SlideShare a Scribd company logo
jhsafljhD
jhsafljhD
iiiJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
JURNAL PENGENDALIAN PENYAKIT
DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN
DEWAN REDAKSI
Penasihat : Direktur Jenderal PP dan PL
Sekretaris Ditjen PP dan PL
Penanggung Jawab : Kepala Bagian Hukormas
Redaktur : drg. Yossy Agustina , MH.Kes
dr. Ita Dahlia, MH.Kes
Imam Setiaji, SH
dr. Ratna Budi Hapsari, M.Kes
Dewi Nurul Triastuti, SKM
Penyunting/Editor : Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D
Dr. Suwito, SKM, M.Kes
Sekretariat : Firman Septiadi, SKM
Eriana Sitompul
Risma, SKM
Sri Sukarsih, Amd
Indah Nuraprilyanti,SKM
Aditya Pratama, S.Ikom
Penerbit : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560
Telp/Fax: (021) 4225451
email: humas.p2pl@gmail.com
website: www.pppl.depkes.go.id
facebook: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Design Grafis/Fotografer : Putri Kusumawardani, ST
Bukhari Iskandar, SKM
Aditya Pratama, SI.Kom
vJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga Jurnal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dapat diterbitkan demi memenuhi
kebutuhan pembaca dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan
khususnya pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular serta
penyehatan Iingkungan di Indonesia.
Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi 4 yang terbit
di penghujung tahun 2014. Jurnal ini diterbitkan dengan tujuan dapat mempublikasikan hasil
penelitian, karya ilmiah dan review terkait dengan program pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan. Diharapkan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang ingin
mengetahui perkembangan terbaru tentang program pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini.
Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi penyempurnaan dan kemajuan jurnal
ini.
Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta bermanfaat
bagi kita semua.
Jakarta, Desember 2014
Direktur Jenderal PP dan PL
dr. H.M. Subuh, MPPM
viiJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Daftar Isi
Halaman
Pemberdayaan Mantan Pasien TB dalam Peningkatan Penemuan Suspek TB di Kabupaten
Kubu Raya, Kalimantan Barat .................................................................................................................................. 1 – 7
Pengaruh ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 Terhadap Akses Air Bersih dan Jamban Sehat,
dan Kejadian Diare ....................................................................................................................................................... 8 – 19
Pengolahan Sampah dengan Metode Composting Open Windrow di Kelurahan Banjar Sari,
Lampung Tahun 2013 ................................................................................................................................................. 20 – 25
Peran Bidan dalam Penemuan Suspek Tuberkulosis di Kabupaten Siak, Provinsi Riau,
Tahun 2013 ...................................................................................................................................................................... 26 – 31
Perbedaan Kadar Hb Ibu Hamil Sebelum dan Sesudah Pemberian Fe+Vit.C di Daerah
Endemis Malaria ............................................................................................................................................................ 32 – 34
Survei Kadar Gula Darah dan Kolesterol pada Masyarakat di Pelabuhan Udara
El Tari Kupang, 2013 ................................................................................................................................................... 35 – 39
Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Tukang Cukur Rambut (Barber) dan Tindakan
Higiene dan Sanitasi di Medan Marelan ............................................................................................................... 40 – 45
Evaluasi Program Karantina dan Surveilans Epidemiologi di Kantor Kesehatan Pelabuhan
Semarang Tahun 2008-2009 .................................................................................................................................... 46 – 53
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung Melakukan
Tes HIV di Kabupaten Bantul Yogyakarta ........................................................................................................... 54 – 57
Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu Hamil dan Petugas Kesehatan di DKI Jakarta Tahun 2013 ..... 58 – 60
Kondisi Kesehatan Lingkungan Perumahan di Buffer area Pelabuhan Tanjung Wangi
Banyuwangi Tahun 2014 ........................................................................................................................................... 61 – 65
1Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Pemberdayaan Mantan Pasien TB dalam Peningkatan Penemuan Suspek
TB di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat
Empowerment of Former TB Patients to Improve TB Suspected Finding
in Kubu Raya District, West Kalimantan
Agus Fitriangga¹, Muhammad Nasip², Siswani³, Andre Nugroho³,
Pandu Riono4, Sumanto Simon4, Surjana5, Novayanti Tangirerung5, Retno Budiati5
¹Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat
²Politeknik Kesehatan Pontianak, ³Dinas Kesehatan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat
4Tuberculosis Operational Research Group, 5Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI
Abstrak
Salah satu permasalahan dalam pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia adalah masih rendahnya cakupan penemuan
suspek TB. Di Kalimantan Barat, pada tahun 2012 cakupan penemuan suspek TB hanya sebesar 51%. Salah satu faktor
penyebab adalah kurangnya peran mantan pasien TB dalam penemuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh pemberdayaan mantan pasien TB dalam peningkatan penemuan suspek TB di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi
Kalimantan Barat. Desain penelitian adalah kuasi eksperimental dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian
dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Sungai Kakap (daerah intervensi) dan Puskesmas Rasau Jaya (daerah kontrol),
Kabupaten Kubu Raya pada tahun 2013. Data penelitian diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuesioner, Focus
Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam. Data kuantitatif dianalisis dengan uji regresi linier, sedangkan data
kualitatif dengan analisis isi dan triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi kunjungan suspek TB yang
dirujuk mantan pasien TB di daerah intervensi 1,9 kali lebih besar dibandingkan dengan daerah kontrol. Berdasarkan hasil
FGD dan wawancara mendalam, pengetahuan tentang TB, peningkatan motivasi dan kemampuan berkomunikasi mantan
pasien TB diperoleh dari pelatihan pemberdayaan yang diberikan pada mantan pasien TB tersebut. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa dengan dilakukannya pemberdayaan mantan pasien TB, meningkatkan penemuan suspek TB di
Kabupaten Kubu Raya.
Kata kunci: Pemberdayaan, penemuan, suspek TB, Kalimantan Barat
Abstract
One of the problems in the control of tuberculosis (TB) in Indonesia is still low coverage of suspected tuberculosis. In West
Kalimantan, in 2012 the coverage of suspected tuberculosis only by 51%. One factor is the lack of a role in the discovery of
former TB patients. The purpose of this study was to determine the effect of empowering the former TB patients in improving
the discovery of suspected tuberculosis in Kubu Raya District, West Kalimantan Province. The study design was quasi-
experimental, quantitative and qualitative approaches. The experiment was conducted in Puskesmas Gammon River (the
intervention) and PHC Rasau Jaya (control area), Kubu Raya in 2013. Data were obtained from interviews using
questionnaires, focus group discussions (FGDs) and in-depth interviews. Quantitative data were analyzed by linear
regression, while the qualitative data by content analysis and triangulation. The results showed that the proportion of TB
suspects were referred to the visit of former TB patients in the intervention area 1.9 times greater than in controls. Based on
the results of focus group discussions and in-depth interviews, knowledge about TB, increased motivation and the ability to
communicate a former TB patient empowerment gained from the training given to the former TB patients. From the research
it can be concluded that the former does empower TB patients, increasing the discovery of TB suspects in Kubu Raya.
Keywords: Empowerment, detection, TB suspected, West Kalimantan.
Alamat Korespondensi: Retno Budiati, Subdit TB, Direktorat
PPML, Ditjen PP dan PL, Jl. Percetakan Negara No. 29
Jakarta Pusat, Hp. 081288668597, e-mail:
retnobudiati_p@yahoo.com
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di dunia. Menurut Badan
Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2012
sebanyak 8,6 juta orang terjangkit TB dengan
kematian 1,3 juta orang. Indonesia merupakan
negara dengan jumlah kasus TB ke-4 terbesar
setelah Tiongkok, India, dan Afrika Selatan.
Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2013
adalah 297 per 100.000 penduduk dengan
460.000 kasus baru setiap tahunnya (Ditjen PP
dan PL, 2014). Strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse) merupakan elemen
penting dalam pengendalian TB, yang telah
diimplementasikan secara meluas.
Tingkat partisipasi puskesmas dalam DOTS di
Kalimantan Barat tergolong tinggi, namun
2 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
cakupan deteksi TB masih rendah yaitu hanya
51% tahun 2012. Kabupaten Kubu Raya merupakan
kabupaten dengan tingkat CDR (Case Detection
Rate) menduduki peringkat ke-2 terendah di
Kalimantan Barat setelah Kabupaten Kayong
Utara. Case Detection Rate di Kabupaten Kubu
Raya tahun 2011 adalah 42% (Dinkes Kalbar,
2012). Dari 9 kecamatan yang ada di Kabupaten
Kubu Raya, Kecamatan Sungai Kakap merupakan
kecamatan dengan jumlah kasus TB terbanyak,
yaitu 383 kasus. (Dinkes Kabupaten Kubu Raya,
2011), dengan angka penemuan kasus baru
hanya 20 kasus (5,2%). Rendahnya penemuan
kasus baru ini disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain masih rendahnya peran serta
masyarakat dalam kegiatan pengendalian TB
(Dinkes Kabupaten Kubu Raya, 2011).
Paradigma baru dalam pemberdayaan masyarakat
memberikan pemahaman bahwa masyarakat
memiliki kemauan dan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam mendukung program
pemerintah khususnya di bidang kesehatan. Dari
hasil penelitian Dinas Kesehatan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2011,
pemberdayaan ‘Tuha Peut’ (tokoh masyarakat)
dalam memotivasi suspek TB untuk segera
memeriksakan diri ke Puskesmas cukup efektif.
Pemberdayaan masyarakat tidak hanya
melibatkan tokoh masyarakat ataupun tokoh
agama, namun dapat juga pasien TB yang telah
sembuh (mantan pasien TB). Di beberapa
negara, mengikutsertakan mantan pasien TB
dalam program pengendalian TB memberikan
citra positif terhadap orang yang terkena TB. Di
Bangladesh, pasien TB yang telah sembuh
dilibatkan dalam membantu penemuan kasus
dan mobilisasi sosial (Salim et al, 2003; Akramul,
2005). Di Mongolia, pasien TB yang telah sembuh
berbagi pengalaman dengan pasien TB dalam
pengobatan, merujuk kasus yang dicurigai ke
pusat TB dan membantu pasien TB dalam proses
pengobatan mereka (He dkk, 2005). Di Vietnam,
pasien TB yang telah sembuh dianggap oleh
masyarakat sebagai penasehat atau 'broker' dalam
masalah TB (Johansson & Winkvist, 2002).
Sampai dengan tahun 2012, belum ada
kegiatan penemuan suspek TB di Kecamatan
Sungai Kakap yang melibatkan mantan pasien
TB. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang
peran mantan pasien TB dalam peningkatan
penemuan suspek TB di Kecamatan Sungai Kakap,
Kabupaten Kubu Raya.
Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui
pengaruh pemberdayaan mantan pasien TB
dalam peningkatan penemuan suspek TB di
Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya;
2) Mengetahui tingkat pengetahuan mantan
pasien TB tentang TB; 3) Mengetahui gambaran
peran serta stakeholder dalam pemberdayaan
mantan pasien TB; dan 4) Mengetahui model
pemberdayaan masyarakat berbasis mantan
pasien TB dalam penemuan suspek TB.
METODE
Desain penelitian ini adalah kuasi eksperimental,
dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian dilaksanakan pada 28 November
2013 sampai dengan 30 Juni 2014. Populasi
adalah seluruh mantan pasien TB di Kabupaten
Kubu Raya. Sampel adalah sebagian mantan
pasien TB di wilayah kerja Puskesmas Sungai
Kakap, Kecamatan Sungai Kakap (daerah intervensi)
dan Puskesmas Rasau Jaya, Kecamatan Rasau
Jaya (daerah kontrol) yang dipilih secara acak.
Besar sampel masing- masing sebanyak 56 orang
di daerah intervensi dan kontrol. Variabel
dependen pada penelitian ini adalah penemuan
suspek TB, sedangkan variabel independen
adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
dan tingkat pengetahuan mantan pasien TB
tentang TB sebelum dan sesudah intervensi.
Pengumpulan data
Mantan pasien TB dibagi dalam dua kelompok,
yaitu kelompok intervensi (di daerah interensi)
dan kelompok kontrol (di daerah kontrol). Pada
kelompok intervensi diberikan pelatihan,
mencakup teori tentang TB pemberian motivasi,
dan komunikasi, sedangkan pada kelompok kontrol
hanya teori tentang TB. Untuk mengukur tingkat
pengetahuan, maka dilakukan tes di awal dan di
akhir pelatihan.
Sumber data kuantitatif yaitu dari responden
yang diwawancarai menggunakan kuesioner dan
dari kartu rujukan. Kuesioner mencakup
variabel usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
sedangkan kartu rujukan meliputi nama, umur,
dan alamat suspek TB, gejala utama dan tambahan,
kode desa, ‘kode unik’ dari mantan pasien TB,
serta nomor urut suspek TB yang ditemukan.
Sumber data kualitatif diperoleh dari FGD
sesuai dengan panduan dan wawancara mendalam.
3Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Focus Group Discussion meliputi dukungan program
pemberdayaan mantan pasien TB, dan stigma
yang dialami mantan pasien TB. Wawancara
mendalam berisi pertanyaan tentang komitmen
dari pemerintah kecamatan dalam mendukung
program pemberdayaan mantan pasien TB.
Cara pengumpulan data
Data kuantitatif dikumpulkan dengan
melakukan tes sebelum dan setelah pemberian
teori tentang TB pada saat pelatihan terhadap 56
responden (sampel) pada kelompok intervensi
dan 56 orang kelompok kontrol. Untuk setiap
responden diberi ‘kode unik’, sehingga masing-
masing responden dapat mengetahui kelengkapan
kuesionernya. Kelengkapan data kuesioner langsung
diverifikasi di tempat pengisian kuesioner. Untuk
pengumpulan data suspek TB yang dirujuk oleh
mantan pasien TB, yaitu dari Form TB 06 yang
disimpandiPuskesmasSungaiKakapdanRasauJaya.
Data kualitatif dikumpulkan oleh tim peneliti
dan asisten peneliti yang telah dilatih sebelumnya.
Pelatihan yang diberikan adalah teknik dalam
wawancara mendalam serta pelaksanaan FGD.
Setiap sesi FGD dilaksanakan selama satu jam,
dan wawancara mendalam selama 30-60 menit.
Wawancara mendalam dan FGD direkam, dan
ditranskrip segera setelah selesai dilaksanakan.
Jumlah mantan pasien TB yang diikutkan dalam
FGD yaitu sebanyak 20 orang untuk mendapatkan
gambaran tentang program pemberdayaan
mantan pasien TB, sedangkan jumlah stake
holder terkait sebanyak 15 orang, terdiri dari 13
orang kepala desa, dan 2 orang kepala
puskesmas untuk mendapatkan gambaran peran
serta stake holder dalam mendukung program
pemberdayaan mantan pasien TB.
Informan kunci yang dipilih untuk wawancara
mendalam adalah 2 orang camat, yaitu Camat
Kecamatan Sungai Kakap dan Camat Kecamatan
Rasau Jaya untuk mendapatkan gambaran
pandangan aparat pemerintah kecamatan dalam
kegiatan pemberdayaan mantan pasien TB.
Selama proses pengumpulan data, tim peneliti
melakukan pemantauan terhadap setiap mantan
pasien TB yang telah dilatih, baik di daerah
intervensi maupun daerah kontrol.
Pengolahan dan analisis data
Setelah data dikumpulkan, dilakukan dengan
perangkat lunak EPI DATA versi 3.1 (entri data)
dan STATA versi SE 12. Setelah data kuantitatif
dientri dan verifikasi, diekspor ke program
STATA untuk dianalisis dengan menggunakan uji
regresi linier, dan data kualitatif dengan analisis
isi dan triangulasi.
HASIL
Mantan pasien TB yang berpartisipasi dalam
penelitian sebanyak 112 orang, masing-masing
terdiri dari 56 orang di daerah intervensi dan
daerah kontrol. Sebagian besar (62,5%) mantan
pasien TB di daerah intervensi adalah laki-laki,
sedangkan daerah kontrol (55,3%) perempuan.
Kelompok umur terbesar di daerah intervensi
adalah 36-45 tahun (35,7%), dan terkecil >55
tahun (5,4%), sedangkan di daerah kontrol,
kelompok umur terbesar 36-45 tahun (25,0%),
terkecil ≤25 tahun (3,6%). Sebagian besar tingkat
pendidikan mantan pasien TB di daerah intervensi
dan kontrol adalah SD, yaitu 48,2% dan 55,4%.
Rata-rata nilai pre-test mantan pasien TB di
daerah kontrol lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok intervensi, yaitu 3,41. Setelah mengikuti
pelatihan ada peningkatan pengetahuan pada
setiap pertanyaan yang ditandai dengan
bertambahnya jumlah responden yang dapat
menjawab dengan benar, dan nilai rata-rata
post-test adalah 4,86.
Dari 222 suspek TB yang tercatat dalam Form
TB 06 periode November 2013 sampai dengan
Juni 2014 di Puskesmas Sungai Kakap (daerah
intervensi), 42 diantaranya merupakan rujukan
mantan pasien TB. Sedangkan dari 253 suspek
TB periode November 2013 sampai dengan Juni
2014 di Puskesmas Rasau Jaya (daerah kontrol),
sebanyak 25 suspek TB dirujuk oleh mantan
pasien TB.
Di daerah intervensi, jumlah suspek TB yang
ditemukan meningkat dari 25 sebelum melibatkan
mantan pasien TB, menjadi 31 setelah melibatkan
mantan pasien TB, setelah adanya pelibatan mantan
pasien TB. Sedangkan di daerah kontrol menurun
dari 43 sebelum sebelum melibatkan mantan
pasien TB, menjadi 42 setelah melibatkan mantan
pasien TB.
Dari hasil uji regresi linier, rasio proporsi
kunjungan suspek TB yang dirujuk oleh mantan
pasien TB di daerah intervensi 1,9 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan daerah kontrol.
Setelah dilakukan pengendalian pada variabel
perancu (umur dan jenis kelamin), rasio proporsi
4 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
di daerah intervensi 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah kontrol
Hasil FGD dan wawancara mendalam
menunjukkan bahwa stakeholder mempunyai peran
yang sangat penting dalam pemberdayaan mantan
pasien TB. Selain itu, kepala desa di daerah
intervensi dan kontrol juga mempunyai komitmen
terhadap pemberdayaan mantan pasien TB
dalam meningkatkan penemuan suspek TB.
PEMBAHASAN
Karakteristik mantan pasien TB
Mantan pasien TB yang berpartisipasi dalam
penelitian ini sebanyak 112 orang, terdiri dari
56 orang di daerah intervensi dan 56 orang
daerah kontrol. Kelompok intervensi berasal
dari tujuh desa, yaitu Sungai Kakap, Sungai Itik,
Pal 9, Sungai Belidak, Kalimas, Tanjung Saleh,
dan Sepok Laut, sedangkan kelompok kontrol
dari enam desa, yaitu Rasau Jaya 1, Rasau Jaya 2,
Rasau Jaya 3, Rasau Jaya Umum, Bintang Mas,
dan Pematang 7
Sebagian besar (62,5%) mantan pasien TB di
daerah intervensi adalah laki-laki, sedangkan
daerah kontrol (55,3%) perempuan. Kelompok
umur terbesar di daerah intervensi adalah 36-45
tahun (35,7%), diikuti berturut-turut 46-55
tahun (25,0%), 26-35 tahun (19,6%), dan ≤25
tahun (14,3%). Kelompok umur terkecil, yaitu
>55 tahun (5,4%). Di daerah kontrol, kelompok
umur terbesar 36-45 tahun (25,0%), diikuti
berturut-turut 46-55 tahun (26,8%), 26-35 tahun
(23,2%), dan >55 tahun (21,4%). Kelompok umur
terkecil, yaitu ≤25 tahun (3,6%). Sebagian besar
tingkat pendidikan mantan pasien TB di daerah
intervensi dan kontrol adalah SD, yaitu 48,2%
dan 55,4% (Tabel 1).
Tabel 1. Proporsi mantan pasien TB menurut karakteristik di
daerah perlakuan di Kabupaten Kubu Raya, 2013
Karakteristik
Daerah
intervensi (%)
Daerah
kontrol (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 62,5 (35/56) 44,6 (25/56)
Perempuan 37,5 (21/56) 55,4 (31/56)
Umur (tahun)
≤25 14,3 (8/56) 3,6 (2/56)
26-35 19,6 (11/56) 23,2 (13/56)
36-45 35,7 (20/56) 25,0 (14/56)
46-55 25,0 (14/56) 26,8 (15/56)
>55 5,4 (3/56) 21,4 (12/56)
Tingkat pendidikan
SD 48,2 (27/56) 55,4 (31/56)
SMP 21,4 (12/56) 21,4 (12/56)
SMA 25,0 (14/56) 17,9 (10/56)
PT 5,4 (3/56) 5,4 (3/56)
Tingkat pengetahuan mantan pasien TB
Jumlah pertanyaan yang ditanyakan kepada
mantan pasien TB pada saat pre-test adalah
sebanyak 10 pertanyaan. Pada daerah intervensi,
ada 1 pertanyaan yang hanya bisa dijawab
dengan benar oleh 1 responden, yaitu tentang
efek samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pada daerah kontrol, pertanyaan tentang
pengobatan TB hanya dapat dijawab dengan
benar oleh 5 responden.
Rata-rata nilai pre-test mantan pasien TB di
daerah kontrol lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok intervensi yaitu 3,41. Setelah
mengikuti pelatihan ada peningkatan pengetahuan
pada setiap pertanyaan yang ditandai dengan
bertambahnya jumlah responden yang dapat
menjawab dengan benar (Tabel 2). Rata-rata
nilai post-test yaitu 4,86.
Dari sepuluh pertanyaan yang ditanyakan,
terdapat beberapa pertanyaan yang mengalami
penurunan jawaban dengan benar. Pada daerah
intervensi, pertanyaan pengobatan TB tidak
mengalami perubahan, yaitu mampu dijawab oleh 3
orang. Sedangkan di daerah kontrol, ada 3
pertanyaan yang mengalami penurunan jawaban
benar, yaitu mendiagnosis TB, pengobatan TB,
dan efek samping OAT.
Kurangnya ketelitian dalam menjawab pertanyaan,
merupakan penyebab mantan pasien TB tidak
dapat menjawab dengan benar Sebagai contoh,
pertanyaan pilihan ganda tentang efek samping
OAT, responden harus memilih ‘yang tidak
termasuk efek samping OAT’. Responden menjawab
nyeri sendi, urin berwarna kemerahan, mual,
sakit perut, yang kesemuanya merupakan efek
samping OAT. Kemungkinan responden tidak
teliti dalam membaca atau memahami pertanyaan
bahwa yang dimaksud adalah yang bukan efek
samping OAT.
Tingkat pengetahuan mantan pasien TB
tentang TB juga terlihat pada saat dilakukan
FGD. Peserta FGD mengungkapkan bahwa pada
awalnya mereka mengetahui bahwa TB merupakan
penyakit keturunan dan memalukan, sehingga
menyebabkan mereka mendapatkan perlakuan
yang berbeda dari lingkungan sekitar bahkan
dari keluarga sendiri. Salah satu peserta FGD
5Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
menyampaikan: “dulu sewaktu kena TB, saya pikir
TB adalah penyakit keturunan, karena kakek dan
bapak saya juga kena TB. Saya kena lakuan
berbeda, makan dipisahkan, mau kumpul same
kawan pun tak bise, malu.”
Salah seorang kepala desa di daerah intervensi
juga menyatakan hal yang sama tentang TB:
“memang stigma terhadap pasien TB itu masih ada,
tapi tidaklah seperti dulu, sekarang masyarakat
sudah mau menerima, malah ingin bantu supaya
cepat sembuh”
Tabel 2. Tingkat pengetahuan mantan pasien TB menurut
pertanyaan di daerah perlakukan di Kabupaten Kubu Raya,
2013
Pre-test
Intervensi Kontrol
Pertanyaan
Jumlah yang menjawab
benar (%)
1. Pengertian TB 22 (39,29) 23 (41,07)
2. Gejala utama TB 23 (41,07) 28 (50)
3. Gejala tambahanTB 19 (33,93) 25 (44,64)
4. Penularan TB 20 (35,71) 23 (41,07)
5. Orang dengan risiko
tinggi tertular TB
7 (12,5) 12 (21,43)
6. Mendiagnosis TB 7 (12,5) 16 (28,57)
7. Pengobatan TB 3 (5,36) 3 (5,36)
8. Efek samping OAT 1 (1,79) 6 (10,71)
9. Risiko pengobatan
yang tidak tuntas
18 (32,14) 21 (37,5)
10. Pencegahan
penularan
13 (23,21) 16 (28,57)
Post-test
Intervensi Kontrol
Pertanyaan Jumlah yang menjawab
benar (%)
1. Pengertian TB 23 (41,07) 38(67,86)
2. Gejala utama TB 28 (50) 43(76,79)
3. Gejala tambahan TB 25 (44,64) 34(60,71)
4. Penularan TB 23 (41,07) 42 (75)
5. Orang dengan risiko
tinggi tertular TB
12 (21,43) 7 (12,5)
6. Mendiagnosis TB 16 (28,57) 17(30,36)
7. Pengobatan TB 3 (5,36) 4 (7,14)
8. Efek samping OAT 6 (10,71) 6 (10,71)
9. Risiko pengobatan
yang tidak tuntas
21 (37,5) 37(66,07)
10. Pencegahan
penularan
16 (28,57) 28 (50)
Pengaruh pemberdayaan mantan pasien TB
Dari 222 suspek TB yang tercatat dalam Form
TB06 periode November 2013 sampai dengan
Juni 2014 di Puskesmas Sungai Kakap (daerah
intervensi), 42 diantaranya merupakan rujukan
mantan pasien TB. Dari 42 suspek TB tersebut, 37
datang untuk melakukan pemeriksaan dahak. Hasil
pemeriksaan dahak menunjukkan bahwa 8 dari
37 suspek TB (21,6%) BTA positif.
Dari 253 suspek TB yang tercatat dalam Form
TB06 periode November 2013 sampai dengan
Juni 2014 di Puskesmas Rasau Jaya (daerah
kontrol), 25 suspek TB dirujuk oleh mantan
pasien TB, dan semuanya datang ke puskesmas
untuk dilakukan pemeriksaan dahak. Dari 25
orang suspek TB tersebut, 4 (15%) diantaranya
BTA positif (Gambar 1).
Gambar 1. Jumlah Suspek TB di daerah kontrol dan
intervensi, Kabupaten Kubu Raya periode November 2013
sampai dengan Juni 2014
Di daerah intervensi, jumlah suspek TB yang
ditemukan meningkat dari 25 sebelum melibatkan
mantan pasien TB, menjadi 31 setelah melibatkan
mantan pasien TB, sedangkan di daerah kontrol
dari 43 sebelum sebelum melibatkan mantan
pasien TB, menjadi 42 setelah melibatkan mantan
pasien TB (Gambar 2).
Gambar 2. Rata-rata jumlah suspek TB di daerah kontrol
dan intervensi, Kabupaten Kubu Raya sebelum intervensi
(bulan November 2012 sampai dengan Juni 2013) dan
sesudah intervensi (November 2013 sampai dengan Juni
2014)
Dari hasil uji regresi linier, rasio proporsi kunjungan
suspek TB yang dirujuk oleh mantan pasien TB di
daerah intervensi 1,9 kali lebih tinggi
6 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
dibandingkan dengan daerah kontrol. Setelah
dilakukan pengendalian pada variabel perancu
(umur dan jenis kelamin), rasio proporsi di daerah
intervensi 2,41 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah kontrol.
Peran stakeholder dalam pemberdayaan mantan
pasien TB
Hasil FGD dan wawancara mendalam menunjukkan
bahwa stakeholder mempunyai peran yang sangat
penting dalam pemberdayaan mantan pasien TB.
Seperti yang disampaikan oleh mantan pasien
TB di daerah intervensi: “di lapangan kami
jumpai ada orang yang tidak mau kami suruh ke
puskesmas untuk periksa dahak, saya rasa kalo
yang nyuruh itu orang yang dia segani, seperti
kades contohnya, saya rasa baru dia bergerak”.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh kepala
desa di daerah kontrol: “kami sebagai kepala
desa, pada prinsipnya siap saja kalo diminta
untuk mengawal mantan pasien TB yang akan
merujuk suspek TB, biasanya masyarakat masih
mandang siapa kepala desanya”. Selain itu, kepala
desa di daerah intervensi dan kontrol juga
mempunyai komitmen terhadap pemberdayaan
mantan pasien TB dalam meningkatkan penemuan
suspek TB, seperti yang diungkapkan oleh salah
seorang kepala desa di daerah intervensi pada
saat FGD: “Iya saya sih setuju saja, tapi menurut
saya yang semestinya menjadi kader juga harus
benar-benar mantan pasien TB Paru yang telah
sembuh total maka nantinya dia akan menjadi
contoh kesuksesan pengobatan TB Paru tersebut.
Dengan demikian diharapkan para penderita TB
Paru yang belum berobat jadi lebih termotivasi
oleh kader-kader yang dianggap sebagai panutan
mereka”.
Selain itu, Kepala desa tersebut juga memberikan
saran untuk menjamin keberlangsungan kegiatan
penemuan suspek TB yang dilakukan oleh
mantan pasien TB. Salah seorang kepala desa di
daerah kontrol mengungkapkan sebagai berikut:
“Itu tinggal teknisnya saja nanti. Yang pertama
mungkin kita mengumpulkan RT (Rukun
Tetangga) dulu di tingkat desa, kemudian dari
puskesmas yang paham tentang ini kita undang
kemudian kadernya kita perkenalkan ke semua
RT, nanti kita sepakati actionnya mau mulai kapan.
Ya seperti forum musyawarah Pak. Jadi kepala
desa memfasilitasi, kepala puskesmas menjelaskan
tentang penyakit TB, kemudian kader menceritakan
pengalamannya sakit TB dan meminta bantuan
untuk mendeteksi ke RT. Nanti kader turun ke RT
atau kader mencurigai ada yang terkena TB nanti
kader koordinasi dengan RT nya untuk dikirim ke
puskesmas. Saya menambahkan sedikit. Di dalam
pertemuan kader, diharapkan untuk menekankan
pengenalan gejala. Sehingga saya dan RT tahu
lebih dalam mengenai TB dan dapat membantu
menemukan di warga desa saya”.
Pemberdayaan mantan pasien TB dalam
menemukan suspek TB memiliki peran penting
dalam meningkatkan CDR. Namun dalam
pelaksanaannya terdapat beberapa kendala, antara
lain adanya stigma, kurangnya dukungan dari
pihak terkait lainnya, dan rendahnya tingkat
pengetahuan masyarakat.
KESIMPULAN
Peningkatan jumlah suspek TB secara
keseluruhan di daerah intervensi lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah kontrol. Proporsi
kunjungan suspek TB yang dirujuk mantan
penderita TB di daerah intervensi 1,9 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan daerah kontrol.
Terjadi peningkatan pengetahuan mantan pasien
TB di daerah intervensi dan kontrol setelah diberi
pelatihan tentang TB. Peningkatan pengetahuan
tersebut meliputi pengertian, gejala, dan cara
penularan TB.
Peran kepala desa sangat penting dalam
mendukung pemberdayaan mantan pasien TB
dalam penemuan suspek TB.
SARAN
1. Perlu dilakukan advokasi kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten Kubu Raya, bahwa upaya
meningkatkan penemuan suspek TB dapat
dilakukan melalui pemberdayaan mantan pasien
TB dengan memberikan pelatihan motivasi
dan komunikasi.
2. Perlu advokasi kepada Pemerintah daerah Kubu
Raya, bahwa keterlibatan aparat kecamatan
dan desa sangat penting dalam upaya untuk
meningkatkan penemuan suspek TB melalui
pemberdayaan mantan pasien TB.
3. Perlu menginisiasi terbentuknya perkumpulan
yang beranggotakan mantan pasien TB di
tingkat kecamatan, sehingga mantan pasien
TB memiliki wadah untuk berkumpul dan
mendapatkan informasi tentang program
pengendalian TB dari pemerintah.
7Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
4. Perlu adanya rencana strategis dalam
meningkatkan penemuan suspek TB dengan
melibatkan lintas sektor terkait.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami sampaikan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat,
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
Pontianak, Kepala Puskesmas Kakap dan Rasau
Jaya, dan Tuberculosis Operational Research
Group (TORG) – Subdit TB, dan KNCV.
DAFTAR PUSTAKA
Akramul I. 2005. Community participation in TB
control as part of social development: the
experience of BRAC. International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease. 9(11S1):S37.
Amin Z, Bahar A. 2007. Tuberkulosis Paru. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta.
Demissie M, Getahun H, Lindtjørn B. 2003.
Community tuberculosis care through "TB clubs"
in rural North Ethiopia. Soc Sci Med. 56(10):
2009-18).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007.
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
ed.2. Cet.I. Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, 2012.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kubu Raya, 2011.
Getahun H, Maher D. 2000. Contribution of “TB
Club” to Tuberculosis. Control in Rural District
in Ethiopia Int J Tuberc Lung Dis. 4(2) : 174-8.
G Laverack. 2006. Improving Health Outcomes
through Community Empowerment: A Review of
the Literature (J Health Popul Nutr : 113-120).
He GX, et al. 2005. Implementing DOTS strategy
through tuberculosis clubs. International Journal
of Tuberculosis and Lung Disease. 9(11S1):
S135–S136.
J Macq, T Torfoss, and H Getahun. 2007. Patient
empowerment in tuberculosis control: reflecting
on past documented experiences (Tropical Medicine
and International Health. 12/7.PP 873–885.
Johansson E, Winkvist A. 2002. Trust and
transparence in human encounters in tuberculosis
control: lessons learned from Vietnam.
Qualitative Health Research. 12:473–491.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010.
Pengendalian TB Kini Lebih Baik. Pusat Komunikasi
Publik,SekretariatJenderalKementerianKesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2010. Pengendalian Tuberkulosis Salah Satu
Indikator Keberhasilan Pencapaian MDG’s.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2011. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Stop TB,
Terobosan Menuju Akses Universal, Strategi
NasionalPengendalianTBdiIndonesia2010-2014.
Laporan Sub Direktorat TB Depkes RI. 2009.
Prevalensi Tuberkulosis.
Mudatsir, dkk. 2011. Kumpulan Hasil Riset
Operasional Tuberkulosis Indonesia tahun
2005-2009. Kemenkes RI, Jakarta.
Notoatmodjo S. 2002. Metodologi Penelitian
Kesehatan.EdisiRevisi. Jakarta:PT RinekaCipta.
Notoadmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan
Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006.
Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
R Sabri. 2011. The Community Participation in the
Case Detection of the Suspect Pulmonary
Tuberculosis in the District of Tanah Datar,
West Sumatera, Indonesia. International Journal of
PublicHealthResearchSpecialIssue;219-223.
Salim H et al. 2003. Patients’ participation in case
finding and case holding: experiences of Damian
Foundation Bangladesh. International Journal
of Tuberculosis and Lung Disease. 7(11S1):
S255.
World Health Organization (WHO). 2012. The
Stop TB Startegy: Building on and enhancing
DOTS to meet the TB-related Millennium
DevelopmentGoals.http://whqlibdoc.who.int/
hq/2006/WHO_HTM_STB_2006.368_eng.pdf
World Health Organization (WHO). 2011. Global
Tuberculosis Control: WHO Report. WHO
Library Cataloguing-in-Publication Data.
WHO/HTM/TB/2011.16.
World Health Organization (WHO). 2007.
Empowerment and involvement of tuberculosis
patients in tuberculosis control: Documented
experiences and intervention
8 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Pengaruh ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 Terhadap Akses Air Bersih
dan Jamban Sehat, dan Kejadian Diare
The Impact of ICWRMIP Sub Component 2.3 on Access to Clean Water and Healthy
Latrine, and the Occurrence of Diarrhea
Astri Syativa1, Suyud Warno Utomo2, Agustin Kusumayati2
1Subdit PLUR, Direktorat PL, Ditjen PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI, Departemen Kesehatan Lingkungan,
2Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
Abstrak
Dua puluh tahun terakhir ini kondisi lingkungan dan kualitas air di sepanjang Sungai Citarum semakin menurun. Akses
