Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariGilang Putra
peningkatan produktifitas lahan dengan sistem agroforestri. berisi mengenai sistem penerapan agroforestri pada budidaya lahan, pilihan sistem agroforestri dan lain lain
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)CIFOR-ICRAF
Wetland management (mangrove and peatland)
This session discusses peatland and mangrove ecosystems management, within which they are considered as essential ecosystems. This session further explores the legal aspects related to peatland and mangrove ecosystems management in Indonesia and the operationalization of the regulatory framework.
Speaker: Ir. Wiratno, M.Sc., Director General of Conservation on Natural Resources and Ecosystem, Ministry of Environment and Forestry
Event: Webinar "Menata Peta Jalan Perencanaan untuk Implementasi Program Nasional PME (Peatland and Mangrove Ecosystems)"
Date: May 15, 2020
power point sumber daya alam laut yang di buat oleh anak anak kreatif kelas al fatih ponpes bumi Shalawat..anak anak itu adalah Rifqi fahrudin,A.Shobrur ridlo,M.ali fikri alan s.,dan Jundu muhammad m.i
Peraturan terkait biota laut yang dilindungiDidi Sadili
Biota laut yang dimaksud disini adalah ikan yaitu segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian hidupnya di dalam lingkungan perairan laut.
Yang terdiri dari:
1. pisces (ikan bersirip),
2. crustacea (udang, rajungan, kepiting dsb), 3. mollusca (kerang, tiram, cumi cumi, gurita, siput, dsb), 4. coelentarata (ubur ubur dsb), 5. echinodermata (teripang, bulu babi, dsb), 6. ampibia (kodok dsb), 7. reptilia (buaya, penyu, kura kura, biawak, ular air, dsb), 8. mamalia (paus, lumba lumba, pesut, dugong/duyung, dsb), dan 9. algae (rumput laut dan tumbuhan lain yang hidupnya di air).
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariGilang Putra
peningkatan produktifitas lahan dengan sistem agroforestri. berisi mengenai sistem penerapan agroforestri pada budidaya lahan, pilihan sistem agroforestri dan lain lain
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)CIFOR-ICRAF
Wetland management (mangrove and peatland)
This session discusses peatland and mangrove ecosystems management, within which they are considered as essential ecosystems. This session further explores the legal aspects related to peatland and mangrove ecosystems management in Indonesia and the operationalization of the regulatory framework.
Speaker: Ir. Wiratno, M.Sc., Director General of Conservation on Natural Resources and Ecosystem, Ministry of Environment and Forestry
Event: Webinar "Menata Peta Jalan Perencanaan untuk Implementasi Program Nasional PME (Peatland and Mangrove Ecosystems)"
Date: May 15, 2020
power point sumber daya alam laut yang di buat oleh anak anak kreatif kelas al fatih ponpes bumi Shalawat..anak anak itu adalah Rifqi fahrudin,A.Shobrur ridlo,M.ali fikri alan s.,dan Jundu muhammad m.i
Peraturan terkait biota laut yang dilindungiDidi Sadili
Biota laut yang dimaksud disini adalah ikan yaitu segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian hidupnya di dalam lingkungan perairan laut.
Yang terdiri dari:
1. pisces (ikan bersirip),
2. crustacea (udang, rajungan, kepiting dsb), 3. mollusca (kerang, tiram, cumi cumi, gurita, siput, dsb), 4. coelentarata (ubur ubur dsb), 5. echinodermata (teripang, bulu babi, dsb), 6. ampibia (kodok dsb), 7. reptilia (buaya, penyu, kura kura, biawak, ular air, dsb), 8. mamalia (paus, lumba lumba, pesut, dugong/duyung, dsb), dan 9. algae (rumput laut dan tumbuhan lain yang hidupnya di air).
Slide ini berisi tentang data Pemabalakan liar / Illegal Logging yang terjadi di Indonesia (sebaiknya dibuka dengan menggunakan Ms. Office 2013 agar slide effectnya lancar)
This presentation by Petrus Gunarso, the Sustainability Director of April, focuses on how April was dealing with the Haze issue in Indonesia, what the causes of the fires were how they detected them and what kind of strategy and collaboration April had.
