Pengelolaan hutan bersama masyarakat merupakan orientasi pembangunan kehutanan dewasa ini. Konsep ini tidak lagi menempatkan masyarakat sekitar hutan sebagai buruh atau penonton praktek pengelolaan hutan, dan bersorak kegirangan ketika melihat logging trucks mengangkut ber-kubik-kubik kayu bulat dari hutan yang tidak jauh dari kebun-kebun mereka. Masyarakat sekitar hutan memang selama ini belum mendapatkan tempat yang adil dalam pengelolaan hutan sistem HPH. Mereka tetap dan semakin miskin karena hutan tidak lagi mampu mensuplai air untuk persawahan mereka. Mereka semakin sulit mendapatkan hewan buruan di hutan yang semakin termarginalkan. Pohon duren yang dulu subur dengan buah yang rimbun, kini semakin langka.
Kita harus mengakui bahwa sejak awal sejarah peradabannya manusia memiliki keterkaitan yang erat dengan sumberdaya hutan. Masyarakat lokal telah sejak lama memahami prinsip bahwa hutan alam klimaks lebih merupakan puncak keseimbangan ekologis daripada mampu menjanjikan produktivitas tinggi bagi kepentingan hidup manusia. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan dan lahan hutan oleh masyarakat mampu menjawab persoalan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Dari waktu ke waktu praktik pemanfaatan hutan dan lahan hutan oleh masyarakat meskipun di bawah tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam. Misalnya saja, sistem Lembo di Kalimantan Timur, kebun Kemenyan di Tapanuli Utara, Kebun Karet di Jambi, Kebun Damar di Krui, Kebun Hutan Durian di Benawai Agung, Tembawang di Sanggau, Kebun Rotan di Bentian, Hutan Adat di Tenganan, Sistem Dukuh dan Asyura di Kalimantan Selatan dan masih banyak lagi yang lainnya yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa rakyat yang hidup di sekitar hutan memiliki pengalaman panjang dan kemampuan yang memadai untuk mengelola hutan.
1. Kehutanan Masyarakat 269
GLOSARIUM
Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi
penggunaan lahan, yang secara terencana
dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan
mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon,
perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman
pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan,
yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran
sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis
antarberbagaikomponenyangada
Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok
pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil
tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak
teratur, strata tidak seragam, tidak seumur,
menyerupaihutanalam
Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi
makhluk hidup maupun benda mati yang masing-
masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan
diperlukanuntukmenjagakelestarianbumi
Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan
permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan
airdan/atauangin
Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan
HutanRakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak
milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas
minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-
kayuandantanamanlainnyalebihdari50%
HutanKemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam
kawasanhutannegara
HutanTanamanIndustri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok
industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan
bakuindustrihasilhutan
Teori dan Implementasi
Hamdani Fauzi
KEHUTANANMASYARAKATTeori dan Implementasi
Hamdani Fauzi
3. PRAKATA
Kehutanan Masyarakat i
Teori dan Implementasi
enurut Kementerian Kehutanan (2010) jumlah desa yang berhubungan
dengan kawasan hutan saat ini tercatat sebanyak 31.957 desa, yang
Mterdistribusi di dalam kawasan hutan sebanyak 1.305 desa (4,08%), tepi
kawasan hutan sebanyak 7.943 (24,86%) dan di sekitar kawasan hutan sebanyak
22.709(71,06%).
Provinsi terbanyak untuk desa di dalam kawasan hutan adalah Kalimantan
Tengah (sebanyak 208 desa), dan Jawa Tengah (sebanyak 1.581 desa di tepi kawasan
hutan dan 6.795 desa di sekitar kawasan hutan). Penduduk tersebut sebagian bermata
pencaharian langsung dari hutan yang ada disekitarnya, sedangkan yang bekerja di
sektor swasta kurang lebih 3,4 juta orang. Secara tradisi, pada umumnya masyarakat
yang bermata pencaharian langsung dari hutan berupa perladangan dan
memanfaatkan berbagai jenis produk-produk hasil hutan, baik kayu maupun non
kayusepertidamar,kayumanis,gaharu,rotandanlebahmadu.
Harus diakui bahwa sejak awal sejarah peradabannya manusia memiliki
keterkaitan yang erat dengan sumberdaya hutan. Masyarakat lokal telah sejak lama
memahami prinsip bahwa hutan alam klimaks lebih merupakan puncak
keseimbangan ekologis daripada mampu menjanjikan produktivitas tinggi bagi
kepentingan hidup manusia. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa
pemanfaatan hutan dan lahan hutan oleh masyarakat mampu menjawab persoalan
lingkungandansosialekonomimasyarakat.
Misalnyasaja,pengelolaanhutanadatolehSukuDayakIban(KalimantanBarat)
atau hutan rakyat yang dikelola oleh masyarakat Desa Dengok (Kec. Playen), Desa
Girisekar (Kec. Parang) dan Desa Kedungkeris (Kecamatan Nglipar) yang terbukti
mampu mengelola hutan secara lestari sedemikian rupa sehingga mendapatkan
sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari dari Lembaga Ecolabel Indonesia (LEI). Ini
menunjukkan bahwa rakyat yang hidup di sekitar hutan memiliki pengalaman
panjangdankemampuanyangmemadaiuntukmengelolahutan.
Sebetulnya,upayapengembangankehutananmasyarakatmendapatdukungan
dari para ahli dan praktisi kehutanan sedunia sejak dilaksanakannya Kongres
Kehutanan Sedunia VIII pada 16 - 28 Oktober 1978 di Jakarta dengan tema pokok
“Forest for People”. Namun dalam prakteknya masih jauh dari apa yang diharapkan
sebagaimana yang tertuang dalam Kongres Jakarta bahwa Kehutanan harus
memberikan kontribusi yang semaksimal mungkin bagi pembangunan masyarakat
secaralestaridanberkelanjutandenganmelibatkanrakyatdalampengelolaanhutan.
i
4. Sardjono (2001) dan Mas Achmad (2001) mengemukakan beberapa faktor
yang menyebabkan pengelolaan hutan oleh rakyat di masa lalu demikian sulit
berkembang dan diterima sebagai alternatif pengelolaan hutan di Indonesia antara
lain (1) bentuk-bentuk pengelolaan hutan berbasis rakyat yang didokumentasikan
serta dipromosikan pada umumnya merupakan “spot-spot” kecil yang sangat
beragam sehingga dalam konteks kehutanan konvensional hal tersebut tidak bisa
dijadikan blue print yang bersifat standar sebagaimana sistem “konsesi hutan” dan
“tebang pilih”; (2) belum ada data yang secara siginifikan mengemukakan sumbangan
praktek pengelolaan hutan oleh rakyat bagi perekonomian regional atau nasional
yang justeru menjadi sasaran politik pembangunan kehutanan, walaupun aspek
keunggulan dari sisi ekologis dan sosio-kultural pengelolaan hutan kemasyarakat telah
ditampilkan; dan (3) Kebijakan pengelolaan hutan selama 3 dekade era HPH
cenderung bersifat sentralistik dan sama sekali tidak memberikan jaminan akses
publikterhadapprosespengambilankeputusandisektorkehutanan. Hakmasyarakat
terbatas pada pemanfaatan hasil hutan. Ini pun hanya dapat dilakukan melalui
koperasi, mengetahui rencana peruntukan serta beberapa hal lain yang miskin ruang
peransertamasyarakat.
Pengelolaan hutan bersama rakyat akan dapat diimplementasikan apabila ada
keinginan semua stakeholders untuk melibatkan rakyat dalam setiap tahapan kegiatan
pengelolaan hutan yang dilakukan secara transparan, partisipatif dan
bertanggunggugat (accountable). Pelibatan masyarakat hingga ke pelosok-pelosok
daerah dilakukan mulai tahap perencanaan, pelembagaan, pelaksanaan sampai
denganpengawasan.
Bukuinidimaksudkansebagaibukubahanajarsekaligusbukureferensiuntuk
subyek Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Hutan Kemasyarakatan, Sosiologi
Kehutanan, dan Kehutanan Sosial di tingkat Universitas. Juga akan sangat bermanfaat
bagi pengamat, pemerhati dan praktisi kehutanan, khususnya yang bergerak di
bidang kehutanan sosial dan pemberdayaan masyarakat, apalagi saat ini Social
Forestrytelahdijadikanpayungpembangunankehutanan.
Secara khusus perlu diketengahkan di sini bahwa bahan bacaan dan buku ajar
yang berkaitan dengan Kehutanan Masyarakat masih kurang, khususnya yang
menyajikan teori dan praktek-praktek pengelolaan hutan yang secara de facto
dilakukan masyarakat. Buku ini terdiri dari 12 bab yang disusun sedemikian rupa
sehingga pembaca dapat memahami teori-teori pemanfaatan oleh masyarakat,
perladangan berpindah, sistem hutan kerakyatan, pemberdayaan masyarakat dan
contoh-contoh pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti hutan
kemasyarakatan,hutanrakyat,hutantanamanrakyatdanhutanadat.
Penulis menyadari bahwa penulisan buku ini masih banyak kekurangan dan
kelemahan sehinga dalam kesempatan ini memohon maaf dan mengharapkan saran
konstruktif demi perbaikan buku ini. Di samping itu, seandainya dalam penulisan
buku ini terdapat pernyataan dari pihak lain yang tidak disebutkan sumbernya,
semata-mata bukan karena kesengajaan melainkan kekhilafan dan kesalahan penulis.
Untukitu,penulismemohonmaafyangsebesar-besarnya.
Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
ii
5. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir.
Sunardi, M.S selaku Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat
sekaligus Dosen senior untuk Mata Kuliah Hutan Kemasyarakatan yang telah banyak
memberikan masukan dan saran. Kepada Penerbit Pustaka Banua penulis
mengucapkan terima kasih telah membantu mengedit, membuat lay out dan tentu
sajamenerbitkanbukuini.KepadaanandatercintaMuhammadWafiiRamadhanserta
Isteri tersayang Rahmiyati, S.Hut yang tiada henti mendorong penulis untuk
menyelesaikan buku ini, terima kasih atas segala pengertiannya atas waktu yang
hilanguntukmereka.
Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda
kepada semua pihak yang memberikan kontribusi yang sangat berharga hingga buku
ini dapat diterbitan. Harapan penulis adalah agar buku ini dapat bermanfaat dalam
pengembangankehutananmasyarakatditanahair.