penduduk di sekitar Citarum terhadap air bersih dan jamban sehat pun masih rendah, dengan angka kesakitan diare yang
tinggi. Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (ICWRMIP) merupakan upaya yang dilakukan
oleh pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di DAS Sungai Citarum dan Saluran Tarum Barat.
Kementerian Kesehatan berperan dalam ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 yang bertujuan untuk meningkatkan penyediaan air
bersih, sanitasi, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 terhadap akses air bersih, akses jamban sehat dan kejadian diare serta menganalisis pengaruh
akses air bersih dan jamban sehat terhadap kejadian diare. Penelitian ini menggunakan rancangan studi cross-sectional
berulang. Data dikumpulkan sebelum dan sesudah program, di lokasi program dan non-program, dengan besar sampel 300
responden pada tiap kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 berpengaruh
meningkatkan akses air bersih dan akses jamban sehat serta menurunkan kejadian diare. Semua variabel berhubungan
dengan kejadian diare, yaitu akses air bersih (OR=1,74; 1,33-2,28), akses jamban sehat (OR=2,48; 1,88-3,28), program
(OR=7,17; 4,68-10,99), dan waktu (OR=5,10; 3,33-7,80). Disimpulkan bahwa rumah tangga di lokasi non-program tanpa
akses jamban sehat pada saat sebelum ada program berisiko 7,75 kali lebih besar mengalami kejadian diare dibandingkan
dengan rumah tangga di lokasi program yang akses jamban sehat setelah program.
Kata kunci: ICWRMIP, air bersih, jamban sehat, kejadian diare, Citarum
Abstract
The condition of the environment and water quality along the Citarum River has declined in the last twenty years. Access
people around Citarum to clean water and healthy latrine is low, with high diarrhea morbidity. Integrated Citarum Water
Resources Management Investment Program (ICWRMIP) is an effort by the government to solve the problems that exist in
Citarum and West Tarum Canal. Ministry of Health is involve on Sub Component 2.3, that aims to improve water supply,
sanitation, and improving public health. This study aims to analyze the impact of ICWRMIP Sub-Component 2.3 on access to
clean water and healthy latrine, and the occurrence of diarrhea, and also to analyze the impact of access to clean water and
healthy latrines on the occurrence of diarrhea. This study uses repeated cross-sectional study design. Data were collected
before and after the program, on-site program and non-program, with sample size 300 respondents in each group. The
results showed that ICWRMIP Sub Component 2.3 affects to improve clean water and healthy latrines access, and also
reduced the occurrence of diarrhea. All variables associated with the occurrence of diarrhea: clean water access (OR=1,74;
1,33-2,28), healthy latrines access (OR=2,48; 1,88-3,28), program (OR=7,17; 4,68-10,99), and time (OR=5,10; 3,33-7,80).
Concluded that households in non-program locations without access to healthy latrines at the time before program 7.75
times greater risk of experiencing diarrhea compared with on-site household latrine access program healthy after the
program.
Key words: ICWRMIP, clean water, healthy latrine, the occurrence of diarrhea, Citarum
Alamat korespondensi: Astri Syativa, Subdit PLUR,
Direktorat PL, Ditjen PP dan PL, Jl. Percetakan Negara No. 29
JakartaPusat,Hp.08176855355,e-mail:astri.syativa@gmail.com
PENDAHULUAN
Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang
dan terbesar di Provinsi Jawa Barat, dengan
panjang 269 km dan Daerah Aliran Sungai
(DAS) seluas 13.000 km2, meliputi 12
kabupaten/kota, yaitu: Kabupaten Bandung,
Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,
Karawang, Purwakarta, Subang, Sumedang, dan
Kota Bandung, Bekasi dan Cimahi (ICWRMIP,
2010).
Sungai Citarum berperan penting dalam
kehidupan sosial ekonomi masyarakat, khususnya
di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Dalam dua
dekade terakhir ini kondisi lingkungan dan
kualitas air di sepanjang Sungai Citarum
9Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
semakin tidak sehat. Berbagai permasalahan
yang ada saat ini dapat mengancam kesehatan
dan sumber penghidupan masyarakat, terutama
di sekitar DAS Citarum. Lingkungan yang tidak
sehat sangat berpengaruh terhadap kesehatan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap genetika individu, perilaku
dan gaya hidup. Sampai saat ini masih banyak
penduduk di negara kita terkena penyakit yang
diakibatkan karena rendahnya tingkat sanitasi.
Banyaknya penyakit-penyakit lingkungan yang
menyerang masyarakat karena kurang
bersihnya lingkungan di sekitar ataupun
kebiasaan buruk yang mencemari lingkungan
tersebut. Hal ini dapat menyebabkan penyakit
yang dibawa oleh kotoran yang ada di
lingkungan bebas tersebut baik secara langsung
ataupun tidak langsung melalui perantara.
Sanitasi lingkungan berperan penting dalam
penularan penyakit, seperti diare. Penyakit ini
masih merupakan salah satu prioritas program
pengendalian penyakit menular di Indonesia,
karena diare masih termasuk salah satu dalam
sepuluh penyakit terbesar di Indonesia. Diare
merupakan salah satu masalah penyakit yang
berbasis lingkungan dan masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
utama di Indonesia, karena masih buruknya
kondisi sanitasi dasar, lingkungan fisik, dan
rendahnya perilaku masyarakat untuk hidup
bersih dan sehat.
Integrated Citarum Water Resources
Management Investment Programme (ICWRMIP)
merupakan upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dalam pencegahan dan pengelolaan
kualitas air sungai yang terintegrasi dan
berkesinambungan untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang ada di DAS Sungai Citarum
dan Saluran Tarum Barat. Program ini
merupakan upaya yang terintegrasi dalam
pengelolaan sungai Citarum, sehingga menjadi
sumber air yang bermanfaat bagi kehidupan di
sekitar sungai Citarum.
Kementerian Kesehatan berperan dalam
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3. dan dengan
Dukungan Prakarsa Masyarakat dan LSM dalam
Perbaikan Air Minum dan Sanitasi diharapkan
dapat meningkatkan penyediaan air bersih,
sanitasi, dan derajat kesehatan masyarakat,
terutama dalam menurunkan angka kesakitan
dan kematian penyakit yang ditularkan melaluiair
dan lingkungan. Program ini menitikberatkan pada
pola promosi higiene, pendekatan tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat (demand
responsive approach), penyediaan air bersih,
sanitasi dan peningkatan perilaku higienis.
Kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 pada tahun
2011-2012 difokuskan di 3 kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat, yaitu: Kota Bekasi,
Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Karawang.
Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi dan
Kabupaten Karawang merupakan DAS Citarum
yang terdekat dengan Jakarta dan merupakan
daerah yang bermasalah di bidang kesehatan
dan sanitasi lingkungan. Angka kesakitan diare
di daerah ini sangat tinggi. Pada tahun 2007,
jumlah kasus diare di Kota Bekasi mencapai
26.888 kasus, di Kabupaten Bekasi sebanyak
41.413 kasus, dan bahkan di Kabupaten
Karawang mencapai 91.440 kasus (Profil
Kesehatan Jawa Barat, 2007). Jika data tersebut
dibandingkan dengan jumlah penduduk, maka
prevalensi diare di Kota Bekasi adalah 12,90 per
1000 penduduk, Kabupaten Bekasi 20,38 per
1000 penduduk dan Kabupaten Karawang
44,10 per1000 penduduk.
Pada tahun 2009, jumlah rumah tangga yang
memiliki akses terhadap air bersih di
Kabupaten Karawang 65,19%, Kabupaten Bekasi
67,07%, dan di Kota Bekasi hanya sebesar
23,77%. Jumlah rumah tangga yangmemiliki akses
terhadap jamban sehat di Kabupaten Karawang
69,89%, Kabupaten Bekasi 49,83%, Kota Bekasi
91,89% (Pusdatin Kemenkes, 2013).
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaruh kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen
2.3 terhadap akses air bersih, akses jamban
sehat dan kejadian diare serta menganalisis
pengaruh akses air bersih dan jamban sehat
terhadap kejadian diare.
METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan studi
cross-sectional berulang (repeated cross-
sectional study). Studi cross-sectional pertama telah
dilakukan pada tahun 2011, sebelum pelaksanaan
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3. Studi tersebut
dinyatakan sebagai studi data dasar (baseline
study). Studi cross-sectional berikutnya dilakukan
pada tahun 2013, setelah ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 selesai dilaksanakan di 15 lokasi
sasaran tahun 2011-2012.
Sampel dalam penelitian ini adalah ibu rumah
10 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
tangga yang tinggal di desa tersebut dan
tercatat dalam daftar KK di RT. Mengingat tingkat
mobilitas penduduk yang tinggi di lokasi
penelitian, maka sampel penelitian sebelum dan
sesudah kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3
tidak harus sama.
Berdasarkan hasil perhitungan sampel, maka
besar sampel minimal yang dibutuhkan sebanyak
267 sampel (dibulatkan menjadi 300 sampel).
Jumlah desa yang mendapat intervensi
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 adalah sebanyak
15 desa, sehingga besar sampel di masing-
masing desa sebanyak 20 sampel.
Penentuan sampel dilakukan dengan cara
purposive sampling. Kerangka sampel dalam
penelitian ini adalah daftar KK yang ada di
RT/RW setempat. Pada saat sebelum program,
sampel di lokasi program maupun non-program
dipilih yang bertempat tinggal di sekitar DAS
Citarum atau STB. Setelah program, sampel di
lokasi program dipilih berdasarkan rumah
tangga yang ikut serta dalam pelaksanaan
kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3
sedangkan di lokasi non-program tetap
berdasarkan tempat tinggal di sekitar DAS
Citarum atau STB.
Data yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer yang dikumpulkan yaitu data akses air
bersih, akses jamban sehat dan kejadian diare
setelah adanya intervensi program. Data ini
diperoleh dari hasil wawancara dengan
responden dengan menggunakan kuesioner.
Sedangkan data sekunder yang digunakan yaitu
data akses air bersih, akses jamban sehat dan
kejadian diare sebelum adanya intervensi
program. Data ini diperoleh dari laporan Survei
Data Dasar (Baseline Survey) ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 yang dilakukan pada tahun 2011.
Penelitian ini dilakukan di 15 desa ICWRMIP
Sub-Komponen 2.3 tahun 2011-2012, yang
berada di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi dan
Kabupaten Karawang serta 15 desa yang tidak
mendapat intervensi program (desa kontrol).
Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013
sampai dengan Juni 2013. Nama-nama desa lokasi
penelitian berdasarkan baseline study dapat
dilihat pada tabel (Tabel 1).
Tabel 1. Nama-nama desa lokasi penelitian (program dan
non-program) di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan
Kabupaten Karawang tahun 2013
No. Kabupaten/
Kota
Desa
Program Non-program
1. Kota Bekasi Margajaya Kayuringinjaya
Pekayon jaya Harapanjaya
Margahayu Harapanbaru
Jakasampurna Telukpucung
Jatibening Margamulya
2. Kabupaten
Bekasi
Pasirtanjung Jatimulya
Hegarmukti Setiadarma
Jayamukti Cibuntu
Pasirsari Sukadanau
Cibatu Wangunjaya
3. Kabupaten
Karawang
Kutamekar Margamulya
Sirnabaya Parungmulya
Sukaluyu Puserjaya
Wadas Pinayungan
Margakarya Puseur2
Analisis data pada penelitian ini meliputi
analisis univariat, bivariat dan multivariat. Analisis
univariat untuk mendeskripsikan semua variabel
penelitian, baik sebelum maupun sesudah
intervensi program, dianalisis dengan
menggambarkan proporsi masing-masing variabel
yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan
narasi. Analisis bivariat dengan menggunakan
uji chi-square. Analisis multivariat dilakukan
untuk menganalisis faktor yang paling
berpengaruh terhadap kejadian diare.
HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber
air bersih yang digunakan oleh responden
bervariasi, terdiri dari perpipaan PDAM, perpipaan
non- PDAM, sumur bor, sumur gali dan sungai.
Distribusi rumah tangga di lokasi penelitian
berdasarkan sumber air bersihyangdigunakandapat
dilihatpadaGambar1dan2.
Gambar 1. Distribusi rumah tangga menurut sumber air
bersih di lokasi non-program
11Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Gambar 2. Distribusi rumah tangga menurut sumber air
bersih di lokasi program
Berdasarkan sumber air bersih yang digunakan
tersebut rumah tangga dikategorikan menjadi 2,
yaitu memiliki dan tidak memiliki akses terhadap
air bersih. Rumah tangga yang menggunakan air
perpipaan (PDAM maupun non- PDAM), sumur
bor dan sumur gali dikategorikan sebagai
rumah tangga yang memiliki akses terhadap air
bersih, sedangkan rumah tangga yang
menggunakan air sungai dikategorikan tidak
memilikiaksesairbersih.
Proporsi akses air bersih di lokasi non- program
meningkat dari sebelum program sebesar
62,7% menjadi 64,5% setelah program. Begitupun
dengan proporsi akses air bersih di lokasi
program, meningkat dari 76,7% menjadi 98,0%
setelah adanya program. Peningkatan akses air
bersih di lokasi program lebih tinggi daripada
lokasi non-program. Gambaran perubahan
akses air bersih di lokasi program dan non-
program sebelum dan setelah program dapat
dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Distribusi rumah tangga menurut akses air bersih
sebelum dan setelah program
Hasil penelitian menunjukkan tempat buang air
besar yang digunakan oleh responden terdiri
dari jamban umum/bersama, jamban milik sendiri,
sungai, kebun/sawah dan kolam. Gambaran
distribusi rumah tangga di lokasi penelitian
berdasarkan tempat buang air besar dilihat pada
gambar 4 dan 5.
Gambar 4. Distribusi rumah tangga menurut tempat
buang air besar di lokasi non-program
Gambar 5. Distribusi rumah tangga menurut tempat
buang air besar di lokasi program
Tempat pembuangan tinja pada rumah
tangga yang buang air besar di jamban terdiri
dari septic tank, cubluk, lubang galian, sungai
dan kolam. Distribusi rumah tangga
berdasarkan tempat pembuangan tinja di lokasi
non-program dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Distribusi rumah tangga menurut tempat pembuangan
tinja di lokasi non-program
Tempat
pembuangan tinja
Sebelum
program
Setelah
program
n % n %
Septic tank 206 90,4 190 89,8
Cubluk 8 3,5 10 4,7
Dialirkan ke lubang
galian
2 0,9 1 0,5
Dialirkan ke sungai 9 3,9 9 4,2
Dialirkan ke kolam 3 1,3 2 0,9
JUMLAH 228 100,0 212 100,0
12 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Tabel 3. Distribusi rumah tangga menurut tempat
pembuangan tinja di lokasi program
Tempat
pembuangan tinja
Sebelum
program
Setelah
program
n % n %
Septic tank 216 91,9 267 98,5
Cubluk 8 3,4 3 1,1
Dialirkan ke sungai 8 3,4 1 0,4
Dialirkan ke kolam 3 1,3 - -
JUMLAH 235 100,0 271 100,0
Rumah tangga dikategorikan memiliki akses
terhadap jamban sehat jika rumah tangga
tersebut buang air besar di jamban yang tempat
pembuangan tinjanya ke septic tank atau
cubluk, selain itu dikategorikan tidak memiliki akses
terhadap jamban sehat. Gambaran perubahan
akses jamban sehat di lokasi program dan non-
program sebelum dan setelah program dapat
dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Distribusi rumah tangga menurut akses jamban
sehat sebelum dan setelah program
Kejadian diare didefinisikan sebagai buang air
besar dengan frekuensi meningkat dari
biasanya dengan konsistensi tinja yang lebih
lembek atau cair dan berlangsung dalam waktu
kurang dari 7 hari (Kemenkes RI, 2011) dalam 1
bulan terakhir. Gambaran perubahan kejadian
diare di lokasi program dan non-program
sebelum dan setelah program dapat dilihat pada
gambar 7.
Gambar 7. Distribusi rumah tangga menurut kejadian diare
sebelum dan setelah program
PEMBAHASAN
Untuk mengetahui pengaruh ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 terhadap akses air bersih, akses
jamban sehat dan kejadian diare, maka dilakukan
analisis statistik terhadap data akses air bersih
sebelum dan setelah program.
Hasil analisis akses air bersih di lokasi program
dan non-program sebelum adanya kegiatan
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 dapat dilihat pada
tabel 4. Hasil analisis menunjukkan nilai
p=0,000 dan nilai OR sebesar 1,96 (95% CI:
1,37-2,79). Nilai p<0,05, maka terdapat
perbedaan peluang akses air bersih pada lokasi
program dan non-program. Dari hasil tersebut
diketahui bahwa rumah tangga di lokasi non-
program berisiko 1,96 kali lebih besar untuk tidak
akses terhadap air bersih dibandingkan dengan
rumah tangga di lokasi program.
Hasil analisis akses air bersih di lokasi program
dan non-program setelah adanya kegiatan
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 dapat dilihat pada
tabel 5. Hasil analisis menunjukkan nilai
p=0,000 dan nilai OR sebesar 26,40 (95% CI:
11,34-61,45). Nilai p<0,05, maka terdapat
perbedaan peluang lokasi program dan non-
program untuk mendapatkan akses air bersih. Dari
hasil tersebut diketahui bahwa rumah tangga di
lokasi non-program berisiko 26,40 kali lebih
besar untuk tidak akses terhadap air bersih
dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi
program. Hasil ini sejalan dengan pencapaian
kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 yang telah
membangun 20 SAB dengan jumlah pemanfaat
20.043 orang di seluruh lokasi kegiatan tahun
2011-2012. Hasil penelitian ini juga sesuai
dengan hasil Kajian Cepat terhadap Program-
Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah
Indonesia (WSLIC dan PAMSIMAS) yang
dilakukan oleh LP3S (Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial) pada tahun 2007 di 6 (enam) desa lokasi
proyek WSLIC. Hasil kajian tersebut menyatakan
bahwa program WSLIC-2 telah menjawab sebagian
besar kebutuhan masyarakat pedesaan
terhadap air bersih dan sanitasi. Program WSLIC-
2 berhasil meningkatkan ketersediaan sarana
air bersih dan meningkatkan kemudahan dalam
mencapai akses terhadap sarana air bersih.
Masyarakat desa yang semula harus berjalan
jauh ke sumber air atau harus antri lama di
13Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
tempat penjual air sebelum adanya program
WSLIC, kini tinggal memutar kran yang ada di
kran umum atau di sambungan rumah masing-
masing. Jarak terjauh kran umum dengan
rumah penduduk hanya sekitar 200 meter
(LP3S, 2007). Begitu pula dengan hasil kajian
Evaluasi Program Penyediaan Air Minum dan
Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) di
Kecamatan Tembalang yang dilakukan oleh Christ
dkk (2012) menyatakan bahwa setelah penerapan
PAMSIMAS masyarakat mendapatkan dampak,
seperti kemudahan dalam mengakses air dan
terpenuhinya kebutuhan air bersih dimana debit
air tidak dipengaruhi oleh cuaca.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 berpengaruh terhadap akses air
bersih di lokasi program. Peningkatan akses air
bersih di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 lebih tinggi daripada peningkatan
akses air bersih di lokasi yang tidak
melaksanakan kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.
Tabel 4. Distribusi rumah tangga menurut akses air bersih dan lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 sebelum
program
Kegiatan ICWRMIP
Sub-Komponen 2.3
Akses air bersih
Jumlah
P OR CI95%Tidak akses Akses
n % n % n %
Non-program
112 37,3 188 62,7 300 100,0 0,000 1,96 1,37 – 2,79
Program
70 23,3 230 76,7 300 100,0
Total
182 30,3 418 69,7 600 100,0
Tabel 5. Distribusi rumah tangga menurut akses air bersih dan lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 setelah program
Kegiatan ICWRMIP
Sub-Komponen 2.3
Akses air bersih
Jumlah
P OR CI95%Tidak akses Akses
n % n % n %
Non-program
99 35,5 180 64,5 279 100,0 0,000 26,40 11,34 - 61,45
Program
6 2,0 288 98,0 294 100,0
Total
105 18,3 468 81,7 573 100,0
Hasil analisis akses jamban sehat di lokasi
program dan non-program sebelum
pelaksanaan kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen
2.3 dapat dilihat pada tabel 6. Hasil analisis
menunjukkan nilai p=0,408, nilai p tersebut lebih
besar dari 0,05 sehingga diketahui bahwa tidak
ada perbedaan akses jamban sehat antara lokasi
programdannon-program.
Hasil analisis akses jamban sehat di lokasi
program dan non-program setelah pelaksanaan
kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 dapat
dilihat pada tabel 7. Hasil analisis menunjukkan
nilai p=0,000 dan nilai OR sebesar 4,44 (95% CI:
2,72-7,27). Nilai p<0,05, maka terdapat
perbedaan peluang lokasi program dan non-
program untuk memiliki akses terhadap jamban
sehat. Dari hasil tersebut diketahui bahwa
rumah tangga di lokasi non-program berisiko
4,44 kali lebih besar untuk tidak akses terhadap
jamban sehat dibandingkan dengan rumah
tangga di lokasi program. Atau dengan kata lain,
rumah tangga di lokasi program memiliki
peluang untuk memiliki akses terhadap jamban
sehat sebesar 4,44 kali lebih besar daripada rumah
tangga di lokasi non-program.
Hasil ini sejalan dengan pencapaian kegiatan
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 yang telah
membangun sarana sanitasi komunal dengan
berbagai macam tipe dengan jumlah pemanfaat
5.847 orang di seluruh lokasi kegiatan tahun
2011-2012.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil Studi
Dampak Pembangunan SANIMAS (SANIMAS
Outcome Monitoring Study) yang dilakukan oleh
14 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Waspola pada tahun 2006, menunjukkan bahwa
setelah adanya SANIMAS terjadi perubahan pola
BAB yang cukup signifikan yaitu mayoritas BAB
di sarana SANIMAS (96,49%) dan sebagian kecil
masih BAB di tempat tidak aman seperti di
sungai dan WC cemplung (Waspola, 2006).
Begitu pula dengan hasil Kajian Cepat terhadap
Program-Program Pengentasan Kemiskinan
Pemerintah Indonesia (WSLIC dan PAMSIMAS)
yang dilakukan oleh LP3S (Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial) pada tahun 2007 yang menyatakan
bahwa program WSLIC-2 berhasil meningkatkan
ketersediaan sarana sanitasi dan meningkatkan
kemudahan dalam mencapai akses terhadap
sarana sanitasi.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 berpengaruh terhadap akses
jamban sehat di lokasi program. Peningkatan
akses jamban sehat di lokasi kegiatan ICWRMIP
Sub-Komponen 2.3 lebih tinggi daripada
peningkatan akses jamban sehat di lokasi yang
tidak melaksanakan kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3.
Tabel 6. Distribusi rumah tangga menurut akses jamban sehat dan lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 sebelum
program
Kegiatan ICWRMIP
Sub-Komponen 2.3
Akses jamban sehat
Jumlah
p OR CI95%Tidak akses Akses
n % n % n %
Non-program 86 38,7 214 71,3 300 100,0 0,408 1,18 0,83 – 1,70
Program 76 25,3 224 74,7 300 100,0
Total 162 27,0 438 73,0 600 100,0
Tabel 7. Distribusi rumah tangga menurut akses jamban sehat dan lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 setelah
program
Kegiatan ICWRMIP
Sub-Komponen 2.3
Akses jamban sehat
Jumlah
p OR CI95%Tidak akses Akses
n % n % n %
Non-program 79 28,3 200 71,7 279 100,0 0,000 4,44 2,72 - 7,27
Program 24 8,2 270 91,8 294 100,0
Total 103 18,0 470 82,0 573 100,0
Hasil analisis kejadian diare di lokasi program
dan non-program sebelum pelaksanaan
kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 dapat
dilihat pada tabel 8. Hasil analisis menunjukkan
nilai p=0,022 dan nilai OR sebesar 1,48 (95% CI:
1,07-2,04). Nilai p<0,05, maka dapat disimpulkan
bahwaterdapatperbedaanrisikokejadian diare pada
lokasi program dan non-program. Dari hasil
tersebut diketahui bahwa rumah tangga di
lokasi non-program berisiko 1,48 kali lebih
besar untuk mengalami kejadian diare
dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi
program.
Hasil analisis kejadian diare di lokasi program
dan non-program setelah pelaksanaan kegiatan
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 dapat dilihat pada
tabel 9. Hasil analisis menunjukkan nilai
p=0,000 dan nilai OR sebesar 7,17 (95% CI:
4,68-10,99). Nilai p<0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan risiko
kejadian diare pada lokasi program dan non-
program. Rumah tangga di lokasi non-program
berisiko 7,17 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian diare dibandingkan dengan rumah
tangga di lokasi program.
Hasil ini sesuai dengan hasil Kajian Cepat
terhadap Program-Program Pengentasan
Kemiskinan Pemerintah Indonesia (WSLIC dan
PAMSIMAS) yang dilakukan oleh LP3S
(Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial) pada tahun
2007 yang menyatakan bahwa di lokasi proyek
WSLIC-2 terjadi penurunan penyakit yang
disebabkan oleh air dan sanitasi/lingkungan yang
kurang baik.
15Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Berdasarkan hasil wawancara dengan
masyarakat dan aparat desa serta petugas
puskesmas atau polindes, diperoleh informasi
bahwa terjadi penurunan kejadian penyakit
yang terkait dengan terpenuhinya kebutuhan
air bersih dan sanitasi.
Praptiwi (2011) dalam tesisnya yang berjudul
”Program Penyediaan Air Minum Dan Sanitasi
Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dalam Mengubah
Perilaku Masyarakat Dalam Rangka Penurunan
Diare di Kabupaten Temanggung (di Desa
Purwodadi, Kecamatan Tembarak dan Desa
Tepusen Kecamatan Kaloran)” pun menyatakan
bahwa Program PAMSIMAS dengan kelima
komponennya berhasil membentuk perilaku
masyarakat dan menurunkan kejadian diare
yaitu dengan mendukung proses pemberdayaan
masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan,
dan mengelola prasarana air minum, sanitasi,
peningkatankesehatanlingkungansertapeningkatan
kualitas lingkungan dengan menurunnya
jumlah masyarakat yang buang air besar
disembarang tempat (open defecation free)
sehingga pencemaran lingkungan akibat tinja
dapat berkurang.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 berpengaruh terhadap kejadian
diare di lokasi program. Penurunan kejadian diare
di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3
lebih tinggi daripada penurunan kejadian diare
di lokasi yang tidak melaksanakan kegiatan
ICWRMIPSub-Komponen2.3.
Tabel 8. Distribusi rumah tangga menurut kejadian diare dan lokasi kegiatan ICWRMIP sub-komponen 2.3 sebelum program
Kegiatan ICWRMIP
sub-komponen 2.3
Kejadian diare
Jumlah
p OR CI95%Ya Tidak
n % n % n %
Non-program 149 49,7 151 50,3 300 100,0 0,022 1,48 1,07 - 2,04
Program 120 40,0 180 60,0 300 100,0
Total 269 44,8 331 55,2 600 100,0
Tabel 9. Distribusi rumah tangga menurut kejadian diare dan okasi kegiatan ICWRMIP sub-komponen 2.3 setelah program
Kegiatan ICWRMIP
sub-komponen 2.3
Kejadian diare
Jumlah
p OR CI95%Ya Tidak
n % n % n %
Non-program 135 48,4 144 51,6 279 100,0 0,000 7,17 4,68 - 10,99
Program 34 11,6 260 88,4 294 100,0
Total 169 29,5 404 70,5 573 100,0
Analisis pengaruh waktu terhadap akses air
bersih, akses jamban sehat dan kejadian diare
dilakukan pada lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3. Variabel waktu dibedakan
menjadi sebelum dan setelah pelaksanaan
program.
Pengaruh variabel waktu terhadap akses air
bersih di lokasi program dapat dilihat pada
tabel 10. Hasil analisis menunjukkan nilai
p=0,000 dan nilai OR sebesar 14,61 (95% CI:
6,23-34,23). Nilai p<0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
waktu dengan akses terhadap air bersih. Dari
hasil tersebut diketahui bahwa rumah tangga
sebelum program berisiko 14,61 kali lebih besar
untuk tidak akses terhadap air bersih
dibandingkan dengan rumah tangga sesudah
program. Atau dengan kata lain, rumah tangga
sesudah program memiliki peluang untuk
memiliki akses terhadap air bersih sebesar 14,61
kali lebih besar daripada sebelum program.
Pengaruh variabel waktu terhadap akses
jamban sehat di lokasi program dapat dilihat
pada tabel 11. Hasil analisis menunjukkan nilai
p=0,000 dan nilai OR sebesar 3,82 (95% CI:
2,33-6,24). Nilai p<0,05) maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan antara waktu dengan
akses terhadap jamban sehat. Dari hasil
tersebut diketahui bahwa rumah tangga
sebelum program berisiko 3,82 kali lebih besar
untuk tidak akses terhadap jamban sehat
dibandingkan dengan rumah tangga sesudah
program. Atau dengan kata lain, rumah tangga
sesudah program memiliki peluang untuk
memiliki akses terhadap jamban sehat sebesar
3,82 kali lebih besar daripada sebelum program.
16 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Pengaruh variabel waktu terhadap kejadian
diare di lokasi program dapat dilihat pada tabel
12. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000
dan nilai OR sebesar 5,10 (95% CI: 3,33-7,80).
Nilai p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan antara waktu dengan
kejadian diare. Dari hasil tersebut diketahui
bahwa rumah tangga sebelum program berisiko
5,10 kali lebih besar untuk mengalami kejadian
diare dibandingkan dengan rumah tangga
sesudah program.
Tabel 10. Distribusi rumah tangga di lokasi program menurut akses air bersih dan variabel waktu
Waktu
Akses air bersih
Jumlah
p OR CI95%Tidak akses Akses
n % n % n %
Sebelum 70 23,3 230 76,7 300 100,0 0,000 14,61 6,23 - 34,23
Sesudah 6 2,0 288 98,0 294 100,0
Total 76 12,8 518 87,2 594 100,0
Tabel 11. Distribusi rumah tangga di lokasi program menurut akses jamban sehat dan variabel waktu
Waktu
Akses jamban sehat
Jumlah
p OR CI95%Tidak akses Akses
n % n % n %
Sebelum 76 25,3 224 74,7 300 100,0 0,000 3,82 2,33 - 6,24
Sesudah 24 8,2 270 91,8 294 100,0
Total 100 16,8 494 83,2 594 100,0
Tabel 12. Distribusi rumah tangga di lokasi program menurut kejadian diare dan variabel waktu
Waktu
Kejadian diare
Jumlah
p OR CI95%Ya Tidak
n % n % N %
Sebelum 120 40,0 180 60,0 300 100,0 0,000 5,10 3,33 - 7,80
Sesudah 34 11,6 260 88,4 294 100,0
Total 154 25,9 440 74,1 594 100,0
Analisis hubungan antara akses air bersih
dengan kejadian diare dilakukan pada seluruh
data yang ada, baik di lokasi program maupun
non-program, sebelum dan sesudah program.
Hubungan antara akses air bersih dengan kejadian
diare dapat dilihat pada tabel 13.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 136
(47,4%) responden pada rumah tangga yang
tidak memiliki akses terhadap air bersih mengalami
kejadian diare, sedangkan pada rumah tangga yang
memiliki akses terhadap air bersih terdapat 302
(34,1%)yang mengalami kejadian diare.
Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000 dan
nilai OR sebesar 1,74 (95% CI: 1,33-2,28). Nilai
p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara akses air bersih dengan
kejadian diare. Dari hasil tersebut diketahui
bahwa rumah tangga yang tidak memiliki akses
terhadap air bersih berisiko 1,74 kali lebih
besar untuk mengalamikejadiandiaredibandingkan
dengan rumah tangga yang memiliki akses
terhadap air bersih.
Analisis hubungan antara akses jamban sehat
dengan kejadian diare dapat dilihat pada tabel
14. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat
144 (54,3%) responden pada rumah tangga
yang tidak memiliki akses terhadap jamban sehat
mengalami kejadian diare, sedangkan pada rumah
tangga yang memiliki akses terhadap jamban sehat
terdapat 294 (32,4%) yang mengalami kejadian
diare.
Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000 dan
nilai OR sebesar 2,48 (95% CI: 1,88-3,28). Nilai
p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan antara akses jamban sehat
dengan kejadian diare. Dari hasil tersebut
diketahui bahwa rumah tangga yang tidak
memiliki akses terhadap jamban sehat berisiko
2,48 kali lebih besar untuk mengalami kejadian
diare dibandingkan dengan rumah tangga yang
memiliki akses terhadap jamban sehat.
17Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Tabel 13. Hubungan antara akses air bersih dan kejadian diare
Akses Air Bersih
Kejadian diare
Jumlah
p OR CI95%Ya Tidak
n % n % n %
Tidak Akses
136 47,4 151 52,6 287 100,0 0,000 1,74 1,33 - 2,28
Akses
302 34,1 584 65,9 886 100,0
Total
438 37,3 735 62,7 1173 100,0
Tabel 14. Hubungan antara akses jamban sehat dan kejadian diare
Akses Jamban Sehat
Kejadian diare
Jumlah
p OR CI95%Ya Tidak
n % n % n %
Tidak Akses
144 54,3 121 45,7 265 100,0 0,000 2,48 1,88 - 3,28
Akses
294 32,4 614 67,6 908 100,0
Total
438 37,3 735 62,7 1173 100,0
Untuk mengetahui variabel yang paling
berpengaruh terhadap kejadian diare di lokasi
kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 maka
dilakukan analisis multivariat menggunakan
regresi logistik. Hasil akhir analisis multivariat
menunjukkan bahwa variabel yang paling
berpengaruh terhadap kejadian diare di lokasi
program adalah kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 dengan nilai p=0,000 dan OR
sebesar 2,63 (CI95%:2,04-3,39) setelah
dikontrol dengan variabel akses jamban sehat
dan waktu. Risiko kejadian diare pada rumah
tangga yang tidak memiliki akses terhadap
jamban sehat, tidak ada intervensi program,
sebelum pelaksanaan program 7,75 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan rumah tangga yang
memiliki akses terhadap jamban sehat, ada
intervensi, setelah pelaksanaan program.
Untuk mengetahui variabel yang paling
berpengaruh terhadap kejadian diare di lokasi
kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 maka
dilakukan analisis multivariat menggunakan
regresi logistik. Hasil akhir analisis multivariat
menunjukkan bahwa variabel yang paling
berpengaruh terhadap kejadian diare di lokasi
program adalah kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 dengan nilai p=0,000 dan OR
sebesar 2,63 (CI95%:2,04-3,39) setelah
dikontrol dengan variabel akses jamban sehat
dan waktu. Risiko kejadian diare pada rumah
tangga yang tidak memiliki akses terhadap
jamban sehat, tidak ada intervensi program,
sebelum pelaksanaan program 7,75 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan rumah tangga yang
memiliki akses terhadap jamban sehat, ada
intervensi, setelah pelaksanaan program.
Untuk mengetahui pengaruh interaksi waktu
dan intervensi kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 terhadap kejadian diare dilakukan
uji interaksi menggunakan regresi logistik. Hasil
uji interaksi menunjukkan bahwa variabel
kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3
berinteraksi dengan waktu terhadap kejadian
diare dengan nilai p=0,000 dan OR sebesar 4,84
(CI95%: 2,83-8,38). Hal tersebut menunjukkan
bahwa kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3
berinteraksi dengan waktu dapat menurunkan
kejadian diare sebesar 4,84 kali di lokasi
program. Artinya, rumah tangga di lokasi tanpa
kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 sebelum
