Hampir 40% izin pertambangan di 3 provinsi (Maluku, Papua, Papua Barat) masih berstatus non-clean and clear, menandakan masih banyak pelanggaran yang dilakukan pemegang izin. Lebih dari 60.000 hektar hutan rusak akibat kegiatan pertambangan di 3 provinsi antara 2009-2013. Banyak izin diberikan di kawasan hutan lindung dan konservasi tanpa memperhatikan peraturan.
Dokumen tersebut membahas hasil koordinasi dan supervisi KPK terhadap penataan izin usaha pertambangan sektor mineral dan batubara. Temuan utama meliputi masih adanya IUP non CnC, IUP di kawasan hutan lindung dan konservasi, serta perlunya integrasi database izin antara pemerintah pusat dan daerah. Langkah yang diambil antara lain pengumpulan data IUP, penertiban IUP non CnC dan di kawasan larangan, serta revitalisasi database
Sebanyak 129.654,04 Ha kawasan hutan lindung dan konservasi di 3 Provinsi (Bengkulu, Lampung, dan Banten) telah terbebani izin pertambangan.
Kertas posisi ini disusun oleh Koalisi Anti Mafia Tambang, dipersiapkan dalam Rapat Koordinasi dan Supervisi KPK sektor minerba untuk wilayah Bengkulu, Lampung, Banten, 22 April 2015.
Laporan ini merangkum upaya reformasi tata kelola pertambangan batubara yang dilakukan KPK melalui Korsup Minerba sejak 2014-2017. Terdapat peningkatan perizinan yang tidak terkontrol setelah desentralisasi, mengakibatkan izin berlebih. Korsup mendorong penertiban izin, khususnya non-Clean and Clear. Hasilnya, 776 izin dicabut, meliputi 3,56 juta hektar. Izin batubara tersisa 2966 iz
Dokumen tersebut membahas tentang ketidakpastian hukum lahan hutan di Bengkulu, Lampung, dan Banten dimana hanya 8% lahan hutan yang memiliki kepastian hukum. Hal ini menyebabkan konflik tenurial antara masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan karena izin eksploitasi lahan yang diberikan pemerintah melampaui kapasitas lahan. Dokumen juga membahas tentang dominasi lahan oleh 25 perusahaan kelapa sawit milik para ta
Hampir 40% izin pertambangan di 3 provinsi (Maluku, Papua, Papua Barat) masih berstatus non-clean and clear, menandakan masih banyak pelanggaran yang dilakukan pemegang izin. Lebih dari 60.000 hektar hutan rusak akibat kegiatan pertambangan di 3 provinsi antara 2009-2013. Banyak izin diberikan di kawasan hutan lindung dan konservasi tanpa memperhatikan peraturan.
Dokumen tersebut membahas hasil koordinasi dan supervisi KPK terhadap penataan izin usaha pertambangan sektor mineral dan batubara. Temuan utama meliputi masih adanya IUP non CnC, IUP di kawasan hutan lindung dan konservasi, serta perlunya integrasi database izin antara pemerintah pusat dan daerah. Langkah yang diambil antara lain pengumpulan data IUP, penertiban IUP non CnC dan di kawasan larangan, serta revitalisasi database
Sebanyak 129.654,04 Ha kawasan hutan lindung dan konservasi di 3 Provinsi (Bengkulu, Lampung, dan Banten) telah terbebani izin pertambangan.
Kertas posisi ini disusun oleh Koalisi Anti Mafia Tambang, dipersiapkan dalam Rapat Koordinasi dan Supervisi KPK sektor minerba untuk wilayah Bengkulu, Lampung, Banten, 22 April 2015.