Banjarbaru, Juli 2010
Hamdani Fauzi
Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
iii
7. Kehutanan Masyarakat ii
DAFTAR ISI
Teori dan Implementasi
Halaman
PRAKATA .............................................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. iv
BAB 1. PEMANFAATAN HUTAN OLEH MASYARAKAT ..................................... 1
1.1 Pendahuluan ....................................................................................................... 1
1.2 Manfaat Hutan Bagi Masyarakat ................................................................ 4
1.3 Jenis Jenis Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat ........ 7
BAB 2. PERLADANGAN BERPINDAH ...................................................................... 17
2.1 Pendahuluan ....................................................................................................... 17
2.2 Kegiatan dalam Perladangan Berpindah .................................................. 18
2.3 Ritual Adat dalam Sistem Perladangan ...................................................... 21
2.4 Perladangan Berpindah:
Kearifan Lokal vs Deforestasi ...................................................................... 23
BAB 3. PENGELOLAAN HUTAN KONVENSIONAL .............................................. 35
3.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 35
3.2 Penambangan Kayu (Timber Extraction) ............................................... 36
3.3 Pengelolaan Hutan Tanaman (Timber Management) ......................... 51
BAB 4. PENGELOLAAN HUTAN
DENGAN STRATEGI KEHUTANAN SOSIAL ............................................ 61
4.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 61
4.2 Pokok-pokok pikiran Social Forestry ........................................................ 64
4.3 Penerapan Pengelolaan Hutan dengan Strategi Social Forestry ...... 66
BAB 5. PENGELOLAAN HUTAN
DENGAN STRATEGI KEHUTANAN SOSIAL ............................................. 91
5.1 Pendahuluan ....................................................................................................... 91
5.2 Pengertian dan Prinsip Sistem Hutan Kerakyatan .............................. 94
5.3 Latar Belakang Muncul Konsep SHK di Indonesia .............................. 96
5.4 Gerakan Community Forestry di Indonesia ............................................ 101
5.5 Peran Pemerintah dalam Pengembangan Community Forestry .... 107
5.6 Isu-isu Strategis bagi Gerakan Community Forestry .......................... 109
v
i
v
ix
xi
8. Halaman
BAB 6. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ................................................................ 113
6.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 113
6.2 Definisi Pemberdayaan ................................................................................... 115
6.3 Proses Pemberdayaan Masyarakat ............................................................ 119
6.4 Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat ................................ 124
6.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemberdayaan Masyarakat ... 128
BAB 7. PEMBINAAN MASYARAKAT DESA HUTAN ............................................ 135
7.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 135
7.2 Tujuan dan Sasaran PMDH ............................................................................ 135
7.3 Prinsip Dasar Pengelolaan PMDH .............................................................. 136
7.4 Pra-Perencanaan (Studi Diagnostik) PMDH .......................................... 137
7.5 Perencanaan PMDH ......................................................................................... 142
7.6 Pelaksanaan PMDH ........................................................................................... 146
BAB 8. HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) .......................................................... 171
8.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 171
8.2 Konsepsi Hutan Kemasyarakatan ............................................................... 173
8.3 Tujuan dan Pola Kemitraan HKm ............................................................... 175
8.4 Sasaran Lokasi ................................................................................................... 176
8.5 Kegiatan Hutan Kemasyarakatan ................................................................ 176
8.6 Hak dan Kewajiban Peserta HKm ............................................................... 176
8.7 Pemantapan Kawasan ..................................................................................... 177
8.8 Aspek Kelembagaan ......................................................................................... 177
8.9 Pemilihan Jenis ................................................................................................... 177
8.10 Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan ............................................. 182
8.11 Pengalaman Pelaksanaan HKm .................................................................... 186
8.12 Kendala Pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan ........................................ 189
BAB 9. HUTAN RAKYAT ................................................................................................. 191
9.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 191
9.2 Konsepsi Hutan Rakyat ................................................................................... 192
9.3 Karakteristik dan Bentuk Hutan Rakyat .................................................. 194
9.4 Tujuan dan Sasaran Hutan Rakyat ............................................................. 195
9.5 Pola Pengembangan Hutan Rakyat ............................................................ 196
9.6 Pengelolaan Pembangunan Hutan Rakyat .............................................. 197
9.7 Pengalaman Pembangunan Hutan Rakyat .............................................. 200
9.8 Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Masyarakat ................................... 206
9.9 Permasalahan dan Alternatif Solusi ........................................................... 208
BAB 10. HUTAN TANAMAN RAKYAT ………...........................…................................ 217
10.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 217
10.2 Prinsip Penyelenggaraan HTR ..................................................................... 220
10.3 Sasaran program HTR ..................................................................................... 221
10.4 Pola Penyelenggaraan HTR ............................................................................. 222
Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
vi
9. Halaman
10.5 Pembiayaan HTR dan Alternatif Pengembaliannya ............................ 223
10.6 Proses permohonan IUPHHK HTR ............................................................ 230
10.7 Pengalaman Pembangunan HTR ................................................................ 231
10.8 Tantangan Pengembangan HTR .................................................................. 234
BAB 11. HUTAN ADAT ...................................................................................................... 237
11.1 Pendahuluan ........................................................................................................ 237
11.2 Hak Masyarakat Adat ....................................................................................... 238
11.3 Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat
dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam ....................................................... 241
11.4 Pengakuan Terhadap Hutan Adat ............................................................... 248
11.5 Hak Ulayat ............................................................................................................ 249
11.6 Proses Perolehan Hak Mengelola Hutan Adat ........................................ 251
11.7 Perubahan Iklim, Hutan & Masyarakat Adat .......................................... 252
11.8 Sertifikasi Hutan Adat :
Pengalaman Pengelolaan Hutan Adat ........................................................ 253
BAB 12. PENUTUP .............................................................................................................. 259
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 263
GLOSARIUM ......................................................................................................... 269
Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
vii
INDEKS ................................................................................................................. 275
11. Kehutanan Masyarakat 269
GLOSARIUM
Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi
penggunaan lahan, yang secara terencana
dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan
mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon,
perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman
pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan,
yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran
sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis
antarberbagaikomponenyangada
Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok
pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil
tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak
teratur, strata tidak seragam, tidak seumur,
menyerupaihutanalam
Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi
makhluk hidup maupun benda mati yang masing-
masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan
diperlukanuntukmenjagakelestarianbumi
Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan
permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan
airdan/atauangin
Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan
HutanRakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak
milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas
minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-
kayuandantanamanlainnyalebihdari50%
HutanKemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam
kawasanhutannegara
HutanTanamanIndustri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok
industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan
bakuindustrihasilhutan
Teori dan Implementasi
Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Manfaat Hutan bagi Masyarakat menurut
Jarak Tempat Tinggal dari Hutan …......................................................... 6
Tabel 2. Pengelompokan hasil hutan non kayu ..............…................................. 9
Tabel 3. Pelaksanaan Ekstraksi Kayu dan Jangka Waktu Berlakunya
di Beberapa Negara …................................................................................... 40
Tabel 4. Perkembangan Penambangan Kayu di Indonesia ............................ 50
Tabel 5. Garis Besar Perubahan Paradigma Pengelolaan Hutan
di Indonesia ….................................................................................................. 50
Tabel 6. Perbedaan antara Paradigma Penambangan Kayu dengan
Pengelolaan Hutan Tanaman Monokultur ........…................................ 60
Tabel 7. Tipologi Sistem Hutan Kerakyatan …...................................................... 96
Tabel 8. Rekapitulasi Konflik Sumberdaya Alam ................................................. 98
Tabel 9. Beberapa Konflik HPH/HPHI di Kaltim ................................................ 100
Tabel 10. Tahapan pemberdayaan knowledge, attitudes, practice dengan
pendekatan aspek afektif, kognitif, psikomotorik dan konatif .... 128
Tabel 11. Ciri-ciri pelaku pemberdayaan yang memberdayakan dilihat
dari aspek perilaku; pengetahuan, sikap dan ketrampilan ............ 131
Tabel 12. Keaktifan Responden dalam Kegiatan Pertanian Menetap pada
Program PMDH PT. Aya Yayang Indonesia .....…................................. 149
Tabel 13. Tanggapan Responden Mengenai Dampak Pembinaan
Bidang Pertanian Menetap terhadap peningkatan
Pendapatan Keluarga Peserta PMDH PT. Aya Yayang Indonesia .. 151
Tabel 14. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Peserta PMDH
PT. Inhutani II SU Pulau Laut .........…........................................................ 161
Tabel 15 Tanggapan Responden Terhadap Sering Tidaknya Perusahaan
Memberikan Pembinaan dan Bantuan Di Bidang Peningkatan
Ekonomi pada PT. Inhutan II SU Pulau Laut ….................................... 163
Tabel 16. Sarana Dan Prasarana Umum Bantuan
PT. Aya Yayang Indonesia Di Desa Dambung Raya ............................... 167
iiiix
12. KayuGergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan
mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi
empatpacakan
KearifanLokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu
dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang
diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut
dalamjangkawaktuyangcukuplamaada
KebunHutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang
dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha
mengembangkanprodukyanglakudipasaran
Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi
masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai
tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan
keputusan, strategi, perencanaan maupun
implementasinya di lapangan dengan menggunakan
instrumenttertentu
KegiatanSosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah
tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan
dengan orang-orang di sekelilingnya untuk
kepentinganbersama
Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota
masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang
dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia
atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu
organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-
faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik
, aturan formal maupun informal untuk pengendalian
perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan
mencapaitujuanbersama
KelompokTani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang
tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian,
kesamaan profesi dan kepentingan dalam
memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai
dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka
meningkatkan produktivitas usahatani dan
kesejahteraananggotanya
Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai
standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan
non-makanan
Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk
memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan
berkelanjutan
MasyarakatDesaHutan : Kelompokmasyarakatsetempat,terutamamasyarakat
tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di
pedesaansekitarhutan
Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
270 Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
x
13. Kehutanan Masyarakat 269
GLOSARIUM
Agroforestryi : Istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi
penggunaan lahan, yang secara terencana
dilaksanakan pada suatu unit lahan dengan
mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon,
perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman
pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan,
yang dilakukan pada waktu bersamaan atau bergiliran
sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis
antarberbagaikomponenyangada
Dukuh : Istilah untuk kebun buah yang terdiri dari kelompok
pohon yang didominasi oleh buah-buahan dari hasil
tanaman permudaan alam yang pola tanamnya tidak
teratur, strata tidak seragam, tidak seumur,
menyerupaihutanalam
Ekosistem : Unit dasar fungsional yang merupaka lingkungan bagi
makhluk hidup maupun benda mati yang masing-
masing ikut menentukan sifat-sifat anggotanya dan
diperlukanuntukmenjagakelestarianbumi
Erosi : Suatu proses atau peristiwa hilangny lapisan
permukaan atas tanah yang disebabkan pergerakan
airdan/atauangin
Hutan : Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan
HutanRakyat : Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak
milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas
minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-
kayuandantanamanlainnyalebihdari50%
HutanKemasyarakatan : Hutan Negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat setempat di dalam
kawasanhutannegara
HutanTanamanIndustri : Pengelolaan hutan yang dibangun oleh kelompok
industri dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan
bakuindustrihasilhutan
Teori dan Implementasi
Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
DAFTAR GAMBAR
vi
Halaman
Gambar 1. Hubungan antara Manfaat Hutan
Dan Lokasi Tempat Tinggal Masyarakat ........…............................... 7
Gambar 2. Pola Perladangan Masyarakat
Suku Dayak Meratus Loksado ................................................................ 18
Gambar 3. Kerusakan Hutan Akibat Timber Extraction
di Mesopotamia …........................................................................................ 43
Gambar 4. Bilateral Matching Institution …............................................................ 178
Gambar 5. Koordinasi Instansi Pelaksana
dengan Instansi Terkait ............................................................................ 180
Gambar 6. Pengawasan Kegiatan HKm .................................................................... 181
Gambar 7. Skema Masalah Inti dan Sebab-sebab
dari Pengembangan Hutan Rakyat ....................…............................... 213
Gambar 8. Masalah Inti dan Akibat-akibat yang dapat ditimbulkan
dari adanya Permasalahan
Pembangunan Hutan Rakyat ...............................…............................... 214
xi
14. KayuGergajian : Kayu bulat yang telah dikonversikan dengan
mempergunakan gergaji termasuk balok-balok segi
empatpacakan
KearifanLokal : Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu
dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang
diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut
dalamjangkawaktuyangcukuplamaada
KebunHutan : Suatu variasi dari kebun pekarangan tradisional yang
dikembangkan oleh penduduk local dalam usaha
mengembangkanprodukyanglakudipasaran
Kebijakan : Cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi
masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai
tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan
keputusan, strategi, perencanaan maupun
implementasinya di lapangan dengan menggunakan
instrumenttertentu
KegiatanSosial : Kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah
tangga tetapi menyangkut kegiatan berhubungan
dengan orang-orang di sekelilingnya untuk
kepentinganbersama
Kelembagaan : Suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota
masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang
dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia
atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu
organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-
faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik
, aturan formal maupun informal untuk pengendalian
perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan
mencapaitujuanbersama
KelompokTani : Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang
tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian,
kesamaan profesi dan kepentingan dalam
memanfaatkan sumberdaya alam yang mereka kuasai
dan berkepentingan untuk bekerjasama dalam rangka
meningkatkan produktivitas usahatani dan
kesejahteraananggotanya
Kemiskinan : Sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai
standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan
non-makanan
Konsesi : Hak yang diberikan kepada pengusaha untuk
memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dan
berkelanjutan
MasyarakatDesaHutan : Kelompokmasyarakatsetempat,terutamamasyarakat
tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di
pedesaansekitarhutan
Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
270 Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
xii
15. Kehutanan Masyarakat 1
Teori dan Implementasi
1.1 Pendahuluan
Saat ini kawasan hutan di Indonesia meliputi areal kurang lebih seluas
136,88 juta hektar, termasuk kawasan konservasi perairan. Sebagai negara
yang terletak pada kawasan tropis dunia, hutan Indonesia yang berdasarkan
penelitian terdiri dari 15 formasi hutan dimana sebagian besar di dominasi
oleh tipe hutan hujan tropis. Hutan tropis Indonesia dikenal sebagai tempat
megadiversity sehingga menjadi pusat konsentrasi keragaman hayati, baik di
daratanmaupunperairan.
Hutan di Indonesia adalah habitat bagi kurang lebih 38.000 jenis
tumbuhan termasuk 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10% dari
tumbuhan berbunga di dunia, yang separuhnya merupakan jenis endemik
Indonesia), 515 spesies mamalia (12% jenis mamalia dunia), 511 spesies
reptilia (7,3% dari jenis reptilia dunia), 270 spesies amphibia, 1.531 jenis
burung(17%spesiesburungdunia),2.827jenisbinatangtakbertulang,kupu-
kupu sebanyak 121 spesies (44% jenis endemik), serta lebih dari 25% spesies
ikanairlautdanairtawardidunia.
Disamping itu, Indonesia memiliki tumbuhan palma sebanyak 477
spesies (47% endemik) dan kurang lebih 3.000 jenis spesies tumbuhan
penghasil bahan berkhasiat obat. Diantara berbagai jenis tumbuhan dan
satwa di atas beberapa diantaranya merupakan jenis-jenis yang baru
ditemukan, terutama di kawasan-kawasan hutan di daerah Papua (Kemenhut,
2010).
Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi
masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman
dahulu, mereka tidak hanya melihat hutan sebagai sumber daya potensial saja,
melainkan memang merupakan sumber pangan, obat-obatan, energi,
sandang, lingkungan dan sekaligus tempat tinggal meraka. Bahkan ada
sebagian masyarakat tradisional yang meyakini bahwa hutan memiliki nilai
spiritual, yakni percaya bahwa hutan atau komponen biotik dan abiotik yang
ada di dalamnya sebagai obyek yang memiliki kekuatan dan/atau pesan
supranaturalyangmerekapatuhi.
BAB 1
PEMANFAATAN HUTAN
OLEH MASYARAKAT
16. Kehutanan Masyarakat2
Teori dan Implementasi
Sebagai sumber pangan, masyarakat sekitar hutan mengelola lahan
hutan dengan pola shifting cultivation (perladangan berpindah). Peladang
membuka hutan seluas sekitar 2 ha setiap KK untuk ditanami dengan tanaman
pangan (palawija) selama 2-3 tahun, kemudian berpindah-pindah secara
berputar dengan daur rotasi normal sekitar 15-20 tahun. Menurut para pakar
arkeolog, sistem perladangan seperti ini sudah ada sejak 7000 tahun Sebelum
Masehi.
