2. OUTLINE
• Obat-obat yang digunakan untuk mengobati
astma
• Obat-obat yang digunakan untuk mengobati
rinitis alergi
• Obat-obat yang digunakan untuk mengobati
batuk
3. PENDAHULUAN
• Obat-obat dapat mencapai paru-paru melalui inhalasi,
oral, atau parenteral.
• Inhalasi sering dipilih karena obat langsung disalurkan
ke saluran napas dan efektif dalam dosis yang tidak
menyebabkan efek sistemik yang berarti.
• Obat-obat yang berguna secara klinik pada saluran
napas bekerja dengan berbagai mekanisme, misalnya,
dengan merelaksasi otot polos bronkial, memodulasi
respon peradangan, atau menurunkan sekresi mukus
pada kasus asma dan penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK).
• Selain itu, obat-obat untuk gangguan saluran napas juga
berguna untuk terapi rinitis alergi dan batuk.
6. A. AGEN BRONKODILATOR
• Bronkodilator merupakan agen yang memicu
efek bronkodilatasi sehingga memperbaiki aliran
udara di saluran napas.
7. Agonis β2- adrenergik (bronkodilator-1)
• Agonis β2 merupakan bronkodilator yang paling efektif.
• Mekanisme kerja: stimulasi reseptor β2 aktivasi adenilsiklase (enzim yang memperkuat
pengubahan ATP menjadi cAMP kadar cAMP meningkat di dalam sel menghasilkan
beberapa efek melalui enzim fosfokinase bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan
mediator oleh sel mast.
Berdasarkan aksi farmakologisnya, agonis β2-adrenergik dibagi menjadi 2:
• Agonis β2-adrenergik aksi pendek (short acting β2 agonis/SABA): albuterol, terbutalin,
levalbuterol, bitolterol, dan pirbuterol digunakan untuk meredakan gejala secara akut
dengan durasi aksi 4-6 jam
• Agonis β2-adrenergik aksi panjang (long acting β2 agonis/LABA): formoterol dan
salmeterol diberikan setiap 12 jam berdasarkan jadwal dan menghasilkan bronkodilatasi
selama interval dosis …. (cont.)
8. • LABA diindikasikan sebagai kontrol tambahan jangka panjang
untuk pasien yang telah mengkonsumsi inhalasi kortikosteroid
dosis rendah - sedang sebelum ditingkatkan menjadi dosis sedang
atau tinggi.
• Agonis β2 aksi pendek harus dilanjutkan jika keadaan memburuk
secara akut. Agonis β2 aksi panjang tidak efektif untuk asma akut
karena memerlukan 20 menit untuk terjadinya onset dan 1 hingga 4
jam untuk terjadinya bronkodilatasi maksimum setelah dihirup.
• Efek samping: Nyeri kepala, pusing, mual, dan tremor tangan. Jika
overdosis terjadi stimulasi reseptor β1 dengan efek kardiovaskuler:
takikardi, palpitasi, aritmia, dan hipotensi.
9. Agen
Selektivitas
Potensi
β2
Durasi Aksi
Aktivitas
Oral
β1 β2 Bronkodilatasi
(jam)
Proteksi
(jam)
Isoproterenol +++
+
++++ 1 0,5-2 0,5-1 Tidak
Metaprotere
nol
+++ +++ 15 3-4 1-2 Ya
Isoetarin ++ +++ 6 0,5-2 0,5-1 Tidak
Albuterol + ++++ 2 4-8 2-4 Ya
Bitolterol + ++++ 5 4-8 2-4 Tidak
Pirbuterol + ++++ 5 4-8 2-4 Ya
Terbutalin + ++++ 4 4-8 2-4 Ya
Formoterol + ++++ 0,24 ≥12 6-12 Ya
Salmeterol + ++++ 0,5 ≥12 6 - > 12 Tidak
10. Interaksi obat
Obat Berinteraksi dengan Efek
Salbutamol (albuterol)
Metildopa Tekanan darah tetap tinggi
β1 bloker adrenergik Bronkospasmus,
mengurangi ventilasi paru-
paru
Ipatropium bromida Glaukoma akut,
peningkatan tekanan
intraokular
Fenelzin (MAOIs) Takikardi, gelisah
Obat yang mengurangi kadar
kalium (kortikosteroid,
diuretik, teofilin)
Meningkatkan
hipokalemia
11. Antagonis kolinergik / Antagonis muskarinik (bronkodilator-2)
• Mekanisme kerja: memblok reseptor muskarinik dari saraf-
saraf kolinergik di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf
adrenergik menjadi dominan dengan efek bronkodilatasi.
