SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
1
PENERBITAN “SURAT IJO” DI ATAS HAK PENGELOLAAN
DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN
Andi Mulya1
Founder & Direktur LBH ASTRANAWA
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister hukum Universitas 17 Agustus Surabaya
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah negara
yang dikuasai Pemerintah Kota Surabaya dengan mengeluarkan Surat Izin Pemakaian Tanah
(noted: warga mengenalnya dengan “Surat Ijo”) yang diperuntukkan kepada pihak ketiga yakni
warga Surabaya adalah tidak tepat. Penelitian ini menggunakan yuridis empiris dan tidak
mengacu terhadap konseptual. Peneliti juga menemukan alas hak dari diterbitkannya Sertifikat
HPL atas nama Pemerintah Kota Surabaya yang bersumber dari ditetapkannya Surat Keputusan
(SK) Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 53/HPL/BPN/1997 atas nama
Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya yang penerapannya ternyata tidak sesuai
denga nisi dan maksud dari Surat keputusan tersebut. Dengan fakta-fakta itu, warga Surat Ijo
melakukan boikot dengan tidak membayar retribusi dan pajak yang telah ditentukan dalam
Peraturan Daerah. Beberapa gugatan yang dilayangkan warga mengalami kegagalan karena
dianggap oleh pengadilan sebagai pihak yang tidak mempunyai kepentingan. Warga pun
akhirnya menggugat BPN dan menemukan titik terang bahwa ada yang kurang pas dalam
penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dilakukan Kementerian Agraria atas HPL
yang dikelola oleh Pemkot Surabaya. Atas kesalahan yang disengaja atau tidak maka diperlukan
ketegasan dari pemerintah pusat khususnya kementerian agraria untuk mencabut Surat
Keputusan yang dikeluarkannya. Hal itu diperlukan dengan segera agar tidak menimbulkan
kerugian negara dan mengarah pada kejahatan luar biasa.
Kata Kunci : Surat Ijo, Tanah Negara, Keputusan Tata Usaha Negara
A. Pendahuluan
Tanggal 17 Agustus 1945 adalah tonggak kemerdekaan bangsa Indonesia lepas dari
penjajahan, namun ada dua arti penting bagi pembentukan hukum agraria nasional yakni
bebasnya bangsa ini dari tata hukum agraria penjajah dan negara mempunyai kesempatan
besar untuk membentuk hukum agraria sendiri. Namun pembentukan hukum agraria ini tidak
mudah karena setiap daerah mempunyai hukum adat sendiri dalam mengatur penguasaan
tanah. Sehingga diperlukan upaya untuk menerima hukum agrarian adat dan hukum agraria
produk kolonial yang sesuai dengan jalan pikiran bangsa ini untuk kemakmuran rakyat.
1
Lembaga Bantuan Hukum Astranawa, Gedung Museum NU, Jl Gayungsari Timur 35 Surabaya |
andisbypost@gmail.com | http : duta.co
2
Namun, hukum agrarian warisan colonial belanda pun juga banyak kekurangan dimana
hukum agrarian kolonial memiliki sifat dualisme dan tidak mempunyai kepastian hukum bagi
rakyat Indonesia.2
Dalam sistem hukum tanah nasional, semua tanah dan sumber daya alam dikuasai oleh
negara, maka dapat disimpulkan bahwa negara adalah subjek sedangkan tanah adalah objek.
Hubungan hukum antara subjek dan objek tersebut dikonsepsikan sebagai hak menguasai
negara.
Hubungan negara dan tanah dapat dibagi menjadi tiga entitas tentang tanah, Julius
Sitanggang mengutip pakar hukum agraria, Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa
berdasarkan konsepsi hubungan antara negara dan tanah menghasilkan tiga entitas tanah
yakni:3
1. Tanah Negara
2. Tanah Ulayat
3. Tanah hak
Terhadap ketiga entitas itu sendiri hingga saat ini belum terwujud dan masih banyak
terjadi polemik atau sengketa dibidang pertanahan baik antara negara dan orang atau badan
hukum dan antara negara dengan instansi pemerintahan.
Sebagian besar masyarakat menganggap tanah negara jelas milik negara tetapi
pengertian itu harus dimaknai bahwa negara dan tanah harus dilihat dari hubungan hukumnya
yakni hubungan hukum secara luas yakni bersifat publik maka pengertian milik adalah keliru
karena menurut sifatnya maka negara hanya menguasai atau mengatur tentant administrasi
pertanahan.
Pengertian dikuasai negara ini selalu disalah-artikan sehingga banyak instansi
pemerintahan baik di daerah dan BUMN pun membuat aturan yang bertentangan dengan
hukum tanah nasional. Salah satunya adalah pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3
Tahun 2016 pembaharuan dari Perda Nomor 1 tahun 1997 tentang izin pemakaian tanah (IPT)
yang mana aturan daerah itu mendasari dari perolehan Hak Penggelolaan atas tanah negara di
kota Surabaya.
Makin banyaknya dukungan dari masyrakat dan berbagai elemen masyrakat inilah, yang
pada akhirnya mengungkap kecacatan dalam produk Surat IPT terhadap HPL yang diterima
Pemkot Surabaya dari Kementerian Agraria pada tahun 1997 yakni SK HPL Nomor
53/HPL/BPN/1997 atas nama Pemerintah Kota Surabaya.4
Dalam SK HPL tersebut termuat dengan jelas bahwa Pemkot Surabaya mengajukan
permohonan pada tanggal 15 Agustus 1994 dan tanggal 11 Januari 1996 bermaksud untuk
memperoleh Hak Pengelolaan atas tanag Negara bekas Eigendom Verponding yang terdiri dari
15 bidang sebagaimana diuraikan dalam peta situasi tanggal 28 September 1995 Nomor
97/1995 sampai dengan Nomor 111/1995 dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
2
Prof Muchsin, Dr Imam Koeswahyono, Soimin SH, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Refika
Aditama, edisi revisi, (2019) hal. 49
3
Julius Sembiring, Pengertian, Pengaturan, dan Permasalahan Tanah Negara (Prenadamedia Group, Edisi Revisi,
2018) h. 1
4
Dokumen SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/1997 yang didapatkan LBH Astranawa dalam persidangan-persidangan di
Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya.
3
Propinsi Jawa Timur. Tanah yang dimohonkan sendiri adalah tanah yang dikuasai langsung oleh
negara.
Bahwa tanah yang dimaksud oleh pemohon yakni Pemkot Surabaya akan dipergunakan
untuk perumahan, perdagangan, perkantoran, industry, pergudangan, fasilitas komersial, dan
fasilitas social yang disewakan oleh pihak ketiga. Namun yang harus dicermati dalam SK HPL
Nomor 53/HPL/BPN/1997 itu adalah frasa tentang “kepada pihak ketiga yang memperoleh Hak
Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan ini diwajibkan untuk membayar uang pemasukan
kepada negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku”.
SK HPL Nomor 53 tersebut sangat jelas menyebutkan tentang pihak ketiga untuk sah
menempati atau meninggali tanah negara itu harus mempunyai dasar kepemilikan tentang
tanah yang diatur oleh hukum pertanahan nasional. Pihak ketiga adalah warga dan atau badan
hukum yang dianggap sah memperoleh HGB diatas HPL dan pemohon yang menerima HPL
terhadap penelitian ini adalah Pemerintah Kota Surabaya.
Melihat fakta tentang izin pemakaian tanah yang diterbitkan Pemkot Surabaya untuk
warga yang mendiami tanah Hak Pengelolaan diatas tanah negara juga menjadi salah satu
sebab karena tanah HPL tersebut sudah masuk dalam asset daerah yang mempunyai
pendapatan besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Penelitian ini memunculkan temuan kebaruan dimana Pemerintah Kota Surabaya
mendapatkan Hak Pengelolaan atas tanah keseluruhan seluas 3.117.110 m2 (tiga juta seratus
tujuh belas ribu seratus sepuluh meter persegi) dari SK HPL NOmor 53/HPL/BPN/1997 dan
pihak ketiga yang mendapatkan HGB diatas tanah HPL diwajibkan membayar uang pemasukan
kepada negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, Pemkot
Surabaya tidak melaksanakan apa yang diperintahkan dalam SK HPL tersebut dan malah
menerbitkan Surat IPT untuk menarik retribusi kepada pihak ketiga.
Perbandingan penelitian pertama menghasilkan tentang penggunaan tanah asset
Pemerintah Kota Surabaya oleh pihak ketiga dalam bentuk Izin Pemakaian tanah bertentangan
dengan ketentuan dalam Hukum Pertanahan Nasional.5
Urip Santoso memberikan
menganggap bahwa tanah asset yang dikuasai oleh Pemerintah Kota Surabaya hanyalah
berstatus Hak pakai dan hak pengelolaan dan hanya berhak mempergunakan dalam keperluan
tugasnya. Urip Santoso menyatakan Hak Pakai dan Hak Pengelolaan sifatnya hanyalah “right to
use” dan bukan “right of disposal”. Penelitian kedua berkutat pada diskresi yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah terhadap penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi terhadap kerugian
negara maupun masyarakat luas.6
Diskresi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan
seharusnya merujuk pada Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administarisi negara
yang mengatur tentang kewenangan, prosedur, dan subtansi dalam menerbitkan produk KTUN.
Tidak hanya itu, diskresi pun juga mengacu kepada asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Sedangkan Penelitian Ketiga adalah kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus penyalahgunaan wewenang pejabat tata usaha negara.7
5
Urip Santoso, Penggunaan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya oleh Pihak Ketiga dalam Bentuk Izin Pemakaian
Tanah (Perspektif Hukum Pertanahan), 10.30742/perspektif.v23i3.654, (2018)
6
Sabarudin Hulu, Pujiyono, Pertanggungjawaban Pidana atas Tindakan Diskresi Pejabat Pemerintahan yang
Berindikasi adanya Penyalahgunaan Wewenang, 10.14710/mmh.47.2.2018.167-174, Vol 42, (2018)
7
Firna Novi Anggoro, Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Terhadap Keputusan dan/atau Tindakan
Pejabat Pemerintahan oleh PTUN, 10.25041/fiatjustisia.v10no4.803, (2017)
4
Implikasi dari penyalahgunaan kewenangan itu sendiri adalah dinyatakan tidak sah dan
dibatalkannya keputusan tata usaha negara tersebut. Selain itu juga ada penekanan terhadap
unsur penyalahgunaan wewenang itu sendiri dapat berlanjut pada proses pidana.
Berdasarkan jumlah penelitian yang masih relevan temanya dengan penelitian ini maka
peneliti merumuskan satu rumusan masalah dengan diterbitkannya Surat IPT diatas HPL dan
bukan menerbitkan HGB maka Langkah hukum apa yang harus dilakukan oleh pihak ketiga bila
ditemukan tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha
negara.
B. Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif namun lebih berorientasi
kepada aspek praktis untuk menyelesaiakan permasalahan hukum tertentu yang dilakukan oleh
praktisi hukum.8
Hal itu penting dilakukan untuk mencari bagaimana dan dimana suatu
permasalahan hukum itu diatur dan menemukan solusi hukum atas temuan fakta dilapangan.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Perbedaan Persepsi Tanah Negara dan Tanah Pemerintah
Penguasaan tanah oleh negara bukanlah penguasaan tanah dalam arti fisik tetapi secara
konstitusional melahirkan kewenangan yang berkarakter publik dan dikenal dengan hak
menguasai negara. Kewenangan menguasai negara atas tanah dan sumber daya alam
khususnya agrarian tersebut kemudian di atribusikan kepada otoritas pemerintah ternteu
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Atas kewenangan publik tersebut, masing-masing pemerintahan yang ada dibawahnya
memberikan haka tau izin yang berkarakter perdata kepada perorangan atau badan hukum
tertentu. Hal itu dapat dimaksudkan dalam hukum administrasi negara dimana otoritas
pertanahan menerbitkan hak atas tanah.
Selain itu, ada penguasaan tanah negara oleh perorangan atau badan hukum perdata.
Disini ada perbedaan yang kentara tentang pengaturan dan proses penguasaan dari kedua
subjek hukum karena system hukum tanah kita belum memberikan pengaturan secara tegas
tentang hakikat penguasaan serta tahapan dari penguasaan hingga menjadi pemilikan.
Namun, penguasaan atas tanah adalah dasar atas terbitnya hak kepemilikan.
Penguasaan atas tanah itu sendiri dapat terjadi secara legal maupun illegal. Bila dikatakan legal
bila proses dalam mendapatkan penguasaan itu dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang
dibidang pertanahan dan sebaliknya bila dikatakan illegal karena tidak dikeluarkan oleh otoritas
yang berwenang.
Hukum adat sendiri juga mempunyai aturan tentang persekutuannya bila ingin
mendapatkan tanah dan itu dikenal dengan hak wenang pilih dimana bagi perseorangan
membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan, kemudian melakukan
pemberitahuan kepada kepala adat maka lahirlah hak terdahulu yang dimiliki oleh pihak yang
membuka lahan pertama kali.9
Baru setelah hak menikmati berlangsung terus menerus maka ia
8
Depri Liber Sonata, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti
Hukum, 10.25041/fiatjustisia.v8no1.283, (2014)
9
Julius Sembiring, Pengertian, Pengaturan, dan Permasalahan Tanah Negara, edisi revisi, Prenamedia Group,
2016, h.75
5
berubah menjadi hak pakai. Setelah itu, ada proses pewarisan apabila dikuasai cukup lama
kepada generasi berikutnya. Maka hak pakai itu bisa menjadi hak milik. Dengan demikian ha
katas tanah itu lahir setelah melalui proses bersinambungan dari hak agrarian.
Kembali kepada topik tentang status tanah pasca terbitnya hak atas tanah dapat
menjadi tanah negara karena berakhirnya jangka waktu ha katas tanah tersebut, atau ha katas
tanah tersebut diakhiri karena dibatalkan atau dilepaskan atau dicabut dengan undang-undang.
Terhadap persoalan ini, Julius Sembiring mengatakan bahwa persoalan ini terdapat
perbedaan pendapat dimana satu sisi berpendapat bekas pemegang hak tidak mempunyai hak
atas bekas HGB/HGU/HP dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai. Pada sisi lain, terdapat
pandangan bahwa bekas pemegang hak masih mempunyai hak pada bekas ha katas tanah
tersebut sebagaimana selama ini menjadi pegangan otoritas pertanahan. Orotirtas pertanahan
berpendapat bahwa meskipun ha katas tanah berakhir, namun masih terdapat hubungan
hukum antara bekas pemegang ha katas tanah dan tanahnya.
Selain itu, pengakuan terhadap penguasaan atas tanah negara terdapat dalam Undang-
undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha milim Negara dan undang-undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang pembendaharaan asset. Penguasaan BUMN atas tanah dikategorikan
sebagai “asset”. Oleh karenanya, penghapusan atau pemindatanganan asset memerlukan
mekanisme dan prosedur khusus yaitu izin pelepasan asset dari Meteri Negara BUMN.10
Mengenai perbedaan persepsi tanah negara dan tanah pemerintah harus dibedakan
antara apa yang disebut dengan tanah negara dan tanah pemerintah. Tanah negara bukanlah
tanah yang dilekati dengan sesuatu ha katas tanah, sementara tanah pemerintah adlah atanh
yang dikuasai oleh instansi pemerintah tertentu dan dapat diberikan dengan ha katas tanah
berupa hak pakai atau hak pengelolaan.11
Yang saat ini terjadi adalah kesalahan persepsi dimana tanah negara adalah tanah
pemerintah karena adanya kesulitan untuk membedakan antara negara dan pemerintah. Hal ini
dapat dipahami sebab negara merupakan pengertian abstrak sedangkan pemerintah adalah
sesuatu yang konkret. Akan tetapi yang perlu dipertegas adalah secara yuridis ada perbedaan
yang sangat nyata antara negara dan pemerintah. Negara adalah sebuah badan sedangkan
pemerintah adalah alat kelengkapan negara. Perbuatan negara sebagai badan hukum publik
dilakukan oleh pemerintah sebagai organ negara.
Terhadap multi tafsir dalam perbedaan tanah negara dan tanah pemerintah inilah yang
menimbulkan adanya konflik atau sengketa pertanahan. Salah satunya yang terjadi di kota
Surabaya dimana Pemerintah Kota Surabaya memaknai tanah negara dengan status hak
pengelolaan dijadikan sebuah asset daerah dengan kewenangan yang dimilikinya membuat
peraturan daerah tentang izin pemakaian tanah diperuntukkan bagi pihak ketiga yang
meninggali atau mendudukki tanah hak pengelolaan.
Berdasarkan wawancara peneliti dengan Ketua Gerakan Hapus Surat Ijo Surabaya
(GHSIS), Dr Taufik Imam Santoso, S.H.,M.Hum mengatakan bahwa tindakan Pemerintah Kota
Surabaya dalam menerbitkan Izin Pemakaian Tanah dan menarik retribusi warga yang
meninggali tanah negara puluhan tahun adalah tindakan yang salah. Hal itu dapat dibuktikan
10
Ibid, hal 100
11
Ibid.
6
dengan alas hak perolehan yang dimiliki Pemkot Surabaya berdasarkan Surat Keputusan
Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 53/HPL/BPN/1997 yang mana
dalam Diktum III (romawi tiga) dengan tegas menyebutkan bahwa bagi pihak ketiga yang akan
memperoleh Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan diwajibkan untuk membayar
uang kepada kas negara.
“Yang jadi pertanyaan, Pemkot mengeluarkan IPT kepada warga itu dasar hukumnya
darimana?, maka tindakan pemerintah bisa dikategorikan melanggar hukum”.12
Peneliti juga menemukan fakta baru di dalam persidangan yang digelar Pengadilan Tata
Usaha Negara dimana Budianto, warga Jalan Ngagel Wasana I, Kelurahan Baratajaya,
Kecamatan Gubeng Kota Surabaya selaku Penggugat dan Tergugat adalah Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Kota Surabaya II serta Pemerintah Kota Surabaya sebagai pihak Tergugat II
Intervensi dalam perkara Nomor 4/G/2020/PTUN.SBY dengan objek sengketa adalah Sertifikat
Hak Pengelolaan Nomor 2/Baratajaya.
Dalam agenda pembuktian dari Tergugat dalam persidangan ditemukan fakta bahwa
buku warkah pendaftaran tanah yang diajukan Pemerintah Kota Surabaya dinyatakan “hilang”.
Tidak hanya itu, Gambar Situasi dari Sertifikat HPL Nomor 2/Baratajaya pun juga tidak bisa
ditunjukkan oleh Tergugat yakni Kantor BPN Surabaya II. Hingga agenda kesimpulan dalam
persidangan perkara tersebut di PTUN ternyata BPN Surabaya II tidak berhasil menunjukkan
bukti Surat Gambar Situasi (GS) yang diminta oleh Majelis Hakim PTUN Surabaya.
Peneliti juga melakukan wawancara dengan salah satu warga pemegang “Surat Ijo”,
Budianto, warga Jalan Ngagel Wasono I, Kelurahan Baratajaya, Kecamatan Gubeng, Kota
Surabaya mengatakan13