Sebagai sumber obat-obatan dan energi, masyarakat tradisional
memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan liar yang hidup di hutan sebagai bahan
obat-obatan dan bahan bakar. Bahan obat ini mereka peroleh dengan cara
pemungutan langsung dari alam baik dengan kegiatan pengayaan maupun
tanpa pengayaan. Begitu pula dalam hal pemenuhan kebutuhan akan sandang,
masyarakat sekitar hutan memiliki teknologi sederhana yang cukup arif dalam
memanfaatkansumberdayahutansebagaibahanbakusandang.
Dalam perkembangan peradaban selanjutnya, masyarakat tradisional
tidak lagi menggantungkan sumber pangan, pakaian dan obat-obatan dari
hutan secara langsung. Akan tetapi mereka menjadikan hutan sebagai sumber
kegiatan ekonomi. Produk-produk hasil hutan yang mereka peroleh tidak lagi
berorientasi kepada kebutuhan konsumsi mereka, melainkan juga
diperdagangkansebagaisumbermatapencaharianmereka.
Menurut Ostrom (1986), akses kepemilikan sumber daya alam baik
berupa lahan maupun segala yang ada di dalamnya dapat dilihat dari 3
perspektif. Pertama, akses kepemilikan sumber daya alam bersifat open-
access atau bersifat terbuka, tidak bertuan, tidak jelas pemiliknya. Kedua,
akses kepemilikan sumber daya alam bersifat state property dimana sumber
daya alam tersebut merupakan sumber-sumber publik dan negara merasa
berhak untuk memiliki dan mengatur penggunaannya. Ketiga, akses
kepemilikan sumber daya alam bersifat communal property, dimana sumber
dayaalamadalahmilikadatdannegaratidakbolehmenyentuhnya.
Kemudian Bromley dalam Suhardjito dkk (2000) menambahkan
dengan butir ke empat bahwa akseskepemilikan sumber daya alam juga dapat
bersifat private property, bahwa hak kepemilikan sumber daya alam dapat
dimiliki oleh sekelompok orang secara legal yang hak kepemilikannya diatur
olehnegara.
Terlepas dari pengelompokkan tersebut, sejarah pemanfaatan lahan
berbasis masyarakat merupakan kenyataan yang riil dan faktual yang dapat di
lihat dari masa lalu dan masa sekarang. Sejak zaman dahulu masyarakat amat
tergantungpadasumberdayaalamberupahutan.
17. Kehutanan Masyarakat 3
Teori dan Implementasi
Ketergantungan tersebut amatlah besar sehingga di dalam
memanfaatkan hutan masyarakat yang ada di dalamnya selalu taat pada
norma-norma yang mengatur keselarasan dan keharmonian dengan alam.
Kegiatan ladang berpindah merupakan kegiatan pemanfaatan lahan yang
sudah sangat lama tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat di dalam
dan di sekitar hutan. Proses perpindahan kegiatan berladang tersebut
merupakan kearifan lokal masyarakat di dalam menjaga keseimbangan lahan
yangmerekagunakan.
Menurut Chin (1987) dalam Lahadjir (2001 ), perladangan atau
kegiatan pertanian ladang yang dilakukan oleh suku Dayak adalah suatu sistem
pertanian yang lebih bersifat ekstensif daripada intensif, terutama yang
berhubungan dengan penggunaan lahan pertaniannya. Pertanian ladang
adalah suatu bentuk pengolahan lahan pertanian yang mempunyai beberapa
karakteristiksebagaiberikut:
a. rotasiladang
b. membersihkanarealdenganapi
c. tidakterdapatbinatang-binatangpenarikbajak
d. tidakmenggunakanpupukdanpestisida
e. menggunakanperalatanyangsederhanadan
f. masaberayangpanjang
Dengan demikian petani ladang tradisional adalah orang-orang yang
cukup rasional dan pemakai yang piawai terhadap lingkungan alam mereka
sendiri(Padoch,1982danDove,1985dalamLahadjir,2001).
Menurut Darusman dan Bahruni (1999) terdapat tiga hal pokok yang
merupakanbasishubunganantarapengelolaanhutandanmasyarakat sekitar
hutan yang dapat menunjukkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya
hutan. Ketiga haltersebutadalah:
a) Masyarakat sekitar hutan yang kehidupannya tergantung pada
sumber daya hutan, dengan kearipan lokal dan norma-norma yang
dimilikinya dapat diselaraskan dengan sistem pengelolaan hutan.
Pengelolaan sumber daya hutan tidak boleh mengeliminasi atau
mengurangihak-hakmasyarakatsekitarhutan.
b) Pengelolaan sumber daya hutan tidak boleh mengganggu seluruh
aspektatanankehidupanmasyarakatsekitarhutan.
c) Masyarakat sekitar hutan diberikan keleluasaan untuk
mengembangkan aktivitas serta partisipasinya dalam pengelolaan
sumberdayahutan.
18. Teori dan Implementasi
Kehutanan Masyarakat4
1.2 ManfaatHutanBagiMasyarakat
Fungsi hutan, baik untuk aspek ekonomi maupun aspek perlindungan,
akan dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan nilai dan kebutuhan setiap
golongan masyarakat terhadap komoditas yang ditawarkan. Misalnya untuk
aspek ekonomi komoditas yang ditawarkan oleh hutan dapat berupa pakan
ternak, pangan, daun, getah, buah, kayu bakar, kayu pertukangan, air bersih,
dan sebagainya. Pembagian manfaat ekonomi bagi parafihak harus dapat
dialokasikansecaraadildandemokratis.
Sumberdaya hutan (SDH) Indonesia menghasilkan berbagai manfaat
yang dapat dirasakan pada tingkatan lokal, nasional, maupun global. Manfaat
tersebut terdiri atas manfaat nyata yang terukur (tangible) berupa hasil hutan
kayu, hasil hutan non kayu seperti rotan, bambu, damar dan lain-lain, serta
manfaat tidak terukur (intangible) berupa manfaat perlindungan lingkungan,
keragamangenetikdanlain-lain.
Saat ini berbagai manfaat yang dihasilkan tersebut masih dinilai secara
rendah sehingga menimbulkan terjadinya eksploitasi SDH yang berlebih. Hal
tersebut disebabkan karena masih banyak pihak yang belum memahami nilai
dariberbagaimanfaatSDHsecarakomperehensif. Untukmemahamimanfaat
dari SDH tersebut perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang
dihasilkan SDH ini. Penilaian sendiri merupakan upaya untuk menentukan
nilaiataumanfaatdarisuatubarangataujasauntukkepentinganmanusia.
Dengan diketahuinya manfaat dari SDH ini maka hal tersebut dapat
dijadikan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan untuk mengalokasikan
sumberdaya alam (SDA) yang semakin langka dan melakukan distribusi
manfaat SDA yang adil. Terlebih dengan meningkatnya pertambahan
penduduk saat ini yang menyebabkan timbulnya tekanan yang serius
terhadap SDH, menyebabkan perlunya penyempurnaan pengelolaan SDA
melalui penilaian akurat terhadap nilai ekonomi sumberdaya alam yang
sesungguhnya.
Berkaitandenganpemanfaatansumberdayahutan,memasukieratahun
1970, yang merupakan periode awal pembangunan lima tahunan nasional,
Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kayu tropis komersial di dunia.
Dalam pemanfaatan kayu tersebut tercatat kurang lebih 120 famili tumbuhan
yang terdiri dari 267 spesies sebagai penghasil komoditas kayu. Disamping
itu, Indonesia dikenal juga sebagai penghasil terbesar komoditas rotan di
dunia.
19. Teori dan Implementasi
Kehutanan Masyarakat 5
Dalam konteks pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), terdapat
beberapa jenis produk yang merupakan komoditas penting perdagangan
seperti terpentin, gondorukem/getah damar, jelutung, tengkawang, kemiri,
sutera alam, gaharu, sarang burung walet, berbagai jenis tanaman obat dan
rempah,sertaberbagaijenislainkomoditasperdagangan,baikdidalamnegeri
maupunekspor.
Pemanfaatan kayu yang dimulai pada tahun 1967 yang didorong dengan
diterbitkannya undang-undang tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), telah menempatkan sektor
kehutanan sebagai penggerak ekonomi nasional. Indonesia telah merebut
pasar ekspor kayu tropis dunia yang diawali dengan ekspor kayu bulat/log.
Sejalan dengan berkembangnya industri pengolahan kayu yang sangat pesat
sejak ditetapkan kebijakan larangan ekspor kayu bulat tahun 1985, Indonesia
menjadi negara pengekspor kayu gergajian, kayu lapis dan produk industri
kayu lainnya. Selama tahun 1992-1997 tercatat perolehan devisa negara
sebesarUS$.16,0milyarsebagaisektorpenghasildevisakeduasetelahminyak
dan gas bumi. Pada tahun 2003, ekspor hasil hutan tercatat sebesar US$.6,6
milyaratausekitar37%dariekspornonmigas.
Penerimaan negara dari sektor kehutanan yang berasal dari dana
reboisasi (DR), provisi sumberdaya hutan (PSDH), iuran hak pengusahaan
hutan (IHPH) termasuk hutan tanaman industri (HTI), ekspor satwa, denda
pelanggaran, pungutan pariwisata alam, pada tahun 1999 mencapai Rp.3,3
trilyun. Kondisi penerimaan itu menurun menjadi Rp.2,72 trilyun pada tahun
2003 sejalan dengan pengurangan jatah tebangan dari hutan alam, termasuk
penurunanluasanarealpemanfaatanhasilhutankayu.
Meskipun penerimaan negara dibidang kehutanan pada beberapa
tahun terakhir relatif sama, namun tidak sebesar dibandingkan dengan
penerimaan ketika tingkat produksi kayu sebelumnya yang sangat besar.
Akan tetapi kegiatan perekonomian dari usaha-usaha dibidang kehutanan
masih tetap memberikan kontribusi penting khususnya pada pembangunan
di daerah penghasil kayu dan hasil hutan lainnya. Kondisi selanjutnya,
meskipun produksi kayu bulat dari hutan alam cenderung tetap rendah pada
beberapa tahun terakhir, namun produksi kayu dari hutan tanaman dan hutan
rakyat serta hasil hutan bukan kayu menunjukan peningkatan yang cukup
baik.
Pemanfaatan fungsi hutan bagi masyarakat dan para pihak, baik fungsi
ekonomi maupun fungsi perlindungan, bersifat spesifik dan proporsional
untuk wilayah dengan jarak dari hutan yang berbeda-beda (Gambar 1).
Misalnya, lapangan kerja fisik berlaku untuk masyarakat dekat dengan hutan.
20. Teori dan Implementasi
Kehutanan Masyarakat6
Pakan ternak dapat menjangkau penduduk desa yang agak jauh dari hutan,
sedang kayu bakar dapat menjangkau wilayah yang lebih luas lagi. Manfaat air
setidaknya meliputi masyarakat dalam satu DAS yang sama, sedang kayu
pertukangan, udara bersih, plasma nutfah dan fungsi aestetika dampak atau
manfaatnya dapat menjangkau seluruh penduduk dunia. Manfaat hutan dan
jangkauannya untuk masyarakat yang jarak tempat tinggalnya berbeda-beda
dapatditerangkansebagaiberikut:
Tabel 1. Manfaat Hutan bagi Masyarakat menurut Jarak Tempat Tinggal dari Hutan
Sumber:Simon(2005)
Menurut Kemenhut (2010) jumlah desa yang berhubungan dengan
kawasan hutan saat ini tercatat sebanyak 31.957 desa, yang terdistribusi di
dalam kawasan hutan sebanyak 1.305 desa (4,08%), tepi kawasan hutan
sebanyak 7.943 (24,86%) dan di sekitar kawasan hutan sebanyak 22.709
(71,06%). Provinsi terbanyak untuk desa di dalam kawasan hutan adalah
Kalimantan Tengah (sebanyak 208 desa), dan Jawa Tengah (sebanyak 1.581
desa di tepi kawasan hutan dan 6.795 desa di sekitar kawasan hutan).
Hubungan antara manfaat hutan dengan tempat tinggal masyarakat tersebut
dapatdilihatdalamGambar1.
Manfaat Hutan Rincian Manfaat Hutan Untuk:
Manfaat Ekonomi 1. Membentuk tanah subur
2. Lapangan kerja fisik
3. Pakan ternak
4. Kayu bakar
5. Lapangan kerja trampil
6. Kayu pertukangan
Masyarakat lokal
Masyarakat lokal
Masyarakat lokal luas
Masyarakat lokal luas
Nasional
Masyarakat global
Manfaat
Perlindungan
1. Tempat bermain
2. Mencegah erosi
3. Tata air
4. Udara bersih
5. Plasma nutfah
6. Aestetika
Masyarakat lokal
Masyarakat satu DAS
Masyarakat satu DAS
Masyarakat global
Masyarakat global
Masyarakat global
21. Teori dan Implementasi
Kehutanan Masyarakat 7
Gambar 1. Hubungan antara Manfaat Hutan dan Lokasi Tempat Tinggal Masyarakat
Keterangan: Lingkaran paling kecil di pinggir kiri menggambarkan lokasi kawasan hutan
Secara umum peranan hutan bagi masyarakat yang tinggaldisekitar
atau dalam kawasan hutan dapat dikelompokkan menjadi tiga
sebagaimana dikemukakan oleh Mubiyarto et.al(1991)yaitu:
a) Hutan sebagai penghasil kayu, baik kayu bulat (log), maupun
kayu bakar, dan hasil hutan bukan kayu seperti buah-buahan
hewandandaun-daunan.
b) Hutan menjadi penyedia lahan untuk kegiatan pertanian. para
petani sekitar hutan melihat hutan selain sebagai sumber
kehidupan, mereka juga melihat hutan sebagai cadangan bagi
perluasan lahan usaha tani, ketika para petani membutuhkan
tambahan usaha tani nya karenaadanya pertumbuhan penduduk.
