Buletin ini membahas tentang masih belum berakhirnya penyakit polio di kawasan Asia Tenggara meskipun sudah lebih dari satu dekade tidak ditemukan kasusnya. Indonesia masih memiliki risiko tinggi terhadap penularan polio karena cakupan imunisasi dan kinerja surveilans yang perlu ditingkatkan, terutama di beberapa provinsi tertentu. Kasus kembalinya virus polio juga ditemukan di Papua pada 2018 yang memerlukan upaya
Materi Manajemen Puskesmas mencakup tahapan pelaksanaan manajemen Puskesmas yaitu Perencanaan (P1), Penggerakkan dan Pelaksanaan (P2) serta Pengawasan, Pengendalian dan Penilaian Kinerja (P3).
Materi Manajemen Puskesmas mencakup tahapan pelaksanaan manajemen Puskesmas yaitu Perencanaan (P1), Penggerakkan dan Pelaksanaan (P2) serta Pengawasan, Pengendalian dan Penilaian Kinerja (P3).
masyarakat adalah komponen penting dalam mendukung pembangunan kesehatan, sebagai regulator bidang kesehatan, Dinas Kesehatan harus melakukan upaya pemberdayaan sehingga dapat mendukung pencapaian indikator kesehatan demi terwujudnya derajat kesehatan setinggi-tingginya
kita akan mempelajari tentang Surveilans Epidemiologi.
Pada bab awal telah dijelaskan bahwa Epidemiologi merupakan suatu studi tentang distribusi dan determinan terkait permasalahan kesehatan di daerah tertentu atau kejadian yang spesifik dalam suatu populasi dan aplikasi penelitian ini yakni sebagai upaya untuk mencegah dan mengendalikan permasalahan kesehatan (4) Ahli epidemiologi tidak hanya berfokus pada permasalahan yang terkait dengan kematian, penyakit dan kecacatan saja, tetapi juga pada isu kesehatan positif yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan pada suatu negara. Salah satunya adalah surveilans epidemiologi,
Lalu, apa yang dimaksud dengan surveilans ? Dan apa kaitannya dengan pencegahan penyakit ? Kita akan memahaminya pada sesi ini.
http://rajagrafindoonline.com/kesehatan/buku-epidemiologi-untuk-mahasiswa-kesehatan-masyarakat-pengarang-najmah-skm-mph
Najmah, 2015, Epidemiologi untuk mahasiswa kesehatan masyarakat. Penerbit: Raja Grafindo Jakarta
Surveilans merupakan suatu proses yang sistematik meliputi pengumpulan, pemeriksaan, analisis data serta diseminasi informasi pada waktu dan orang yang tepat sehingga dapat dilakukan tindakan lanjutan.
menurut WHO, surveilans merupakan ciri penting dalam praktik epidemiologi. Keutamaan dari kegiatan monitoring terhadap fakta adalah merupakan suatu proses dan berkelanjutan dimana monitoring merupakan kegiatan berselang dan tidak disengaja.
masyarakat adalah komponen penting dalam mendukung pembangunan kesehatan, sebagai regulator bidang kesehatan, Dinas Kesehatan harus melakukan upaya pemberdayaan sehingga dapat mendukung pencapaian indikator kesehatan demi terwujudnya derajat kesehatan setinggi-tingginya
kita akan mempelajari tentang Surveilans Epidemiologi.
Pada bab awal telah dijelaskan bahwa Epidemiologi merupakan suatu studi tentang distribusi dan determinan terkait permasalahan kesehatan di daerah tertentu atau kejadian yang spesifik dalam suatu populasi dan aplikasi penelitian ini yakni sebagai upaya untuk mencegah dan mengendalikan permasalahan kesehatan (4) Ahli epidemiologi tidak hanya berfokus pada permasalahan yang terkait dengan kematian, penyakit dan kecacatan saja, tetapi juga pada isu kesehatan positif yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan pada suatu negara. Salah satunya adalah surveilans epidemiologi,
Lalu, apa yang dimaksud dengan surveilans ? Dan apa kaitannya dengan pencegahan penyakit ? Kita akan memahaminya pada sesi ini.
http://rajagrafindoonline.com/kesehatan/buku-epidemiologi-untuk-mahasiswa-kesehatan-masyarakat-pengarang-najmah-skm-mph
Najmah, 2015, Epidemiologi untuk mahasiswa kesehatan masyarakat. Penerbit: Raja Grafindo Jakarta
Surveilans merupakan suatu proses yang sistematik meliputi pengumpulan, pemeriksaan, analisis data serta diseminasi informasi pada waktu dan orang yang tepat sehingga dapat dilakukan tindakan lanjutan.
menurut WHO, surveilans merupakan ciri penting dalam praktik epidemiologi. Keutamaan dari kegiatan monitoring terhadap fakta adalah merupakan suatu proses dan berkelanjutan dimana monitoring merupakan kegiatan berselang dan tidak disengaja.
