan terbuka saya menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca, sehingga saya bisa melakukan perbaikan dari makalah ini menjadi makalah yang baik dan benar. Harapan saya semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk pembaca dan bisa memberikan wawasan bagi pembaca. Wassalamualaikum Wr.Wb. Penyusun INDRA SAPUTRA
  • 3. II DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..................................................................................................................I DAFTAR ISI...............................................................................................................................II BAB I..........................................................................................................................................1 JURNAL.....................................................................................................................................1 BAB II...................................................................................................................................... 20 HASIL RIVIEW....................................................................................................................... 20 A. Harapan dari Filosofi Olahraga yang Lengkap.............................................................. 20 B. Perkembangan Filosofi Olahraga .................................................................................. 20 C. Konsep Filosofi Olahraga .............................................................................................. 21 D. Perkembangan Budaya Gerakan Luas .......................................................................... 21 E. Pandangan Filosofi Olahraga Hingga Filosofi Olahraga Tertentu................................. 22 BAB III..................................................................................................................................... 23 PENUTUP................................................................................................................................ 23 A. Kesimpulan.................................................................................................................... 23 B. Saran ............................................................................................................................. 24 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 25 LINK........................................................................................................................................ 26
  • 4. 1 BAB I JURNAL File ini diunduh dari gudang institusi Brage NIH - brage.bibsys.no/nih Breivik, G. (2019). Dari 'filosofi olahraga' hingga 'filosofi olahraga'? Sejarah, identitas dan diversifikasi filosofi olahraga. Jurnal Filsafat Olahraga, 46 (3), 301-320. 10. 1080 / 00948705.2019.1660882 Dette er siste tekst-versjon av artikkelen, dan g den kan inneholde små forskjeller fra forlagets pdf-versjon. Forlagets pdf-versjon finner du her: http://dx.doi.org/10.1080/00948705.2019.1660882 Ini adalah versi teks terakhir dari artikel, dan mungkin terdapat sedikit perbedaan dari versi pdf jurnal. Publikasi asli tersedia di sini: http://dx.doi.org/10.1080/00948705.2019.1660882 Dari 'filosofi olahraga' hingga'filosofi olahraga'? Sejarah,Identitas dan Diversifikasi Filsafat Olahraga Abstrak Tujuan saya dalam artikel ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana filosofi olahraga modern yang dimulai pada tahun 1972 berkembang dari batas paradigmatik yang relatif sempit menjadi disiplin ilmu internasional yang beragam dan multi paradigmatik. Perkembangan ini mencakup beberapa perubahan tetapi juga beberapa kesinambungan. Saya mengidentifikasi tiga prinsip utama yang mungkin dapat diterapkan di masa depan. Salah satunya adalah dengan fokus pada paradigma filosofis olahraga tradisional, yang berambisi untuk mengidentifikasi esensi olahraga. Pilihan kedua adalah mengembangkan
  • 5. 2 pendekatan yang lebih spesifik, dengan fokus pada olahraga tunggal atau jenis olahraga, seperti sepak bola atau panjat tebing. Alternatif ketiga adalah mengembangkan filosofi, tidak hanya tentang olahraga tetapi juga 'homo movens', mempelajari manusia yang bergerak dalam konteks lingkungan dan sosial budaya yang berbeda. Ketiga opsi tersebut layak dan harus disambut baik. KATA KUNCI: Olah Raga, Filsafat Olah Raga, Sejarah Perkembangan, Diversifikasi, Masa Depan, Identitas 1 Pendahuluani Sejak dimulainya awal tahun 1970-an filosofi olahraga telah mengalami banyak perubahan dan telah berkembang dari suatu disiplin akademis dalam batas-batas paradigmatik yang relatif sempit menjadi bidang studi yang jauh lebih beragam. Ini adalah tujuan saya dalam presentasi berikut untuk menjelaskan beberapa aspek sentral dari perkembangan ini dan untuk merefleksikan di mana filosofi olahraga sekarang dan kemana arahnya di masa depan. Saya menyadari kemungkinan sesuatu seperti filosofi olahraga saat menghadiri Kongres Ilmiah Pra-Olimpiade di Munich pada tahun 1972 dan sejak itu saya dapat mengamati dan mengambil bagian dalam pertumbuhan yang menarik dan perubahan filosofi olahraga sebagai akademisi yang serius. belajar. Saya menggarisbawahi bahwa adalah perspektif, kesan, dan pengalaman saya sendiri tentang pertumbuhan dan masa depan filosofi olahraga yang akan saya hadirkan. Dan saya harus menambahkan bahwa refleksi saya disajikan dari sudut pandang Eropa, sebenarnya dari sebuah negara kecil di Eropa Utara. Di bagian pertama artikel saya merenungkan apa yang diharapkan seseorang dari disiplin ilmu dan bagaimana filsafat olahraga mendapatkan fondasi paradigmatik pertamanya di awal tahun 1970-an. Saya kemudian memberikan gambaran bagaimana filosofi olahraga dalam dekade-dekade mendatang memperluas cakupannya terhadap objek kajian serta pendekatan filosofis alternatif. Sepertinya perpindahan dari 'filosofi olahraga' ke filosofi olahraga '. Saya kemudian merenungkan bagaimana filosofi olahraga dapat memperluas visibilitas dan daya tariknya dan melihat siapa filosof olahraga itu dan bagaimana perspektif dari sudut pandang praktisi, serta penonton, dapat saling melengkapi. Akhirnya saya merenungkan beberapa arah filosofi olahraga tradisional di masa depan yang dicontohkan oleh tiga pendekatan baru-baru ini. Apa yang harus kita harapkan dari filosofi olahraga yang lengkap? Disiplin ilmu yang mapan dicirikan oleh, antara lain, kontinuitas sepanjang waktu, muatan ilmiah yang mapan, konsep yang jelas, metode yang disepakati, sekolah dan paradigma yang bersaing, dan kelompok penelitian yang stabil. Saya pikir adil untuk mengatakan bahwa butuh beberapa waktu sebelum filosofi olahraga menjadi disiplin yang mapan dengan paradigma dan sekolah alternatif yang terdefinisi dengan baik. Menurut Kuhn (1962) sains normal yang mapan di satu sisi terganggu oleh revolusi ilmiah dan di sisi lain oleh fase awal dengan kebingungan pra-paradigmatik tanpa kesepakatan dan dengan banyak pandangan yang saling bersaing. Menurut Osterhoudt (1978) pertanyaan filosofis olahraga embrionik dimulai pada abad kesembilan belas dengan, misalnya, John C.Warren's (1830) The Importance of Physical
