Dialog antara Rasulullah dan kaum Ansar mengenai pembagian harta rampasan perang menunjukkan pentingnya komunikasi yang bijak dan terbuka untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Rasulullah mendengarkan keluhan kaum Ansar secara langsung dan memberikan penjelasan yang gamblang, sehingga permasalahan dapat diselesaikan dengan baik.
2. Cemburu adalah tanda cinta. Tanpa cinta, tidak
akan muncul kecemburuan.
Cobalah kita ingat kisah pembagian harta
rampasan perang Hunain. Seusai perang Hunain,
Rasulullah saw membagi-bagi harta rampasan
kepada yang berhak secara adil dan bijaksana.
Abu Sufyan bin Harb, tokoh penentang Islam
sejak awal dakwah di Makah itu, telah
mendapatkan bagian seratus ekor unta dan
empat puluh uqiyah perak. Demikian pula Yazid
dan Mu’awiyah, dua orang anak Abu Sofyan,
mendapat bagian yang sama dengan bapaknya.
Kepada tokoh-tokoh Quraisy yang lain beliau
memberikan bagian seratus ekor unta. Adapula
yang mendapatkan bagian lebih sedikit dari itu,
hingga seluruh harta rampasan habis dibagikan.
3. Melihat pembagian itu, para sahabat Anshar
memandang lain. Mereka seakan-akan merasa
terlupakan oleh Rasulullah saw, ya, tak
sedikitpun dari sekian harta rampasan perang itu
yang diberikan kepada mereka. Rasulullah justru
memberikan bagian yang banyak kepada orang-
orang yang dulunya amat gigih memerangi
dakwah Islam. Padahal kaum Anshar lah yang
telah memberikan loyalitas penuh dalam
berbagai perjuangan kaum muslimin. Sejak
menampung kaum Muhajirin dengan penuh
keikhlasan, sampai kepada keterlibatan dalam
perang demi membela agama Allah swt.
4. Muncullah gejolak di kalangan sahabat
Anshar, hingga seorang di antara mereka
berkata, ”Mudah-mudahan Allah memberikan
ampunan kepada RasulNya, karena beliau telah
memberi kepada orang Quraisy dan tak memberi
kepada kami, padahal pedang-pedang kami yang
menitikkan darah-darah mereka.”
Adapula di antara mereka yang berkata, “Rasulullah
sekarang telah menemukan kembali kaum
kerabatnya.”
Melihat gejala yang berkembang itu, Sa’ad bin
Ubadah segera melaporkan kepada Rasulullah
saw, meskipun ia dapat memahami perasaan
kaumnya, akan tetapi terasa tak baik dibiarkan terus
berkepanjangan. Mendengar laporan tersebut
Rasulullah saw bertanya, ”Bagaimana perasaan kamu
sendiri ya Sa’ad ?” Sa’ad menjawab, “Ya
Rasulullah, aku adalah bagian dari kaumku.”
5. “Kumpulkan kaum Anshar di tempat ini,” kata Rasulullah
saw.
Segera Sa’ad bin Ubadah mengumpulkan segenap kaum
Anshar, menghadap Rasulullah saw. Setelah semuanya
berkumpul, kemudian Rasulullah bertanya kepada mereka :
“Apakah ucapan kalian yang telah sampai kepada saya ?”
Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, para ketua kami tidaklah
mengatakan sesuatu pun. Hanya kami para pemuda, yang
berkata, “Semoga Allah mengampuni RasulNya. Beliau telah
memberi orang Quraisy dan meninggalkan kami, padahal
pedang-pedang kamilah yang telah menitikkan darah-
darah mereka.”
Rasulullah bersabda, “Hai orang-orang Anshar, bukankah
aku datang kepada kalian, sedang kalian dalam kesesatan,
lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian dengan
perantaraan aku ? Dan kalian dalam kepapaan, lalu
Allah memberi kemampuan kepada kalian karena aku ? Dan
dulu kalian bermusuhan, lalu Allah mempersatukan kalian
karena aku ?”
