Menurut Rene David, perbandingan hukum merupakan ilmu yg setua dg ilmu hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan baru pada abad-abad terakhir ini.
Demikian pula Adolf F. Schnitser mengemukakan, bahwa baru pada abad ke-19 perbandingan hukum itu berkembang sebagai cabang khusus dari ilmu Hukum
Pengertian dan Obyek Kajian Hukum Tata Negara Tri Andari Dahlan, SH.MKnFenti Anita Sari
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi dari pada negara. Organisasi negara mencakup bagaimana kedudukan organisasi dalam negara, hubungan, hak dan kewajiban serta tugas-tugasnya masing-masing.
Pengertian yang dibuat oleh Scholten ini mengandung kelemahan karena tidak mencakup ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia serta ketentuan mengenai Kewarganegaraanya.
Mencoba analisis mengenai salah satu hukum pertambangan dimana ini merupakan tugas saya untuk mata kuliah HAN, Hukum Administrasi Negara di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI
Menurut Rene David, perbandingan hukum merupakan ilmu yg setua dg ilmu hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan baru pada abad-abad terakhir ini.
Demikian pula Adolf F. Schnitser mengemukakan, bahwa baru pada abad ke-19 perbandingan hukum itu berkembang sebagai cabang khusus dari ilmu Hukum
Pengertian dan Obyek Kajian Hukum Tata Negara Tri Andari Dahlan, SH.MKnFenti Anita Sari
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi dari pada negara. Organisasi negara mencakup bagaimana kedudukan organisasi dalam negara, hubungan, hak dan kewajiban serta tugas-tugasnya masing-masing.
Pengertian yang dibuat oleh Scholten ini mengandung kelemahan karena tidak mencakup ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia serta ketentuan mengenai Kewarganegaraanya.
Mencoba analisis mengenai salah satu hukum pertambangan dimana ini merupakan tugas saya untuk mata kuliah HAN, Hukum Administrasi Negara di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI
Mengawali gagasan perubahan UUD 1945 sebagai bagian dari aspirasi masyarakat, dilatarbelakangi oleh suatu keniscayaan bahwa konstitusi dalam sebuah negara selalu mengalami ketidaksempurnaan, jika dihubungkan dengan dinamika perkembangan zaman dan bahkan dengan konstitusi yang dianggap sangat sempurna sekalipun, bukanlah jaminan sebagai kesempurnaan pada saat diimplementasikan
Pada prinsipnya, UUD 1945 yang telah diubah sejak Perubahan Pertama pada Tahun1999 sampai ke Perubahan Keempat pada Tahun 2002, hingga melebihi 3 kali materi dari naskah aslinya yang hanya mengatur 71 butir yang kini menjadi 199 butir ketentuan.
Mengawali gagasan perubahan UUD 1945 sebagai bagian dari aspirasi masyarakat, dilatarbelakangi oleh suatu keniscayaan bahwa konstitusi dalam sebuah negara selalu mengalami ketidaksempurnaan, jika dihubungkan dengan dinamika perkembangan zaman dan bahkan dengan konstitusi yang dianggap sangat sempurna sekalipun, bukanlah jaminan sebagai kesempurnaan pada saat diimplementasikan
Pada prinsipnya, UUD 1945 yang telah diubah sejak Perubahan Pertama pada Tahun1999 sampai ke Perubahan Keempat pada Tahun 2002, hingga melebihi 3 kali materi dari naskah aslinya yang hanya mengatur 71 butir yang kini menjadi 199 butir ketentuan.
1. BAB I
PENDAHULUAN
Jakarta, 6 Maret 2003 MPR sekarang harus sesuai dengan ketentuan perubahan UUD 1945
Kedudukan, tugas, dan wewenang MPR hasil Pemilu 1999 harus sesuai dengan ketentuan
Perubahan UUD 1945, sehingga Peraturan Tata Tertib MPR harus diubah dan disesuaikan
dengan kedudukan, tugas, dan wewenang MPR menurut Perubahan UUD 1945.