  • 6. 3 2 Education, artikel George Santayana (1894) 'Philosophy on the Bleachers', dan H. Graves '(1900) artikel' A Philosophy of Sport'. Beasiswa yang lebih formal dikembangkan pada abad ke-20, dengan fokus pada pendidikan jasmani dan kemudian filosofi olahraga yang ditanyakan oleh Howard S Slusher (1967) Man, Sport and Existence: A Critical Analysis, Eleanor Metheny's (1968) Movement and Meaning and Paul Weiss ' (1969) Olahraga: Sebuah Pertanyaan Filsafat. Selama tahun 1960-an banyak sub-disiplin ilmu olahraga dikembangkan dan memperoleh beberapa kemandirian dan identitas dalam kaitannya dengan disiplin induk mereka. Psikologi olah raga, sosiologi olah raga, fisiologi olah raga dan olah raga, kedokteran olah raga, dan lain sebagainya. Bagi banyak sub disiplin, ini adalah periode dengan kebingungan pra-paradigmatik. Pendidikan jasmani telah lama mengalami kebingungan tentang identitas dan konten dan hal yang sama terjadi pada ilmu- ilmu olahraga yang berkembang pada tahun 1970-an dan 1980-an. Sampai sekitar 1990 Newell (1990) dan Renson (1989) membahas kebingungan tentang istilah dan tujuan, disiplin dan batasan, dan organisasi pengajaran dan penelitian. Nama-nama baru, seperti 'kinesiology' atau 'kinanthropology' mencoba memberi pelajaran olahraga awal yang baru. Satu masalah utama adalah peran praktik dan pengetahuan praktis. Menurut Newell (1990) perkembangan telah menyukai pengetahuan deklaratif dengan biaya pengetahuan prosedural, dan pengetahuan teoritis lebih disukai di atas pengetahuan praktisi. Dalam filosofi olahraga, diskusi tentang mengetahui bagaimana versus mengetahui itu juga sangat jarang. Tapi mari kita mulai dari filosofi olahraga sebagai disiplin akademis. Perkembangan filosofi olahraga pada 1970-an dan 1980-an Pada Kongres Ilmiah Pra-Olimpiade sebelum Olimpiade di Munich pada 1972, tinjauan umum tentang keadaan seni dalam berbagai ilmu olahraga disajikan melalui kuliah-kuliah utama dan dikumpulkan dalam buku Sport im Blickpunkt der Wissenschaften (Grupe et al. 1972). Sebagai mahasiswa peserta Kongres, saya terkesan dengan presentasi filsuf Jerman Hans Lenk (1972) tentang filsafat olahraga sebagai bidang studi. Ia memberikan potret berbagai tafsir filosofis olahraga dari berbagai filsuf, penulis dan komentator. Saya akan kembali lagi nanti. Pada tahun yang sama dengan kongres Pra-Olimpiade diadakan di Munich Masyarakat Filsafat untuk Studi Olahraga (PSSS) didirikan pada Pertemuan Divisi Timur Asosiasi Filsafat Amerika yang diadakan di Boston, Massachusetts. Jurnal filosofi olahraga ilmiah pertama, Journal of the Philosophy of Sport, muncul dengan volume pertama pada tahun 1974. Filosofi olahraga yang dikembangkan selama dua dekade pertama setelah dimulainya pada awal 1970-an 3 didominasi oleh olahraga Amerika dan ideologinya dan oleh lingkungan akademis Amerika. Artinya antara lain filsafat olahraga menjadi akademis dan serius, dan akibatnya memisahkan diri dari kehidupan masyarakat dan masyarakat, seperti halnya dengan filsafat pada umumnya (Boradori 1994). Filsafat analitik dengan fokus pada pendekatan konseptual mendominasi diskusi. Perdebatan mulai berfokus pada karakteristik formal olahraga, peran berbagai jenis aturan, dan definisi permainan, permainan, dan olahraga. Sebuah esensialisme tertentu mendominasi; fokusnya adalah pada apa yang dianggap sebagai elemen umum atau esensial dari semua olahraga. Namun, dalam praktiknya, ini sering kali berarti permainan fisik atau olahraga tim. Dominasi analitis, bagaimanapun, tidak total. Ada beberapa masukan penting dari fenomenologi, dengan Bill Harper dan Scott Kretchmar,
  • 7. 4 keduanya mahasiswa Howard Slusher, sebagai contoh yang baik. Masukan lain datang dari penggabungan filosofi dan sejarah olahraga, seperti yang dicontohkan dalam bukuEleanor Metheny (1968) Gerakan dan Makna. Pengaruh-pengaruh ini agak mengubah dominasi analitis. Tokoh sentral dalam tahun-tahun pertama ini adalah Warren Fraleigh dan lingkungan yang dia ciptakan di Universitas Negeri New York, Brockport, di mana dia pernah menjadi Dekan di Sekolah Tinggi Pendidikan Jasmani dan Rekreasi. (Untuk lebih jelasnya lihat McNamee dan Morgan 2015.) Konsekuensi lain dari penyematan filosofi olahraga Amerika adalah fokus pada etika dan identitas normatif olahraga. Olahraga dianggap menurut ideologi Amerika sebagai bagian dari sistem sekolah dan dengan dasar dan dasar moral dan ideologis yang jelas. Seperti yang dikatakan Harry Edwards (1973), olahraga adalah cermin sempurna dari masyarakat Amerika dan ideologinya. Etika olahraga, terutama etika kebajikan, dengan fokus pada fair play dan sportivitas, menjadi topik penting. Jenis olahraga yang digambarkan kemudian disebut 'olahraga hegemoni' (bahasa Inggris 2017). Ini adalah olahraga yang disukai oleh pria kelas menengah atau atas (kebanyakan berkulit putih) di masyarakat Barat. Jika seseorang harus meringkas perkembangan dari tahun 1972 dan dua dekade berikutnya,PSSS asosiasidan Journal of the Philosophy of Sport adalah penanda identitas dari disiplin baru. Terutama dua paradigma yang menarik banyak diskusi. Salah satunya terkait dengan definisi permainan dan olahraga Bernard Suits (1967; 1973) dan yang lainnya terkait dengan cita-cita etika kebajikan yang terkait dengan olahraga Inggris dan Olimpiade. Belakangan, gagasan Alasdair MacIntyre (1984) tentang komunitas praktik berdasarkan etika Aristoteles menjadi paradigma yang dominan. Berbaris di tahun 1990-an dan seterusnya menuju saat ini 4 Pada tahun 1990-an, dan dalam beberapa kasus sebelumnya, anggota baru dari komunitas filosofis olahraga kecil ikut serta. Ini termasuk para sarjana dari Inggris Raya, Jepang, Jerman, Australia, Belanda, Norwegia, Spanyol, dan semakin banyak orang dari Eropa Timur (Slovenia, Republik Ceko, Polandia), dari Asia Timur, dan dari Amerika Selatan. Filosofi olahraga sekarang ada di semua benua. Asosiasi dan jurnal baru telah muncul selama beberapa dekade terakhir, seperti British Philosophy of Sport Association (BPSA) (2002) dengan kelompok kerja European Association for Sport Philosophy. The BPSA menerbitkan sejak 2007 jurnal Sport, Etika danFilsafat.Juga Slovenia (2009), dan Republik Ceko (2011) telah mengembangkan asosiasi nasional yang berhubungan dengan Polandia dan Hongaria. Jepang cukup awal mendirikan Perkumpulan Jepang untuk Filsafat Olahraga dan Pendidikan Jasmani, yang didirikan pada tahun 1978. Asosiasi yang lebih baru adalah Asociación Latina de Filosofía del Deporte (Asosiasi Latin untuk Filsafat Olahraga), yang didirikan pada tahun 2013. Ini menerbitkan jurnal Fair Play. Revista de Filosofía, Ética y Derecho del Deporte / Fair Play, Jurnal Filsafat, Etika dan Hukum Olahraga. Dengan negara-negara baru, asosiasi baru, dan konsepsi filosofi baru, muncullah keragaman yang lebih besar dari pendekatan filosofis olahraga; fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, neo marxisme, teori kritis, hermeneutika, neo-
