2. Berkenalan dengan Laura Mulvey
• Laura Mulvey (1941) adalah seorang teoretikus film dan
feminis asal Inggris yang dikenal karena kontribusinya
dalam studi film dan teori feminis.
• Salah satu konsep yang terkenal dari karyanya adalah
"Male Gaze“ yang diajukan dalam esainya "Visual
Pleasure and Narrative Cinema" pada tahun 1975.
• Teori Male Gaze yang diajukan oleh Mulvey menyatakan
bahwa dalam sebagian besar film tradisional,
pandangan kamera dan narasi biasanya terpusat pada
karakter laki-laki, dengan perempuan menjadi objek
yang dipandang dan dieksplorasi secara seksual oleh
mata penonton pria.
3. Berkenalan dengan Laura Mulvey
• Ia mengkritik dominasi pandangan laki-laki dalam
produksi film dan menggambarkan perempuan dalam
film sebagai objek seksualisasi yang disajikan untuk
memenuhi fantasi laki-laki.
• Karya-karya Mulvey memberikan kontribusi penting
dalam memahami representasi perempuan dalam
media visual dan menyoroti ketidakseimbangan
kekuasaan gender dalam industri film. Ia terus aktif
dalam penelitian dan tulisan tentang teori film dan
feminisme.
4. Berkenalan dengan Laura Mulvey
• Laura Mulvey menggunakan teori psikoanalisis "sebagai
senjata politik" untuk mengungkap bagaimana
"ketidaksadaran masyarakat patriarki telah menyusun
bentuk film".
• Mulvey mengakui bahwa ahli teori film lain telah
menulis tentang psikoanalisis dan film tetapi
berpendapat bahwa mereka telah gagal untuk
membahas “pentingnya representasi bentuk
perempuan” dalam naratif sinema.
• Untuk mengeksplorasi bagaimana representasi ini
memberikan “kesenangan visual” sekaligus memperkuat
dominasi laki-laki, Mulvey menggunakan teori Sigmund
Freud dan Jacques Lacan.
5. Pengaruh Sigmund Freud dan Jacques Lacan
• Laura Mulvey mengidentifikasi model psikoanalisis
Freud dan konsep phallocentrism yang menempatkan
penis dan kejantanan sebagai pusat dominan dalam
psikologi manusia.
• Falosentrisme atau Phallocentrism secara etimologis
berasal dari kata phallus yang diambil dari istilah phallic
yang digunakan Freud dalam menyebut salah satu tahap
perkembangan psikis kanak-kanak selain tahap oral dan
anal.
• Dalam tahap ini Freud menjadikan penis sebagai pusat
pendefinisian seksualitas baik laki-laki maupun
perempuan. Anak laki-laki pada tahap ini mengalami apa
yang disebut Oedipus Complex di mana dia merasa
cemburu pada ayahnya yang dianggapnya merupakan
saingan dalam memiliki ibunya, di samping itu ada
ketakutan pada si anak akan kenyataan bahwa dia bisa
saja kehilangan penis yang dimilikinya, jika ayahnya
marah dan menghukumnya.
6. Pengaruh Sigmund Freud dan Jacques Lacan
• Keadaan ini dinamakan Castration Anxiety, karena dia
melihat tidak adanya penis pada anak perempuan. Anak
laki-laki berpikir bahwa anak perempuan telah
melakukan sesuatu yang membuat ayahnya
memindahkan atau menghilangkan penis yang dimiliki
oleh anak perempuan.
• Di lain pihak anak perempuan mengalami apa yang
disebut electra complex di mana anak perempuan ingin
memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya, karena dia
menganggap ibunya bertanggungjawab atas
keadaannya yang tak berpenis. Keadaan di mana anak
perempuan memiliki keinginan untuk memiliki penis ini
dikenal dengan penis-envy.
• Maka apa yang kemudian ada di dalam diri perempuan
adalah hasrat untuk mendapatkan subtitusi penis ini
dengan cara menikah dan mengandung.