Kegiatan pertanian
c) tersebut dapat menghasilkan berbagai macam bahan makanan
sepertiberas,jagung,palawija,dansebagainya.
d) Hutan sebagai sumbermakanan ternak dan tempat hidupternak.
1.3 Jenis-JenisHasilHutanYangDimanfaatkanOlehMasyarakat
Jenis-jenis hasil hutan yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat
desa hutan adalah kayu, getah karet, kayu manis, getah damar, rotan, kemiri,
madu, kulit kayu sintuk, bambu, buah-buahan serta hasil hutan non kayu
lainnya yang tidak dikomersilkan seperti akar-akaran, jamur, rebung bambu
danlain-lain.
22. Teori dan Implementasi
Kehutanan Masyarakat8
Berdasarkan pengertian dari Penjelasan Pasal 4 UU No. 41 Tahun 1999
hasilhutandapatberupa:
1. Hasil hutan beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-
rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan dan lain-lain,
serta bagian-bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan
olehtumbuh-tumbuhandidalamhutan.
2. Hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil
penangkarannya, satwa buru, satwa elok dan lain-lain hewan, serta
bagian-bagiannyaatauyangdihasilkannya.
3. Benda-benda non hayati yang secara ekologis merupakan satu
kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati penyusun hutan,
antara lain berupa sumber air, udara bersih dan lain-lain yang
termasukbenda-bendatambang.
4. Jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa
keindahandankeunikan,jasaperburuandanlain-lain.
5. Hasilproduksiyanglangsungdiperolehdarihasilpengolahanbahan-
bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi
primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis dan
pulp.
Jasa lingkungan dari hutan yang utama adalah menjaga ekosistem bumi,
yangsecaragarisbesarberupa:
a. Jasa penyediaan untuk menghasilkan berbagai komoditas
kebutuhanmanusiatermasukobat-obatan,sumbergenetik,air,dll,
b. Jasa pengaturan untuk menjaga kualitas iklim, udara, air, erosi dan
mengontrolberbagaiaspekbiologisdimukabumi,
c. Jasa kultural dalam membentuk identitas budaya, hubungan sosial,
peninggalanpusaka,wisata,dll,dan
d. Jasa pendukung dalam membentuk formasi tanah, produk oksigen,
habitat,dansiklusmineral.
Sedangkan hasil hutan yang berupa benda-benda nabati di lingkungan
kehutanandigolongkanmenjadi:
1. Hasilhutanberupakayu
2. Hasilhutannonkayu
Hasil hutan non kayu berupa benda-benda nabati yang sudah dikenal
secara luas adalah rotan, nipah, sagu, bambu, getah-getahan, biji-bijian dan
lain-lain. Sedangkan hasil hutan non kayu yang berupa benda-benda hewani
antara lain bagian-bagian dari satwa liar antara lain seperti tanduk, kulit dan
lain-lain(DepartemenKehutanan,1993).
23. Teori dan Implementasi
Kehutanan Masyarakat 9
Menurut Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 56/ KPTS/ DJ/ I/ 1983
tentang pola pengusahan hasil hutan ikutan, pengertian Non Timber Forest
Product (NTFP) adalah benda-benda hayati selain kayu yang dihasilkan dari
hutandenganpengelompokanyangterlihatpadaTabel2.
Tabel 2. Pengelompokan hasil hutan non kayu
Secara rinci akan dijelaskan proses pemanfaatan beberapa jenis hasil
hutannonkayusebagaiberikut:
1.3.1 Karet
Karet dikenal dengan nama botanis Hevea Braziliensis dan bagi
masyarakat Banjar dikenal dengan “gatah” karena pohon karet dapat
menghasilkan getah atau lateks. Cara pemanfaatannya dengan menyadap
karet atau disebut juga dengan melukai permukaan bidang sadap. Penoresan
bidang sadap dimulai pada titik atas kiri kemudian ke bawah melingkar ke
kanan dengan sudut kemiringan 45°. Alat yang digunakan untuk menyadap
adalahpisausadap,tempurung,emberdankotakpembekuan.
24. Teori dan Implementasi
Kehutanan Masyarakat10
Pemanfaatan getah karet sudah dilakukan masyarakat secara turun
temurun. Dalam cara memungut getah karet, sejak dahulu hingga sekarang
tidak mengalami perubahan. Pemanfaatan getah karet tersebut oleh
masyarakat pada saat ini tidak mengalami kendala baik cara mengambil, cara
mengolah, maupun pemasarannya. Waktu yang digunakan untuk menyadap
karetpadasetiapkalikerjakuranglebih½hari.
Volume hasil sadapan setiap kepala keluarga di pengaruhi oleh umur
pohon, dan banyak sedikitnya jumlah pohon karet yang dimiliki. Karet muda
sedikit menghasilkan lateks dan kurang kental. Sedangkan pada umur
produktif volume lateks yang dihasilkan meningkat dan kental. Tenaga kerja
yang digunakan untuk menyadap karet masyarakat lokal memakai tenaga
sendiri dan anggota keluarganya. Semua hasil dari kegiatan memanfaatkan
karetdijualkepadapedagangperantaradanpedagangpengumpul.
Pengolahan getah karet dilakukan dengan cara sederhana. Getah karet
yang sudah terkumpul di tempurung dibiarkan membeku dengan sendirinya.
Pada hari ketiga setelah lateks membeku, tempurung dipakai lagi untuk
penampungan selanjutnya. Getah karet yang sudah beku yang berbentuk
seperti wadai apollo atau lum diletakan di bawah pohon karet. Setelah dikira
cukupuntuksatukotak,lumdikumpulkandandimasukan kedalamkotakkayu
kemudian disiram dengan getah lateks yang baru, dan dibiarkan membeku
dengansendirinya. Hasilpembekuandidalamkotakinidisebutslap.
Pemanfaatangetahkaretdipengaruhiolehmusim,musimhujan,musim
gugur daun, musim gawi (musim tugal, musim panen padi) dan kegiatan aruh
tradisional. Keseluruhannyamemakankisaranwaktu3(tiga)bulan.
1.3.2 Kayumanis
Kayu manis yang dikenal dengan nama botanis Cinnamomun Burmanii,
penyebarannya di Kalimantan Selatan banyak terdapat di Loksado (Hulu
Sungai Selatan). Pemanfaatan kayu manis oleh masyarakat sudah cukup lama
dan sudah turun temurun. Cara pengambilannya sejak dahulu hingga
sekarang tidak mengalami perubahan. Kendala yang dihadapi dalam
pemanfaatan kayu manis adalah harga kulit manis yang berfluktuasi. Dalam
sekali pemungutan masyarakat memerlukan waktu ½ - 1 hari kerja. Volume
yangdiperolehdalamsekalipemungutanberkisarantara10 15kg.
Cara pengambilan kulit manis melalui berbagai tahapan yaitu memilih
pohon kayu manis yang akan ditebang, menebang pohon, mengerat pohon
dengan ukuran 2 kilan atau 4 kilan (kilan = jarak dari ujung ibu jari ke ujung
25. kelingking) secara memutar (melingkari pohon) mulai dari pangkal pohon ke
ujung hingga ke percabangan yang dianggap bisa menghasilkan kulit manis.
Kemudian dikuliti, kulit manis yang tadinya dikerat dengan ukuran 4 kilan
dipotong menjadi 2 bagian sama, kegiatan selanjutnya mengerik kulit manis
dari lumut dan kulit ari (kulit luar). Setelah kulit manis bersih baru diiris
setebal2jaridenganarahmembujurseratkulit.
Kegiatan selanjutnya adalah penjemuran kulit manis pada panas
matahari selama 1 2 hari. Kemudian dikumpulkan dan diikat dengan rotan
atau tali bambu dengan kisaran satu ikat seberat 10 15 kg. Kegiatan
pengambilan kulit manis memakai tenaga sendiri dan anggota keluarga. Alat
yangdigunakanuntukpemungutan kulitkayumanisadalahparang,pisaudan
kapak.
Dari hasil pemanfaatan kayu manis sebagian besar dijual, hanya sedikit
sekali yang digunakan sendiri. Volume pemanfaatan kayu manis setiap
keluarga tidak sama, hal ini dipengaruhi oleh volume kepemilikan kayu manis
tiap keluarga, juga kebutuhan keluarga yang mendesak. Harga kulit manis di
daerah Loksado (Kalimantan Selatan) biasanya dalam kisaran Rp. 3.500,- s/d
Rp.3.900,-perkg(tahun2003).
Faktor yang mempengaruhi terhadap harga kulit manis di Desa Lok
Lahung adalah biaya tranportasi. Harga kulit manis mengalami fluktuasi,
pedagang perantara yang menentukan tinggi rendahnya harga kayu manis.
Cara pembayaran kulit manis oleh pedagang pengumpul / perantara secara
tunai,tidakpernahdihutang.
Hal yang mempengaruhi pemanfaatan kayu manis adalah musim,
fluktuasi harga, musim gawi (tugal, panen), kegiatan aruh ( nih sambu, nih
muda, nih halin). Waktu pemanfaatan kulit manis dalam setahun bekisar
antara9bulan.
1.3.3 Damar
Getah damar dihasilkan oleh pohon Shorea Javanica, Agathis
Labillardiari. Masyarakat local di daerah pegunungan Meratus mengenalnya
dengan nama lokal pohon damar dan pohon mampiring. Penyebaran pohon
yang menghasilkan damar berada di hutan alam. Pemanfaatan damar sudah
dilakukan secara turun temurun. Cara pengambilan damar oleh masyarakat
lokal di desa Lok Lahung (Kalimantan Selatan) sejak dahulu hingga sekarang
tidakmengalamiperubahan.
Kehutanan Masyarakat 11
Teori dan Implementasi
26. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
Pengambilan damar ke hutan alam dilakukan satu hari penuh,
mengingat jarak pemukiman dan hutan alam kurang lebih 3 km. Volume
pengumpulan damar setiap kepala keluarga pengumpul damar tidak merata.
Hal ini dipengaruhi oleh kekuatan fisik pencari damar, cepat lambatnya
ketemu dengan pohon damar, banyak sedikitnya damar yang tersedia bawah
pohondamardankeahlianseseorangmencaridamardibawahhumus.
Cara pengambilan damar biasanya dengan mengumpulkan damar yang
kelihatandipermukaantanah,mencaridamardenganpenusukanparang,atau
tongkat keras ke dalam tanah sampai ketemu benda keras (damar) kemudian
dikumpulkan. Pemungutan damar dilakukan sendiri atau berkelompok satu
keluarga. Peralatan yang digunakan yaitu parang, tongkat keras, butah,
karungdanambinan.
Getah damar yang sudah dikumpulkan tidak perlu pengolahan tetapi
hanya dibersihkan dari kotoran tanah. Kemudian dijual ke pedagang
perantara dengan harga yang sudah disepakati sesuai dengan pesanan. Harga
damar berkisar antara Rp. 1.000,- s/d Rp. 1.200,- per Kg (tahun 2003). Cara
pembayaran penjualan damar secara tunai dan bayar dimuka sebagai tanda
ikatankerja. Pesanandamardidesapenghasiltidakmenentudalamsatutahun
kadang-kadang 1 -3 kali pesanan, sehingga pemanfaatan damar tidak bisa
secara kontinyu. Kendala yang dihadapi masyarakat dalam pemanfaatan
damar adalah permintaan damar tidak kontinyu, sehingga pemungutan damar
dilakukanberdasarkanpesanan,danhargadamarsudahdisepakati.
1.3.4 Rotan
Rotan dikenal dengan nama botanis Calamus sp dan masyarakat Banjar
mengenalnya dengan nama daerah paikat. Daerah penyebaran banyak
terdapatdihutan-hutanpegununganMeratus. Jenis-jenispaikatyangtumbuh
adalah kelompok rotan sega (rotan taman), rotan pulut (rotan lilin), rotan
manau dan rotan wilatung. Kelompok rotan tersebut tumbuh di hutan alam
danhutansekunderbercampurdenganpohonkaretdanbuah-buahan.
Pemungutan rotan di hutan dilakukan sehari penuh dan jika di hutan
sekunder hanya setengah sampai satu hari. Hasil yang diperoleh dari
pemungutanyangberasaldarihutansekundertiapkepalakeluargatidaksama
hal ini dipengaruhi oleh banyak sedikitnya rotan yang dimiliki oleh masing-
masing kepala keluarga sedangkan di hutan alam dipengaruhi oleh kekuatan
fisik seseorang, potensi rotan yang didapat, serta jarak tempat pemungutan
danpemukimanpenduduk.