  • 8. 5 strukturalisme, post-strukturalisme, dan sebagainya. Juga pendekatan filosofis Asia, baik yang tradisional maupun yang lebih modern, semakin memasuki panggung. Demikian pula, objek studi mencakup jenis aktivitas baru dan lebih luas, tidak terbatas pada olahraga kompetitif tradisional. Studi baru berfokus pada aktivitas yang cukup beragam seperti olahraga gaya hidup, olahraga berisiko, kebugaran dan pelatihan, olahraga luar ruangan, berburu, hiking, rekreasi, olahraga hewan, duel dan perkelahian, yoga, dan berbagai olahraga Asia. Pendekatan baru dari negara baru sering kali berarti jarak akademis yang lebih sedikit, normatif yang lebih sedikit, lebih banyak keterlibatan dengan masyarakat dan politik. Sementara filsuf Amerika, menurut sebuah studi oleh Boradori (1994), tetap agak eksklusif dan jauh dari masyarakat lainnya, filsuf Eropa lebih terlibat dalam politik dan diskusi publik. Contoh terbaru adalah Habermas, filsuf akademis terkenal, tetapi juga salah satu intelektual yang paling banyak dikutip di media umum di Eropa. Hubungan dengan debat publik bagi banyak filsuf olahraga terutama melalui dilema etika dalam olahraga, terutama masalah doping dan debat peningkatan umum. 5 Gagasan filosofi olahraga dengan demikian secara bertahap menjadi lebih terbuka untuk pendekatan baru, misalnya lebih banyak kontak dengan pekerjaan empiris dalam ilmu sosial, studi budaya dan ilmu saraf. Contoh terbaru adalah kombinasi sejarah olahraga dan filosofi olahraga oleh Kretchmar, Dyreson, Llewellyn, dan Gleaves (2017) dalam History and Philosophy of Sport and Physical Activity mereka. Contoh lain adalah edisi khusus tentang filosofi olahraga, etika dan ilmu saraf yang diedit oleh Jeffrey Fry dan Mike McNamee (2017) dalam Sport, Ethics and Philosophy. Keseimbangan gender juga berubah. Sekalipun wanita adalah bagian dari filosofi komunitas olahraga sejak awal para filosof olahraga wanita telah menjadi lebih terwakili, membawa minat dan perspektif mereka lebih kuat ke dalam kancah filosofis olahraga. Bidang filosofi olahraga menjadi jauh lebih menarik dengan keragaman perspektif. Meskipun tidak melupakan studi sebelumnya, seperti wanita dalam olahraga maskulin (Postow 1980) dan gender dan seksualitas dalam olahraga (Schneider 1995), artikel terbaru telah berfokus pada topik yang merupakan bagian dari budaya feminis yang lebih luas yang menguji batas gender dan kesetaraan gender di berbagai bidang kehidupan. Kontribusi terbaru oleh filsuf olahraga wanita menunjukkan keragaman pengujian baru, yang mencakup topik seperti wanita transgender dalam olahraga (Bianchi 2017), kesetaraan gender dalam tenis (Davis dan Edwards 2017), atlet lesbian dan matriks heteroseksual (Tredway 2014), gender dalam olahraga tarung (Weaving 2014), gender dan kompetisi (Inggris 2017), gender eauality dalam gerakan Olimpiade (Koenigsberger (2017), olahraga dan gender di Jepang (Mizuho 2014), dan topik hangat 'permainan setara, upah setara 'dalam sepak bola (Archer & Prange 2019). Kontinuitas - beberapa tema lama masih berpawai Konsep filosofi olahraga dan olahraga dalam banyak hal telah berubah selama beberapa dekade terakhir. Namun demikian, paradigma yang dikembangkan oleh Suits dan filsuf olahraga sentral seperti Fraleigh , Kretchmar dan Morgan masih sangat hidup, cukup membandingkan bab-bab utama dan tema dalam dua antologi filosofi olahraga, satu dari tahun 1979 dan yang lainnya dari tahun 2010.filosofi
  • 9. 6 6 Tabel 1. Isi dari duaolahraga buku phical dengan konten serupa. Gerber, EW & WJ Morgan, penyunting. 1979: Olahraga dan Tubuh: Simposium Filsafat. Edisi kedua. Pittsburgh: Lea & Febiger. Hardman, AC & C. Jones, penyunting. 2010: Filsafat olahraga.internasional Perspektif. Newcastle: Penerbitan Cendekiawan Cambridge. • Sifat olahraga • Olahraga sebagai pengalaman yang berarti • Tubuh dan keberadaan • Olahraga dan perhatian yang berorientasi pada nilai • Olahraga dan estetika • Olahraga dan spekulasi metafisik • Sifat olahraga, permainan dan permainan • Olahraga dan makna: seni, sastra dan Spiritualitas • Olah Raga dan Tubuh • Olah Raga dan Etika • Olah Raga dan Internasionalisasi Bab-bab utama dalam kedua buku tersebut adalah tentang 'sifat dasar olahraga', 'olahraga dan makna', 'olahraga dan tubuh', 'olahraga dan etika'. Kesejajarannya mencolok bahkan jika bab tentang estetika dan metafisika dalam buku Gerber dan Morgan tidak memiliki tindak lanjut dalam buku Hardman and Jones. Sebaliknya, sesuai dengan pandangan buku, ada bab tentang 'olahraga dan internasionalisasi'. Buku Hardman and Jones menunjukkan bahwa ada kontinuitas dalam filosofi olahraga. Paradigma yang dikembangkan di tahun-tahun awal masih populer. Tapi orang bisa bertanya apakah paradigmanya terlalu sempit dan tidak cukup luas untuk memasukkan luas dan keragaman budaya gerakan yang lebih luas. Mungkin perspektif yang lebih luas ini bisa saja terwujud lebih awal. Kemungkinan kontrafaktual: bagaimana jika Hans Lenk menang pada 1970-an? Butuh beberapa waktu untuk beralih dari ortodoksi normatif filosofi olahraga dan olahraga ke pandangan yang lebih beragam saat ini. Tapi bagaimana jika Hans Lenk menang di tahun 1970-an? Atau diungkapkan secara berbeda: Apa filosofi olahraga dengan meminggirkan Hans Lenk? Dalam buku Sport im Blickpunkt der Wissenschaften yang muncul pada Kongres Pra-Olimpiade pada tahun 1972 Hans Lenk (1972) memiliki bab tentang filosofi olahraga, sebenarnya bab pertama dalam buku itu, yang disebut “Olahraga di Filsafat Sicht”. Di sini ia menyuguhkan berbagai pandangan filosofis tentang olahraga. Izinkan saya merangkum pandangan dan pendukung utamanya: 7 • Olahraga sebagai permainan (Huizinga)
  • 10. 7 • Olahraga sebagai perjuangan kelas (Nitschke, Kleine) • Olahraga sebagai estetika (Barthes, Fraysinnet) • Olahraga sebagai pelatihan etis (Berry, Kuchler) • Olahraga dan psikoanalisis (Beisser) • Olahraga sebagai adaptasi terhadap masyarakat industri (Plessner, Habermas) • Olahraga, evolusi dan agresi (Lorenz) • Olahraga sebagai realisasi diri yang eksistensial (Weiss, Slusher) • Olahraga sebagai Kreativitas dan kehidupan (Ortega y Gasset) • Olahraga sebagai sistem tanda (karangan bunga) Lenk di sini membuka panorama tafsir umum yang berbeda tentang olahraga sebagai fenomena biologis, sosial, psikologis dan metafisik. Presentasi tersebut memiliki pandangan yang murah hati tentang apa yang seharusnya dianggap sebagai objek studi yang layak. Tidak hanya olahraga dalam arti sempit, tetapi berbagai macam bentuk permainan, kehidupan, dan olahraga digambarkan dan didiskusikan. Presentasi ini juga memiliki pandangan yang terbuka dan murah hati tentang apa yang dapat disebut filsafat karena memasukkan interpretasi sastra, evolusioner, psikologis, semiotik dan historis sebagai bagian dari sikap filosofis. Potret yang diberikan Lenk tentang filosofi olahraga tidak bertahan sebagai penentu tren. Seperti yang telah disebutkan, pandangan akademis, normatif dan formal yang relatif sempit mendominasi untuk sementara waktu. Apa yang akan terjadi jika potret Lenk ditindaklanjuti? 40 tahun kemudian kami lebih terbuka dengan gambar yang dilukis Lenk untuk kami pada tahun 1972. Butuh beberapa saat untuk sampai ke sana. Evolusi atau revolusi - perkembangan budaya gerakan yang luas Sejak awal tahun 1970-an, jelaslah bahwa filosofi olahraga tidak dapat dibatasi pada olahraga kompetitif jenis Olimpiade atau Amerika. Selama dekade berikutnya objek studi diperluas dari model kompetitif paradigmatik ke olahraga untuk anak-anak, olahraga untuk lanjut usia, olahraga massal, olahraga elit, olahraga alam liar, olahraga motorik, olahraga ekstrim, bahkan olahraga, latihan kebugaran dan rekreasi. Saya dapat mencontohkan perubahan dengan contoh dari tempat asal saya. NorwegiaSekolah Ilmu Olahraga adalah lembaga di tingkat universitas yang dibesarkan dengan dukungan kuat dari Norwegia Sport Federation. Awalnya dimaksudkan untuk melayani organisasi olahraga sukarela dan pendidikan jasmani di sekolah-sekolah. Paradigma yang mendominasi sejak awal tahun 1968 adalah olahraga kompetitif dalam tradisi Inggris dan Olimpiade. Selama tahun 1970-an, 8 kegiatan baru seperti tari, kebugaran, dan pendidikan luar ruangan ('friluftsliv' bahasa Norwegia) dimasukkan ke dalam kurikulum dan portofolio penelitian. Pelebaran fokus ini berlanjut dengan bentuk-bentuk kegiatan baru yang dimasukkan selama tahun 1980-an dan 1990-an. Sekitar tahun 2000 Dewan memutuskan bahwa obyek pengajaran dan penelitian adalah segala bentuk gerak manusia atau homo movens, yaitu manusia yang bergerak. Ada beberapa alasan bagus untuk melakukannya. Untuk mempelajari hubungan antara otak, pikiran dan gerakan atau antara gerakan manusia dan kesehatan fisik dan mental, perlu