Laporan ini merangkum upaya reformasi tata kelola pertambangan batubara yang dilakukan KPK melalui Korsup Minerba sejak 2014-2017. Terdapat peningkatan perizinan yang tidak terkontrol setelah desentralisasi, mengakibatkan izin berlebih. Korsup mendorong penertiban izin, khususnya non-Clean and Clear. Hasilnya, 776 izin dicabut, meliputi 3,56 juta hektar. Izin batubara tersisa 2966 iz
Dokumen tersebut membahas tentang ketidakpastian hukum lahan hutan di Bengkulu, Lampung, dan Banten dimana hanya 8% lahan hutan yang memiliki kepastian hukum. Hal ini menyebabkan konflik tenurial antara masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan karena izin eksploitasi lahan yang diberikan pemerintah melampaui kapasitas lahan. Dokumen juga membahas tentang dominasi lahan oleh 25 perusahaan kelapa sawit milik para ta
Dokumen tersebut membahas upaya peningkatan tata kelola pertambangan batubara di Indonesia melalui kerja sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia (GNP-SDA). Beberapa upaya yang dilakukan antara lain meningkatkan pengawasan perizinan pertambangan, menindaklanjuti temuan audit, dan mendorong penyelesaian permasalahan hukum dalam sektor pertambangan.
1. Mendorong Keterbukaan Perizinan dan Masukan bagi Perda Pertambangan di Provinsi NTB
2. Mengakses Informasi Izin Pertambangan: Aksi Jamhur yang Menginspirasi
3. Tantangan Keterbukaan Beneficial Ownership bagi Negara Anggota OGP
4. Urgensi Kebijakan Satu Data di Provinsi NTB
5. Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Pengawasan Pertambangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Dokumen tersebut membahas tiga masalah utama di Kalimantan Timur yaitu:
1) Dominasi korporasi besar dalam sektor energi fosil seperti pertambangan batubara dan migas menimbulkan konflik lahan dengan masyarakat.
2) Ketergantungan yang tinggi pada energi fosil untuk listrik telah menyebabkan kerusakan lingkungan besar-besaran.
3) Diperlukan diversifikasi sumber energi dan peningkatan rasio elektrifik
The document discusses several topics related to open contracting and mining permits in Indonesia, including:
1) The need for transparency in extractive industry contracts and permits, as mandated by law, but challenges in implementation remain.
2) Efforts to increase community participation and monitoring of mining activities through the use of permitting documents.
3) Citizen journalism as an alternative media for communities to voice concerns not accommodated by mainstream media.
Pemerintah Daerah memainkan peran strategis dalam perbaikan tata kelola batubara di daerah dengan:
1. Melaksanakan peraturan perundang-undangan dan menyusun Perda terkait pengelolaan pertambangan batubara
2. Mengelola seluruh aspek pertambangan batubara mulai dari perizinan, penambangan, pengolahan, pengangkutan, PNBP hingga pasca tambang
3. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap I
Materi ini disampaikan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM dalam Diskusi "Penataan Izin Batubara dalam Korsup Batubara" (8/6).
Koalisi Anti Mafia Tambang mengapresiasi inisiatif KPK untuk melakukan pengawasan di sektor pertambangan melalui kegiatan Korsup. Namun, puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di 4 provinsi telah dibebani izin pertambangan dan melanggar peraturan. Koalisi Anti Mafia Tambang mengumpulkan data untuk disampaikan kepada KPK guna memperkuat pengawasan dan penegakan hukum di sektor pertambangan.
Koalisi Anti Mafia Tambang mengapresiasi inisiatif yang dikembangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dan pencegahan korupsi di sektor Minerba melalui skema kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) di bidang Mineral dan Batubara (Minerba). Koalisi Anti Mafia Tambang merasa penting untuk berpartisipasi dalam implementasi korsup Minerba ini melalui kegiatan pengawasan dan pengumpulan data-data di lapangan untuk disampaikan kepada KPK. Dukungan masyarakat sipil ini bertujuan untuk memperkuat kerja pengawasan dan penegakan hukum yang masih lemah di internal pemerintah daerah dan pusat. Korsup KPK Tahap-1 di 12 provinsi telah dimulai sejak awal tahun 2014, sedangkan Korsup KPK Tahap-2 untuk 19 Provinsi telah dimulai sejak Desember 2014 termasuk melalui koordinasi dan pemantauan bersama kepala-kepala daerah di 3 (tiga) provinsi yakni Provinsi Sulawesi Barat, Gorontalo dan Sulawesi Utara pada 8 Juni 2015. Kertas posisi ini disusun sebagai hasil pengawasan koalisi masyarakat sipil di 3 (tiga) provinsi, terutama yang menyangkut aspek ketaatan ijin, penerimaan negara, serta aspek sosial dan lingkungan.
