2. Definisi ‘Gereja’
Berasal dari kata ἐκκλησία (ekklesia) secara harfiah
berarti "yang dipanggil keluar" atau "yang dipanggil maju
ke depan".
Di dalam Alkitab bahasa Indonesia (TB), kata "jemaat"
digunakan sebagai padanan untuk kata Yunani ἐκκλησία,
yang makna umumnya adalah "sidang jemaat" atau
"jemaah"
Dengan demikian, ἐκκλησία dipakai sebagai sebutan bagi
komunitas-komunitas lokal maupun sebagai sebutan
yang bermakna semesta bagi segenap umat beriman.
Menurut Pengakuan Iman Nikea, sifat Gereja adalah
Satu, Kudus, Am, dan Rasuli.
4. Hari kelahiran Gereja ialah hari turunnya Roh Kudus
pada hari raya Pentakosta (Kis. 2).
Pada hari itu, Roh Kudus turun kepada para murid-
murid Yesus di Yerusalem yang membuat mereka
berani bersaksi tentang kelepasan yang dikaruniakan
kepada Tuhan bahasa-bahasa lain
Alhasil, kira-kira 3000 orang memberi diri untuk
dibaptis. Merekalah anggota-anggota Gereja
perdana.
Gereja mula-mula ini “bertekun dalam pengajaran
rasul-rasul dan dalam persekutuan...selalu berkumpul
untuk memecahkan roti dan berdoa...menjual harta
miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua
orang sesuai dengan keperluan.”
5. Sejak awal pelayanan Yesus Kristus di dunia,
kaum Farisi & Saduki adalah kelompok yang
sangat menentang ajaran serta klaim Yesus dan
para pengikutnya.
Awalnya, jemaat kristen mula-mula masih
dianggap sebagai mazhab agama Yahudi karena
masih beribadah di Bait Allah dan Sinagoge-
Sinagoge.
Karena penganiyayaan oleh mahkamah agama
yang terdiri dari orang-orang Farisi dan Saduki
(Kis. 5:26-42) dan pimpinan Tuhan, Gereja sadar
bahwa panggilan mereka adalah menyebarkan
injil ke semua bangsa.
Setelah pembunuhan Stefanus, Gereja merasa
perlu untuk memisahkan dirinya dari agama
Yahudi yang menganiyaya mereka.
6. Keruntuhan
Bait Allah
kedua
Telah dinubuatkan oleh Yesus Kristus
(Mat. 24:1-2; Mrk 13:1-2; Luk. 21:5-6)
Menyebabkan hilangnya pusat
ibadah orang Israel dan mazhab-
mazhab agama Yahudi lainnya.
Satu-satunya mazhab yang tersisa,
yakni orang Farisi, mengembangkan
agama Yahudi yang tidak lagi
berfokus pada sistem kurban di Bait
Allah dan sangat anti terhadap
ajaran Yesus Kristus & Kekristenan.
8. Godaan ‘Gnostisisme’
Merupakan sinkretisme yang berusaha menggabungkan
filsafat Barat dengan agama Timur.
Berasal dari kata γνῶσις (gnosis) secara harfiah berarti
"pengetahuan”, tetapi di sini dimaksudkan suatu
“hikmat tinggi” yang rahasia dan tersembunyi tentang
asal dan tujuan hidup manusia.
Ciri-ciri ajaran gnostik Kristen:
Allah yang tertinggi, yang keadaannya adalah Roh, tak
ada hubungannya dengan dunia ini (ajaran Plato).
Manusia mengandung sebagian kecil dari Roh Allah
dengan tubuh maya untuk membebaskan bagian ilahi
yang kecil tersebut (ajaran Dosetisme).
Dunia dicitakan oleh suatu ilah rendahan (demiurgos)
dan dengan pengajaran serta teladan Kristus, Roh
Manusia diajak untuk melepaskan dirinya dari ‘zat
benda’ dan kembali kepada ‘zat Allah’ (ajaran Dualisme).
9. Kanon Perjanjian Baru
1.