  • 11. 8 untuk melintasi batas konseptual antara kerja dan waktu luang atau antara bentuk aktivitas fisik kompetitif dan non-kompetitif. Pelebaran obyek kajian ilmu-ilmu keolahragaan secara umum juga berimplikasi pada filsafat olah raga. Homo movens - model fenomenologis-eksistensial olahraga sebagai eksplorasi Konsep gerakan manusia yang lebih luas ini mengundang refleksi filosofis tentang bagaimana manusia mengeksplorasi kemungkinan gerakan dalam kaitannya dengan elemen alam yang berbeda dan di dalam pengaturan sosial budaya yang berbeda. Dalam pidato kepresidenan saya kepada Philosophic Society for the Study of Sport pada tahun 1997, saya melakukan upaya pertama untuk mendefinisikan konteks yang lebih luas ini dalam bentuk model empat kali lipat (Breivik 1998; lihat juga versi yang lebih terperinci dan diperluas dalam Breivik 2019). Saya mengambil titik awal saya dari pengalaman manusia lucu yang menjelajahi dunia melalui gerakan tubuh. Eksplorasi ini berlangsung dalam dimensi yang berbeda dengan karakteristik fenomenologi dan pengalaman yang sangat berbeda. Eksistensial I berhubungan setidaknya dengan empat dimensi eksistensial dasar: Alam, Masyarakat, Diri Sendiri dan Yang Lain. Para filsuf berkonsentrasi secara berbeda pada dimensi-dimensi ini; Sartre awal tentang individu, I dan kesadarannya; Buber dan Levinas on the You; Marx tentang Masyarakat; Arne Næss di Nature. Bentuk yang berbeda dari permainan dan olahraga berkonsentrasi pada dimensi yang berbeda dan karenanya kualitas pengalaman yang berbeda. Pengalaman pelari kesepian di jalan atau pesenam di atas ring berbeda dengan bertemu 'yang lain' dalam duel di pagar atau ring tinju. Pengalaman berada dalam tim yang mencoba mengalahkan skor tim lain dalam sepak bola atau rugby berbeda dengan berinteraksi dengan batu vertikal keras atau bermain kayak di air terjun. Model ini menggambarkan bagaimana konsep olahraga yang lebih luas harus memasukkan aktivitas yang memiliki kualitas ontologis dan pengalaman yang cukup beragam. Para filsuf olahraga lebih sibuk dengan Masyarakat hubungandaripada hubungan dengan Anda dan lebih fokus pada individu I daripada Alam, yang baru-baru ini menjadi sebuah tema. Konsep asli olahraga yang sempit sebagai permainan fisik, dan fokus pada olahraga sebagai kompetisi, dengan demikian dapat diperluas untuk mencakup bidang kegiatan yang lebih luas dan bahkan melampaui kerangka khusus 9 olahraga Barat dengan konsekuensi sejarah, sosial dan budayanya dan termasuk aktivitas pergerakan dari belahan dunia lain. Mari kita lihat beberapa kemungkinan untuk perluasan lebih lanjut. Apa yang menarik tentang olahraga - dari sudut pandang filosofis yang lebih luas? Fokus yang lebih luas ini disampaikan oleh Mike McNamee saat meluncurkan jurnal baru Sport, Ethics and Philosophy pada tahun 2007. 'Sementara di seluruh Eropa olahraga paradigmatik yang kami kenali sebagai olahraga Olimpiade dipraktikkan dan dipromosikan, demikian juga budaya gerakan alternatif termasuk kebugaran- dan kesehatan- grup aktivitas terkait, dan organisasi olahraga untuk semua, yang hanya memiliki kemiripan keluarga dengan aktivitas yang diatur aturan dan aktivitas kompetitif yang biasanya kita anggap dan klasifikasikan sebagai "olahraga" di Barat '(McNamee 2007a, 2). Alih-alih lebih banyak diskusi tentang tiga serangkai permainan, permainan dan olahraga atau perbedaan antara tes dan kontes, jurnal baru akan berusaha untuk menerbitkan esai yang berkaitan dengan 'praktik aktivitas gerakan seperti pembinaan, promosi kesehatan dan pendidikan. Itu juga akan menerbitkan esai di bidang intelektual serumpun seperti filsafat tubuh, filsafat
  • 12. 9 pendidikan dan pendidikan jasmani, filsafat kesehatan dan kedokteran, filsafat teknologi dan sebagainya sejauh mereka menantang dan secara kritis menginformasikan pemahaman kita tentang olahraga - banyak dipakai - sebagai praktik sosial '(McNamee 2007a, 4). Sementara etika telah mendominasi banyak perdebatan filosofis olahraga, McNamee menyambut lebih banyak pekerjaan dalam ontologi, epistemologi, dan filsafat tindakan. Visi baru mengundang eksplorasi yang lebih luas dan perspektif baru. Seseorang bisa pergi ke dua arah yang berbeda. Seseorang dapat membuka diri dan mempelajari olahraga dan aktivitas serupa lainnya dalam konteks yang berbeda. Atau seseorang dapat menutup dan mempelajari olahraga tertentu atau jenis olahraga tertentu. Mari kita lihat perspektif yang lebih luas dan berikan beberapa contoh. Contoh pertama adalah melihat penampilan tubuh manusia - di berbagai lingkungan, sosial dan budaya yang berbeda. Kita dapat melihat kesamaan gerakan homo dalam konteks yang berbeda seperti bermain, olahraga, transportasi, ekspedisi, sirkus, peperangan, balet, dll. Pendekatan ini akan berfokus pada kapasitas dasar, serta lanjutan, fisik dan mental manusia. berada dalam konteks sosial budaya dan lingkungan yang berbeda. Faktanya, banyak artikel filosofis olahraga yang menggunakan misalnya Merleau-Ponty, Heidegger, atau Dreyfus dalam analisis mereka tentang gerakan tubuh beroperasi pada level ini. Contoh kedua adalah memfokuskan secara khusus pada aspek pikiran dari pikiran tubuh dan bagaimana hal itu dapat dipelajari di seluruh pengaturan sosial-budaya. Apa peran intensionalitas motorik di seluruh area gerakan? Apa peran kesadaran dalam gerakan manusia secara umum dan dalam 10 olahraga? Dapatkah misalnya pertunjukan olahraga ekstrim membantu kita melihat bagaimana kesadaran terlibat bahkan pada tingkat keterampilan motorik tertinggi? (lihat Breivik 2013; Montero 2016) Contoh ketiga adalah melihat persaingan dan gagasan kesempurnaan manusia di berbagai bidang pertunjukan, seperti olahraga, musik, sirkus, kerajinan tangan, lukisan, catur, keterampilan kerja, sains. Ini akan menjadi filosofi persaingan dengan fokus pada keadilan dan gagasan kesempurnaan manusia. Olahraga dapat berkontribusi di sini karena, menurut von Krockow (1972), tidak ada area lain di mana kemenangan begitu penting dan di mana pemenang dipilih dan diberi penghargaan yang lebih adil menurut kinerja daripada dalam olahraga kompetitif. Bidang keempat yang sangat menarik dan menjanjikan dalam kaitannya dengan debat masyarakat umum adalah doping dan secara umum berbagai sarana peningkatan dalam olahraga. Filsuf olahraga telah berkontribusi di sini tetapi masih banyak lagi yang akan datang. Seperti yang dibahas dalam buku Homo Deus oleh Yuval Noah Harari (2017) cara baru untuk meningkatkan dapat membawa lebih banyak kesenangan, kesehatan yang lebih baik, hidup lebih lama tetapi dengan biaya semakin dikendalikan oleh algoritma dan kecerdasan buatan. Olahraga sejak lama harus berhadapan dengan berbagai cara legal dan ilegal untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental. Itu memiliki sesuatu untuk ditawarkan pada debat. Lalu apa yang akan terjadi pada olahraga atau budaya pergerakan secara umum jika prediksi Harari menjadi kenyataan? Empat contoh yang digambarkan di atas menunjukkan kemungkinan kita harus menggunakan metode dan wawasan dari filosofi olahraga untuk memperluas objek penelitian kita dan untuk mengalihkan fokus perhatian kita ke daerah tetangga dan dengan demikian menjadi lebih relevan dan menarik untuk filsafat umum, ilmu lain dan debat publik. . Contoh perspektif yang lebih luas yang melintasi batas antara kelompok kegiatan yang berbeda adalah filosofi seni pertunjukan Davies (2011).