• Golongan obat ini menghasilkan bronkodilatasi hanya pada
bronkokonstriksi yang dimediasi kolinergik. Antikolinergik
merupakan bronkodilator efektif tetapi tidak sekuat agonis β2.
• Indikasi: bronkospasmus, terapi penunjang asam bronkial,
asma akut, dan sebagai obat alternatif untuk pasien yang
intoleransi dengan agonis β2-adrenergik.
12. Berdasarkan aksi farmakologisnya, antagonis muskarinik kolinergik dibagi
menjadi 2:
• Short acting anti muskarinik (SAMA): ipatropium bromida dan oxitropium
bromida digunakan untuk serangan akut
• Long acting anti muskarinik (LAMA): Tiotropium bromide, aclidinium,
glycopyrronium bromida dan umeclidinium digunakan untuk terapi
pemeliharaan, memperbaiki nilai FEV1 dan volume paru-paru, dispnea,
status kesehatan dan tingkat eksaserbasi.
Efek samping: takikardia, agitasi, retensi urin.
13. Metilsantin (bronkodilator-3)
• Mekanisme kerja: menginhibisi enzim fosfodiesterase menghambat perubahan cAMP
menjadi AMP meningkatkan kadar cAMP meningkatkan efek bronkodilatasi.
• Contoh obat: Teofilin dan Aminofilin (teofilin etilendiamin)
• Metilsantin tidak efektif dalam bentuk aerosol dan harus diberikan secara sistemik (oral
atau IV). Teofilin lepas lambat lebih disukai untuk pemberian oral, sedangkan bentuk
kompleksnya dengan etilendiamin (aminofilin) lebih disukai untuk sediaan parenteral
karena peningkatan kelarutannya.
• Efek samping: teofilin: mual dan muntah, baik pada penggunaan oral, rektal maupun
parenteral. Pada overdosis terjadi efek sentral (gelisah, sukar tidur, tremor, dan konvulsi).
• Teofilin mempunyai indeks terapi sempit dan berinteraksi dengan obat lain
14. Obat Berinteraksi dengan Efek
Teofilin
Asiklovir, simetidin,
kontrasepsi oral, antibiotik
makrolida, siprofloksasin,
zafirlukast, zileuton
Metabolisme teofilin
terhambat sehingga
kadarnya meningkat
Karbamazepin, rifampisin Menurunkan kadar teofilin
dalam darah
Antasida Absorpsi teofilin dihambat
Agonis β2 adrenergik Hipokalemia, kerja jantung
meningkat pada
penggunaan dosis tinggi
β1 bloker Antagonis dengan teofilin,
menghambat metabolisme
teofilin
15. B. KSRTIKOSTEROID
• Mekanisme kerja: memblok enzim fosfolipase-A2 sehingga pembentukan
mediator peradangan prostaglandin dan leukotrien dari asam arakhidonat
tidak terjadi. Selain itu, kortikosteroid menghambat mekanisme kegiatan
alergen melalui IgE dan menyebabkan degranulasi sel mast, dan
meningkatkan kepekaan reseptor β2 hingga efek β2-adrenergik diperkuat
memicu efek penurunan produksi mucus dan hipersekresi, mengurangi
hiperresponsivitas bronkus serta mencegah dan mengembalikan perbaikan
jalur napas.
• Indikasi : inflamasi, mengurangi gejala asma, terapi PPOK
16. Terdapat 2 jenis :
• Kortikosteroid oral / sistemik: hidrokortison, prednison,
deksametason, metil prednisolon direkomendasikan untuk
penanganan pasien dengan asma parah akut yang sepenuhnya tidak
merespon pada pemberian agonis β2 inhaler secara agresif (setiap 20
menit untuk tiga atau empat dosis). Kortikosteroid sistemik juga
direkomendasikan untuk penanganan episode asma akut yang tidak
dapat diobati dengan terapi bronkodilator.
• Kortikosteroid inhalasi : beklometason dipropionat, triamsinolon
asetonid, flutikason, budesonide terapi kontrol jangka panjang
paling efektif untuk asma persisten.