bahwa pemberian Izin Pemakaian Tanah yang diperoleh dari Pemkot
Surabaya jelas menyalahi aturan karena setelah diketahui perolehan Sertifikat HPL Nomor
2/Baratajaya berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Agraria Nomor 53/HPL/BPN/1997 atas
nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya yang dictum-diktumnya sangat jelas,
untuk Pihak Ketiga yang memperoleh izin dari penerima Hak Pengelolaan harus diterbitkan
Sertifikat Hak Guna Bangunan.
“Warga Surat Ijo akan terus berjuang mencari keadilan untuk mencabut Surat
Keputusan Kementerian Agraria yang menerbitkan Sertifikat HPL atas nama Pemerintah Kota
Surabaya. sangat tidak masuk akal Pemerintah Surabaya menerbitkan Surat Izin Pemakaian
Tanah dan bukan HGB diatas HPL”.
Walikota Surabaya Tri rismaharini Ketika diwawancarai oleh SBO TV dan ditayangkan
pada 11 Februari 2019 mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan banyak upaya terkait
pelepasan surat ijo agar tidak memberatkan masyarakat namun upaya yang dilakukannya
belum membuahkan hasil sehingga proses untuk pelepasannya harus dilakukan sesuai dengan
aturan yang berlaku yakni sesuai nilai aprasial. “Warga dalam hal ini harus tetap membayar
sewa, hal ini berdasarkan aturan administrasi karena ada hubungan hukum dalam memakai
asset pemkot surabaya. lahan asset surat ijo sudah tercatat dalam asset pemerintahan kota
12
Wawancara dengan Ketua GHSIS Dr. Taufik Iman Santoso,SH.M.Hum., Polemik Hukum Surat Ijo yang Puluhan
Tahun Tidak Diberikan Kepastian Hukum, dilakukan tanggal 10 Mei 2020 dikantor LBH Astranawa Jalan Gayungsari
Timur 35 Surabaya
13
Wawancara dengan Budianto selaku Penggugat dalam perkara pembatalan Sertifikat HPL Nomor 2/Baratajaya di
Pengadilan Tata Usaha Negara, tanggal 2 April 2020.
7
sesuai Perda 16 tahun 2014. Kalua warga tidak mau membayar sewa maka konsekuensinya
maka harus rela bila asset itu ditarik oleh pemerintah kota Surabaya”.14
Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan Dr. Urip Santoso Pakar Hukum
Pertanahan Universitas Airlangga dikediamannya mengkritisi banyak prosedur dan subtansi
dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang tanah dianggap kurang pas, beliau
mengatakan bahwa didalam sertifikat tanah selalau dicantumkan tentang asal hak yakni
konversi, pemberian hak, pemecahan dan penggabungan. Tetapi yang dimaksud dengan hak
berupa konversi yaitu asal tanahnya adalah bekas tanah milik adat (yasan) dengan tanda bukti
berupa Petuk Pajak Bumi (Kutipan Register Leter C) dikonversi menjadi Hak Milik. Asal tanah
berupa konversi dapat juga terjadi atas bekas hak barat atas tanah berupa eigendom, opstal,
erfpacht dikonversi menjadi hak atas tanah yang ditetapkan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau disebut Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) sebelum tanggal 24 September 1980.
“Dasar hukum konversi bekas hak barat atas tanah adalah Pasal 55 ayat (1) dan Pasal I
Ketentuan Konversi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Yang dimaksud asal hak berupa
pemecahan adalah semula satu bidang tanah dipecah misalnya menjadi dua atau tiga bidang
tanah. Yang dimaksud asal hak berupa penggabungan adalah semula misalnya dua atau tiga
bidang tanah digabungkan menjadi satu bidang tanah”.15
Menurut Dr Urip Santoso, perolehan SHPL Nomor 2/Baratajaya seluas 231.598 M2
tanggal 2 September 1997 diterbitkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor : 53/HPL/BPN/97 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas
Nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. peraturan yang mendasarinya
diantaranya :
a. Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1986 tentang Badan Pertanahan Nasional;
b. Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Ttugas Pokok, Fungsi,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
14
Farid, akitivis surat ijo, penguasaan pemkot itu berasal dari tanah gemente, bedol desa, dan tanah-tanah yang
dibeli melalui anggaran APBD. Diluar itu bukan tanah pemkot. Penolakan warga mmbayar uang sewa atau retribusi
karena ada rekomnedasi dari DPRD untuk melakukan invetarisasi ulang, mana-mana tanahnya pemkot dan mana
yang bukan. Dalam rekomendasi itu meminta pemkot untuk tidak menarik retrisbui kepada masyarakat sebelum
selesai melakukan inventarisasi tanah-tanahnya. Hamper semua wilayah mulai perak barat hingga di daerah ngagel
memasang banner penolakan pembayaran retribusi dan hapus surat ijo. Yang kami sayangkan adalah kenapa yang
awalnya sebagai pemukiman berubah fungsi sebagai Kawasan komersial, sebenarnya permasalahan surat ijo ini
harusnya bisa duduk Bersama untuk mencari solusi yang terbaik. Seharusnya kita menjalankan program presiden
Jokowi yang menargetkan semua tanah-tanah di Indonesia bisa bersertifikasi. Kalua memang itu tanah pemkot
maka warga tidak keberatan untuk membayar sewa, tapi bila itu bukan tanah pemkot maka jangan dipaksa kita
untuk menyewa tanah itu, kita sudah melakukan berbagai upaya hukum hingga mahkamah konstitusi dan kita juga
pernah ditemui bu Risma diruang kerjanya. Ada beberapa poin yang saya catat yakni, kita harus berhati-hati dalam
mengambil keputusan karena saya tidak mau 10 tahun kedepan saya berhadapan dengan penegak hukum. Kita
ahrus selesaikan per wilayah dan bukan per persil, dan beliau yang terakhir mengatakan kepada kami bahwa
“sudah lah pak bu Namanya surat ijo itu akan saya lepas dan akan disaksikan di kanan kiri saya malaikat dan
omongan saya akan saya pertanggungjawabkan pada yang diatas. Kemudian muncul Perda Nomor 16 tahun 2014
tentang pelepasan asset. Pertanyaannya sebenernya mudah, apakah itu tanahnya pemkot atau tidak, kan
jawabannya mudah, http/youtube.com, sbotv diakses pada tanggal 11 Fbruari 2019
15
Tanya jawab dengan Dr Urip Santoso,SH.MH. tanggal 7 April 2020 tentang perolehan Sertifikat HPL Nomor
2/Baratajaya atas nama Pemerintah Kota Surabaya.
8
c. Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak
Pengelolaan;
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah;
e. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-ketentuan
Mengenai Tata Cara Pembeian Hak Atas Tanah.
Beberapa ketentuan yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1986, yaitu :
Pasal 1 menyatakan Badan Pertanahan Nasional dalam Keputusan Presiden ini selanjutnya
disebut Badan Pertanahan adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan
di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan Pertanahan dipimpin oleh seorang
Kepala.
Pasal 2 Badan Pertanahan bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria
maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi pengaturan, penggunaan,
penguasaan, dan pemilikan tanah, pengurusan hak-hak tanah, pengukuran, dan pendaftaran
tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan
yang ditetapkan Presiden.
Pasal 3, Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan
Pertanahan menyelenggarakan fungsi :
1. Merumuskan kebijaksanaan dan merencanakan penguasaan dan penggunaan tanah;
2. Merumuskan kebijaksanaan dan merencanakan pengaturan pemilikan tanah dengan
prinsi-prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Pokok Agraria;
3. Melaksanakan pengukuran dan pemetaan seta pendaftaran tanah dalam upaya
memberikan kepastian hak di bidang pertanahan;
4. Melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah dalam rangka memelihara tertib
administrasi di bidang pertanahan;
5. Melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan serta Pendidikan
dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan di bidang administrasi pertanahan;
Namun yang harus diingat dalam Kepres Nomor 26 tahun 1986 tidak mengatur dan
tidak memberikan kewenangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan
hak atas tanah termasuk Hak Pengelolaan.
Beberapa ketentuan yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1993,
mempunyai tujuan dalam mengkoordinasi perumusuan, perencanaan, dan koordinasi
pemetaan nasional, tetapi dalam kepres tersebut tidak mengatur dan tidak memberikan
kewenangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan hak atas tanah
termasuk Hak Pengelolaan.
Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 menyatakan bahwa
Menteri Dalam Negeri memberi keputusan mengenai permohonan pemberian,
perpanjangan/pembaharuan, menerima pelepasan, izin pemindahan serta pembatalan :
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai;
9
5. Hak Pengelolaan;
Izin membuka tanah atas tanah negara, yang wewenang tidak dilimpahkan kepada
Gubernur/Bupati/Walikota Kepala Daerah/Kepala Kecamatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 12
huruf e Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, berwenang memberi keputusan
mengenai permohonan pemberian Hak Pengelolaan.
Pasal 30 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan tesebut Bab I Pasal 1, Bab II Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6, Pasal
7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 berlaku mutatis mutandis terhadap penyelesaian
pemberian Hak Pengelolaan dan pendaftarannya menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1961.
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 menyatakan bahwa
mengenai permohonan yang wewenangnya untuk memutuskan ada pada Menteri Dalam
Negeri, maka Gubernur Kepala Daerah c.q. Kepala Direktorat Agraria Propinsi segera
menyampaikan berkas pemohonan yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri c.q
Direktur Jenderal Agraria, disertai dengan pertimbangannya yang disusun menurut contoh VIII
dengan tembusan pada Bupati/Walikota Kepala Daerah c.q. Kepala Direktorat Agraria yang
bersangkutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 juncto Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 5 Tahun 1973, pejabat yang berwenang memberikan Hak Pengelolaan adalah Menteri
Dalam Negeri.
Yang harus ditekankan disini adalah bahwa Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1986 dan
Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1993 tidak memberikan kewenangan kepada Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan Hak Pengelolaan.
Sedangkan dalam kedua peraturan perundang-undangan itu yakni Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973
memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk memberikan Hak Pengelolaan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 dinyatakan tidak berlaku oleh
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewnangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah Negara.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 dinyatakan tidak berlaku oleh
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Sehingga dalam peraturan tersebut Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
berwenang memberikan Hak Pengelolaan.
Mengenai permasalahan atau sengketa tanah Hak Pengelolaan di Surabaya khususnya
Hak Pengelolaan di wilayah Kecamatan Gubeng berdasarkan Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 53/HPL/BPN/97 tentang Pemberian Hak
Pengelolaan Atas Nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya yang memberikan
kewenangan kepada Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
untuk memberikan Hak Pengelolaan kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya
mempunyai cacat kewenangan, hal itu disebabkan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional tidak mempunyai kewenangan memberikan Hak Pengelolaan kepada
Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya seharusnya yang berwenang memberikan
10
Hak Pengelolaan kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya adalah Menteri
Dalam Negeri.
Tidak hanya itu, berdasarkan perolehannya bahwa Pemerintah Kota Surabaya juga
mengklaim terhadap tanah yang didapatkannya adalah dari Eigendom 1304 sisa atas nama
Gemeente Soerabaja. Hal itu terungkap dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 99
PK/TUN/2012 yang mana pemerintah kota Surabaya memakai dasar alasannya bahwa tanah
eigendom tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1958ntentang pengahpusan tanah-tanah partikelir dan penjelasan umum angka II.8 dan
penjelasan Pasal 1 undang-undang dimaksud bukanlah merupakan tanah pertikelir melainkan
tanah eigendom yang dimiliki oleh daerah Swatantra kota praja Surabaya. dengan demikian
kota praja Surabaya selaku pemilik atas tanah Eigendom tersebut sebagai badan kenegaraan
dan bukan gtuan tanah sehingga tanah eigendom yang dimilikinya bukan sebagai objek dari
penghapusan tanah-tanah partikelir.
Bahwa pemerintah kota Surabaya juga memakai dasar hukum Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang penguasaan tanah negara, “Kecuali jika penguasaan
atas tanah negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya
peraturan pemerintah ini, telah diserahkan kepada kementerian, jawatan atau daerah
Swatantra maka penguasaan atas tanah negara ada pada Menteri Dalam Negeri.
Namun dari dasar hukum yang dipakai Pemkot Surabaya dalam mendasari perolehan
hak pengelolaan berdasrkan SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/1997, Urip Santoso dalam pendapat
hukum dalam sesi wawancara dengan peneliti maka jelas perolehannya adalah dari Konversi,
sedangkan di SK HPL yang dimaksudkan diatas berdasarkan Permohonan hak.16
Yang harus diingat Kembali adalah bila ada sebidang tanah yang sejarahnya merupakan
tanah dengan bukti berupa eigendom verponding akan tetapi tanah itu tidak diajukan konversi
sampai dengan tanggal 24 September 1980, maka tanah tersebut menjadi hapus dan tanahnya
kembali menjadi tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Selanjutnya, untuk mendapatkan hak atas tanah yang berasal dari bekas hak barat atas
tanah dengan bukti berupa eigendom verponding yang tidak diajukan konversi sampai dengan
tanggal 24 September 1980 tidak melalui penegasan konversi melainkan melalui pemberian hak
atas tanah negara, yang perolehan hak atas tanahnya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 5 Tahun 1973 bila perolehan tanahnya terjadi sebelum tahun 1999 atau Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 kalau perolehan
tanahnya terjadi setelah tahun 1999.17
16
Dr Urip Santoso, Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953, Pasal 2 Peraturan Menteri
Agraria No. 9 Tahun 1965, dan Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966, daerah swatantra (baca
sekarang Pemerintah Daerah) mendapatkan Hak Pengelolaan melalui penegasan konversi atas tanah yang
berasal dari penguasaan atas tanah negara. Pendaftaran tanah Hak Pengelolaan atas tanah yang berasal dari
penguasaan atas tanah negara (tanah de gemeente) oleh daerah swatantra (baca sekarang Pemerintah Daerah)
melalui penegasan konversi ke Kantor Pendaftaran Tanah (sekarang Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota) bukan
melalui pemberian hak atas tanah negara, Legal opinion (pendapat hukum) perkara nomor 4/G/2020/PTUN.Sby,
7 april 2020
17
Tanya Jawab Dr. Urip Santoso, Op.cit
11
2. SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/1997 dan Sertifikat HPL sebagai Alas Hak Dikeluarkannya IPT
Ditinjau Dalam Aspek Hukum Administrasi Negara
Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan perkara Nomor
4/G/2020/PTUN.Sby dapat dilihat dengan bukti surat yang diajukan oleh Kantor BPN Surabaya II
dimana gambar situasi sebagai rujukan dari proses penerbitan Sertifikat Hak Pengelolaan
Nomor 2/Baratajaya Surabaya ternyata tidak dapat ditunjukkan. Tidak hanya itu saja, buku
warkah yang juga sebagai dasar penelitian dan kajian berdasarkan data yuridis dan data fisik
dalam permohonan pendaftaran tanah oleh Pemerintah Kota Surabaya diakui oleh Kantor BPN
Surabaya II juga tidak berdasarkan aslinya dengan alasan surat warkah aslinya hilang.
Ironis, sebagai otoritas pertanahan nasional, Kantor BPN tidak dapat melakukan
penyimpanan admisnitrasi pertanahan. Terkait tindakan pejabat atau badan tata usaha negara
seperti Kantor BPN Surabaya II ini jelas merugikan warga masyarakat atau badan hukum
perdata. Namun yang harus dipahami bahwa keputusan administrasi negara adalah suatu
keputusan tindakan pemerintah dalam rangka menjalankan peraturan perundang-undangan.18
Dalam penerbitan keputusan tata usaha negara itu sendiri sebenarnya adalah menjaga dan
melindungi warga negara, tetapi dalam keputusan tata usaha negara dianggap sah bila
memenuhi syarat formal dan materiil. Selain itu hukum administrasi negara juga memakai
prinsip praduga rechmatig yang berarti setiap keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan
oleh pemerintah dianggap sah menurut hukum.19
Perbuatan tata usaha negara dapat digolongkan menjadi tiga:20
mengeluarkan
keputusan (beschikiking), mengeluarkan peraturan (regeling), melakukan perbuatan materiil
(materiele daad). Selain itu, sebagai tolok ukurnya adalah Keputusan tata usaha negara
dianggap sempurna jika dilihat dari 3 unsur jika suatu penetapan yang dikeluarkan olehbadan
atau pejabat tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.21
Menurut A Soetami SH, keputusan tata usaha negara menurut sifatnya ada tiga yakni
konkret, individual, dan final. Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam keputusan
itu tidak abstrak tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Misalnya, keputusan
mengenai pengososngan rumah, izin usaha bagi seseorang atau bdan hukum perdata, atau
pemberhentian pegawai sebagai pegawai negeri sipil. Bersifat individual dimana keputusan tata
usaha negara itu tidak ditujukan ke umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju.