Dokumen tersebut membahas potensi kerugian negara dari iuran land rent di sektor pertambangan di dua provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebesar Rp64,47 miliar untuk periode 2010-2013. Dokumen ini juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan KPK untuk menghentikan pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi serta mendesak pemerintah untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat sip
Koalisi Anti Mafia Huta mengapresiasi inisiatif yang dikembangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dan pencegahan korupsi di sektor kehutanan dan perkebunan melalui skema kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup). Koalisi menilai pentingnya kegiatan tersebut untuk menjadi ruang bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam implementasi korsup Kehutanan ini melalui kegiatan pengawasan dan pengumpulan data-data di lapangan untuk disampaikan kepada KPK. Dukungan masyarakat sipil ini bertujuan untuk memperkuat kerja pengawasan
dan penegakan hukum yang masih lemah di internal pemerintah daerah dan pusat. Kertas posisi ini disusun sebagai hasil pengawasan koalisi masyarakat sipil di 3 (tiga) provinsi, terutama yang menyangkut aspek ketaatan ijin, penerimaan negara, serta aspek sosial dan lingkungan.
Dokumen tersebut membahas beberapa isu strategis dan peraturan subsektor mineral dan batubara, termasuk penataan IUP non CNC, renegosiasi KK dan PKP2B, Rencana Kegiatan Anggaran Biaya (RKAB), jaminan reklamasi, penerimaan negara, integrasi inspektur tambang, kebijakan pertambangan, peningkatan nilai tambah, revisi UU Minerba, dan pelayanan RPIIT."
Tuntutan untuk mengusut pelanggaran HAM di Dusun Suluk Bongkal, membatalkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atas kasus kejahatan kehutanan, dan menutup perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan dan merampas tanah rakyat di Riau. Dokumen ini berisi laporan insiden penggusuran di Suluk Bongkal tahun 2008 dan permintaan untuk menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran hukum terkait kehutanan
Dokumen tersebut membahas peran pelaku usaha dalam perbaikan tata kelola batubara di Indonesia, tantangan yang dihadapi seperti volatilitas harga dan ketidakpastian hukum, serta inisiatif untuk meningkatkan tata kelola seperti EITI dan GRI. Hendra Sinadia dari APBI menjelaskan prinsip-prinsip tata kelola pertambangan yang baik dan karakteristik industri pertambangan.
1. Pemerintah melakukan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam untuk menertibkan ijin pertambangan dan kehutanan serta meningkatkan penerimaan negara. Gerakan ini telah menyelamatkan lebih dari Rp10 triliun.
2. Pemerintah menerbitkan peraturan baru tentang Perijinan Terpadu Satu Pintu di BKPM untuk mereformasi perijinan menjadi lebih efisien.
Publikasi dokumen kontrak dan perizinan di sektor industri ekstraktif, khususnya minyak dan gas bumi serta tambang, penting untuk melacak aliran pendapatan negara, melindungi keadilan sosial dan lingkungan, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya alam. Publik berhak mengetahui kontrak dan perizinan tersebut karena melibatkan sumber daya publik. Keterbukaan dokumen juga dapat men
Dokumen tersebut membahas upaya peningkatan tata kelola pertambangan batubara di Indonesia melalui kerja sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia (GNP-SDA). Beberapa upaya yang dilakukan antara lain meningkatkan pengawasan perizinan pertambangan, menindaklanjuti temuan audit, dan mendorong penyelesaian permasalahan hukum dalam sektor pertambangan.
1. Mendorong Keterbukaan Perizinan dan Masukan bagi Perda Pertambangan di Provinsi NTB
2. Mengakses Informasi Izin Pertambangan: Aksi Jamhur yang Menginspirasi
3. Tantangan Keterbukaan Beneficial Ownership bagi Negara Anggota OGP
4. Urgensi Kebijakan Satu Data di Provinsi NTB
5. Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Pengawasan Pertambangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Dokumen tersebut membahas tiga masalah utama di Kalimantan Timur yaitu:
1) Dominasi korporasi besar dalam sektor energi fosil seperti pertambangan batubara dan migas menimbulkan konflik lahan dengan masyarakat.