Gereja bertugas untuk menetapkan kitab-kitab
yang menceritakan tentang Tuhannya.
Kriteria kitab yang masuk dalam kanon --> Rasuli!
Dengan kanon, Gereja menetapkan bahwa masa
penyataan Tuhan SUDAH SELESAI.
Pengakuan Iman
2.
Daftar kitab tidak cukup, sebab para penyesat
juga punya ‘daftar mereka sendiri’
Pengakuan Iman adalah ‘ringkasan iman jemaat’.
Hasil dari perkembangan ini adalah Pengakuan
Iman Rasuli
Jabatan Rasuli
3.
Kanon dan Pengakuan perlu memiliki oranguntuk
melaksanakannya dan mempertahankannya.
Pemimpin-pemimpin Gereja menunjuk jemaat
kepada uskupnya yang dipilih sebagai pemimpin.
Uskup tersebut dinilai sah karena mewarisi
jabatan yang ditinggalkan oleh para rasul yang
menjamin penyerahan Injili.
10. Penganiyayaan
Gereja Kristen dianggap oleh kekaisaran Romawi
sebagai suatu masalah politik yang mempersulit
negara.
Tatkala kekaisaran makin lemah, orang pun menyangka
bahwa dewa-dewa menjadi murka karena kedurhakaan
orang Kristen yang tidak mau turut berbakti kepada
mereka.
Di masa ini, timbul banyak Martir yang menjadi
junjungan Gereja yang teraniyaya.
Meskipun demikian, penganiyayaan ini menyebabkan
meningkatnya jumlah dan semangat umat Kristen.
12. Akhirnya, tibalah masa yang baik bagi Gereja,
ketika Konstantinus merebut takhta kekaisaran
romawi pada tahun 312 M.
Pada tahun 313 M, dia dengan rekan kaisarnya
(Lucinius) mengeluarkan ‘Dekrit Milan’ yang
memberikan umat Kristen kebebasan untuk
beragama .
Sejak Dekrit Milan, terjadilah perdamaian antara
Gereja dan Negara, bahkan kaisar-kaisar seringkali
memanfaatkan bantuan dan berkat dari pihak
Gereja untuk keamanan dan kemajuan negara.
Meskipun demikian, Gereja belum diresmikan
menjadi salah satu bagian dari negara. Barulah
pada tahun 380 M Gereja diresmikan sebagai
Gereja Negara oleh Kaisar Theodosius Agung.
13. Kaisar Konstantinus mendamaikan Gereja
dengan Kekaisaran Romawi dengan harapan
bahwa kekristenan dapat menyatukan iman dari
banyak rakyat romawi yang beragam.
Sejak zaman Gereja Lama, banyak kaum
apologet Kristen seperti Ignatius dan Tertullianus
yang sudah mengaku bahwa Allah
Tritunggal/Trinitas (berzat/berhakikat satu tetapi
berpribadi tiga)
Namun demikian, kerap kali terdapat banyak
kontroversi yang mengancam untuk memecahkan
iman kristen yang berpusat pada pribadi Allah
Anak atau ‘Logos’ (Cth. Origenes).
14. Pada tahun 318 M, seorang presbiter bernama Arius
mengajarkan bahwa Anak atau ‘Logos’ adalah makhluk
Tuhan yang sulung dan yang tertinggi derajatnya.
(Homo-i-ousios).
Arius bertentangan dengan uskupnya, Alexander, yang
bersikeras mengartikan bahwa Logos adalah Allah sedari
kekal (Homo-ousios).
Pada tahun 325 M, kaisar Konstantinus memanggil suatu
konsili oikumenis bersidang di Nicea untuk
memperbincangkan dan memecahkan masalah teologi ini.
Hasil sidang tersebut menyatakan bahwa Allah Anak
SEHAKIKAT dengan Allah Bapa. Keputusan ini menjadi
dasar Pengakuan Iman Nikea(-Konstantinopel).
Arius dan para pendukungnya dikucilkan dan diasingkan.