Kalua yang dituju itu lebih dari seseorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu
harus disebutkan, dan yang terakhir bersifat final artinya sudah definitive dan karenanya
menimbuljan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan dari instansi
atasan atau instansi lain belum bersifat final, karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak
atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.
18
Hasan, Perlindungan hukum warga negara terhadap tindakan pemerintah dalam membuat keputusan
administrasi negara, /ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/5012, 10.23887/jkh.v1i1.5012, (2015)
19
Ibid.
20
A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika aditama, edisi Revisi, (2001), h. 21
21
Ibid, h. 22
12
Selain itu, sebuah keputusan tata usaha negara apabila dianggap dikeluarkan tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan maupun asas umum pemerintahan yang baik
maka harus memenuhi syarat batal atau tidak sah nya suatu keputusan. Seperti yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yakni
memenuhi syarat cacat wewenang, procedural, maupun subtansi.
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 menyatakan bahwa keputusan
dan/atau tindakan dapat dibatalkan apabila :
a. terdapat kesalahan prosedur; atau
b. terdapat kesalahan substansi.
Sertipikat hak atas tanah sebagai keputusan Pemerintah atau tindakan Pemerintah
dapat dibatalkan apabila terdapat kesalahan prosedur.
Mengenai penerbitan sertipikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
melalui prosedur atau tahapan-tahapan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Apabila dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah terdapat prosedur
atau tahapan yang telah ditetapkan tidak dilakukan, maka penerbitan sertipikat hak atas tanah
tersebut terdapat cacat prosedur atau kesalahan prosedur. Misalnya, untuk pemberian hak atas
tanah negara disyaratkan bagi pemohon pemberian hak atas tanah negara yaitu pemohon
harus menguasai tanah secara fisik dan/atau yuridis atas tanah yang mau dimohon untuk
didaftar. Yang dimaksud menguasai tanah secara fisik yaitu pemohon menempati tanah yang
mau dimohon untuk didaftar. Yang dimaksud menguasai tanah secara yuridis yaitu pemohon
mempunyai dokumen tanah yang mau dimohon untuk didaftar berupa sertipikat hak atas tanah
atau Petuk Pajak Bumi (Kutipan Register Leter C) yang telah dilepaskan oleh pemiliknya.
Kalau penerbitan sertipikat hak atas tanah yang berasal dari tanah negara, yang
diberikan kepada orang atau badan hukum yang tidak menguasai tanah secara fisik dan/atau
yuridis, maka penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut terdapat cacat prosedur atau
kesalahan prosedur.
Terdapat kesalahan substansi, dimana data fisik dan data yuridis yang dimuat dalam
sertipikat hak atas tanah merupakan substansi keputusan Pemerintah atau tindakan
Pemerintah.
Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan
di atasnya (Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997).
Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang
membebaninya (Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997).
Kalau penerbitan sertipikat hak atas tanah yang seharusnya ditempuh melalui penegasan
konversi, akan tetapi ditempuh melalui pemberian hak, maka Kalau penerbitan sertipikat hak
atas tanah tersebut terdapat kesalahan substansi atau cacat substansi.
Sertipikat hak atas tanah sebagai keputusan Pemerintah atau tindakan Pemerintah juga
dapat dibatalkan atau dinyatakan batal atau tidak sah apabila terdapat cacat wewenang atau
kesalahan wewenang. Misalnya, instansi yang berwenang menerbitkan sertipikat hak atas
tanah adalah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota akan tetapi sertipikat hak atas tanah
diterbitkan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, maka sertipikat hak atas
tanah ini terdapat cacat wewenang atau kesalahan wewenang.
13
Pejabat yang berwenang menandatangani sertipikat hak atas tanah adalah Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, akan tetapi sertipikat hak atas tanah tersebut
ditandatangani oleh pejabat lain yang tidak diberikan pelimpahan kewenangan untuk
menandatangani sertipikat hak atas tanah, maka sertipikat hak atas tanah ini terdapat cacat
wewenang atau kesalahan wewenang. Penerbitan sertipikat hak atas tanah yang tanahnya
berasal dari negara, sebelum diterbitkan sertipikat hak atas tanah terlebih dahulu diterbitkan
Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) oleh pejabat yang berwenang memberikan hak atas
tanah negara.
Kalau dalam peraturan perundang-undangan ditetapkan bahwa pejabat yang
berwenang menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) adalah Menteri Dalam Negeri,
akan tetapi Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional RI, maka penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) tersebut terdapat cacat
wewenang atau kesalahan wewenang, yang berakibat sertipikat hak atas tanah tersebut
menjadi batal atau tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti.
Bila hal keputusan itu dibatalkan maka harus ditetapkan keputusan yang baru dengan
mendasarinya pada dasar hukum pembatalan dan berpedoman kepada asas umum
pemerintahan yang baik. Keputusan pembatalan itu sendiri bisa dilakukan oleh pejabat terkait
atau dengan putusan pengadilan.
Philipus M Hajon menguraikan konsep tentang penyalahgunaan wewenang dalam
hukum administrasi negara dimana penyalahgunaan wewenang dapat diukur dan dibuktikan
secara factual bahwa pejabat itu telah menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain.
Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah suatu kealpaan tetapi dilakukan secara sadar
yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan wewenang itu.22
Mengutip putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 dalam pertimbangannya
“menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukannya”. Ada tiga unsur utama penyalahgunaan wewenang diantaranya adalah Met
Opzet (dengan sengaja), mengalihkan tujuan wewenang, dan ada interest pribadi yang
negative.23
Terkait peraturan perundang-undangan yang mengatur asas umum pemerintahan yang
baik dalam menyelesaikan permasalahan tentang keputusan tata usaha negara terhadap
seseorang atau badan hukum perdata yang dirugikan diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang admistrasi pemerintahan. Dalam pasal itu sendiri, menurut
Philipus M Hajon menambahkan bahwa kita mengenal asas umum pemerintahan yang baik
karena pengaruh belanda. 24
1. Dalam hukum belanda dikenal dengan de algemene beginselsen van behoorlijk bestuur
dengan berbagai ciri:
a. tidak tertulis (ongeschreven),
b. rechtsbeginsen (asas hukum) berkaitan dengan rechmatigheidsnormen sehingga
pelanggaran terhadapnya merupakan onrechtmatig
22
Philipus M Hajon, Peradilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan, 10.25216/jhp.4.1.2015.51-64, (2015)
23
Ibid.
24
Ibid.
14
c. Algemene beginselsen memuat karakter azas (beginsel) dan sifatnya umum.
2. Asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum kita
Dalam hukum Indonesia, asas umum pemerintahan yang baik dapat dilihat dalam Pasal
53 ayat (2) Undang-Undangn Nomor 9 tahun 2004. Dalam penjelasan pasal tersebut
dirinci 6 asas yang dikutip dari Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hal itu dikutip juga dalam buku pedoman teknis administrasi dan teknis peradilan tata
usaha negara buku ke II (edisi 2007) halaman 62. Mengacu pada doktrin putusan-putusan
Mahkamah Agung maka asas umum pemerintahan yang baik meliputi:25
a. Asas persamaan;
b. Asas kepercayaan;
c. Asas kepastian hukum;
d. Asas kecermatan
e. Asas pemberian alasan;
f. Larangan penyalahgunaan wewenang;
g. Larangan bertindak sewenang-wenang.
Dari asas umum pemerintahan yang baik dan dijadikan rujukan badan atau pejabat tata
usaha negara sebenarnya sangat mudah untuk diimplementasikan dalam era keterbukaan
informasi publik. Masyarakat pun juga diberikan akses seluas-luasnya dalam memperoleh
informasi publik itu sendiri. Sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
menjadi analisis dan kajian masyarakat. Salah satu contohnya adalah warga tanah Surat Ijo yang
akhirnya mendapatkan bukti yuridis tentang alas hak diterbitkannya Sertifikat HPL atas nama
Pemerintah Kota Surabaya.
Disisi lain, apakah tindakan Pemerintah Kota Surabaya dalam menerbitkan Surat izin
Pemakaian Tanah terhadap tanah negara dengan Hak Pengelolaan yang dikelolanya dan
ditinggali oleh warga Surat Ijo tidak menyalagunakan kewenangannya. Apakah pemerintah
memakai kewenangan Diskresi karena ada kekosongan hukum. Atas dua hal itu maka dapat
dilihat apa yang dimaksud dengan diskresi itu sendiri.
Diskresi itu sendiri adalah kebebesan pemerintah dalam bertindak atau mengambil
kebijakan dalam memilih berbagai tindakan. Tetapi pemerintah pusat sudah menjamin
perlindungan kepada kepala daerah yang melakukan diskresi untuk mempercepat
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pada prinsipnya sudah ada payung hukum yang
mengatur tentang kebijakan pemerintah daerah yakni undnag-Undang Nomor 23 tahun 2014
tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi
pemerintahan. Kedua Undang-Undang tersebut menjadi panduan pejabat daerah untuk
berinovasi dan melakukan diskresi tanpa ragu dan takut. 26
Tindakan diskresi sendiri bisa dimanfaatkan oleh pejabat untuk hal positif dan hal
negative karena kewenangan diskresi yang begitu luas. Namun harus ada catatan bahwa
diskresi itu bisa dilakukan apabila peraturan perundang-undangan belum ada dan tidak jelasnya
aturan hukum yang membutuhkan kecepatan dalam bertindak dengan tujuan positif.
25
Ibid.
26
Yusri Munaf, Diskresi Sebagai Kebebasan Bertindak Pemerintah (Tinjauan Yuridis dan empiris),
10.25299/jkp.2018.vol4(1).2165, (2018)
15
Peneliti sendiri kurang setuju dengan istilah tentang diskresi tanpa ragu dan takut
karena diskresi dibatasi dengan peraturan perundang-undangan seperti yang diatur dalam
administrasi pemerintahan. Didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 diatur tentang
persyaratan dan prosedur diskresi dan juga ditegaskan tentang sanksi bila pejabat atau badan
tata usaha negara yang menyalahgunakan kewenangan diskresi.
Kewenangan diskresi juga harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan
lainnya dan tetap berpedoman kepada asas umum pemerintahan yang baik. Apabila keputusan
diskresi dilakukan secara serampangan maka dapat merugikan pihak ketiga seperti masyarakat
umumnya.
Dalam Pasal 30 Undang-Undang No 30 Tahun 2014 disebutkan bahwa penggunaan
diskresi dikategorikan melampaui wewenang bila bertindak melampaui batas waktu berlakunya
wewenang yang diberikan dan wewenangnya melampaui batas wilayah berlakunya wewenang
dan atas tindakan diskresi yang dimaksud ini maka berakibat tidak sah nya wewenang diksresi
yang diberikan.
Selain itu, pada Pasal 31 juga mempertegas tentang penggunaan diksresi yang
dikategorikan mencampuradukkan wewenang dengan tidak sesuai dengan tujuan wewenang
dan bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik. Akibat hukum dari tindakan
wewenang yang tidak sesuai dengan tujuan dibuatnya keputusan diskresi tersebut maka
kewenangannya dapat dibatalkan.
Terkait tindakan yang dianggap menhyalahgunakan inilah timbul suatu permasalahan
dimana sertifikat yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Tata Usaha Negara dan diterbitkan
lebih dari 5 tahun tidak dapat digugat ke pengadilan. Hal itu dapat dilihat Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2015 bahwa tenggang waktu mengajukan gugatan yang
isinya sebagai berikut : tenggang waktu 90 hari untuk pengajuan gugatan bagi pihak ketiga yang
tidak dituju oleh Keputusan tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang semula dihitung sejak
merasa kepentingannya dirugikan oleh tulisan Keputusan tata Usaha Negara tersebut dan
mengetahui adanya keputusan tata Usaha Negara yang merugikan kepentingannya.
Tetapi Sema tersebut juga menekankan untuk perhitungan daluwarsa keputusan tata
usaha negara dalam mengajukan di Pengadilan tata Usaha Negara untuk pihak ketiga yang tidak
dituju oleh keputusan tersebut. Bahwa aturan yang kemudian untuk mengalahkan aturan yang
dahulu atau yang sebelumnya, subtansinya sebenarnya Surat Edaran Mahkamah Agung yang
terakhir dikeluarkan karena mempertegas sesuai dengan Pasal 55 sejak yang bersangkutan
mengetahui.
Sebelum mengakhiri pembahasan bahwa peneliti menegaskan bahwa permasalahan
tentang perkara keputusan tata usaha negara yang dinilai oleh seseorang atau badan hukum
perdata maka harus merujuk terhadap Asas Erga Omnes dimana putusan tata usaha negara
adalah mengikat untuk pribadi, umum, dan negara. Hak dan kewajiban yang mendasari
terhadap asas ini adalah suatu hak dan kewajiban dapat dilaksanakan terhadap setiap orang
atau Lembaga bila terjadi pelanggaran hak atau tidak memenuhi suatu kewajiban.
D. Kesimpulan
Polemik permasalahan tanah Surat Ijo yang hingga kini tidak ada ujung penyelesaian
sebenarnya cukup mudah diselesaikan karena dari 3 perkara yang digugat di PTUN Surabaya
16
menguak adanya pelanggaran kewenangan, prosedur, dan subtansi dalam keputusan tata
usaha negara yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Surabaya maupun Kantor Badan
Pertanahan Nasional Surabaya II. Kenapa cukup mudah karena penerbitan izin pemakaian
tanah berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2016 kota Surabaya tidak mempunyai dasar hukum
yang jelas apabila ditujukan kepada Sertifikat Hak Pengelolaan (SHPL). Sedangkan SHPL atas
nama Pemerintah Kota Surabaya dilandasi dengan alas hak yakni SK HPL Nomor
53/HPL/BPN/1997 tentang pemberian hak pengelolaan atas nama Pemerintah Kotamadya Dati
II Surabaya yang isinya menyebutkan untuk pihak ketiga harus diterbitkan Sertifikat HGB. Selain
itu, Kantor Badan Pertanahan Nasional Surabaya II dalam menerbitkan SHPL pun tidak sesuai
dengan prosedur maupun subtansi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, dimana warkah tanah baik data yuridis maupun fisik tanah
dinyatakan hilang dan Gambar Situasi atas HPL itu pun juga tidak mampu ditunjukkan oleh
Kantor BPN Surabaya II dalam persidangan hingga putusan perkara.
Saran dari peneliti adalah bagi pihak ketiga yang dirugikan oleh keputusan tata usaha
negara yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Surabaya terkait kewenangan, procedural, dan
subtansi yang dilanggar oleh Badan/pejabat TUN yakni Pemerintah Kota Surabaya maka yang
bisa menyatakan sah atau tidak dan batal atau tidaknya maka kewenangan itu ada pada
Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutuskannya.
E. Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Dr. Taufik Iman Santoso yang memberikan
waktunya untuk menjelaskan tentang duduk permasalahan yang dialami oleh warga Surat Ijo
dan terlibat dalam menguak fakta-fakta dipersidangan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya
tentang banyak kejanggalan dalam penerbitan Sertifikat Hak Pengelolaan atas nama
Pemerintah Kotamadya Dati II Surabaya yang bertahun-tahun berjuang menuntut keadilan.
Daftar Pustaka
Lembaga Bantuan Hukum Astranawa, Gedung Museum NU, Jl Gayungsari Timur 35 Surabaya |
andisbypost@gmail.com | http : duta.co
Prof Muchsin, Dr Imam Koeswahyono, Soimin SH, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif
Sejarah, Refika Aditama, edisi revisi, (2019)
Julius Sembiring, Pengertian, Pengaturan, dan Permasalahan Tanah Negara (Prenadamedia
Group, Edisi Revisi, 2018)
Dokumen SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/1997 yang didapatkan LBH Astranawa dalam
persidangan-persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya.
Urip Santoso, Penggunaan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya oleh Pihak Ketiga dalam
Bentuk Izin Pemakaian Tanah (Perspektif Hukum Pertanahan), 10.30742/perspektif.v23i3.654,
(2018)
17
Sabarudin Hulu, Pujiyono, Pertanggungjawaban Pidana atas Tindakan Diskresi Pejabat
Pemerintahan yang Berindikasi adanya Penyalahgunaan Wewenang,
10.14710/mmh.47.2.2018.167-174, Vol 42, (2018)
Firna Novi Anggoro, Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Terhadap Keputusan
dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan oleh PTUN, 10.25041/fiatjustisia.v10no4.803, (2017)
Depri Liber Sonata, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas Dari
Metode Meneliti Hukum, 10.25041/fiatjustisia.v8no1.283, (2014)
Wawancara dengan Ketua GHSIS Dr. Taufik Iman Santoso,SH.M.Hum., Polemik Hukum Surat Ijo
yang Puluhan Tahun Tidak Diberikan Kepastian Hukum, dilakukan tanggal 10 Mei 2020 dikantor
LBH Astranawa Jalan Gayungsari Timur 35 Surabaya
Wawancara dengan Budianto selaku Penggugat dalam perkara pembatalan Sertifikat HPL
Nomor 2/Baratajaya di Pengadilan Tata Usaha Negara, tanggal 2 April 2020.
http/youtube.com, sbotv diakses pada tanggal 11 Fbruari 2019
Tanya jawab dengan Dr Urip Santoso,SH.MH. tanggal 7 April 2020 tentang perolehan Sertifikat
HPL Nomor 2/Baratajaya atas nama Pemerintah Kota Surabaya.
Hasan, Perlindungan hukum warga negara terhadap tindakan pemerintah dalam membuat
keputusan administrasi negara, /ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/5012,
10.23887/jkh.v1i1.5012, (2015)
A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika aditama, edisi Revisi, (2001),
h. 21
Philipus M Hajon, Peradilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, 10.25216/jhp.4.1.2015.51-64, (2015)
Yusri Munaf, Diskresi Sebagai Kebebasan Bertindak Pemerintah (Tinjauan Yuridis dan empiris),
10.25299/jkp.2018.vol4(1).2165, (2018)