2) Ketergantungan yang tinggi pada energi fosil untuk listrik telah menyebabkan kerusakan lingkungan besar-besaran.
3) Diperlukan diversifikasi sumber energi dan peningkatan rasio elektrifik
The document discusses several topics related to open contracting and mining permits in Indonesia, including:
1) The need for transparency in extractive industry contracts and permits, as mandated by law, but challenges in implementation remain.
2) Efforts to increase community participation and monitoring of mining activities through the use of permitting documents.
3) Citizen journalism as an alternative media for communities to voice concerns not accommodated by mainstream media.
Pemerintah Daerah memainkan peran strategis dalam perbaikan tata kelola batubara di daerah dengan:
1. Melaksanakan peraturan perundang-undangan dan menyusun Perda terkait pengelolaan pertambangan batubara
2. Mengelola seluruh aspek pertambangan batubara mulai dari perizinan, penambangan, pengolahan, pengangkutan, PNBP hingga pasca tambang
3. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap I
Materi ini disampaikan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM dalam Diskusi "Penataan Izin Batubara dalam Korsup Batubara" (8/6).
Koalisi Anti Mafia Tambang mengapresiasi inisiatif KPK untuk melakukan pengawasan di sektor pertambangan melalui kegiatan Korsup. Namun, puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di 4 provinsi telah dibebani izin pertambangan dan melanggar peraturan. Koalisi Anti Mafia Tambang mengumpulkan data untuk disampaikan kepada KPK guna memperkuat pengawasan dan penegakan hukum di sektor pertambangan.
Koalisi Anti Mafia Tambang mengapresiasi inisiatif yang dikembangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dan pencegahan korupsi di sektor Minerba melalui skema kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) di bidang Mineral dan Batubara (Minerba). Koalisi Anti Mafia Tambang merasa penting untuk berpartisipasi dalam implementasi korsup Minerba ini melalui kegiatan pengawasan dan pengumpulan data-data di lapangan untuk disampaikan kepada KPK. Dukungan masyarakat sipil ini bertujuan untuk memperkuat kerja pengawasan dan penegakan hukum yang masih lemah di internal pemerintah daerah dan pusat. Korsup KPK Tahap-1 di 12 provinsi telah dimulai sejak awal tahun 2014, sedangkan Korsup KPK Tahap-2 untuk 19 Provinsi telah dimulai sejak Desember 2014 termasuk melalui koordinasi dan pemantauan bersama kepala-kepala daerah di 3 (tiga) provinsi yakni Provinsi Sulawesi Barat, Gorontalo dan Sulawesi Utara pada 8 Juni 2015. Kertas posisi ini disusun sebagai hasil pengawasan koalisi masyarakat sipil di 3 (tiga) provinsi, terutama yang menyangkut aspek ketaatan ijin, penerimaan negara, serta aspek sosial dan lingkungan.
Dokumen tersebut membahas potensi kerugian negara dari iuran land rent di sektor pertambangan di dua provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebesar Rp64,47 miliar untuk periode 2010-2013. Dokumen ini juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan KPK untuk menghentikan pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi serta mendesak pemerintah untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat sip
Koalisi Anti Mafia Huta mengapresiasi inisiatif yang dikembangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dan pencegahan korupsi di sektor kehutanan dan perkebunan melalui skema kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup). Koalisi menilai pentingnya kegiatan tersebut untuk menjadi ruang bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam implementasi korsup Kehutanan ini melalui kegiatan pengawasan dan pengumpulan data-data di lapangan untuk disampaikan kepada KPK. Dukungan masyarakat sipil ini bertujuan untuk memperkuat kerja pengawasan
dan penegakan hukum yang masih lemah di internal pemerintah daerah dan pusat. Kertas posisi ini disusun sebagai hasil pengawasan koalisi masyarakat sipil di 3 (tiga) provinsi, terutama yang menyangkut aspek ketaatan ijin, penerimaan negara, serta aspek sosial dan lingkungan.