adanya kegiatan berisiko mengalami kejadian
diare 4,84 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
rumah tangga di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 setelah adanya kegiatan.
KESIMPULAN
KegiatanICWRMIPSub-Komponen2.3berpengaruh
terhadap akses air bersih. Peningkatan akses air
bersih di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-
18 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Komponen 2.3 lebih tinggi daripada
peningkatan akses air bersih di lokasi yang tidak
melaksanakan kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3.
KegiatanICWRMIPSub-Komponen2.3berpengaruh
terhadap akses jamban sehat. Peningkatan
akses jamban sehat di lokasi kegiatan ICWRMIP
Sub-Komponen 2.3 lebih tinggi daripada
peningkatan aksesjambansehatdilokasiyangtidak
melaksanakan kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3.
KegiatanICWRMIPSub-Komponen2.3berpengaruh
terhadap kejadian diare. Penurunan kejadian
diare di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen
2.3 lebih besar daripada di lokasi yang tidak
melaksanakan kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen
2.3.
Terdapat hubungan antara akses air bersih
dengan kejadian diare dengan nilai OR sebesar
1,74, yang berarti bahwa rumah tangga yang
tidak memiliki akses terhadap air bersih
berisiko 1,74 kali lebih besar untuk mengalami
kejadian diare dibandingkan dengan rumah
tangga yang memiliki akses terhadap air bersih.
Terdapat hubungan antara akses jamban
sehat dengan kejadian diare dengan nilai OR
sebesar 2,48 sehingga diketahui bahwa rumah
tangga yang tidak memiliki akses terhadap
jamban sehat berisiko 2,48 kali lebih besar
untuk mengalami kejadian diare dibandingkan
dengan rumah tangga yang memiliki akses
terhadap jamban sehat.
Rumah tangga di lokasi tanpa kegiatan
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 yang tidak
memiliki akses terhadap jamban sehat sebelum
kegiatan berisiko 7,75 kali lebih besar untuk
mengalami kejadian diare dibandingkan dengan
rumah tangga di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 yang memiliki akses terhadap
jamban sehat setelah intervensi ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3.
Kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3
berinteraksi dengan waktu dapat menurunkan
kejadian diare sebesar 4,84 kali di lokasi
program. Artinya, rumah tangga di lokasi tanpa
kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 sebelum
adanya kegiatan berisiko mengalami kejadian
diare 4,84 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
rumah tangga di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-
Komponen 2.3 setelah adanya kegiatan.
SARAN
1. PerludilakukanpengembangankegiatanICWRMIP
Sub-Komponen 2.3 di kabupaten/kota lainnya
yang dilalui oleh sungai Citarum dan STB,
sesuai dengan sasaran ICWRMIP secara
keseluruhan.
2. Perlu dilakukan kegiatan yang serupa
dengan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 di
lokasi yang tidak termasuk sebagai sasaran
ICWRMIP, terutama pada daerah dengan akses
air bersih dan jamban sehat yang rendah dan
angka kesakitan diare yang tinggi.
3. Bagi Pemerintah Daerah setempat diharapkan
dapat melakukan
pengembangan/mereplikasi kegiatan
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 di lokasi lain,
baik yang berada di DAS Citarum/STB
maupun lokasi lainnya dengan pendekatan
yang serupa.
4. Perlu dilakukan penelitian serupa terhadap
variabel lain yang diintervensi oleh kegiatan
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 untuk
mengetahui pencapaian kegiatan secara
menyeluruh.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
disampaikan kepada Bapak drh. Wilfried H. Purba,
MM, M.Kes, Bapak drs. Bambang Wispriyono,
Apt, Ph.D, Bapak dr. Suyud Warno Utomo, M.Si,
Ibu dr. Agustin Kusumayati, M.Sc, PhD, Ibu dra.
Cucu Cakrawati Kosim, M. Kes, Bpk. Budi
Hartono, S.Si, MKM, Bapak drs. Agung Pambudi,
dan rekan-rekan mahasiswa FKM UI, orang tua
dan keluarga yang telah memberi kesempatan,
bantuan, memfasilitasi, kemudahan, saran dan
masukan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah. 2002. Hubungan Perilaku Hidup
Bersih Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di
Kecamatan Bangkinang Barat, Bangkinang
Kampar Dan Tambang Kabupaten Kampar
Tahun 2002. Depok: Universitas Indonesia.
Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC).
2009. Citarum Roadmap and Investment
Program. Jakarta.
19Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC).
2010. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu
Wilayah Sungai Citarum. Booklet. Jakarta.
Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC).
2010. Program Investasi Pengelolaan Sumber
Daya Air Terpadu Wilayah Sungai Citarum.
Ringkasan Utama. Jakarta.
Blumenthal, D.S. and Ruttenber, J.A. 1995.
Introduction to Environmental Health. Second
Editon. New York: Springer Publishing
Company.
Blum H. L. 1974. Planning For Health. New York:
Human Sciences Press.
Christ, Margaretha, Fathurrohman. 2012. Evaluasi
Program Penyediaan Air Minum Dan Sanitasi
Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) Di Kecamatan
Tembalang. Semarang: Universitas Diponegoro.
ICWRMIP Sub-Komponen 2.3. 2012. Laporan
Akhir Pelaksanaan Proyek. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2011. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit
Diare. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2011. Jakarta.
Kusnoputranto, H. 1997. Air Limbah dan Ekskreta
Manusia Aspek Kesehatan Masyarakat dan
Pengelolaannya. Jakarta: Universitas Indonesia.
Kusnoputranto, H. 2002. Kesehatan Lingkungan.
Depok: Universitas Indonesia.
Kusumayati, A. 2008. The Effects of Maternal
and Child Health Handbook Utilization in
West Sumatera, Indonesia. Doctoral
Dissertation. Osaka University.
Lemeshow, S, Hoswer Jr, Klar, Lwanga. 1990.
Adequacy of Sampel Size In Health Studies.
University of Massacchusetts & WHO.
LP3ES. 2007. Kajian Cepat Terhadap Program-
Program Pengentasan Kemiskinan
Pemerintah Indonesia: Program WSLIC-2 dan
Pamsimas. Laporan Akhir.
Mukono,J.2000.PrinsipDasarKesehatanLingkungan.
Surabaya: Airlangga University Press.
Octaviany, E. 2012. Kondisi Rumah dan Sarana
Sanitasi Dasar dengan Kejadian Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Diare, dan
Tuberkulosis di Kota Sukabumi 2010-2011.
Depok: Universitas Indonesia.
Pramudhy, R. 2006. Hubungan Pembangunan
Sarana Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan
terhadap Peningkatan Derajat Kesehatan
(Studi Kasus di Desa Jambearjo dan Desa
Klampok, Kabupaten Malang). Jakarta: Tesis.
Program Studi Ilmu Lingkungan Program
Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Praptiwi, H.E. 2011. Program Penyediaan Air
Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
(Pamsimas) dalam Mengubah Perilaku
Masyarakat dalam rangka Penurunan Diare
di Kabupaten Temanggung (di Desa
Purwodadi Kecamatan Tembarak dan Desa
Tepusen Kecamatan Kaloran). Tesis. Semarang:
UniversitasDiponegoro.
Waspola. 2006. Studi Dampak Pembangunan
Sanimas (Sanimas Outcome Monitoring
Study). Laporan Akhir. Jakarta: Waspola dan
Pokja AMPL.
Yardley S. 2010. Joining the Dots: Why Better
Water, Sanitation and Hygiene are Necessary
for Progress on Maternal, Newborn and Child
Health. Teddington: Tearfund.
Yunus, M. 2003. Hubungan Sanitasi Dasar,
Perilaku Ibu dengan Kejadian Diare Balita Di
Wilayah Puskesmas Kedung Waringin
Kecamatan Kedung Waringin Kabupaten
Bekasi Tahun 2003. Depok: Universitas
Indonesia
20 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Pengolahan Sampah dengan Metode Composting Open Windrow
di Kelurahan Banjar Sari, Lampung Tahun 2013
Waste Processing with Open Windrow Composting Method in Banjar Sari, Lampung, 2013
P.A. Kodrat Pramudho1, Widodo1, Imelda Husdiani1, Imam Santosa2
1Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Jakarta, Ditjen PP dan PL, Kementerian
Kesehatan RI,
2Politeknik Kesehatan Jurusan Kesehatan Lingkungan, Tanjung Karang, Lampung,
Kementerian Kesehatan RI
Abstrak
Sampah merupakan salah satu masalah dalam masyarakat bila tidak dikelola dengan baik, karena sangat berperan dalam
menimbulkan penyakit dan pencemaran lingkungan. Setiap hari sampah yang dihasilkan mencapai ribuan ton, terutama
terdiri dari sampah rumah tangga, sampah pasar, dan kotoran hewan. Padahal sebagian besar (70-90%) sampah tersebut
merupakan bahan organik, sehingga jika dikelola dengan baik selain dapat mencegah penyakit serta mengatasi masalah
kebersihan dan kesehatan lingkungan, juga bermanfaat, baik dari aspek sosial maupun ekonomi, khususnya bagi masyarakat
di sekitarnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan
tekhnologi tepat guna dalam pengelolaan sampah.Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit
(BBTKLPP) Jakarta bekerja sama dengan Politeknik Kesehatan (Poltekkes)Jurusan Kesehatan Lingkungan Tanjung Karang,
didukung oleh Pemerintah Kota Metro, Lampung melakukan pengelolaan sampah kotoran hewan (kohe), rumah tangga dan
pasar di kelurahan Banjar Sari kota Metro dengan metode“Composting Open Windrow” yang berbasis masyarakat. Diharapkan
pengomposan ini akan memberikan manfaat ganda yaitu mengurangi volume sampah di TPA sekaligus menyediakan pupuk
tanaman bagi para petani dan menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat. Selain itu pelaksanaan kegiatan ini dapat
dijadikan sebagai model dan pemicu bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat dalam pengembangan kegiatan
(replikasi) di tempat lain.
Kata kunci:Pengelolaan sampah, composting, Kelurahan Banjar Sari, Lampung
Abstract
Trash is one of the problems in society if not properly managed, because it plays a role in causing diseases and environmental
pollution. Everyday of waste generated in the thousands tons, consisting mainly of household waste, market waste, and
animal waste. Whereas the majority (70-90%) of the garbage is organic material, so if managed properly in addition to
preventing disease and overcome the problem of hygiene and environmental health, are also useful, both socially and
economically, particularly to the surrounding community. One effort that can be done to overcome this problem is to adopt
appropriate technology in waste management. Center for Disease Control Environmental Health Engineering (BBTKLPP)
Jakarta, in collaboration with the Health Polytechnic (Polytechnic) Department of Environmental Health Tanjung Karang,
supported by the City Metro, Lampung perform waste management dung (Kohe), household and market town in the village of
Banjar Sari Metro with the method "Open Windrow Composting" based society. It is expected that composting would have
the dual benefit of reducing the volume of waste in land fills while providing fertilizer for farmers and generate added value
for the community. In addition, the implementation of these activities can serve as a model and catalyst for community and
local government in development activities (replication) else where.
Keywords :Waste processing, composting, Banjar Sari Village, Lampung
Alamat Korespondensi:Imelda Husdiani, ST, M.Kes,
BBTKLPP Jakarta, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, Jl. Balai
Rakyat No.2 Cakung Jakarta Timur, Hp: 08170090509,e-
mail: ihusdiani@ymail.com
PENDAHULUAN
Sampah dapat menjadi salah satu masalah
dalam masyarakat bila tidak dikelola dengan
baik, karena berkaitan erat dengan timbulnya
berbagai penyakit dan pencemaran lingkungan.
Setiap hari sampah yang dihasilkan mencapai
ribuan ton, terutama terdiri dari sampah
rumahtangga, sampah pasar, dan kotoran
hewan. Sebagian besar (70-90%) sampah
tersebut merupakan bahan organik, sehingga
jika dikelola dengan baik selain dapat mencegah
penyakit serta mengatasi masalah kebersihan
dan kesehatan lingkungan, juga bermanfaat, baik
dari aspek sosial maupun ekonomi, khususnya
bagi masyarakat di sekitarnya. Salah satu
bentuk pengelolaan sampah yang baik adalah
dengan mengolahnya menjadi kompos, yaitu
21Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
hasil penguraian tidak lengkap dari campuran
bahan-bahan organik yang dapat dipercepat
oleh mikroba dalam kondisi lingkungan yang
hangat dan lembab.
Di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung,
sebagian besar penduduk memelihara sapi dan
bekerja sebagai petani. Kohe (istilah setempat
untuk kotoran hewan) yang dihasilkan ternak
sapi sangat berlimpah, namun belum dimanfaatkan
termasuk sampah lainnya yang ada di kelurahan
tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka Balai Besar
Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
Penyakit (BBTKLPP) Jakarta bekerja sama dengan
Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan
(Poltekkes) Tanjung Karang dalam pengolahan
sampah di Kelurahan Banjar Sari, yaitu sampah
kohe, rumah tangga dan pasar. Bentuk kegiatan
pengolahan yang akan dilaksanakan adalah
komposting (pengomposan), dengan sistim open
windrow berbasis masyarakat. Pengomposan
adalah proses dimana bahan organik mengalami
penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba
yangmemanfaatkanbahanorganiksebagaisumber
energi. Kerjasama ini mendapat dukungan dari
pemerintah daerah setempat.
Apabila pengomposan ini terlaksana dengan
efektif dan efisien,maka akan diperoleh manfaat
ganda yaitu: 1) Mengurangi volume sampah di
Tempat Pembungan Sampah (TPA) sekaligus
menyediakan pupuk tanaman bagi petani pertanian;
dan 2) Dapat dipasarkan dan menghasilkan nilai
tambah ekonomi bagi masyarakat.
METODE
Pengomposan dengan sistim open windrow
adalah metode yang paling sederhana, dilakukan
di tempat terbuka beratap aerasi alamiah. Sampah
yang dikomposkan ditumpuk memanjang dengan
frekuensi pembalikan tertentu dan suhu yang
dikendalikan. Desain rumah kompos tampak
samping, atas, dan depan sebagaimana terlihat
pada Gambar 1,2, dan 3.
Gambar 1. Tampak samping
22 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Gambar 2. Tampak atas
Gambar 3. Tampak depan
23Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Peralatan operasional kompos
Setiap unit pengomposan membutuhkan
beberapa peralatan penunjang seperti perlengkapan
kerja dan alat bantu produksi. Jumlah personil
danperalatankerja tergantungpada besarnyausaha
atau kapasitas unit pengomposan. Gambar 4-7
berikut ini merupakan peralatan yang
digunakanuntuk produksi kompos dengan
teknologi open windrow.
Gambar 4. Perlengkapan utama
Gambar 5. Perlengkapan APD pekerja
Gambar 6. Perlengkapan pendukung
Gambar 7. Perlengkapan proses
Bensin 4 literBakteri
Timbangan
Sapu Lidi Humidity Meter
EmberCangkul Sekop
Termometer
Reaktor SistemMesin Penggiling
Tanki Leached Pompa
Sepatu Safety Antiseptik
Sarung Tangan Karet Masker
24 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Tahapan pengomposan
Tahapan pengomposan dapat dilihat pada
Bagan di bawah ini:
Bagan tahapan pengomposan
Perlakuan pada reaktor menurut hari dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan pada reaktor
Kegiatan
setiap
hari ke-
Perlakuan pada reaktor Suhu Kelem
baban
1 Lakukan pembalikan dan
siram dengan starter
bakteri secara merata
3 Lakukan pembalikan ke-2
5 Lakukan pembalikan ke-3
dan siram dengan starter
bakteri secara merata
7 Lakukan pembalikan ke-4
9 Lakukan pembalikan ke-5
11 Lakukan pembalikan ke-6
dan siram dengan starter
bakteri secara merata
13 Lakukan pembalikan ke-7
dan pemantauan suhu di
bawah 60°C
15 Lakukan pembalikan ke-8
dan pemantauan suhu di
bawah 60°C
18 Lakukan pembalikan ke-9
dan pemantauan suhu di
bawah 40°C
20 Lakukan pemantauan
suhu sampai keadaan
stabil dibawah 40°C dan
kelembaban 40 % dan
stabil. Kemudian lakukan
pemanenan
HASIL
Teknologi Tepat Guna dalam pengolahan
sampah yang diterapkan di Kelurahan Banjar Sari,
Kota Metro, Lampung sudah sesuai dengan
prosedur, dan semua kegiatan berjalan dengan
baik. Biaya yang dikeluarkan untuk produksi
kompos cukup murah dan bila dijual hasilnya
cukup tinggi. Kompos yang dihasilkan selain
digunakan untuk pertanian juga untuk menambah
pendapatan masyarakat Kelurahan Banjar Sari.
PEMBAHASAN
Teknologi Tepat Guna (TTG) dalam pengolahan
sampah yang diterapkan di Kelurahan Banjar
Sari, Kota Metro, Lampung sejak diresmikan
dan diujicobakan sampai dengan tanggal 5 Mei
2014 sudah sesuai dengan panduan yang telah
diberikan oleh tim TTG (BBTKLPP Jakarta dan
Poltekkes Kesling Tanjung Karang).
Pada saat dilakukan observasi ke lapangan
peralatan yang mendukung proses pembuatan
kompos berfungsi dengan baik. Biaya yang
dikeluarkan untuk memproduksi 550kg kompos
hanya Rp 24.000,- untuk pembelian sebanyak
4 liter bensin ditambah tenaga masyarakat
kelurahan Banjar Sari selama 15-20 hari. Jika hasil
kompos dijual dengan harga Rp 1500/kg saja,
maka 1 kali produksi menghasilkan Rp 825.000,-.
Hasil produksi kompos Banjar Sari selama
beroperasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil produksi kompos Banjar Sari
Produksi
ke-
Lama
proses
Hasil
kompos
1 15 hari 11 karung @ 50 kg = 550 kg
2 20 hari 11 karung @ 50 kg = 550 kg
3 20 hari 11 karung @ 50 kg = 550 kg
4 10 hari Sedang proses
Total hasil produksi
pertama sampai ke-3:
1.650 kg
Pengangkutan sampah ke
pengolahan
Pemilahan
Pencacahan
Menyiapkan
starter Bakteri
Perlakuan di Reaktor
(penyusunan tumpukan
dan pembalikan sesuai jadwal)
Panen Kompos
(Pengeringan)
Panen Kompos
(Pengayakan)
Panen Kompos
(Pengemasan)
Penyimpanan
25Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Sampai saat ini kompos yang dihasilkan
digunakan oleh kelompok pembuatan kompos
untuk kebun tomat, terong, padi (sawah).
Penggunaan kompos untuk tanaman bunga
terlihat pada Gambar 8. Tanaman bunga tumbuh
subur dan sudah dapat dijual kepada masyarakat.
Gambar 8. Hasil penggunaan kompos untuk tanaman
bunga
Selain itu dilakukan uji coba penggunaan
kompos untuk sawah di lingkungan kelompok
tani. Lahan tanaman padi yang diberi kompos
produksi sendiri dibandingkan hasilnya dengan
pemberian pupuk kimiawi yang mereka bisa
beli di pasar.
KESIMPULAN
Pengolahan sampah dengan Teknologi Tepat
Guna diterapkan di Kelurahan Banjar Sari, Kota
Metro, Lampung sudah dapat mengurangi sebagian
volume sampah di TPA, menyediakan pupuk
tanaman bagi petani, dan menghasilkan nilai
tambah ekonomi.
Pada saat dilakukan observasi ke lapangan,
peralatan yang mendukung proses pembuatan
kompos berfungsi dengan baik. Biaya yang
dikeluarkan untuk sekali produksi cukup murah
(Rp24.000,-),biladijualmenghasilkanRp825.000,-.
Kompos yang dihasilkan sudah digunakan
oleh kelompok pembuatan kompos untuk
kebundan sawah. Penggunaan kompos untuk
tanaman seperti bunga tumbuh dengan subur
dan sudah dapat dijual kepada masyarakat. Selain
itu sedang dilakukan uji coba penggunaan
kompos untuk sawah di lingkungan kelompok
tani, yaitu dengan membandingkan hasil yang
diberi kompos produksi sendiri dengan
pemberian pupuk kimiawi yang biasa mereka
beli di pasar.
SARAN
1. Perlu dukungan Pemda setempat dalam
meningkatkan jumlah tempat pengolahan
sampah(rumahkompos),karenarumahkompos
yang ada belum sepenuhnya dapat mengolah
kohe yang masih menumpuk. Reaktor yang
tersedia masih kurang dan masyarakat
belum mampu melakukan duplikasi karena
keterbatasan dana.
2. Kegiatan pengolahan sampah di Kelurahan
Banjar Sari dapat dijadikan sebagai percontohan
dalam pengembangan kegiatan di tempat lain.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua
pihak yang telah berperan dalam kegiatan
pengelolaan sampah di Kelurahan Banjar Sari,
Kota Metro, Lampung, sehingga kegiatan tersebut
dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
C Padyawardana. 2006. Pengolahan sampah menjadi
sampah kompos skala kawasan dengan metode
openwindrowbergulir,Teodolita.7/2.Purwokerto.
Badan Pengkajian dan PenerapanTeknologi (BPPT).
2003. Sistem Pengolahan Sampah Kota secara
terpadu, Pelatihan Pengolahan Sampah Kota
Secara Terpadu menuju zero waste. Jakarta.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT). 1998. Teknologi Pembuatan Pupuk
Organik (Kompos) dari sampah kota.Jakarta.
Yayasan Danamon Peduli. Buku Pedoman
Pengolahan Sampah Terpadu. Jakarta.
Anonim. 2011. Pengelolaan sampah.
http://www4.justnet.ne.ip/offifour/smoky.ht
m diakses tanggal 9 desember 2011
26 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Peran Bidan dalam Penemuan Suspek Tuberkulosis di Kabupaten Siak,
Provinsi Riau, Tahun 2013
The Role of Midwife in Suspected Tuberculosis Finding in Siak District, Riau Province, 2013
Suyanto1, Dwi Sri Rahayu2, Winarto1, Fifia Chandra1, Doni Pahlevi1, Sumanto Simon3,
Muhammad Noor Farid3, Budiarti Setyaningsih4, Eka Sulistiany4, Retno Budiati4
1FK Universitas Riau, Pekanbaru, 2Dinkes Provinsi Riau, 3Tuberculosis Operational Research Group,
4Subdit TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI
Abstrak
Cakupan penemuan suspek tuberkulosis (TB) di Kabupaten Siak, Provinsi Riau masih di bawah target nasional. Saat ini
hampir di semua desa di Kabupaten Siak memiliki bidan desa, namun keterlibatannya dalam kegiatan pengendalian TB masih
belum optimal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran bidan dalam peningkatan jumlah suspek TB. Metode yang
digunakan adalah quasi eksperimental, yaitu 52 bidan desa intervensi dan 50 bidan desa kontrol diambil sebagai sampel
penelitian. Dilakukan pelatihan manajemen TB berupa pengenalan suspek TB dan proses edukasi perujukan suspek pada
kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol hanya diberikan pengenalan tentang kegiatan rujukan suspek TB ke
puskesmas. Selanjutnya dilakukan monitoring pengumpulan data selama 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
perbedaan rerata suspek TB yang dirujuk pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol (delta 2.8)
sebelum dan sesudah intervensi. Bidan desa pada kelompok intervensi lebih selektif dalam merujuk suspek TB. Rasio
proporsi suspek yang dirujuk bidan 0.44, dan rasio proporsi suspek yang memeriksakan dahak 1.83. Walaupun tidak ada
perbedaan secara proporsional BTA + yang ditemukan (ratio 1.1), namun jumlah BTA positif pada kelompok intervensi (ratio
2.5). Rata-rata tingkat pengetahuan bidan setelah pelatihan lebih tinggi dibandingkan sebelum pelatihan (p<0.01). Pelatihan
manajemen TB dapat meningkatkan pengetahuan bidan dalam merujuk suspek dan meningkatkan jumlah suspek TB yang
dirujuk oleh bidan di daerah intervensi. Dengan demikian bidan desa memiliki potensi dalam meningkatkan cakupan
penemuan suspek TB dan BTA positif di wilayah kerjanya.
Kata kunci: Peran bidan, penemuan suspek TB, Kabupaten Siak, Riau
Abstract
Coverage of suspected tuberculosis (TB) in Siak, Riau province is still below the national target. At the moment nearly all
villages in Siak have a midwife, but his involvement in TB control activities is still not optimal. The purpose of this study was
to determine the role of midwives in an increasing number of TB suspects. The method used is a quasi-experimental, ie 52
midwife midwife intervention and 50 control is taken as the study sample. TB management training is done in the form of the
introduction of TB suspects and education referral process suspect in the intervention group, whereas in the control group
were given an introduction about the activities of suspected tuberculosis referral to the clinic. Further monitoring data
collection for 6 months. The results showed that there was a mean difference of TB suspects were referred to the intervention
group compared with the control group (delta 2.8) before and after intervention. Village midwives in the intervention group
more selective in referring suspected tuberculosis. The ratio of the proportion of suspect cases referred midwives 0:44, and
the ratio of the proportion of suspects who examined sputum 1.83. Although there was no difference in proportion of smear +
found (ratio 1.1), but the number of smear-positive in the intervention group (ratio 2.5). The average level of knowledge after
training midwives is higher than before training (p <0:01). TB management training to enhance the knowledge of midwives
in referring suspected and increase the number of TB suspects were referred by midwives in the area of intervention. Thus
midwife has the potential to improve the coverage of suspected tuberculosis and smear-positive in their working area.
Keywords: Role of midwife, suspected TB finding, Siak District, Riau
Alamat Korespondensi: Retno Budiati, Subdit TB,
Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL, Jl. Percetakan Negara
No.29 Jakarta Pusat, Hp. 081288668597, e-mail:
retnobudiati_p@yahoo.com
PENDAHULUAN
Kabupaten Siak merupakan salah satu
kabupaten di Provinsi Riau dengan CDR (Case
Detection Rate) terendah kedua di Provinsi Riau,
yaitu 21.4% (Dinkes Provinsi Riau, 2012) hal ini
diduga ada kaitannya dengan masih kurangnya
peran bidan dalam penemuan supek TB. Hasil
pengamatan awal peneliti di Siak, bidan tidak
dilibatkan secara khusus dalam kegiatan
pengendalian TB. Selain itu kompetensi yang
dimiliki bidan dalam pengendalian TB masih
kurang, karena belum pernah mengikuti
pelatihan TB. Pengetahuan yang ada hanya
diperoleh dari materi perkuliahan pada saat
pendidikan formal.
Sebenarnya hampir seluruh desa di Kabupaten
Siak memiliki bidan desa, dan umumnya
27Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
masyarakat desa di Kabupaten Siak lebih memilih
memeriksakan diri ke “Bapak mantra” atau “Ibu
bidan” daripada ke dokter yang biasanya hanya
tinggal di ibukota kecamatan. Oleh karena itu,
terkait dengan kegiatan pengendalian TB,
penderita yang memiliki gejala batuk berdahak
selama 2-3 minggu serta menunjukkan gejala
tambahan seperti batuk darah,berat badan
menurun dan keringat malam semestinya sudah
dapat terdeteksi secara dini oleh bidan sebagai
suspek TB dan sangat dimungkinkan untuk
mendorong penderita tersebut untuk
memeriksakan sputumnya ke puskesmas.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka
peneliti melaksanakan pelatihan manajemen
terpadu TB bagi para bidan dengan harapan
agar dapat meningkatkan penemuan suspek TB
dan BTA positif di Kabupaten Siak. Selain itu
untuk mengetahui pengaruh pelatihan (intervensi)
terhadap cakupan penemuan suspek TB oleh
bidan yang dilatih dan BTA positif dibandingkan
dengan daerah yang tidak dilakukan pelatihan
(kontrol).
METODE
Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan di seluruh desa yang
memiliki bidan desa di 15 puskesmas di
Kabupaten Siak, Riau.
Desain penelitian adalah quasi
eksperimental, yaitu equivalent control group design
dimana dilakukan pelatihan bidan desa pada
kelompok intervensi, sebaliknya kelompok kontrol
tidakdilakukanpelatihan.
Besar sampel dihitung berdasarkan jumlah
populasi bidan desa yang bersedia mengikuti
penelitian. Bidan pada kelompok intervensi harus
mengikuti pelatihan secara penuh serta mengisi
kuesioner dan formulir penelitian selama 6 bulan.
Sedangkan bidan desa pada kelompok kontrol,
hanya mengisi kuesioner dan formulir
penelitian. Berdasarkan hasil perhitungan, maka
besar sampel pada kelompok intervensi sebanyak
52 bidan desa, dan kelompok kontrol 50 bidan
desa.
Pengumpulan data dilakukan secara
bertahap, yaitu sebagai berikut:
1. Pengumpulan data awal tentang pengetahuan
dasar bidan desa menggunakan kuesioner dan
memberikan pelatihan manajemen terpadu
TB pada kelompok intervensi. Pada kelompok
kontrol hanya diberikan penjelasan tentang
formulir penelitian.
2. Monitoring terhadap bidan desa dilakukan
sebanyak 3 kali, yaitu kunjungan peneliti,
kunjungan fasilitator, dan melalui telpon.
Setelah data dikumpulkan, maka dilakukan
analisis data dengan perangkat lunak Stata. Untuk
mengetahui pengaruh pelatihan manajemen TB
digunakan uji regresi. Analisis data kualitatif
juga dilakukan untuk mendukung penjelasan
data kuantitatif.
HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
perbedaan jumlah dan rerata suspek TB yang
dirujuk oleh bidan desa pada kelompok intervensi
dibandingkan dengan kelompok kontrol (delta
2.8). Bidan desa pada kelompok intervensi lebih
selektif dalam merujuk suspek TB. Rasio proporsi
suspek yang dirujuk bidan 0.44, dan rasio
proporsi suspek TB yang memeriksakan dahak 1.83.
Walaupun tidak ada perbedaan proporsi BTA
positif yang ditemukan (ratio 1.1), namun jumlah
BTA positif pada kelompok intervensi lebih
banyak (ratio 2.5). Rata-rata tingkat
pengetahuan bidan desa setelah pelatihan lebih
tinggi dibandingkan dengan sebelum pelatihan
(p<0.01).
PEMBAHASAN
Profil wilayah penelitian
Karakteristik responden
Pada umumnya karakteristik bidan desa relatif
sama pada kedua kelompok, yaitu rerata umur
(31 tahun), pendidikan (Diploma 3 kebidanan),
tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang
Kelompok intervensi meliputi wilayah kerja
Puskesmas Minas, Kandis, Tualang, Perawang,
Sungai Mandau, Koto Gasib, Siak dan Bunga
Raya. Secara demografis, umumnya penduduk
terkonsentrasi pada kelompok intervensi.
Berdasarkan BPS Siak, jumlah penduduk
di wilayah ini, yaitu sebanyak325.000 jiwa, atau
sekitar 2/3 jumlah penduduk Kabupaten Siak.
Sedangkan wilayah pada kelompok kontrol
meliputi Kecamatan Sungai Apit, Pusako,
Sabak Auh, Mempura, Dayun,Lubuk Dalam dan
Kerinci Kanan.
28 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
TB, lama kerja (7 tahun), jarak puskesmas ke
polindes (9 km pada kelompok kontrol dan 12 km
kelompok intervensi).
Rerata nilai pengetahuan awal tentang TB
tidak jauh berbeda (72 pada kelompok kontrol, 68
pada kelompok intervensi), dan rerata
pengetahuan bidan desa setelah diberikan
pelatihan TB pada kelompok intervensi
meningkat menjadi 80 setelah pelatihan (Tabel
1). Berdasarkan uji t, tingkat pengetahuan bidan
di wilayah intervensi meningkat secara signifikan
setelah pelatihan (p <0.05).
Tabel 1. Karakteristik responden menurut kelompok
perlakuan
Karakteristik
Kelompok
Kontrol Intervensi
n % n %
Umur
Muda (<30 th) 31 54,39 28 50,91
Sedang (30-39 th) 23 40,35 23 41,82
Tua (>39 th) 3 5,26 4 7,27
Rata-rata (+ SD) 31,1 (+4,87) 31,62 (+5,39)
Pendidikan
D1 1 1,75 0 0
D3 55 96,49 53 96,36
D4 1 1,75 1 1,82
S1 0 0 1 1,82
PelatihanTB
sebelumnya
Tidak pernah 56 98,25 53 96,36
Pernah 1 1,75 2 3,64
Lama Kerja
Pendek (<5th) 12 21 15 27,3
Lama (>5th) 45 79 40 72,7
Rata-rata (+SD) 7,53 (+4,3) 7,08 (+5,46)
Jarak desa ke
puskesmas
Dekat (<5) 22 39,3 11 20
Sedang (5-15) 26 46,4 30 54,6
Jauh (>15) 8 14,3 14 25,4
Rata-rata (+SD) 9,11(+10,33) 12,43 (+11,66)
Pengetahuan awal
<55 4 8,16 3 6,25
55 – 75 26 53,06 36 75
>75 19 38,78 9 18,75
Rata-rata (+SD) 72,34 (+14,72) 67,92 (+10,96)
Pengetahuan
setelah pelatihan
55 – 75 . . 16 33,33
>75 . . 32 66,67
Rata-rata (+SD) 80,42 (+ 7,28)
Jumlah suspek TB
Suspek TB yang ditemukan sebelum
intervensi, yaitu dari bulan Mei sampai Oktober
2013, dan sesudah intervensi dari bulan Desember
2013 sampai Mei 2014 di kedua wilayah kontrol
dan intervensi (Tabel 2). Suspek TB yang
ditemukan merupakan jumlah keseluruhan yang
ditemukan oleh puskesmas termasuk rujukan
poliklinik, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya di
wilayahkerjapuskesmastersebut.
Tabel 2. Jumlah suspek TB sebelum dan setelah intervensi
Kelompok
Waktu
Sebelum Sesudah Perbedaan
intervensi intervensi
n % n % n %
Kontrol 147 45.8 174 54.2 27 8.4
Intervensi 545 42.8 729 57.2 184 14.4
Perbedaan 157 6,0
Jumlah suspek TB yang ditemukan pada
kelompok kontrol setelah intervensi meningkat
dibandingkan sebelum intervensi, yaitu dari 147
menjadi 174. Hal yang sama terjadi pada
wilayah intervensi, yaitu meningkat dari 549
menjadi 729. Perbedaan jumlah suspek TB yang
ditemukan sebelum dan sesudah intervensi
pada kelompok kontrol sebanyak 27, dan
kelompok intervensi 184. Sedangkan perbedaan
antar kelompok kontrol dan intervensi
sebanyak 157 (6%).
Beda rerata sebelum dan sesudah intervensi
pada kelompok kontrol sebesar 0,5 dan kelompok
intervensi sebesar 3,3. Delta beda rerata
keduanya sebesar 2,8 (Tabel 3). Hasil uji regresi
linier terhadap perbedaan sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi menunjukkan slot kelompok
intervensi lebih curam dibanding kelompok
kontrol (Gambar 1 dan 2).
Tabel 3. Rerata perbedaan suspek sebelum dan sesudah
intervensi
Kelompok Waktu Rerata
suspek
Se 95% CI
Kontrol
Sebelum 2.6 2.35 0 -7.2
Sesudah 3.1 2.35 0 -7.7
Perbedaan 0.5 3.34 -6.1- 7
Intervensi Sebelum 9.9 2.4 5.2 -14.6
Sesudah 13.3 2.4 8.6-18
Perbedaan 3.3 3.4 -3.3-10
Perbedaan 2.8 4.8 -6.5 -12.2
29Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Gambar 1. Hasil uji regresi linier terhadap perbedaan sebelum
dan sesudah intervensi menurut kelompok perlakuan
Gambar 2. Jumlah suspek TB pada kelompok kontrol dan intervensi
masing-masing periode 6 bulan sebelum dan sesudah
intervensi
Jumlah suspek yang dirujuk, diperiksa
dahak dan BTA positif
Jumlah suspek TB di desa kontrol sebanyak
174, jumlah yang dirujuk bidan desa,
memeriksakan dahak, dan BTA positif berturut-
turut 73, 43, dan 8. Sedangkan di desa intervensi
sebesar 729, jumlah yang dirujuk, yang
memriksakan dahak, dan BTA positif berturut-
turut 133, 106, dan 21 (Gambar 3).
Gambar 3. Jumlah suspek TB, jumlah yang dirujuk bidan
desa, diperiksa dahak, dan BTA positif di desa kontrol dan
intervensi
Pada diagram consort (Gambar 4) terlihat,
jumlah suspek TB yang ditemukan di desa kontrol
adalah 174, sebanyak 73 (41,9%) diantaranya
dirujuk bidan desa, dan 101 (58,1%) dirujuk tenaga
kesehatan lainnya. Dari 73 suspek TB yang
dirujuk bidan desa, jumlah yang datang
memeriksakan dahak dan BTA positif adalah 43
(58,9%), dan 8 (18,6%).
Sedangkan di desa intervensi jumlah suspek
TB yang ditemukan adalah 729, sebanyak 133
(18,2%) dirujuk bidan desa dan 596 (81,6%)
dirujuk tenaga kesehatan lainnya. Dari 133
suspek TB yang dirujuk bidan desa, jumlah yang
datang memeriksakan dahak dan BTA positif
adalah 106 (79,7%) dan 21 (19,8%).
Jumlah suspek TB yang tidak memeriksakan
dahak di daerah kontrol cukup besar (41,1%).
Hal ini karena bidan desa di daerah kontrol
kurang selektif dalam merujuk suspek TB. Hal
ini diperkuat dengan alasan suspek TB yang
tidak datang memeriksakan dahak, yaitu sudah
merasa sembuh, sudah berobat di fasilitas pelayanan
kesehatan lain (seperti rumah sakit), tidak ada
kendaraan dan belum ada waktu karena
kesibukan. Jumlah suspek TB yang
mengemukakan alasan tersebut di atas lebih
sedikit di daerah intervensi.
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014
Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014