Memasuki tahun 2020 dunia digemparkan dengan kasus
Covid-19 termasuk Negara kita Indonesia, Corona virus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis corona virus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Dengan demikian dalam edisi WARTA Ditjen P2P Edisi XIII kami banyak membahas tentang Covid-19 tentang penyebabnya, cara mengatasinya dan pembahasan lainnya. Selain itu kami mengangkat Potret dr. Muhammad Budi Hidayat yang sekarang menjabat sebagai Sesditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, tak luput juga kami menghadirkan berita- berita menarik lainnya yang tertuang dalam Seputar Kita, Peristiwa, Tips, dan Resensi
Buku yang diterbitkan Kementerian Kesehatan RI. Segenap redaksi WARTA Ditjen P2P mengucapkan terimakasih kepada
semua Pihak yang telah banyak berperan dalam penerbitan WARTA Ditjen P2P Edisi XIII ini. Kami sadari Warta ini masih jauh dari sempurna, dan kami selalu mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan edisi mendatang. Harapan kami agar Warta ini bermanfaat bagi semua pembaca.
dr. Yanti Herman,SH,MH.Kes
Kepala Bagian Hukormas Setditjen P2P
Newsletter Edisi II Tahun 2020 menyajikan berbagai berita terkait dengan kegiatan Program P2P dengan Headline News “Kunjungan Task Force COVID-19 Kemenkes di Jabodetabek”. Kami selaku redaksi mengucapkan terima kasih atas masukan dan sumbang pikiran dari semua pihak demi terselesaikannya Newsletter ini. Semoga Newsletter Edisi II ini dapat memberikan motivasi dan bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran kami harapkan demi kesempurnaan Newsletter ini.
Newsletter Ditjen P2P Edisi I Tahun 2020 menyajikan berbagai berita terkait dengan kegiatan Program P2P dengan headline news “Menkes RI Lantik dr. Achmad Yurianto Sebagai Dirjen P2P”. Kami selaku redaksi mengucapkan terima kasih atas masukan dan sumbang pikiran dari semua pihak demi terselesaikannya Newsletter ini. Semoga Newsletter Edisi I ini dapat memberikan motivasi dan bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran kami harapkan demi kesempurnaan Newsletter ini.
Jurnal Kesehatan Ditjen P2P Tahun 2019 merupakan salah satu media informasi Ditjen P2P terkait dengan hasil penelitian dari para pakar peneliti di bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Warta Ditjen P2P merupakan media cetak yang menampilkan informasi seputar program pencegahan dan pengendalian penyakit dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI
Warta Ditjen P2P merupakan media cetak yang menampilkan informasi seputar program pencegahan dan pengendalian penyakit dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Kementerian Kesehatan menggulirkan transformasi sistem kesehatan.
Terdapat 6 pilar transformasi sistem kesehatan sebagai penopang kesehatan
Indonesia yaitu: 1) Transformasi pelayanan kesehatan primer; 2) Transformasi
pelayanan kesehatan rujukan; 3) Transformasi sistem ketahanan kesehatan;
4) Transformasi sistem pembiayaan kesehatan; 5) Transformasi SDM
kesehatan; dan 6) Transformasi teknologi kesehatan.
Transformasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan melalui edukasi
penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan peningkatan
kapasitas serta kapabilitas pelayanan kesehatan primer. Pilar prioritas
pertama ini bertujuan menata kembali pelayanan kesehatan primer yang ada,
sehingga mampu melayani seluruh penduduk Indonesia dengan pelayanan
kesehatan yang lengkap dan berkualitas.
Penataan struktur layanan kesehatan primer tersebut membutuhkan
pendekatan baru yang berorientasi pada kebutuhan layanan di setiap
siklus kehidupan yang diberikan secara komprehensif dan terintegrasi
antar tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Pendekatan baru ini disebut
sebagai Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer, melibatkan Puskesmas, unit
pelayanan kesehatan di desa/kelurahan yang disebut juga sebagai Puskesmas
Pembantu dan Posyandu. Selanjutnya juga akan melibatkan seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
Disampaikan pada PKN Tingkat II Angkatan IV-2024 BPSDM Provinsi Jawa Tengah dengan Tema “Transformasi Tata Kelola Pelayanan Publik untuk Mewujudkan Perekonomian Tangguh, Berdayasaing, dan Berkelanjutan”
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, S.H., MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN RI
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023Muh Saleh
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 merupakan survei yang mengintegrasikan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI). SKI 2023 dikerjakan untuk menilai capaian hasil pembangunan kesehatan yang dilakukan pada kurun waktu lima tahun terakhir di Indonesia, dan juga untuk mengukur tren status gizi balita setiap tahun (2019-2024). Data yang dihasilkan dapat merepresentasikan status kesehatan tingkat Nasional sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota.
Ketersediaan data dan informasi terkait capaian hasil pembangunan kesehatan penting bagi Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai bahan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran berbasis bukti termasuk pengembangan Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2024-2029) oleh Kementerian PPN/Bappenas. Dalam upaya penyediaan data yang valid dan akurat tersebut, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penyusunan metode dan kerangka sampel SKI 2023, serta bersama dengan Lintas Program di Kementerian Kesehatan, World Health Organization (WHO) dan World Bank dalam pengembangan instrumen, pedoman hingga pelaporan survei.