The Business Case for Reduced Deforestation: Palm Oil in Indonesia, Looking T...CIFOR-ICRAF
This presentation by UNEP FI was given at a session titled "The Business Case for Reduced Deforestation: Palm Oil in Indonesia, Looking Through a Palm Oil Grower's Eyes" at the Global Landscapes Forum: The Investment Case on June 10, 2015. For more, please visit http://www.landscapes.org/london/
2. MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999
KEHUTANAN sistem pengurusan yang bersangkut
paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
HUTAN suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan.
3. KAWASAN HUTAN wilayah tertentu yang
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap.
HUTAN NEGARA benda-benda hayati,
nonhayati dan turunannya, serta jasa yang
berasal dari hutan.
HUTAN HAK hutan yang berada pada tanah
yang dibebani hak atas tanah
4. HUTAN ADAT hutan Negara yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum
adat.
HUTAN PRODUKSI kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan.
HUTAN LINDUNG kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah.
5. HUTAN KONSERVASI Kawasan hutan
dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
6. UU NO. 41 TAHUN 1999 PASAL 4 Menyatakan
Seluruh hutan di wilayah Republik Indonesia dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran rakyat
dengan tetap memperhatikan hak masyarakat
Hukum Adat serta tidak bertentangan dengan
kepentingan Nasional.
7. UU NO. 41 TAHUN 1999 PASAL 5 Menyatakan
Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari Hutan
Negara dan Hutan Hak.
Adapun Hutan Negara dapat berupa Hutan Adat.
UU NO. 41 TAHUN 1999 PASAL 6 Menyatakan
Hutan mempunyai 3 fungsi yaitu :
a)Fungsi konservasi.
b)Fungsi lindung.
c)Fungsi produksi.
8. UU NO. 41 TAHUN 1999 PASAL 7 Menyatakan
Hutan Konservasi terdiri atas :
a)Kawasan hutan suaka alam.
b)Kawasan hutan pelestarian alam.
c)Taman Buru.
UU NO. 41 TAHUN 1999 PASAL 23 Menyatakan
Pemanfaatan Hutan bertujuan untuk memperoleh
manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh
masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya.
9. UU NO. 41 TAHUN 1999 PASAL 24 Menyatakan
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan
pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan
cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada
taman nasional.
UU NO. 41 TAHUN 1999 PASAL 26 Menyatakan
Pemanfaatan Hutan Lindung berupa pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu.
10. UU NO. 41 TAHUN 1999 PASAL 42 Menyatakan
Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan
kondisi spesifik biofisik melalui
pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan
potensi dan memberdayakan masyarakat.
UU NO. 41 TAHUN 1999 PASAL 47 Menyatakan
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan
usaha untuk mencegah kerusakan hutan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran
dan hamapenyakit serta mempertahankan dan menjaga
hak-hak Negara, masyarakat dan perorangan.
11. UU NO. 41 TAHUN 1999 PASAL 68 Menyatakan
Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan
hidup yang dihasilkan hutan dan berhak mendapatkan
kompensasi dikarnakan hilangnya akses hutan sebagai
pekerjaannya atau hak atas tanah miliknya yang
ditetapkan sebagai kawasan hutan.
UU NO. 41 TAHUN 1999 PASAL 69 Menyatakan
Masyarakat wajib ikut serta menjaga memelihara dan
menjaga kawasan hutan dan dapat meminta
dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat atau
Pemerintah.
12. DEFINISI ILLEGAL LOGGING
Illegal Logging adalah perbuatan melanggar
Hukum yang dilakukan oleh setiap orang/kelompok
atau badan hukum dalam bidang kehutanan dan
perdagangan hasil hutan.
Perbuatan ini terjadi disemua lini tahapan produksi
kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap
pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemrosesan
dan tahap pemasaran, bahkan meliputi penggunaan
cara-cara yang korup dan pelanggaran-pelanggaran
keuangan seperti penghindaran pajak.
13. ILLEGAL LOGGING DILAKUKAN DENGAN
2 CARA :
Pertama Dilakukan oleh operator sah yang
melanggar ketentuan-ketentuan dalam ijin yang
dimiliki.
Kedua Melibatkan pencuri kayu dimana pohon-
pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak
mempunyai hak legal untuk menebang.
14. PENYEBAB TERJADINYA ILLEGAL LOGGING :
❑ Adanya krisis ekonomi di Masyarakat sehingga
mereka memanfaatkan hutan untuk kepentingan diri
sendiri dengan cara yang tidak benar.