12
27. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
Cara pemungutan rotan dari dulu hingga sekarang tidak mengalami
perubahan. Alat yang digunakan dalam pemungutan rotan adalah parang dan
tali. Biasanya rotan itu sendiri yang dijadikan tali pengikat. Cara pengambilan
rotan cukup sederhana yaitu, pemilihan batang yang dianggap cukup tua,
ditebang ditarik dan dibersihkan durinya, dipotong-potong sesuai dengan
ukuran pesanan kemudian diikat, baru dikeluarkan ke jalan untuk
memudahkan pengangkutan. Pemungutan rotan oleh masyarakat telah
dilakukan telah lama, bahkan secara turun temurun baik untuk keperluan
sendiri (subsisten) maupun diperdagangkan. Peranan rotan bagi masyarakat
setempat adalah untuk dipergunakan sendiri, seperti untuk pembuatan
anyam-anyaman, tali pengikat kulit kayu manis, kulit sintuk, sedangkan
apabilaadapesanan,pemungutanrotankhususuntukdijual.
Penjualan rotan juga dilakukan dalam bentuk rotan bulat dengan harga
per-batang. Harga rotan ditentukan oleh kesepakatan antara pemesan dan
pencarirotan.
Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan rotan adalah permintaan
pasar yang tidak kontinyu, sehingga pemanfaatan rotan secara komersil
apabila ada pesanan dari pihak luar dan harga sudah disepakati oleh kedua
belahpihak.
1.3.5 Kemiri
Kemiri dikenal dengan nama botanis Aleurites Moluccana, masyarakat
desa mengenalnya dengan nama keminting. Penyebaran kemiri hampir
merata di setiap dusun. Pemanfaatan kemiri sudah dilakukan sejak lama,
bahkansecarateruntemurun.
Cara pemungutannya mulai dahulu hingga sekarang tidak mengalami
perubahan. Pemungutan kemiri tidak banyak mengalami kesulitan atau
kendala. Pemungutan kemiri adalah sebagai usaha sampingan, volume
pemanfaatan kemiri tiap kepala keluarga tidak sama, dipengaruhi oleh
kepemilikanpohonkemiriolehsetiapkeluarga.
Cara pengambilan kemiri cukup sederhana yaitu dengan
mengumpulkan biji kemiri yang sudah jatuh di bawah pohonnya kemudian
dibersihkan kulit cangkang luarnya, apabila daging buahnya masih basah
dijemur 1 2 hari kemudian dikumpulkan dalam butah atau karung. Alat yang
digunakan untuk mengumpulkan biji kemiri adalah butah atau karung.
Penjualan kemiri oleh masyarakat tanpa pengolahan yang berarti biasanya
dilakukanpenjemuran1harisajaataudibiarkankeringdibawahpohonnya.
13
28. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
1.3.6 Madu
Madu dihasilkan oleh jenis lebah Apis Dorsata, masyarakat di
Kalimantan Selatan mengenalnya dengan nama wanyi. Pemanfaatan madu
sudah dilakukan secara terun temurun. Cara pemungutan madu mulai dahulu
hingga sekarang tidak mengalami perubahan. Cara pengambilan dengan cara
dipuai(sebutanmasyarakatBanjarKalimantanSelatan).
Urutan kegiatannya adalah (i) memilih waktu bulan gelap, (ii)
menyiapkan kelompok 4-5 orang, (iii) menyiapkan bahan lantakan (tangga),
(iv) menyiapkan peralatan. Apabila keadaanya sudah siap maka ada
pembagian kerja. Apabila sudah tiba malam hari, pembuatan lantakan mulai
dikerjakan. Satu persatu pemanjat naik, sampai di atas ada pembagian kerja,
pekerjaan pemuaian madu di cabang pohon dilakukan bisa lebih dari 2 orang
dengan bekal simbung yang dinyalakan, pemuai madu mulai bekerja simbung
dipuaikan ke sarang lebah dan lebah jatuh, mengejar bara simbung ke bawah
akhirnya tertinggal sarang lebah yang berisi madu dan anak lebah. Sarang
lebah dipetik dimasukan kedalam butah atau ember, kemudian diturunkan
kebawahmemakaitali.
Langkahselanjutnyamemotong/memisahkansaranglebahyangberisi
madu dan kepompong lebah. Sarang madu kemudian diperas di dalam kain
atau dengan tangan untuk usaha pengepresan. Madu hasil pemerasan /
pengepresan ditampung diember, kemudian dilakukan penyaringan dan
dimasukan ke dalam botol atau jerigen. Berikutnya pembagian secara merata
kepada kelompok yang sudah bekerja. Waktu untuk memuai madu antara ½
hari sampai satu malam. Volume yang diperoleh dipengaruhi oleh besar
kecilnyasaranglebahyangada.
Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan madu adalah keberadaan
pemanjat pohon/pemuai madu serta harga madu yang diterima oleh pemuai
madu sangat rendah. Sehingga produksi madu dari dusun ini sangat kecil.
Hal-hal yang mempengaruhi pemungutan madu adalah harga jualnya murah
tidak sesuai dengan waktu kerja dan resiko kerja dari pemuai madu. Panen
maduhanyasatukalidalamsetahun.
Mengingat konsumsi masyarakat terhadap madu cukup tinggi karena
khasiatnya yang cukup besar maka perlu adanya pembinaan dari instansi
terkait untuk meningkatkan nilai tambah seperti dalam hal pengemasan,
memperkuat“brandimage”bahwamaduyangdihasilkanmemangasli.
14
29. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
1.3.7 Kulitkayusintuk
Kayu sintuk dikenal dengan nama botanis Cinamommun sp. Cara
pemungutan sejak dahulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan.
Kendala yang dihadapi pemanfaatan kulit sintuk adalah permintaan yang tidak
kontinyu. Cara pengambilan kulit sintuk sama dengan pengambilan kulit
manis yang membedakan ukurannya saja. Kulit sintuk potong dengan panjang
1meterdanlebarnyasatabah(limajarimanusia).
Kulit sintuk di jual kepada pedagang pengumpul atau perantara dengan
carapembayarantunaidanpembayarandimukasebagaitandaikatankerja.
1.3.8 Bambu
Bambu di kenal dengan nama botanis Bamboosa sp, dimana masyarakat
Banjar menyebutnya paring. Pemanfaatan bambu sudah dilakukan secara
turun temurun. Cara pengambilan bambu cukup sederhana yaitu memilih
bambu yang akan ditebang, penebangan, pembersihan daun dan ranting. Alat
penebangannyacukupmemakaiparang.
Peranan bambu bagi masyarakat desa hutan cukup besar, baik
digunakanuntukkeperluansendirimaupununtukdijual. Penggunaanbambu
untuk keperluan sendiri antara lain untuk perkakas rumah, pembuatan
gudang padi, pondok, anyam-anyaman, pengikat, serta khusus bambu buluh
untuk memasak lamang. Rabung bambu juga dikonsumsi sebagai sayur.
Sedangkan bambu yang untuk dijual masih berupa bambu bulat tanpa
pengolahan.
1.3.9 Buahan-buahan
Buah-buahan hutan yang sering dimanfaatkan masyarakat antara lain
adalah durian (Durio Zibethinus), Langsat (Lanseum sp), Cempedak
(Arthocarpus sp), Kapul(Bacaorea sp) Jengkol (Pithecollbium Jiringa) dan lain-
lain. Pemanfaatannya sudah mulai turun temurun hingga sekarang dan tidak
mengalamiperubahan.
15
31. PERLADANGAN
BERPINDAH
BAB 2
2.1 Pendahuluan
Di Indonesia, bercocok tanam dengan cara berladang merupakan salah
satu bentuk pemanfaatan sumber daya hutan yang bersifat tradisional.
Kegiatan perladangan sampai saat ini masih dilakukan oleh masyarakat
khususnya di luar Pulau Jawa. Penelitian Asysyfa (2008) menunjukkan
masyarakat Suku Dayak Meratus di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, Propinsi Kalimantan Selatan merupakan salah satu kelompok
masyarakat yang masih melakukan kegiatan perladangan. Bahkan dapat
dikatakan hasil usaha tani berladang merupakan sumber utama pemenuhan
kebutuhandasarmasyarakatkhususnyabahanpangan.
Sistem perladangan berpindah ini merupakan titik awal kearifan
tradisional masyarakat di dalam memanfaatkan lahan. Perkembangan sistem
ini tereskalasi sedemikian rupa dari waktu ke waktu yang akhirnya berubah
menjadisuatutradisi. Tradisiinitidakhanyaterfokuspadakegiatanberladang
namun juga pada kegiatan pemanfaatan lahan yang lain seperti kebun rakyat
(Hafizianor,2002).
Warsopranoto (1975) dalam Hafizianor (2002) menyatakan bahwa
perladangan berpindah adalah suatu sistem pertanian secara primitif dengan
cara menebang pohon-pohon hutan dan membakar kayunya (slash and burn)
kemudian lahan yang telah dibuka ditanami dengan jenis-jenis tanaman
pangan sampai kesuburannya menurun. Selanjutnya petani berpindah ke
tempat lain dan mengulang cara bercocok tanam yang sama. Selang beberapa
tahun kemudian antara 8 10 tahun, mereka kembali ke tempat semula dengan
asumsikondisilahansudahkembalipulihkesuburannya.
Kegiatan berladang berpindah mempunyai banyak istilah yang berbeda
di setiap daerah, misalnya istilah taungya di Birma, chema di Srilangka dan
milpa di Amerika (Hardjosoediro, 1975 dalam Hafizianor, 2002). Di
Indonesia,istilahperladanganinidikenaldenganistilahbahumadiKalimantan
Selatan dan Tengah dan Umaq taont dalam bahasa suku Dayak Benuaq di
Kalimantan Timur. Dalam sub pokok bahasan ini akan mencermati
pemahaman tentang perladangan berpindah dan faktor-faktor lainnya yang
berpengaruhterhadapperubahanvegetasihutandiIndonesia.
Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
17
32. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
2.2 KegiatandalamPerladanganBerpindah
Praktek perladangan masyarakat Suku Dayak Meratus terdiri atas
kegiatan pemilihan lahan, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan,
pemanenan dan pemberaan. Kegiatan penyiapan lahan dilakukan dengan cara
menebas semak, menebang pohon dan membakar. Proses pembakaran
mempunyai keuntungan karena akan menghasilkan abu dan arang yang akan
menaikkan pH tanah karena kemasaman menurun yang menyebabkan unsur
P akan meningkat seiring dengan kenaikan pH dan mengurangi kandungan
unsur Al dan Fe terlarut di dalam tanah (Sanchez, 1992).Proses perladangan
mengikuti proses alamiah kesuburan tanah dan bagi masyarakat suku Dayak
Meratus pola perladangan Gilir Balik ini dapat menggambarkan tingkat
suksesisepertipadaGambar2.
Gambar 2. Pola Perladangan Masyarakat Suku Dayak Meratus Loksado
Sumber:YCHI,2005danDataPrimer
Keterangan:
a. BalukarAnum(BelukarMuda)
Merupakan daerah bekas perladangan masyarakat yang telah mereka
tinggalkan dan masih berupa semak belukar (umurnya berkisar 1-7
tahun). Daerah ini pada umumnya belum bisa digunakan untuk bahuma
(berladang). Kalaupun dipaksakan maka hasilnya akan kurang bagus,
sebabtingkatkesuburantanahdidaerahtersebutmasihrendah.
b. Jurungan(HutanMuda)
Adalah kawasan bekas peladangan yang mulai menjadi hutan kembali
(hutan muda), di dalamnya telah tumbuh berbagai jenis pohon dengan
diameter batang kurang lebih 20 cm. Umur hutan tersebut berkisar
antara 7 12 tahun. Kawasan hutan inilah yang nantinya
dibuka/ditebanguntukdijadikanpahumaan.
18
I
II
III
IV
Jurungan
7-12 Tahun
Balukar Anum
> 7 tahun
Kebun Campuran
Pahumaan
1-2 TahunHutan
> 12 tahun
33. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
C. Pahumaan(ArealPerladangan)
Merupakan istilah bagi masyarakat setempat yang artinya suatu daerah
atau kawasan yang telah dibuka untuk dijadikan tempat peladangan, di
kawasantersebutnantinyamerekatanamibanihtugal(bibitpadi)yang
ditumpangsarikan dengan tanaman hortikultura. Setelah banih tugal
(padigogo),lahandibiarkanhinggamenjadihutankembali.
d. Kebun/Perkebunan
Daerah yang telah dihumai, selain dihutankan kembali ada juga yang
dimanfaatkan untuk ditanami jenis tanaman perkebunan seperti karet,
kayu manis, kemiri/keminting dan lain-lain. Apabila tanah tersebut
ditanamitanamanperkebunanmakaotomatisakanmengurangijumlah
lahanketurunanyangdimiliki,jadisemakinbanyaklahanyangditanami
tanaman perkebunan maka akan semakin sedikit luas hutan yang bisa
dibuka untuk dijadikan daerah pahumaan. Hal ini bahkan dapat
menyebabkan suatu keluarga menyewa lahan keluarga lain untuk
bahuma,karena tanahnya banyak ditanami tanaman perkebunan,
sedangkantanahyangtersisamasihberupabalukar anum.
e. DaerahKeramat
Hampir semua perkampungan masyarakat Dayak terdapat suatu
daerah yang dikeramatkan. Daerah-daerah ini biasanya merupakan
tempat pemakaman para leluhur atau merupakan tempat yang
dipercayadidiamiolehuranghalus(makhlukgaib).
f. Kayuan
Hutan-hutan yang tidak pernah dihumai oleh masyarakat biasa disebut
dengankayuandankadangdisebutjugahutanlindung. Kayuaninidapat
ditemuidipuncak-puncakgunungdiwilayahPegununganMeratus.