Demikian pendapat pakar hukum tata negara A. Mukhtie Fajar dalam Rapat Dengar Pendapat
Umum (RDPU) dengan Panitia Ad Hoc (PAH) II Badan Pekerja (BP) MPR di Gedung
Nusantara IV MPR/DPR dalam rangka Penyesuaian Perubahan Tata Tertib MPR terhadap
UUD 1945, Kamis (6/3) siang.
Rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua PAH II Rambe Kamarulzaman itu menghadirkan
dua pakar hukum tata negara yaitu A. Mukhtie Fajar dan Himawan Estu Bagijo. Kepada
Anggota PAH II, Mukhtie mengungkapkan, karena MPR baru menurut Perubahan UUD
1945 belum terbentuk, maka MPR yang sekarang (MPR hasil Pemilu 1999) menurut Pasal II
Aturan Peralihan Perubahan UUD 1945 masih berfungsi, dengan catatan sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan UUD. Mukhtie menjelaskan, berarti MPR sekarang hanya berfungsi
untuk melaksanakan tugas dan wewenang MPR sesuai dengan ketentuan Perubahan UUD
1945, bukan tugas dan wewenang MPR sebelum Perubahan UUD 1945.
Oleh karena itu, dengan sendirinya MPR harus mengubah Peraturan Tata Tertib
persidangannya dan disesuaikan dengan kedudukan, tugas dan wewenang MPR menurut
Perubahan UU1945, meskipun berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, Tata Tertib
MPR yang ada (Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 dengan perubahan yang terakhir melalui
Ketetapan MPR No. V/MPR/2002) masih tetap berlaku sepanjang belum diadakan yang baru.
Selain itu, Mukhtie berpendapat, keharusan MPR untuk menyesuaikan Peraturan Tata Tertib
persidangannya juga telah diamanatkan oleh Pasal 3 Ketetapan MPR No. III/MPR/2002
tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2003 yang berbunyi:
menugaskan kepada Badan Pekerja MPR RI untuk menyesuaikan Peraturan Tata Tertib MPR
RI dengan UUD 1945.
Dengan demikian, perubahan Peraturan Tata Tertib MPR adalah sangat relevan dan bahkan
merupakan suatu keharusan, karena Peraturan Tata Tertib yang ada sudah tidak sesuai lagi
dengan kedudukan, tugas, dan wewenang MPR menurut UUD 1945 yang telah mengalami
perubahan,
Perubahan yang bersifat menyeluruh terhadap Peraturan Tata Tertib MPR, menurut Mukhtie,
diperlukan untuk MPR hasil Pemilu 2004 yang disesuaikan dengan ketentuan Perubahan
UUD 1945 dan Undang-Undang organik tentang MPR (Undang-Undang Susduk MPR, DPR,
2. DPD, dan DPRD). Tentang Sidang Tahunan MPR Tahun 2003 dan kemungkinan
persidangan lainnya sebelum terbentuknya MPR hasil Pemilu 2004, Mukhtie mengingatkan,
perlu diantisipasi adanya Sidang Istimewa MPR karena penerapan Pasal 7B ayat (6) dan (7)
mengenai peranan Mahkamah Konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Agung.
MPR Tetap Lembaga Negara Tertinggi Berbeda dengan pendapat A. Mukhtie Fajar bahwa
kedudukan MPR harus disesuaikan dengan Perubahan UUD 1945 dan bukan lagi merupakan
lembaga tertinggi Negara.
3. BAB II
PEMBAHASAN
Dalam UUD 1945, tidak dirinci secara tegas bagai mana pembentukan awal Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Penelusuran sejarah mengenai cikal-bakal twerbentuknya
majelis menjadi sangat penting dilakukan untuk memahami konteksnya dalam UUD 1945.
Demikian juga halnya dengan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara.
Walaupun demikian masih ada satu ketentuan yang sekurang-kurangnya masih dapat
dijadikan pegangan atau petunjuk. Hal ini terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi : “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota dewan perwakilan
rakyat (DPR) ditambah dengan utusan-utusan atau ditetapkan dengan undang-undang”.