• Efek samping : penurunan sistem imun, moonface, osteoporosis
17. Obat Berinteraksi dengan Efek
Kortikosteroid
Glisirizin, makrolida Peningkatan kadar
kortikosteroid
Aminoglutemid, antasid,
barbiturat, ketokonazol,
kontrasepsi oral
Penurunan kadar
kortikosteroid
NSAID Meningkatkan perdarahan
GI & ulcer
Antidiabetes Efek antidiabetes berkurang
Antikoagulan Efek antikoagulan
berkurang
18. C. Penstabil sel mast (Kromolin dan Nedokromil)
• Kromolin natrium dan nedokromil natrium mempunyai efek-efek menguntungkan yang diyakini
merupakan hasil stabilisasi membran sel mast. Kedua obat tersebut menginhibisi respon terhadap
paparan alergen dan bronkospasmus yang diinduksi latihan, tetapi tidak menyebabkan
bronkodilatasi.
• Mekanisme kerja: memblok saluran kalsium dalam sel mast.
• Agen-agen ini hanya efektif jika dihirup (inhaler) dan tersedia sebagai obat inhalasi dois terukur;
kromolin juga tersedia dalam larutan nebulizer.
• Kedua obat ini tidak toksik.
• Kromolin dan nedokromil diindikasikan untuk profilaksis asma persisten ringan pada anak-anak dan
dewasa tanpa melihat etiologinya. Needokromil dapat menurunkan dosis steroid inhaler pada
beberapa pasien.
• Kromolin merupakan obat pilihan kedua untuk pencegahan brokospasma yang diinduksi latihan
fisik dan dapat digunakan bersama agonis β2 dalam kasus yang lebih parah.
• Efek samping: iritasi, batuk, dan mual
19. D. Antagonis reseptor leukotrien & inhibitor sintesis
leukotrien
• Mekanisme kerja: menghambat sintesis leukotrien dengan jalan blokade enzim
lipooksigenase atau berdasarkan penempatan reseptor leukotrien dengan leukotrien
C4/D4- blockers mengurangi proinflamasi (peningkatan permeabilitas
mikrovaskuler dan edema jalur udara) dan efek bronkokostriksi leukotrien D4.
• Contoh obat: Zafirlukast dan montelukast (antagonis reseptor leukotrien), dan
zileuton (inhibitor sintesis leukotrien).
• Indikasi: Pengobatan jangka panjang simptomatik asma ringan – sedang.
• Efek samping: Efek pada hati dan kulit, infeksi, efek GI
20. E. Antibodi monoklonal anti IgE
• Mekanisme kerja: mengikat IgE pada Fc sehingga tak dapat berikatan dengan reseptor IgE
pada sel mast dan basofil sehingga mencegah reaksi alergi.
• Contoh obat: Omazilumab (diberikan secara subkutan)
• Indikasi: pengobatan asma yang tidak dapat ditangani dengan baik oleh kortikosteroid
hirup dosis tinggi. Obat ini hanya diindikasikan untuk pasien atopik bergantung kortiko-
steroid yang memerlukan kortikosteroid oral atau mengkonsumsi kortikosteroid dosis
tinggi dengan berlanjutnya gejala dan kadar IgE tinggi. Dosis ditentukan berdasarkan IgE
serum total dasar (IU/mL) dan berat badan pasien (kg). Dosis berkisar antara 150 mg
hingga 375 mg diberikan secara subkutan dengan interval pemberian 1 atau 4 minggu.
• Digunakan juga untuk dewasa dan remaja lebih dari 12 tahun dengan alergi dan asma
persisten sedang hingga parah
• Efek samping: anafilaksis
21. F. Inhibitor Fosfodiesterase-4 (PDE-4)
• Mekanisme kerja serupa dengan Teofilin tidak disarankan untuk digunakan bersamaan
dengan Teofilin.
• Contoh obat: Roflumilast
• Indikasi : untuk mengurangi resiko eksaserbasi pada pasien dengan PPOK berat yang
terkait dengan bronkitis kronis dan riwayat dari eksaserbasi
• Digunakan juga untuk pasien yang tidak dapat dikendalikan dengan bronkodilator
inhalasi atau tidak toleran atau tidak dapat menggunakan bronkodilator inhalasi atau
kortikosteroid
• Dosisnya 500 mcg per oral sekali sehari, dengan atau tanpa makanan.
• Efek samping utama: penurunan berat badan dan efek neuropsikiatrik seperti pikiran
untuk bunuh diri, insomnia, kecemasan dan depresi
• Roflumilast dimetabolisme oleh CYP3A4 dan 1A2 interaksi dengan induktor atau
inhibitor enzim
23. Pendahuluan
• Rinitis adalah suatu peradangan pada membran mukosa hidung yang
dikarakterisasi dengan adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior
atau posterior, bersin-bersin, hidung tersumbat, dan/atau hidung gatal.
• Alergi adalah keadaan hipersensitivitas yg diinduksi oleh paparan
suatu antigen (alergen) tertentu yg menimbulkan reaksi imunologik
pada paparan berikutnya.
• Jadi, rinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa hidung yang
disebabkan oleh paparan materi alergenik yang terhirup kemudian
mengawali respon imunologik spesifik, diperantarai oleh IgE.
24. A. Antihistamin
• Mekanisme kerja: Antagonis reseptor histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa
mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin. Antihistamin lebih efektif
dalam mencegah respons histamin daripada melawannya.
• Antihistamin paling banyak digunakan untuk mengobati bersin dan rinore (gejala rinitis
alergi yang disebabkan oleh pelepasan histamin)
• Antihistamin oral dapat dibagi menjadi 2 kategori utama : nonselektif (generasi pertama atau
antihistamin sedasi: CTM, difenhidramin, prometazin, ketotifen) dan selektif perifer
(generasi kedua atau antihistamin nonsedasi: Loratadin, terfenadin, astemizol, cetirizin).
• Perbedaan gejala sebagian disebabkan oleh sifat antikolinergik, yang bertanggung jawab
pada efek pengeringan yang mengurangi hipersekresi kelenjar hidung, saliva, dan air mata.
Antihistamin mengantagonis permeabilitas kapiler, pembentukan bengkak dan rasa panas
serta gatal.
25. • Mengantuk adalah efek samping yg paling sering dan dapat menganggu
kemampuan mengemudi atau aktivitas kerja. Efek sedatif bisa menguntungkan pada
pasien yang sulit tidur karena gejala rhinitis.
• Walaupun efek antikolinergik berperan dalam efikasi, efek samping seperti mulut
kering, kesulitan mengeluarkan urin, konstipasi, dan efek kardiovaskular potensial
dapat terjadi.
• Antihistamin harus diberikan dengan hati-hati pada pasien yang berkecenderungan
retensi urin dan pada mereka yang mengalami peningkatan tekanan intraocular,
hipertiroidisme, dan penyakit kardiovaskular.
• Antihistamin biasa dikombinasikan dengan agonis α-adrenergik (dekongestan)
untuk mengatasi hidung tersumbat
26. B. Agonis α-adrenergik (dekongestan)
• Dekongestan topikal dan sistemik merupakan zat simpatomimetik yang bekerja pada
reseptor α-adrenergik pada mukosa hidung menyebabkan vasokontriksi (menyempitkan
arteriol yang berdilatasi pada mukosa hidung), menciutkan mukosa yang membengkak,
dan memperbaiki ventilasi.
• Contoh dekongestan topikal : oksimetazolin
• Penggunaan lama sediaan topikal (lebih dari 3-5 hari) dapat mengakibatkan rinitis
medicamentosa, yang merupakan vasodilatasi balikan yang terkait dengan kongesti.
Pasien dengan kondisi ini menggunakan semprotan lebih sering dengan respon yang lebih
kecil. Penghentian mendadak merupakan cara penanganan yang efektif, tapi kongesti
balikan dapat berlangsung selama beberapa hari atau minggu.
• Efek samping lain dekongestan topikal termasuk rasa terbakar, bersin, dan kekeringan
mukosa hidung.
27. • Produk dekongestan topikal seharusnya digunakan bila betul-betul perlu dan dengan dosis
yang sekecil mungkin. Durasi terapi harus dibatasi 3 - 5 hari.
• Contoh dekongestan oral: Pseudoefedrin, fenilefrin, efedrin, fenilpropanolamin (PPA)
• Pseudoefedrin merupakan dekongestan oral yg memiliki onset kerja lebih lambat
dibandingkan dengan obat topikal tapi dapat bekerja lebih lama dan kurang menyebabkan
iritasi lokal, serta rhinitis medicamentosa tidak terjadi dengan pemberian dekongestan oral.
• Pseudoefedrin adalah dekongestan sistemik yang paling aman dosis sampai 180 mg tidak
menyebabkan perubahan tekanan darah dan laju jantung yang terukur. Akan tetapi, dosis
yang lebih tinggi (210 - 240 mg) dapat meningkatan tekanan darah dan laju jantung.