More Related Content

What's hot

Laporan Riskesdas Tahun 2013
Laporan Riskesdas Tahun  2013Laporan Riskesdas Tahun  2013
Laporan Riskesdas Tahun 2013
Muh Saleh
 
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteri
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteriFaktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteri
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteriAditya Rendra
 
Isi makalah Standar pelayanan
Isi makalah Standar pelayanan Isi makalah Standar pelayanan
Isi makalah Standar pelayanan
Wawan Wan
 
Konsep penyebab penyakit bag.7
Konsep penyebab penyakit bag.7Konsep penyebab penyakit bag.7
Konsep penyebab penyakit bag.7tristyanto
 
Bahan Ajar Alat Kesehatan
Bahan Ajar Alat KesehatanBahan Ajar Alat Kesehatan
Bahan Ajar Alat Kesehatan
Sainal Edi Kamal
 
Kumpulan pertanyaan dan jawaban biokimia
Kumpulan pertanyaan dan jawaban biokimiaKumpulan pertanyaan dan jawaban biokimia
Kumpulan pertanyaan dan jawaban biokimia
arifah fadlilah
 
farmasetika dasar
farmasetika dasarfarmasetika dasar
farmasetika dasar
Dokter Tekno
 
Konsep dasar fisiologi, patologi, dan patofisiologis
Konsep dasar fisiologi, patologi, dan patofisiologisKonsep dasar fisiologi, patologi, dan patofisiologis
Konsep dasar fisiologi, patologi, dan patofisiologis
anisya nana
 
TABLET
TABLETTABLET
Laporan praktikum biokimia vitamin c
Laporan praktikum biokimia   vitamin cLaporan praktikum biokimia   vitamin c
Laporan praktikum biokimia vitamin cAnnisa Nurul Chaerani
 
Makalah kimia Pengenalan alat-alat di Laboratorium Kimia (Irdan Arjulian)
Makalah kimia Pengenalan alat-alat  di Laboratorium  Kimia (Irdan Arjulian)Makalah kimia Pengenalan alat-alat  di Laboratorium  Kimia (Irdan Arjulian)
Makalah kimia Pengenalan alat-alat di Laboratorium Kimia (Irdan Arjulian)
Irdan Arjulian
 
Penanganan Limbah Sitostatika Novia KFT 051215 (sos out)
Penanganan Limbah Sitostatika Novia KFT 051215 (sos out)Penanganan Limbah Sitostatika Novia KFT 051215 (sos out)
Penanganan Limbah Sitostatika Novia KFT 051215 (sos out)
Imelda Wijaya
 
Riwayat alamat penyakit1
Riwayat alamat penyakit1Riwayat alamat penyakit1
Riwayat alamat penyakit1
HMRojali
 
Hipnotik sedativ
Hipnotik sedativHipnotik sedativ
Hipnotik sedativ
Dilla Novita
 
Laporan Mikrobiologi - Teknik Sterilisasi
Laporan Mikrobiologi -  Teknik SterilisasiLaporan Mikrobiologi -  Teknik Sterilisasi
Laporan Mikrobiologi - Teknik Sterilisasi
Rukmana Suharta
 
Makalah sistem urinaria
Makalah sistem urinariaMakalah sistem urinaria
Makalah sistem urinaria
Septian Muna Barakati
 
Suffixes (Terminologi Medis I)
Suffixes (Terminologi Medis I)Suffixes (Terminologi Medis I)
Suffixes (Terminologi Medis I)
Fera Rausanni Ilma
 
Makalah Status GIZI
Makalah Status GIZIMakalah Status GIZI
Makalah Status GIZIApapunituzar
 
Makalah sterilisasi
Makalah sterilisasiMakalah sterilisasi
Makalah sterilisasi
Septian Muna Barakati
 
Sterilisasi, desinfeksi, dekontaminasi
Sterilisasi, desinfeksi, dekontaminasiSterilisasi, desinfeksi, dekontaminasi
Sterilisasi, desinfeksi, dekontaminasi
HildaHerman1
 

What's hot (20)

Laporan Riskesdas Tahun 2013
Laporan Riskesdas Tahun  2013Laporan Riskesdas Tahun  2013
Laporan Riskesdas Tahun 2013
 
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteri
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteriFaktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteri
Faktor faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-bakteri
 
Isi makalah Standar pelayanan
Isi makalah Standar pelayanan Isi makalah Standar pelayanan
Isi makalah Standar pelayanan
 
Konsep penyebab penyakit bag.7
Konsep penyebab penyakit bag.7Konsep penyebab penyakit bag.7
Konsep penyebab penyakit bag.7
 
Bahan Ajar Alat Kesehatan
Bahan Ajar Alat KesehatanBahan Ajar Alat Kesehatan
Bahan Ajar Alat Kesehatan
 
Kumpulan pertanyaan dan jawaban biokimia
Kumpulan pertanyaan dan jawaban biokimiaKumpulan pertanyaan dan jawaban biokimia
Kumpulan pertanyaan dan jawaban biokimia
 
farmasetika dasar
farmasetika dasarfarmasetika dasar
farmasetika dasar
 
Konsep dasar fisiologi, patologi, dan patofisiologis
Konsep dasar fisiologi, patologi, dan patofisiologisKonsep dasar fisiologi, patologi, dan patofisiologis
Konsep dasar fisiologi, patologi, dan patofisiologis
 
TABLET
TABLETTABLET
TABLET
 
Laporan praktikum biokimia vitamin c
Laporan praktikum biokimia   vitamin cLaporan praktikum biokimia   vitamin c
Laporan praktikum biokimia vitamin c
 
Makalah kimia Pengenalan alat-alat di Laboratorium Kimia (Irdan Arjulian)
Makalah kimia Pengenalan alat-alat  di Laboratorium  Kimia (Irdan Arjulian)Makalah kimia Pengenalan alat-alat  di Laboratorium  Kimia (Irdan Arjulian)
Makalah kimia Pengenalan alat-alat di Laboratorium Kimia (Irdan Arjulian)
 
Penanganan Limbah Sitostatika Novia KFT 051215 (sos out)
Penanganan Limbah Sitostatika Novia KFT 051215 (sos out)Penanganan Limbah Sitostatika Novia KFT 051215 (sos out)
Penanganan Limbah Sitostatika Novia KFT 051215 (sos out)
 
Riwayat alamat penyakit1
Riwayat alamat penyakit1Riwayat alamat penyakit1
Riwayat alamat penyakit1
 
Hipnotik sedativ
Hipnotik sedativHipnotik sedativ
Hipnotik sedativ
 
Laporan Mikrobiologi - Teknik Sterilisasi
Laporan Mikrobiologi -  Teknik SterilisasiLaporan Mikrobiologi -  Teknik Sterilisasi
Laporan Mikrobiologi - Teknik Sterilisasi
 
Makalah sistem urinaria
Makalah sistem urinariaMakalah sistem urinaria
Makalah sistem urinaria
 
Suffixes (Terminologi Medis I)
Suffixes (Terminologi Medis I)Suffixes (Terminologi Medis I)
Suffixes (Terminologi Medis I)
 
Makalah Status GIZI
Makalah Status GIZIMakalah Status GIZI
Makalah Status GIZI
 
Makalah sterilisasi
Makalah sterilisasiMakalah sterilisasi
Makalah sterilisasi
 
Sterilisasi, desinfeksi, dekontaminasi
Sterilisasi, desinfeksi, dekontaminasiSterilisasi, desinfeksi, dekontaminasi
Sterilisasi, desinfeksi, dekontaminasi
 

Viewers also liked

Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015
Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015
Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015
Ditjen P2P Kemenkes
 
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2013humasditjenppdanpl
 
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012humasditjenppdanpl
 
Profil PP dan PL Tahun 2014
Profil PP dan PL Tahun 2014Profil PP dan PL Tahun 2014
Profil PP dan PL Tahun 2014
Ditjen P2P Kemenkes
 