15. Nestorianisme & Konsili Efesus
Pada tahun 428 M, patriark Konstantinopel, Nestorius,
mengajarkan bahwa dua tabiat Kristus tidak bisa
disatukan bagaimanapun juga.
Nestorius dan para pengikutnya yang disebut
‘golongan Antiokhia’ menitikberatkan kemanusiaan
Kristus, sementara Cyrillus (patriark Aleksandria) yang
disebut ‘golongan Aleksandria’ menitikberatkan
keilahian Kristus.
Pada tahun 431 M, kaisar romawi kembali lagi
memanggil suatu konsili oikumenis untuk
menyelesaikan kontroversi ini.
Hasil sidang tersebut menyatakan bahwa Gereja
menolak ajaran Nestorius dan Nestorius dibuang.
16. Miafisitisme & Konsili Kalsedon
Pada tahun 448, perselisihan berkobar lagi tatkala
seorang rahib, Euthyces, mengajarkan bahwa Kristus
hanya memiliki satu tabiat gabungan ‘Manusia-Ilahi’
(Monofisitisme)
Pada tahun 449, patriark Alexandria, Dioskorus, setuju
dengan pandangan ini dan memaksakan peserta Konsili
Efesus II untuk mengakui pandangan miafisitisme
sebagai ajaran yang benar.
Patriark Roma, Paus Leo I, yang tidak menyetujui ‘konsili
penyamun’ tersebut mengundang konsili baru pada
tahun 451 di Kalsedon.
Hasil sidang Konsili Kalsedon menyatakan bahwa Kristus
bertabiat dua dalam satu oknum; kedua tabiat ini tidak
dapat dipisahkan (melawan Nestorius) dan tidak dapat
bercampur (melawan Euthycus).
18. Gereja diduniawikan
Pada zaman kaisar Yustinianus I (527 M - 565 M), Gereja patuh
sama sekali kepada kaisar dan kaisar kerap menggunakan gereja
sebagai sumber kekuasaan politisnya.
Kedudukan Gereja yang baru dalam masyarakat menimbulkan
kerugian rohani yang besar bagi Gereja, sebab kekuasaan Gereja
bertambah secara politis dan semakin tunduk pada urusan dan
perintha kaisar.
Hal ini juga menyebabkan orang berbondong-bondong masuk
Kristen dan banyak di antaranya bukan karena keberanian
ataupun iman, tetapi supaya boleh maju dalam masyarakat.
Untuk memisahkan diri dari kaum munafik dan suam-suam
kuku, sekitar tahun 300 muncul gerakan biara di Mesir yang
hidup menyendiri dan berusaha untuk hidup saleh.
19. Pertikaian dalam Gereja
Setiap keputusan konsili menghasilkan perpecahan, tetapi
semakin lama, apa yang diperkarakan dalam konsili
semakin bersifat politis dan menghasilkan perpecahan
yang semakin besar.
Hal tersebut juga terjadi seiringan dengan dinamika politik,
yakni melemahnya kekaisaran di Konstantinopel dan
timbulnya kesadaran kebangsaan di mana-mana.
Gereja Assyria memutuskan hubungan dengan pimpinan
Gereja di Konstantinopel pasca konsili Efesus, diikuti
dengan Gereja Koptik pasca konsili Kalsedon.
Pertikaian ini dimanfaatkan oleh musuh kekaisaran romawi
dan kaum kafir untuk menyerang kekristenan secara
militer dan rohani, terutama oleh bangsa Persia dan Arab.
20. Kekristenan barat terlantarkan oleh kekaisaran romawi di
konstantinopel sejak jatuhnya kota Roma dan seluruh
wilayah romawi di eropa barat ke tangan bangsa barbar
yang bidat dan kafir pada tahun 476 M.
Kebanyakan daerah kekuasaan romawi yang jatuh ke
tangan bangsa barbar kembali menjadi kafir, kecuali kota
Roma yang memiliki jabatan uskup yang tersohor (Paus)
serta iman kristen yang benar (ortodoks).