More Related Content

What's hot

Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)
Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)
Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)Leks&Co
 
Materi pengadaan tanah
Materi pengadaan tanahMateri pengadaan tanah
Materi pengadaan tanahAkram Naufal
 
Prescrition co-owners- pdf
Prescrition   co-owners- pdfPrescrition   co-owners- pdf
Prescrition co-owners- pdfsahib rox
 
Hukum agraria
Hukum agraria Hukum agraria
Hukum agraria Mr.Mahmud
 
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)Leks&Co
 
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
 HUKUM ADMINISTRASI NEGARA HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
HUKUM ADMINISTRASI NEGARASiti Sahati
 
Dasar-Dasar Hukum Pertanahan
Dasar-Dasar Hukum PertanahanDasar-Dasar Hukum Pertanahan
Dasar-Dasar Hukum PertanahanLeks&Co
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2villa kuta indah
 
Slide mengenai perlindungan varietas tanaman universitas dirgantara marsekal ...
Slide mengenai perlindungan varietas tanaman universitas dirgantara marsekal ...Slide mengenai perlindungan varietas tanaman universitas dirgantara marsekal ...
Slide mengenai perlindungan varietas tanaman universitas dirgantara marsekal ...Ido Mantan
 
hak atas tanah yang bersifat sementara dan konversi UUPA 5/1960.ppt
hak atas tanah yang bersifat sementara dan konversi UUPA 5/1960.ppthak atas tanah yang bersifat sementara dan konversi UUPA 5/1960.ppt
hak atas tanah yang bersifat sementara dan konversi UUPA 5/1960.pptadi setyawan
 
Hukum Waris by I Gede Auditta
Hukum Waris by I Gede AudittaHukum Waris by I Gede Auditta
Hukum Waris by I Gede AudittaI Gede Auditta
 
Pendaftaran Tanah
Pendaftaran TanahPendaftaran Tanah
Pendaftaran Tanahqudsye
 
Politik hukum agraria sudjito
Politik hukum agraria   sudjitoPolitik hukum agraria   sudjito
Politik hukum agraria sudjitojonatanwardian
 

What's hot (20)

Hukum Agraria
Hukum AgrariaHukum Agraria
Hukum Agraria
 
Hukum Agraria - Pendaftaran Tanah
Hukum Agraria - Pendaftaran Tanah Hukum Agraria - Pendaftaran Tanah
Hukum Agraria - Pendaftaran Tanah
 
Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)
Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)
Penerapan Upaya Hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (Analisis Kasus)
 
Hak Guna Bangunan
Hak Guna BangunanHak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan
 
Materi pengadaan tanah
Materi pengadaan tanahMateri pengadaan tanah
Materi pengadaan tanah
 
Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha NegaraKeputusan Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha Negara
 
Prescrition co-owners- pdf
Prescrition   co-owners- pdfPrescrition   co-owners- pdf
Prescrition co-owners- pdf
 
Hukum agraria
Hukum agraria Hukum agraria
Hukum agraria
 
Hukum administrasi negara
Hukum administrasi negaraHukum administrasi negara
Hukum administrasi negara
 
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)
Dasar - Dasar Hukum Pertanahan (Seri 2)
 
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
 HUKUM ADMINISTRASI NEGARA HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
 
Dasar-Dasar Hukum Pertanahan
Dasar-Dasar Hukum PertanahanDasar-Dasar Hukum Pertanahan
Dasar-Dasar Hukum Pertanahan
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2
 
