Penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusiindra wijaya
dalam tulisan ini saya mencoba menjelaskan mengenai penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusi baik dri cara pelaporannya hingga mekanisme persidangannya.
Penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusiindra wijaya
dalam tulisan ini saya mencoba menjelaskan mengenai penyelesaian sengketa pemilu di mahkamah konstitusi baik dri cara pelaporannya hingga mekanisme persidangannya.
ILMU NEGARA “PROSES TERJADINYA NEGARA SECARA PRIMER dan SEKUNDER”Fenti Anita Sari
ILMU NEGARA “PROSES TERJADINYA NEGARA SECARA PRIMER dan SEKUNDER”
Disusun Oleh :
Yudimas Thariq Pratama (17.02.51.0004)
Teguh Ananto Kusuma (17.02.51.0024)
Rosa Zhal Zhabila (17.02.51.0038)
Fenti Anita Sari (17.02.51.0039)
Febry Nur Anisa P.S.L (17.02.51.0045)
Universitas Stikubank Semarang
ILMU NEGARA “PROSES TERJADINYA NEGARA SECARA PRIMER dan SEKUNDER”Fenti Anita Sari
ILMU NEGARA “PROSES TERJADINYA NEGARA SECARA PRIMER dan SEKUNDER”
Disusun Oleh :
Yudimas Thariq Pratama (17.02.51.0004)
Teguh Ananto Kusuma (17.02.51.0024)
Rosa Zhal Zhabila (17.02.51.0038)
Fenti Anita Sari (17.02.51.0039)
Febry Nur Anisa P.S.L (17.02.51.0045)
Universitas Stikubank Semarang
Jenis Bentuk HAM Menurut Berbagai Sumber (sesuai UUD) Hak dan Kewajiban Warga...zxmuadz
Jenis Bentuk HAM Menurut Berbagai Sumber (sesuai UUD)
Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia yang Terdapat dalam Pembukaan UUD 1995 Setelah Diamademen
Describes basis of Human Rights in Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Article 1 and regulation of human rights in Indonesia Constitution (Undang-Undang Dasar 1945 - UUD 1945) Articcle 28A-J.
1. HAM DALAM KONSTITUSI, UUD 1945 DAN PERUBAHANNYA
Dibandingkan dengan UUDS 1950, ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit,
hanya 7 (tujuh) pasal saja masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34, sedangkan
di dalam UUDS 1950 didapati cukup lengkap pasal-pasal HAM, yaitu sejumlah 35 pasal,
yakni dari pasal 2 sampai dengan pasal 42. Jumlah pasal di dalam UUDS 1950 hampir
sama dengan yang tercantum di dalam Universal Declaration of Human Rights.
Meskipun di dalam UUD 1945 tidak banyak dicantumkan pasal-pasal tentang HAM,
namun kekuarangan-kekurangan tersebut telah dipenuhi dengan lahirnya sejumlah
Undang-undang antara lain UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 8 Tahun 1981 yang
banyak mencantumkan ketentuan tentang HAM. UU No. 14 Tahun 1970 memuat 8 pasal
tentang HAM, sedangkan UU No. 8 Tahun 1981 memuat 40 pasal. Lagipula di dalam
Pembukaan UUD 45 didapati suatu pernyataan yang mencerminkan tekad bangsa
Indonesia untuk menegakkan HAM yang berbunyi, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".
Timbul pertanyaan bagaimana dapat menegakkan HAM kalau di dalam konstitusinya
tidak diatur secara lengkap ? Memang di dalam UUD 1945 ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang HAM relatif terbatas tetapi hal ini tidak akan menghambat penegakan
HAM karena sudah diperlengkapi dengan Undang-undang lain, seperti UU Pokok
Kekuasaan Kehakiman, UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Hak Asasi Manusia,
UU Pengadilan HAM dan peraturan perundangan lainnya.