Dengan mengadakan tafsiran yang luas maka ketentuan diatas mengandung arti pula, bahwa
MPR akan diatur lebih lahjut dengan undang-undang.
Dari uraian tersebut penting bagi kita untuk mengetahui pembentukan MPR. Kita perlu
meninjau lebih dahulu cara pengisiannya, untuk mengetahui cara perngisiannya untuk itu kita
perlu mengetahui susunannya. Susunan MPR diatur dalam Undang-Undang No.2/1985
tentang perubahan atas Undang-Undang No.16/1969 tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD.
MPR Sebelum Amandemen UUD 1945
Setruktur , fungsi, wewenang, dan keanggotaan MPR sebelum amandemen UUD 1945.
Uraian tersebut terutama difokuskan pada pembahasan tentang keanggotaan, susunan dan
kedudukan, serta wewenang MPR RI sesuai UUD 1945
1. Keanggotaan MPR RI
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.2/1985, dikatakan bahwa jumlah anggota MPR dua kali
lipat jumlah anggota DPR, yaitu anggota DPR 500 orang dan anggota MPR 1000 orang
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang diatas, MPR terdiri atas anggota DPR ditambah
dengan Utusan Daerah, Utusan Organisasi Kekuatan Sosial Politik peserta pemilu, dan
Golongan Karya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Serta Utusan golongan-golongan
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
Dalam pasal 2 Undang-Undang No.16/1969 setelah dirubah terakhir dengan Undang-Undang
No.2/1985 ditentukan syarat-syarat menjadi Utusan Daerah sebagai berikut :
a. Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun serta bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
b. Dapat berbahasa Indonesia dan cakap menulis dan membaca huruf latin.
c. Setia kepada Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Dasar Negara dan Ideologi
Nasional.
d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI dan anggota terlarang lainnya.
4. e. Tidak sedang dicabut hak pilihnya.
f. Tidak terganggu jiwanya.
Keanggotaan MPR terdiri atas :
1. Hasil pemilu 7 juli 1999 (UU No.4/1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR,
dan DPRD) :
a. Anggota DPR sebanyak 500 orang terdiri atas :
· Pemilihan parpol beserta pemilu sebanyak 462 orang
· Pengangkatan TNI/Polri 38 orang
b. Anggota tambahan terdiri atas :
· Utusan Daerah sebanyak 135 orang
· Utusan golongan sebanyak 65 orang
2. Hasil pemilu 5 april 2004 (pasal 2 (1) UUD 1945) :
a. DRP sebanyak 550 orang
b. DPD sebanyak 1/3 X 550 orang = 183 orang
2. Susunan dan Kedudukan MPR RI
Adapun susunan MPR diatur dalam Undang-Undang No.16/1969 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Menurut pasal 1 ayat (1) undang-undang diatas Majelis
ini terdiri atas anggota DPR ditambah utusan dari Daerah, Golongan Politik dan Golongan
Karya.
Mengenai utusan daerah perlu disoroti khusus masalah Gubernur/Kepala Daerah yang harus
dipilih sebagai utusan daerah. Menurut pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No.16/1969 utusan
daerah termaksud Gurbernur/Kepala Daerah dipilih oleh DPRD Tingkat I. Namun muncul
pertanyaa tentang dipilihnya Gubernur sebagai utusan daerah untuk menjadi anggota MPR .
Menurut pendapat Prof. DR. Sri Soemantri, SH, hal itu tidak sesuai dengan arti yang
terdapatdalam perkataan “memilih” atau “dipilih”.
Dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.16/1969setelah diubah dengan Undang-Undang
No.2/1985 ditentukan, bahwa jumlah anggota tambahan MPR yang berkedudukan sebagai
utusan daerah sekurang-kurangnya 4 orang dan sebanyak-banyaknya 8 orang untuk tiap-tiap
daerah tingkat I, dengan ketentuan :
a. Daerah Tingkat I yang berpenduduk kurang dari 1.000.000 orang mendapat 4 orang
utusan.
b. Daerah Tingkat I yang berpenduduk 1.000.000 orang sampai 5.000.000 orang mendapat
5 orang utusan.
c. Daerah Tingkat I yang berpenduduk 5.000.000 orang sampai 10.000.000 orang
mendapat 6 orang utusan.
d. Daerah Tingkat I yang berpenduduk 10.000.000 orang sampai 15.000.000 orang
mendapat 7 orang utusan.
