AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
Ketika gerakan mahasiswa di pasung
1. KETIKA GERAKAN MAHASISWA DI PASUNG
OLEH : FESDIAMON1
Diskursus tentang peran mahsiswa dalam konstelasi politik nasional memang tidak
pernah usang. Diskursus itu bukan semata-mata karena peranan mahasiswa selalu diingkupi dan
dipengaruhi oleh sistem yang berlaku dan berjalan saat itu. Namun yang lebih krusial lagi adalah
karena peran itu dimainkan dalam kondisi steril dari kepentingan dan memiliki bobot presure
yang besar ketimbang gerakan-gearakan lainnya.
Asusmsi ini bisa kita lihat dari pengalaman gerakan mahasiswa, yang mampu
menumbangkan rezim otoriter. Sebut saja gerakan mahasiswa tahun 1966 yang berhasil
meruntuhkan demokrasi terpimpin yang diterapkan Presiden Soekarno, kemudian gerakan
mahasiswa pada tahun 1998 yang berhasil menumbangkan orde baru yang selama tiga dasawarsa
menggurita dalam kehidupan politik di masyarakat.
Gerakan itu tidak terlepas dari kondisi politik ekonomi yang terjadi dan pergeseran
kekuatan politik pada waktu itu. Runtuhnya rezim Soekarno disebabkan oleh kondisi ekonomi
yang sangat buruk dan kondisi perpecahan kekuasaan politik terutama kepada militer. Begitu
juga keruntuhan orde baru tidak terlepas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan dan kemudian
merembet pada persoalan ketidak kepercayaan rakyat terhadap bangunan sistem negara secara
umum. Namun hal itu tidak berarti mengurangi signifikan gerakan kemahasiswaan. Tanpa ada
perlawanan dari gerakan ini, belum tentu sebuah rezim dapat diruntuhkan. Selain gerakan ini,
hampir tidak ada gerakan lain baik dari LSM, tokoh masyarakat atau kekuatan politik lain yang
mampu secara sinergis dan lantang serta berani melakukan perlawanan terhadap rezim.
Singkatnya, gerakan kemahasiswaan menjadi pioner dan penentu perubahan pemerintah.
Sekedar kilas balik, sistem politik represif dan korporatis, yang digunakan untuk
melanggengkan konstruk pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan (developmentalisme)
banyak mempengaruhi perilaku politik mahasiswa. Ini terjadi pada akhir tahun 1960-an sampai
pertengan 1980-an dan tahun 1980-an keatas, dimana peran mahsiswa sangat dibatasi. Gerakan
mahsiswa dikapling hanya dalam ruang lingkup kampus saja. Jawaban-jawaban politik kritis
yang dipresentasikan oleh kelompok ini dihadapkan pada tembok otoritarianisme.
Pada tahun-tahun tersebut gerakan politik moral yang selalu didengunkan, direspon
dengan tindakan sewenang-wenang dengan menjebloskan aktivis mahasiswa ke penjara tanpa
melalui proses hukum. Puncaknya pada tahun 1978 ; melalui SK Pangkopkamtib, nomor :
SKEP-02/KOKAM/I/1978. Pemerintah melakukan pembekuan kegiatan dewan-dewan
mahasiswa dihampir disemua kampus diseluruh Indonesia. Regimentasi itu diperkuat SK
Mendikbud No.0156f U/1978 Tentang Normalsasi Kegiatan Kampus (NKK) dan Badan
Koordinasi Kampus (BKK) yang berfungsi sebagai upaya mengkandangkan gerakan politik
mahasiswa kedalam kampus dengan instrumen pimpinan kampus (Rektor). Keputusan ini
berusaha menjinakkan mahasiswa dan menyingkirkan mahasiswa dari kehidupan politik dengan
cara mengebiri sistem perguruan tinggi dan aktivitas kemahasiswaan.
1
http://www.jambiekspres.co.id/berita-5196-ketika-gerakan-mahasiswa-di-pasung.html
2. Munculnya peraturan ini melemahkan perlawanan gerakan kemahasiswaan. Periode ini
menunjukan gerakan mahasiswa bersifat sporadis dan ditekan oleh kekuatan milter. Kebijakan
ini tidak hanya melanda gerakan intra kampus, tetapi juga melanda gerakan mahasiswa diekstra
kampus, khususnya organisasi-organisasi perkaderan yang ada pada waktu itu. Pemerintah
memutus hubungan antara intra dengan ekstra kampus, padahal organisasi ekstra ini merupakan
alternatif tempat berprosesnya aktivis kampus.