Hukum agraria
Hukum agraria   Hukum agraria
Hukum agraria
 
9. sarana tun
9. sarana tun9. sarana tun
9. sarana tun
 
Slide mengenai perlindungan varietas tanaman universitas dirgantara marsekal ...
Slide mengenai perlindungan varietas tanaman universitas dirgantara marsekal ...Slide mengenai perlindungan varietas tanaman universitas dirgantara marsekal ...
Slide mengenai perlindungan varietas tanaman universitas dirgantara marsekal ...
 
hak atas tanah yang bersifat sementara dan konversi UUPA 5/1960.ppt
hak atas tanah yang bersifat sementara dan konversi UUPA 5/1960.ppthak atas tanah yang bersifat sementara dan konversi UUPA 5/1960.ppt
hak atas tanah yang bersifat sementara dan konversi UUPA 5/1960.ppt
 
Hukum Waris by I Gede Auditta
Hukum Waris by I Gede AudittaHukum Waris by I Gede Auditta
Hukum Waris by I Gede Auditta
 
Pendaftaran Tanah
Pendaftaran TanahPendaftaran Tanah
Pendaftaran Tanah
 
Politik hukum agraria sudjito
Politik hukum agraria   sudjitoPolitik hukum agraria   sudjito
Politik hukum agraria sudjito
 

Similar to Jurnal hukum surat ijo by andi mulya (1)

BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUANBAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUANvit28
 
Kewengan Pemerintah Daerah
Kewengan Pemerintah Daerah Kewengan Pemerintah Daerah
Kewengan Pemerintah Daerah Samsul La Dunga
 
Hukum tata guna tanah
Hukum tata guna tanahHukum tata guna tanah
Hukum tata guna tanahsesukakita
 
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita Sari
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita SariContoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita Sari
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita SariFenti Anita Sari
 
Presentase Promosi Doktoral Pak DR.Asmadi Weri, SH., MH.
Presentase Promosi Doktoral Pak DR.Asmadi Weri, SH., MH.Presentase Promosi Doktoral Pak DR.Asmadi Weri, SH., MH.
Presentase Promosi Doktoral Pak DR.Asmadi Weri, SH., MH.Mohamad Khaidir
 
Kebijakan landreform
Kebijakan landreformKebijakan landreform
Kebijakan landreformSalvinusBala1
 
Hak atas tanah
Hak atas tanahHak atas tanah
Hak atas tanahSyaifOer
 
Peraturan pemerintah republik indonesia
Peraturan pemerintah republik indonesiaPeraturan pemerintah republik indonesia
Peraturan pemerintah republik indonesiaitsnania
 
Tugas hukum pertanahan
Tugas hukum pertanahanTugas hukum pertanahan
Tugas hukum pertanahanaisbrata1
 
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...224100501
 
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (9...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (9...Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (9...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (9...224100501
 
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn.
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn. Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn.
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn. teresa irene
 
HUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptxHUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptxAdeFitri22
 
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (3...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (3...Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (3...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (3...224100501
 

Similar to Jurnal hukum surat ijo by andi mulya (1) (20)

BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUANBAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
 
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
 
Bab i
Bab i Bab i
Bab i
 
LAND RIGHT
LAND RIGHTLAND RIGHT
LAND RIGHT
 
Kewengan Pemerintah Daerah
Kewengan Pemerintah Daerah Kewengan Pemerintah Daerah
Kewengan Pemerintah Daerah
 
Hukum tata guna tanah
Hukum tata guna tanahHukum tata guna tanah
Hukum tata guna tanah
 
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita Sari
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita SariContoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita Sari
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita Sari
 
Presentase Promosi Doktoral Pak DR.Asmadi Weri, SH., MH.
Presentase Promosi Doktoral Pak DR.Asmadi Weri, SH., MH.Presentase Promosi Doktoral Pak DR.Asmadi Weri, SH., MH.
Presentase Promosi Doktoral Pak DR.Asmadi Weri, SH., MH.
 
Kebijakan landreform
Kebijakan landreformKebijakan landreform
Kebijakan landreform
 
Hak atas tanah
Hak atas tanahHak atas tanah
Hak atas tanah
 
Peraturan pemerintah republik indonesia
Peraturan pemerintah republik indonesiaPeraturan pemerintah republik indonesia
Peraturan pemerintah republik indonesia
 
Tugas hukum pertanahan
Tugas hukum pertanahanTugas hukum pertanahan
Tugas hukum pertanahan
 
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (1...
 
5 winahyu
5 winahyu5 winahyu
5 winahyu
 
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (9...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (9...Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (9...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (9...
 
Sengketa jual beli tanah adat
Sengketa jual beli tanah adatSengketa jual beli tanah adat
Sengketa jual beli tanah adat
 
Hukum Agraria Indonesia
Hukum Agraria IndonesiaHukum Agraria Indonesia
Hukum Agraria Indonesia
 
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn.
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn. Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn.
Konsepsi Hukum Agraria Nasional 2021 - DIAH TRIMURTI SALEH,S.E.,S.H., M.Kn.
 
HUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptxHUKUM_AGRARIA.pptx
HUKUM_AGRARIA.pptx
 
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (3...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (3...Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (3...
Makalah Pendaftaran Tanah_PPT FH UII_Dosen Pengampu Ricco Survival Yubaidi (3...
 

More from LBHASTRANAWA (10)

2014 part_3
2014 part_32014 part_3
2014 part_3
 
2014 part_1
2014 part_12014 part_1
2014 part_1
 
Part+4
Part+4Part+4
Part+4
 
Part+3
Part+3Part+3
Part+3
 
Part+2
Part+2Part+2
Part+2
 
Part+1
Part+1Part+1
Part+1
 
Kuh+pidana
Kuh+pidanaKuh+pidana
Kuh+pidana
 
Kuh+dagang
Kuh+dagangKuh+dagang
Kuh+dagang
 
Kuhap
KuhapKuhap
Kuhap
 
Kolonial herzien inlandsch_reglement (1)
Kolonial herzien inlandsch_reglement (1)Kolonial herzien inlandsch_reglement (1)
Kolonial herzien inlandsch_reglement (1)
 

Recently uploaded

Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaIndra Wardhana
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptAlMaliki1
 
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum ViktimologiSaktaPrwt
 
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaSesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaYogaJanuarR
 
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)ErhaSyam
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanIqbaalKamalludin1
 
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANharri34
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIdillaayuna
 
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxmuhammadarsyad77
 
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptxHukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptxAudyNayaAulia
 

Recently uploaded (10)

Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
 
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
 
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaSesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
 
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
 
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
 
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
 
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptxHukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
 

Jurnal hukum surat ijo by andi mulya (1)