6. Kaum Anshar menjawab, “Benar, Allah dan RasulNya
amat pemurah dan mengaruniai !”
“Tidakkah kalian menjawab aku wahai kaum Anshar ?”
tanya Rasulullah kepada mereka.
“Dengan apa kami harus menjawab engkau ya
Rasulullah padahal bagi Allah dan RasulNya semua
kemurahan dan keutamaan”, jawab kaum Anshar.
Rasulullah bertanya lagi, “Apakah yang menghalangi
engkau menjawab kepada Rasulullah ?”
“Ya Rasulullah, engkau mendapati kami tengah dalam
kegelapan, lalu Allah mengeluarkan kami kepada
cahaya lantaran engkau. Dan engkau mendapati kami
tengah di tepi jurang api neraka lalu Allah
menyelamatkan kami lantaran engkau. Dan engkau
mendapati kami dalam kesesatan, lalu Allah menunjuki
kami lantaran engkau. Maka dari itu kami telah ridha
Allah sebagar Tuhan kami, dan Islam sebagai dien
kami, dan kepada Muhammad sebagai nabi. Maka
berbuatlah sekehendakmu, karena engkau adalah
kehalalan, ya Rasulullah “, jawab mereka.
7. Namun seakan-akan Rasulullah belum mendapatkan
jawaban yang tuntas, ketika bersabda kepada mereka
:
“Demi Allah, sekiranya mau tentu kalian berkata,
pasti kalian dibenarkan : Bukankah engkau (ya
Rasulullah) datang kepada kami dalam
keadaan didustakan, lalu kami (Anshar) yang
membenarkan engkau. Bukankah engkau dihinakan,
lalu kami menolong engkau. Bukankah engkau
datang sebagai orang usiran, lalu kami melindungi
engkau, dan engkau dalam kedaan miskin, lalu kami
memberi kemampuan kepada engkau. Engkau datang
sebagai orang yang takut, lalu kami mengamankan
engkau. Apakah kalian dapati pada diri kalian,
sekelumit dari hal dunia; dimana aku akan
menjinakan satu golongan dengan sekelumit
keduniaan itu agar mereka masuk Islam, sedang aku
menyerahkan kalian kepada keislaman kalian yang
teguh ?”
8. “Benar ya Rasulullah, kami sungguh telah
ridha”, jawab kaum Anshar.
“Hai kaum Anshar ! Tidaklah kalian rela,
bahwa orang-orang pergi dengan membawa
kambing dan unta, sedangkan kalian kembali
dengan membawa Rasulullah ke tempat
tinggal kalian ? Demi Dzat yang Muhammad
di tangan-Nya, jika bukan karena hijrah,
tentu aku menjadi golongan Anshar ! Jika
sekiranya orang-orang menempuh lembah
dan tepi gunung, sedang orang Anshar
menempuh lembah atau tepi gunung yang
lain, niscaya aku menempuh jalan yag dilalui
orang-orang Anshar !’ lanjut Rasulullah
9. Tanpa terasa sebagaian besar kaum Anshar
yang tengah berhadapan dengan Rasulullah
itu mencucurkan air mata. Tangis yang amat
mendalam disebabkan karena kecintaan
mereka terhadap Rasulullah, hingga janggut-
janggut mereka basah oleh air mata.
Akhirnya, mereka serentak menjawab :
“Kami telah ridha kepada Rasulullah sebagai
pembagian dan pemberian !”
10. Kita menyaksikan suatu dialog dari
kedalaman hati, dialog dari orang-orang yang
saling mencintai dan berkasih sayang karena
Allah semata. Apakah kiranya yang akan
terjadi, jika gejolak perasaan kaum Anshar
terhadap Rasulullah dibiarkan terpendam,
dan menjadi ganjalan di kalangan mereka ?