Disampaikan dalam Drum-up Laboratorium Inovasi Kabupaten Sorong, 27 Mei 2024
Dr. Tri Widodo W. Utomo, S.H., MA.
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN-RI
Eksum RTR KSN Soroako, hasil penyusunan tahun 2020
Buletin Surveilans & Imunisasi Edisi I Maret 2020
1. BULETIN
SURVEILANS & IMUNISASI
E D I S I 1 • M A R E T 2 0 2 0
POLIO
BELUM
BERAKHIR
TOPIK
Polio Belum Berakhir
Tinjauan Kualitas Data
4 Provinsi di Indonesia
Evaluasi Pasca Pengenalan
Tiga Vaksin Baru di Indonesia
Tips: 10 Langkah
Penyelidikan Epidemiologi
Tips: Manfaat dan Keamanan
Pemberian Imunisasi Ganda
Saat Pelayanan Imunisasi
2. i
EDISI 1 • MARET 2020BULETIN SURVEILANS & IMUNISASI
SALAM REDAKSI
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas terbitnya Buletin Surveilans dan
Imunisasi Edisi 1 Tahun 2020. Buletin ini merupakan media untuk memperluas wawasan dan informasi
bagi seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya, terutama tenaga kesehatan di Indonesia dalam mem-
bangun masyarakat Indonesia yang sehat.
Konsep isi buletin ini adalah artikel yang membangun wawasan pembaca mengenai situasi penyakit
yang didukung dengan data surveilans dan imunisasi, informasi kegiatan terbaru, serta tips atau informasi
lain seputar surveilans dan imunisasi.
Pada terbitan awal ini, tim redaksi mencoba mengangkat topik penyakit Polio yang kembali men-
jangkit beberapa negara Asia Tenggara. Pada akhir tahun 2018, terjadi KLB Polio cVDPV 1 di Papua dan
telah dilaksanakan berbagai upaya penanggulangan KLB. KLB ini terjadi karena tren cakupan imunisasi
yang rendah, oleh karena itu sangat penting bagi seluruh daerah untuk meningkatkan dan mempertahan-
kan cakupan imunisasi serta meningkatkan kinerja surveilans AFP agar tidak terjadi lagi KLB polio di
kemudian hari.
Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi da-
lam penyusunan dan penerbitan buletin ini. Semoga bulletin ini bermanfaat bagi kita dalam membangun
masyarakat Indonesia sehat yang dicita-citakan.
Selamat membaca,
Tim Redaksi
3. ii
EDISI 1 • MARET 2020BULETIN SURVEILANS & IMUNISASI
TIM REDAKSI
Pelindung
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Penasehat
Sekretaris Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Penanggungjawab
Kepala Sub-Direktorat Surveilans
Kepala Sub-Direktorat Imunisasi
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan
Editor
dr. Triya Novita Dinihari
Syamsu Alam, SKM, M. Epid
dr. Cornelia Kelyombar
Muammar Muslih, SKM, M.Epid
Vivi Voronika, MKM
Lulu Ariyantheny Dewi, SKM, M.IPH
WHO Indonesia
Kesekretariatan
Sub-Direktorat Surveilans
Sub-Direktorat Imunisasi
Alamat Redaksi
Sub-Direktorat Surveilans
Sub-Direktorat ImunisasI
Jl. HR. Rasuna Said Blok X-5 Kav. 4-9, Lantai 6, Blok C.
Jakarta 12950
Telp: 021-5221432, 021-5277167-68
Fax: 021-5203874, 021-5277167-68
4. 1
EDISI 1 • MARET 2020BULETIN SURVEILANS & IMUNISASI
POLIO BELUM BERAKHIR
S
ejak tahun 2018 kawasan Asia Tenggara
dikejutkan dengan temuan kasus Polio di
beberapanegara,yaituIndonesia,Myanmar,
Filipina, dan Malaysia. Padahal kawasan tersebut
telah lebih dari satu dekade tidak ditemukan kasus
Polio. Total kasus Polio VDPV tipe 1 dari tahun
2018 hingga minggu 10 tahun 2020 sejumlah 12
kasus, Polio VDPV tipe 2 sebanyak 14 kasus, dan
sampel polio lingkungan positif VDPV 1 sebanyak
19 sampel dan VDPV tipe 2 sebanyak 23 sampel.
Tahun 2018, WHO telah melakukan
penilaian risiko transmisi polio di Indonesia untuk
tingkat nasional maupun provinsi. Ada 3 indikator
utama dalam penilaian risiko tersebut yaitu
imunitas populasi, surveilans, dan penyampaian
program. Hasil penilaian menunjukkan Indonesia
berisiko tinggi dalam transmisi Polio, dengan 23
provinsi (76,5%) diantaranya berisiko tinggi, 9
provinsi (23,5%) berisiko sedang dan hanya ada
dua provinsi yang memiliki resiko rendah, yaitu
Yogyakarta dan Bali.