  • 1. 1 PENERBITAN “SURAT IJO” DI ATAS HAK PENGELOLAAN DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN Andi Mulya1 Founder & Direktur LBH ASTRANAWA Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister hukum Universitas 17 Agustus Surabaya Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah negara yang dikuasai Pemerintah Kota Surabaya dengan mengeluarkan Surat Izin Pemakaian Tanah (noted: warga mengenalnya dengan “Surat Ijo”) yang diperuntukkan kepada pihak ketiga yakni warga Surabaya adalah tidak tepat. Penelitian ini menggunakan yuridis empiris dan tidak mengacu terhadap konseptual. Peneliti juga menemukan alas hak dari diterbitkannya Sertifikat HPL atas nama Pemerintah Kota Surabaya yang bersumber dari ditetapkannya Surat Keputusan (SK) Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 53/HPL/BPN/1997 atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya yang penerapannya ternyata tidak sesuai denga nisi dan maksud dari Surat keputusan tersebut. Dengan fakta-fakta itu, warga Surat Ijo melakukan boikot dengan tidak membayar retribusi dan pajak yang telah ditentukan dalam Peraturan Daerah. Beberapa gugatan yang dilayangkan warga mengalami kegagalan karena dianggap oleh pengadilan sebagai pihak yang tidak mempunyai kepentingan. Warga pun akhirnya menggugat BPN dan menemukan titik terang bahwa ada yang kurang pas dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dilakukan Kementerian Agraria atas HPL yang dikelola oleh Pemkot Surabaya. Atas kesalahan yang disengaja atau tidak maka diperlukan ketegasan dari pemerintah pusat khususnya kementerian agraria untuk mencabut Surat Keputusan yang dikeluarkannya. Hal itu diperlukan dengan segera agar tidak menimbulkan kerugian negara dan mengarah pada kejahatan luar biasa. Kata Kunci : Surat Ijo, Tanah Negara, Keputusan Tata Usaha Negara A. Pendahuluan Tanggal 17 Agustus 1945 adalah tonggak kemerdekaan bangsa Indonesia lepas dari penjajahan, namun ada dua arti penting bagi pembentukan hukum agraria nasional yakni bebasnya bangsa ini dari tata hukum agraria penjajah dan negara mempunyai kesempatan besar untuk membentuk hukum agraria sendiri. Namun pembentukan hukum agraria ini tidak mudah karena setiap daerah mempunyai hukum adat sendiri dalam mengatur penguasaan tanah. Sehingga diperlukan upaya untuk menerima hukum agrarian adat dan hukum agraria produk kolonial yang sesuai dengan jalan pikiran bangsa ini untuk kemakmuran rakyat. 1 Lembaga Bantuan Hukum Astranawa, Gedung Museum NU, Jl Gayungsari Timur 35 Surabaya | andisbypost@gmail.com | http : duta.co
  • 2. 2 Namun, hukum agrarian warisan colonial belanda pun juga banyak kekurangan dimana hukum agrarian kolonial memiliki sifat dualisme dan tidak mempunyai kepastian hukum bagi rakyat Indonesia.2 Dalam sistem hukum tanah nasional, semua tanah dan sumber daya alam dikuasai oleh negara, maka dapat disimpulkan bahwa negara adalah subjek sedangkan tanah adalah objek. Hubungan hukum antara subjek dan objek tersebut dikonsepsikan sebagai hak menguasai negara. Hubungan negara dan tanah dapat dibagi menjadi tiga entitas tentang tanah, Julius Sitanggang mengutip pakar hukum agraria, Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa berdasarkan konsepsi hubungan antara negara dan tanah menghasilkan tiga entitas tanah yakni:3 1. Tanah Negara 2. Tanah Ulayat 3. Tanah hak Terhadap ketiga entitas itu sendiri hingga saat ini belum terwujud dan masih banyak terjadi polemik atau sengketa dibidang pertanahan baik antara negara dan orang atau badan hukum dan antara negara dengan instansi pemerintahan. Sebagian besar masyarakat menganggap tanah negara jelas milik negara tetapi pengertian itu harus dimaknai bahwa negara dan tanah harus dilihat dari hubungan hukumnya yakni hubungan hukum secara luas yakni bersifat publik maka pengertian milik adalah keliru karena menurut sifatnya maka negara hanya menguasai atau mengatur tentant administrasi pertanahan. Pengertian dikuasai negara ini selalu disalah-artikan sehingga banyak instansi pemerintahan baik di daerah dan BUMN pun membuat aturan yang bertentangan dengan hukum tanah nasional. Salah satunya adalah pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2016 pembaharuan dari Perda Nomor 1 tahun 1997 tentang izin pemakaian tanah (IPT) yang mana aturan daerah itu mendasari dari perolehan Hak Penggelolaan atas tanah negara di kota Surabaya. Makin banyaknya dukungan dari masyrakat dan berbagai elemen masyrakat inilah, yang pada akhirnya mengungkap kecacatan dalam produk Surat IPT terhadap HPL yang diterima Pemkot Surabaya dari Kementerian Agraria pada tahun 1997 yakni SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/1997 atas nama Pemerintah Kota Surabaya.4 Dalam SK HPL tersebut termuat dengan jelas bahwa Pemkot Surabaya mengajukan permohonan pada tanggal 15 Agustus 1994 dan tanggal 11 Januari 1996 bermaksud untuk memperoleh Hak Pengelolaan atas tanag Negara bekas Eigendom Verponding yang terdiri dari 15 bidang sebagaimana diuraikan dalam peta situasi tanggal 28 September 1995 Nomor 97/1995 sampai dengan Nomor 111/1995 dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional 2 Prof Muchsin, Dr Imam Koeswahyono, Soimin SH, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, edisi revisi, (2019) hal. 49 3 Julius Sembiring, Pengertian, Pengaturan, dan Permasalahan Tanah Negara (Prenadamedia Group, Edisi Revisi, 2018) h. 1 4 Dokumen SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/1997 yang didapatkan LBH Astranawa dalam persidangan-persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya.
  • 3. 3 Propinsi Jawa Timur. Tanah yang dimohonkan sendiri adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Bahwa tanah yang dimaksud oleh pemohon yakni Pemkot Surabaya akan dipergunakan untuk perumahan, perdagangan, perkantoran, industry, pergudangan, fasilitas komersial, dan fasilitas social yang disewakan oleh pihak ketiga. Namun yang harus dicermati dalam SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/1997 itu adalah frasa tentang “kepada pihak ketiga yang memperoleh Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan ini diwajibkan untuk membayar uang pemasukan kepada negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku”. SK HPL Nomor 53 tersebut sangat jelas menyebutkan tentang pihak ketiga untuk sah menempati atau meninggali tanah negara itu harus mempunyai dasar kepemilikan tentang tanah yang diatur oleh hukum pertanahan nasional. Pihak ketiga adalah warga dan atau badan hukum yang dianggap sah memperoleh HGB diatas HPL dan pemohon yang menerima HPL terhadap penelitian ini adalah Pemerintah Kota Surabaya. Melihat fakta tentang izin pemakaian tanah yang diterbitkan Pemkot Surabaya untuk warga yang mendiami tanah Hak Pengelolaan diatas tanah negara juga menjadi salah satu sebab karena tanah HPL tersebut sudah masuk dalam asset daerah yang mempunyai pendapatan besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Penelitian ini memunculkan temuan kebaruan dimana Pemerintah Kota Surabaya mendapatkan Hak Pengelolaan atas tanah keseluruhan seluas 3.117.110 m2 (tiga juta seratus tujuh belas ribu seratus sepuluh meter persegi) dari SK HPL NOmor 53/HPL/BPN/1997 dan pihak ketiga yang mendapatkan HGB diatas tanah HPL diwajibkan membayar uang pemasukan kepada negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, Pemkot Surabaya tidak melaksanakan apa yang diperintahkan dalam SK HPL tersebut dan malah menerbitkan Surat IPT untuk menarik retribusi kepada pihak ketiga. Perbandingan penelitian pertama menghasilkan tentang penggunaan tanah asset Pemerintah Kota Surabaya oleh pihak ketiga dalam bentuk Izin Pemakaian tanah bertentangan dengan ketentuan dalam Hukum Pertanahan Nasional.5 Urip Santoso memberikan menganggap bahwa tanah asset yang dikuasai oleh Pemerintah Kota Surabaya hanyalah berstatus Hak pakai dan hak pengelolaan dan hanya berhak mempergunakan dalam keperluan tugasnya. Urip Santoso menyatakan Hak Pakai dan Hak Pengelolaan sifatnya hanyalah “right to use” dan bukan “right of disposal”. Penelitian kedua berkutat pada diskresi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah terhadap penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi terhadap kerugian negara maupun masyarakat luas.6 Diskresi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan seharusnya merujuk pada Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administarisi negara yang mengatur tentang kewenangan, prosedur, dan subtansi dalam menerbitkan produk KTUN. Tidak hanya itu, diskresi pun juga mengacu kepada asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Sedangkan Penelitian Ketiga adalah kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa, mengadili, dan memutus penyalahgunaan wewenang pejabat tata usaha negara.7 5 Urip Santoso, Penggunaan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya oleh Pihak Ketiga dalam Bentuk Izin Pemakaian Tanah (Perspektif Hukum Pertanahan), 10.30742/perspektif.v23i3.654, (2018) 6 Sabarudin Hulu, Pujiyono, Pertanggungjawaban Pidana atas Tindakan Diskresi Pejabat Pemerintahan yang Berindikasi adanya Penyalahgunaan Wewenang, 10.14710/mmh.47.2.2018.167-174, Vol 42, (2018) 7 Firna Novi Anggoro, Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan oleh PTUN, 10.25041/fiatjustisia.v10no4.803, (2017)
  • 4. 4 Implikasi dari penyalahgunaan kewenangan itu sendiri adalah dinyatakan tidak sah dan dibatalkannya keputusan tata usaha negara tersebut. Selain itu juga ada penekanan terhadap unsur penyalahgunaan wewenang itu sendiri dapat berlanjut pada proses pidana. Berdasarkan jumlah penelitian yang masih relevan temanya dengan penelitian ini maka peneliti merumuskan satu rumusan masalah dengan diterbitkannya Surat IPT diatas HPL dan bukan menerbitkan HGB maka Langkah hukum apa yang harus dilakukan oleh pihak ketiga bila ditemukan tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha negara. B. Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif namun lebih berorientasi kepada aspek praktis untuk menyelesaiakan permasalahan hukum tertentu yang dilakukan oleh praktisi hukum.8 Hal itu penting dilakukan untuk mencari bagaimana dan dimana suatu permasalahan hukum itu diatur dan menemukan solusi hukum atas temuan fakta dilapangan. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Perbedaan Persepsi Tanah Negara dan Tanah Pemerintah Penguasaan tanah oleh negara bukanlah penguasaan tanah dalam arti fisik tetapi secara konstitusional melahirkan kewenangan yang berkarakter publik dan dikenal dengan hak menguasai negara. Kewenangan menguasai negara atas tanah dan sumber daya alam khususnya agrarian tersebut kemudian di atribusikan kepada otoritas pemerintah ternteu berdasarkan peraturan perundang-undangan. Atas kewenangan publik tersebut, masing-masing pemerintahan yang ada dibawahnya memberikan haka tau izin yang berkarakter perdata kepada perorangan atau badan hukum tertentu. Hal itu dapat dimaksudkan dalam hukum administrasi negara dimana otoritas pertanahan menerbitkan hak atas tanah. Selain itu, ada penguasaan tanah negara oleh perorangan atau badan hukum perdata. Disini ada perbedaan yang kentara tentang pengaturan dan proses penguasaan dari kedua subjek hukum karena system hukum tanah kita belum memberikan pengaturan secara tegas tentang hakikat penguasaan serta tahapan dari penguasaan hingga menjadi pemilikan. Namun, penguasaan atas tanah adalah dasar atas terbitnya hak kepemilikan. Penguasaan atas tanah itu sendiri dapat terjadi secara legal maupun illegal. Bila dikatakan legal bila proses dalam mendapatkan penguasaan itu dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang dibidang pertanahan dan sebaliknya bila dikatakan illegal karena tidak dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang. Hukum adat sendiri juga mempunyai aturan tentang persekutuannya bila ingin mendapatkan tanah dan itu dikenal dengan hak wenang pilih dimana bagi perseorangan membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan, kemudian melakukan pemberitahuan kepada kepala adat maka lahirlah hak terdahulu yang dimiliki oleh pihak yang membuka lahan pertama kali.9 Baru setelah hak menikmati berlangsung terus menerus maka ia 8 Depri Liber Sonata, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum, 10.25041/fiatjustisia.v8no1.283, (2014) 9 Julius Sembiring, Pengertian, Pengaturan, dan Permasalahan Tanah Negara, edisi revisi, Prenamedia Group, 2016, h.75
  • 5. 5 berubah menjadi hak pakai. Setelah itu, ada proses pewarisan apabila dikuasai cukup lama kepada generasi berikutnya. Maka hak pakai itu bisa menjadi hak milik. Dengan demikian ha katas tanah itu lahir setelah melalui proses bersinambungan dari hak agrarian. Kembali kepada topik tentang status tanah pasca terbitnya hak atas tanah dapat menjadi tanah negara karena berakhirnya jangka waktu ha katas tanah tersebut, atau ha katas tanah tersebut diakhiri karena dibatalkan atau dilepaskan atau dicabut dengan undang-undang. Terhadap persoalan ini, Julius Sembiring mengatakan bahwa persoalan ini terdapat perbedaan pendapat dimana satu sisi berpendapat bekas pemegang hak tidak mempunyai hak atas bekas HGB/HGU/HP dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai. Pada sisi lain, terdapat pandangan bahwa bekas pemegang hak masih mempunyai hak pada bekas ha katas tanah tersebut sebagaimana selama ini menjadi pegangan otoritas pertanahan. Orotirtas pertanahan berpendapat bahwa meskipun ha katas tanah berakhir, namun masih terdapat hubungan hukum antara bekas pemegang ha katas tanah dan tanahnya. Selain itu, pengakuan terhadap penguasaan atas tanah negara terdapat dalam Undang- undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha milim Negara dan undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang pembendaharaan asset. Penguasaan BUMN atas tanah dikategorikan sebagai “asset”. Oleh karenanya, penghapusan atau pemindatanganan asset memerlukan mekanisme dan prosedur khusus yaitu izin pelepasan asset dari Meteri Negara BUMN.10 Mengenai perbedaan persepsi tanah negara dan tanah pemerintah harus dibedakan antara apa yang disebut dengan tanah negara dan tanah pemerintah. Tanah negara bukanlah tanah yang dilekati dengan sesuatu ha katas tanah, sementara tanah pemerintah adlah atanh yang dikuasai oleh instansi pemerintah tertentu dan dapat diberikan dengan ha katas tanah berupa hak pakai atau hak pengelolaan.11 Yang saat ini terjadi adalah kesalahan persepsi dimana tanah negara adalah tanah pemerintah karena adanya kesulitan untuk membedakan antara negara dan pemerintah. Hal ini dapat dipahami sebab negara merupakan pengertian abstrak sedangkan pemerintah adalah sesuatu yang konkret. Akan tetapi yang perlu dipertegas adalah secara yuridis ada perbedaan yang sangat nyata antara negara dan pemerintah. Negara adalah sebuah badan sedangkan pemerintah adalah alat kelengkapan negara. Perbuatan negara sebagai badan hukum publik dilakukan oleh pemerintah sebagai organ negara. Terhadap multi tafsir dalam perbedaan tanah negara dan tanah pemerintah inilah yang menimbulkan adanya konflik atau sengketa pertanahan. Salah satunya yang terjadi di kota Surabaya dimana Pemerintah Kota Surabaya memaknai tanah negara dengan status hak pengelolaan dijadikan sebuah asset daerah dengan kewenangan yang dimilikinya membuat peraturan daerah tentang izin pemakaian tanah diperuntukkan bagi pihak ketiga yang meninggali atau mendudukki tanah hak pengelolaan. Berdasarkan wawancara peneliti dengan Ketua Gerakan Hapus Surat Ijo Surabaya (GHSIS), Dr Taufik Imam Santoso, S.H.,M.Hum mengatakan bahwa tindakan Pemerintah Kota Surabaya dalam menerbitkan Izin Pemakaian Tanah dan menarik retribusi warga yang meninggali tanah negara puluhan tahun adalah tindakan yang salah. Hal itu dapat dibuktikan 10 Ibid, hal 100 11 Ibid.