Daerah peruntukan tersebut bukanlah merupakan suatu ketetapan.
Daerah-daerah tersebut dapat saling bertukar fungsi, artinya bisa saja daerah
yang dulunya adalah perkebunan atau pahumaan kemudian dialihfungsikan
menjadi pemukiman, kecuali untuk daerah hutan keramat dan kayuan yang
tidakbolehdialihfungsikanmenjadidaerahlainnya.
Sekarang masyarakat melakukan pembukaan lahan untuk ladang pada
lahan jurungan yang merupakan lahan bekas ladang yang sudah ditinggalkan
selamakuranglebih7tahunhaldisebabkanolehsemakinsempitnyalahandan
meningkatnyakebutuhanmereka.
19
34. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
Yang menjadi masalah adalah kondisi menyempitnya ruang hidup dan
ruang agraris akibat pertambahan penduduk, bertambahnya tuntutan
masyarakat akan sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan pangan, dan
permasalahan tersebut merupakan permasalahan masyarakat peladang pada
umumnya.
Kegiatan penanaman dilakukan setelah proses penyiapan lahan selesai
dan musim yang dipandang tepat (awal musim penghujan). Jenis tanaman
semusim yang dibudidayakan antara lain padi lahan kering, jagung, kacang
tanah dan sayuran seperti bayam, timun, kacang panjang, terung dan lombok.
Hasil panen tanaman padi umumnya hanya untuk mencukupi kebutuhan
pangan peladang dan keluarganya sendiri, sedangkan hasil lainnya sebagian
untukdijual.
Setelah lahan ladang ditanami selama 1 - 2 kali panen dengan tanaman
semusim dan produktivitasnya mulai menurun, maka lahan tersebut akan
ditinggalkan atau diberakan. Selama proses pemberaan, lahan bekas ladang
akan ditumbuhi vegetasi yang akan menghasilkan bahan organik, sehingga
dapat memulihkan kesuburannya. Setelah bekas ladang tersebut dipandang
subur, maka lahan tersebut akan ditanami kembali. Karena adanya proses
rotasi ini, maka perladangan juga dikenal dengan istilah pertanian gilir-balik.
Prosesinidilakukandalamwaktuberkisarantara7 12tahun.
Adanya proses pembakaran dan pemberaan tersebut, sistem
perladangan dipandang sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan dan
perkembangan pengetahuan masyarakat atau kearifan tradisional. Hal ini
disebabkan lahan di lingkungan hutan tropis pada umumnya memiliki tingkat
kesuburan alami yang relatif rendah karena lebih banyak pengangkutan basa
dan oksidasi tinggi, tanah tua ultisol dan sangat bergantung pada bahan
organikyangdihasilkanolehvegetasipenutupdiatasnya.
35. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
2.3 RitualAdatdalamSistemPerladangan
Kegiatan perladangan yang dilakukan disertai dengan berbagai ritual
adat yang disebut Aruh atau selamatan yang bertujuan untuk memohon
kepadaSangPenciptasupayatanamanpadiyangmerekatanamdapattumbuh
subur sampai tiba waktunya panen. Adapun tahapan kegiatan perladangan
besertaritualadatyangmengiringinyasebagaiberikut:
2.3.1 PenetapanLokasi(Bamimpi/Batanung)
Bagi masyarakat suku Dayak Meratus Loksado penetapan lahan untuk
digunakan sebagai ladang tidak ditentukan begitu saja, namun mereka
meyakinibahwalokasiyangkemudianmenjadilahanbagiladangmerekatelah
ditentukan oleh yang Maha Kuasa, dimana petunjuk itu diperoleh melalui
mimpiyangdatangkepadaTetuha/Baliandimanasebelumnyatelahdilakukan
penandaanpadalahanyangmerekainginkan.
Penandaan dilakukan dengan menancapkan kayu mahang (Macaranga
sp)ataumemberikanciriyanglain,apabilaTetuha/Balianmemperolehmimpi
yang bagus, maka itu berarti lahan tersebut baik dan cocok untuk dijadikan
ladang. Dalam memilih lokasi ladang, masyarakat juga memiliki kriteria yaitu
tanaman bawah bukan berupa alang-alang, tanah berwarna hitam dan
ditumbuhirotan,halinimenandakankesuburantanah.
2.3.2 PembersihanLahandariSemakBelukar(Manabas)
Setelah ditetapkan sebagai lokasi untuk berladang, lahan yang terpilih
tadi dibersihkan dari semak belukar, proses pembersihan ini dilakukan
denganmenggunakanperalatansederhanayaituparang. Kemudiandilakukan
pemotonganpohonbambuyangadaataudisebutBatilah. Pemotonganpohon
bambu menyisakan anakan karena akar bambu bermanfaat untuk kesuburan
tanahdanmampumengikattanahsehinggatidakterkikisolehairhujan.
2.3.3 PenebanganPohon-pohon(Batabang)
Penebangan pohon-pohon besar dilakukan dengan menggunakan
kapak dan parang. Penebangan biasanya menyisakan pohon Enau dan pohon
Birik. Kedua pohon ini memiliki manfaat bagi masyarakat dan bagi kesuburan
tanah.
21
36. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
2.3.4 Pembakaran(Manyalukut)
Setelah dilakukan membersihan dan penebangan, lahan ditinggalkan
selama 7 - 10 hari. Hal ini untuk mengeringkan ranting dan sisa pembersihan
untukkemudiandilakukanpembakaran.
Cara pembakaran yang dilakukan oleh Masyarakat Dayak Meratus
adalah membuat batasan yang bersih dari daun dan ranting selebar 3 - 4 m,
memperhatikan arah anginnya, dimana waktu pembakaran dilakukan
berlawanan dengan arah anginnya. Hal ini untuk menghindari api menjalar ke
daerahlain.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk merubah sisa
pembersihan/tumbuhan menjadi abu sehingga mudah diserap oleh tanah,
dan membantu meningkatkan kesuburan tanah karena abu memiliki
kandungan unsur hara yang bermanfaat. Kegiatan Manyalukut ini dilakukan
secarabergotong-royong.
2.3.5. PenanamanBenihPadi(Manugal)
Sebelumdilakukanpenanaman,terlebihdahuludilakukanpembersihan
sisa-sisa pembakaran. Kemudian dilakukan ritual doa yang disebut
Pamataan/Aruh Mahanyari yang dipimpin oleh seorang Balian
(tetuha/kepala adat) di lokasi penanaman padi/banih. Ritual
Pamataan/Mahanyari dimaksudkan agar padi yang ditanam tumbuh subur
dan terhindar dari serangan hama penyakit. Kegiatan Manugal dilakukan
kurang lebih 2 minggu setelah pembakaran dan dilakukan pada awal musim
hujan.
2.3.6 PemeliharaanTanamandariRumput(Marumput)
Kegiatan marumput ini dilakukan untuk membersihkan tanaman dari
rumput pengganggu yang akan menghambat pertumbuhan tanaman padi,
kegiatan ini biasanya dilakukan oleh kaum ibu. Kegiatan marumput biasanya
dilakukanpadasaatpadiberumursekitar2bulan.
2.3.7. Basambu
Pada saat padi berumur sekitar 4 bulan, atau saat padi mulai
mengeluarkan buah, dilakukan upacara adat yang disebut Aruh Basambu.
22
37. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
Acara ini dimaksudkan supaya padi yang ditanam subur dan masyarakat di
desa diberi kesehatan untuk melakukan tahapan berladang selanjutnya. Acara
ini dilakukan di dalam balai oleh beberapa orang Balian dan dilaksanakan
selama 3 hari 3 malam. Pada acara ini apabila ada yang barjanji (nazar) maka
harusdibayarpadasaatpanen.
2.3.8 Panen(Mangatam)
Kegiatan mangatam disambut dengan sukaria, dilakukan secara
bergotongroyongdanhanyadilakukanolehkaumibu.
Setelah tiba waktu panen, dilakukan ritual Aruh Bawanang Nih Mudah,
acarainimerupakanperwujudanrasasyukurdanterimakasihkepada'Nining
Bhatara Sang Hyang Wanang' atas panen yang diberikan. Ritual ini
dilaksanakandidalamBalaiselama5hari5malam.
Selama masa panen masyarakat memiliki pantangan yang tidak boleh
dilanggar,yaitu:1) SebelumdilaksanakanAruh,padiyangdipanentidakboleh
(pamali) untuk dimakan; 2) Pamali menanam padi sebelum Aruh Bawanang
Nih Halin (selamatan pada saat membersihkan ladang setelah panen); 3)
Selama 6 hari biasanya masyarakat berkumpul di dalam balai dan tidak boleh
menerima tamu untuk masuk ke dalam balai; 4) Apabila ada yang barjanji
(nazar) pada saat Aruh Basambu, maka dia harus menyembelih babi pada
acaraBawanang.
Setelah ritual Bawanang Nih Mudah dilaksanakan lagi Aruh Bawanang
Nih Halin atau ritual terakhir sebelum dilakukan penanaman padi selanjutnya.
Acara ini dilakukan di dalam balai selama 7 hari 7 malam. Hasil padi yang
merekaperolehdigunakanuntukdimakan,dansisanyadisimpansajadidalam
lumbungpadisebagaipersediaan.
2.4 PerladanganBerpindah:KearifanLokalvsDeforestasi
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki areal hutan terluas di
dunia (nomor tiga setelah Brazil dan Zaire) dan memiliki 10% dari total luas
hutan dunia. Studi yang paling berpengaruh dalam bidang deforestasi di
Indonesia mengungkapkan bahwa sekitar satu juta hektar, dari 100 juta hektar
hutanyangada,telahhilangsetiaptahun(WorldBank,1990;FAO,1990).
Pada dasarnya terdapat dua kutub pandangan dalam perdebatan tentang
penyebab deforestasi di Indonesia. Beberapa penulis menyebutkan bahwa
23
38. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
petani kecil (peladang berpindah) dan jumlahnya yang terus bertambah
merupakan penyebab utama deforestasi (FAO, 1990; World Bank, 1990;
Barbieeretal,1993;Fraser,1996).
Penulis lain, meski mengakui peranan yang nyata para petani kecil
terhadap deforestasi, memberikan tekanan lebih tinggi pada pemerintah dan
proyek-proyek pembangunannya serta pada perusahan kayu (Dick, 1991;
WALHI, 1992; Ascher, 1993; Dauvergne, 1994; Porter, 1994; Thiele,1994;
World Bank, 1994; Angelsen, 1995; Dove, 1996; Ross, 1996). Pengamat
kelompok kedua tadi cenderung berargumentasi bahwa pengaruh
perladangan berpindah terhadap vegetasi hutan seperti yang disajikan pada
studi-studiterdahuluadalahterlaludilebihlebihkan.
Sistem perladangan dipandang sebagai aktivitas yang dapat
menimbulkan kerusakan sumber daya alam. Penyiapan lahan dengan cara
menebang pohon dan membakar, akan meningkatkan laju erosi tanah di
lapisantopsoilyangkayaunsurhara.
Curah hujan yang tinggi di lingkungan hutan tropis akan menerpa
langsung ke permukaan tanah akibat hilangnya vegetasi penutup lahan. Hal ini
akanmenurunkanlajuinfiltrasiairkedalamtanahdanmeningkatkanaliranair
permukaan yang dapat mengangkut partikel-partikel tanah lapisan top soil
yangbanyakmengandungunsurhara.
Hilangnya vegetasi penutup lahan juga akan menyebabkan siklus unsur
hara berhenti untuk sementara waktu sampai tanaman yang dibudidayakan
mampu menghasilkan bahan organik. Heterogenitas jenis dan struktur
vertikal tanaman penutup lahan dalam sistem perladangan juga lebih rendah
dibandingkan dengan vegetasi hutan alam, menyebabkan kesuburan lahan
tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama sehingga usaha tani
ladang kurang menguntungkan secara ekonomis. Keterisolasian wilayah desa
tempat tinggal peladang yang jauh dari pusat-pusat kegiatan ekonomi
masyarakat, dapat mengurangi nilai ekonomis produk hasil tani perladangan.
Jarak yang jauh dan sarana-prasarana transportasi yang terbatas,
menyebabkanbiayaangkutdalampemasaranhasil-hasilperladanganmenjadi
mahal.
Beberapa lainnya mengaku bahwa perladangan berpindah tradisional
itu jauh dari hal yang berbahaya bagi hutan, adalah sangat penting bagi
kegiatan masa depan pengelolaan dan konservasi hutan di Indonesia (Zerner,
1992;ColferandDudley,1993;Hasanuddin,1996;deJong,1977).
24
39. Kehutanan Masyarakat
2.4.1KontinumUsahataniDalamHutan
Bagaimana pandangan tentang peranan perladangan berpindah di
hutan-hutan Indonesia itu terpolarisasikan demikian tajamnya? Bagaimana
beberapa orang bersikukuh bahwa perladangan berpindah itu merupakan
penyebab fundamental hilangnya vegetasi hutan; sementara yang lainnya
memandangnya hanya sebagai masalah yang tidak nyata, dan bahkan masih
berpikir bahwa praktek itu merupakan hal yang esensial bagi usaha-usaha
mendatang dalam bidang perlindungan hutan ? Jawaban terhadap munculnya
pelbagai kubu pemikiran dalam debat itu berkenaan dengan perbedaan jenis
sistemusahatani.
