Yudi ingin dengan buku berjudul Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, yang dirilis pada April 2011. Pancasila bisa menjadi cermin bagi siapa saja. Buku itu tidak membokar aib Orde Lama dan Orde Baru, tidak menyindir penentang Pancasila, juga tidak menyinggung orang yang memakai Pancasila untuk menyalahgunakan kekuasaan. Buku itu menggarap sisi positif dalam berpancasila
1. 42 GATRA 4 JANUARI 2012
IKON POLITIK 2011GATRA/ABDULMALIKMSN
politik-teknologi a.indd 42 24/12/11 5:17:19 PM
2. 43GATRA 4 JANUARI 2012
P
andangan minor tentang Pancasila mengemuka dalam diskusi
terbatas deradikalisasi di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, medio
November lalu. “Sudahlah, stop kampanye Pancasila sebagai terapi
radikalisme. Itu kontraproduktif,” ungkap seorang analis terorisme
yang juga alumnus Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah. “Pancasila itu
membangkitkan trauma.”
Di tengah gairah baru menghidupkan kembali Pancasila belakangan
ini, suara-suara skeptis masih bertebaran. Terlebih bagi kalangan yang pernah
menjadi korban represi Orde Baru, ketika Pancasila dipaksa menjadi asas
tunggal. Sekian orang harus ditahan, sebagian harus kabur ke negeri jiran, dan
sejumlah organisasi terpaksa pecah.
Selain menyisakan citra sebagai alat pukul negara, Pancasila juga
mewariskan kesan membosankan. Terutama buat alumni indoktrinasi
Pancasila model penataran P4 yang militeristik. Tapi, lepas dari model
implementasi dan indoktrinasi Pancasila pra-reformasi, lima dasar ini harus
diakuitetaprelevansebagai--merujukpadaistilahBungKarno--“mejastatis”
dan “leitstar dinamis” pemersatu dan pemandu bangsa.
DitengahagendamenampilkanmarwahPancasila,bukukaryaYudiLatif,
47 tahun, berjudul Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila, yang dirilis pada April 2011, penting dicatat sebagai sumbangsih
berhargadalamkhazanahkenegaraan.Agendasosialisasiempatpilarberbangsa
danbernegarayangdimotoriMPRmenjadipunyarujukanliteraturbermutu.
Karya doktor sosiologi politik alumnus Australian National University
(2004) setebal 668 halaman itu, di mata Komaruddin Hidayat, Rektor UIN
Jakarta, diprediksi akan menjadi karya klasik yang selalu relevan dijadikan
rujukan untuk mempelajari jati diri Indonesia. Tiap sila dikupas secara
mendalam pada bab tersendiri, dengan merujuk pada referensi primer dan
menyelami suasana kebatinan para pendiri bangsa.
Lewat buku tebal, mendalam, dan disajikan dengan bahasa memikat itu,
Yudi menghendaki Pancasila tidak lagi dikembangkan secara vertikal lewat
monopoli negara: negara yang mengambil inisiatif, negara yang menafsirkan,
dan negara pula yang menatar. Pancasila, dalam pendekatan itu, sering
tergelincirmenjadialatnegarauntukmengontroldanmemberanguskekuatan
kritis di dalam masyarakat.
Ke depan, menurut Yudi, Pancasila harus dikembangkan secara
horizontal dengan melibatkan segenap komponen kebangsaan. Selain
pemerintah, kaum intelektual, pemuka agama, seniman, masyarakat media,
masyarakat sipil, pemangku adat, dan sebagainya bisa terlibat. Pancasila
Pancasila
Alat Kritik
Kebijakan Publik
YUDI LATIF
LewatbukuNegaraParipurna,YudiLatifmemolesPancasila
menjadicerminsemuaelemenbangsa.Bisadijadikaninstru-
menkontrolkebijakan.Berkontribusipentingmenghidupkan
diskursusakademikseputarPancasila.Diprediksibakalmenjadi
referensiklasikfalsafahnegarayangselaludiburu.
politik-teknologi a.indd 43 24/12/11 5:17:35 PM
3. 44 GATRA 4 JANUARI 2012
IKON POLITIK 2011GATRA/ABDULMALIKMSN
akan membuat mutiara yang sudah lama
tidak berkilau menjadi berkilau lagi.” Be-
nar saja, kini banyak pujian. Pancasila bi-
sa dihadirkan secara ilmiah dan penuh
gairah.