5. e. Daerah Tingkat I yang berpenduduk 15.000.000 orang keatas mendapat 8 orang utusan.
3. Tugas dan Wewenang MPR RI
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Kedauatan yang ada ditangan rakyat dilakukan
sepeuhnya oleh MPR”. Artinya pelaksanaan kedauatan rakyat dinegara Republik Indonesia
berada dalam satu tangan atau badan. Tugas dan wewenang MPR diatur dalam UUD 1945
dan Ketetapan MPR No.1/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib MPR
Adapun Tugas MPR diatur dalam pasal 3 dan pasal 6 UUD 1945 serta pasal 3 Ketetapan
MPR No.1/MPR/1983, meliputi :
a. Menetapkan Undang-Undang Dasar.
UUD 1945 ditetapkan oleh suatu Lembaga Negara yang bernama Konstituante atau sidang
pembuat UUD 1945. Dalam pasal 186 konstitusi tersebut dikatakan bahwa Konstituante
bersama-sama dengan pemerintah secepatnya menetapkan Konstitusi Republik.
b. Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dengan jumlah yang cukup besar tidak
mungkin setiap hari menjalankan sidang. Akan tetapi dibawah majelis ini terdapat Lembaga-
Lembaga lain seperti Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPA, MA dan Badan Pemeriksa
Keuangan.Supaya lembaga ini tidak melakukan tindakan semaunya sendiri maka Majelis
menetapkan bermacam-macam pedoman yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh lembaga
tersebut. Disamping UUD 1945 pedoman tersebut dituangkan pula dalam GBHN.
c. Memilih (mengangkat) Presiden dan Wakil Presiden.
Hal ini diatur dalam pasal 6 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak”. Ketentuan ini kemudian dilengkapi dengan
Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia.
Adapun wewenang MPR meliputi sembilan macam yaitu :
a. Mebuat putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh Lembaga Negara yang lain.
b. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan Majelis.
c. Menyelesaikan pemilihan dan mengangkat Presiden dan Wapres.
d. Meminta pertanggung jawaban dari Presiden mengenai GBHN.
e. Memberhentikan Presiden apabila melanggar UUD 1945/Haluan Negara.
f. Mengubah Undang-Undang Dasar.
g. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
h. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan anggota.
i. Mengambil keputusan terhadap anggota yang melanggar janji anggota.
6. MPR Pasca Amandemen UUD 1945
UUD 1945 hasil amandemen secara jelas menetapkan perubahan mengenai kewenangan dan
komposisi MPR. Dampak perubahan tersebut telah menyebabkan MPR kehilangan
kedudukan sebagai lembaga tertinggi Negara.
Perbedaan kewarganegaraan dan komposisi MPR pasca amandemen UUD 1945 sangat
sinifikan khususnya untuk pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Sebelum amandemen pasal ini
menyebutkan kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR.
Setelah diamandemen pasal telah diubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilakukan sepenuhny menurut Undang-Undang Dasar.
1. Keanggotaan MPR
UUD 1945 pasca amandemen menyatakan menyatakan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR
dan anggota DPD, yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang. Ketentuan ini mengimplikasikan pengaturan struktur MPR sangat stesifik
terutama karena tidak ada anggota MPR yang diangkat.
Dalam undang-undang No.22 tahun 2003 tentang Susduk, pasal 2 mempertegas ketentuan
UUD 1945 setelahperubahan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih
melalui pemilihan umum. Selanjutnya dalam pasal 3 UU susduk di jelaskan bahwa
keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Masa jabatan juga ditentukan
dalam pasal 4 UU No.22.