  • 13. 10 Pandangan yang lebih sempit: Dari filosofi olahraga hingga filosofi olahraga tertentu. Kemungkinan lain adalah bergerak ke arah yang berlawanan dan fokus pada jenis olahraga tertentu atau bahkan olahraga tunggal atau aktivitas fisik. Seseorang dapat mengembangkan filosofi olah raga alam atau olah raga duel. Atau bahkan lebih sempit lagi, filosofi olahraga tunggal seperti sepak bola atau golf. Argumen untuk mempelajari olahraga tertentu dapat ditemukan dalam teori pembentukan konsep Eleanor Rosch '(1978). Menurut teori ini, pembentukan konsep kami beroperasi pada tiga tingkat yang berbeda, tingkat superordinat, tingkat dasar dan tingkat bawahan. 'Olahraga' berada pada tingkat superordinat, 'renang' pada tingkat dasar dan 'gaya dada' pada tingkat bawahan. Pemahaman konseptual kami 11 adalah yang terbaik dan kelas objek paling kaya di tingkat dasar: 'Objek tingkat dasar adalah tingkat klasifikasi paling inklusif di mana objek memiliki jumlah atribusi yang sama' (Rosch 1978, 32). Artinya filosofi olahraga tertentu seperti sepak bola akan memiliki kandungan konseptual yang lebih kaya daripada konsep superordinat seperti olahraga. Ini mungkin argumen untuk mengembangkan filosofi olahraga tertentu, daripada melanjutkan filosofi olahraga umum yang lebih 'lemah'. Akan tetapi, ini akan berbeda dengan pendapat umum yang menurutnya filsafat seharusnya beroperasi pada tingkat abstraksi yang tinggi dan tidak ditempati oleh fenomena tertentu, kecuali ketika mereka digunakan sebagai contoh. Para filsuf yang mencari abstraksi harus menyadari bahwa mereka beroperasi di 'udara tipis' di mana pikiran tidak dalam kondisi terbaiknya dan di mana tugas itu sangat menuntut. Dalam filosofi olahraga saat ini kita melihat kecenderungan dua arah, filosofi olahraga tertentu pada level dasar maupun filosofi olahraga pada umumnya pada level superordinat. Kecenderungan ke arah pendekatan yang lebih spesifik tampaknya mendapat dukungan yang semakin besar. Izinkan saya memberikan beberapa contoh. Sedangkan Steven Connnor (2011) menulis buku tentang filosofi olahraga di tingkat superordinat, sedangkan Mike McNamee (2007b) telah menyunting buku tentang jenis olahraga tertentu, olahraga petualangan. Yang lebih spesifik dan pada tingkat dasar adalah buku-buku filosofi tentang olahraga tertentu, seperti T. Richards (2010) tentang sepak bola, MW Austin (2007) tentang lari, SE Schmid (2010) tentang panjat tebing, dan J. Illundain-Aguruzza, M. Allhoff dan L. Zinn (2011) tentang bersepeda. Demikian pula jenis pendekatannya menjadi lebih tepat, misalnya dengan menggunakan pendekatan fenomenologis, seperti dalam buku Phenomenological Approaches to Sport yang diedit oleh I. Martinkova dan J. Parry (2012). Sebelumnya WJ Morgan (1994) menulis sebuah buku tentang Teori Olahraga Kiri. Filsafat Timur juga digunakan seperti dalam buku oleh J. Stevens (2001) tentang aikido dan oleh F. Boedicker dan M. Boedicker (2009)) dalam buku tentang Tai Chi Chuan. Beberapa orang pesimis mungkin berpendapat bahwa perkembangan yang digambarkan di sini akan mengarah pada kekacauan pasca paradigmatik. Kami akan memiliki mosaik buku filsafat yang saling silang tentang olahraga tertentu dengan pendekatan filosofis yang berbeda dan beberapa paradigma yang stabil untuk menjamin kesinambungan dari waktu ke waktu. Yang lain akan menyambut baik diversifikasi dan perluasan filosofi olahraga menuju banyak pendekatan, di mana paradigma yang lebih spesifik dan stabil secara bertahap dapat berkembang.
  • 14. 11 Salah satu faktor penting dalam perkembangan filosofi olahraga di masa depan adalah para filosof olahraga. Filsafat olahraga seperti apa yang akan kita miliki di masa depan? Apakah mereka akan menjadi 12 praktisi atau penonton, apakah mereka akan terikat pada ilmu olahraga atau filsafat umum? Apakah mereka akan menjadi generalis di seluruh area pergerakan atau spesialis olahraga tertentu? Siapakah filsuf olahraga? Filsuf masa lalu dan olahraga Sebuah buku terkenal oleh Heather Reid (2002) berjudul The Philosophical Athlete. Kita bisa membalikkannya dan bertanya kepada filsuf atletik. Siapa dia? Jika kita bersama Reid kembali ke Yunani klasik, kita mengamati bahwa olahraga dan filosofi dikembangkan pada waktu yang bersamaan. Kami menemukan filsuf atletik seperti Plato yang adalah seorang pegulat. Socrates dan yang lainnya berdiskusi di gimnasia, stadion olahraga. Sekolah filosofis terkait erat dengan lapangan olahraga. Plato berpendapat bahwa pendidikan jasmani penting sebagai bagian dari perkembangan yang harmonis antara jasmani dan rohani. Tubuh yang kuat dan indah adalah bagian dari cita-cita kaloskagathos, yang baik dan yang indah. Kebajikan, arête, termasuk moralitas dalam olahraga. Belakangan, hubungan antara filsafat dan olahraga melemah. One could, as Torres (2014) does, point to Plato, Socrates, Cicero, Erasmus, Hobbes, and Nietzsche who showed interest for sporting or bodily activities. One could point to Ortega y Gasset and his interest for hunting, Sartre's notes on skiing, Derrida who was a goalkeeper, Ayer a football fan and cricketer. Heidegger played football and was an expert skier. But in general the link between sport and philosophy weakened after the Greek start. The philosophical athletes as well as the athletic philosophers disappeared. In his interesting book The Philosophers. Their Lives and the Nature of theirTthought Ben-Ami Scharfstein (1980) maintains that it is typical for many of the great philosophers through history to combine on the one hand being a precocious child and having intellectual superiority with on the other hand showing bodily clumsiness and inaptness for sports. Bodily clumsiness is well attested for Montaigne, Kant, Hegel, Mill, Russell, and Broad. Montaigne was surpassed by almost everyone in physical agility, except in running, in which he was just fair. Montaigne writes about himself: 'At dancing, tennis, wrestling, I have never been able to acquire any but very slight and ordinary ability; at swimming, fencing, vaulting, and jumping, none at all. My hands are so clumsy that I cannot even write so that I can read it' (Scharfstein 1980, 366). Kant's friend and disciple Wasiansky says about Kant: 'As skillful as Kant was in brainwork, he was clumsy in handiwork. He could govern only the pen, but not the pen-knife. I therefore usually had to cut the quill to fit his hand' (Scharfstein 1980, 13 366). Mill said: 'I never could, nor can I now, do anything, requiring the smallest manual dexterity, but I never put even a common share of exercise of understanding into practical things' (Scharfstein 1980, 366-367). A friend of Russell wrote: 'Bertie was, in fact, almost a caricature of the unpractical philosopher, and the idea that he should actually know what to do in a domestic/mechanical emergency was laughable' (Scharfstein 1980, 367). He could not even make his own tea.