Di tengah kekacauan politis yang melanda eropa barat
pasca jatuhnya kota Roma, Kepausan muncul sebagai
otoritas gerejawi yang kuat dan berpengaruh baik secara
rohani maupun politis.
Akibat kekuasaan tersebut, Kepausan memandang dirinya
sebagai pemimpin spiritual kekristenan yang memiliki
otoritas unik daripada para pemimpin gereja lainnya.
21. Akibat merosotnya kerohanian Gereja pada saat itu,
wujud Gereja pada zaman para rasul seakan
tenggelam di antara campur tangan politik dan
perselisihan gerejawi yang tidak terselesaikan
(Skisma Besar 1054).
Gereja menjadi lupa akan panggilannya untuk
memberitakan Firman Tuhan dan menyerukan
pertobatan.
Gereja malah berfokus pada kesalehan-kesalehan
dan doktrin-doktrin yang dijadikan semacam taurat
baru.
Korban utama dari semua ini adalah umat Kristen
yang sudah benar-benar takluk kepada kuasa
pemimpin-pemimpin Gereja dan sudah asing
terhadap Kitab Sucinya sendiri.
23. Renaisans & Humanisme
Pada abad ke-14, di Italia Utara, muncul suatu gerakan yang
berniat untuk menggali kembali karya-karya Romawi dan
Yunani di zaman klasik yang disebut sebagai ‘renaisans’.
Pada masa itu, muncul suatu cabang dari gerakan renaisans
yang, alih-alih Alih-alih mengandalkan penjelasan otoritas
agama atau takhayul, berfokus pada akal budi dan sains
(berfokus pada manusia ketimbang organisasi).
Salah satu semangat dari gerakan ini adalah semangat untuk
kembali kepada sumber-sumber asli (Ad fontes.)
Salah satu tokoh termahsyur gerakan ini adalah Desiderius
Erasmus, yang menerbitkan naskah asli kitab Perjanjian Baru
dalam bahasa Yunani bagi masyarakat eropa barat.
24. Martin Luther (1483-1546) adalah seorang rahib Ordo Santo
Agustinus (OSA) dan profesor teologi berkebangsaan Jerman
yang memantik reformasi gereja dengan melakukan berbagai
serangan terhadap kepausan selama hidupnya.
Sebagai seorang rahib, ia berjuang dengan giat untuk hidup
saleh demi mendapatkan jaminan keselamatan, tetapi Luther
sadar bahwa apapun yang dia lakukan tidak bisa menjamin
hal tersebut.
Setelah dengan cuma-cuma berziarah ke Roma untuk
mendapatkan ‘kelepasan’ yang dia harapkan, dia membaca
dalam Firman Tuhan bahwa seseorang dibernarkan SEMATA-
MATA HANYA OLEH IMAN (Ef. 2:8-9).
Perlawanannya melawan kepausan diterima sebagai ‘seruan
perang’ bagi banyak orang Kristen untuk mengentaskan
segala penyimpangan dan penyelewengan dalam Gereja.
25. ‘Seruan perang’ tersebut disambut oleh Ulrich Zwingli
(1484-1531), seorang presbiter di kota Zürich di Swiss
yang bersemangat humanis dan sangat gemar untuk
membaca Firman Tuhan dalam bahasa aslinya (Ibrani &
Yunani).
Berbeda dengan Luther, perhatian utama perjuangan
Zwingli terdapat pada praktik dan aturan yang
diterapkan oleh Gereja Roma yang tidak sesuai dengan
Firman Tuhan (cth. Puasa masa sengsara/prapaskah).
Berlainan dengan fokus reformasi di Jerman yang
adalah pemulihan Kabar Baik (Injil) dan pembenaran
hanya oleh iman, fokus reformasi di Swiss pemulihan
praktik beragama yang didasarkan oleh pengamalan
Firman Tuhan yang benar.
Perjuangan ini sejatinya dilanjutkan oleh penerus-
penerusnya, salah satu yang termahsyur adalah
Yohanes Calvin (1509-1564) yang menuliskan mahakarya
yang berjudul ‘Institutio’ guna menyusun ikhtisar agama
Kristen yang berdasarkan Firman Tuhan.