Aktivis lingkungan hidup,
Chalid Muhammad, mengaku banyak
menemukan kejutan dalam buku ini. Ia
baru sadar, isu-isu fundamental seputar
hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan
ekonomi berkeadilan sudah demikian
lugasdikupasparapendiribangsa.“Bahkan
konsepsi kesejahteraan berkelanjutan
yang sedang dicari resepnya oleh banyak
negara ternyata spiritnya dirumuskan
dengan baik dalam sila keempat dan
kelima Pancasila,” tulis Chalid.
Respons lapangan pun bersahutan.
Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika
dan beberapa partai politik, seperti Gol-
kar, PDIP, dan PPP, menggelar diskusi
buku itu di berbagai kota. Beberapa
kedutaan, seperti KBRI Beijing dan
Cekoslowakia, juga menggelar diskusi
buku itu di mancanegara. Lembaga Ad-
ministrasi Negara menetapkan buku itu
sebagai bacaaan wajib pegawai dan pe-
serta pelatihan. Pejabat eselon I dan II
Mahkamah Konsitusi juga diharuskan
membaca buku itu.
pelangi:Islamdannasionalis.Orangtuanya
berceraiakibatperbedaanideologi.
Yudi mengidamkan Islam ayahnya
ibarat langit, nasionalisme ibunya seperti
bumi pertiwi. Bila langit kering, bumi
memberi uap. Ketika bumi kering,
langit mengirim hujan. ‘’Langit dan
bumi saling memberi, mengapa manusia
tidak?’’ tuturnya, “Kenapa Islam dan
kebangsaan kadang saling memerkosa.”
Alumnus Pondok Modern Gontor ini
mengobsesikan Islam Indonesia adalah
Islam yang membumi.
Buku itu juga merupakan bentuk
pertanggungjawabannya sebagai
intelektual. Ia bukan politikus yang
menyumbangkan kebijakan. Bukan
pengusaha yang berkontribusi pajak pada
negara. Inilah sumbangsihnya sebagai
intelektual. Yudi perlu waktu dua tahun
untuk menuntaskan buku itu.
Ada kritik, doktor Indonesia ibarat
intelektual pohon pisang. Sekali berbuah,
setelah itu mati. Sehabis melahirkan
disertasi, tidak berkarya lagi. “Saya ingin
menghapus pikiran tabu itu,” ujar Yudi.
Ketika Yudi akan menulis buku itu,
banyak komentar pesimistis. “Ini ibarat
mengangkat bangkai,” kata seorang ko-
leganya menyindir. Namun Yudi tak pe-
duli dan balik sesumbar, “Buku ini nanti
ditempatkan sebagai alat ukur untuk
menakar kebijakan negara. Pancasila
menjadi alat kritik kebijakan publik.
Yudi ingin, dengan buku itu, Panca-
silabisamenjadicerminbagisiapasaja.Bu-
ku itu tidak membongkar aib Orde Lama
danOrdeBaru,tidakmenyindirpenentang
Pancasila, juga tidak menyinggung orang
yang memakai Pancasila untuk menya-
lahgunakan kekuasaan. Buku itu mengga-
rap sisi positif dalam berpancasila. Karena
itu, judulnya Negara Paripurna. ‘’Saya ber-
syukur, banyak pendukung Orde Lama,
Orde Baru, dan reformasi berkumpul
dalamlaunchingbukuini,”katanya.
***
Bagi Yudi, buku ibarat perjalanan
ekstensial. Pemikir kelahiran Sukabumi,
Jawa Barat, putra pasangan Utom
Mulyadi, aktivis Nahdlatul Ulama, dan
Yuyun Yurtika, pengikut nasionalisme
PNI, ini merasa dibesarkan dalam tradisi
cinta buku. “Ketika lahir, yang segera saya
tangkap di sekeliling saya bukan harta
mewah, melainkan buku,” ujarnya.
Ayahnya kepala sekolah. Tiap men-
jelang sahur, sang ayah membacakan buku
cerita.“Usaididongengkan,lama-lamaka-
mi rajin membaca,” katanya. Buku Negara
Paripurnaitujugamenjadiendapansejarah
personalnyayangdibesarkanolehpasangan
politik-teknologi a.indd 44 24/12/11 5:18:00 PM
Dan Averos Lubis