  • 15. 12 To be fair some philosophers had some practical capacities. Descartes was a physician and spent much of his time with anatomical experiments. Locke was an expert physician. Santayana loved drawing and other handiwork. Wittgenstein was skilled in building models of machines, was a gardener for some time, and designed a house for his sister. Popper attempted to become a manual worker and practiced cabinet-making (see Scharfstein 1980, 368). All of the clumsy philosophers mentioned above were also precociously intellectual. So were Pascal, Leibniz, Hume, Peirce, Collingwood, Kierkegaard and Sartre. So an athletic philosopher has been a relatively rare specimen in the history of philosophy. It seems that being a genius in philosophy has had some bodily costs. But what if the leading Western philosophers had been practical, bodily active, experts on knowing how? What if, as a contrafactual possibility, they had typically been athletic philosophers? Would mind-body dualism then have been a prevailing position? What if a philosopher like Merleau-Ponty and the interest in the bodymind had come much earlier? And what about the sport philosopher of today and tomorrow? The modern sport philosopher – identity and affiliation When modern sport philosophy developed from 1972 and onwards it was forwarded by two different groups, one attached to philosophical departments and one to sport scientific or physical education departments or schools. The steering group that founded the new society Philosophic Society for the Study of Sport in 1972 consisted of two philosophers (Paul Weiss and Richard Zander) and two physical educators (Warren Fraleigh and Ellen Gerber) (see Torres 2014, 2). Since then philosophers coming from general philosophy departments as well as sport philosophers coming from sport scientific departments (kinesiology, physical education, etc.) have contributed to the development of the new discipline. To take an example from the Nordic countries: While Sigmund Loland and myself have been active in a sport scientific school that educates students to professions that are related sport or physical activity, the Swedish sport philosophers Thorbjörn Tännsjö and ClaudioTamburrini have 14 worked in general philosophical departments. Their personal backgrounds and interests made them active in sport philosophy, not their professional affiliation. I think we will need both groups in the future. Sport philosophy as part of sport sciences and institutionalized at sport scientific schools make for continuity and stability while the input from sport-interested general philosophers add both to new ideas and contact with general philosophy. In addition we have people coming from other areas: from anthropology, psychology, sociology, cultural studies, history, neuroscience and so on. They are welcome and they contribute to the widening of the sport philosophical perspectives. The participant view versus the spectator view Sport philosophy can be developed from two perspectives, that of the spectator and that of the participant. I think the perspective that dominated during the first developmental period in the 1970s was the spectator view which maybe was inherent in the analytical and detached perspective on sports as rule-based physical games. While the spectator perspective is a view from the outside, the participant perspective is the perspective of the actively involved sportsperson. This perspective is more associated with existentialistic and
  • 16. 13 phenomenological approaches. I would add that also engaged spectators can be studied from within: They are participants on the bleachers, but they are not on the fields (see Mumford 2012). It may be that the participant perspective and the focus on the view from within is easier to develop at schools and departments that educate people to practical professions as coaches, trainers, guides etc. This does not exclude the practitioner perspective among general philosophers, such as Colin McGinn (2008) who writes surprisingly little about philosophy and many would say too much about his own practical engagement as practitioner in various sports. Where did we come from and where do we go from here? Let me end by going back to the start, to the kind of sport philosophy where only sport, descriptively or normatively defined, is focused. Is there still a place for a philosophy of sport which is about sport and only sport, neither about general physical activities, nor about specific types of sport? Let me suggest three alternative roads that may be interesting to explore further if one wants to develop a philosophy of sport in the traditional sense, as a theory of sport and only sport. Let me underline that it is the method or approach used by the philosophers I discuss in the following that is of interest. I do not endorse the results, as is evident, for instance in my discussion of Papineau. 15 The first alternative The first alternative represents in many ways a continuation of the early attempts to find the essence of sport. The alternative is exemplified by Steven Connor (2011) in his book A Philosophy of Sport. Connor states: 'What I want to do is to bring to bear some perspectives and procedures from certain kinds of philosophy to try to focus as closely and interestingly as I can, and with as little precomprehension as possible, about the kind, or kinds, of thing sport is' (Connor 2011, 13). Connor wants to look at sport with fresh eyes: 'I try to make out what sport means, in the sense of what it means to do, almost, one might incautiously say, what sport (in the mind it does not have) might have in mind' (Connor 2011, 14). Connor accepts his approach being called 'cultural phenomenology', where the goal is to understand the way in which things appear and are experienced. Contrary to those who see these experiences as inner or individual Connor wants to focus upon the sporting phenomena as external and collective phenomena. While Connor's approach in many ways is a perspective from the outside, a spectator view, another possibility is the view from within, the participant's perspective. It is the perspective of phenomenal consciousness, of the qualia, of what it feels like to be an active sportsperson. The participant perspective is well developed in the existential phenomenology used by Kenneth Aggerholm (2015) in his book Talent Development, Existential Philosophy and Sport and in some of the essays in in the book on phenomenology of sport edited by Martinkova and Parry (2012). The second alternative The second alternative problematizes philosophy of sport as a specific discipline. It is exemplified by Graham McFee (2004) who maintains that general philosophical concepts and ideas cannot simply be transferred to sports philosophy: 'One cannot typically find concepts or ideas “ready to hand” in general philosophy to apply straightforwardly to the
  • 17. 14 philosophy of sport' (McFee 2004, 15). He admits, however: 'Of course, there may sometimes be such concepts or ideas in a developed state which—mirabile dictu—fit the bill; but we should neither expect this nor be surprised not to find it' (McFee 2004, 15). Later he states even more strongly that there is no place for a philosophy of sport (McFee 2013). There are some ethical, definitional and other sport-related questions but they do not justify a philosophy of sport as a study area. What we have is just general philosophical problems exemplified in sport contexts. The main point for McFee is that philosophy is one 16 subject, one single discipline (McFee 2013, 416). This means that philosophers should be generally informed and versed in all areas even if they specialize in one or two. And it means that sport philosophy should not be isolated from other philosophy areas and philosophy as such. Philosophy of sport should take part in the general Wittgensteinian therapeutic mission of clearing up pseudo-problems and misunderstandings. McFee's perspective is interesting and useful, not least for connecting sport philosophy to general philosophy and for clearing up misunderstandings and misconceptions. I think, however, that there is more to do, and more to develop, in the intersection between philosophy and sport than McFee's views admit. The third alternative A third approach is exemplified by David Papineau (2017) who in his recent book Knowing the Score wants to study what sports can teach us about philosophy and what philosophy can teach us about sports. He writes about his book: 'If there is a common form to the chapters, each starts with some sporting point that is of philosophical significance. A first step is to show how philosophical thinking can cast light on the sporting topic. But in nearly all cases the spotlight of illumination is then reversed. The sporting example tells us something about the philosophical issues' (Papineau 2017, 4). I think this is an excellent idea but Papineau instead focuses too much on the psychology of fast reactions in sport in the first chapter and in the remaining chapters tells us too little about philosophical perspectives and their implications. But I applaud the idea that philosophy of sport should use philosophical theories and perspectives and test them on sport. Not only in sport ethics can sport be a laboratory, as argued but McFee. I think there is much more to do in ontology, epistemology, philosophy of mind/body and philosophy of action. This third approach is maybe not a philosophy of sport but a 'philosophy AND sport' where philosophical problems such as skill and knowledge, consciousness and movement, mind and body, fairness and perfection, are tested and illuminated by sporting phenomena. It is an undertaking open to analytical as well as phenomenological perspectives, and to bridging the gap between British-American and Continental approaches. A good example is the Dreyfus Searle debate on consciousness and skillful coping where both agree that we need descriptive phenomenological content as well as conceptual analyses. While Searle starts with description and focuses most on analysis Dreyfus wants it the other way around. But they are on the same debate platform, which is something to which we should aspire. 17 Conclusion