Implikasi dari konsep NKK/BKK itu; Pertama, menghilangkan ruang politik yang
bebas. Mahasiswa dimobilisir dan disibukaan oleh urusan akademik semata. Akibatnya
mahasiswa kehilangan semangat protektifnya dan apatis terhadap fenomena sosial disekitarnya.
Kedua, dengan dibatasinya gerakan intra dan ekstra, yang membuat lembaga-lembaga itu
stagnan, mahasiswa telah memiliki instrumen alternatif sebagai basis perjuangan.
Gerakan mahasiswa bukan hanya ditekan oleh negara dan militer sebagai
instrumennya, yang berakibat perguruan tinggi kehilangan kemandiriannya. Namun, mahasiswa
juga dituntut oleh arus moderanisasi yang mensyaratkan profesionalisme sumber daya manusia.
Akibatnya mahasiswa dan institusinya tetap berada dalam jaringan kekuasaan negara.
Upaya depolitisasi oleh pemerintah orde baru ternyata tidak berhasi mamatikan
gerakan kemahasiswaan secara umum. Jika dalam fase sebelumnya, gerakan mahasiswa
berlangsung tanpa perlawanan yang memadai, geliat diakhir 1980-an dan awal 1990-an mulai
terasa. Periode ini ditandai dengan model-model gerakan yang populis, dengan mengangkat isu-
isu dilintas struktur marginal.
Demonstrasi mahasiswa terjadi selama periode 1987-1990 menunjukan bahwa tidak kurang 155
kali mahasiswa turun kejalan memperjuangkan hak masyarakat yang tertindas. Yogyakarta,
Bandung dan Jakarta marak dengan aksi mahasiswa yang terutama mengangkat isu-isu
penggusuran tanah dan kekerasan militer.
Dekade 1990-an ditandai dengan peningkatan gerakan oposisi di Indonesia. Salah satu ciri utama
dari gerakangerakan opoisisi itu adalah munculnya kembali upaya sadar untuk menghindari
elitisme.
Sebelum tahun 1989, gerakan mahasiswa berbasis di universitas-universitas negeri di ibu kota
Jakarta dan Bandung. Namun sejak 1989, pusat-pusat gerakan mahasiswa telah menyebar
keberbagai kota di daerah. Mitra utama mereka kebanyakan dari petani dan buruh industri.
Kekerasan politik yang terus berlangsung di tahun 1990-an keatas telah melahirkan berbagai
komite dan solidaritas aksi. Fenomena ini merupakan indikator munculnya semangat perlawanan
mahasiswa terhadap negara.
Mahasiswa yang merupakan bagian kecil dari masyarakat kembali tampil sebagai katalisaor dan
pemicu proses perubahan itu. Dengan suara lantangnya, mahasiswa mampu mensugesti rakyat
yang telah lama terdiam. Menjamurnya aliansi-aliansi strategis ditingkat mahasiswa telah
menambah kekuatan presure nya. Anomali-anomali demokrasi selama ini, Dwi Fungsi ABRI,
Soeharto dan kroni-kroninya menjadi isu penting.
3. Klimaks tuntutan mahasiswa adalah turunnya turunnya Soeharto dan pembersihan orang-orang
orde baru yang dianggap biang kerok bangkrutnya negara ini. Hampir seluruh rakyat
mendukung, dan berdo’a agar kekuatan mahasiswa mampu melakukan perubahan. Dengan
dukungan penuh dari rakyat, mahasiswa akhirnya berhasil meruntuhkan rezim yang 32 tahun
berkuasa.
Perjuangan gemilang mahasiswa tidak lantas berhenti begitu saja. Runtuhnya rezim Soeharto,
naiknya Habibie sebagai presiden pemerintah transisi dan terpilihnya duet KH. Abdurrahman
Wahid-Megawati Soekarno Putri sebagai presiden dan wakil presiden masih menyisakan
segudang persoalan krusial. Penyelesaiain kasus dugaan korupsi presiden Soeharto dan krono-
kroninya, Dwi fungsi ABRI, penyelesaian gerakan-gerakan separatis didaerah seperti Aceh,
Indonesia bagian timur, Irian Jaya dan Ambon. Kemudian kasus-kasus korupsi diberbagai bank
seperti Bank Bali dan BRI adalah sederet kasus yang harus dituntaskan pada waktu itu.
Melihat berbagai fenomena gerakan mahasiswa diatas, dengan mata yang jelas dapat dikatakan
ketika gerakan mahasiswa dipasung ia akan semakin bergerak sebagai pahlawan dalam melawan
ketidak adilan. Mahasiswa senantiasa menjadi pelopor sebagai agen of change bagi sebuah
bangsa, masyarakat dan Negara.