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011humasditjenppdanpl
 
Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013Ditjen P2P
 
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015
Ditjen P2P Kemenkes
 
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015
Ditjen P2P Kemenkes
 
Warta Ditjen PP dan PL Edisi I Tahun 2014
Warta Ditjen PP dan PL Edisi I Tahun 2014Warta Ditjen PP dan PL Edisi I Tahun 2014
Warta Ditjen PP dan PL Edisi I Tahun 2014
Ditjen P2P Kemenkes
 
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013 Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
Ditjen P2P
 
NEWS LETTER DITJEN P2P EDISI I TAHUN 2016
NEWS LETTER DITJEN P2P EDISI I TAHUN 2016NEWS LETTER DITJEN P2P EDISI I TAHUN 2016
NEWS LETTER DITJEN P2P EDISI I TAHUN 2016
Ditjen P2P Kemenkes
 
Newsletter Edisi 4 Tahun 2016
Newsletter Edisi 4 Tahun 2016Newsletter Edisi 4 Tahun 2016
Newsletter Edisi 4 Tahun 2016
Ditjen P2P Kemenkes
 
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2
Ditjen P2P
 
Renstra 2015-2019
Renstra 2015-2019Renstra 2015-2019
Renstra 2015-2019
Ditjen P2P Kemenkes
 
Posyandu melati mama
Posyandu melati mamaPosyandu melati mama
Posyandu melati mama
Rachmana Berlindo Citra Lestari
 

Viewers also liked (20)

Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015
Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015
Jurnal PP dan PL Edisi 5 Tahun 2015
 
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun  2013
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2013
 
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2012
 
Profil PP dan PL Tahun 2014
Profil PP dan PL Tahun 2014Profil PP dan PL Tahun 2014
Profil PP dan PL Tahun 2014
 
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
Jurnal Ditjen PP dan PL Kemenkes RI Tahun 2011
 
Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013Buku informasi pp pl 2013
Buku informasi pp pl 2013
 
Jurnal
JurnalJurnal
Jurnal
 
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI IV TAHUN 2015
 
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015
WARTA DITJEN PP DAN PL EDISI III TAHUN 2015
 
Nl.edisi 1.2011
Nl.edisi 1.2011Nl.edisi 1.2011
Nl.edisi 1.2011
 
Warta Ditjen PP dan PL Edisi I Tahun 2014
Warta Ditjen PP dan PL Edisi I Tahun 2014Warta Ditjen PP dan PL Edisi I Tahun 2014
Warta Ditjen PP dan PL Edisi I Tahun 2014
 
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013 Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2013
 
NEWS LETTER DITJEN P2P EDISI I TAHUN 2016
NEWS LETTER DITJEN P2P EDISI I TAHUN 2016NEWS LETTER DITJEN P2P EDISI I TAHUN 2016
NEWS LETTER DITJEN P2P EDISI I TAHUN 2016
 
Newsletter Edisi 4 Tahun 2016
Newsletter Edisi 4 Tahun 2016Newsletter Edisi 4 Tahun 2016
Newsletter Edisi 4 Tahun 2016
 
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2
Profil UPT (Unit Pelaksana Teknis) Ditjen PP dan PL 2013 v2
 
Renstra 2015-2019
Renstra 2015-2019Renstra 2015-2019
Renstra 2015-2019
 
109 161-1-pb jurnal
109 161-1-pb jurnal109 161-1-pb jurnal
109 161-1-pb jurnal
 
Posyandu melati mama
Posyandu melati mamaPosyandu melati mama
Posyandu melati mama
 
Nl.edisi 2.2010
Nl.edisi 2.2010Nl.edisi 2.2010
Nl.edisi 2.2010
 
Nl.edisi 4.2011
Nl.edisi 4.2011Nl.edisi 4.2011
Nl.edisi 4.2011
 

Similar to Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014

Jurnal kesehatan
Jurnal kesehatanJurnal kesehatan
Jurnal kesehatan
Panca Titis
 
Edukasi TB paru pengetahuan sikap kader posyandu melalu permainan monopoli
Edukasi TB paru pengetahuan sikap kader posyandu melalu permainan monopoliEdukasi TB paru pengetahuan sikap kader posyandu melalu permainan monopoli
Edukasi TB paru pengetahuan sikap kader posyandu melalu permainan monopoli
NurMahdiyahMerly
 
Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Ditjen P2P Kemenkes
 
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAKPETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
Surya Amal
 
Jurnal Fitria Ramadani
Jurnal Fitria RamadaniJurnal Fitria Ramadani
Jurnal Fitria Ramadani
sapakademik
 
36-Article Text-70-1-10-20190930(1).pdf
36-Article Text-70-1-10-20190930(1).pdf36-Article Text-70-1-10-20190930(1).pdf
36-Article Text-70-1-10-20190930(1).pdf
aisyahfathanhaikalai
 
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdf
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdfPEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdf
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdf
edisambas1
 
ppt up maell fixxxx golll_092602.pptx
ppt up maell fixxxx golll_092602.pptxppt up maell fixxxx golll_092602.pptx
ppt up maell fixxxx golll_092602.pptx
EncepIzmal2
 
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah KualaJournal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Syiah Kuala University
 
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Dokter Tekno
 
KEMENKES-RI-Penyakit-Tidak-Menular-PTM.pdf
KEMENKES-RI-Penyakit-Tidak-Menular-PTM.pdfKEMENKES-RI-Penyakit-Tidak-Menular-PTM.pdf
KEMENKES-RI-Penyakit-Tidak-Menular-PTM.pdf
dera71
 
document (1).pdf
document (1).pdfdocument (1).pdf
document (1).pdf
ElisMarifah
 
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
winaldy21
 
Presentasi sidang rara
Presentasi sidang raraPresentasi sidang rara
Presentasi sidang raraPocut Kasim
 
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
Rinaa Anggraini
 
Evaluation of tuberculosis control programs in indonesian community
Evaluation of tuberculosis control programs in indonesian communityEvaluation of tuberculosis control programs in indonesian community
Evaluation of tuberculosis control programs in indonesian community
Doel Hadji Fadly
 
Hubungan pendekatan strategi dots (direcly observed treatment shortcorse) den...
Hubungan pendekatan strategi dots (direcly observed treatment shortcorse) den...Hubungan pendekatan strategi dots (direcly observed treatment shortcorse) den...
Hubungan pendekatan strategi dots (direcly observed treatment shortcorse) den...Operator Warnet Vast Raha
 
Kak dbd dan survailens
Kak dbd dan survailensKak dbd dan survailens
Kak dbd dan survailens
Sri Mega
 

Similar to Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014 (20)

Jurnal kesehatan
Jurnal kesehatanJurnal kesehatan
Jurnal kesehatan
 
Edukasi TB paru pengetahuan sikap kader posyandu melalu permainan monopoli
Edukasi TB paru pengetahuan sikap kader posyandu melalu permainan monopoliEdukasi TB paru pengetahuan sikap kader posyandu melalu permainan monopoli
Edukasi TB paru pengetahuan sikap kader posyandu melalu permainan monopoli
 
Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
Jurnal Ditjen P2P Tahun 2016
 
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAKPETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
 
Artikel31
Artikel31Artikel31
Artikel31
 
Jurnal Fitria Ramadani
Jurnal Fitria RamadaniJurnal Fitria Ramadani
Jurnal Fitria Ramadani
 
36-Article Text-70-1-10-20190930(1).pdf
36-Article Text-70-1-10-20190930(1).pdf36-Article Text-70-1-10-20190930(1).pdf
36-Article Text-70-1-10-20190930(1).pdf
 
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdf
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdfPEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdf
PEDOMAN_PE_KLB_FINAL.pdf
 
ppt up maell fixxxx golll_092602.pptx
ppt up maell fixxxx golll_092602.pptxppt up maell fixxxx golll_092602.pptx
ppt up maell fixxxx golll_092602.pptx
 
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah KualaJournal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
Journal of Tuberculosis Nasional University Syiah Kuala
 
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
Pedoman Nasiaonal Penyakit TB 2014
 
KEMENKES-RI-Penyakit-Tidak-Menular-PTM.pdf
KEMENKES-RI-Penyakit-Tidak-Menular-PTM.pdfKEMENKES-RI-Penyakit-Tidak-Menular-PTM.pdf
KEMENKES-RI-Penyakit-Tidak-Menular-PTM.pdf
 
Proposal penelitian
Proposal penelitianProposal penelitian
Proposal penelitian
 
document (1).pdf
document (1).pdfdocument (1).pdf
document (1).pdf
 
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
Konsep dan teori penyebab terjadinya penyakit typus di desa pesayangan martap...
 
Presentasi sidang rara
Presentasi sidang raraPresentasi sidang rara
Presentasi sidang rara
 
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
Epidemiologi skrining dbd puskesmas banjarbaru utara (indonesia)
 
Evaluation of tuberculosis control programs in indonesian community
Evaluation of tuberculosis control programs in indonesian communityEvaluation of tuberculosis control programs in indonesian community
Evaluation of tuberculosis control programs in indonesian community
 
Hubungan pendekatan strategi dots (direcly observed treatment shortcorse) den...
Hubungan pendekatan strategi dots (direcly observed treatment shortcorse) den...Hubungan pendekatan strategi dots (direcly observed treatment shortcorse) den...
Hubungan pendekatan strategi dots (direcly observed treatment shortcorse) den...
 
Kak dbd dan survailens
Kak dbd dan survailensKak dbd dan survailens
Kak dbd dan survailens
 

More from Ditjen P2P Kemenkes

WARTA DITJEN P2P EDISI XIII TAHUN 2020
WARTA DITJEN P2P EDISI XIII TAHUN 2020WARTA DITJEN P2P EDISI XIII TAHUN 2020
WARTA DITJEN P2P EDISI XIII TAHUN 2020
Ditjen P2P Kemenkes
 
Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020
Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020
Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020
Ditjen P2P Kemenkes
 
Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020
Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020
Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020
Ditjen P2P Kemenkes
 
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
Ditjen P2P Kemenkes
 
Buletin Surveilans & Imunisasi Edisi I Maret 2020
Buletin Surveilans & Imunisasi  Edisi I Maret 2020Buletin Surveilans & Imunisasi  Edisi I Maret 2020
Buletin Surveilans & Imunisasi Edisi I Maret 2020
Ditjen P2P Kemenkes
 
JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019
JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019
JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019
Ditjen P2P Kemenkes
 
WARTA DITJEN P2P EDISI XII TAHUN 2019
WARTA DITJEN P2P EDISI XII TAHUN 2019WARTA DITJEN P2P EDISI XII TAHUN 2019
WARTA DITJEN P2P EDISI XII TAHUN 2019
Ditjen P2P Kemenkes
 
WARTA DITJEN P2P EDISI XI TAHUN 2019
WARTA DITJEN P2P EDISI XI TAHUN 2019WARTA DITJEN P2P EDISI XI TAHUN 2019
WARTA DITJEN P2P EDISI XI TAHUN 2019
Ditjen P2P Kemenkes
 
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017
Ditjen P2P Kemenkes
 
WARTA DITJEN P2P EDISI VIII TAHUN 2017
WARTA DITJEN P2P EDISI VIII TAHUN 2017WARTA DITJEN P2P EDISI VIII TAHUN 2017
WARTA DITJEN P2P EDISI VIII TAHUN 2017
Ditjen P2P Kemenkes
 
WARTA DITJEN P2P EDISI VI TAHUN 2016
WARTA DITJEN P2P EDISI VI TAHUN 2016WARTA DITJEN P2P EDISI VI TAHUN 2016
WARTA DITJEN P2P EDISI VI TAHUN 2016
Ditjen P2P Kemenkes
 
WARTA DITJEN P2P EDISI V TAHUN 2016
WARTA DITJEN P2P EDISI V TAHUN 2016WARTA DITJEN P2P EDISI V TAHUN 2016
WARTA DITJEN P2P EDISI V TAHUN 2016
Ditjen P2P Kemenkes
 
Newsletter edisi 3 tahun 2016
Newsletter edisi 3 tahun 2016Newsletter edisi 3 tahun 2016
Newsletter edisi 3 tahun 2016
Ditjen P2P Kemenkes
 
Newsletter Edisi 2 Tahun 2016
Newsletter Edisi 2 Tahun 2016Newsletter Edisi 2 Tahun 2016
Newsletter Edisi 2 Tahun 2016
Ditjen P2P Kemenkes
 
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015
Ditjen P2P Kemenkes
 
SK Unit Pengendali Gratifikasi Ditjen P2P
SK Unit Pengendali Gratifikasi Ditjen P2PSK Unit Pengendali Gratifikasi Ditjen P2P
SK Unit Pengendali Gratifikasi Ditjen P2P
Ditjen P2P Kemenkes
 
Kontak pengaduan
Kontak pengaduanKontak pengaduan
Kontak pengaduan
Ditjen P2P Kemenkes
 
Info Disiplin Pegawai dan Cuti Pegawai
Info Disiplin Pegawai dan Cuti PegawaiInfo Disiplin Pegawai dan Cuti Pegawai
Info Disiplin Pegawai dan Cuti Pegawai
Ditjen P2P Kemenkes
 
MOU BBTKL DENGAN DINAS KESEHATAN
MOU BBTKL DENGAN DINAS KESEHATANMOU BBTKL DENGAN DINAS KESEHATAN
MOU BBTKL DENGAN DINAS KESEHATAN
Ditjen P2P Kemenkes
 
Agreement Tuberkulosis
Agreement TuberkulosisAgreement Tuberkulosis
Agreement Tuberkulosis
Ditjen P2P Kemenkes
 

More from Ditjen P2P Kemenkes (20)

WARTA DITJEN P2P EDISI XIII TAHUN 2020
WARTA DITJEN P2P EDISI XIII TAHUN 2020WARTA DITJEN P2P EDISI XIII TAHUN 2020
WARTA DITJEN P2P EDISI XIII TAHUN 2020
 
Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020
Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020
Newletter DItjen P2P Edisi II Tahun 2020
 
Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020
Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020
Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020
 
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
 
Buletin Surveilans & Imunisasi Edisi I Maret 2020
Buletin Surveilans & Imunisasi  Edisi I Maret 2020Buletin Surveilans & Imunisasi  Edisi I Maret 2020
Buletin Surveilans & Imunisasi Edisi I Maret 2020
 
JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019
JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019
JURNAL KESEHATAN TAHUN 2019
 
WARTA DITJEN P2P EDISI XII TAHUN 2019
WARTA DITJEN P2P EDISI XII TAHUN 2019WARTA DITJEN P2P EDISI XII TAHUN 2019
WARTA DITJEN P2P EDISI XII TAHUN 2019
 
WARTA DITJEN P2P EDISI XI TAHUN 2019
WARTA DITJEN P2P EDISI XI TAHUN 2019WARTA DITJEN P2P EDISI XI TAHUN 2019
WARTA DITJEN P2P EDISI XI TAHUN 2019
 
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017
NEWSLETTER DITJEN P2P KEMENKES RI EDISI IV TAHUN 2017
 
WARTA DITJEN P2P EDISI VIII TAHUN 2017
WARTA DITJEN P2P EDISI VIII TAHUN 2017WARTA DITJEN P2P EDISI VIII TAHUN 2017
WARTA DITJEN P2P EDISI VIII TAHUN 2017
 
WARTA DITJEN P2P EDISI VI TAHUN 2016
WARTA DITJEN P2P EDISI VI TAHUN 2016WARTA DITJEN P2P EDISI VI TAHUN 2016
WARTA DITJEN P2P EDISI VI TAHUN 2016
 
WARTA DITJEN P2P EDISI V TAHUN 2016
WARTA DITJEN P2P EDISI V TAHUN 2016WARTA DITJEN P2P EDISI V TAHUN 2016
WARTA DITJEN P2P EDISI V TAHUN 2016
 
Newsletter edisi 3 tahun 2016
Newsletter edisi 3 tahun 2016Newsletter edisi 3 tahun 2016
Newsletter edisi 3 tahun 2016
 
Newsletter Edisi 2 Tahun 2016
Newsletter Edisi 2 Tahun 2016Newsletter Edisi 2 Tahun 2016
Newsletter Edisi 2 Tahun 2016
 
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015
Poster Struktur Organisasi Ditjen P2P Nomor 64 Tahun 2015
 
SK Unit Pengendali Gratifikasi Ditjen P2P
SK Unit Pengendali Gratifikasi Ditjen P2PSK Unit Pengendali Gratifikasi Ditjen P2P
SK Unit Pengendali Gratifikasi Ditjen P2P
 
Kontak pengaduan
Kontak pengaduanKontak pengaduan
Kontak pengaduan
 
Info Disiplin Pegawai dan Cuti Pegawai
Info Disiplin Pegawai dan Cuti PegawaiInfo Disiplin Pegawai dan Cuti Pegawai
Info Disiplin Pegawai dan Cuti Pegawai
 
MOU BBTKL DENGAN DINAS KESEHATAN
MOU BBTKL DENGAN DINAS KESEHATANMOU BBTKL DENGAN DINAS KESEHATAN
MOU BBTKL DENGAN DINAS KESEHATAN
 
Agreement Tuberkulosis
Agreement TuberkulosisAgreement Tuberkulosis
Agreement Tuberkulosis
 