  • 6. 6 dengan alas hak perolehan yang dimiliki Pemkot Surabaya berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 53/HPL/BPN/1997 yang mana dalam Diktum III (romawi tiga) dengan tegas menyebutkan bahwa bagi pihak ketiga yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan diwajibkan untuk membayar uang kepada kas negara. “Yang jadi pertanyaan, Pemkot mengeluarkan IPT kepada warga itu dasar hukumnya darimana?, maka tindakan pemerintah bisa dikategorikan melanggar hukum”.12 Peneliti juga menemukan fakta baru di dalam persidangan yang digelar Pengadilan Tata Usaha Negara dimana Budianto, warga Jalan Ngagel Wasana I, Kelurahan Baratajaya, Kecamatan Gubeng Kota Surabaya selaku Penggugat dan Tergugat adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Surabaya II serta Pemerintah Kota Surabaya sebagai pihak Tergugat II Intervensi dalam perkara Nomor 4/G/2020/PTUN.SBY dengan objek sengketa adalah Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 2/Baratajaya. Dalam agenda pembuktian dari Tergugat dalam persidangan ditemukan fakta bahwa buku warkah pendaftaran tanah yang diajukan Pemerintah Kota Surabaya dinyatakan “hilang”. Tidak hanya itu, Gambar Situasi dari Sertifikat HPL Nomor 2/Baratajaya pun juga tidak bisa ditunjukkan oleh Tergugat yakni Kantor BPN Surabaya II. Hingga agenda kesimpulan dalam persidangan perkara tersebut di PTUN ternyata BPN Surabaya II tidak berhasil menunjukkan bukti Surat Gambar Situasi (GS) yang diminta oleh Majelis Hakim PTUN Surabaya. Peneliti juga melakukan wawancara dengan salah satu warga pemegang “Surat Ijo”, Budianto, warga Jalan Ngagel Wasono I, Kelurahan Baratajaya, Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya mengatakan13 bahwa pemberian Izin Pemakaian Tanah yang diperoleh dari Pemkot Surabaya jelas menyalahi aturan karena setelah diketahui perolehan Sertifikat HPL Nomor 2/Baratajaya berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Agraria Nomor 53/HPL/BPN/1997 atas nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya yang dictum-diktumnya sangat jelas, untuk Pihak Ketiga yang memperoleh izin dari penerima Hak Pengelolaan harus diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan. “Warga Surat Ijo akan terus berjuang mencari keadilan untuk mencabut Surat Keputusan Kementerian Agraria yang menerbitkan Sertifikat HPL atas nama Pemerintah Kota Surabaya. sangat tidak masuk akal Pemerintah Surabaya menerbitkan Surat Izin Pemakaian Tanah dan bukan HGB diatas HPL”. Walikota Surabaya Tri rismaharini Ketika diwawancarai oleh SBO TV dan ditayangkan pada 11 Februari 2019 mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan banyak upaya terkait pelepasan surat ijo agar tidak memberatkan masyarakat namun upaya yang dilakukannya belum membuahkan hasil sehingga proses untuk pelepasannya harus dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku yakni sesuai nilai aprasial. “Warga dalam hal ini harus tetap membayar sewa, hal ini berdasarkan aturan administrasi karena ada hubungan hukum dalam memakai asset pemkot surabaya. lahan asset surat ijo sudah tercatat dalam asset pemerintahan kota 12 Wawancara dengan Ketua GHSIS Dr. Taufik Iman Santoso,SH.M.Hum., Polemik Hukum Surat Ijo yang Puluhan Tahun Tidak Diberikan Kepastian Hukum, dilakukan tanggal 10 Mei 2020 dikantor LBH Astranawa Jalan Gayungsari Timur 35 Surabaya 13 Wawancara dengan Budianto selaku Penggugat dalam perkara pembatalan Sertifikat HPL Nomor 2/Baratajaya di Pengadilan Tata Usaha Negara, tanggal 2 April 2020.
  • 7. 7 sesuai Perda 16 tahun 2014. Kalua warga tidak mau membayar sewa maka konsekuensinya maka harus rela bila asset itu ditarik oleh pemerintah kota Surabaya”.14 Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan Dr. Urip Santoso Pakar Hukum Pertanahan Universitas Airlangga dikediamannya mengkritisi banyak prosedur dan subtansi dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang tanah dianggap kurang pas, beliau mengatakan bahwa didalam sertifikat tanah selalau dicantumkan tentang asal hak yakni konversi, pemberian hak, pemecahan dan penggabungan. Tetapi yang dimaksud dengan hak berupa konversi yaitu asal tanahnya adalah bekas tanah milik adat (yasan) dengan tanda bukti berupa Petuk Pajak Bumi (Kutipan Register Leter C) dikonversi menjadi Hak Milik. Asal tanah berupa konversi dapat juga terjadi atas bekas hak barat atas tanah berupa eigendom, opstal, erfpacht dikonversi menjadi hak atas tanah yang ditetapkan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebelum tanggal 24 September 1980. “Dasar hukum konversi bekas hak barat atas tanah adalah Pasal 55 ayat (1) dan Pasal I Ketentuan Konversi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Yang dimaksud asal hak berupa pemecahan adalah semula satu bidang tanah dipecah misalnya menjadi dua atau tiga bidang tanah. Yang dimaksud asal hak berupa penggabungan adalah semula misalnya dua atau tiga bidang tanah digabungkan menjadi satu bidang tanah”.15 Menurut Dr Urip Santoso, perolehan SHPL Nomor 2/Baratajaya seluas 231.598 M2 tanggal 2 September 1997 diterbitkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 53/HPL/BPN/97 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. peraturan yang mendasarinya diantaranya : a. Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1986 tentang Badan Pertanahan Nasional; b. Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Ttugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara; 14 Farid, akitivis surat ijo, penguasaan pemkot itu berasal dari tanah gemente, bedol desa, dan tanah-tanah yang dibeli melalui anggaran APBD. Diluar itu bukan tanah pemkot. Penolakan warga mmbayar uang sewa atau retribusi karena ada rekomnedasi dari DPRD untuk melakukan invetarisasi ulang, mana-mana tanahnya pemkot dan mana yang bukan. Dalam rekomendasi itu meminta pemkot untuk tidak menarik retrisbui kepada masyarakat sebelum selesai melakukan inventarisasi tanah-tanahnya. Hamper semua wilayah mulai perak barat hingga di daerah ngagel memasang banner penolakan pembayaran retribusi dan hapus surat ijo. Yang kami sayangkan adalah kenapa yang awalnya sebagai pemukiman berubah fungsi sebagai Kawasan komersial, sebenarnya permasalahan surat ijo ini harusnya bisa duduk Bersama untuk mencari solusi yang terbaik. Seharusnya kita menjalankan program presiden Jokowi yang menargetkan semua tanah-tanah di Indonesia bisa bersertifikasi. Kalua memang itu tanah pemkot maka warga tidak keberatan untuk membayar sewa, tapi bila itu bukan tanah pemkot maka jangan dipaksa kita untuk menyewa tanah itu, kita sudah melakukan berbagai upaya hukum hingga mahkamah konstitusi dan kita juga pernah ditemui bu Risma diruang kerjanya. Ada beberapa poin yang saya catat yakni, kita harus berhati-hati dalam mengambil keputusan karena saya tidak mau 10 tahun kedepan saya berhadapan dengan penegak hukum. Kita ahrus selesaikan per wilayah dan bukan per persil, dan beliau yang terakhir mengatakan kepada kami bahwa “sudah lah pak bu Namanya surat ijo itu akan saya lepas dan akan disaksikan di kanan kiri saya malaikat dan omongan saya akan saya pertanggungjawabkan pada yang diatas. Kemudian muncul Perda Nomor 16 tahun 2014 tentang pelepasan asset. Pertanyaannya sebenernya mudah, apakah itu tanahnya pemkot atau tidak, kan jawabannya mudah, http/youtube.com, sbotv diakses pada tanggal 11 Fbruari 2019 15 Tanya jawab dengan Dr Urip Santoso,SH.MH. tanggal 7 April 2020 tentang perolehan Sertifikat HPL Nomor 2/Baratajaya atas nama Pemerintah Kota Surabaya.
  • 8. 8 c. Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan; d. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah; e. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembeian Hak Atas Tanah. Beberapa ketentuan yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1986, yaitu : Pasal 1 menyatakan Badan Pertanahan Nasional dalam Keputusan Presiden ini selanjutnya disebut Badan Pertanahan adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan Pertanahan dipimpin oleh seorang Kepala. Pasal 2 Badan Pertanahan bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi pengaturan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, pengurusan hak-hak tanah, pengukuran, dan pendaftaran tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan Presiden. Pasal 3, Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pertanahan menyelenggarakan fungsi : 1. Merumuskan kebijaksanaan dan merencanakan penguasaan dan penggunaan tanah; 2. Merumuskan kebijaksanaan dan merencanakan pengaturan pemilikan tanah dengan prinsi-prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Pokok Agraria; 3. Melaksanakan pengukuran dan pemetaan seta pendaftaran tanah dalam upaya memberikan kepastian hak di bidang pertanahan; 4. Melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah dalam rangka memelihara tertib administrasi di bidang pertanahan; 5. Melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan serta Pendidikan dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan di bidang administrasi pertanahan; Namun yang harus diingat dalam Kepres Nomor 26 tahun 1986 tidak mengatur dan tidak memberikan kewenangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan hak atas tanah termasuk Hak Pengelolaan. Beberapa ketentuan yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1993, mempunyai tujuan dalam mengkoordinasi perumusuan, perencanaan, dan koordinasi pemetaan nasional, tetapi dalam kepres tersebut tidak mengatur dan tidak memberikan kewenangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan hak atas tanah termasuk Hak Pengelolaan. Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 menyatakan bahwa Menteri Dalam Negeri memberi keputusan mengenai permohonan pemberian, perpanjangan/pembaharuan, menerima pelepasan, izin pemindahan serta pembatalan : 1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan; 4. Hak Pakai;
  • 9. 9 5. Hak Pengelolaan; Izin membuka tanah atas tanah negara, yang wewenang tidak dilimpahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota Kepala Daerah/Kepala Kecamatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 huruf e Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, berwenang memberi keputusan mengenai permohonan pemberian Hak Pengelolaan. Pasal 30 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tesebut Bab I Pasal 1, Bab II Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 berlaku mutatis mutandis terhadap penyelesaian pemberian Hak Pengelolaan dan pendaftarannya menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961. Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 menyatakan bahwa mengenai permohonan yang wewenangnya untuk memutuskan ada pada Menteri Dalam Negeri, maka Gubernur Kepala Daerah c.q. Kepala Direktorat Agraria Propinsi segera menyampaikan berkas pemohonan yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri c.q Direktur Jenderal Agraria, disertai dengan pertimbangannya yang disusun menurut contoh VIII dengan tembusan pada Bupati/Walikota Kepala Daerah c.q. Kepala Direktorat Agraria yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 juncto Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973, pejabat yang berwenang memberikan Hak Pengelolaan adalah Menteri Dalam Negeri. Yang harus ditekankan disini adalah bahwa Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1986 dan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1993 tidak memberikan kewenangan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan Hak Pengelolaan. Sedangkan dalam kedua peraturan perundang-undangan itu yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk memberikan Hak Pengelolaan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewnangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Sehingga dalam peraturan tersebut Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional berwenang memberikan Hak Pengelolaan. Mengenai permasalahan atau sengketa tanah Hak Pengelolaan di Surabaya khususnya Hak Pengelolaan di wilayah Kecamatan Gubeng berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 53/HPL/BPN/97 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Atas Nama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya yang memberikan kewenangan kepada Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan Hak Pengelolaan kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya mempunyai cacat kewenangan, hal itu disebabkan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak mempunyai kewenangan memberikan Hak Pengelolaan kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya seharusnya yang berwenang memberikan
  • 10. 10 Hak Pengelolaan kepada Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya adalah Menteri Dalam Negeri. Tidak hanya itu, berdasarkan perolehannya bahwa Pemerintah Kota Surabaya juga mengklaim terhadap tanah yang didapatkannya adalah dari Eigendom 1304 sisa atas nama Gemeente Soerabaja. Hal itu terungkap dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 99 PK/TUN/2012 yang mana pemerintah kota Surabaya memakai dasar alasannya bahwa tanah eigendom tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958ntentang pengahpusan tanah-tanah partikelir dan penjelasan umum angka II.8 dan penjelasan Pasal 1 undang-undang dimaksud bukanlah merupakan tanah pertikelir melainkan tanah eigendom yang dimiliki oleh daerah Swatantra kota praja Surabaya. dengan demikian kota praja Surabaya selaku pemilik atas tanah Eigendom tersebut sebagai badan kenegaraan dan bukan gtuan tanah sehingga tanah eigendom yang dimilikinya bukan sebagai objek dari penghapusan tanah-tanah partikelir. Bahwa pemerintah kota Surabaya juga memakai dasar hukum Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang penguasaan tanah negara, “Kecuali jika penguasaan atas tanah negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya peraturan pemerintah ini, telah diserahkan kepada kementerian, jawatan atau daerah Swatantra maka penguasaan atas tanah negara ada pada Menteri Dalam Negeri. Namun dari dasar hukum yang dipakai Pemkot Surabaya dalam mendasari perolehan hak pengelolaan berdasrkan SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/1997, Urip Santoso dalam pendapat hukum dalam sesi wawancara dengan peneliti maka jelas perolehannya adalah dari Konversi, sedangkan di SK HPL yang dimaksudkan diatas berdasarkan Permohonan hak.16 Yang harus diingat Kembali adalah bila ada sebidang tanah yang sejarahnya merupakan tanah dengan bukti berupa eigendom verponding akan tetapi tanah itu tidak diajukan konversi sampai dengan tanggal 24 September 1980, maka tanah tersebut menjadi hapus dan tanahnya kembali menjadi tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Selanjutnya, untuk mendapatkan hak atas tanah yang berasal dari bekas hak barat atas tanah dengan bukti berupa eigendom verponding yang tidak diajukan konversi sampai dengan tanggal 24 September 1980 tidak melalui penegasan konversi melainkan melalui pemberian hak atas tanah negara, yang perolehan hak atas tanahnya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 bila perolehan tanahnya terjadi sebelum tahun 1999 atau Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 kalau perolehan tanahnya terjadi setelah tahun 1999.17 16 Dr Urip Santoso, Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953, Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965, dan Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966, daerah swatantra (baca sekarang Pemerintah Daerah) mendapatkan Hak Pengelolaan melalui penegasan konversi atas tanah yang berasal dari penguasaan atas tanah negara. Pendaftaran tanah Hak Pengelolaan atas tanah yang berasal dari penguasaan atas tanah negara (tanah de gemeente) oleh daerah swatantra (baca sekarang Pemerintah Daerah) melalui penegasan konversi ke Kantor Pendaftaran Tanah (sekarang Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota) bukan melalui pemberian hak atas tanah negara, Legal opinion (pendapat hukum) perkara nomor 4/G/2020/PTUN.Sby, 7 april 2020 17 Tanya Jawab Dr. Urip Santoso, Op.cit
  • 11. 11 2. SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/1997 dan Sertifikat HPL sebagai Alas Hak Dikeluarkannya IPT Ditinjau Dalam Aspek Hukum Administrasi Negara Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan perkara Nomor 4/G/2020/PTUN.Sby dapat dilihat dengan bukti surat yang diajukan oleh Kantor BPN Surabaya II dimana gambar situasi sebagai rujukan dari proses penerbitan Sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 2/Baratajaya Surabaya ternyata tidak dapat ditunjukkan. Tidak hanya itu saja, buku warkah yang juga sebagai dasar penelitian dan kajian berdasarkan data yuridis dan data fisik dalam permohonan pendaftaran tanah oleh Pemerintah Kota Surabaya diakui oleh Kantor BPN Surabaya II juga tidak berdasarkan aslinya dengan alasan surat warkah aslinya hilang. Ironis, sebagai otoritas pertanahan nasional, Kantor BPN tidak dapat melakukan penyimpanan admisnitrasi pertanahan. Terkait tindakan pejabat atau badan tata usaha negara seperti Kantor BPN Surabaya II ini jelas merugikan warga masyarakat atau badan hukum perdata. Namun yang harus dipahami bahwa keputusan administrasi negara adalah suatu keputusan tindakan pemerintah dalam rangka menjalankan peraturan perundang-undangan.18 Dalam penerbitan keputusan tata usaha negara itu sendiri sebenarnya adalah menjaga dan melindungi warga negara, tetapi dalam keputusan tata usaha negara dianggap sah bila memenuhi syarat formal dan materiil. Selain itu hukum administrasi negara juga memakai prinsip praduga rechmatig yang berarti setiap keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pemerintah dianggap sah menurut hukum.19 Perbuatan tata usaha negara dapat digolongkan menjadi tiga:20 mengeluarkan keputusan (beschikiking), mengeluarkan peraturan (regeling), melakukan perbuatan materiil (materiele daad). Selain itu, sebagai tolok ukurnya adalah Keputusan tata usaha negara dianggap sempurna jika dilihat dari 3 unsur jika suatu penetapan yang dikeluarkan olehbadan atau pejabat tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.21 Menurut A Soetami SH, keputusan tata usaha negara menurut sifatnya ada tiga yakni konkret, individual, dan final. Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Misalnya, keputusan mengenai pengososngan rumah, izin usaha bagi seseorang atau bdan hukum perdata, atau pemberhentian pegawai sebagai pegawai negeri sipil. Bersifat individual dimana keputusan tata usaha negara itu tidak ditujukan ke umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalua yang dituju itu lebih dari seseorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu harus disebutkan, dan yang terakhir bersifat final artinya sudah definitive dan karenanya menimbuljan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final, karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. 18 Hasan, Perlindungan hukum warga negara terhadap tindakan pemerintah dalam membuat keputusan administrasi negara, /ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/5012, 10.23887/jkh.v1i1.5012, (2015) 19 Ibid. 20 A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika aditama, edisi Revisi, (2001), h. 21 21 Ibid, h. 22