Sementara beberapa penulis merujuk pada jenis perladangan
berpindah tertentu, yang lainnya merujuk hal lainnya. Hal itu menjadi
kecenderunganyangmenggiringkearahkerancuandalamperdebatan.
‘Kontinum usahatani dalam hutan' berbasis pada pemilahan konseptual
dari 'perladangan berpindah' (kadang-kadang dipadankan dengan swidden
agriculture atau pertanian tebas-bakar) dan sistem usahatani perambahan
hutan (forest pioneer farming system) yang juga dikenal sebagai truck farming
sepertiyangdiusulkanolehWeinstockdanSunito(1989).
Weinstock dan Sunito (1989) mendefinisikan peladang berpindah
sebagai orang-orang “yang mempraktekkan suatu bentuk pertanian berotasi
dengan perioda pemberaan yang lebih panjang dibanding dengan perioda
budidayanya. Sejauh tidak menghadapi masalah tekanan penduduk dan
kendala lainnya, lahan hanya digunakan satu sampai tiga tahun dan kemudian
diberakan untuk jangka waktu relatif panjang (sampai dengan 20 tahun atau
lebih)”.
Perambahan hutan didefinisikan sebagai orang-orang “yang
menggunakan metoda tebas-bakar untuk membuka vegetasi yang ada dengan
perhatian utama untuk membangun lahan produksi pertanian permanen atau
semi permanen. Meski membudidayakan beberapa jenis tanaman pangan,
budidaya tanaman perdagangan (dan pada umumnya tanaman tahunan)
merupakan perhatian yang utama. Lahan biasanya tidak dibiarakan
melainkan digunakan secara terus-menerus. Lahan itu kemudian
ditinggalkan jika kesuburan tanahnya sudah sama-sekali menurun, dan tidak
ada rencana jangka panjang bagi mereka untuk kembali ke hamparan yang
sama”
Gagasanimplisitdalamkonsep'kontinumusahatanidalamhutan'adalah
suatu pandangan bahwa praktek perladangan itu menjadi kurang lestari jika:
25
Teori dan Implementasi
40. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
(i) Rotasi pemberaannya diperpendek atau dihilangkan; (ii) Tradisi memberi
jalan bagi modernitas; (iii) Tanaman subsistens diganti dengan tanaman
perdagangan;(iv)Modalkerjakeluargadigantikandenganmodaldariluar;dan
(v) Usahatani berdekatan dengan perkotaan. Dalam dunia nyata, tentu saja,
banyaksekalideviasidarikonsepideal'kontinumusahatanidalamhutan'.
Jadi, bisa dijumpai praktek perladangan berpindah yang tradisional
ternyatamembudidayakantanamanperdagangan,danusahataniperambahan
hutan ternyata sama sekali membudidayakan tanaman pangan secara
subsistens. Titik perhatian konsep itu bukan pada pencatatan dan prediksi
kecenderungan aktualnya, melainkan lebih pada upaya untuk mengikat
argumentasi utama yang dikaitkan dengan pelbagai sistem usahtani di dalam
hutan.
Seseorang yang berpandangan bahwa perladangan berpindah itu
merupakan hal yang esensial bagi upaya konservasi dan pengelolaan hutan
pada masa yang akan datang adalah yang menyandarkan argumentasinya pada
praktek tradisional, perladangan berpindah dengan masa pemberaan yang
panjang.
Sebaliknya, seseorang yang berpandangan bahwa perladangan
berpindah itu merupakan ancaman terhadap hutan adalah yang
menyandarkan argumentasinya pada praktek perladangan berpindah dengan
masa pemberaan yang pendek (bagian tengah dari kontinum) atau pada
usahatani perambahan hutan (ujung kanan kontinum). Faktanya, sistem
usahatani perambahan hutan kerap dicampur-adukkan dengan terminologi
perladanan berpindah meski mereka sama sekalil tidak mengenal siklus rotasi
penggunaanlahan.
Mengapa pelbagai pihak yang berdebat itu cenderung mengabaikan
adanya keragaman yang tinggi pada sistem usahatani dan cenderung
menerimapemahamankolektifdariterminologi'perladanganberpindah'?Hal
itu antara lain disebabkan: pandangan setiap pihak cenderung menerima
kecenderungan bahwa perladangan berpindah itu (pemberaan jangka
panjang di satu pihak dan pemberaan jangka pendek atau tanpa siklus rotasi di
pihak lainnya) sebagai bentuk dominan, dan dengan demikian sistem
usahatanilainnyadianggapsebagaitidaksignifikan.
Rezekiah (2006) dan Assyfa (2008) melakukan penelitian terhadap
pelbagai praktek usahatani yang bernama perladangan berpindah di kawasan
pegunungan meratus Kalimantan Selatan. Perladangan yang dilakukan oleh
masyarakat suku Dayak Meratus dikenal dengan sebutan perladangan Gilir
Balik. Kegiatan perladangan gilir balik oleh masyarakat suku Dayak Meratus
26
41. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
Loksado pada dasarnya merupakan kearifan lokal yang lahir dari pengalaman
dan tradisi kehidupan antar generasi, dimana di dalam kegiatan perladangan
gilir balik terdapat unsur yang bersifat religi, magis dan memandang manusia
adalah merupakan bagian dari alam lingkungan itu sendiri, dimana terdapat
roh-rohyangbertugasmenjagakeseimbangannya.
Masyarakat suku Dayak Meratus Loksado memiliki kepercayaan bahwa
untuk terhindar dari bencana dan malapetaka dalam kehidupannya, mereka
wajib untuk menjaga hubungannya dengan alam/hutan, sehingga
pemanfaatannya harus bijaksana dan bertanggung jawab, dimana pada
akhirnyamelahirkansuatubentukkearifanlokalyangterdiridarikepercayaan
danpantangan,etikadanaturan,sertateknikdanteknologi.
Kegiatan perladangan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya
memiliki pola dan pemilihan jenis yang sama. Pola penanaman dilakukan
dengan cara sederhana yang dikenal dengan istilah agroforestri. Dalam
agroforestri ini tanaman padi gunung sebagai tanaman pokok, sedangkan
tanaman semusim berupa kacang tanah, sayur mayur seperti bayam, cabe,
jagung, ketela pohon dan pisang, dan tanaman keras atau tanaman tahunan
berupakaret,kayumanisdankemiri.
Menurut Rafieq (2003) petani peladang berpindah di Pegunungan
Meratus mempunyai kearifan lokal dalam mengantisipasi serangan hama dan
penyakit pada tanaman padi gogo. Banyaknya variasi varietas yang ditanam
oleh orang Meratus di Balai Tamburasak merupakan salah satu upaya mereka
untuk memonitor ketahanan varietas yang mereka tanam. Mereka tidak akan
menanam kembali suatu varietas apabila setelah dua kali menanamnya tidak
memberikanhasilyangmemadai.
Selain itu dalam kebudayaan orang Meratus juga terdapat konsep
"daraman", yaitu kesesuaian diri seseorang dengan sesuatu, termasuk dengan
suatu varietas padi tertentu. Konsep ini membuat petani peladang berpindah
tidak lagi menanam suatu varietas apabila varietas yang mereka tanam tidak
memberikan hasil yang memuaskan dalam 2-3 musim tanam berturut-turut.
Mereka baru menanam kembali varietas yang ditinggalkan apabila varietas
yangbiasanyamerekatanammulaiberkuranghasilnya.
Bersamaan dengan penanaman padi mereka juga menanam berbagai
jenis tanaman lain seperti hanjalai (jelai) dan berbagai jenis sorgum lainnya.
Tanaman ini berfungsi sebagai tanaman pelengkap bagi berbagai jenis hama
yang biasanya menyerang tanaman padi. Prinsip tanaman perangkap ini
sekarang mulai dikembangkan sebagai salah satu solusi untuk mencegah
seranganhamapadapertanianmodern.
27
42. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
Penanaman padi ringan dan halin sebenarnya juga merupakan salah
satujalankeluarbagiorangMeratusdalammengatasikelangkaantenagakerja.
Orang Meratus tidak mengenal buruh upah dalam perladangan berpindah
yang mereka lakukan. Padi ringan yang merupakan varietas berumur pendek
ditanam terlebih dahulu sehingga terdapat selang waktu yang cukup lama
antara panen padi ringan dan padi halin. Selang waktu di antara dua panen ini
dapat mereka gunakan untuk menyadap karel, meramu ubi talas (kamuna)
atau menyelesaikan pembuatan/perbaikan tempat penyimpanan padi
(lampau).
Orang Meratus juga mempunyai teknologi panen dan pasca panen yang
baik sehingga kualitas gabah yang mereka simpan dapat dipertahankan
hingga 6 - 7 tahun. Mereka tidak memanen bulir padinya yang masih basah,
baik karena adanya embun maupun karena hujan. Mereka hanya melakukan
pemanenan padinya apabila tidak ada lagi embun yang melekat di bulir padi
yang dipanen. Begitu pula jika turun hujan, mereka menghentikan kegiatan
memanenhinggahujanredadanbulirgabahyangakandipanentelahkering.
Dalam penyimpanan, mereka membiarkan bulir padi tersimpan dalam
wadah (lulung) yang terbuka dalam lampau sehingga menjamin terjadinya
penguapandanaerasiyangbaiksecaraterusmenerus.Teknologipascapanen
ini sangat menentukan kualitas hasil panen yang disimpan. Masalah ini
sekarang menjadi perdebatan yang panjang ketika Bulog menetapkan standar
kualitasyangtinggidalampembelianpadihasilpanenpetani.
Orang Meratus juga mempunyai keterampilan dan keahlian mengenai
iklim. Mereka dapat memperkirakan awal musim hujan dan kemarau serta
lamanya musim hujan dan kemarau berdasarkan letak bintang, isyarat
binatang dan ciri tumbuh-tumbuhan di hutan. Mereka juga mempunyai
pengetahuan yang luas mengenai kesuburan tanah dan konservasi.
Pengetahuan semacam ini sebenamya sangat penting diketahui oleh para
peneliti sehingga tidak ada lagi pelaksanaan percobaan pada berbagai
penelitian dan pengkajian, justru gagal karena hasilnya tidak dapat dipanen
sebagai akibat perubahan kondisi iklim yang tidak terprediksikan
sebelumnyaolehpenelitidanpengkaji.
Dalam melakukan aktivitas perladangan masyarakat suku Dayak
Meratus Loksado menggunakan peralatan yang sederhana, dan memiliki
aturan-aturan adat yang melarang masyarakat untuk membuka hutan lindung
serta hutan keramat untuk dijadikan ladang karena bagi mereka hutan
keramat merupakan sarana mereka untuk berkomunikasi dengan sang
Pencipta. Apabila ada yang melanggar, mereka berkeyakinan akan kedatangan
bala dan bencana bagi mereka kelak, melarang penggunaan pupuk dan
28
43. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
pembasmi hama karena menurut mereka, bahan-bahan tersebut memiliki
bahanyangnantinyabisamenimbulkanpengaruhnegatifbagikesuburandan
kesehatan, dan melarang (pamali) bagi masyarakat untuk menjual padi hasil
ladang, padi ladang hanya untuk dikonsumsi sendiri dan disimpan sebagai
persediaan.
Yunida (2007) menyebutkan bahwa selain memiliki potensi alam dan
budaya tersebut di atas, masyarakat Kecamatan Loksado memiliki tradisi
yang merupakan budaya turun menurun dari masyarakat/penduduk di dalam
kawasan hutan lindung Loksado yaitu perladangan berpindah. Ada beberapa
alasan yang mereka kemukakan mengapa tradisi tersebut masih
dipertahankan, yaitu : (i) jika tidak melaksanakan berarti keluar dari
agama/kepercayaanmereka(bagiyangmenganutkepercayaanKaharingan);
(ii) efesiensi, jika dilakukan intensifikasi pertanian seperti pemupukan, hasil
produksi tidak seimbang dengan biaya produksi; (iii) kemudahan dalam
bertani. Hal ini berarti bahwa sebagian besar masyarakat di Kecamatan
Loksadosangattergantungterhadaplahan.
Padasisilain,terdapathasiltelaahaninformalyangmemberikan'bobot'
relatif yang sangat beragam tentang pelbagai sistem usahatani. World Bank
(1994), misalnya, menyebutkan bahwa “masyarakat tradisional itu boleh jadi
jauh lebih banyak dari yang diperkirakan semula”. Sebaliknya, peneliti lain
menyebutkan bahwa perladangan berpindah tradisional itu hanya berjumlah
sedikit,danitupuntengahmerubahsistemusahataninyasecaracepat.
Tomich dan van Noordwijk (1995) mengatakan bahwa perladangan
berpindah tradisional telah benar-benar menghilang di Sumatra. Potter
(1993) merujuk studi WWF menunjukkan bahwa sistem tradisional itu telah
mengalami modernisasi, misalnya dengan menggunakan chainsaw.
Kartawinata et al (1989) melakukan pengamatan di beberapa tempat: bahwa
praktek perladangan berpindah di Kalimantan Timur juga membudidayakan
tanaman tahunan yang terpelihara selama sepuluh tahun atau lebih. Riset
terkini lainnya mendeskripsikan contoh-contoh regional dan lokal tentang
perladanganberpindahdanpertanianperambahanhutan(BappedadanPPKD,
1995;DepHut,1995;DepTransdanYDWL,1996;EndogeotecVisicon,1996).
2.4.2PeranPerladanganBerpindahdanDeforestasi
Pada tahun-tahun belakangan ini terdapat empat perkembangan utama
menyangkut peran perladangan berpindah dan deforestasi di Indonesia.
Pertama, menyangkut pergeseran persepsi yang fundamental tentang nilai
penting perladangan berpindah dikaitkan dengan hilangnya vegetasi hutan.
29
44. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
Kedua, kecenderungan untuk menggunakan terminologi 'perladangan
berpindah' yang lebih cermat. Ketiga, menyangkut tentang pengaruh
pembukaan perkebunan rakyat, yang sering berasosiasi dengan perladangan
berpindah, terhadap vegetasi hutan. Keempat, pemahaman baru berkenaan
denganalasan-alasanmemperpendekmasapemberaan.
2.4.2.1 PerubahanPersepsitentangPerladanganBerpindah
Pada tahun 1990, FAO dan World Bank telah mempublikasikan hasil
studi penting yang menyatakan bahwa laju deforestasi di Indonesia kira-kira
mencapai sejuta hektar per tahun. Keduanya mengungkapkan bahwa
perladangan berpindah merupakan penyebab utama kehilangan vegetasi
hutan. Hal itu bersandar pada perhitungan bahwa di Sumatera, Kalimantan,
dan Irian Jaya terdapat praktek perladangan berpindah yang mencapai luasan
27 juta hektar lahan (RePPProT, 1990 dalam World Bank, 1990) dan setiap
tahun mengalami perluasan sebesar 2% (500,000 hektar). Perhitungan itu
menjadikan perladangan berpindah sebagai penyebab terbesar deforestasi di
Indonesia(WorldBank,1990).
Studi selanjutnya cenderung meredakan peran perladangan berpindah
(dengan menyebutkan adanya kecenderungan melebih-lebihkan pengaruh
perladangan berpindah); amat menonjolkan pelaku lain seperti industri kayu;
dan menyebutkan bahwa sifat pemerintah serta pembangunan politik dan
ekonomi di Indonesia sebagai penyebab utama. Studi yang dilakukan Dick
(1991) terutama sangat berpengaruh dalam pengembangan perubahan
persepsi tentang peranan perladangan berpindah dalam deforestasi di
Indonesia.
Dick mengkritik asumsi utama yang digunakan studi World Bank
(1990) dan FAO (1990) dengan menyatakan bahwa, mereka telah
menggunakan istilah 'konversi perkebunan rakyat' atau 'perladangan
berpindah' dan digabung dalam istilah 'perladangan yang menurut
pandangannyasebagaihalyanglebihramah,danistilah'transmigrasispontan'
yang menurut pandangannya sebagi praktek yang kurang lestari dan dinilai
justru sebagai penyumbang terbesar deforestasi. Dick juga menentang
kesahihan estimasi deforestasi yang dikembangan World Bank dan FAO,
karena pernyataan bahwa 27 juta hektar sebagai jejak perladangan berpindah
sebenarnya mencakup pula padang rumput dan belukar alam yang telah ada
sejakwaktuyanglamasertaarealyangtelahdijadikansebagailahanpertanian
dalamwaktuyangpanjang.
30
45. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
Menurut pendapatnya, peladang berpindah tradisional hanya
mencakup 21% dari deforestasi total; estimasi itu pun agaknya masih terlalu
tinggi karena banyak di antara hutan yang dibuka itu merupakan bagian dari
rotasi pada lahan adat yang telah berlangsung cukup lama. Selanjutnya,
ditunjukkannya juga bahwa peladang berpindah itu “tidak memilikiperalatan
yang dibutuhkan untuk membuka seluruh areal itu kecuali untuk membuka
hutanprimeryangmemangsudahterbuka”(Dick,1991).
Perkembangan utama yang positif dalam perdebatan tentang peranan
perladangan berpindah adalah: para analis situasi hutan yang paling
berpengaruh tidak lagi mau menerima pernyataan bahwa perladangan
berpindah itu secara seragam adalah buruk bagi konservasi dan pengelolaan
hutan.Terdapatpengakuanyangmakinmeluastentangsistemusahataniyang
sangatberagamyangsebelumnyadirangkaidalamistilah'perladangan'.
2.4.2.2 PerubahanPenggunaanTerminologi
Dalam tahun-tahun belakangan ini kedua kutub perdebatan dalam
perladangan berpindah telah melakukan penyempurnaan peristilahan dan
kian memfokuskan perhatiannya pada kutub ekstrem pada kontinum sistem
usahatanidalamhutan.
LSM bidang lingkungan, misalnya, memutuskan untuk menggunakan
istilah perladangan gilir-balik (rotational agriculture) sebagai pengganti
istilah perladangan berpindah (shifting cultivation). Dengan cara ini mereka
mencoba kian mempertegas aspek positif pengelolaan sumberdaya
tradisional:perladanganberpindahdenganmasapemberaanyangpanjang.
Mereka menyatakan bahwa kata 'shifting' itu telah menimbulkan
impresi yang keliru bahwa pertanian tradisional dengan masa pemberaan
yang panjang itu tidak memiliki ruang yang terbatas, berpindah-pindah, dan
merambah. Lantas kata 'rotational' lebih disukai, karena hal itu mempertegas
fakta bahwa pertanian tradisional dengan masa pemberaan yang panjang itu
terjadi pada areal yang tegas dan tertentu, dan regenerasi ekologik suatu
sumberdaya melalui siklus rotasi (gilir-balik) itu menyebabkan petani tidak
perluuntukberanjakdarihamparanpemberaantradisionalnya.
Ketika membuat perubahan peristilahan, aktifis lingkungan semakin
sadar terhadap makna konsep 'ruang' yang mereka terapkan pada ujung kiri
kontinumusahatanidalamhutan.
31
46. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
Sayangnya, mereka cenderung mendeskripsikan semua usahatani skala
kecil di luar Jawa sebagai 'pertanian gilir-balik' (Hasanudiin, 1996), dan
kurang menaruh perhatian pada sistem usahatani lainnya dalam kontinum
usahatani dalam hutan. Aktifis lingkungan tampak ketakutan: mengakui
keberadaan sistem usahatani perkebunan rakyat yang tidak lestari itu akan
melemahkan pengakuan bahwa penduduk di seputar hutan itu memiliki
kearifan dalam pengelolaan hutan. Padahal memandang kontinum utuh sistem
usahatani secara patut itu bukannya melemahkan malah akan menguatkan
posisi LSM untuk dua alasan. Pertama, hal itu menunjukkan pengenalan yang
lebih baik terhadap kompleksitas perubahan sosial di pedesaan. Kedua,
menunjukkan perhatian yang patut kepada perambah hutan, yang
merupakan korban dari perubahan sosial yang cepat seperti halnya peladang
berpindah. Pergeseran peristilahan juga terjadi di antara wakil-wakil
pemerintah yang mengambil posisi sebagai 'anti perladangan berpindah'.
Istilah perambahan hutan (forest pioneer farming) kini makin sering
digunakan dibanding dengan perladangan berpindah, yang mengisyaratkan
kecenderungan untuk memberikan tekanan lebih eksplisit pada ujung kanan
kontinum usahatani dalam hutan. Suatu kecenderungan untuk tetap mencela
perambahan hutan dan perladangan berpindah seraya menghindari atau
mengabaikansamasekalipembedaandiantarakeduanya.
Adalah sangat disesalkan bahwa penyikapan pemerintah itu telah gagal
untuk memberikan penghargaan yang patut pada kontribusi positif terhadap
lingkungan yang diberikan oleh pertanian tradisional dengan masa
pemberaan yang panjang. Kegagalan ini dijelaskan dengan pola hubungan
pemerintah dengan pemegang konsesi pengusahaan kayu, yang sering
mengokupasi areal yang sama dengan peladang berpindah tradisional dan
diberirujukanaksespadalahandansumberdayahutan.
2.4.2.3PerkebunanRakyatTanamanKeras
Perkebunan rakyat sering dipahami sebagai bagian dari perladangan
berpindah, karena beberapa peladang berpindah itu memproduksi tanaman
keras. Seharusnya hal itu dipandang sebagai sesuatu yang berbeda, karena
meski sangat berkaitan erat dengan perladangan berpindah, kegiatan
perkebunan rakyat itu cenderung dilakukan pada jenis lahan yang berbeda
sertamenganutlogikaproduksiyangberbedapula(Dove,1993).
Boleh jadi memang terdapat asosiasi yang kuat antara perkebunan
rakyat tanaman keras dengan deforestasi. Chomitz dan Griffiths (1996)
menemukan bahwa tanaman keras, dan biasanya adalah karet, memegang
peran lebih penting dalam hal deforestasi di Indonesia dibanding dengan
32
47. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
perladangan berpindah subsistens. Karet merupakan penyumbang terbesar
sumber pendapatan pertanian negeri ini (US$ 1.5 miliar pada tahun 1994-95)
dan nilai outputnya meningkat hampir dua kali lipat pada periode 1984-1995
(WorldBank,1996).Antaratahun1982sampai1994,produksitanamankeras
meningkat 66% untuk karet, 60% untuk kelapa, dan 55% untuk kopi; dan
untuk semua perkebunan rakyat, tanaman keras merupakan sumber
produksiutamanya(EconomistIntelligenceUnit,1995;WorldBank,1996).
Singkatnya, signifikansi temuan Chomitz dan Griffiths (1996) dalam
konteks diskusi ini adalah bahwa pengaruh perladangan berpindah terhadap
pelenyapan vegetasi hutan pada areal pemberaan adalah kurang signifikan
dibandingdenganarealtanamankeras.
2.4.2.4 AlasanPemendekanMasaPemberaan
Telah lama diketahui bahwa indikator utama penurunan tingkat
kelestarian dalam perladangan berpindah adalah penurunan masa
pemberaannya. Banyak yang beranggapan bahwa peningkatan kepadatan
penduduk merupakan penyebab utama (satu-satunya) pemendekan masa
pemberaanitu.
Fraser (1996), misalnya, berpendapat bahwa peningkatan kepadatan
penduduk dan tekanan yang dihasilkan praktek perladangan berpindah
menyebabkan kehilangan tahunan vegetasi hutan 0.9-1 juta hektar seperti
yang diobservasi oleh FAO. Tapi tidak jelas, dalam hal apa tinginya korelasi
antara peningkatan kepadatan penduduk dengan penurunan vegetasi hutan
bersifat kausalitas dan dalam hal apa bersifat kebetulan. Adalah masih
mungkin adanya variabel lain, yang tidak dipertimbangkan oleh Fraser, yang
boleh jadi memilik korelasi yang tinggi. Itu menyangkut variabel bebas
(perubahan teknologi, distribusi kesejahteraan dan pendapatan, permintaan
terhadap hasil pertanian, pertumbuhan infrastruktur, tingkat pendidikan dan
partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja, dan sebagainya) yang
bolehjadi akan merubah pengaruh populasi terhadap vegetasi hutan. Jika
variabel-variabel itu dipertimbangkan, tampaknya peranan fundamental
peningkatan populasi terhadap kehilangan vegetasi hutan akan menjadi
kurangnyata.
Beberapa di antara variabel tersebut diperhitungkan oleh Angelsen
(1995), dalam studikasusnya di Sumatera menegaskan bahwa peningkatan
populasi bukanlah penyebab utama deforestasi. Angelsen melakukan
pembobotan faktor-faktor yang menyebabkan pembersihan hutan tahunan
dan menemukan hal-hal sebagai berikut: (1) Peningkatan proporsi
33
48. Kehutanan Masyarakat
Teori dan Implementasi
rumahtangga yang membuka perladangan tebas-bakar memberikan
kontribusi 70%; (2) Peningkatan populasi total rumahtangga memberikan
kontribusi 23%; dan (3) Peningkatan ukuran rata-rata perladangan tebas-
bakarmemberikankontribusi7%.
Analisis ini menemukan bahwa pertumbuhan populasi hanya mampu
menerangkan sekitar seperempat dari penghilangan vegetasi hutan.
Pandangan alternatif menyangkut keterkaitan antar variabel dari suatu gugus
data yang sama ternyata dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Mungkin saja terjadi, misalnya, bahwa peningkatan proporsi rumahtangga
yang membuka perladangan tebas-bakar (katakan saja mampu menerangkan
70% kejadian) merupakan suatu tanggapan atas peningkatan kepadatan dan
tekanan penduduk lokal. Yang menarik bahwa hasil survai Angelsen (1995)
menemukan bahwa tigaperempat petani responden percaya bahwa
peningkatanpopulasiakanmenyebabkankekuranganlahan.
Di tengah kontradiksi seperti itu, adalah penting dalam riset mendatang
mengenai alasan pemendekan masa pemberadaan harus mengindarkan
asumsi tentang peranan kepadatan penduduk dalam perubahan vegetasi
hutan. Karena itu adalah masuk akal bahwa fenomena perubahan vegetasi
hutan itu dipengaruhi oleh aneka-ragam faktor, antara lain : (1) kepadatan
penduduk; (2) perubahan proporsi rumahtangga yang terlibat dalam
perladangan berpindah; (3) perubahan areal produksi per rumahtangga; dan
(4) kendalakendala kompetisi penggunaan lahan yang mempengaruhi
perkebunan rakyat (misalnya: konsesi perusahaan kayu, penanaman
pertaniandankehutanan,danpertambangan).
34