  • 18. 15 My goal in this article has not been to present a continuous and coherent interpretation of the historical development of sport philosophy but rather to identify some trends and tenets, some twists and turns, some possibilities and options. The title of this article suggested a possible development going from a 'philosophy of sport' to a diversity of different 'philosophies of sports'. As we have seen this has to some extent been confirmed. There is a main general trend running from pre-paradigmatic efforts in the 1960s and earlier, through a period of paradigmatic agreement in the 1970s to the 1990s, and towards multi- paradigmatic diversity during the last couple of decades. There is change but also some continuity, especially represented by analytical approaches trying to identify the essence of sport (understood as a unitary phenomenon). We found this continuity in the thematic similarity in the sport philosophy books by Gerber/Morgan and Hardman/Jones as well as in the attempt to identify the essence of sport in the recent monograph by Connor. Continuity is maybe best exemplified in the long and continuous debates around such key theoretical concepts as 'formalism', 'internalism', 'conventionalism', 'objectivism' and 'relativism'. They all try to identify and carve out something of the essence of sport, a project started by Suits and other early pioneers. In contrast to the continuous debate around the essence of sport I pointed to contrafactual possibilities represented by the example of Hans Lenk. Sport philosophy could have been more open to grand theories from various academic fields right from the start in 1972. The opening up for greater diversity came later, exemplified in the program for the new journal Sport, Ethics and Philosophy (2007). During the last couple of decades we have seen an increasing diversity of philosophical methods and approaches and a narrowing as well as a widening of the object of study. The new development represented a geographical and cultural expansion to new countries and continents and to a better gender balance. I think the sport philosophy field thus has become much richer, more open and diverse. In conclusion I guess we will have to live with, and welcome, three typical approaches in the future, a) the traditional philosophy of sport looking for the essence of sport, b) philosophies of specific sports, like the philosophy of football or philosophy of climbing, c) philosophy of homo movens, focusing on bodymind, skill, movement, knowledge, etc. as well as ethics and value problems across a wide panorama of action fields. 18 It seems that there are still many old problems to solve, and many new problems to develop and define, as sport philosophy in the narrow, as well in the broad, sense has reached maturity. References Aggerholm, K. 2015. Talent Development, Existential Philosophy and Sport. London: Routledge. Archer, A. and M. Prange (2019) “'Equal Play, Equal Pay': Moral Grounds for Equal Pay in Football”, Journal of the Philosophy of Sport, DOI: 10.1080/00948705.2019.1622125
  • 19. 16 Austin, MW ed. 2007. Running & Fhilosophy. Malden: Penerbitan Blackwell. Bianchi, A. 2017. “Transgender Women in Sport”, Journal of the Philosophy of Sport, 44, 2, 229-242 Boedicker, F. and M. Boedicker 2009. The Philosophy of Tai Chi Chuan: Wisdom from Confucius, Lao Tzu and Other Great Thinkers. Berkeley, Ca: Blue Snake Books. Boradori, G. 1994. The American Philosopher. Chicago: Chago University Press. Breivik, G. 1998. “Sport in high modernity. Sport as a carrier of social values”. Journal of the Philosophy of Sport, 25, 103-118 Breivik, G. 2013. “Zombie-like or Superconscious? The Role of Consciousness in Elite Sport.” Journal of Philosophy of Sport 40 (1): 85–106. Breivik, G. 2019. “The Sporting Exploration of the World; Toward a Fundamental Ontology of the Sporting Human Being”, Sport, Ethics and Philosophy, DOI: 10.1080/17511321.2019.1572214 Connor, S. 2011. A Philosophy of Sport. London: Reaktion Books Davies, D. 2011. Philosophy of the Performing arts. Malden: Wiley-Blackwell. Davis, P. and L. Edwards. 2017. “Is it Defensible for Women to Play fewer Sets than Men in Grand Slam Tennis?” Journal of the Philosophy of Sport, 44, 3, 388-407. Edwards, H. 1973. Sociology of Sport. Homewood, Illinois: Dorsey Press. 19 English, C. 2017. “Toward Sport Reform: Hegemonic Masculinity and Reconceptualizing Competition”, Journal of the Philosophy of Sport, 44, 2, 183-198. Fry, J. and M. McNamee, Eds.2017. “Sport, Ethics and Neuroscience”, Sport, Ethics and Philosophy, 11,3 Gerber, EW and WJ Morgan. Eds. 1979. Sport and the Body. A Philosophical Symposium. Edisi kedua. Philadelphia: Lea & Febiger. Graves. H. 1900. "A Philosophy of Sport." Contemporary Review. 78, 877- 893 Grupe, O., Kurz, D. and JM Teipel, Eds. 1972. Sport im Blickpunkt der Wissenschaften. Perspektiven, Aspekte, Ergebnisse. Berlin: Springer-Verlag., Harari, YN 2017. Homo Deus. A brief History of Tomorrow. New York: HarperCollins Hardman, A and C. Jones 2010. Philosophy of Sport. International Perspectives. Newcastle: Cambridge Scolars Publishing.
  • 20. 17 Ilundain-Agurruza, J., Austin, MW and L. Zinn, (eds).2011. Cycling –Philosohy for Everyone: A Philosophical Tour de Force. London: Wiley-Blackwell. _ Koenigsberger, AA 2017. “Gender Equality in the Olympic Movement: not a simple Question, not a simple Answer”, Journal of the Philosophy of Sport, 44, 3, 329-341. Kretchmar, RS, Dyreson, M., Llewellyn, MP and J. Gleaves 2017. History and Philosophy of Sport and Physical Activity. Champaign, Ill.:Human Kinetics. Krockow, CG von, 1972. Sport und Industrigesellschaft. München: Piper. Kuhn, TS 1962. The structure of scientific revolutions. Chicago dan London: The University of Chicago Press. Lenk, H. 1972. “Sport in Philosophischer Sicht”. In Sport im Blickpunkt der Wissenschaften. Perspektiven, Aspekte, Ergebnisse, edited by Grupe, O, Kurz, D and JM Teipel, 115-40. Berlin: Springer-Verlag. MacIntyre, A. 1984. After Virtue: A Study in Moral Theology, 2.nd ed. Notre Dame: University of Notre Dame Press. 20 Martinkova, I. and J. Parry, eds. 2012. Phenomenological Approaches to Sport. London and New York: Routledge McFee, G. 2004. “Normativity, Justification, and (MacIntyrean) Practices: Some Thoughts on Methodology for the Philosophy of Sport”. Journal of the Philosophy of Sport, 31, 15- 33 McFee, G. 2013. “Making Sense of the Philosophy of Sport”. Sport, Ethics and Philosophy, 7, 4, 412-429 McGinn, C. 2008. Sport. Stocksfield: Acumen McNamee, M. 2007a. “Sport, Ethics and Philosophy; Context, History, Prospects”, Sport, Ethics and Philosophy 1,1-6 McNamee, MJ ed. 2007b. Philosophy, Risk and Adventure Sports. London: Routledge. McNamee, M. and WJ Morgan (2015) “A Historical Introduction to the Philosophy of Sport”. In Routledge Handbook of the Philosophy of Sport, edited by M. McNamee and WJ Morgan, 1-8, London: Routledge. Metheny, E. 1968. Movement and Meaning. New York: McGraw-Hill. Mizuho, T. 2014. “Prolegomena to Philosophical Considerations of Sports and Gender: a Critical Consideration of Research in Japan”, Journal of the Philosophy of Sport, 41, 1, 97- 111.
  • 21. 18 Montero, BG (2016) Thought in Action. Expertise and the Conscious Mind. Oxford: Oxford University Press. Morgan, WJ 1994. Leftist Theories of Sport. A Critique and Reconstruction. Urbana and Chicago: University of Illinois Press. Mumford, S. 2012. Watching sport. Aesthetics, Ethics and Emotion. Oxon: Routledge Newell, KM 1990. “Physical Activity, Knowledge Types, and Degree Programs”, Quest, 42, 243-268 Osterhoudt, RG 1978. “The History and Philosophy of Sport: The Re-unification of once Separated Opposites", Journal of the Philosophy of Sport, 5, 71-76 21 Papineau, D. 2017. Knowing the Score. What Sports can Teach us about Philosophy and what Philosophy can Teach us about Sports. New York: Basic Books. Postow, BC 1980. “Women and Masculine Sports”, Journal of the Philosophy of Sport, 7, 1, 51-58. Reid, H. 2002. The Philosophical Athlete. Carolina Durham: Academic Press Renson, R. (1989) “From Physical Education to Kinanthropology: A Quest for Academic and Professional identity.” Quest, 41, 235-256 Richards, T. ed. 2010. Soccer and Philosophy. Chicago: Open Court. Rosch, E. 1978. “Principles of Categorization”. In Cognition and Categorization., edited by Rosch, E. and BB Lloyd, 27-48. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum. Santayana, G. 18994 "Philosophy on the Bleachers." Harvard Monthly, 18, 181-190. Schmid, SE ed. 2010. Climbing. Philosophy for Everyone. Because It's There. Chichester: Wiley-Blackwell Scharfstein, B.-A. 1980. The Philosophers. Their Lives and the Nature of their Thought. New York: Oxford University Press. Schneider, A. 1995. “Gender, Sexuality, and Sport in America”, Journal of the Philosophy of Sport, 22, 1, 143-149. Slusher, H. 1967. Man, Sport and Existence: A Critical Analysis Philadelphia: Lea & Febiger Stevens, J. 2001. The Philosophy of Aikido .Tokyo: Kodansha International. Suits, B. 1967. “What is a Game?” Philosophy of Science, 34, 148-156. Suits, B. 1973. “The Elements of Sport”. In The Philosophy of Sport: A Collection of Essays. Edited by R. Osterhoudt, 48-64. Springfield, Ill: Charles C Thomas Publisher.
  • 22. 19 Torres, C. 2014. “Introduction”. In The Bloomsbury Companion to the Philosophy of Sport, edited by C. Torres, 1-14. London: Bloomsbury. Tredway, K. 2014. “Judith Butler Redux – the Heterosexual Matrix and the Out Lesbian Athlete: Amélie Mauresmo, Gender Performance, and Women's Professional Tennis”, Journal of the Philosophy of Sport, 41,2, 163-176. Warren, JC 1831. The Importance of Physical Education. Boston: American Institute of Instruction. 22 Weaving, C. 2014. “Cage Fighting Like a Girl: Exploring Gender Constructions in the Ultimate Fighting Championship (UFC)”, Journal of the Philosophy of Sport, 41,1, 129- 142. Weiss, P. 1969. Sport: A Philosophic Inquiry. Carbondale: Southern Illinois University Press. i The articleis based on the keynote lecture presented atthe Ann ual Conference of the International Association for the Philosophy of Sport in Oslo September 5.-8, 2018.
  • 23. 20 BAB II HASIL RIVIEW A. Harapan dari Filosofi Olahraga yang Lengkap Disiplin ilmu yang mapan dicirikan oleh, antara lain, kontinuitas sepanjang waktu, muatan ilmiah yang mapan, konsep yang jelas, metode yang disepakati, sekolah dan paradigma yang bersaing, dan kelompok penelitian yang stabil. Selama tahun 1960-an banyak sub-disiplin ilmu olahraga dikembangkan dan memperoleh beberapa kemandirian dan identitas dalam kaitannya dengan disiplin induk mereka. Psikologi olah raga, sosiologi olah raga, fisiologi olah raga dan olah raga, kedokteran olah raga, dan lain sebagainya. Menurut Newell (1990) perkembangan telah menyukai pengetahuan deklaratif dengan biaya pengetahuan prosedural, dan pengetahuan teoritis lebih disukai di atas pengetahuan praktisi. Dalam filosofi olahraga, diskusi tentang mengetahui bagaimana versus mengetahui itu juga sangat jarang. Tapi mari kita mulai dari filosofi olahraga sebagai disiplin akademis. B. Perkembangan Filosofi Olahraga 1. Perkembangan pada tahun 1970-an dan 1980-an Pada tahun yang sama dengan kongres Pra-Olimpiade diadakan di Munich Masyarakat Filsafat untuk Studi Olahraga (PSSS) didirikan pada Pertemuan Divisi Timur Asosiasi Filsafat Amerika yang diadakan di Boston, Massachusetts. Filosofi olahraga yang dikembangkan selama dua dekade pertama setelah dimulainya pada awal 1970-an didominasi oleh olahraga Amerika dan ideologinya dan oleh lingkungan akademis Amerika. Perdebatan mulai berfokus pada karakteristik formal olahraga, peran berbagai jenis aturan, dan definisi permainan, permainan, dan olahraga.
  • 24. 21 Sebuah esensialisme tertentu mendominasi; fokusnya adalah pada apa yang dianggap sebagai elemen umum atau esensial dari semua olahraga. Konsekuensi lain dari penyematan filosofi olahraga Amerika adalah fokus pada etika dan identitas normatif olahraga. 2. Perkembangan pada tahun 1990-an menuju saat ini Dengan negara-negara baru, asosiasi baru, dan konsepsi filosofi baru, muncullah keragaman yang lebih besar dari pendekatan filosofis olahraga; fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, neo marxisme, teori kritis, hermeneutika, neo-strukturalisme, post-strukturalisme, dan sebagainya. Gagasan filosofi olahraga dengan demikian secara bertahap menjadi lebih terbuka untuk pendekatan baru, misalnya lebih banyak kontak dengan pekerjaan empiris dalam ilmu sosial, studi budaya dan ilmu saraf. C. Konsep Filosofi Olahraga 1. Sifat olahraga, permainan dan permainan 2. Olahraga dan makna: seni, sastra dan Spiritualitas 3. Olah Raga dan Tubuh 4. Olah Raga dan Etika 5. Olah Raga dan Internasionalisasi D. Perkembangan Budaya Gerakan Luas Selama dekade berikutnya objek studi diperluas dari model kompetitif paradigmatik ke olahraga untuk anak-anak, olahraga untuk lanjut usia, olahraga massal, olahraga elit, olahraga alam liar, olahraga motorik, olahraga ekstrim, bahkan olahraga, latihan kebugaran dan rekreasi. Awalnya dimaksudkan untuk melayani organisasi olahraga sukarela dan pendidikan jasmani di sekolah-sekolah. Untuk mempelajari hubungan antara otak, pikiran dan gerakan atau antara gerakan manusia dan kesehatan fisik dan mental, perlu untuk melintasi batas konseptual antara kerja dan waktu luang atau antara bentuk aktivitas fisik kompetitif dan non- kompetitif.
  • 25. 22 E. Pandangan Filosofi Olahraga Hingga Filosofi OlahragaTertentu Kemungkinan filosofi bergerak ke arah yang berlawanan dan fokus pada jenis olahraga tertentu atau bahkan olahraga tunggal atau aktivitas fisik. Menurut teori ini, pembentukan konsep kami beroperasi pada tiga tingkat yang berbeda, tingkat superordinat, tingkat dasar dan tingkat bawahan. 'Olahraga' berada pada tingkat superordinat, 'renang' pada tingkat dasar dan 'gaya dada' pada tingkat bawahan. Ini mungkin argumen untuk mengembangkan filosofi olahraga tertentu, daripada melanjutkan filosofi olahraga umum yang lebih 'lemah'. Akan tetapi, ini akan berbeda dengan pendapat umum yang menurutnya filsafat seharusnya beroperasi pada tingkat abstraksi yang tinggi dan tidak ditempati oleh fenomena tertentu, kecuali ketika mereka digunakan sebagai contoh. Dalam filosofi olahraga saat ini kita melihat kecenderungan dua arah, filosofi olahraga tertentu pada level dasar maupun filosofi olahraga pada umumnya pada level superordinat.
  • 26. 23 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari jurnal yang telah saya baca bahwa filosofi olahraga dapat memperluas visibilitas dan daya tariknya. Sub-disiplin ilmu olahraga yang kaitannya dengan disiplin induk seperti sikologi olah raga, sosiologi olah raga, fisiologi olah raga dan olah raga, kedokteran olah raga, dan lain sebagainya. Filosofi olahraga yang dikembangkan selama dua dekade pertama setelah dimulainya pada awal 1970-an didominasi oleh olahraga Amerika yang berfokus pada karakteristik formal olahraga, peran berbagai jenis aturan, dan definisi permainan, permainan, dan olahraga. Dengan negara-negara baru, asosiasi baru, dan konsepsi filosofi baru, muncullah keragaman yang lebih besar dari pendekatan filosofis olahraga; fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, neo marxisme, teori kritis, hermeneutika, neo-strukturalisme, post-strukturalisme, dan sebagainya. Konsep filosofi olahraga, diantaranya : 1. Sifat olahraga, permainan dan permainan 2. Olahraga dan makna: seni, sastra dan Spiritualitas 3. Olah Raga dan Tubuh 4. Olah Raga dan Etika 5. Olah Raga dan Internasionalisasi Pembentukan konsep filosofi beroperasi pada tiga tingkat yang berbeda, tingkat superordinat, tingkat dasar dan tingkat bawahan. .
  • 27. 24 B. Saran Makalah yang saya buat ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata kebahasaannya. Oleh karena itu,dengan tangan terbuka saya menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca, sehingga saya bisa melakukan perbaikan dari makalah ini menjadi makalah yang baik dan benar.
  • 28. 25 DAFTAR PUSTAKA Breivik, G. 2013. “Zombie-like or Superconscious? The Role of Consciousness in Elite Sport.” Journal of Philosophy of Sport 40 (1): 85–106.
  • 29. 26 LINK 1. PPT ReviewJurnal https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/m-farhan-kholidi-hblibiography 2. Gabungan 5 Jurnal https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/m-farhan-kholidi-hblibiography1 3. Review Jurnal A Hermeneutical Analysis ofthe InternalistApproachin the Philosophy of Sport https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/review-jurnala-hermeneutical- analysis-of-the-internalistapproachin-the-philosophy-of-sport 4. Review Jurnal Teaching Philosophy More Than Two DecadesofExperience. https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/review-jurnalteaching- philosophy-more-than-two-decades-of-experience 5. Review Jurnal What is the Philosophy ofSport https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/review-jurnalwhat-is-the- philosophy-of-sport 6. Review Jurnal Sports Intregrity Needs Sports Ethics And Sports Philosophers And Sports EthiToocists https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/review-jurnalsports-intregrity- needs-sports-ethics-and-sports-philosophers-and-sports-ethitoocists 7. Review Jurnal Philosophy ofSport to Philosophies ofSports. https://www.slideshare.net/MuhammadFarhanKholid/review-jurnalphilosophy-of- sport-to-philosophies-of-sports