26. Kontra-Reformasi
Pembaruan Gereja oleh Luther et.al. tidak saja penting
bagi kaum Protestan (kaum yang menerima ajaran
Luther dkk.), tetapi juga bagi Gereja Katolik Roma (kaum
yang menolak ajaran Luther dkk.) karena Luther-lah
yang telah memaksa Kepausan untuk berbenah.
Untuk meresponi tuntutan kaum Protestan, Gereja
Katolik Roma didesak memutuskan untuk mengadakan
konsili dan bersidang di kota Trente, Italia.
Hasil sidang Konsili Trente itu menyatakan bahwa
pembenaran tidak semata-mata hanya oleh iman dan
bahwa Alkitab dan Tradisi Gereja adalah dua sumber
kuasa ilahi yang setara.
Untuk menegakkan keputusan konsili tersebut dan
memenangan kembali umatnya, Ordo Yesuit dibentuk
sebagai tentara yang taat kepada Paus dan Gereja.
28. Pasca-reformasi tidak berarti bahwa Gereja aman
senantiasa dari penyesatan, justru sebaliknya, perlahan-
lahan gereja semakin termakan dengan ‘dunianya
sendiri’ dan tidak sedar bahwa ia sedang diserang
Oleh karena reformasi gereja mementingkan pengajaran
yang benar (ortodoks), pada abad ke- 17, Gereja seakan
hanya fokus pada pengajaran doktrin dan
menelantarkan pengembalaan umat Tuhan dan
pengabaran injil.
Kemudian, akibat masa pencerahan, iman Kristen dan
kuasa Gereja diserang habis-habisan oleh para skeptis
dan filsuf yang menyerangnya dengan akal budi dan
pemikiran-pemikiran yang mutakhir.
Selama abad ke-17, ke-18, dan ke 19, muncul gerakan-
gerakan yang mencoba untuk menjawab pergumulan-
pergumulan yang dihadapi gereja pada zaman tersebut.
29. Pietisme (abad ke-17 M)
Pietisme adalah gerakan yang muncul di dunia barat sebagai reaksi
terhadap Gereja yang sudah lesu akibat sifat intelektualistis watak
khotbah-khotbah di Gereja Protestan.
Gerakan ini mendorong jemaat kristen untuk kembali lagi
menghidupi dasar iman Kristen, yang terdiri dari pertobatan (lahir
baru), kehidupan saleh, dan pekabaran injil.
Gerakan ini menghasilkan banyak tokoh yang mahsyur dalam
pekabaran injil dan kebangkitan rohani seperti Nicolaus von
Zinzendorf (Saudara-saudara Moravia), Charles & John Wesley
(Metodisme), dll.
Pekabaran injil pada masa ini banyak diinsiasikan oleh kaum Pietis,
seperti Missionary Societies (Inggris) dan Zending (Belanda).
Namun demikian, pengabaian terhadap intelektualisme membuat
Gereja tidak sigap dalam menghadapi kritik-kritik intelektual
30. Kristen Liberal/Progresif
(abad ke-18 & ke-19 M)
Banyak yang berusaha untuk melawan kritik intelektual kaum skeptis
dan cendikiawan terhadap kekristenan dengan berbagai cara, tetapi
ada kelompok yang beranggapan bahwa Gereja seharusnya tunduk
pada ilmu pengetahuan, bukan melawannya.
Demi tercapainya maksud tersebut, Gereja harus rela untuk
menggeser pusat dan pikirannya kepada manusia, sesuai dengan
semangat zaman Modern.
Bapa dari kekristenan liberal-progresif ini adalah seorang pendeta
yang bernama Friederich Schleiermacher (1768-1834), yang
mengajarkan bahwa iman adalah ‘perasaan diri bergantung semata-
mata kepada Allah.
Akibat penolakannya terhadap mukjizat, kejatuhan, dan kebangkitan,
kelak kekristenan ini akan memberi jalan pada segala kesesatan kristen
di masa kini (Universalisme, LGBT, dsb.)