Jurnal Ditjen PP dan PL Tahun 2014

  • 3. iiiJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan JURNAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN DEWAN REDAKSI Penasihat : Direktur Jenderal PP dan PL Sekretaris Ditjen PP dan PL Penanggung Jawab : Kepala Bagian Hukormas Redaktur : drg. Yossy Agustina , MH.Kes dr. Ita Dahlia, MH.Kes Imam Setiaji, SH dr. Ratna Budi Hapsari, M.Kes Dewi Nurul Triastuti, SKM Penyunting/Editor : Dr. dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D Dr. Suwito, SKM, M.Kes Sekretariat : Firman Septiadi, SKM Eriana Sitompul Risma, SKM Sri Sukarsih, Amd Indah Nuraprilyanti,SKM Aditya Pratama, S.Ikom Penerbit : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 Telp/Fax: (021) 4225451 email: humas.p2pl@gmail.com website: www.pppl.depkes.go.id facebook: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Design Grafis/Fotografer : Putri Kusumawardani, ST Bukhari Iskandar, SKM Aditya Pratama, SI.Kom
  • 4. vJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kata Pengantar Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dapat diterbitkan demi memenuhi kebutuhan pembaca dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan khususnya pengendalian penyakit, baik yang menular maupun tidak menular serta penyehatan Iingkungan di Indonesia. Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi 4 yang terbit di penghujung tahun 2014. Jurnal ini diterbitkan dengan tujuan dapat mempublikasikan hasil penelitian, karya ilmiah dan review terkait dengan program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Diharapkan jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang ingin mengetahui perkembangan terbaru tentang program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan jurnal ini. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi penyempurnaan dan kemajuan jurnal ini. Akhir kata, semoga jurnal ini dapat memberikan motivasi dan dorongan, serta bermanfaat bagi kita semua. Jakarta, Desember 2014 Direktur Jenderal PP dan PL dr. H.M. Subuh, MPPM
  • 5. viiJurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Daftar Isi Halaman Pemberdayaan Mantan Pasien TB dalam Peningkatan Penemuan Suspek TB di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat .................................................................................................................................. 1 – 7 Pengaruh ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 Terhadap Akses Air Bersih dan Jamban Sehat, dan Kejadian Diare ....................................................................................................................................................... 8 – 19 Pengolahan Sampah dengan Metode Composting Open Windrow di Kelurahan Banjar Sari, Lampung Tahun 2013 ................................................................................................................................................. 20 – 25 Peran Bidan dalam Penemuan Suspek Tuberkulosis di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Tahun 2013 ...................................................................................................................................................................... 26 – 31 Perbedaan Kadar Hb Ibu Hamil Sebelum dan Sesudah Pemberian Fe+Vit.C di Daerah Endemis Malaria ............................................................................................................................................................ 32 – 34 Survei Kadar Gula Darah dan Kolesterol pada Masyarakat di Pelabuhan Udara El Tari Kupang, 2013 ................................................................................................................................................... 35 – 39 Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Tukang Cukur Rambut (Barber) dan Tindakan Higiene dan Sanitasi di Medan Marelan ............................................................................................................... 40 – 45 Evaluasi Program Karantina dan Surveilans Epidemiologi di Kantor Kesehatan Pelabuhan Semarang Tahun 2008-2009 .................................................................................................................................... 46 – 53 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung Melakukan Tes HIV di Kabupaten Bantul Yogyakarta ........................................................................................................... 54 – 57 Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu Hamil dan Petugas Kesehatan di DKI Jakarta Tahun 2013 ..... 58 – 60 Kondisi Kesehatan Lingkungan Perumahan di Buffer area Pelabuhan Tanjung Wangi Banyuwangi Tahun 2014 ........................................................................................................................................... 61 – 65
  • 6. 1Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemberdayaan Mantan Pasien TB dalam Peningkatan Penemuan Suspek TB di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat Empowerment of Former TB Patients to Improve TB Suspected Finding in Kubu Raya District, West Kalimantan Agus Fitriangga¹, Muhammad Nasip², Siswani³, Andre Nugroho³, Pandu Riono4, Sumanto Simon4, Surjana5, Novayanti Tangirerung5, Retno Budiati5 ¹Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat ²Politeknik Kesehatan Pontianak, ³Dinas Kesehatan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat 4Tuberculosis Operational Research Group, 5Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI Abstrak Salah satu permasalahan dalam pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia adalah masih rendahnya cakupan penemuan suspek TB. Di Kalimantan Barat, pada tahun 2012 cakupan penemuan suspek TB hanya sebesar 51%. Salah satu faktor penyebab adalah kurangnya peran mantan pasien TB dalam penemuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberdayaan mantan pasien TB dalam peningkatan penemuan suspek TB di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Desain penelitian adalah kuasi eksperimental dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Sungai Kakap (daerah intervensi) dan Puskesmas Rasau Jaya (daerah kontrol), Kabupaten Kubu Raya pada tahun 2013. Data penelitian diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuesioner, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam. Data kuantitatif dianalisis dengan uji regresi linier, sedangkan data kualitatif dengan analisis isi dan triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi kunjungan suspek TB yang dirujuk mantan pasien TB di daerah intervensi 1,9 kali lebih besar dibandingkan dengan daerah kontrol. Berdasarkan hasil FGD dan wawancara mendalam, pengetahuan tentang TB, peningkatan motivasi dan kemampuan berkomunikasi mantan pasien TB diperoleh dari pelatihan pemberdayaan yang diberikan pada mantan pasien TB tersebut. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan dilakukannya pemberdayaan mantan pasien TB, meningkatkan penemuan suspek TB di Kabupaten Kubu Raya. Kata kunci: Pemberdayaan, penemuan, suspek TB, Kalimantan Barat Abstract One of the problems in the control of tuberculosis (TB) in Indonesia is still low coverage of suspected tuberculosis. In West Kalimantan, in 2012 the coverage of suspected tuberculosis only by 51%. One factor is the lack of a role in the discovery of former TB patients. The purpose of this study was to determine the effect of empowering the former TB patients in improving the discovery of suspected tuberculosis in Kubu Raya District, West Kalimantan Province. The study design was quasi- experimental, quantitative and qualitative approaches. The experiment was conducted in Puskesmas Gammon River (the intervention) and PHC Rasau Jaya (control area), Kubu Raya in 2013. Data were obtained from interviews using questionnaires, focus group discussions (FGDs) and in-depth interviews. Quantitative data were analyzed by linear regression, while the qualitative data by content analysis and triangulation. The results showed that the proportion of TB suspects were referred to the visit of former TB patients in the intervention area 1.9 times greater than in controls. Based on the results of focus group discussions and in-depth interviews, knowledge about TB, increased motivation and the ability to communicate a former TB patient empowerment gained from the training given to the former TB patients. From the research it can be concluded that the former does empower TB patients, increasing the discovery of TB suspects in Kubu Raya. Keywords: Empowerment, detection, TB suspected, West Kalimantan. Alamat Korespondensi: Retno Budiati, Subdit TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Pusat, Hp. 081288668597, e-mail: retnobudiati_p@yahoo.com PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2012 sebanyak 8,6 juta orang terjangkit TB dengan kematian 1,3 juta orang. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus TB ke-4 terbesar setelah Tiongkok, India, dan Afrika Selatan. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2013 adalah 297 per 100.000 penduduk dengan 460.000 kasus baru setiap tahunnya (Ditjen PP dan PL, 2014). Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) merupakan elemen penting dalam pengendalian TB, yang telah diimplementasikan secara meluas. Tingkat partisipasi puskesmas dalam DOTS di Kalimantan Barat tergolong tinggi, namun
  • 7. 2 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan cakupan deteksi TB masih rendah yaitu hanya 51% tahun 2012. Kabupaten Kubu Raya merupakan kabupaten dengan tingkat CDR (Case Detection Rate) menduduki peringkat ke-2 terendah di Kalimantan Barat setelah Kabupaten Kayong Utara. Case Detection Rate di Kabupaten Kubu Raya tahun 2011 adalah 42% (Dinkes Kalbar, 2012). Dari 9 kecamatan yang ada di Kabupaten Kubu Raya, Kecamatan Sungai Kakap merupakan kecamatan dengan jumlah kasus TB terbanyak, yaitu 383 kasus. (Dinkes Kabupaten Kubu Raya, 2011), dengan angka penemuan kasus baru hanya 20 kasus (5,2%). Rendahnya penemuan kasus baru ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain masih rendahnya peran serta masyarakat dalam kegiatan pengendalian TB (Dinkes Kabupaten Kubu Raya, 2011). Paradigma baru dalam pemberdayaan masyarakat memberikan pemahaman bahwa masyarakat memiliki kemauan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam mendukung program pemerintah khususnya di bidang kesehatan. Dari hasil penelitian Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2011, pemberdayaan ‘Tuha Peut’ (tokoh masyarakat) dalam memotivasi suspek TB untuk segera memeriksakan diri ke Puskesmas cukup efektif. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya melibatkan tokoh masyarakat ataupun tokoh agama, namun dapat juga pasien TB yang telah sembuh (mantan pasien TB). Di beberapa negara, mengikutsertakan mantan pasien TB dalam program pengendalian TB memberikan citra positif terhadap orang yang terkena TB. Di Bangladesh, pasien TB yang telah sembuh dilibatkan dalam membantu penemuan kasus dan mobilisasi sosial (Salim et al, 2003; Akramul, 2005). Di Mongolia, pasien TB yang telah sembuh berbagi pengalaman dengan pasien TB dalam pengobatan, merujuk kasus yang dicurigai ke pusat TB dan membantu pasien TB dalam proses pengobatan mereka (He dkk, 2005). Di Vietnam, pasien TB yang telah sembuh dianggap oleh masyarakat sebagai penasehat atau 'broker' dalam masalah TB (Johansson & Winkvist, 2002). Sampai dengan tahun 2012, belum ada kegiatan penemuan suspek TB di Kecamatan Sungai Kakap yang melibatkan mantan pasien TB. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang peran mantan pasien TB dalam peningkatan penemuan suspek TB di Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui pengaruh pemberdayaan mantan pasien TB dalam peningkatan penemuan suspek TB di Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya; 2) Mengetahui tingkat pengetahuan mantan pasien TB tentang TB; 3) Mengetahui gambaran peran serta stakeholder dalam pemberdayaan mantan pasien TB; dan 4) Mengetahui model pemberdayaan masyarakat berbasis mantan pasien TB dalam penemuan suspek TB. METODE Desain penelitian ini adalah kuasi eksperimental, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilaksanakan pada 28 November 2013 sampai dengan 30 Juni 2014. Populasi adalah seluruh mantan pasien TB di Kabupaten Kubu Raya. Sampel adalah sebagian mantan pasien TB di wilayah kerja Puskesmas Sungai Kakap, Kecamatan Sungai Kakap (daerah intervensi) dan Puskesmas Rasau Jaya, Kecamatan Rasau Jaya (daerah kontrol) yang dipilih secara acak. Besar sampel masing- masing sebanyak 56 orang di daerah intervensi dan kontrol. Variabel dependen pada penelitian ini adalah penemuan suspek TB, sedangkan variabel independen adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat pengetahuan mantan pasien TB tentang TB sebelum dan sesudah intervensi. Pengumpulan data Mantan pasien TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok intervensi (di daerah interensi) dan kelompok kontrol (di daerah kontrol). Pada kelompok intervensi diberikan pelatihan, mencakup teori tentang TB pemberian motivasi, dan komunikasi, sedangkan pada kelompok kontrol hanya teori tentang TB. Untuk mengukur tingkat pengetahuan, maka dilakukan tes di awal dan di akhir pelatihan. Sumber data kuantitatif yaitu dari responden yang diwawancarai menggunakan kuesioner dan dari kartu rujukan. Kuesioner mencakup variabel usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, sedangkan kartu rujukan meliputi nama, umur, dan alamat suspek TB, gejala utama dan tambahan, kode desa, ‘kode unik’ dari mantan pasien TB, serta nomor urut suspek TB yang ditemukan. Sumber data kualitatif diperoleh dari FGD sesuai dengan panduan dan wawancara mendalam.
  • 8. 3Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Focus Group Discussion meliputi dukungan program pemberdayaan mantan pasien TB, dan stigma yang dialami mantan pasien TB. Wawancara mendalam berisi pertanyaan tentang komitmen dari pemerintah kecamatan dalam mendukung program pemberdayaan mantan pasien TB. Cara pengumpulan data Data kuantitatif dikumpulkan dengan melakukan tes sebelum dan setelah pemberian teori tentang TB pada saat pelatihan terhadap 56 responden (sampel) pada kelompok intervensi dan 56 orang kelompok kontrol. Untuk setiap responden diberi ‘kode unik’, sehingga masing- masing responden dapat mengetahui kelengkapan kuesionernya. Kelengkapan data kuesioner langsung diverifikasi di tempat pengisian kuesioner. Untuk pengumpulan data suspek TB yang dirujuk oleh mantan pasien TB, yaitu dari Form TB 06 yang disimpandiPuskesmasSungaiKakapdanRasauJaya. Data kualitatif dikumpulkan oleh tim peneliti dan asisten peneliti yang telah dilatih sebelumnya. Pelatihan yang diberikan adalah teknik dalam wawancara mendalam serta pelaksanaan FGD. Setiap sesi FGD dilaksanakan selama satu jam, dan wawancara mendalam selama 30-60 menit. Wawancara mendalam dan FGD direkam, dan ditranskrip segera setelah selesai dilaksanakan. Jumlah mantan pasien TB yang diikutkan dalam FGD yaitu sebanyak 20 orang untuk mendapatkan gambaran tentang program pemberdayaan mantan pasien TB, sedangkan jumlah stake holder terkait sebanyak 15 orang, terdiri dari 13 orang kepala desa, dan 2 orang kepala puskesmas untuk mendapatkan gambaran peran serta stake holder dalam mendukung program pemberdayaan mantan pasien TB. Informan kunci yang dipilih untuk wawancara mendalam adalah 2 orang camat, yaitu Camat Kecamatan Sungai Kakap dan Camat Kecamatan Rasau Jaya untuk mendapatkan gambaran pandangan aparat pemerintah kecamatan dalam kegiatan pemberdayaan mantan pasien TB. Selama proses pengumpulan data, tim peneliti melakukan pemantauan terhadap setiap mantan pasien TB yang telah dilatih, baik di daerah intervensi maupun daerah kontrol. Pengolahan dan analisis data Setelah data dikumpulkan, dilakukan dengan perangkat lunak EPI DATA versi 3.1 (entri data) dan STATA versi SE 12. Setelah data kuantitatif dientri dan verifikasi, diekspor ke program STATA untuk dianalisis dengan menggunakan uji regresi linier, dan data kualitatif dengan analisis isi dan triangulasi. HASIL Mantan pasien TB yang berpartisipasi dalam penelitian sebanyak 112 orang, masing-masing terdiri dari 56 orang di daerah intervensi dan daerah kontrol. Sebagian besar (62,5%) mantan pasien TB di daerah intervensi adalah laki-laki, sedangkan daerah kontrol (55,3%) perempuan. Kelompok umur terbesar di daerah intervensi adalah 36-45 tahun (35,7%), dan terkecil >55 tahun (5,4%), sedangkan di daerah kontrol, kelompok umur terbesar 36-45 tahun (25,0%), terkecil ≤25 tahun (3,6%). Sebagian besar tingkat pendidikan mantan pasien TB di daerah intervensi dan kontrol adalah SD, yaitu 48,2% dan 55,4%. Rata-rata nilai pre-test mantan pasien TB di daerah kontrol lebih rendah dibandingkan dengan kelompok intervensi, yaitu 3,41. Setelah mengikuti pelatihan ada peningkatan pengetahuan pada setiap pertanyaan yang ditandai dengan bertambahnya jumlah responden yang dapat menjawab dengan benar, dan nilai rata-rata post-test adalah 4,86. Dari 222 suspek TB yang tercatat dalam Form TB 06 periode November 2013 sampai dengan Juni 2014 di Puskesmas Sungai Kakap (daerah intervensi), 42 diantaranya merupakan rujukan mantan pasien TB. Sedangkan dari 253 suspek TB periode November 2013 sampai dengan Juni 2014 di Puskesmas Rasau Jaya (daerah kontrol), sebanyak 25 suspek TB dirujuk oleh mantan pasien TB. Di daerah intervensi, jumlah suspek TB yang ditemukan meningkat dari 25 sebelum melibatkan mantan pasien TB, menjadi 31 setelah melibatkan mantan pasien TB, setelah adanya pelibatan mantan pasien TB. Sedangkan di daerah kontrol menurun dari 43 sebelum sebelum melibatkan mantan pasien TB, menjadi 42 setelah melibatkan mantan pasien TB. Dari hasil uji regresi linier, rasio proporsi kunjungan suspek TB yang dirujuk oleh mantan pasien TB di daerah intervensi 1,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kontrol. Setelah dilakukan pengendalian pada variabel perancu (umur dan jenis kelamin), rasio proporsi
  • 9. 4 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan di daerah intervensi 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kontrol Hasil FGD dan wawancara mendalam menunjukkan bahwa stakeholder mempunyai peran yang sangat penting dalam pemberdayaan mantan pasien TB. Selain itu, kepala desa di daerah intervensi dan kontrol juga mempunyai komitmen terhadap pemberdayaan mantan pasien TB dalam meningkatkan penemuan suspek TB. PEMBAHASAN Karakteristik mantan pasien TB Mantan pasien TB yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebanyak 112 orang, terdiri dari 56 orang di daerah intervensi dan 56 orang daerah kontrol. Kelompok intervensi berasal dari tujuh desa, yaitu Sungai Kakap, Sungai Itik, Pal 9, Sungai Belidak, Kalimas, Tanjung Saleh, dan Sepok Laut, sedangkan kelompok kontrol dari enam desa, yaitu Rasau Jaya 1, Rasau Jaya 2, Rasau Jaya 3, Rasau Jaya Umum, Bintang Mas, dan Pematang 7 Sebagian besar (62,5%) mantan pasien TB di daerah intervensi adalah laki-laki, sedangkan daerah kontrol (55,3%) perempuan. Kelompok umur terbesar di daerah intervensi adalah 36-45 tahun (35,7%), diikuti berturut-turut 46-55 tahun (25,0%), 26-35 tahun (19,6%), dan ≤25 tahun (14,3%). Kelompok umur terkecil, yaitu >55 tahun (5,4%). Di daerah kontrol, kelompok umur terbesar 36-45 tahun (25,0%), diikuti berturut-turut 46-55 tahun (26,8%), 26-35 tahun (23,2%), dan >55 tahun (21,4%). Kelompok umur terkecil, yaitu ≤25 tahun (3,6%). Sebagian besar tingkat pendidikan mantan pasien TB di daerah intervensi dan kontrol adalah SD, yaitu 48,2% dan 55,4% (Tabel 1). Tabel 1. Proporsi mantan pasien TB menurut karakteristik di daerah perlakuan di Kabupaten Kubu Raya, 2013 Karakteristik Daerah intervensi (%) Daerah kontrol (%) Jenis kelamin Laki-laki 62,5 (35/56) 44,6 (25/56) Perempuan 37,5 (21/56) 55,4 (31/56) Umur (tahun) ≤25 14,3 (8/56) 3,6 (2/56) 26-35 19,6 (11/56) 23,2 (13/56) 36-45 35,7 (20/56) 25,0 (14/56) 46-55 25,0 (14/56) 26,8 (15/56) >55 5,4 (3/56) 21,4 (12/56) Tingkat pendidikan SD 48,2 (27/56) 55,4 (31/56) SMP 21,4 (12/56) 21,4 (12/56) SMA 25,0 (14/56) 17,9 (10/56) PT 5,4 (3/56) 5,4 (3/56) Tingkat pengetahuan mantan pasien TB Jumlah pertanyaan yang ditanyakan kepada mantan pasien TB pada saat pre-test adalah sebanyak 10 pertanyaan. Pada daerah intervensi, ada 1 pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan benar oleh 1 responden, yaitu tentang efek samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pada daerah kontrol, pertanyaan tentang pengobatan TB hanya dapat dijawab dengan benar oleh 5 responden. Rata-rata nilai pre-test mantan pasien TB di daerah kontrol lebih rendah dibandingkan dengan kelompok intervensi yaitu 3,41. Setelah mengikuti pelatihan ada peningkatan pengetahuan pada setiap pertanyaan yang ditandai dengan bertambahnya jumlah responden yang dapat menjawab dengan benar (Tabel 2). Rata-rata nilai post-test yaitu 4,86. Dari sepuluh pertanyaan yang ditanyakan, terdapat beberapa pertanyaan yang mengalami penurunan jawaban dengan benar. Pada daerah intervensi, pertanyaan pengobatan TB tidak mengalami perubahan, yaitu mampu dijawab oleh 3 orang. Sedangkan di daerah kontrol, ada 3 pertanyaan yang mengalami penurunan jawaban benar, yaitu mendiagnosis TB, pengobatan TB, dan efek samping OAT. Kurangnya ketelitian dalam menjawab pertanyaan, merupakan penyebab mantan pasien TB tidak dapat menjawab dengan benar Sebagai contoh, pertanyaan pilihan ganda tentang efek samping OAT, responden harus memilih ‘yang tidak termasuk efek samping OAT’. Responden menjawab nyeri sendi, urin berwarna kemerahan, mual, sakit perut, yang kesemuanya merupakan efek samping OAT. Kemungkinan responden tidak teliti dalam membaca atau memahami pertanyaan bahwa yang dimaksud adalah yang bukan efek samping OAT. Tingkat pengetahuan mantan pasien TB tentang TB juga terlihat pada saat dilakukan FGD. Peserta FGD mengungkapkan bahwa pada awalnya mereka mengetahui bahwa TB merupakan penyakit keturunan dan memalukan, sehingga menyebabkan mereka mendapatkan perlakuan yang berbeda dari lingkungan sekitar bahkan dari keluarga sendiri. Salah satu peserta FGD
  • 10. 5Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menyampaikan: “dulu sewaktu kena TB, saya pikir TB adalah penyakit keturunan, karena kakek dan bapak saya juga kena TB. Saya kena lakuan berbeda, makan dipisahkan, mau kumpul same kawan pun tak bise, malu.” Salah seorang kepala desa di daerah intervensi juga menyatakan hal yang sama tentang TB: “memang stigma terhadap pasien TB itu masih ada, tapi tidaklah seperti dulu, sekarang masyarakat sudah mau menerima, malah ingin bantu supaya cepat sembuh” Tabel 2. Tingkat pengetahuan mantan pasien TB menurut pertanyaan di daerah perlakukan di Kabupaten Kubu Raya, 2013 Pre-test Intervensi Kontrol Pertanyaan Jumlah yang menjawab benar (%) 1. Pengertian TB 22 (39,29) 23 (41,07) 2. Gejala utama TB 23 (41,07) 28 (50) 3. Gejala tambahanTB 19 (33,93) 25 (44,64) 4. Penularan TB 20 (35,71) 23 (41,07) 5. Orang dengan risiko tinggi tertular TB 7 (12,5) 12 (21,43) 6. Mendiagnosis TB 7 (12,5) 16 (28,57) 7. Pengobatan TB 3 (5,36) 3 (5,36) 8. Efek samping OAT 1 (1,79) 6 (10,71) 9. Risiko pengobatan yang tidak tuntas 18 (32,14) 21 (37,5) 10. Pencegahan penularan 13 (23,21) 16 (28,57) Post-test Intervensi Kontrol Pertanyaan Jumlah yang menjawab benar (%) 1. Pengertian TB 23 (41,07) 38(67,86) 2. Gejala utama TB 28 (50) 43(76,79) 3. Gejala tambahan TB 25 (44,64) 34(60,71) 4. Penularan TB 23 (41,07) 42 (75) 5. Orang dengan risiko tinggi tertular TB 12 (21,43) 7 (12,5) 6. Mendiagnosis TB 16 (28,57) 17(30,36) 7. Pengobatan TB 3 (5,36) 4 (7,14) 8. Efek samping OAT 6 (10,71) 6 (10,71) 9. Risiko pengobatan yang tidak tuntas 21 (37,5) 37(66,07) 10. Pencegahan penularan 16 (28,57) 28 (50) Pengaruh pemberdayaan mantan pasien TB Dari 222 suspek TB yang tercatat dalam Form TB06 periode November 2013 sampai dengan Juni 2014 di Puskesmas Sungai Kakap (daerah intervensi), 42 diantaranya merupakan rujukan mantan pasien TB. Dari 42 suspek TB tersebut, 37 datang untuk melakukan pemeriksaan dahak. Hasil pemeriksaan dahak menunjukkan bahwa 8 dari 37 suspek TB (21,6%) BTA positif. Dari 253 suspek TB yang tercatat dalam Form TB06 periode November 2013 sampai dengan Juni 2014 di Puskesmas Rasau Jaya (daerah kontrol), 25 suspek TB dirujuk oleh mantan pasien TB, dan semuanya datang ke puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan dahak. Dari 25 orang suspek TB tersebut, 4 (15%) diantaranya BTA positif (Gambar 1). Gambar 1. Jumlah Suspek TB di daerah kontrol dan intervensi, Kabupaten Kubu Raya periode November 2013 sampai dengan Juni 2014 Di daerah intervensi, jumlah suspek TB yang ditemukan meningkat dari 25 sebelum melibatkan mantan pasien TB, menjadi 31 setelah melibatkan mantan pasien TB, sedangkan di daerah kontrol dari 43 sebelum sebelum melibatkan mantan pasien TB, menjadi 42 setelah melibatkan mantan pasien TB (Gambar 2). Gambar 2. Rata-rata jumlah suspek TB di daerah kontrol dan intervensi, Kabupaten Kubu Raya sebelum intervensi (bulan November 2012 sampai dengan Juni 2013) dan sesudah intervensi (November 2013 sampai dengan Juni 2014) Dari hasil uji regresi linier, rasio proporsi kunjungan suspek TB yang dirujuk oleh mantan pasien TB di daerah intervensi 1,9 kali lebih tinggi
  • 11. 6 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dibandingkan dengan daerah kontrol. Setelah dilakukan pengendalian pada variabel perancu (umur dan jenis kelamin), rasio proporsi di daerah intervensi 2,41 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kontrol. Peran stakeholder dalam pemberdayaan mantan pasien TB Hasil FGD dan wawancara mendalam menunjukkan bahwa stakeholder mempunyai peran yang sangat penting dalam pemberdayaan mantan pasien TB. Seperti yang disampaikan oleh mantan pasien TB di daerah intervensi: “di lapangan kami jumpai ada orang yang tidak mau kami suruh ke puskesmas untuk periksa dahak, saya rasa kalo yang nyuruh itu orang yang dia segani, seperti kades contohnya, saya rasa baru dia bergerak”. Pendapat serupa juga disampaikan oleh kepala desa di daerah kontrol: “kami sebagai kepala desa, pada prinsipnya siap saja kalo diminta untuk mengawal mantan pasien TB yang akan merujuk suspek TB, biasanya masyarakat masih mandang siapa kepala desanya”. Selain itu, kepala desa di daerah intervensi dan kontrol juga mempunyai komitmen terhadap pemberdayaan mantan pasien TB dalam meningkatkan penemuan suspek TB, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang kepala desa di daerah intervensi pada saat FGD: “Iya saya sih setuju saja, tapi menurut saya yang semestinya menjadi kader juga harus benar-benar mantan pasien TB Paru yang telah sembuh total maka nantinya dia akan menjadi contoh kesuksesan pengobatan TB Paru tersebut. Dengan demikian diharapkan para penderita TB Paru yang belum berobat jadi lebih termotivasi oleh kader-kader yang dianggap sebagai panutan mereka”. Selain itu, Kepala desa tersebut juga memberikan saran untuk menjamin keberlangsungan kegiatan penemuan suspek TB yang dilakukan oleh mantan pasien TB. Salah seorang kepala desa di daerah kontrol mengungkapkan sebagai berikut: “Itu tinggal teknisnya saja nanti. Yang pertama mungkin kita mengumpulkan RT (Rukun Tetangga) dulu di tingkat desa, kemudian dari puskesmas yang paham tentang ini kita undang kemudian kadernya kita perkenalkan ke semua RT, nanti kita sepakati actionnya mau mulai kapan. Ya seperti forum musyawarah Pak. Jadi kepala desa memfasilitasi, kepala puskesmas menjelaskan tentang penyakit TB, kemudian kader menceritakan pengalamannya sakit TB dan meminta bantuan untuk mendeteksi ke RT. Nanti kader turun ke RT atau kader mencurigai ada yang terkena TB nanti kader koordinasi dengan RT nya untuk dikirim ke puskesmas. Saya menambahkan sedikit. Di dalam pertemuan kader, diharapkan untuk menekankan pengenalan gejala. Sehingga saya dan RT tahu lebih dalam mengenai TB dan dapat membantu menemukan di warga desa saya”. Pemberdayaan mantan pasien TB dalam menemukan suspek TB memiliki peran penting dalam meningkatkan CDR. Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala, antara lain adanya stigma, kurangnya dukungan dari pihak terkait lainnya, dan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat. KESIMPULAN Peningkatan jumlah suspek TB secara keseluruhan di daerah intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kontrol. Proporsi kunjungan suspek TB yang dirujuk mantan penderita TB di daerah intervensi 1,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kontrol. Terjadi peningkatan pengetahuan mantan pasien TB di daerah intervensi dan kontrol setelah diberi pelatihan tentang TB. Peningkatan pengetahuan tersebut meliputi pengertian, gejala, dan cara penularan TB. Peran kepala desa sangat penting dalam mendukung pemberdayaan mantan pasien TB dalam penemuan suspek TB. SARAN 1. Perlu dilakukan advokasi kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Kubu Raya, bahwa upaya meningkatkan penemuan suspek TB dapat dilakukan melalui pemberdayaan mantan pasien TB dengan memberikan pelatihan motivasi dan komunikasi. 2. Perlu advokasi kepada Pemerintah daerah Kubu Raya, bahwa keterlibatan aparat kecamatan dan desa sangat penting dalam upaya untuk meningkatkan penemuan suspek TB melalui pemberdayaan mantan pasien TB. 3. Perlu menginisiasi terbentuknya perkumpulan yang beranggotakan mantan pasien TB di tingkat kecamatan, sehingga mantan pasien TB memiliki wadah untuk berkumpul dan mendapatkan informasi tentang program pengendalian TB dari pemerintah.
  • 12. 7Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 4. Perlu adanya rencana strategis dalam meningkatkan penemuan suspek TB dengan melibatkan lintas sektor terkait. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak, Kepala Puskesmas Kakap dan Rasau Jaya, dan Tuberculosis Operational Research Group (TORG) – Subdit TB, dan KNCV. DAFTAR PUSTAKA Akramul I. 2005. Community participation in TB control as part of social development: the experience of BRAC. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 9(11S1):S37. Amin Z, Bahar A. 2007. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. Demissie M, Getahun H, Lindtjørn B. 2003. Community tuberculosis care through "TB clubs" in rural North Ethiopia. Soc Sci Med. 56(10): 2009-18). Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. ed.2. Cet.I. Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, 2012. Dinas Kesehatan Kabupaten Kubu Raya, 2011. Getahun H, Maher D. 2000. Contribution of “TB Club” to Tuberculosis. Control in Rural District in Ethiopia Int J Tuberc Lung Dis. 4(2) : 174-8. G Laverack. 2006. Improving Health Outcomes through Community Empowerment: A Review of the Literature (J Health Popul Nutr : 113-120). He GX, et al. 2005. Implementing DOTS strategy through tuberculosis clubs. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 9(11S1): S135–S136. J Macq, T Torfoss, and H Getahun. 2007. Patient empowerment in tuberculosis control: reflecting on past documented experiences (Tropical Medicine and International Health. 12/7.PP 873–885. Johansson E, Winkvist A. 2002. Trust and transparence in human encounters in tuberculosis control: lessons learned from Vietnam. Qualitative Health Research. 12:473–491. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pengendalian TB Kini Lebih Baik. Pusat Komunikasi Publik,SekretariatJenderalKementerianKesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pengendalian Tuberkulosis Salah Satu Indikator Keberhasilan Pencapaian MDG’s. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Stop TB, Terobosan Menuju Akses Universal, Strategi NasionalPengendalianTBdiIndonesia2010-2014. Laporan Sub Direktorat TB Depkes RI. 2009. Prevalensi Tuberkulosis. Mudatsir, dkk. 2011. Kumpulan Hasil Riset Operasional Tuberkulosis Indonesia tahun 2005-2009. Kemenkes RI, Jakarta. Notoatmodjo S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan.EdisiRevisi. Jakarta:PT RinekaCipta. Notoadmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. R Sabri. 2011. The Community Participation in the Case Detection of the Suspect Pulmonary Tuberculosis in the District of Tanah Datar, West Sumatera, Indonesia. International Journal of PublicHealthResearchSpecialIssue;219-223. Salim H et al. 2003. Patients’ participation in case finding and case holding: experiences of Damian Foundation Bangladesh. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 7(11S1): S255. World Health Organization (WHO). 2012. The Stop TB Startegy: Building on and enhancing DOTS to meet the TB-related Millennium DevelopmentGoals.http://whqlibdoc.who.int/ hq/2006/WHO_HTM_STB_2006.368_eng.pdf World Health Organization (WHO). 2011. Global Tuberculosis Control: WHO Report. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. WHO/HTM/TB/2011.16. World Health Organization (WHO). 2007. Empowerment and involvement of tuberculosis patients in tuberculosis control: Documented experiences and intervention