Ketentuan mengenai MPR didalam UUD 1945 maupun UU susduk menjelaskan beberapa hal
penting. Pertama, keanggotaan MPR merupakan anggota dari dua institusi yang berbeda dn
mandiri. Kedua institusi tersebut memiliki tugas, wewenang dan alat kelengkapan sendiri.
2. Tugas dan Wewenang MPR
Tugas dan wewenang MPR mengalami perubahan setelah perubahan UUD 1945. Sebelum
perubahan MPR merupakan lembaga tertinggi Negara. Kekuasaannya tidak terbatas, namun
setelah perubahan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara dan kewenangannya juga
terbatas.
Sesuai pasal 11 Undang-Undang No.22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR, DPD dan DPRD.
tugas dan wewenang MPR adalah :
a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
b. Melantik presiden dan wakil presiden dari hasil pemilu dan sidang paripurna MPR.
c. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
d. Melantik wakil presiden menjadi presiden apabila presiden berhenti.
e. Menetapkan Peraturan dan Kode Etik MPR.
f. Memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan.
7. 3. Alat- alat Kelengkapan MPR
Alat Kelengkapan Majelis meliputi :
a. Pimpinan Majelis
Pimpinan majelis merupakan satu kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif. Pimpinan
majelis yang terdiri atas seorang ketua dan tiga orang wakil ketua yang mencerminkan unsur
DPR dan DPD yang dipilih dari dan anggota majelis dalam rapat paripurna
Tata Cara Pemilihan Pimpinan Majelis
· Calon Pemimpin Majelis dipilih dari dan oleh anggota Majelis
· Calon Pemimpin Majelis berjumlah empat orang yang terdiri dari dua dari unsur DPR
dan dua dari DPD
· Empat orang yang mendapat suara terbanyak ditetapkan menjadi ketua dan yang tiga
menjadi wakil ketua
· Ketua dan Wakil Ketua Majelis diresmikan dengan Keputusan Majelis
Tugas Pimpinan Majelis
· Memimpin rapat-rapat Majelis
· Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja
· Menyiapkan rancangan sidang
· Menjadi juru bicara Majelis
· Menjaga ketertiban dalam rapat
Wewenang Pimpinan Majelis
· Anggota Pimpinan Majelis berwewenang bertindak atas nama Pimpinan Majelishanya
dalam hal yang bersifat protokoler
· Pimpinan Majelis tidak berwenang mengeluarkan statemen politik atas nama Majelis
dan jabatannya kecuali ditugaskan Majelis
b. Panitia Ad Hoc Majelis
Panitia Ad Hoc Majelis merupakan alat kelengkapan Majelis yang dibentuk oleh Majelis
untuk melaksanakan tugas tertentu yang diperlukan dalam sidang Majelis.
Panitia Ad Hoc Majelis terdiri atas Pimpinan Majelis dan sekurang-kurangnya 35 orang dan
sebanyak-banyaknya 70 orang yang susunannya mencerminkan secara proporsional unsur
DPR dan DPD.
c. Badan Kehormatan Majelis
Badan Kehormatan Majelis merupakan alat kelengkapan mMajelis yang dibentuk oleh
Majelis.
Tugas dan wewenang Badan Kehormatan Majelis
· Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran tata tertib Majelis dan kode etik
anggota Majelis
· Memanggil anggota yang bersangkutan untuk memberikan pemjelasan tentang
pelanggaran yang dilakukan
8. · Memanggil pelapor, saksi/ pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan dan bukti
lain
· Memutuskan pemberian sanksi sesuai dengan tata tertib Majelis dan kode etik anggota
Majelis
d. Alat Kelengkapan lain bila diperlukan
Apabila alat kelengkapan Majelis tidak dapat menampung pekerjaan yang ditugaskanoleh
Rapat Majelis, Pemimpin Majelis dengan disetujui anggota majelis dapat membentuk alat
kelengkapan baru untuk melaksanakan tugas sesuai hasil Rapat dan Putusan Majelis.
9. BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hak dan Kewajiban MPR
Hak MPR Pasca Amandemen UUD 1945
Hak MPR yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No.22 Tahun 2003 pasal 12 ayat (1)
adalah :
a. Mengajukan usul perubahan pasal undang-undang dasar
b. Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan putusan
c. Memilih dan dipilih
d. Membela diri
e. Imunitas
f. Protokoler
g. Keuangan dan administrative
Kewajiban MPR pasca amandemen UUD 1945
Kewajiban MPR berdasarkan UU No.22 tahun 2003 mencakup :
a. Mengamalkan pancasila
b. Melaksanakan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan
c. Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kerukunan nasional
d. Mendahulukan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi, kelompok dan
golongan
e. Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah
Sidang dan Keputusan MPR
UU No.22 Tahun 2003 pasal 14 ayat 1 sampai 4 mengatur tentang mekanisme persidangan
MPR sebagai berikut :
a. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu Kota Negara
b. Sidang MPR sah bila dihadiri :
· Sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota MPR untuk memutuskan usul DPR untuk
memberhentikan presiden dan wakil presiden
· Sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan
UUD 1945
· Sekurang-kurangnya 50% +1 dari jumlah anggota MPR untuk selain sidang-sidang
sebagaimana dimaksud diatas
c. Tata cara penyelenggaraan sidang sebagaimana diatur pada ayat 1, 2, dan3 dalam
peraturan tata tertipb MPR
10. Macam-macam Rapat MPR antara lain :
a. Rapat Paripurna (Rapat yang dihadiri oleh seluruh anggota MPR)
b. Rapat Pimpinan (Rapat yang dihadiri oleh seluruh pimpinan MPR)
c. Rapat Badan Pekerja
d. Rapat Komisi (Pembagian tugas)
e. Rapat Gabungan antara Pimpinan dengan Pimpinan Komisi
f. Rapat Panitia Ad Hoc
g. Rapat Fraksi (Kelompok Partai)
Putusan MPR
a. Putusan dimana dimaksud dalam pasal 14 ayat 2 dan 3 ditetapkan dengan persetujuan
sekurang-kurngnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir
b. Putusan bagaimana dimaksud pada pasal 2dan 3 ditetapkan dengan persetujuan 50% +
1 dari seluruh jumlah MPR
c. Putusan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat 2 dan 3 ditetapkan dengan suara
terbanyak
d. Sebelum mengambil keputusan dengan suara yang terbanyak sebagaimana dimaksud
pada ayat 3 terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah
untuk mencapai mufakat
Bentuk-bentuk Putusan MPR :
a. Perubahan Undang-Undang Dasar adalah putusan Majelis
· Mempunyai kekuatan hokum sebagai UUD
· Tidak menggunakan nomor putusan Majelis
b. Ketetapan MPR adalah putusan Majelis
· Berisi arah kebijakan penyelenggaraan Negara
· Mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam dan keluar Majelis
· Menggunakan nomor putusan Majelis
c. Keputusan MPR adalah putusan Majelis
· Berisi aturan/ketentuan intern Majelis
· Menggunakan nomor putusan Majelis
12. DAFTAR ISI:
BAB I PENDAHULUAN:
A. KATA PENGANTAR
B. LANDASAN BERPIKIR
C. RUMUSAN MASALAH
BAB II:
A. PEMBAHASAN
BAB III:
A. KESIMPULAN
B. SARAN-SARAN
C. KAJIAN PUSTAKA
13. KATA PENGANTAR
DENGAN MEMANJATKAN PUJI DAN SYUKUR KEPADA ALLAH SWT. Saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ PROSES PELAKSANAAN PEMILU DI
INDONESIA” dengan lancar.
makalah ini saya susun dalam rangka untuk memperdalam pengetahuan kita tentang
proses pelaksanaan pemilu di Indonesia. Selain itu makalah ini bertujuan untuk merangkum
proses pelaksanaan pemilu yang ada di Indonesia.
Semoga makalah ini dapat memberikan banyak pengetahuan bagi para pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan penyusun juga membutuhkan
kritik dan saran agar saya dapat memperbaikinya.
Terima kasih.
Penyusun: