1. Mahasiswa memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, terutama pada era 1910-1930 dan 1960-an sebagai penggagas ideologi nasionalisme dan agen perubahan sosial.
2. Mahasiswa didefinisikan sebagai elit intelektual yang memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
3. Peran mahasiswa antara lain memperdalam ilmu, menjadi jembatan antara teori dan praktik, serta memicu
1.
Terminologi Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi adalah sebuah institusi yang tidak sekedar untuk kuliah, mencatat pelajaran, pulang
dan tidur. Tapi harus dipahami bahwa perguruan tinggi adalah tempat untuk penggemblengan mahasiswa
dalam melakukan kontempelasi dan penggambaran intelektual agar mempunyai idealisme dan komitmen
perjuangan sekaligus tuntutan perubahan.
Penggagasan terhadap terminologi perguruan tinggi tidak akan bisa dilepaskan bisa dilepaskan dari
suplemen utama, yaitu mahasiswa. Stigma yang muncul dalam diskursus perguruan tinggi selama ini
cenderung berpusat pada kehidupan mahasiswa. Hal ini sebagai konsekuensi logis agresitivitas mereka dalam
merespon gejala sosial ketimbang kelompok lain dari sebuah sistem civitas akademika.
Akan tetapi fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa derap modernisasi di Indonesia dengan
pembangunan sebagai ideologinya telah memenjarakan mahasiswa dalam sekat institusionalisasi,
transpolitisasi dan depolitisasi dalam kampus. Keberhasilan upaya dengan dukungan penerapan konsep
NKK/BKK itu, pada sisi lain mahasiswa dikungkung dunia isolasi hingga tercerabut dari realitas sosial yang
melingkupinya. Akibatnya, mahasiswa mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran
kemasyrakatan yang semestinya diambil. Mahasiswapun tidak lagi memiliki kesadaran kritis dan bahkan
sebaliknya bersikap apolitis.
Melihat realitas seperti itu maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritis mahassiwa dalam merespon
gejala sosial yang dihadapinya, karena di samping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa lebih
relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu
mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis mayarakat baik dalam lingkup kecil maupun secara luas.
Dengan tataran ideal seperti itu, semestinya mahasiswa dapat mengambil peran kemasyrakatan yang lebih
bermakna bagi kehidupan kampus dan mayarakat.
Potret peran Mahasiswa dalam pentas sejarah Indonesia
Peran dan posisi mahasiswa dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan
diskursus yang menarik sepanjang dinamika kehidupan mahasiswa. Hampir menjadi kenyataan yang lazim
bahwa gerakan mahasiswa terutama di dunia ketiga memainkan peran yang sangat aktif pada posisi sentral di
dalam perubahan sosial-politik, dan hampir tak satupun penguasa di negara-negara berkembang yang
mengabaikan posisi sosial dan pentingnya representasi politik serta dampak aspirasi dari golongan muda
berpendidikan tinggi ini. Sehingga para pemerhati sosial tidak mengabaikan fungsi mereka dalam sistem
sosial politik baik di negeri maju maupun berkembang, termasuk di Indonesia.
Dalam arti yang luas, ideologi berisi tatanan nilai yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
pedoman untuk menjalankan kehidupan bersama dalam rangka meraih harapan-harapan mereka. Tatanan nilai
tersebut berasal dari tradisi atau adat-istiadat dan dapat pula bersumber dari ajaran agama.
Untuk memahami perkembangan kehidupan ideologi mahasiswa, yang harus diperhatikan adalah arus
perubahan dan pergeseran fokus peranan mahasiswa dari tahapan proses yang satu kepada proses lainnya.
Perubahan intensitas aktifitas ideologi mahasiswa dipergunakan sebagai petunjuk untuk memahami
pergeseran fokus peranan tersebut. Banyak predikat yang disandang mahasiswa kaitannya dengan ideologi
yang diperjuangkan, horison mahasiswa yang menempatkan pada posisi strategis inilah yang mungkin
menjadikan fungsinya sebagai Agent Of Social Change dan Man Of Analysis, menjadi jargon yang
dimitoskan.
Disampaikan: pada diskusi Komisariat PMII STIT-NU Cianjur (08-12-2012)
2. Dalam kurun waktu sejarah gerakan mahasiswa yang strategi dan menonjol dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pertama, terjadi pada kurun waktu 1910-an sampai dengan 1930, kedua pada era
1960-an.
Peran ideologi mahasiswa tahun 1910-an sampai dengan 1930-an terfokus pada peran penggagas,
yaitu menysun, menafsirkan serta memulasikan pemikiran tentang segenap aspek kehidupan bermasyarakat
yang berasal dari masyarakat asing dan masyarakat sendiri menjadi ideologi yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan masyarakatnya sendiri. Mahasiswa dari generasi Soetomo 1910-an dan generasi Soekarno-Hatta
1920-an, adalah pemikir-pemikir yang meletakkan dasar ideologi nasiolnalisme bagi bangsa Indonesia di
kemudian hari. Nasionalisme merupakan fokus dari keseluruhan ideologi yang digagaskan oleh mahasiswa
1910-1930-an.
Pada tahun 1940-an gerakan mahasiswa mengalami pergeseran peran, peran penggagas tidak lagi
menonjol. Gerakannya lebih terfokus pada sebagai pendukung dan penerap dari ideologi yang sudah ada.
Dekade 1950-an dunia mahasiswa kembali disegani, sekalipun kemandirian dan peran sebagai penggagas
semakin menipis. Hal ini di latarbelakangi oleh dominannya peran politik profesional didalam kehidupan
politik. Politisi sipil yang dominan saat itu berasal dari tokoh politik yang mengalami sosialisasi politik tahin
1910, 1930-an di kampus dalam dan luar negeri (Eropa). Pada era ini kampus sebagai lembaga lembaga
pendidikan tinggi terbelenggu pengaruh politisi dari partai politik sebagai kekuatan dominan. Akibatnya,
kampus dan mahasiswa mengikuti pola persaingan antar partai dan terpecah berdasarkan politik aliran.
Perjalanan Indonesia era 1910-an sampai 1950-an, menempatkan kekuatan sipil yang berasal dari
kaum intelektual (mahasiswa) sebagai sumber kepemimpinan bangsa yang dominan. Akan tetapi sejak yahun
1960-an kekuatan militer muncul sebagai suatu sumber kepemimpinan bangsa yang dominan. Fungsi parpol
bersama ormas pengikutnya sebagai sumber kepemimpinan merosot bersama penurunan peran politiknya.
Namun yang perlu dicatat dalam sejarah gerakan mahasiswa, pada era 1960-an peran ideologi mahasiswa
meningkat tajam. Gerakan idiologi masa ini, melahirkan angkatan 1966. Dekade 1960-an dengan angkatan
1966-nya telah membentuk identitas sosial mahasiswa sebagai sebuah kekuatan sosial politik. Persepsi dan
konsepsi tentang peran sosial ini, terbentuk dan menguat sejalan dengan tegaknya hegemoni pemerintahan
orde baru.
Di satu sisi lahirlah Orde Baru seiring dengan kehendak gerakan mahasiswa, sehingga gerakannya
mendapat dukungan kekuatan-kekuatan establishment (ABRI). Disisi lain arus perubahan menuju
terbentuknya keuatan orde baru sebenarnya berangkat dari keinginan militer dan teknorat untuk lebih
memerankan diri dalam konstalasi kehidupan bangsa dan negara setelah melihat kebobrokan dan kegagalan
kekuatan sipil pada pemerintahan demokrasi terpimpin. Keinginan militer ini diwujudkan dalam Doktrin Dwi
Fungsi ABRI diaman ABRI disamping sebagai kekuatan HANKAM juga memiliki peran sosial politik.
Lakon yang dimainkan mahasiswa angkatan 66 berada dalam panggung sejarah yang romantis, di
dalamnya terjadi aliansi segitiga yang harmonis antara militer, teknokrat, dan mahasiswa. Ketiganya
merupakan bagian lapisan elit intelegensia yang bakal mengobarkan gagasan modernisasi. Dengan kata lain
disamping militer teknokrat, mahasiswa juga dipercaya sebagai agen modernisasi atau pembangunan.
Dekade 1970-an aliansi ini pecah akibat berubahnya orientasi dan strategi pemerintahan orde baru.