  • 13. 8 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pengaruh ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 Terhadap Akses Air Bersih dan Jamban Sehat, dan Kejadian Diare The Impact of ICWRMIP Sub Component 2.3 on Access to Clean Water and Healthy Latrine, and the Occurrence of Diarrhea Astri Syativa1, Suyud Warno Utomo2, Agustin Kusumayati2 1Subdit PLUR, Direktorat PL, Ditjen PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI, Departemen Kesehatan Lingkungan, 2Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok Abstrak Dua puluh tahun terakhir ini kondisi lingkungan dan kualitas air di sepanjang Sungai Citarum semakin menurun. Akses penduduk di sekitar Citarum terhadap air bersih dan jamban sehat pun masih rendah, dengan angka kesakitan diare yang tinggi. Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (ICWRMIP) merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di DAS Sungai Citarum dan Saluran Tarum Barat. Kementerian Kesehatan berperan dalam ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 yang bertujuan untuk meningkatkan penyediaan air bersih, sanitasi, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 terhadap akses air bersih, akses jamban sehat dan kejadian diare serta menganalisis pengaruh akses air bersih dan jamban sehat terhadap kejadian diare. Penelitian ini menggunakan rancangan studi cross-sectional berulang. Data dikumpulkan sebelum dan sesudah program, di lokasi program dan non-program, dengan besar sampel 300 responden pada tiap kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 berpengaruh meningkatkan akses air bersih dan akses jamban sehat serta menurunkan kejadian diare. Semua variabel berhubungan dengan kejadian diare, yaitu akses air bersih (OR=1,74; 1,33-2,28), akses jamban sehat (OR=2,48; 1,88-3,28), program (OR=7,17; 4,68-10,99), dan waktu (OR=5,10; 3,33-7,80). Disimpulkan bahwa rumah tangga di lokasi non-program tanpa akses jamban sehat pada saat sebelum ada program berisiko 7,75 kali lebih besar mengalami kejadian diare dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi program yang akses jamban sehat setelah program. Kata kunci: ICWRMIP, air bersih, jamban sehat, kejadian diare, Citarum Abstract The condition of the environment and water quality along the Citarum River has declined in the last twenty years. Access people around Citarum to clean water and healthy latrine is low, with high diarrhea morbidity. Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (ICWRMIP) is an effort by the government to solve the problems that exist in Citarum and West Tarum Canal. Ministry of Health is involve on Sub Component 2.3, that aims to improve water supply, sanitation, and improving public health. This study aims to analyze the impact of ICWRMIP Sub-Component 2.3 on access to clean water and healthy latrine, and the occurrence of diarrhea, and also to analyze the impact of access to clean water and healthy latrines on the occurrence of diarrhea. This study uses repeated cross-sectional study design. Data were collected before and after the program, on-site program and non-program, with sample size 300 respondents in each group. The results showed that ICWRMIP Sub Component 2.3 affects to improve clean water and healthy latrines access, and also reduced the occurrence of diarrhea. All variables associated with the occurrence of diarrhea: clean water access (OR=1,74; 1,33-2,28), healthy latrines access (OR=2,48; 1,88-3,28), program (OR=7,17; 4,68-10,99), and time (OR=5,10; 3,33-7,80). Concluded that households in non-program locations without access to healthy latrines at the time before program 7.75 times greater risk of experiencing diarrhea compared with on-site household latrine access program healthy after the program. Key words: ICWRMIP, clean water, healthy latrine, the occurrence of diarrhea, Citarum Alamat korespondensi: Astri Syativa, Subdit PLUR, Direktorat PL, Ditjen PP dan PL, Jl. Percetakan Negara No. 29 JakartaPusat,Hp.08176855355,e-mail:astri.syativa@gmail.com PENDAHULUAN Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Provinsi Jawa Barat, dengan panjang 269 km dan Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 13.000 km2, meliputi 12 kabupaten/kota, yaitu: Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu, Karawang, Purwakarta, Subang, Sumedang, dan Kota Bandung, Bekasi dan Cimahi (ICWRMIP, 2010). Sungai Citarum berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat, khususnya di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Dalam dua dekade terakhir ini kondisi lingkungan dan kualitas air di sepanjang Sungai Citarum
  • 14. 9Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan semakin tidak sehat. Berbagai permasalahan yang ada saat ini dapat mengancam kesehatan dan sumber penghidupan masyarakat, terutama di sekitar DAS Citarum. Lingkungan yang tidak sehat sangat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap genetika individu, perilaku dan gaya hidup. Sampai saat ini masih banyak penduduk di negara kita terkena penyakit yang diakibatkan karena rendahnya tingkat sanitasi. Banyaknya penyakit-penyakit lingkungan yang menyerang masyarakat karena kurang bersihnya lingkungan di sekitar ataupun kebiasaan buruk yang mencemari lingkungan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan penyakit yang dibawa oleh kotoran yang ada di lingkungan bebas tersebut baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui perantara. Sanitasi lingkungan berperan penting dalam penularan penyakit, seperti diare. Penyakit ini masih merupakan salah satu prioritas program pengendalian penyakit menular di Indonesia, karena diare masih termasuk salah satu dalam sepuluh penyakit terbesar di Indonesia. Diare merupakan salah satu masalah penyakit yang berbasis lingkungan dan masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, karena masih buruknya kondisi sanitasi dasar, lingkungan fisik, dan rendahnya perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat. Integrated Citarum Water Resources Management Investment Programme (ICWRMIP) merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam pencegahan dan pengelolaan kualitas air sungai yang terintegrasi dan berkesinambungan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di DAS Sungai Citarum dan Saluran Tarum Barat. Program ini merupakan upaya yang terintegrasi dalam pengelolaan sungai Citarum, sehingga menjadi sumber air yang bermanfaat bagi kehidupan di sekitar sungai Citarum. Kementerian Kesehatan berperan dalam ICWRMIP Sub-Komponen 2.3. dan dengan Dukungan Prakarsa Masyarakat dan LSM dalam Perbaikan Air Minum dan Sanitasi diharapkan dapat meningkatkan penyediaan air bersih, sanitasi, dan derajat kesehatan masyarakat, terutama dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit yang ditularkan melaluiair dan lingkungan. Program ini menitikberatkan pada pola promosi higiene, pendekatan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat (demand responsive approach), penyediaan air bersih, sanitasi dan peningkatan perilaku higienis. Kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 pada tahun 2011-2012 difokuskan di 3 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, yaitu: Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Karawang. Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang merupakan DAS Citarum yang terdekat dengan Jakarta dan merupakan daerah yang bermasalah di bidang kesehatan dan sanitasi lingkungan. Angka kesakitan diare di daerah ini sangat tinggi. Pada tahun 2007, jumlah kasus diare di Kota Bekasi mencapai 26.888 kasus, di Kabupaten Bekasi sebanyak 41.413 kasus, dan bahkan di Kabupaten Karawang mencapai 91.440 kasus (Profil Kesehatan Jawa Barat, 2007). Jika data tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk, maka prevalensi diare di Kota Bekasi adalah 12,90 per 1000 penduduk, Kabupaten Bekasi 20,38 per 1000 penduduk dan Kabupaten Karawang 44,10 per1000 penduduk. Pada tahun 2009, jumlah rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih di Kabupaten Karawang 65,19%, Kabupaten Bekasi 67,07%, dan di Kota Bekasi hanya sebesar 23,77%. Jumlah rumah tangga yangmemiliki akses terhadap jamban sehat di Kabupaten Karawang 69,89%, Kabupaten Bekasi 49,83%, Kota Bekasi 91,89% (Pusdatin Kemenkes, 2013). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 terhadap akses air bersih, akses jamban sehat dan kejadian diare serta menganalisis pengaruh akses air bersih dan jamban sehat terhadap kejadian diare. METODE Penelitian ini menggunakan rancangan studi cross-sectional berulang (repeated cross- sectional study). Studi cross-sectional pertama telah dilakukan pada tahun 2011, sebelum pelaksanaan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3. Studi tersebut dinyatakan sebagai studi data dasar (baseline study). Studi cross-sectional berikutnya dilakukan pada tahun 2013, setelah ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 selesai dilaksanakan di 15 lokasi sasaran tahun 2011-2012. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu rumah
  • 15. 10 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tangga yang tinggal di desa tersebut dan tercatat dalam daftar KK di RT. Mengingat tingkat mobilitas penduduk yang tinggi di lokasi penelitian, maka sampel penelitian sebelum dan sesudah kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 tidak harus sama. Berdasarkan hasil perhitungan sampel, maka besar sampel minimal yang dibutuhkan sebanyak 267 sampel (dibulatkan menjadi 300 sampel). Jumlah desa yang mendapat intervensi ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 adalah sebanyak 15 desa, sehingga besar sampel di masing- masing desa sebanyak 20 sampel. Penentuan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling. Kerangka sampel dalam penelitian ini adalah daftar KK yang ada di RT/RW setempat. Pada saat sebelum program, sampel di lokasi program maupun non-program dipilih yang bertempat tinggal di sekitar DAS Citarum atau STB. Setelah program, sampel di lokasi program dipilih berdasarkan rumah tangga yang ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 sedangkan di lokasi non-program tetap berdasarkan tempat tinggal di sekitar DAS Citarum atau STB. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan yaitu data akses air bersih, akses jamban sehat dan kejadian diare setelah adanya intervensi program. Data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan responden dengan menggunakan kuesioner. Sedangkan data sekunder yang digunakan yaitu data akses air bersih, akses jamban sehat dan kejadian diare sebelum adanya intervensi program. Data ini diperoleh dari laporan Survei Data Dasar (Baseline Survey) ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 yang dilakukan pada tahun 2011. Penelitian ini dilakukan di 15 desa ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 tahun 2011-2012, yang berada di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang serta 15 desa yang tidak mendapat intervensi program (desa kontrol). Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai dengan Juni 2013. Nama-nama desa lokasi penelitian berdasarkan baseline study dapat dilihat pada tabel (Tabel 1). Tabel 1. Nama-nama desa lokasi penelitian (program dan non-program) di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Karawang tahun 2013 No. Kabupaten/ Kota Desa Program Non-program 1. Kota Bekasi Margajaya Kayuringinjaya Pekayon jaya Harapanjaya Margahayu Harapanbaru Jakasampurna Telukpucung Jatibening Margamulya 2. Kabupaten Bekasi Pasirtanjung Jatimulya Hegarmukti Setiadarma Jayamukti Cibuntu Pasirsari Sukadanau Cibatu Wangunjaya 3. Kabupaten Karawang Kutamekar Margamulya Sirnabaya Parungmulya Sukaluyu Puserjaya Wadas Pinayungan Margakarya Puseur2 Analisis data pada penelitian ini meliputi analisis univariat, bivariat dan multivariat. Analisis univariat untuk mendeskripsikan semua variabel penelitian, baik sebelum maupun sesudah intervensi program, dianalisis dengan menggambarkan proporsi masing-masing variabel yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi. Analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square. Analisis multivariat dilakukan untuk menganalisis faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian diare. HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber air bersih yang digunakan oleh responden bervariasi, terdiri dari perpipaan PDAM, perpipaan non- PDAM, sumur bor, sumur gali dan sungai. Distribusi rumah tangga di lokasi penelitian berdasarkan sumber air bersihyangdigunakandapat dilihatpadaGambar1dan2. Gambar 1. Distribusi rumah tangga menurut sumber air bersih di lokasi non-program
  • 16. 11Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Gambar 2. Distribusi rumah tangga menurut sumber air bersih di lokasi program Berdasarkan sumber air bersih yang digunakan tersebut rumah tangga dikategorikan menjadi 2, yaitu memiliki dan tidak memiliki akses terhadap air bersih. Rumah tangga yang menggunakan air perpipaan (PDAM maupun non- PDAM), sumur bor dan sumur gali dikategorikan sebagai rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih, sedangkan rumah tangga yang menggunakan air sungai dikategorikan tidak memilikiaksesairbersih. Proporsi akses air bersih di lokasi non- program meningkat dari sebelum program sebesar 62,7% menjadi 64,5% setelah program. Begitupun dengan proporsi akses air bersih di lokasi program, meningkat dari 76,7% menjadi 98,0% setelah adanya program. Peningkatan akses air bersih di lokasi program lebih tinggi daripada lokasi non-program. Gambaran perubahan akses air bersih di lokasi program dan non- program sebelum dan setelah program dapat dilihat pada gambar 3. Gambar 3. Distribusi rumah tangga menurut akses air bersih sebelum dan setelah program Hasil penelitian menunjukkan tempat buang air besar yang digunakan oleh responden terdiri dari jamban umum/bersama, jamban milik sendiri, sungai, kebun/sawah dan kolam. Gambaran distribusi rumah tangga di lokasi penelitian berdasarkan tempat buang air besar dilihat pada gambar 4 dan 5. Gambar 4. Distribusi rumah tangga menurut tempat buang air besar di lokasi non-program Gambar 5. Distribusi rumah tangga menurut tempat buang air besar di lokasi program Tempat pembuangan tinja pada rumah tangga yang buang air besar di jamban terdiri dari septic tank, cubluk, lubang galian, sungai dan kolam. Distribusi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan tinja di lokasi non-program dapat dilihat pada tabel 2 dan 3. Tabel 2. Distribusi rumah tangga menurut tempat pembuangan tinja di lokasi non-program Tempat pembuangan tinja Sebelum program Setelah program n % n % Septic tank 206 90,4 190 89,8 Cubluk 8 3,5 10 4,7 Dialirkan ke lubang galian 2 0,9 1 0,5 Dialirkan ke sungai 9 3,9 9 4,2 Dialirkan ke kolam 3 1,3 2 0,9 JUMLAH 228 100,0 212 100,0
  • 17. 12 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tabel 3. Distribusi rumah tangga menurut tempat pembuangan tinja di lokasi program Tempat pembuangan tinja Sebelum program Setelah program n % n % Septic tank 216 91,9 267 98,5 Cubluk 8 3,4 3 1,1 Dialirkan ke sungai 8 3,4 1 0,4 Dialirkan ke kolam 3 1,3 - - JUMLAH 235 100,0 271 100,0 Rumah tangga dikategorikan memiliki akses terhadap jamban sehat jika rumah tangga tersebut buang air besar di jamban yang tempat pembuangan tinjanya ke septic tank atau cubluk, selain itu dikategorikan tidak memiliki akses terhadap jamban sehat. Gambaran perubahan akses jamban sehat di lokasi program dan non- program sebelum dan setelah program dapat dilihat pada gambar 6. Gambar 6. Distribusi rumah tangga menurut akses jamban sehat sebelum dan setelah program Kejadian diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan frekuensi meningkat dari biasanya dengan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan berlangsung dalam waktu kurang dari 7 hari (Kemenkes RI, 2011) dalam 1 bulan terakhir. Gambaran perubahan kejadian diare di lokasi program dan non-program sebelum dan setelah program dapat dilihat pada gambar 7. Gambar 7. Distribusi rumah tangga menurut kejadian diare sebelum dan setelah program PEMBAHASAN Untuk mengetahui pengaruh ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 terhadap akses air bersih, akses jamban sehat dan kejadian diare, maka dilakukan analisis statistik terhadap data akses air bersih sebelum dan setelah program. Hasil analisis akses air bersih di lokasi program dan non-program sebelum adanya kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 dapat dilihat pada tabel 4. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000 dan nilai OR sebesar 1,96 (95% CI: 1,37-2,79). Nilai p<0,05, maka terdapat perbedaan peluang akses air bersih pada lokasi program dan non-program. Dari hasil tersebut diketahui bahwa rumah tangga di lokasi non- program berisiko 1,96 kali lebih besar untuk tidak akses terhadap air bersih dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi program. Hasil analisis akses air bersih di lokasi program dan non-program setelah adanya kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 dapat dilihat pada tabel 5. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000 dan nilai OR sebesar 26,40 (95% CI: 11,34-61,45). Nilai p<0,05, maka terdapat perbedaan peluang lokasi program dan non- program untuk mendapatkan akses air bersih. Dari hasil tersebut diketahui bahwa rumah tangga di lokasi non-program berisiko 26,40 kali lebih besar untuk tidak akses terhadap air bersih dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi program. Hasil ini sejalan dengan pencapaian kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 yang telah membangun 20 SAB dengan jumlah pemanfaat 20.043 orang di seluruh lokasi kegiatan tahun 2011-2012. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil Kajian Cepat terhadap Program- Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah Indonesia (WSLIC dan PAMSIMAS) yang dilakukan oleh LP3S (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) pada tahun 2007 di 6 (enam) desa lokasi proyek WSLIC. Hasil kajian tersebut menyatakan bahwa program WSLIC-2 telah menjawab sebagian besar kebutuhan masyarakat pedesaan terhadap air bersih dan sanitasi. Program WSLIC- 2 berhasil meningkatkan ketersediaan sarana air bersih dan meningkatkan kemudahan dalam mencapai akses terhadap sarana air bersih. Masyarakat desa yang semula harus berjalan jauh ke sumber air atau harus antri lama di
  • 18. 13Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tempat penjual air sebelum adanya program WSLIC, kini tinggal memutar kran yang ada di kran umum atau di sambungan rumah masing- masing. Jarak terjauh kran umum dengan rumah penduduk hanya sekitar 200 meter (LP3S, 2007). Begitu pula dengan hasil kajian Evaluasi Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) di Kecamatan Tembalang yang dilakukan oleh Christ dkk (2012) menyatakan bahwa setelah penerapan PAMSIMAS masyarakat mendapatkan dampak, seperti kemudahan dalam mengakses air dan terpenuhinya kebutuhan air bersih dimana debit air tidak dipengaruhi oleh cuaca. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 berpengaruh terhadap akses air bersih di lokasi program. Peningkatan akses air bersih di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 lebih tinggi daripada peningkatan akses air bersih di lokasi yang tidak melaksanakan kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2. Tabel 4. Distribusi rumah tangga menurut akses air bersih dan lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 sebelum program Kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 Akses air bersih Jumlah P OR CI95%Tidak akses Akses n % n % n % Non-program 112 37,3 188 62,7 300 100,0 0,000 1,96 1,37 – 2,79 Program 70 23,3 230 76,7 300 100,0 Total 182 30,3 418 69,7 600 100,0 Tabel 5. Distribusi rumah tangga menurut akses air bersih dan lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 setelah program Kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 Akses air bersih Jumlah P OR CI95%Tidak akses Akses n % n % n % Non-program 99 35,5 180 64,5 279 100,0 0,000 26,40 11,34 - 61,45 Program 6 2,0 288 98,0 294 100,0 Total 105 18,3 468 81,7 573 100,0 Hasil analisis akses jamban sehat di lokasi program dan non-program sebelum pelaksanaan kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 dapat dilihat pada tabel 6. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,408, nilai p tersebut lebih besar dari 0,05 sehingga diketahui bahwa tidak ada perbedaan akses jamban sehat antara lokasi programdannon-program. Hasil analisis akses jamban sehat di lokasi program dan non-program setelah pelaksanaan kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 dapat dilihat pada tabel 7. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000 dan nilai OR sebesar 4,44 (95% CI: 2,72-7,27). Nilai p<0,05, maka terdapat perbedaan peluang lokasi program dan non- program untuk memiliki akses terhadap jamban sehat. Dari hasil tersebut diketahui bahwa rumah tangga di lokasi non-program berisiko 4,44 kali lebih besar untuk tidak akses terhadap jamban sehat dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi program. Atau dengan kata lain, rumah tangga di lokasi program memiliki peluang untuk memiliki akses terhadap jamban sehat sebesar 4,44 kali lebih besar daripada rumah tangga di lokasi non-program. Hasil ini sejalan dengan pencapaian kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 yang telah membangun sarana sanitasi komunal dengan berbagai macam tipe dengan jumlah pemanfaat 5.847 orang di seluruh lokasi kegiatan tahun 2011-2012. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil Studi Dampak Pembangunan SANIMAS (SANIMAS Outcome Monitoring Study) yang dilakukan oleh
  • 19. 14 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Waspola pada tahun 2006, menunjukkan bahwa setelah adanya SANIMAS terjadi perubahan pola BAB yang cukup signifikan yaitu mayoritas BAB di sarana SANIMAS (96,49%) dan sebagian kecil masih BAB di tempat tidak aman seperti di sungai dan WC cemplung (Waspola, 2006). Begitu pula dengan hasil Kajian Cepat terhadap Program-Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah Indonesia (WSLIC dan PAMSIMAS) yang dilakukan oleh LP3S (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa program WSLIC-2 berhasil meningkatkan ketersediaan sarana sanitasi dan meningkatkan kemudahan dalam mencapai akses terhadap sarana sanitasi. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 berpengaruh terhadap akses jamban sehat di lokasi program. Peningkatan akses jamban sehat di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 lebih tinggi daripada peningkatan akses jamban sehat di lokasi yang tidak melaksanakan kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3. Tabel 6. Distribusi rumah tangga menurut akses jamban sehat dan lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 sebelum program Kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 Akses jamban sehat Jumlah p OR CI95%Tidak akses Akses n % n % n % Non-program 86 38,7 214 71,3 300 100,0 0,408 1,18 0,83 – 1,70 Program 76 25,3 224 74,7 300 100,0 Total 162 27,0 438 73,0 600 100,0 Tabel 7. Distribusi rumah tangga menurut akses jamban sehat dan lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 setelah program Kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 Akses jamban sehat Jumlah p OR CI95%Tidak akses Akses n % n % n % Non-program 79 28,3 200 71,7 279 100,0 0,000 4,44 2,72 - 7,27 Program 24 8,2 270 91,8 294 100,0 Total 103 18,0 470 82,0 573 100,0 Hasil analisis kejadian diare di lokasi program dan non-program sebelum pelaksanaan kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 dapat dilihat pada tabel 8. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,022 dan nilai OR sebesar 1,48 (95% CI: 1,07-2,04). Nilai p<0,05, maka dapat disimpulkan bahwaterdapatperbedaanrisikokejadian diare pada lokasi program dan non-program. Dari hasil tersebut diketahui bahwa rumah tangga di lokasi non-program berisiko 1,48 kali lebih besar untuk mengalami kejadian diare dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi program. Hasil analisis kejadian diare di lokasi program dan non-program setelah pelaksanaan kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 dapat dilihat pada tabel 9. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000 dan nilai OR sebesar 7,17 (95% CI: 4,68-10,99). Nilai p<0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan risiko kejadian diare pada lokasi program dan non- program. Rumah tangga di lokasi non-program berisiko 7,17 kali lebih besar untuk mengalami kejadian diare dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi program. Hasil ini sesuai dengan hasil Kajian Cepat terhadap Program-Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah Indonesia (WSLIC dan PAMSIMAS) yang dilakukan oleh LP3S (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa di lokasi proyek WSLIC-2 terjadi penurunan penyakit yang disebabkan oleh air dan sanitasi/lingkungan yang kurang baik.
  • 20. 15Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan aparat desa serta petugas puskesmas atau polindes, diperoleh informasi bahwa terjadi penurunan kejadian penyakit yang terkait dengan terpenuhinya kebutuhan air bersih dan sanitasi. Praptiwi (2011) dalam tesisnya yang berjudul ”Program Penyediaan Air Minum Dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dalam Mengubah Perilaku Masyarakat Dalam Rangka Penurunan Diare di Kabupaten Temanggung (di Desa Purwodadi, Kecamatan Tembarak dan Desa Tepusen Kecamatan Kaloran)” pun menyatakan bahwa Program PAMSIMAS dengan kelima komponennya berhasil membentuk perilaku masyarakat dan menurunkan kejadian diare yaitu dengan mendukung proses pemberdayaan masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengelola prasarana air minum, sanitasi, peningkatankesehatanlingkungansertapeningkatan kualitas lingkungan dengan menurunnya jumlah masyarakat yang buang air besar disembarang tempat (open defecation free) sehingga pencemaran lingkungan akibat tinja dapat berkurang. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 berpengaruh terhadap kejadian diare di lokasi program. Penurunan kejadian diare di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 lebih tinggi daripada penurunan kejadian diare di lokasi yang tidak melaksanakan kegiatan ICWRMIPSub-Komponen2.3. Tabel 8. Distribusi rumah tangga menurut kejadian diare dan lokasi kegiatan ICWRMIP sub-komponen 2.3 sebelum program Kegiatan ICWRMIP sub-komponen 2.3 Kejadian diare Jumlah p OR CI95%Ya Tidak n % n % n % Non-program 149 49,7 151 50,3 300 100,0 0,022 1,48 1,07 - 2,04 Program 120 40,0 180 60,0 300 100,0 Total 269 44,8 331 55,2 600 100,0 Tabel 9. Distribusi rumah tangga menurut kejadian diare dan okasi kegiatan ICWRMIP sub-komponen 2.3 setelah program Kegiatan ICWRMIP sub-komponen 2.3 Kejadian diare Jumlah p OR CI95%Ya Tidak n % n % n % Non-program 135 48,4 144 51,6 279 100,0 0,000 7,17 4,68 - 10,99 Program 34 11,6 260 88,4 294 100,0 Total 169 29,5 404 70,5 573 100,0 Analisis pengaruh waktu terhadap akses air bersih, akses jamban sehat dan kejadian diare dilakukan pada lokasi kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3. Variabel waktu dibedakan menjadi sebelum dan setelah pelaksanaan program. Pengaruh variabel waktu terhadap akses air bersih di lokasi program dapat dilihat pada tabel 10. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000 dan nilai OR sebesar 14,61 (95% CI: 6,23-34,23). Nilai p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara waktu dengan akses terhadap air bersih. Dari hasil tersebut diketahui bahwa rumah tangga sebelum program berisiko 14,61 kali lebih besar untuk tidak akses terhadap air bersih dibandingkan dengan rumah tangga sesudah program. Atau dengan kata lain, rumah tangga sesudah program memiliki peluang untuk memiliki akses terhadap air bersih sebesar 14,61 kali lebih besar daripada sebelum program. Pengaruh variabel waktu terhadap akses jamban sehat di lokasi program dapat dilihat pada tabel 11. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000 dan nilai OR sebesar 3,82 (95% CI: 2,33-6,24). Nilai p<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara waktu dengan akses terhadap jamban sehat. Dari hasil tersebut diketahui bahwa rumah tangga sebelum program berisiko 3,82 kali lebih besar untuk tidak akses terhadap jamban sehat dibandingkan dengan rumah tangga sesudah program. Atau dengan kata lain, rumah tangga sesudah program memiliki peluang untuk memiliki akses terhadap jamban sehat sebesar 3,82 kali lebih besar daripada sebelum program.
  • 21. 16 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pengaruh variabel waktu terhadap kejadian diare di lokasi program dapat dilihat pada tabel 12. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000 dan nilai OR sebesar 5,10 (95% CI: 3,33-7,80). Nilai p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara waktu dengan kejadian diare. Dari hasil tersebut diketahui bahwa rumah tangga sebelum program berisiko 5,10 kali lebih besar untuk mengalami kejadian diare dibandingkan dengan rumah tangga sesudah program. Tabel 10. Distribusi rumah tangga di lokasi program menurut akses air bersih dan variabel waktu Waktu Akses air bersih Jumlah p OR CI95%Tidak akses Akses n % n % n % Sebelum 70 23,3 230 76,7 300 100,0 0,000 14,61 6,23 - 34,23 Sesudah 6 2,0 288 98,0 294 100,0 Total 76 12,8 518 87,2 594 100,0 Tabel 11. Distribusi rumah tangga di lokasi program menurut akses jamban sehat dan variabel waktu Waktu Akses jamban sehat Jumlah p OR CI95%Tidak akses Akses n % n % n % Sebelum 76 25,3 224 74,7 300 100,0 0,000 3,82 2,33 - 6,24 Sesudah 24 8,2 270 91,8 294 100,0 Total 100 16,8 494 83,2 594 100,0 Tabel 12. Distribusi rumah tangga di lokasi program menurut kejadian diare dan variabel waktu Waktu Kejadian diare Jumlah p OR CI95%Ya Tidak n % n % N % Sebelum 120 40,0 180 60,0 300 100,0 0,000 5,10 3,33 - 7,80 Sesudah 34 11,6 260 88,4 294 100,0 Total 154 25,9 440 74,1 594 100,0 Analisis hubungan antara akses air bersih dengan kejadian diare dilakukan pada seluruh data yang ada, baik di lokasi program maupun non-program, sebelum dan sesudah program. Hubungan antara akses air bersih dengan kejadian diare dapat dilihat pada tabel 13. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 136 (47,4%) responden pada rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap air bersih mengalami kejadian diare, sedangkan pada rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih terdapat 302 (34,1%)yang mengalami kejadian diare. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000 dan nilai OR sebesar 1,74 (95% CI: 1,33-2,28). Nilai p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara akses air bersih dengan kejadian diare. Dari hasil tersebut diketahui bahwa rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap air bersih berisiko 1,74 kali lebih besar untuk mengalamikejadiandiaredibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih. Analisis hubungan antara akses jamban sehat dengan kejadian diare dapat dilihat pada tabel 14. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 144 (54,3%) responden pada rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap jamban sehat mengalami kejadian diare, sedangkan pada rumah tangga yang memiliki akses terhadap jamban sehat terdapat 294 (32,4%) yang mengalami kejadian diare. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,000 dan nilai OR sebesar 2,48 (95% CI: 1,88-3,28). Nilai p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara akses jamban sehat dengan kejadian diare. Dari hasil tersebut diketahui bahwa rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap jamban sehat berisiko 2,48 kali lebih besar untuk mengalami kejadian diare dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki akses terhadap jamban sehat.
  • 22. 17Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tabel 13. Hubungan antara akses air bersih dan kejadian diare Akses Air Bersih Kejadian diare Jumlah p OR CI95%Ya Tidak n % n % n % Tidak Akses 136 47,4 151 52,6 287 100,0 0,000 1,74 1,33 - 2,28 Akses 302 34,1 584 65,9 886 100,0 Total 438 37,3 735 62,7 1173 100,0 Tabel 14. Hubungan antara akses jamban sehat dan kejadian diare Akses Jamban Sehat Kejadian diare Jumlah p OR CI95%Ya Tidak n % n % n % Tidak Akses 144 54,3 121 45,7 265 100,0 0,000 2,48 1,88 - 3,28 Akses 294 32,4 614 67,6 908 100,0 Total 438 37,3 735 62,7 1173 100,0 Untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian diare di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 maka dilakukan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil akhir analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian diare di lokasi program adalah kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 dengan nilai p=0,000 dan OR sebesar 2,63 (CI95%:2,04-3,39) setelah dikontrol dengan variabel akses jamban sehat dan waktu. Risiko kejadian diare pada rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap jamban sehat, tidak ada intervensi program, sebelum pelaksanaan program 7,75 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki akses terhadap jamban sehat, ada intervensi, setelah pelaksanaan program. Untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian diare di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 maka dilakukan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil akhir analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian diare di lokasi program adalah kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 dengan nilai p=0,000 dan OR sebesar 2,63 (CI95%:2,04-3,39) setelah dikontrol dengan variabel akses jamban sehat dan waktu. Risiko kejadian diare pada rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap jamban sehat, tidak ada intervensi program, sebelum pelaksanaan program 7,75 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki akses terhadap jamban sehat, ada intervensi, setelah pelaksanaan program. Untuk mengetahui pengaruh interaksi waktu dan intervensi kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 terhadap kejadian diare dilakukan uji interaksi menggunakan regresi logistik. Hasil uji interaksi menunjukkan bahwa variabel kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 berinteraksi dengan waktu terhadap kejadian diare dengan nilai p=0,000 dan OR sebesar 4,84 (CI95%: 2,83-8,38). Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 berinteraksi dengan waktu dapat menurunkan kejadian diare sebesar 4,84 kali di lokasi program. Artinya, rumah tangga di lokasi tanpa kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 sebelum adanya kegiatan berisiko mengalami kejadian diare 4,84 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 setelah adanya kegiatan. KESIMPULAN KegiatanICWRMIPSub-Komponen2.3berpengaruh terhadap akses air bersih. Peningkatan akses air bersih di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-