I. Imunitas Populasi
Berdasarkan Permenkes No.12 tahun 2017,
pemerintah menerapkan pemberian 4 dosis Oral
Polio Vaccine (OPV) dan 1 dosis Inactivated Polio
Vaccine (IPV) ke dalam jadwal imunisasi rutin
pada bayi. Rata-rata cakupan OPV4 dalam tiga
tahun terakhir sudah mencapai lebih dari 90%,
namun belum memenuhi target nasional (minimal
95% dan merata). Sedangkan untuk cakupan IPV
menunjukkan peningkatan di setiap tahun sejak
diperkenalkan pada tahun 2016, namun secara
nasional tren cakupan IPV masih kurang dari 80%.
Sementara itu untuk rata-rata cakupan
OPV4 dari tahun 2016 – 2018, terdapat 6 provinsi
yang memiliki rata-rata cakupan kurang dari
80%, yaitu Papua, Aceh, NTT, Kalimantan Utara,
Maluku Utara, dan Sumatera Barat, yang artinya
perlindungan terhadap virus polio tipe 1 dan 3
masih rendah.
6.4 4.7 6.4 6.9
14.2
9.1
12.3 11.1 12.3 13.9
12.2
13.6
6.8
6.6
8.9 9.0
7.2
4.5
60.9 65.4
61.5 56.5 51.9
50.0
13.6 12.1 11.0 13.6 14.4
22.7
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2015
N = 750 cases
2016
N = 737 cases
2017
N = 881 cases
2018
N = 865 cases
2019
N = 817 cases
2020
N = 22 cases
Status Imunisasi OPV4 Pada Kasus AFP Bukan Polio 6 – 59 Bulan
2014 - 2019
0 Dose 1-2 Doses 3 Doses +4 Doses Unknown
Gambar 2 Peta Rata-Rata Cakupan OPV4 2016 - 2018
Gambar 1. Peta Hasil Penilaian Resiko Transmisi Polio
5. 2
EDISI 1 • MARET 2020BULETIN SURVEILANS & IMUNISASI
Status imunisasi polio (OPV4) pada kasus
AFP bukan Polio berusia 6 – 59 bulan menunjukkan
ada peningkatan cukup signifikan dalam tiga
tahun terakhir untuk kasus yang belum pernah
diimunisasi (zero dose) dari 6% di tahun 2017,
meningkat menjadi 14% di tahun 2019. Hal ini
menunjukkan tren balita yang belum mendapat
imunisasi polio semakin meningkat.
II. Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis)
WHO menyatakan Indonesia bebas polio
sejak tahun 2014, sebuah pencapaian yang luar bi-
asa. Meski demikian, Indonesia harus tetap mem-
pertahankan status bebas polio tersebut dengan
meningkatkan cakupan imunisasi polio rutin dan
sensitifitas surveilans. Untuk meningkatkan sensi-
tifitas penemuan kasus polio, maka pengamatan
dilakukan pada semua kelumpuhan yang terjadi
pada anak berusia kurang dari 15 tahun secara
akut, bersifat layuh seperti pada poliomyelitis, dan
tidak ada riwayat trauma atau ruda paksa. Pe-
nyakit-penyakit yang mempunyai sifat kelumpuhan
seperti poliomyelitis disebut kasus Acute Flaccid
Paralysis (AFP) dan pengamatannya disebut seba-
gai Surveilans AFP. Kasus AFP yang ditemukan ke-
mudian diambil spesimen tinjanya untuk diperiksa
di laboratorium.
2.74
2.4
2.02 1.98
2.29
2.42
2.27
87.7 86.4 87.5
82.8
79.5 78.4 80
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
SpecimensAdequate
NonPolioAFPRate
PerformaSurveilans AFP 2013 - 2019
Non Polio AFPRate Specimens Adequate Non Polio AFPRate Target (2/100000) Specimens Adequate Target (80%)
Indikator utama pencapaian surveilans AFP
terdiri dari Non-Polio AFP rate dan spesimen ade-
kuat. Data hingga minggu terakhir 2019, Indonesia
telah berhasil mencapai indikator non-Polio AFP
rate sebesar 2.14 dari target yang ditetapkan,
yaitu 2/100.000 populasi < 15 tahun. Sedangkan
indikator spesimen adekuat mengalami penurun-
an cukup signifikan di 4 tahun terakhir, bahkan di
tahun 2017 dan 2018 indikator ini tidak mencapai
target yang diharapkan (minimal 80%).
Melihat capaian indicator non-Polio AFP
Rate tahun 2019 per provinsi, ada 5 provinsi yang
memilik performa kurang dari 1/100.000 populasi
kurang dari 15 tahun yaitu Riau, Kalimantan Utara,
Kalimantan Tengah, NTB, dan Maluku Utara.
Beberapa provinsi patut meningkatkan
performa cakupan imunisasi rutin dan penguatan
surveilans AFP. Provinsi Kalimantan Barat dan Ka-
limantan Utara yang berdekatan dengan Sabah
(Malaysia), Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan
Maluku Utara yang berdekatan dengan Filipina
perlu dilakukan arahan dan pengawasan ketat
untuk mencegah transmisi polio dari Malaysia dan
Filipina. Terlebih lagi ada penerbangan langsung
dari Davao (provinsi kasus VDPV di Filipina) ke
Kota Manado dan Kota Makassar bisa menjadi sa-
rana transmisi Polio antar negara.
III. Penyampaian Program
Penilaian penyampaian program dalam
transmisi polio dilihat dengan adanya rencana na-
sional kesiapsiagaan importasi polio, keberadaan
kelompok atau populasi rentan dan berisiko tinggi,
akses mendapatkan air bersih, serta ketersediaan
sanitasi yang baik.
Gambar 3 Peta Non-Polio AFP Rate 2019 per Provinsi
Strategi penemuan Kasus AFP
• Surveilans Aktif Rumah Sakit (SARS) minggu-
an, bagi yang tidak melakukan SARS, dilaku-
kan HRR (Hospital Record Review) minimal 3
bulan sekali
• Pemantauan wilayah setempat (PWS) di ma-
syarakat
• Kelola sesuai SOP Surveilans AFP
• Advokasi kepada dokter spesialis
6. 3
EDISI 1 • MARET 2020BULETIN SURVEILANS & IMUNISASI
Rencana nasional kewaspadaan impor-
tasi polio telah disusun pada tahun 2018 dan
sudah diujicobakan sebanyak tiga kali melalui ke-
giatan Table Top Excercise Polio.
Penilaian keberadaan kelompok atau po-
pulasi rentan dan berisiko tinggi didasari pada
persentase anak belum diimunisasi yang disebab-
kan karena keberadaan populasi migran, peng-
ungsian, permukiman kumuh, atau komunitas suku;
kelompok yang menolak imunisasi; masalah kea-
manan; bencana alam; akses ke pelayanan kese-
hatan tidak memadai; dan dukungan pemerintah
daerah.
Data BPS tahun 2017 menunjukkan cakup-
an akses mendapatkan air bersih di Indonesia
sebesar 72%, sedangkan cakupan ketersediaan
sanitasi yang baik sebesar 68%. Cakupan terse-
but masih di bawah standar yang ditetapkan oleh
WHO, yaitu minimal 85%. Hanya ada dua provinsi
yang memiliki cakupan di atas 85%, yaitu provinsi
DKI Jakarta dan Bali.
III. KLB Polio cVDPV1 di Papua
Pada November 2018 lalu, Kab. Yahukimo,
provinsi Papua, menemukan 1 kasus AFP positif
VDPV tipe 1. Tim gabungan Kemenkes, WHO dan
mitra lainnya melakukan penyelidikan epidemiolo-
gi lanjutan dan survei tinja. Hasil survei tinja di-
dapatkan dua spesimen positif VDPV tipe 1 dan
memiliki hubungan epidemiologi dengan kasus
AFP positif VDPV tipe 1 tersebut yang menanda-
kan bahwa virus VDPV tipe 1 sudah bersirkulasi di
sana. Namun, hasil surveilans lingkungan belum
menemukan adanya area yang sudah terinfeksi vi-
rus VDPV tipe 1. Outbreak Response Immunization
(ORI) telah dilaksanakan di Kab. Yahukimo, segera
setelah kasus positif polio VDPV tipe 1 terkonfir-
masi. Setelah pelaksanaan ORI, Sub PIN Polio 2
putaran, peningkatan kewaspadaan di masyara-
kat, sweeping anak yang belum diimunisasi OPV,
penguatan surveilans dan berbagai upaya advo-
kasi telah dilakukan untuk menanggulangi KLB ter-
sebut baik di provinsi Papua maupun Papua Barat.
Sub PIN putaran 1 dan 2 telah selesai dilak-
sanakan di provinsi Papua dan Papua Barat. Selu-
ruh kabupaten/kota di Papua Barat melaporkan
capaian cakupan ≥95%. Sedangkan di Papua,
pada putaran 1 hanya 11 dari 29 Kab/Kota yang
melaporkan capaian cakupan ≥95%. Sedangkan
pada putaran 2 hanya 19 Kab/kota saja yang
mencapai cakupan ≥95%.
Kegiatan pencegahan juga dilakukan de-
ngan melakukan kewaspadaan kasus AFP di ma-
syarakat, peningkatan kebutuhan akan imunisasi
dan pemberian imunisasi polio di pintu masuk ke-
pada pelaku perjalanan dari dan ke Papua dan
Papua Barat. Hal serupa juga dilakukan sehu-
bungan dengan potensi transmisi polio virus tipe
1 dan tipe 2 dari Filipina serta polio virus tipe 1
dari Malaysia, skrining dan pemberian imunisasi
polio dilakukan kepada penumpang yang mela-
kukan perjalanan ke atau dari kedua negara ter-
sebut. Hal ini merujuk pada Surat Edaran Dirjen
P2P Kemenkes RI No:HK.
02.02/ii/3074/2019
dan No: 5R.03.04/
II/2320/2019.
Data per 23 Januari
2020, sejumlah 238 pe-
numpang dari Sulawesi
Utara dan Maluku Utara
yang akan bepergian
ke Filipina mendapat-
kan satu dosis imunisasi IPV. Selain itu, terdapat
18 penumpang dari Sulawesi Selatan yang akan
melakukan perjalanan ke Malaysia telah menda-
patkan imunisasi OPV.
Gambar 4. Imunisasi polio untuk kru kapal Filipina oleh
petugas KKP Makassar. Kredit: Yurniati / WHO Indonesia
7. 44
EDISI 1 • MARET 2020BULETIN SURVEILANS & IMUNISASI
Tinjauan
Kualitas Data
4 Provinsi di
Indonesia
K
elompok Kerja Teknis Imunisasi Regional Asia
Tenggara (SEAR-ITAG) pada pertemuan yang
ke-9 di 2018 lalu, menegaskan betapa pen-
tingnya pelaksanaan penilaian kualitas data, baik
data imunisasi maupun surveilans bagi negara
yang belum melaksanakan dalam 3 tahun terakhir.
Review kualitas data imunisasi dan survei-
lans PD3I di Indonesia telah dilaksanakan pada
tanggal 6 - 16 September 2019. Tim gabungan
yang terdiri dari Kementerian Kesehatan, WHO
Indonesia, UNICEF, dan PAEI ikut berpartisipa-
si dalam kegiatan ini. Tujuan kegiatan ini adalah
mengidentifikasi permasalahan kualitas data un-
tuk mengembangkan strategi dan model terbaik
untuk sistem pelaporan imunisasi dan surveilans
PD3I, serta meminimalisir perbedaan data dianta-
ra beberapa sistem pelaporan.
Metodologi yang digunakan meliputi pe-
nilaian system, review arsip data, dan kunjungan
lapangan. Empat provinsi terpilih untuk dilakukan
peninjauan, yaitu Banten, Jawa Timur, Sumatera
Utara, dan Sumatera Selatan. Setiap provinsi,
dipilih masing-masing 2 kabupaten/kota, ma-
sing-masing kabupaten/kota dipilih 2 puskesmas,
dan sedikitnya satu posyandu dipilih untuk dilaku-
kan tinjauan mendalam. Review data dilakukan
megikuti alur pelaporan dari Puskesmas ke Kabu-
paten, Provinsi, hingga ke level Pusat.
Berdasarkan hasil kunjungan ke lapangan,
temuan penting untuk sistem pelaporan data imu-
nisasi sebagai berikut:
• Secara keseluruhan, pencatatan dan pelapor-
an dari Posyandu hingga Pusat berjalan de-
ngan baik. Tetapi sistem pelaporan itu sendiri
cukup rumit.
• Kualitas sistem pemantauan imunisasi di empat
provinsi terpilih menunjukkan variabel “penca-
tatan dan pengarsipan” mencapai nilai yang
lebih tinggi, diikuti oleh “denominator”. Hasil
terendah ditemukan pada variabel "analisis
dan penggunaan".
Gambar 4. Tinjauan Kualitas Data di Provinsi Sumatera Utara
Credit: Kementerian Kesehatan RI
8. 5
EDISI 1 • MARET 2020BULETIN SURVEILANS & IMUNISASI
• Perbadaan ditemukan ketika membanding-
kan hasil imunisasi DPT-Hb-HiB 3, OPV4 dan
Campak-Rubella 1 yang dilaporkan dari ting-
kat puskesmas hingga tingkat Pusat. Verifikasi
data antara laporan Puskesmas dan kohort/
register imunisasi anak sering menunjukkan
perbedaan yang signifikan.
• Belum adanya alat bantu untuk mengkompilasi
data sesuai jenis imunisasi, sementara itu tool
PWS kurang mudah digunakan
• Belum adanya sistem yang memverifikasi de-
nominator berdasarkan data Pusdatin dengan
data daerah. Penggunaan data dalam mem-
buat keputusan adalah komponen terlemah di
setiap tingkatan.
Sementara itu, temuan penting untuk sistem pela-
poran PD3I adalah:
• Secara keseluruhan, pencatatan dan pelapor-
an surveilans PD3I kurang terlaksana dengan
baik. Setiap tingkatan mempunyai versi buku
pedoman yang berbeda, Provinsi mempunyai
pedoman terbaru, namun kebanyakan Kabu-
paten dan Puskesmas masih menggunakan
buku pedoman versi lama.
• Perbedaan angka yang cukup besar antara
SKDR dan sistem pelaporan PD3I rutin, teruta-
ma untuk surveilans campak;
• Kurangnya kolaborasi antara unit pelapor, khu-
susnya sektor swasta
• Kurangnya pemahaman pentingnya pencatat-
an dan pelaporan
Secara kesuluruhan untuk meningkatkan
kualitas data baik imunisasi maupun surveilans
PD3I, tim peninjau memberikan rekomendasi se-
bagai berikut:
1. Membentuk kelompok kerja untuk menyusun
tools monitoring dan evaluasi.
2. Melakuakan tinjauan mendalam sistem survei-
lans PD3I.
3. Kemenkes bersama mitra perlu mengimple-
mentasikan cara efektif dalam peningkatan
kapasitas petugas di setiap tingkatan.