7. Pengaruh Sigmund Freud dan Jacques Lacan
The Boys The Girls
Rivalitas dengan sang Ayah, Oedipus
Complex
Electra complex
Castration Anxiety, yang datang dari
figur Ayah
Penisless ada lack, dan sepanjang
hidup akan menghasrati hal tersebut
(penis) dan melakukan substitusi
dengan cara menikah dan mengandung
8. Pengaruh Sigmund Freud dan Jacques Lacan
• Berangkat dari pendapat Freud inilah Jacques Lacan
mulai mengelaborasi pendapatnya tentang falus. Lacan
mencoba melihat kedudukan falus bukan sebagai penis
secara biologis tetapi secara simbolik, falus sebagai
simbol maskulinitas. Menurut Lacan, perempuan bukan
cemburu karena pemilikan penis pada laki-laki
melainkan pemilikan falus yang disejajarkannya dengan
privilege yang dimiliki oleh laki-laki, keistimewaan dalam
kekuasaan (power) yang dimiliki laki-laki.
• Lacan melihat kedudukan falus dalam Symbolic Order
atau aturan simbolik (The Law of Father), sebagai
penanda istimewa, yang artinya bahwa pusat kuasa
pendefinisian ada pada mereka yang memiliki falus, dan
kepemilikan falus inilah yang menjadi parameter
penilaian
• Pemilikan falus oleh laki-laki, memberikan mereka kuasa
yang lebih atas perempuan.
9. Laura Mulvey mempertimbangkan bagaimana tiga perspektif digabungkan dalam
sinema untuk mempertahankan tatanan simbolik yang mengutamakan laki-laki. Ini
termasuk pada:
● Perspektif Kamera
Penyertaan awal, pengecualian, dan pembingkaian adegan, karakter, dan elemen
visual lainnya ke dalam film sebagaimana ditentukan oleh sutradara atau juru
kamera (peran yang dilakukan secara tidak proporsional oleh laki-laki dalam
industri film).
Menurut Mulvey, sudut pandang kamera dalam film-film mainstream biasanya
sejalan dengan pandangan heteroseksual penonton laki-laki, menciptakan
pengalaman visual yang memperkuat dinamika kekuasaan patriarki dan
objektifikasi perempuan.
The Male Gaze
10. Mulvey berargumen bahwa "male gaze" dibangun melalui berbagai teknik
sinematik, seperti penggunaan pemotretan dekat dan pengambilan gambar yang
memfokuskan pada bagian tubuh tertentu dari perempuan, serta penempatan
voyeuristik kamera. Melalui teknik-teknik ini, kamera mengarahkan perhatian
penonton pada tubuh perempuan sebagai sumber kenikmatan visual bagi
penonton laki-laki.
The Male Gaze
12. ● Perspektif Penonton:
Secara tradisional, penayangan sinema dilakukan di teater gelap yang
mendorong penonton untuk tidak berinteraksi satu sama lain agar tenggelam
dalam cerita dan mengambil perspektif kamera. Penonton dalam hal ini juga
digeneralisasi sebagai penikmat dari sudut pandang laki-laki.
Dalam perspektif penonton, teori male gaze mengatakan bahwa penonton
ditempatkan untuk mengidentifikasi diri dengan protagonis laki-laki atau
pengamat dalam narasi. Sudut kamera, framing, dan komposisi visual dirancang
secara hati-hati untuk mengarahkan perhatian penonton pada karakter
perempuan sebagai objek keinginan atau subjek pasif dari male gaze.
The Male Gaze
13. Dalam perspektif ini, penonton didorong untuk melihat perempuan melalui lensa
seksualitas dan objektifikasi, memperkuat peran gender tradisional dan dominasi
penonton laki-laki.
The Male Gaze
14. ● Perspektif Karakter:
Pengalaman karakter dalam film yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi,
mengumpulkan informasi, dan mendapatkan pemahaman yang kemudian
tersedia untuk penonton. Sangat sering, kamera meniru perspektif karakter
tertentu, secara efektif memungkinkan penonton untuk "melihat" melalui mata
mereka.
The Male Gaze
16. Scopophilia, Voyeurism, dan Fetishism
Menurut Mulvey, Male Gaze dicirikan oleh tiga komponen utama:
voyeurisme, fetisisme, dan scopophilia.
• Voyeurisme mengacu pada tindakan melihat, di mana penonton –
laki-laki mendapatkan kesenangan dari mengamati karakter
perempuan di layar.
• Fetisisme berkaitan dengan objektifikasi tubuh perempuan
sebagai objek hasrat seksual.
• Scopophilia melibatkan kesenangan yang berasal dari melihat
orang lain, menekankan hubungan kekuasaan dan kontrol pemirsa
laki-laki atas citra perempuan.
17. Kenapa?
● Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap munculnya male gaze dalam representasi visual.