Rasulullah saw sadar betul bahaya dalam
dakwah yang bisa muncul, sehingga masalah
tersebut dituntaskan secara langsung.
11. Pelajaran kedua adalah keinginan semua pihak
untuk merawat kebaikan. Sikap Sa’ad bin
Ubadah yang melaporkan kecemburuan sebagian
sahabat kepada Rasulullah saw adalah tindakan
yang didasarkan keinginan mulia untuk merawat
kebaikan. Bukan tindakan mencari muka di
hadapan Nabi saw, bukan tindakan untuk
menghancurkan nama baik sahabat lainnya
dengan melaporkan kekurangan dan kelemahan
sahabat. Bukan untuk mematikan karakter
sahabat lainnya. Namun justru untuk merawat
kebaikan itu sendiri di lingkungan kader dakwah
12. Pelajaran ketiga, sikap bijak qiyadah saat
menerima laporan. Rasulullah tidak menerima
begitu saja laporan Sa’ad. Beliau melakukan
konfirmasi “Kumpulkan kaum Anshar di tempat
ini,” kata Rasulullah saw. Setelah mereka
berkumpul, Nabi saw bertanya, “Apakah ucapan
kalian yang telah sampai kepada saya ?” Tampak
beliau saw ingin mendengar sendiri, mendengar
langsung aspirasi, uneg-uneg, ganjalan perasaan
para sahabat. Beliau tidak ingin melukai hati para
sahabat.
13. Pelajaran keempat, Nabi saw memberikan
penjelasan secara gamblang atas kebijakan
yang beliau ambil dalam pembagian
ghanimah. Tindakan ini menunjukkan, Nabi
saw proaktif memberikan bayan, penjelasan
yang diperlukan terkait kebijakan yang
sempat meresahklan sebagian kader. Beliau
tidak mendiamkan atau membiarkan saja
adanya omongan, perbincangan , diskusi
kecil yang tidak konstruktif di kalangan kader
dakwah
14. Pelajaran kelima, sikap bijak para sahabat setelah
mendapat penjelasan. Mereka yang menyimpan rasa
cemburu dan mempertanyakan kebijakan Nabi saw,
bisa menerima dengan baik penjelasan Nabi saw.
Mereka tidak berdebat, bertikai, menuduh qiyadah
secara membabi buta. Mereka bertanya, dan setelah
mendapat penjelasan yang gamblang, mereka mudah
menerima dan tidak mempersoalkan lagi. Dengan
janggut yang basah oleh air mata, mereka serentak
menjawab : “Kami telah ridha kepada Rasulullah
sebagai pembagian dan pemberian !”
Sikap yang ditunjukkan kaum Anshar dalam
pembagian ghanimah itu sepertinya lebih disebabkan
karena perasaan takut kehilangan perhatian
Rasulullah, bukan sekedar karena tak mendapat
bagian. Namun akhirnya mereka sadar dan bisa
menerima kebijakan Rasulullah itu setelah
mendapatkan penjelasan langsung dari Nabi saw
15. Alangkah indahnya kalau dalam organisasi
dakwah, kita semua sanggup berbicara,
berdiskusi, berkomunikasi dengan bahasa hati.
Dengan bahasa cinta. Dengan membawa hati dan
jiwa yang bersih. Tidak dengan tuduhan, caci
maki, sumpah serapah, yang sangat jauh dari
etika Islam.
Alangkah indahnya kalau dalam gerakan dakwah,
semua pihak bisa menjaga adab sesuai posisi
masing-masing. Ada adab qiyadah, ada adab
jundiyah. Bukankah kita semua berkumpul dalam
dakwah karena ikatan kecintaan, ikatan ukhuwah,
ikatan kebersamaan ? Bukan ikatan kepentingan ,
bukan ikatan kedengkian, bukan ikatan politik,
bukan ikatan materi. Lalu mengapa ada yang
harus terluka ?