  • 12. 12 Selain itu, sebuah keputusan tata usaha negara apabila dianggap dikeluarkan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan maupun asas umum pemerintahan yang baik maka harus memenuhi syarat batal atau tidak sah nya suatu keputusan. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yakni memenuhi syarat cacat wewenang, procedural, maupun subtansi. Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 menyatakan bahwa keputusan dan/atau tindakan dapat dibatalkan apabila : a. terdapat kesalahan prosedur; atau b. terdapat kesalahan substansi. Sertipikat hak atas tanah sebagai keputusan Pemerintah atau tindakan Pemerintah dapat dibatalkan apabila terdapat kesalahan prosedur. Mengenai penerbitan sertipikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota melalui prosedur atau tahapan-tahapan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku. Apabila dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah terdapat prosedur atau tahapan yang telah ditetapkan tidak dilakukan, maka penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut terdapat cacat prosedur atau kesalahan prosedur. Misalnya, untuk pemberian hak atas tanah negara disyaratkan bagi pemohon pemberian hak atas tanah negara yaitu pemohon harus menguasai tanah secara fisik dan/atau yuridis atas tanah yang mau dimohon untuk didaftar. Yang dimaksud menguasai tanah secara fisik yaitu pemohon menempati tanah yang mau dimohon untuk didaftar. Yang dimaksud menguasai tanah secara yuridis yaitu pemohon mempunyai dokumen tanah yang mau dimohon untuk didaftar berupa sertipikat hak atas tanah atau Petuk Pajak Bumi (Kutipan Register Leter C) yang telah dilepaskan oleh pemiliknya. Kalau penerbitan sertipikat hak atas tanah yang berasal dari tanah negara, yang diberikan kepada orang atau badan hukum yang tidak menguasai tanah secara fisik dan/atau yuridis, maka penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut terdapat cacat prosedur atau kesalahan prosedur. Terdapat kesalahan substansi, dimana data fisik dan data yuridis yang dimuat dalam sertipikat hak atas tanah merupakan substansi keputusan Pemerintah atau tindakan Pemerintah. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya (Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997). Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya (Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997). Kalau penerbitan sertipikat hak atas tanah yang seharusnya ditempuh melalui penegasan konversi, akan tetapi ditempuh melalui pemberian hak, maka Kalau penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut terdapat kesalahan substansi atau cacat substansi. Sertipikat hak atas tanah sebagai keputusan Pemerintah atau tindakan Pemerintah juga dapat dibatalkan atau dinyatakan batal atau tidak sah apabila terdapat cacat wewenang atau kesalahan wewenang. Misalnya, instansi yang berwenang menerbitkan sertipikat hak atas tanah adalah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota akan tetapi sertipikat hak atas tanah diterbitkan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, maka sertipikat hak atas tanah ini terdapat cacat wewenang atau kesalahan wewenang.
  • 13. 13 Pejabat yang berwenang menandatangani sertipikat hak atas tanah adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, akan tetapi sertipikat hak atas tanah tersebut ditandatangani oleh pejabat lain yang tidak diberikan pelimpahan kewenangan untuk menandatangani sertipikat hak atas tanah, maka sertipikat hak atas tanah ini terdapat cacat wewenang atau kesalahan wewenang. Penerbitan sertipikat hak atas tanah yang tanahnya berasal dari negara, sebelum diterbitkan sertipikat hak atas tanah terlebih dahulu diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) oleh pejabat yang berwenang memberikan hak atas tanah negara. Kalau dalam peraturan perundang-undangan ditetapkan bahwa pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) adalah Menteri Dalam Negeri, akan tetapi Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional RI, maka penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) tersebut terdapat cacat wewenang atau kesalahan wewenang, yang berakibat sertipikat hak atas tanah tersebut menjadi batal atau tidak sah atau tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti. Bila hal keputusan itu dibatalkan maka harus ditetapkan keputusan yang baru dengan mendasarinya pada dasar hukum pembatalan dan berpedoman kepada asas umum pemerintahan yang baik. Keputusan pembatalan itu sendiri bisa dilakukan oleh pejabat terkait atau dengan putusan pengadilan. Philipus M Hajon menguraikan konsep tentang penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi negara dimana penyalahgunaan wewenang dapat diukur dan dibuktikan secara factual bahwa pejabat itu telah menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain. Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah suatu kealpaan tetapi dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan wewenang itu.22 Mengutip putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 dalam pertimbangannya “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya”. Ada tiga unsur utama penyalahgunaan wewenang diantaranya adalah Met Opzet (dengan sengaja), mengalihkan tujuan wewenang, dan ada interest pribadi yang negative.23 Terkait peraturan perundang-undangan yang mengatur asas umum pemerintahan yang baik dalam menyelesaikan permasalahan tentang keputusan tata usaha negara terhadap seseorang atau badan hukum perdata yang dirugikan diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang admistrasi pemerintahan. Dalam pasal itu sendiri, menurut Philipus M Hajon menambahkan bahwa kita mengenal asas umum pemerintahan yang baik karena pengaruh belanda. 24 1. Dalam hukum belanda dikenal dengan de algemene beginselsen van behoorlijk bestuur dengan berbagai ciri: a. tidak tertulis (ongeschreven), b. rechtsbeginsen (asas hukum) berkaitan dengan rechmatigheidsnormen sehingga pelanggaran terhadapnya merupakan onrechtmatig 22 Philipus M Hajon, Peradilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, 10.25216/jhp.4.1.2015.51-64, (2015) 23 Ibid. 24 Ibid.
  • 14. 14 c. Algemene beginselsen memuat karakter azas (beginsel) dan sifatnya umum. 2. Asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum kita Dalam hukum Indonesia, asas umum pemerintahan yang baik dapat dilihat dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undangn Nomor 9 tahun 2004. Dalam penjelasan pasal tersebut dirinci 6 asas yang dikutip dari Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal itu dikutip juga dalam buku pedoman teknis administrasi dan teknis peradilan tata usaha negara buku ke II (edisi 2007) halaman 62. Mengacu pada doktrin putusan-putusan Mahkamah Agung maka asas umum pemerintahan yang baik meliputi:25 a. Asas persamaan; b. Asas kepercayaan; c. Asas kepastian hukum; d. Asas kecermatan e. Asas pemberian alasan; f. Larangan penyalahgunaan wewenang; g. Larangan bertindak sewenang-wenang. Dari asas umum pemerintahan yang baik dan dijadikan rujukan badan atau pejabat tata usaha negara sebenarnya sangat mudah untuk diimplementasikan dalam era keterbukaan informasi publik. Masyarakat pun juga diberikan akses seluas-luasnya dalam memperoleh informasi publik itu sendiri. Sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah menjadi analisis dan kajian masyarakat. Salah satu contohnya adalah warga tanah Surat Ijo yang akhirnya mendapatkan bukti yuridis tentang alas hak diterbitkannya Sertifikat HPL atas nama Pemerintah Kota Surabaya. Disisi lain, apakah tindakan Pemerintah Kota Surabaya dalam menerbitkan Surat izin Pemakaian Tanah terhadap tanah negara dengan Hak Pengelolaan yang dikelolanya dan ditinggali oleh warga Surat Ijo tidak menyalagunakan kewenangannya. Apakah pemerintah memakai kewenangan Diskresi karena ada kekosongan hukum. Atas dua hal itu maka dapat dilihat apa yang dimaksud dengan diskresi itu sendiri. Diskresi itu sendiri adalah kebebesan pemerintah dalam bertindak atau mengambil kebijakan dalam memilih berbagai tindakan. Tetapi pemerintah pusat sudah menjamin perlindungan kepada kepala daerah yang melakukan diskresi untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pada prinsipnya sudah ada payung hukum yang mengatur tentang kebijakan pemerintah daerah yakni undnag-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. Kedua Undang-Undang tersebut menjadi panduan pejabat daerah untuk berinovasi dan melakukan diskresi tanpa ragu dan takut. 26 Tindakan diskresi sendiri bisa dimanfaatkan oleh pejabat untuk hal positif dan hal negative karena kewenangan diskresi yang begitu luas. Namun harus ada catatan bahwa diskresi itu bisa dilakukan apabila peraturan perundang-undangan belum ada dan tidak jelasnya aturan hukum yang membutuhkan kecepatan dalam bertindak dengan tujuan positif. 25 Ibid. 26 Yusri Munaf, Diskresi Sebagai Kebebasan Bertindak Pemerintah (Tinjauan Yuridis dan empiris), 10.25299/jkp.2018.vol4(1).2165, (2018)
  • 15. 15 Peneliti sendiri kurang setuju dengan istilah tentang diskresi tanpa ragu dan takut karena diskresi dibatasi dengan peraturan perundang-undangan seperti yang diatur dalam administrasi pemerintahan. Didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 diatur tentang persyaratan dan prosedur diskresi dan juga ditegaskan tentang sanksi bila pejabat atau badan tata usaha negara yang menyalahgunakan kewenangan diskresi. Kewenangan diskresi juga harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan lainnya dan tetap berpedoman kepada asas umum pemerintahan yang baik. Apabila keputusan diskresi dilakukan secara serampangan maka dapat merugikan pihak ketiga seperti masyarakat umumnya. Dalam Pasal 30 Undang-Undang No 30 Tahun 2014 disebutkan bahwa penggunaan diskresi dikategorikan melampaui wewenang bila bertindak melampaui batas waktu berlakunya wewenang yang diberikan dan wewenangnya melampaui batas wilayah berlakunya wewenang dan atas tindakan diskresi yang dimaksud ini maka berakibat tidak sah nya wewenang diksresi yang diberikan. Selain itu, pada Pasal 31 juga mempertegas tentang penggunaan diksresi yang dikategorikan mencampuradukkan wewenang dengan tidak sesuai dengan tujuan wewenang dan bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik. Akibat hukum dari tindakan wewenang yang tidak sesuai dengan tujuan dibuatnya keputusan diskresi tersebut maka kewenangannya dapat dibatalkan. Terkait tindakan yang dianggap menhyalahgunakan inilah timbul suatu permasalahan dimana sertifikat yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Tata Usaha Negara dan diterbitkan lebih dari 5 tahun tidak dapat digugat ke pengadilan. Hal itu dapat dilihat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2015 bahwa tenggang waktu mengajukan gugatan yang isinya sebagai berikut : tenggang waktu 90 hari untuk pengajuan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju oleh Keputusan tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang semula dihitung sejak merasa kepentingannya dirugikan oleh tulisan Keputusan tata Usaha Negara tersebut dan mengetahui adanya keputusan tata Usaha Negara yang merugikan kepentingannya. Tetapi Sema tersebut juga menekankan untuk perhitungan daluwarsa keputusan tata usaha negara dalam mengajukan di Pengadilan tata Usaha Negara untuk pihak ketiga yang tidak dituju oleh keputusan tersebut. Bahwa aturan yang kemudian untuk mengalahkan aturan yang dahulu atau yang sebelumnya, subtansinya sebenarnya Surat Edaran Mahkamah Agung yang terakhir dikeluarkan karena mempertegas sesuai dengan Pasal 55 sejak yang bersangkutan mengetahui. Sebelum mengakhiri pembahasan bahwa peneliti menegaskan bahwa permasalahan tentang perkara keputusan tata usaha negara yang dinilai oleh seseorang atau badan hukum perdata maka harus merujuk terhadap Asas Erga Omnes dimana putusan tata usaha negara adalah mengikat untuk pribadi, umum, dan negara. Hak dan kewajiban yang mendasari terhadap asas ini adalah suatu hak dan kewajiban dapat dilaksanakan terhadap setiap orang atau Lembaga bila terjadi pelanggaran hak atau tidak memenuhi suatu kewajiban. D. Kesimpulan Polemik permasalahan tanah Surat Ijo yang hingga kini tidak ada ujung penyelesaian sebenarnya cukup mudah diselesaikan karena dari 3 perkara yang digugat di PTUN Surabaya
  • 16. 16 menguak adanya pelanggaran kewenangan, prosedur, dan subtansi dalam keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Surabaya maupun Kantor Badan Pertanahan Nasional Surabaya II. Kenapa cukup mudah karena penerbitan izin pemakaian tanah berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2016 kota Surabaya tidak mempunyai dasar hukum yang jelas apabila ditujukan kepada Sertifikat Hak Pengelolaan (SHPL). Sedangkan SHPL atas nama Pemerintah Kota Surabaya dilandasi dengan alas hak yakni SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/1997 tentang pemberian hak pengelolaan atas nama Pemerintah Kotamadya Dati II Surabaya yang isinya menyebutkan untuk pihak ketiga harus diterbitkan Sertifikat HGB. Selain itu, Kantor Badan Pertanahan Nasional Surabaya II dalam menerbitkan SHPL pun tidak sesuai dengan prosedur maupun subtansi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dimana warkah tanah baik data yuridis maupun fisik tanah dinyatakan hilang dan Gambar Situasi atas HPL itu pun juga tidak mampu ditunjukkan oleh Kantor BPN Surabaya II dalam persidangan hingga putusan perkara. Saran dari peneliti adalah bagi pihak ketiga yang dirugikan oleh keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Surabaya terkait kewenangan, procedural, dan subtansi yang dilanggar oleh Badan/pejabat TUN yakni Pemerintah Kota Surabaya maka yang bisa menyatakan sah atau tidak dan batal atau tidaknya maka kewenangan itu ada pada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutuskannya. E. Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Dr. Taufik Iman Santoso yang memberikan waktunya untuk menjelaskan tentang duduk permasalahan yang dialami oleh warga Surat Ijo dan terlibat dalam menguak fakta-fakta dipersidangan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya tentang banyak kejanggalan dalam penerbitan Sertifikat Hak Pengelolaan atas nama Pemerintah Kotamadya Dati II Surabaya yang bertahun-tahun berjuang menuntut keadilan. Daftar Pustaka Lembaga Bantuan Hukum Astranawa, Gedung Museum NU, Jl Gayungsari Timur 35 Surabaya | andisbypost@gmail.com | http : duta.co Prof Muchsin, Dr Imam Koeswahyono, Soimin SH, Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, edisi revisi, (2019) Julius Sembiring, Pengertian, Pengaturan, dan Permasalahan Tanah Negara (Prenadamedia Group, Edisi Revisi, 2018) Dokumen SK HPL Nomor 53/HPL/BPN/1997 yang didapatkan LBH Astranawa dalam persidangan-persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Urip Santoso, Penggunaan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya oleh Pihak Ketiga dalam Bentuk Izin Pemakaian Tanah (Perspektif Hukum Pertanahan), 10.30742/perspektif.v23i3.654, (2018)
  • 17. 17 Sabarudin Hulu, Pujiyono, Pertanggungjawaban Pidana atas Tindakan Diskresi Pejabat Pemerintahan yang Berindikasi adanya Penyalahgunaan Wewenang, 10.14710/mmh.47.2.2018.167-174, Vol 42, (2018) Firna Novi Anggoro, Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan oleh PTUN, 10.25041/fiatjustisia.v10no4.803, (2017) Depri Liber Sonata, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum, 10.25041/fiatjustisia.v8no1.283, (2014) Wawancara dengan Ketua GHSIS Dr. Taufik Iman Santoso,SH.M.Hum., Polemik Hukum Surat Ijo yang Puluhan Tahun Tidak Diberikan Kepastian Hukum, dilakukan tanggal 10 Mei 2020 dikantor LBH Astranawa Jalan Gayungsari Timur 35 Surabaya Wawancara dengan Budianto selaku Penggugat dalam perkara pembatalan Sertifikat HPL Nomor 2/Baratajaya di Pengadilan Tata Usaha Negara, tanggal 2 April 2020. http/youtube.com, sbotv diakses pada tanggal 11 Fbruari 2019 Tanya jawab dengan Dr Urip Santoso,SH.MH. tanggal 7 April 2020 tentang perolehan Sertifikat HPL Nomor 2/Baratajaya atas nama Pemerintah Kota Surabaya. Hasan, Perlindungan hukum warga negara terhadap tindakan pemerintah dalam membuat keputusan administrasi negara, /ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/5012, 10.23887/jkh.v1i1.5012, (2015) A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika aditama, edisi Revisi, (2001), h. 21 Philipus M Hajon, Peradilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, 10.25216/jhp.4.1.2015.51-64, (2015) Yusri Munaf, Diskresi Sebagai Kebebasan Bertindak Pemerintah (Tinjauan Yuridis dan empiris), 10.25299/jkp.2018.vol4(1).2165, (2018)