Cita-cita awal gerakan orde baru sudah tidak sesuai dengan idealisme dan ideologi mahasiswa. Akibatnya,
hampir sepanjang era 1970-an terjadi protes, kritik, petisi, selebaran dan lobi yang diarahkan kepada
pemerintahan orde baru. Gerakan ini bermuara pada persoalan demokrasi, peran militer, dan pembangunan
ekonomi. Akibatnya gerakan mahasiswa semakin berhadapan dengan kekuatan represif, yang mengutamakan
stabilitas nasional dalam upaya menjaga kelangsungan pembangunan nasional. Pada gilirannya gerakan
Disampaikan: pada diskusi Komisariat PMII STIT-NU Cianjur (08-12-2012)
3. mahasiswa mengalami kemerosotan yang sangat tajam, yang belum pernah terjadi dalam gerakan mahasiswa
di Indonesia. depolitisasi dan deparpolisasi, melalui penerapan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan
BKK (Badan Koordinasi Kampus) menjadi senjata pamungkas hegemoni Orba terhadap kehidupan
mahasiswa. Lalu kepada mahasiswa yang melanggar NKK/BKK diberikan sanksi akademik yang berat, mulai
dari skorsing sementara atau terbatasnya sampai kepada pemecatan bahkan dipenjarakan.
Dekade 1980-an adalah masa-masa mandul peran mahasiswa dalam kancah sosial-politik karena
perannya dipersempit dalam peran profesional saja. Dalam masa-masa ini terjadi proses-proses penggugatan
dan penyadaran terhadap peran sosial-politik mahasiswa. Upaya ini tampak berbuah ketika pada era 1990-an
angin perubahan di dalam diri mahasiswa mulai berhembus, yang berujung pada munculnya generasi
reformasi pada tahun 1990-an akhir ini.
Mahasiswa adalah sebuah komunitas intelektual. Ciri utama seorang intelektual adalah kapasitasnya
untuk berpikir merdeka. Ia selalu mempertanyakan segala sesuatu: mengapa ini harus begini, mengapa itu
harus begitu. Realitas tidak diterima sebagai apa adanya, tapi juga dipersoalkan bagaimana seharusnya.
Seorang intelektual adalah sekelompok orang yang merasa terpanggil memperbaiki masyarakatnya,
menangkap aspirasi mereka, dan merumuskannya dalam bahasa yang bisa dipahami mereka, juga
menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah.
Siapa Mahasiswa ?
Kata Mahasiswa dibentuk dari dua kata dasar yaitu “maha” dan “siswa”. Maha berarti besar atau
agung, sedangkan siswa berarti orang yang sedang belajar. Kombinasi dua kata ini menunjuk pada suatu
kelebihan tertentu bagi penyandangnya. Di dalam PP No. 30 Tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa
mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu (Bab I ps.1 [6]),
yaitu lembaga pendidikan yang bertujuan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan akademik dan / atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau
menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian. (Bab II ps. 1 [1]). Dengan demikian, mahasiswa
adalah anggota dari suatu masyarakat tertentu yang merupakan “elit” intelektual dengan tanggung-jawab
terhadap ilmu dan masyarakat yang melekat pada dirinya, sesuai dengan “tridarma” lembaga tempat ia
bernaung
Mahasiswa adalah anggota masyarakat yang berada pada tataran elit karena kelebihan yang
dimilikinya, yang dengan demikian mempunyai kekhasan fungsi, peran dan tanggung-jawab.
Dari identitas dirinya tersebut, mahasiswa sekaligus mempunyai tanggung jawab intelektual,
tanggung jawab sosial, dan tanggungjawab moral
Bagaimana bentuk peran mahasiswa?
• Peran dalam Memperdalam dan mengembangkan diri di dalam pembidangan keilmuan yang ditekuninya
sehingga dapat memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab intelektualnya
• Merupakan jembatan antara dunia teoritis dan dunia empiris dalam arti pemetaan dan pemecahan masalah-
masalah kehidupan sesuai dengan bidangnya.
• Merupakan dinamisator perubahan masyarakat menuju perkembangan yang lebih baik. (agen perubahan).
• Sekaligus merupakan kontrol terhadap perubahan sosial yang sedang dan akan berlangsung.
Simbol kemahasiswaan yang melekat pada dirinya akan membawa ciri khas tersendiri untuk tampil di
tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena dalam diri mahasiswa akan dilekatkan berbagai stigma.
Mahasiswa yang kehidupan sehari-harinya diplorkan pada lingkungan kampus perguruan tinggi bukan
semata-mata membawa amanah dan misi individualis, akan tetapi lebih dari itu mahasiswa menjadi tumpuan
Disampaikan: pada diskusi Komisariat PMII STIT-NU Cianjur (08-12-2012)
4. harapan berjuta-juta orang diluar dirinya. Hal inilah yang menempatkan mahasiswa dalam kerangka Piramida
Maslow dalam posisi yang ideal dimana mahasiswa tersebut menjadi penjembatan atas aspirasi dari kaum
akar rumput (masyarakat bawah) dengan penentu kebijakan yaitu kaum elitis. Oleh karena itu, jelas bahwa
keberadaan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi mengemban tanggung jawab sosial dari masyarakat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seperti apa tanggungjawab yang harus diemban oleh mahasiswa?
Posisi seorang mahasiswa seperti dalam Piramida Maslow yang telah saya kemukakan di atas sangat
strategis untuk dimanfaatkan, dimana mahasiswa mempunyai peluang untuk menjadi salah satu control power
terhadap kebijakan-kebijakan kaum elitis dalam memberikan respon terhadap aspirasi masyarakat awam.
Sangat dipahami bahwa terkadang kebijakan elitis yang lahir tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Terhadap fenomena ini, mahasiwa harus muncul sebagai penjembatan dan berfungsi sebagai social control
(Kontrol sosial), Agent Of Change (Insan Pembaharu/perubahan), dan Change Of Development. Perlu diingat
bahwa tanggungjawab sosial mahasiswa dalam mengontrol berbagai kebijakan elitis bukan hanya pada aspek
politis, akan tetapi lebih dari itu mahasiswa harus mampu mengakomodir dan memberikan respon secara
general terhadap keseluruhan peraturan dalam berbagai aspek kehidupan.
Akan tetapi, sebenarnya selama ini ada kekeliruan mahasiswa dalam menafsirkan peran dan
fungsinya yang mengaspirasi kepentingannya selalu dalam bentuk demonstrasi dan terkesan anarkis.
Melakukan gerakan dalam rangka pembaharuan dan perubahan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat adalah sesuatu yang sah, akan tetapi satu hal yang perlu diingat oleh mahasiswa adalah bahwa
dalam menyampaikan aspirasi harus senantiasa berdasarkan pada azas logika, etika dan estetika.
Secara keseluruhan, tidak semua mahasiswa bisa mengemban tanggungjawab sosial seperti yang
telah dikemukakan di atas. Penyebabnya adalah karena karakteristik dari setiap mahasiswa itu berbeda-beda.
Dalam kategorisasi karakter mahasiswa, sekurang-kurangnya terdapat tiga jenis mahasiswa, antara lain;
1. Mahasiswa Passifis, adalah bentuk mahasiswa yang tidak mau peduli terhadap orang lain, cenderung cuek dan
apatis,
2. Mahasiswa Akademis, adalah mahasiswa yang menggunakan parameter keberhasilan dengan angka dan nilai
(IPK) yang tinggi, selesai kuliah dengan cepat, sehingga waktunya dihabiskan untuk kuliah secara monoton
tanpa menimbulkan simpati dan empati dalam dirinya terhadap orang lain dan realitas eksternal mereka. Jenis
mahasiswa ini setelah menyelesaikan studinya sering disebut sebagai “sarjana karbitan” dan
3. Mahasiswa Aktifis, adalah mahasiswa yang kehadirannya dalam sebuah perguruan tinggi bukan semata-mata
menjadi pecundang-pecundang mata kuliah dengan akreditasi “cum laude” akan tetapi mereka mempunyai
kepedulian terhadap realitas eksternal mereka, tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai mahasiswa
(kuliah).
Dari ketiga karakter mahasiswa tersebut di atas, maka sudah sangat jelas bahwa mahasiswa yang akan
mampu memegang amanah menjalankan tanggungjawab sosial adalah mereka yang termasuk dalam
komunitas mahasiswa aktifis. Hal ini disebabkan karena adanya kesadaran mereka untuk memposisikan diri
bukan semata-mata sebagai seorang egaliter yang sangat egois terhadap status yang melekat pada dirinya
sebagai mahasiswa yang harus dilayani oleh orang tuanya dan masyarakat yang memberikan amanah kepada
mereka. Akan tetapi lebih dari itu seorang aktifis mampu memadukan antara kepentingan dirinya sebagai
aksentuasi dari amanah orang tuanya dengan realitas di luar dirinya.
Disampaikan: pada diskusi Komisariat PMII STIT-NU Cianjur (08-12-2012)