Sekalipun demikian, telah diusulkan juga untuk membuka kesempatan memasukkan
pasal-pasal HAM ke dalam Konstitusi UUD 1945 melalui amandemen. Upaya
amandemen terhadap UUD 1945 ini telah melalui 2 tahapan usulan. Usulan draft
amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang kedua tanggal 18 Agustus 2000 telah
menambahkan satu bab khusus yaitu Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia mulai pasal 28
A sampai dengan 28 J. Sebagian besar isi perubahan tersebut mengatur mengani hak-hak
sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Adapun Hak Asasi Manusia yang
ditetapkan dalam Bab X A Undang-undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :
• Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A)
• Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang syah (Pasal 28 B ayat 1)
• Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28 B ayat 2)
• Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28 C
ayat 1)
• Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya (Pasal 28 C ayat 1)
• Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif (Pasal
28 C ayat 2)
2. • Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan
perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 28 D ayat 1)
• Hak utnuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja (Pasal 28 D ayat 3)
• Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D
ayat 3)
• Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28 D ayat 4)
• Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya (Pasal
28 E ayat 1)
• Hak memilih pekerjaan (Pasal 28 E ayat 1)
• Hak memilih kewarganegaraan (Pasal 28 E ayat 1)
• Hak memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta
berhak untuk kembali (Pasal 28 E ayat 1)
• Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai
hati nuraninya (Pasal 28 E ayat 2)
• Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal
28 E ayat 3)
• Hak untuk berkomunikasi dan memeperoleh informasi (Pasal 28 F)
• Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda (Pasal 28 G ayat 1)
• Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia (Pasal 28 G ayat 1)
• Hak untuk bebeas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia (Pasal 28 G ayat 2)
• Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 H ayat 1)
• Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 H ayat 1)
• Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan
dan keadilan (Pasal 28 H ayat 2)
• Hak atas jaminan sosial (Pasal 28 H ayat 3)
• Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh
siapapun (Pasal 28 H ayat 4)
• Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) (Pasal
28 I ayat 1)
• Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut (Pasal 28 I ayat 2)
• Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28 I ayat 3)
HAK-HAK ASASI MANUSIA
Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan
berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak
anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi
3. Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI
Nomor XVII/MPR/1998.
Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia terdiri dari :
1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup,
meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk
membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah
atas kehendak yang bebas.
3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak
pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan,
baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui
proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan adil dan benar.
5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama
masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa
diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggaldi wilayah
Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta
perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa
dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan
sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak
mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta
dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara
bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam
jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan
perundang-undangan. Disamping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus
dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat
mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
4. 10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, kelaurga,
masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka
pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1
angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak
Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan
tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM meliputi :
1. kejahatan genosida;
2. kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1. Membunuh anggota kelompok;
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. perbudakan;
5. 4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau
10. kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada
seseoarang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang dari orang
ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga
telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa
seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk
diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan
dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik
(Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
Penghilangan orang secara paksa adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang
menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33
ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
Tubuh dan seksualitas perempuan adalah suatu hak yang independen dan
menjadi hak perempuan sepenuhnya. Moralitas perempuan tidak dapat dinilai
dari sudut pandang laki-laki.
Menurut Perspektif Feminis, pornografi adalah grafis yang secara seksual
menggambarkan perempuan secara eksplisit melalui gambar atau kata dengan aspek
dehumanisasi sebagai objek seks yang menikmati penghinaan, perkosaan atau serangan
seksual lainnya, mereduksi perempuan pada bagian-bagian tubuh tertentu yang menjadi
fokus tontonan.
Nurul Arifin artis sekaligus aktivis perempuan ini menyoroti RUU APP secara jelas
memindahkan ancaman pidana dari pelaku industri pornografi dan seks kepada
perempuan yang mana perempuan justru adalah korban. Telah dibuktikan rekruitmen
perempuan menjadi pekerja seks komersial banyak dilakukan melalui tipu daya dan
kekerasan.
Demikian terungkap dalam semiloka tentang RUU APP yang diselenggarakan Sub
Komisi Hak Sipil & Politik Komnas HAM, di Hotel Grand Istana Rama Kuta ( 27 hingga
28/3).
6. Menurutnya, RUU ini jelas melecehkan dan mendegradasikan perempuan, dan
mendorong perilaku seks yang tidak aman, serta mendorong orang aktif untuk melakukan
hubungan seks dengan tidak bertanggung jawab sseja dini, dan bertentangan dengan
agama. Ia menegaskan RUU APP sangat menyalahkan tubuh perempuan karena
mempunyai bentuk tubuh yang menonjol seperti payudara dan bakong. Tubuh perempuan
sebagai sumber malapetaka sehingga birahi laki-laki harus dilindungi.
“Banyaknya perda yang mengatur tentang perempuan dan kesusilaan, perempuan yang
sering dilecehkan dalam aturan ketenaga kerjaan, yang jelas lebih menguntungkan
perusahaan jasa ketimbang tenaga kerja perempuan. Sementara pada negara di Timur
Tengah yang mengatur cara perempuan berpakaian, justru angka pelecehan seksual dan
kekerasan pada perempuan cukup tinggi, dimana tubuh perempuan acap di politisasi
untuk kepentingan laki-laki,” jelasnya.
Ia pun sangat penyayangkan sedikitnya suara perempun yang menyuarakan aspirasi
mereka untuk menolak RUU APP ini, karena jelas mereka belum membaca dan
mempelajari isi dari RUU APP itu sendiri.