❑ Banyaknya perusahaan yang bergerak di bidang
industri kayu yang mengalami kemunduran usaha
sehingga membeli bahan baku kayu yang murah dari
hasil praktek illegal logging.
❑ Lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan
kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat, serta
aparat cenderung menjadi tidak kondusif terhadap
kelestarian hutan
15. MODUS OPERANDI ILLEGAL LOGGING
YANG MEMILIKI IJIN
❑Melakukan penebangan diluar areal dari ijin yang
diberikan
❑Melakukan penebangan diwilayah yang dilarang
(dipinggir Sungai, Danau dan Waduk).
❑Melakukan manipulasi laporan hasil produksi kayu bulat
menjadi kayu bulat kecil sehingga terjadi selisih
pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
❑Penyalahgunaan dokumen legalitas kayu (hasil hutan
alam dilengkapi dengan dokumen hutan tanaman industri.
16. MODUS OPERANDI ILLEGAL LOGGING
YANG TIDAK MEMILIKI IJIN
❑Melakukan penebangan tanpa memiliki ijin
dengan memanfaatkan masyarakat setempat dan
penggunakan alat berat tanpa ijin.
❑Memanfaatkan risalah lelang.
❑Kayu olahan illegal menggunakan dokumen yang
sudah tidak berlaku (tidak aktif).
17. PELAKU
ILLEGAL LOGGING UMUMNYA DILAKUKAN OLEH :
❑ Cukong, Pemilik Modal, Penguasa / Pejabat.
❑ Masyarakat setempat.
❑ Pemilik Pabrik / Usaha industri kayu.
❑Pemegang Izin yang melakukan penebangan
diluar izinnya.
❑Oknum Aparat Pemerintah.
❑Pengusaha Asing.
20. MENGATASI ILLEGAL LOGGING
❑ Deteksi terhadap adanya kegiatan penebangan liar.
Contohnya : Melakukan Inspeksi di tempat-tempat
yang diduga terjadi penebangan liar.
❑Tindak prefentif untuk mencegah terjadinya illegal
logging.
Contohnya : Pemberdayaan masyarakat agar dapat
ikut menjaga hutan dan merasa memiliki.
❑ Penegakan Hukum.
Contohnya : Hukuman yang diberikan harus mampu
menimbulkan efek jera sehingga pemberian sanksi Hukum
harus tepat .
21. SUBSTANSI YANG DIATUR DALAM INSTRUKSI PRESIDEN NO 4
TAHUN 2005 TENTANG PEMBERANTASAN PENEBANGAN KAYU
SECARA ILEGAL DI KAWASAN HUTAN DAN PEREDARANNYA DI
SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA
1) Melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal
di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah RI.
2) Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas
dilingkup instansinya yang terlibat dengan penebangan kayu secara
ilegal.
3) Melakukan kerjasama dan saling berkoordinasi untuk melaksanakan
pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan
peredarannya.
4) Memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan dengan
adanya kegiatan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya.
5) Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil
operasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan
hutan dan peredarannya dan atau alat-alat bukti lain yang digunakan.
22. KETENTUAN PIDANA
UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 50 :
1)Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
2)Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang
melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
3)Setiap orang dilarang :
a) Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah.
b) Merambah kawasan hutan.
c) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan :
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau.
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai.
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai.
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang.
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari
tepi pantai.
23. d) Membakar hutan.
e) Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
f) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut
diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah.
g) Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin
Menteri.
h) Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak
dilengkapi bersamasama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
i) Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk
secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang.
j) Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam
kawasan hutan, tanpa izi Pejabat yang berwenang.
24. k) Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang
l) Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan
kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi
hutan ke dalam kawasan hutan
m) Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan
satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari
kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut
tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
25. KETENTUAN PIDANA
UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 78 :
1)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan
Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.5.000.000.000 (lima milyar rupiah).
2)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah).
3)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000 (lima milyar rupiah).
26. 4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.500.000.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah).
27. UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 78 :
7)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah).
8)Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta
rupiah).
9)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000 (lima milyar rupiah).
28. UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 78 :
10)Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k,
diancam dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
11)Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf
l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
12)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
29. UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 78 :
13)Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11)
adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
14)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan
hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan
terhadap pengurusnya, baik sendiri sendiri maupun bersamasama,
dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing
ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan
15)Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau
alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
dirampas untuk Negara.
30. UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 80 :
1)Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang
ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk
membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang
ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi
hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
2)Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau
izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini,
apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.
3)Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.