4. Melakukan verifikasi data surveilans PD3I dan
data imunisasi secara rutin, hal tersebut untuk
meningkatkan penggunaan data dalam pem-
buatan keputusan.
9. 6
EDISI 1 • MARET 2020BULETIN SURVEILANS & IMUNISASI
Evaluasi Pasca
Pengenalan
Tiga Vaksin Baru
di Indonesia
S
elama rentang waktu 3 tahun, Indonesia te-
lah memperkenalkan tiga vaksin baru yang
sejalan dengan rencana multi tahun kom-
prehensif (cMYP). Vaksin pertama yaitu Inactiva-
ted Polio Vaccine (IPV) diperkenalkan secara na-
sional pada tahun 2016. Pada tahun 2017, Vaksin
Pneumococcus (PCV) diperkenalkan melalui pro-
gram demonstrasi yang dilaksanakan di kabupa-
ten Lombok Barat dan Lombok Timur. Tahun 2018,
diperluas ke seluruh Kabupaten di Pulau Lombok,
Kota Pangkal Pinang, Kab. Bangka dan Bangka
Tengah. Di tahun 2019, vaksin PCV diimplementa-
sikan ke seluruh kabupaten/kota di Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan Bangka Belitung. Vaksin keti-
ga yang diperkenalkan yaitu Japanese Encephali-
tis Vaccine (JEV), pada tahun 2018 di Bali.
Evaluasi bersama Pasca Pengenalan Vak-
sin baru (PIE) dilaksanan pada 18-30 September
2019. Perwakilan dari Kementerian Kesehatan,
WHO Indonesia, UNICEF, CDC Atlanta, Clinton
Health Access Initiative (CHAI), Program Teknolo-
gi Tepat Guna dalam Kesehatan (PATH), dan Pu-
sat Teknologi Penilaian Kesehatan dan Farmako-
ekonomi Universitas Gadjah Mada berpartisipasi
sebagai tim penilai. Tujuan dari evaluasi ini untuk
menilai implementasi dan dampak pengenalan
vaksin baru pada program imunisasi nasional.
Evaluasi mencakup kunjungan lapangan
ke provinsi terpilih, pengumpulkan data meng-
gunakan kuesioner standar PIE WHO, mengamati
pengelolaan vaksin dan implementasi pemberian
imunisasi. Tim penilai juga mewawancarai petu-
gas kesehatan, kader, dan pengasuh (orang tua)
serta tinjauan data sekunder secara menyeluruh.
Berdasarkan kunjungan tim evaluasi, beri-
kut temuan-temuan yang diperoleh:
• Program pengembangan vaksin baru berfungsi
dengan baik, sebagian besar provinsi (87,5%)
dan kabupaten (86,4%) menerapkan perenca-
naan dan koordinasi terpadu antara program
imunisasi dengan program kesehatan lainnya
seperti program kesehatan ibu dan anak, gizi,
surveilans, promosi kesehatan, dan farmasi
untuk perencanaan kebutuhan vaksin.
• Pelatihan pengenalan vaksin baru terstruktur
dengan baik, tetapi pelatihan penyegaran ter-
kait program imunisasi diperlukan bagi semua
petugas kesehatan.
Gambar 5. Pemberian vaksin DPT-HB-HiB3 di Puskesmas
Gunung Sari, NTB. Credit: GMU/ Marlita
10. 7
EDISI 1 • MARET 2020BULETIN SURVEILANS & IMUNISASI
• Tidak ada efek negatif terhadap aktivitas
imunisasi yang ada. Namun demikian, kera-
guan terhadap suntikan ganda masih mem-
pengaruhi cakupan IPV yang lebih rendah di-
bandingkan dengan cakupan DPT-Hb-HiB 3.
• Kebijakan, norma, dan standar di tingkat na-
sional dan daerah tersedia untuk pengenalan
vaksin baru.
• Infrastruktur dan peralatan rantai dingin vak-
sin umumnya baik, tetapi alat dan kapasitas
pemantauan di tingkat yang lebih rendah ha-
rus dinilai.
• Perlunya mengembangkan strategi komuni-
kasi dengan meilibatkan para pemimpin aga-
ma untuk meningkatkan kesadaran masyara-
kat tentang manfaat program imunisasi.
Di akhir kegiatan, tim penilai memberikan
beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Pelasksanaan imunisasi IPV perlu ditingkat-
kan dengan menjamin ketersediaan vaksin
dan logistik yang memadai dan tepat waktu
2. Masalah keraguan terhadap suntikan ganda
dapat ditangani melalui upaya komunikasi
dan pelatihan bagi petugas kesehatan
3. Adanya perencanaan pengembangan pe-
laksanaan imunisasi PCV dan JE pada cMYP
2020-2024
4. Memastikan pengelolaan vaksin dan rantai
vaksin berkualitas, mengikuti pedoman Effec-
tive Vaccine Management (EVM)
5. Melakukan upaya perbaikan pada sistem
pencatatan dan pelaporan kasus KIPI ringan.
Sangat penting untuk memastikan semua
anak mendapatkan imunisasi rutin lengkap agar
menjadi generasi penerus yang sehat dan berku-
alitas.