Sementara menurut Koesparmono Irsan anggota Komnas HAM Pornografi adalah isu
gender, maka jelas pornografi erat dengan eliminasi terhadap hak-hak perempuan. Dalam
pronografi perempuan tidak ditempatkan sebagai manusia yang dilindungi hak-haknya.
RUU jelas memeberantas seksualitas perempuan. Secara idilogis dan konseptual ada
perbedaan anatra pornografi dan erotika, namun dalam RUU pemahaman keduanya
dicapur aduk dan tidak jelas.
Komnas Ham perempuan dengan tegas menolak RUU APP karena, penggagas RUU
tidak memiliki dasar filosofis yang kuat, tak menghargai budaya lokal dan tidak faham
budaya Indonesia. Dalih untuk melindungi perempuan dan anak justru tidak kena
sasarannya, konsep yangt idak jelas sehingga menimbulkan interpertasi yang berbeda-
beda.
RUU APP akan berdampak negatif pada aspek sosial budaya hendak dijadikan
monokultur, dalam aspek ekonomi terpuruknya pariwisata yang akan menguragi jumlah
devisa dan pajak, dari aspek hukum UU sebagai dasar polisi untuk bertindak sudah ada
yaitu UU penyiaran, UU Pokok Pers, UU Perfilman dan KUHP, dari segi politik, akan
memunculkan keresahan beberapa daerah dan dapat terjadi disintergrasi.
RUU APP jelas melanggar UUD 1945 , pasal 28 tentang HAM, pasal 29 tentang
beragama dan pasal 32 tentang Kebebasan Ekspersi budaya.
“ Malaysia saja yang negara syariat Islam tidak mempunyai UU APP, tetapi menuangkan
dalam KUHP mereka,” ucapnya retorik.
Dalam sebuah dokumen peratuan tenatng HAM yang di buat oleh kota Menneapolis di
Amerika Serikat, pronografi didefinisikan sebagai, bentuk subordinasi perempuan secara
grafik dan eksplisit bersifat seksual baik emalui gambar atau kata yang mencakup,
perempuan digambarkan secara tidak manusiawi sebagai obyek, barang atau komoditi
seksual, perempuan digambarkan sebagai obyek seksual yang menikmati arsa sakit dan
penghinaan, perempuan yang digambarkan sebagai obyek seksual yang diikat atau
disakiti secara fisik, perempuan yang digamarkan dalam psotur tubuh yang menunjukkan
penundukan seksual, bagian-bagian tubuh perempuan yang dipamerkan sedemkian rupa
sehingga perempuan direduksi menjadi bagian-bagian tubuh tersbut, perempuan yang
digambarkan dalam skenario yang menunjukkan penghinaan, penyiksaan, kotor,
7. kesakitan yang besifat seksual. Definisi ini berdasarkan kajian industri pornografi di
berbagai pelosok dunia.
RUU APP MELANGGAR HAK ASASI MANUSIA
Instrumen pokok hukum nasional di bidang HAM adalah UUD 1945 dan UU No. 39
Tahun 1999. RUU APP jelas sudah melanggar HAM baik HAM sipil, ekonomi, sosial,
dan budaya.
Menurut Pasek Diantha pelanggaran dalam bidang sipil, dalam pasal 4,5,6,9 RUU APP
melarang kebebasan berekpresi di bidang seni, dimana Pasal 12 UU No. 39 tahun 1999,
ada perlindungan hukum pada bakat pribadi seniman.
“Dalam lontar seks seperti Kama Sutra, Cerat Centini, tantra menggambarkan hubungan
seks bernilai luhur suami istri. Buku tersebut sering menjadi sumber pengarang untuk
membuat tulisan, dan karya itu dianggap pornografi,” tandasnya.
Pelanggaran dalam bidang Ekonomi, dipastikan beberapa pihak akan kehilangan
pendapatan yang terkait dengan peyelenggara pameran luksian, pihak pelukis sendiri,
konsumen akan kehilangan kesempatan untuk memiliki lukisan. Seperti tertuang dalam
pada pasal 12,13,14, 22, 23 RUU APP padahal hak itu dijamin dalam padal 27, 28
Deklarasi PBB 1948 dan Pasal13 UU No. 39 HAM.
Pelanggaran HAM dalam bidang sosial, pada Pasal 24, 33 RUU APP telah
menghilangkan hak sosial penyandang dana dan penyedia fasilitas, padahal hak itu
dijamin dalam Pasal 16, Pasal 36 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 HAM.
Pelanggaran HAM Bidang Budaya, dalam Pasal 4,5 dan 6, 25 dan 28 RUU APP.