Salah satunya adalah sejarah dominasi pria dalam budaya dan seni visual. Selama berabad-abad,
pandangan laki-laki telah mendominasi pembuatan karya seni dan media visual, sehingga pandangan
dan kepentingan mereka tercermin dalam cara wanita dipandang dan direpresentasikan.
● Selain itu, industri media dan hiburan sering kali menggunakan male gaze sebagai strategi pemasaran
untuk menarik penonton pria dengan menampilkan gambar-gambar yang menggoda dan seksualisasi
wanita. Hal ini dapat meningkatkan daya tarik produk atau karya seni tersebut, tetapi juga dapat
memperkuat stereotipe gender dan menciptakan ekspektasi yang tidak realistis terhadap penampilan
dan perilaku wanita.
18. Efek Male Gaze
● Objektifikasi Perempuan:
Male gaze memperkuat objektifikasi
perempuan dengan mengurangi mereka
menjadi objek visual saja. Hal ini
menekankan penampilan mereka, atribut
fisik sebagai daya tarik seksual, dan
mengabaikan kepribadian, pikiran, dan
pengalaman kompleks mereka.
● Ketimpangan Kekuasaan:
Male gaze memperpetuasi ketimpangan
kekuasaan dengan menempatkan pria
sebagai penonton aktif dan perempuan
sebagai objek pasif dari pandangan
tersebut. Hal ini memperkuat norma-
norma patriarki dan dominasi perspektif
laki-laki dalam membentuk narasi dan
representasi visual.
19. Efek Male Gaze
• Penguatan Stereotipe Gender:
Male gaze sering kali mengikuti stereotipe
gender tradisional dan memperkuat
harapan masyarakat terhadap feminitas.
Perempuan sering digambarkan sebagai
objek kecantikan, godaan, dan
ketergantungan, memperkuat representasi
terbatas dan sering kali merugikan tentang
peran gender.
• Dampak pada Citra Tubuh:
Male gaze dapat berkontribusi pada
pemeliharaan standar kecantikan yang
tidak realistis, menyebabkan ketidakpuasan
tubuh dan citra tubuh negatif pada
perempuan. Representasi media yang
sangat dipengaruhi oleh male gaze dapat
menciptakan tekanan untuk mematuhi
standar kecantikan yang sempit.
20. Any Other Gaze?
• Teori male gaze ini pun melahirkan diskursus lain tentang perempuan dalam film,
yakni female gaze. Berbeda dengan male gaze, female gaze memandang perempuan dari
sudut pandang perempuan itu sendiri, yang justru dapat mempertanyakan tatanan
patriarki. Hal ini pun membuat pandangan perempuan lebih beragam dan memiliki
kekhasannya tersendiri.
• Menurut Iris Bey dalam The Female Gaze : A Revolution On Screen, perempuan tidak lagi
digambarkan dengan cara vouyeurisme dan objektifikasi, melainkan sebuah subjek yang
bergerak, subjek yang exist, bukan objek semata.
• Female gaze memungkinkan kita berbagi pengalaman hidup dari sudut pandang perempuan
di layar. Female gaze bukan berarti tatapan yang dibuat oleh seniman perempuan,
melainkan pandangan yang mengambil sudut pandang karakter perempuan untuk
merangkul pengalamannya seperti physiological experience (breasts growing, periods,
orgasm, abortion, childbirth, etc) dan sociological experience (exclusion, domination, sexual
violence, etc).
21. Any Other Gaze?
• Female gaze juga didasarkan pada spirit untuk dapat membangkitkan emosi dan perasaan,
interaksi, dan suasana, alih-alih tindakan yang hanya berfokus pada seksualitas. Ini mencoba
menyeimbangkan laki-laki dan perempuan dan membuat mereka setara di semua bidang.
• Untuk membuatnya, pembuat film harus secara fisik mengubah bodi kamera serta cara
merekam gambar; mereka harus menemukan dan menemukan kembali bentuk film untuk
sedekat mungkin dengan pengalaman perempuan dan mencoba memosisikan penonton
sebagai khalayak aktif.
• Female gaze juga tidak sesederhana membalik role mengobjektifikasi laki-laki.
22. Any Other Gaze?
• Jadi, apakah female gaze ada? Tentu saja.
• Tapi tidak ada padanan langsung dari male gaze yang setara dengan female gaze. Karena
male gaze menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. Ini mendukung status quo patriarki,
melanggengkan objektifikasi seksual perempuan dalam kehidupan nyata.
• Karena alasan ini, female gaze tidak bisa dikatakan mirip dengan male gaze.