11. 8
EDISI 1 • MARET 2020BULETIN SURVEILANS & IMUNISASI
Ketika terjadi masalah kesehatan masyarakat, se-
orang epidemiolog adalah penggerak yang selalu siap
untuk menginvestigasi masalah agar dapat diidentifikasi
penyebab dan factor resiko, implementasi pencegahan
dan pengendalian, serta komunikasi dengan pihak yang
terlibat. Penyelidikan epidemiologi merupakan fungsi
epidemilogi terpenting dalam mengubah informasi men-
jadi aksi untuk memastikan kesehatan dan keamanan ma-
syarakat.
Menurut CDC Field Epidemiology Manual1
, ada 10
langkah dalam melakukan penyelidikan epidemiologi:
1. Persiapan Lapangan, memastikan investigator me-
mahami tujuan PE dan memeriksa segala perlengkap-
an yang diperlukan.
2. Konfirmasi diagnosis, pastikan diagnosis mampu
mendefinisikan permasalahan
3. Menentukan luas masalah, mengidentifikasi faktor
resiko dan populasi beresiko.
4. Identifikasi & jumlah kasus, mengidentifikasi kasus
yang masuk dalam periode KLB
5. Tabulasi dan orientasi data, mengolah data menu-
rut orang, tempat, dan waktu.
6. Menentukan upaya pengendalian yang bisa dite-
rapkan, pengendalian terhadap sumber agen, atau
pengendalian pada populasi yang beresiko terhadap
agen
7. Pengembangan & uji hipotesis, membuat hipotesis
& mengujinya dengan studi analisis
8. Perencanaan studi sistematik lainnya
9. Implementasi serta evaluasi pencegahan dan
pengendalian, Mengevaluasi dampak tindakan pen-
gendalian sangat penting dalam menilai efektivitas
pehentian wabah. Jika belum ada, surveilans aktif ha-
rus dilaksanakan untuk memantau kasus-kasus baru.
10. Komunikasi hasil, Informasi yang diberikan secara
akurat selama KLB membantu publik dan pemangku
kepentingan dalam memberikan tindakan menghenti-
kan wabah.
Pemberian imunisasi ganda adalah pemberian le-
bih dari satu jenis imunisasi dalam satu kali kunjungan.
Berikut adalah pertanyaan yang sering ditanyakan oleh
orang tua dan tenaga kesehatan tentang manfaat dan
keamanan pemberian imunisasi ganda pada pelayanan
imunisasi:
1. Apakah pemberian imunisasi ganda aman untuk
bayi/anak?
YA, pemberian imunisasi ganda aman dan efektif. Ba-
nyak negara maju yang telah melaksanakan pembe-
rian imunisasi ganda untuk imunisasi bayi/anak dan
tidak ditemukan laporan terkait permasalahan kea-
manan vaksin.
2. Apa manfaat pemberian imunisasi ganda pada
satu kali kunjungan?
a. Melindungi bayi dan anak: memberikan imuni-
sasi sesuai jadwal yang dianjurkan memberikan
perlindungan sesegera mungkin kepada bayi dan
anak.
b. Meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan:
dengan memberikan imunisasi ganda, waktu
yang dibutuhkan untuk pelayanan Imunisasi men-
jadi berkurang, tenaga kesehatan dapat menga-
lokasikan waktu untuk layanan kesehatan lainnya
c. Kunjungan imunisasi lebih sedikit: orang tua/
pengasuh tidak perlu datang ke posyandu atau
fasilitas pelayanan kesehatan beberapa kali.
3. Apakah pemberian imunisasi ganda dapat me-
ningkatkan risiko KIPI?
TIDAK, pemberian suntikan ganda pada pemberian
imunisasi tidak meningkatkan risiko terjadinya KIPI
pada bayi/anak. Pastikan pelayanan imunisasi me-
matuhi prinsip penyuntikan aman, penyimpanan vak-
sin sesuai prosedur dan memperhatikan kontra indi-
kasi imunisasi.
4. Apakah pemberian imunisasi ganda membuat
anak lebih merasakan nyeri?
Ketidaknyamanan ketika diberikan imunisasi ganda
hanya akan dirasakan dalam waktu singkat. Pemberi-
an imunisasi pada bulan atau waktu kunjungan yang
berbeda justru akan memberikan ketidaknyamanan
dua kali kepada bayi/anak.
5. Adakah konsekuensi apabila pemberian imuni-
sasi yang seharusnya dilakukan pada satu kun-
jungan diberikan terpisah atau tidak bersamaan
(berjarak 1 bulan)?
Penundaan pemberian imunisasi ganda mengakibat-
kan bayi/anak lebih lama terpapar terhadap bibit
penyakit tanpa perlindungan, dan lebih berisiko ter-
tular penyakit.
PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI MANFAAT DAN KEAMANAN PEMBERIAN
IMUNISASI GANDA SAAT PELAYANAN
IMUNISASI
1
Source: CDC Field Epidemiology Manual (adapted from Gregg MB, Conducting a field investigation. In: Gregg MB, ed. Field epidemiology. 3rd ed. New York: Oxford University Press; 2008:81-96)