Dikaitkan dengan kondisi di lapangan maka larangan tersebut antara lain, perempuan
yang berjemur menggunakan bikini di pantai, perempuan menggunakan rok mini dan
celana pendek di jalanan, penari India yang keliatan pusarnya, perempuan yang mandi di
sungai, penari dansa, penari joged, janger, sanghyang dan lainnya. .Jadi dapat
disimpulkan larangan berkesenian di bidang sastra, lukis, tari, audio, dan lainnya, serta
larangan berpakaian.
“Jika dikaitkan dengan HAM Budaya, kesenian merupakan bagian dan kebudayaan.
Sementara larangan menari sensual yang bersifat sakral merupakan pelanggaran
kebebasan beragama dalam melakukan ibadah agama Hindu di Bali yang kerap
menyertakan tari sakral,” tegasnya.
KELEMAHAN RUU APP
Pasek Diantha menjelaskan RUU APP ini memiliki kelemahan antara lain penggunaan
bahasa yang tidak jelas sehingga menimbulkan norma kabur, pengertian pronografi
dimulai dnegan kata substansi dan bukan dengan kata perbuatan seperti yang digunakan
dalam definisi pornoaksi. Substansi bukan merupakan perilaku orang, tetapi perbuatan
memang merupakan perilaku orang sehingga orang yang perbuatan pornoaksi dapat
dihukum. Sementara pornografi tidak bisa karena ia benda bukan perilaku orang.
Demikian juga kata menyebar luaskan tidak digunakan intens tapi diganti dengan kata
menyiarkan.mempertontonkan, menempelkan, memperdagangkan.
Lemah dalam struktur norma, rumusan larangannya ditaruh di depan dan rumusan sanksi
diatur dibelakang.
“Hal ini kurang praktis karena orang tidak bisa segera tahu sanksi dari suatu perbuatan
8. yang dilarang,” ucapnya.
Larangan pronografi dan pornaksi sudah ada dalam KUHP berupa delik kesusilaan,
sehingga tidak perlu lagi RUU APP. Kegagalan membentuk standar umum tingkah laku.
Sebuah UU yang terlalu banyak induksinya ( pengecualian) akan mengalami anomali
karena pendukung induktif akan lebih banyak dari pendukung deduktif UU dan jelek
kualitasnya.
Kegagalan memiliki sifat Publik.
“RUU APP ternyata menabrak nilai-nilai moral lokal di bidang bekesneian, berpakaian
dan bertingkah laku,” ucapnya bersemangat.
Sementara menurut Wayan P. Windia RUU APP mengambil sistem sapu bersih, tanpa
membedakan budaya, sementara Hukum adat di Bali menggunakan parameter runag
waktu, kesucian dan ke%@!#$&akaan dalam keseimbangan buana agung dan buana alit
secara sekala niskala dalam memandang yang mana dikatakan porno dan tidak. Orang
Bali tidak memperdulikan foto, lukisan dan lainnya sepanjang tidak dilakukan di tempat
suci dan diyakini tiak memepengaruhi keseimbangan buana agung dan buana alit. Itu
sebabnya orang Bali menolak RUU APP ini karena dianggap mengabaikan dan menabrak
norma adat dan hukum adat Bali yang dijiwai agama Hindu, sebagai salah satu kasanah
budaya bangsa.
Sedangkan menurut Ida Pedanda Sebali agama yang baik adalah agama yang
berprikemanusiaan. RUU APP jelas sudah tidak menempatkan keaneka ragaman kasanah
budaya bangsa. Pemangkasan pada daya hasil cipta dan kreasi dalam berkesenian dan
berbudaya .
Dari hasil semiloka ini disimpulkan bahwa RUU APP menjadi alat diskriminasi terhadap
keragaman agama dan adat istiadat masyarakat selain menjadi alat kriminalisasi pada
perempuan dan anak. Akhirnya peserta lokakarya menyatakan sikap bahwa Presiden RI
harus meminta DPR untuk mengehntikan pembahasan RUU APP untuk menghindari
diskriminasi pada warga negaranya, DPR lebih memfokuskan diri dan melibatkan
masyarakat dalam perumusan legisasi tersebut melalui Referendum agar DPR tidak lagi
membuat RUU yang tidak relevan, Komnas HAM harus membuktikan diri sebagai
lembaga yang independen HAM dengan mendesak Pemerintah dan DPR untuk
menghentikan pembahasan RUU APP karena sangat bertentangan dengan prinsip dasar
HAM, masyarakat Bali dengan tegas menolak RUU APP dengan segala revisinya tanpa
terkecuali. –ast