Dekongestan sistemik harus dihindari pada pasien hipertensif kecuali kalau benar-benar
diperlukan. Reaksi hipertensif parah dapat terjadi jika pseudoefedrin diberikan bersamaan
dengan inhibitor monoamin oksidase. Pseudoefedrin dapat menyebabkan stimulasi ringan
sistem saraf pusat, bahkan pada dosis terapetik.
• Penggunaan kombinasi produk oral yg mengandung suatu dekongestan dan antihistamin
adalah rasional karena mekanisme kerjanya berbeda.
28. Kortikosteroid nasal
• Kortikosteroid intranasal secara efektif meredakan bersin, rinorea, ruam dan kongesti nasal
dengan efek samping yang minimal. Obat ini mereduksi inflamasi dengan menghambat
pembebasan mediator, penekanan kemotaksis neutrofil, menyebabkan vasokonstriksi, dan
menghambat reaksi lambat yang diperantarai oleh sel mast.
• Zat ini merupakan pilihan yang baik untuk rinitis perennial dan juga dapat digunakan
pada rinitis musiman, terutama jika diberikan sebelum terjadi gejala. Rekomendasi steroid
nasal sebagai terapi awal dari pada antihistamin karena tingkat keefektifan tinggi ketika
digunakan secara benar disertai penghindaran alergen.
• Contoh obat: beklometason dipropionat, beklometason monohidrat, budesonid, flutikason,
flunisolid, mometason furoat, dan triamsinolon asetonid
29. D. Penstabil sel mast (kromolin)
• Zat ini mencegah degranulasi sel mast yang dipicu oleh antigen dan
pelepasan mediator termasuk histamin.
• Efek samping yang paling umum terjadi adalah iritasi lokal (bersin
dan hidung perih).
• Penstabil sel mast, tersedia sebagai obat bebas dalam bentuk
semprotan hidung untuk mencegah gejala dan penanganan
terhadap rinitis alergi.
30. E. Antikolinergik
• Obat semprot hidung ipatrium bromida merupakan zat
antikolinergik yang berguna dalam rinitis alergi
perennial.
• Memiliki sifat antisekretorik ketika diberikan secara
lokal dan meredakan gejala rinorea yang berkaitan
dengan alergi dan bentuk lain rinitis kronis.
31. Montelukast
• Adalah antagonis reseptor leukotrien untuk rhinitis musiman.
• Montelukast dapat diberikan tunggal maupun dikombinasi dengan
antihistamin.
• Montelukast tidak lebih efektif daripada antihistamin dan kurang
efektif daripada kortikosteroid intranasal. Oleh karena itu,
montelukast dijadikan terapi lini ketiga.
32. Obat batuk
a. Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk melindungi
paru-paru agar jalan napas tetap bersih dari benda asing.
b. Batuk dalam bahasa latin disebut tussis, yaitu refleks yang dapat terjadi
secara tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk
membantu membersihkan saluran pernapasan dari lendir besar, iritasi,
partikel asing dan mikroba.
33. A. Antitusif
• Mekanisme kerja: menekan pusat batuk di susunan saraf pusat,
sehingga tidak ada refleks batuk dan batuk berhenti.
• Digunakan untuk batuk kering/tidak berdahak
• Contoh obat: Kodein, noskapin, dekstrometorfan
34. B. Ekspektoran
• Mekanisme kerja: merangsang pengeluaran dahak dari saluran pernapasan
(ekspektorasi) dengan cara merangsang selaput lendir lambung dan
selanjutnya secara refleks memicu pengeluaran lendir saluran napas
sehingga menurunkan tingkat kekentalan dan mempermudah pengeluaran
dahak.
• Ekpektoran juga merangsang terjadinya batuk untuk mempermudah
pengeluaran dahak.
• Digunakan untuk batuk berdahak
• Contoh obat: gliseril guaiakolat/guaifenesin, amonium klorida, succus
liquiriteae
35. C.Mukolitik
• Mekanisme kerja: memecah ikatan kimia mukoprotein dan
mukopolisakarida pada dahak sehingga dahak menjadi lebih encer
dan tidak lengket mempermudah pengeluaran dahak dari
saluran napas
• Digunakan untuk batuk berdahak
• Contoh obat: Bromheksin dan metabolitnya (ambroxol), asetilsistein,
karbosistein