  • 23. 18 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Komponen 2.3 lebih tinggi daripada peningkatan akses air bersih di lokasi yang tidak melaksanakan kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3. KegiatanICWRMIPSub-Komponen2.3berpengaruh terhadap akses jamban sehat. Peningkatan akses jamban sehat di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 lebih tinggi daripada peningkatan aksesjambansehatdilokasiyangtidak melaksanakan kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3. KegiatanICWRMIPSub-Komponen2.3berpengaruh terhadap kejadian diare. Penurunan kejadian diare di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 lebih besar daripada di lokasi yang tidak melaksanakan kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3. Terdapat hubungan antara akses air bersih dengan kejadian diare dengan nilai OR sebesar 1,74, yang berarti bahwa rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap air bersih berisiko 1,74 kali lebih besar untuk mengalami kejadian diare dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih. Terdapat hubungan antara akses jamban sehat dengan kejadian diare dengan nilai OR sebesar 2,48 sehingga diketahui bahwa rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap jamban sehat berisiko 2,48 kali lebih besar untuk mengalami kejadian diare dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki akses terhadap jamban sehat. Rumah tangga di lokasi tanpa kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 yang tidak memiliki akses terhadap jamban sehat sebelum kegiatan berisiko 7,75 kali lebih besar untuk mengalami kejadian diare dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 yang memiliki akses terhadap jamban sehat setelah intervensi ICWRMIP Sub- Komponen 2.3. Kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 berinteraksi dengan waktu dapat menurunkan kejadian diare sebesar 4,84 kali di lokasi program. Artinya, rumah tangga di lokasi tanpa kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 sebelum adanya kegiatan berisiko mengalami kejadian diare 4,84 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga di lokasi kegiatan ICWRMIP Sub- Komponen 2.3 setelah adanya kegiatan. SARAN 1. PerludilakukanpengembangankegiatanICWRMIP Sub-Komponen 2.3 di kabupaten/kota lainnya yang dilalui oleh sungai Citarum dan STB, sesuai dengan sasaran ICWRMIP secara keseluruhan. 2. Perlu dilakukan kegiatan yang serupa dengan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 di lokasi yang tidak termasuk sebagai sasaran ICWRMIP, terutama pada daerah dengan akses air bersih dan jamban sehat yang rendah dan angka kesakitan diare yang tinggi. 3. Bagi Pemerintah Daerah setempat diharapkan dapat melakukan pengembangan/mereplikasi kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 di lokasi lain, baik yang berada di DAS Citarum/STB maupun lokasi lainnya dengan pendekatan yang serupa. 4. Perlu dilakukan penelitian serupa terhadap variabel lain yang diintervensi oleh kegiatan ICWRMIP Sub-Komponen 2.3 untuk mengetahui pencapaian kegiatan secara menyeluruh. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Bapak drh. Wilfried H. Purba, MM, M.Kes, Bapak drs. Bambang Wispriyono, Apt, Ph.D, Bapak dr. Suyud Warno Utomo, M.Si, Ibu dr. Agustin Kusumayati, M.Sc, PhD, Ibu dra. Cucu Cakrawati Kosim, M. Kes, Bpk. Budi Hartono, S.Si, MKM, Bapak drs. Agung Pambudi, dan rekan-rekan mahasiswa FKM UI, orang tua dan keluarga yang telah memberi kesempatan, bantuan, memfasilitasi, kemudahan, saran dan masukan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Alamsyah. 2002. Hubungan Perilaku Hidup Bersih Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Kecamatan Bangkinang Barat, Bangkinang Kampar Dan Tambang Kabupaten Kampar Tahun 2002. Depok: Universitas Indonesia. Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). 2009. Citarum Roadmap and Investment Program. Jakarta.
  • 24. 19Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). 2010. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Wilayah Sungai Citarum. Booklet. Jakarta. Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). 2010. Program Investasi Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Wilayah Sungai Citarum. Ringkasan Utama. Jakarta. Blumenthal, D.S. and Ruttenber, J.A. 1995. Introduction to Environmental Health. Second Editon. New York: Springer Publishing Company. Blum H. L. 1974. Planning For Health. New York: Human Sciences Press. Christ, Margaretha, Fathurrohman. 2012. Evaluasi Program Penyediaan Air Minum Dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) Di Kecamatan Tembalang. Semarang: Universitas Diponegoro. ICWRMIP Sub-Komponen 2.3. 2012. Laporan Akhir Pelaksanaan Proyek. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta. Kusnoputranto, H. 1997. Air Limbah dan Ekskreta Manusia Aspek Kesehatan Masyarakat dan Pengelolaannya. Jakarta: Universitas Indonesia. Kusnoputranto, H. 2002. Kesehatan Lingkungan. Depok: Universitas Indonesia. Kusumayati, A. 2008. The Effects of Maternal and Child Health Handbook Utilization in West Sumatera, Indonesia. Doctoral Dissertation. Osaka University. Lemeshow, S, Hoswer Jr, Klar, Lwanga. 1990. Adequacy of Sampel Size In Health Studies. University of Massacchusetts & WHO. LP3ES. 2007. Kajian Cepat Terhadap Program- Program Pengentasan Kemiskinan Pemerintah Indonesia: Program WSLIC-2 dan Pamsimas. Laporan Akhir. Mukono,J.2000.PrinsipDasarKesehatanLingkungan. Surabaya: Airlangga University Press. Octaviany, E. 2012. Kondisi Rumah dan Sarana Sanitasi Dasar dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Diare, dan Tuberkulosis di Kota Sukabumi 2010-2011. Depok: Universitas Indonesia. Pramudhy, R. 2006. Hubungan Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan terhadap Peningkatan Derajat Kesehatan (Studi Kasus di Desa Jambearjo dan Desa Klampok, Kabupaten Malang). Jakarta: Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Praptiwi, H.E. 2011. Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) dalam Mengubah Perilaku Masyarakat dalam rangka Penurunan Diare di Kabupaten Temanggung (di Desa Purwodadi Kecamatan Tembarak dan Desa Tepusen Kecamatan Kaloran). Tesis. Semarang: UniversitasDiponegoro. Waspola. 2006. Studi Dampak Pembangunan Sanimas (Sanimas Outcome Monitoring Study). Laporan Akhir. Jakarta: Waspola dan Pokja AMPL. Yardley S. 2010. Joining the Dots: Why Better Water, Sanitation and Hygiene are Necessary for Progress on Maternal, Newborn and Child Health. Teddington: Tearfund. Yunus, M. 2003. Hubungan Sanitasi Dasar, Perilaku Ibu dengan Kejadian Diare Balita Di Wilayah Puskesmas Kedung Waringin Kecamatan Kedung Waringin Kabupaten Bekasi Tahun 2003. Depok: Universitas Indonesia
  • 25. 20 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pengolahan Sampah dengan Metode Composting Open Windrow di Kelurahan Banjar Sari, Lampung Tahun 2013 Waste Processing with Open Windrow Composting Method in Banjar Sari, Lampung, 2013 P.A. Kodrat Pramudho1, Widodo1, Imelda Husdiani1, Imam Santosa2 1Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Jakarta, Ditjen PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI, 2Politeknik Kesehatan Jurusan Kesehatan Lingkungan, Tanjung Karang, Lampung, Kementerian Kesehatan RI Abstrak Sampah merupakan salah satu masalah dalam masyarakat bila tidak dikelola dengan baik, karena sangat berperan dalam menimbulkan penyakit dan pencemaran lingkungan. Setiap hari sampah yang dihasilkan mencapai ribuan ton, terutama terdiri dari sampah rumah tangga, sampah pasar, dan kotoran hewan. Padahal sebagian besar (70-90%) sampah tersebut merupakan bahan organik, sehingga jika dikelola dengan baik selain dapat mencegah penyakit serta mengatasi masalah kebersihan dan kesehatan lingkungan, juga bermanfaat, baik dari aspek sosial maupun ekonomi, khususnya bagi masyarakat di sekitarnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan tekhnologi tepat guna dalam pengelolaan sampah.Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Jakarta bekerja sama dengan Politeknik Kesehatan (Poltekkes)Jurusan Kesehatan Lingkungan Tanjung Karang, didukung oleh Pemerintah Kota Metro, Lampung melakukan pengelolaan sampah kotoran hewan (kohe), rumah tangga dan pasar di kelurahan Banjar Sari kota Metro dengan metode“Composting Open Windrow” yang berbasis masyarakat. Diharapkan pengomposan ini akan memberikan manfaat ganda yaitu mengurangi volume sampah di TPA sekaligus menyediakan pupuk tanaman bagi para petani dan menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat. Selain itu pelaksanaan kegiatan ini dapat dijadikan sebagai model dan pemicu bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat dalam pengembangan kegiatan (replikasi) di tempat lain. Kata kunci:Pengelolaan sampah, composting, Kelurahan Banjar Sari, Lampung Abstract Trash is one of the problems in society if not properly managed, because it plays a role in causing diseases and environmental pollution. Everyday of waste generated in the thousands tons, consisting mainly of household waste, market waste, and animal waste. Whereas the majority (70-90%) of the garbage is organic material, so if managed properly in addition to preventing disease and overcome the problem of hygiene and environmental health, are also useful, both socially and economically, particularly to the surrounding community. One effort that can be done to overcome this problem is to adopt appropriate technology in waste management. Center for Disease Control Environmental Health Engineering (BBTKLPP) Jakarta, in collaboration with the Health Polytechnic (Polytechnic) Department of Environmental Health Tanjung Karang, supported by the City Metro, Lampung perform waste management dung (Kohe), household and market town in the village of Banjar Sari Metro with the method "Open Windrow Composting" based society. It is expected that composting would have the dual benefit of reducing the volume of waste in land fills while providing fertilizer for farmers and generate added value for the community. In addition, the implementation of these activities can serve as a model and catalyst for community and local government in development activities (replication) else where. Keywords :Waste processing, composting, Banjar Sari Village, Lampung Alamat Korespondensi:Imelda Husdiani, ST, M.Kes, BBTKLPP Jakarta, Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, Jl. Balai Rakyat No.2 Cakung Jakarta Timur, Hp: 08170090509,e- mail: ihusdiani@ymail.com PENDAHULUAN Sampah dapat menjadi salah satu masalah dalam masyarakat bila tidak dikelola dengan baik, karena berkaitan erat dengan timbulnya berbagai penyakit dan pencemaran lingkungan. Setiap hari sampah yang dihasilkan mencapai ribuan ton, terutama terdiri dari sampah rumahtangga, sampah pasar, dan kotoran hewan. Sebagian besar (70-90%) sampah tersebut merupakan bahan organik, sehingga jika dikelola dengan baik selain dapat mencegah penyakit serta mengatasi masalah kebersihan dan kesehatan lingkungan, juga bermanfaat, baik dari aspek sosial maupun ekonomi, khususnya bagi masyarakat di sekitarnya. Salah satu bentuk pengelolaan sampah yang baik adalah dengan mengolahnya menjadi kompos, yaitu
  • 26. 21Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan hasil penguraian tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat oleh mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat dan lembab. Di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung, sebagian besar penduduk memelihara sapi dan bekerja sebagai petani. Kohe (istilah setempat untuk kotoran hewan) yang dihasilkan ternak sapi sangat berlimpah, namun belum dimanfaatkan termasuk sampah lainnya yang ada di kelurahan tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Jakarta bekerja sama dengan Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Tanjung Karang dalam pengolahan sampah di Kelurahan Banjar Sari, yaitu sampah kohe, rumah tangga dan pasar. Bentuk kegiatan pengolahan yang akan dilaksanakan adalah komposting (pengomposan), dengan sistim open windrow berbasis masyarakat. Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba yangmemanfaatkanbahanorganiksebagaisumber energi. Kerjasama ini mendapat dukungan dari pemerintah daerah setempat. Apabila pengomposan ini terlaksana dengan efektif dan efisien,maka akan diperoleh manfaat ganda yaitu: 1) Mengurangi volume sampah di Tempat Pembungan Sampah (TPA) sekaligus menyediakan pupuk tanaman bagi petani pertanian; dan 2) Dapat dipasarkan dan menghasilkan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat. METODE Pengomposan dengan sistim open windrow adalah metode yang paling sederhana, dilakukan di tempat terbuka beratap aerasi alamiah. Sampah yang dikomposkan ditumpuk memanjang dengan frekuensi pembalikan tertentu dan suhu yang dikendalikan. Desain rumah kompos tampak samping, atas, dan depan sebagaimana terlihat pada Gambar 1,2, dan 3. Gambar 1. Tampak samping
  • 27. 22 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Gambar 2. Tampak atas Gambar 3. Tampak depan
  • 28. 23Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Peralatan operasional kompos Setiap unit pengomposan membutuhkan beberapa peralatan penunjang seperti perlengkapan kerja dan alat bantu produksi. Jumlah personil danperalatankerja tergantungpada besarnyausaha atau kapasitas unit pengomposan. Gambar 4-7 berikut ini merupakan peralatan yang digunakanuntuk produksi kompos dengan teknologi open windrow. Gambar 4. Perlengkapan utama Gambar 5. Perlengkapan APD pekerja Gambar 6. Perlengkapan pendukung Gambar 7. Perlengkapan proses Bensin 4 literBakteri Timbangan Sapu Lidi Humidity Meter EmberCangkul Sekop Termometer Reaktor SistemMesin Penggiling Tanki Leached Pompa Sepatu Safety Antiseptik Sarung Tangan Karet Masker
  • 29. 24 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahapan pengomposan Tahapan pengomposan dapat dilihat pada Bagan di bawah ini: Bagan tahapan pengomposan Perlakuan pada reaktor menurut hari dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perlakuan pada reaktor Kegiatan setiap hari ke- Perlakuan pada reaktor Suhu Kelem baban 1 Lakukan pembalikan dan siram dengan starter bakteri secara merata 3 Lakukan pembalikan ke-2 5 Lakukan pembalikan ke-3 dan siram dengan starter bakteri secara merata 7 Lakukan pembalikan ke-4 9 Lakukan pembalikan ke-5 11 Lakukan pembalikan ke-6 dan siram dengan starter bakteri secara merata 13 Lakukan pembalikan ke-7 dan pemantauan suhu di bawah 60°C 15 Lakukan pembalikan ke-8 dan pemantauan suhu di bawah 60°C 18 Lakukan pembalikan ke-9 dan pemantauan suhu di bawah 40°C 20 Lakukan pemantauan suhu sampai keadaan stabil dibawah 40°C dan kelembaban 40 % dan stabil. Kemudian lakukan pemanenan HASIL Teknologi Tepat Guna dalam pengolahan sampah yang diterapkan di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung sudah sesuai dengan prosedur, dan semua kegiatan berjalan dengan baik. Biaya yang dikeluarkan untuk produksi kompos cukup murah dan bila dijual hasilnya cukup tinggi. Kompos yang dihasilkan selain digunakan untuk pertanian juga untuk menambah pendapatan masyarakat Kelurahan Banjar Sari. PEMBAHASAN Teknologi Tepat Guna (TTG) dalam pengolahan sampah yang diterapkan di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung sejak diresmikan dan diujicobakan sampai dengan tanggal 5 Mei 2014 sudah sesuai dengan panduan yang telah diberikan oleh tim TTG (BBTKLPP Jakarta dan Poltekkes Kesling Tanjung Karang). Pada saat dilakukan observasi ke lapangan peralatan yang mendukung proses pembuatan kompos berfungsi dengan baik. Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 550kg kompos hanya Rp 24.000,- untuk pembelian sebanyak 4 liter bensin ditambah tenaga masyarakat kelurahan Banjar Sari selama 15-20 hari. Jika hasil kompos dijual dengan harga Rp 1500/kg saja, maka 1 kali produksi menghasilkan Rp 825.000,-. Hasil produksi kompos Banjar Sari selama beroperasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil produksi kompos Banjar Sari Produksi ke- Lama proses Hasil kompos 1 15 hari 11 karung @ 50 kg = 550 kg 2 20 hari 11 karung @ 50 kg = 550 kg 3 20 hari 11 karung @ 50 kg = 550 kg 4 10 hari Sedang proses Total hasil produksi pertama sampai ke-3: 1.650 kg Pengangkutan sampah ke pengolahan Pemilahan Pencacahan Menyiapkan starter Bakteri Perlakuan di Reaktor (penyusunan tumpukan dan pembalikan sesuai jadwal) Panen Kompos (Pengeringan) Panen Kompos (Pengayakan) Panen Kompos (Pengemasan) Penyimpanan
  • 30. 25Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Sampai saat ini kompos yang dihasilkan digunakan oleh kelompok pembuatan kompos untuk kebun tomat, terong, padi (sawah). Penggunaan kompos untuk tanaman bunga terlihat pada Gambar 8. Tanaman bunga tumbuh subur dan sudah dapat dijual kepada masyarakat. Gambar 8. Hasil penggunaan kompos untuk tanaman bunga Selain itu dilakukan uji coba penggunaan kompos untuk sawah di lingkungan kelompok tani. Lahan tanaman padi yang diberi kompos produksi sendiri dibandingkan hasilnya dengan pemberian pupuk kimiawi yang mereka bisa beli di pasar. KESIMPULAN Pengolahan sampah dengan Teknologi Tepat Guna diterapkan di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung sudah dapat mengurangi sebagian volume sampah di TPA, menyediakan pupuk tanaman bagi petani, dan menghasilkan nilai tambah ekonomi. Pada saat dilakukan observasi ke lapangan, peralatan yang mendukung proses pembuatan kompos berfungsi dengan baik. Biaya yang dikeluarkan untuk sekali produksi cukup murah (Rp24.000,-),biladijualmenghasilkanRp825.000,-. Kompos yang dihasilkan sudah digunakan oleh kelompok pembuatan kompos untuk kebundan sawah. Penggunaan kompos untuk tanaman seperti bunga tumbuh dengan subur dan sudah dapat dijual kepada masyarakat. Selain itu sedang dilakukan uji coba penggunaan kompos untuk sawah di lingkungan kelompok tani, yaitu dengan membandingkan hasil yang diberi kompos produksi sendiri dengan pemberian pupuk kimiawi yang biasa mereka beli di pasar. SARAN 1. Perlu dukungan Pemda setempat dalam meningkatkan jumlah tempat pengolahan sampah(rumahkompos),karenarumahkompos yang ada belum sepenuhnya dapat mengolah kohe yang masih menumpuk. Reaktor yang tersedia masih kurang dan masyarakat belum mampu melakukan duplikasi karena keterbatasan dana. 2. Kegiatan pengolahan sampah di Kelurahan Banjar Sari dapat dijadikan sebagai percontohan dalam pengembangan kegiatan di tempat lain. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah berperan dalam kegiatan pengelolaan sampah di Kelurahan Banjar Sari, Kota Metro, Lampung, sehingga kegiatan tersebut dapat berjalan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA C Padyawardana. 2006. Pengolahan sampah menjadi sampah kompos skala kawasan dengan metode openwindrowbergulir,Teodolita.7/2.Purwokerto. Badan Pengkajian dan PenerapanTeknologi (BPPT). 2003. Sistem Pengolahan Sampah Kota secara terpadu, Pelatihan Pengolahan Sampah Kota Secara Terpadu menuju zero waste. Jakarta. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 1998. Teknologi Pembuatan Pupuk Organik (Kompos) dari sampah kota.Jakarta. Yayasan Danamon Peduli. Buku Pedoman Pengolahan Sampah Terpadu. Jakarta. Anonim. 2011. Pengelolaan sampah. http://www4.justnet.ne.ip/offifour/smoky.ht m diakses tanggal 9 desember 2011
  • 31. 26 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Peran Bidan dalam Penemuan Suspek Tuberkulosis di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Tahun 2013 The Role of Midwife in Suspected Tuberculosis Finding in Siak District, Riau Province, 2013 Suyanto1, Dwi Sri Rahayu2, Winarto1, Fifia Chandra1, Doni Pahlevi1, Sumanto Simon3, Muhammad Noor Farid3, Budiarti Setyaningsih4, Eka Sulistiany4, Retno Budiati4 1FK Universitas Riau, Pekanbaru, 2Dinkes Provinsi Riau, 3Tuberculosis Operational Research Group, 4Subdit TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI Abstrak Cakupan penemuan suspek tuberkulosis (TB) di Kabupaten Siak, Provinsi Riau masih di bawah target nasional. Saat ini hampir di semua desa di Kabupaten Siak memiliki bidan desa, namun keterlibatannya dalam kegiatan pengendalian TB masih belum optimal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran bidan dalam peningkatan jumlah suspek TB. Metode yang digunakan adalah quasi eksperimental, yaitu 52 bidan desa intervensi dan 50 bidan desa kontrol diambil sebagai sampel penelitian. Dilakukan pelatihan manajemen TB berupa pengenalan suspek TB dan proses edukasi perujukan suspek pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol hanya diberikan pengenalan tentang kegiatan rujukan suspek TB ke puskesmas. Selanjutnya dilakukan monitoring pengumpulan data selama 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata suspek TB yang dirujuk pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol (delta 2.8) sebelum dan sesudah intervensi. Bidan desa pada kelompok intervensi lebih selektif dalam merujuk suspek TB. Rasio proporsi suspek yang dirujuk bidan 0.44, dan rasio proporsi suspek yang memeriksakan dahak 1.83. Walaupun tidak ada perbedaan secara proporsional BTA + yang ditemukan (ratio 1.1), namun jumlah BTA positif pada kelompok intervensi (ratio 2.5). Rata-rata tingkat pengetahuan bidan setelah pelatihan lebih tinggi dibandingkan sebelum pelatihan (p<0.01). Pelatihan manajemen TB dapat meningkatkan pengetahuan bidan dalam merujuk suspek dan meningkatkan jumlah suspek TB yang dirujuk oleh bidan di daerah intervensi. Dengan demikian bidan desa memiliki potensi dalam meningkatkan cakupan penemuan suspek TB dan BTA positif di wilayah kerjanya. Kata kunci: Peran bidan, penemuan suspek TB, Kabupaten Siak, Riau Abstract Coverage of suspected tuberculosis (TB) in Siak, Riau province is still below the national target. At the moment nearly all villages in Siak have a midwife, but his involvement in TB control activities is still not optimal. The purpose of this study was to determine the role of midwives in an increasing number of TB suspects. The method used is a quasi-experimental, ie 52 midwife midwife intervention and 50 control is taken as the study sample. TB management training is done in the form of the introduction of TB suspects and education referral process suspect in the intervention group, whereas in the control group were given an introduction about the activities of suspected tuberculosis referral to the clinic. Further monitoring data collection for 6 months. The results showed that there was a mean difference of TB suspects were referred to the intervention group compared with the control group (delta 2.8) before and after intervention. Village midwives in the intervention group more selective in referring suspected tuberculosis. The ratio of the proportion of suspect cases referred midwives 0:44, and the ratio of the proportion of suspects who examined sputum 1.83. Although there was no difference in proportion of smear + found (ratio 1.1), but the number of smear-positive in the intervention group (ratio 2.5). The average level of knowledge after training midwives is higher than before training (p <0:01). TB management training to enhance the knowledge of midwives in referring suspected and increase the number of TB suspects were referred by midwives in the area of intervention. Thus midwife has the potential to improve the coverage of suspected tuberculosis and smear-positive in their working area. Keywords: Role of midwife, suspected TB finding, Siak District, Riau Alamat Korespondensi: Retno Budiati, Subdit TB, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL, Jl. Percetakan Negara No.29 Jakarta Pusat, Hp. 081288668597, e-mail: retnobudiati_p@yahoo.com PENDAHULUAN Kabupaten Siak merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau dengan CDR (Case Detection Rate) terendah kedua di Provinsi Riau, yaitu 21.4% (Dinkes Provinsi Riau, 2012) hal ini diduga ada kaitannya dengan masih kurangnya peran bidan dalam penemuan supek TB. Hasil pengamatan awal peneliti di Siak, bidan tidak dilibatkan secara khusus dalam kegiatan pengendalian TB. Selain itu kompetensi yang dimiliki bidan dalam pengendalian TB masih kurang, karena belum pernah mengikuti pelatihan TB. Pengetahuan yang ada hanya diperoleh dari materi perkuliahan pada saat pendidikan formal. Sebenarnya hampir seluruh desa di Kabupaten Siak memiliki bidan desa, dan umumnya
  • 32. 27Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan masyarakat desa di Kabupaten Siak lebih memilih memeriksakan diri ke “Bapak mantra” atau “Ibu bidan” daripada ke dokter yang biasanya hanya tinggal di ibukota kecamatan. Oleh karena itu, terkait dengan kegiatan pengendalian TB, penderita yang memiliki gejala batuk berdahak selama 2-3 minggu serta menunjukkan gejala tambahan seperti batuk darah,berat badan menurun dan keringat malam semestinya sudah dapat terdeteksi secara dini oleh bidan sebagai suspek TB dan sangat dimungkinkan untuk mendorong penderita tersebut untuk memeriksakan sputumnya ke puskesmas. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti melaksanakan pelatihan manajemen terpadu TB bagi para bidan dengan harapan agar dapat meningkatkan penemuan suspek TB dan BTA positif di Kabupaten Siak. Selain itu untuk mengetahui pengaruh pelatihan (intervensi) terhadap cakupan penemuan suspek TB oleh bidan yang dilatih dan BTA positif dibandingkan dengan daerah yang tidak dilakukan pelatihan (kontrol). METODE Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di seluruh desa yang memiliki bidan desa di 15 puskesmas di Kabupaten Siak, Riau. Desain penelitian adalah quasi eksperimental, yaitu equivalent control group design dimana dilakukan pelatihan bidan desa pada kelompok intervensi, sebaliknya kelompok kontrol tidakdilakukanpelatihan. Besar sampel dihitung berdasarkan jumlah populasi bidan desa yang bersedia mengikuti penelitian. Bidan pada kelompok intervensi harus mengikuti pelatihan secara penuh serta mengisi kuesioner dan formulir penelitian selama 6 bulan. Sedangkan bidan desa pada kelompok kontrol, hanya mengisi kuesioner dan formulir penelitian. Berdasarkan hasil perhitungan, maka besar sampel pada kelompok intervensi sebanyak 52 bidan desa, dan kelompok kontrol 50 bidan desa. Pengumpulan data dilakukan secara bertahap, yaitu sebagai berikut: 1. Pengumpulan data awal tentang pengetahuan dasar bidan desa menggunakan kuesioner dan memberikan pelatihan manajemen terpadu TB pada kelompok intervensi. Pada kelompok kontrol hanya diberikan penjelasan tentang formulir penelitian. 2. Monitoring terhadap bidan desa dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu kunjungan peneliti, kunjungan fasilitator, dan melalui telpon. Setelah data dikumpulkan, maka dilakukan analisis data dengan perangkat lunak Stata. Untuk mengetahui pengaruh pelatihan manajemen TB digunakan uji regresi. Analisis data kualitatif juga dilakukan untuk mendukung penjelasan data kuantitatif. HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan jumlah dan rerata suspek TB yang dirujuk oleh bidan desa pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol (delta 2.8). Bidan desa pada kelompok intervensi lebih selektif dalam merujuk suspek TB. Rasio proporsi suspek yang dirujuk bidan 0.44, dan rasio proporsi suspek TB yang memeriksakan dahak 1.83. Walaupun tidak ada perbedaan proporsi BTA positif yang ditemukan (ratio 1.1), namun jumlah BTA positif pada kelompok intervensi lebih banyak (ratio 2.5). Rata-rata tingkat pengetahuan bidan desa setelah pelatihan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum pelatihan (p<0.01). PEMBAHASAN Profil wilayah penelitian Karakteristik responden Pada umumnya karakteristik bidan desa relatif sama pada kedua kelompok, yaitu rerata umur (31 tahun), pendidikan (Diploma 3 kebidanan), tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang Kelompok intervensi meliputi wilayah kerja Puskesmas Minas, Kandis, Tualang, Perawang, Sungai Mandau, Koto Gasib, Siak dan Bunga Raya. Secara demografis, umumnya penduduk terkonsentrasi pada kelompok intervensi. Berdasarkan BPS Siak, jumlah penduduk di wilayah ini, yaitu sebanyak325.000 jiwa, atau sekitar 2/3 jumlah penduduk Kabupaten Siak. Sedangkan wilayah pada kelompok kontrol meliputi Kecamatan Sungai Apit, Pusako, Sabak Auh, Mempura, Dayun,Lubuk Dalam dan Kerinci Kanan.
  • 33. 28 Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan TB, lama kerja (7 tahun), jarak puskesmas ke polindes (9 km pada kelompok kontrol dan 12 km kelompok intervensi). Rerata nilai pengetahuan awal tentang TB tidak jauh berbeda (72 pada kelompok kontrol, 68 pada kelompok intervensi), dan rerata pengetahuan bidan desa setelah diberikan pelatihan TB pada kelompok intervensi meningkat menjadi 80 setelah pelatihan (Tabel 1). Berdasarkan uji t, tingkat pengetahuan bidan di wilayah intervensi meningkat secara signifikan setelah pelatihan (p <0.05). Tabel 1. Karakteristik responden menurut kelompok perlakuan Karakteristik Kelompok Kontrol Intervensi n % n % Umur Muda (<30 th) 31 54,39 28 50,91 Sedang (30-39 th) 23 40,35 23 41,82 Tua (>39 th) 3 5,26 4 7,27 Rata-rata (+ SD) 31,1 (+4,87) 31,62 (+5,39) Pendidikan D1 1 1,75 0 0 D3 55 96,49 53 96,36 D4 1 1,75 1 1,82 S1 0 0 1 1,82 PelatihanTB sebelumnya Tidak pernah 56 98,25 53 96,36 Pernah 1 1,75 2 3,64 Lama Kerja Pendek (<5th) 12 21 15 27,3 Lama (>5th) 45 79 40 72,7 Rata-rata (+SD) 7,53 (+4,3) 7,08 (+5,46) Jarak desa ke puskesmas Dekat (<5) 22 39,3 11 20 Sedang (5-15) 26 46,4 30 54,6 Jauh (>15) 8 14,3 14 25,4 Rata-rata (+SD) 9,11(+10,33) 12,43 (+11,66) Pengetahuan awal <55 4 8,16 3 6,25 55 – 75 26 53,06 36 75 >75 19 38,78 9 18,75 Rata-rata (+SD) 72,34 (+14,72) 67,92 (+10,96) Pengetahuan setelah pelatihan 55 – 75 . . 16 33,33 >75 . . 32 66,67 Rata-rata (+SD) 80,42 (+ 7,28) Jumlah suspek TB Suspek TB yang ditemukan sebelum intervensi, yaitu dari bulan Mei sampai Oktober 2013, dan sesudah intervensi dari bulan Desember 2013 sampai Mei 2014 di kedua wilayah kontrol dan intervensi (Tabel 2). Suspek TB yang ditemukan merupakan jumlah keseluruhan yang ditemukan oleh puskesmas termasuk rujukan poliklinik, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya di wilayahkerjapuskesmastersebut. Tabel 2. Jumlah suspek TB sebelum dan setelah intervensi Kelompok Waktu Sebelum Sesudah Perbedaan intervensi intervensi n % n % n % Kontrol 147 45.8 174 54.2 27 8.4 Intervensi 545 42.8 729 57.2 184 14.4 Perbedaan 157 6,0 Jumlah suspek TB yang ditemukan pada kelompok kontrol setelah intervensi meningkat dibandingkan sebelum intervensi, yaitu dari 147 menjadi 174. Hal yang sama terjadi pada wilayah intervensi, yaitu meningkat dari 549 menjadi 729. Perbedaan jumlah suspek TB yang ditemukan sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol sebanyak 27, dan kelompok intervensi 184. Sedangkan perbedaan antar kelompok kontrol dan intervensi sebanyak 157 (6%). Beda rerata sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol sebesar 0,5 dan kelompok intervensi sebesar 3,3. Delta beda rerata keduanya sebesar 2,8 (Tabel 3). Hasil uji regresi linier terhadap perbedaan sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi menunjukkan slot kelompok intervensi lebih curam dibanding kelompok kontrol (Gambar 1 dan 2). Tabel 3. Rerata perbedaan suspek sebelum dan sesudah intervensi Kelompok Waktu Rerata suspek Se 95% CI Kontrol Sebelum 2.6 2.35 0 -7.2 Sesudah 3.1 2.35 0 -7.7 Perbedaan 0.5 3.34 -6.1- 7 Intervensi Sebelum 9.9 2.4 5.2 -14.6 Sesudah 13.3 2.4 8.6-18 Perbedaan 3.3 3.4 -3.3-10 Perbedaan 2.8 4.8 -6.5 -12.2
  • 34. 29Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Gambar 1. Hasil uji regresi linier terhadap perbedaan sebelum dan sesudah intervensi menurut kelompok perlakuan Gambar 2. Jumlah suspek TB pada kelompok kontrol dan intervensi masing-masing periode 6 bulan sebelum dan sesudah intervensi Jumlah suspek yang dirujuk, diperiksa dahak dan BTA positif Jumlah suspek TB di desa kontrol sebanyak 174, jumlah yang dirujuk bidan desa, memeriksakan dahak, dan BTA positif berturut- turut 73, 43, dan 8. Sedangkan di desa intervensi sebesar 729, jumlah yang dirujuk, yang memriksakan dahak, dan BTA positif berturut- turut 133, 106, dan 21 (Gambar 3). Gambar 3. Jumlah suspek TB, jumlah yang dirujuk bidan desa, diperiksa dahak, dan BTA positif di desa kontrol dan intervensi Pada diagram consort (Gambar 4) terlihat, jumlah suspek TB yang ditemukan di desa kontrol adalah 174, sebanyak 73 (41,9%) diantaranya dirujuk bidan desa, dan 101 (58,1%) dirujuk tenaga kesehatan lainnya. Dari 73 suspek TB yang dirujuk bidan desa, jumlah yang datang memeriksakan dahak dan BTA positif adalah 43 (58,9%), dan 8 (18,6%). Sedangkan di desa intervensi jumlah suspek TB yang ditemukan adalah 729, sebanyak 133 (18,2%) dirujuk bidan desa dan 596 (81,6%) dirujuk tenaga kesehatan lainnya. Dari 133 suspek TB yang dirujuk bidan desa, jumlah yang datang memeriksakan dahak dan BTA positif adalah 106 (79,7%) dan 21 (19,8%). Jumlah suspek TB yang tidak memeriksakan dahak di daerah kontrol cukup besar (41,1%). Hal ini karena bidan desa di daerah kontrol kurang selektif dalam merujuk suspek TB. Hal ini diperkuat dengan alasan suspek TB yang tidak datang memeriksakan dahak, yaitu sudah merasa sembuh, sudah berobat di fasilitas pelayanan kesehatan lain (seperti rumah sakit), tidak ada kendaraan dan belum ada waktu karena kesibukan. Jumlah suspek TB yang mengemukakan alasan tersebut di atas lebih sedikit di daerah intervensi.