Dokumen tersebut membahas beberapa isu strategis dan peraturan subsektor mineral dan batubara, termasuk penataan IUP non CNC, renegosiasi KK dan PKP2B, Rencana Kegiatan Anggaran Biaya (RKAB), jaminan reklamasi, penerimaan negara, integrasi inspektur tambang, kebijakan pertambangan, peningkatan nilai tambah, revisi UU Minerba, dan pelayanan RPIIT."
Tuntutan untuk mengusut pelanggaran HAM di Dusun Suluk Bongkal, membatalkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atas kasus kejahatan kehutanan, dan menutup perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan dan merampas tanah rakyat di Riau. Dokumen ini berisi laporan insiden penggusuran di Suluk Bongkal tahun 2008 dan permintaan untuk menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran hukum terkait kehutanan
Dokumen tersebut membahas peran pelaku usaha dalam perbaikan tata kelola batubara di Indonesia, tantangan yang dihadapi seperti volatilitas harga dan ketidakpastian hukum, serta inisiatif untuk meningkatkan tata kelola seperti EITI dan GRI. Hendra Sinadia dari APBI menjelaskan prinsip-prinsip tata kelola pertambangan yang baik dan karakteristik industri pertambangan.
1. Pemerintah melakukan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam untuk menertibkan ijin pertambangan dan kehutanan serta meningkatkan penerimaan negara. Gerakan ini telah menyelamatkan lebih dari Rp10 triliun.
2. Pemerintah menerbitkan peraturan baru tentang Perijinan Terpadu Satu Pintu di BKPM untuk mereformasi perijinan menjadi lebih efisien.
Publikasi dokumen kontrak dan perizinan di sektor industri ekstraktif, khususnya minyak dan gas bumi serta tambang, penting untuk melacak aliran pendapatan negara, melindungi keadilan sosial dan lingkungan, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya alam. Publik berhak mengetahui kontrak dan perizinan tersebut karena melibatkan sumber daya publik. Keterbukaan dokumen juga dapat men
Dokumen ini berisi rekomendasi dari Publish What You Pay Indonesia dan perwakilan masyarakat sipil di Tim Pelaksana EITI Indonesia kepada EITI Indonesia untuk memilih Opsi Nomor 1 dalam perbaikan Standar EITI terkait transparansi kontrak. Opsi 1 mensyaratkan keterbukaan semua kontrak industri ekstraktif di situs pemerintah termasuk persyaratan kontrak. Rekomendasi ini didasarkan pada UU Keterbukaan Informasi Publik, kepentingan publik dalam kont
Siaran Pers PWYP Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2012 bertajuk "Kegiatan Pertambangan Harus Transparan dan Akuntabel" menyikapi banyaknya persoalan tambang yang terjadi di Pulau Bangka
Dokumen tersebut membahas tentang catatan akhir tahun Publish What You Pay Indonesia mengenai tata kelola sumberdaya ekstraktif migas dan pertambangan di Indonesia pada tahun 2013. Pertama, Indonesia telah melaksanakan inisiatif EITI untuk transparansi penerimaan negara, namun masih terdapat ketidaksesuaian data antara laporan pemerintah dan perusahaan. Kedua, masih lemahnya partisipasi perusahaan pertambangan dalam pelaporan dan pengelola
Policy Brief yang disusun oleh Koalisi Anti Mafia Sumber Daya Alam ini memuat 7 rekomendasi yang diusung oleh masyarakat sipil pemerhati tambang. Berikut rekomendasinya:
1. Presiden Jokowi segera membentuk satuan tugas (satgas) pemberantasan kejahatan pertambangan
2. Gubenur dan Kementerian ESDM segera mencabut IUP yang berstatus Non CnC sasesuai dengan tenggat waktu 2 Januari 2016 dan segera melakukan evaluasi kembali terhadap seluruh IUP yang berstatus CnC.
3. KLHK dan KPK segera melakukan penegakan hukum terhadap IUP CnC maupun Non CnC yang tidak memiliki IPPKH
4. KLHK dan Kementerian ESDM segera melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan tambang pemegang IUP yang menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang signifikan
dan menyebabkan hilangnya nyawa.
5. KPK segera melakukan penegakan hukum terhadap korporasi pemegang IUP berdasarkan temuan Korsup Minerba yang tidak ditindaklanjuti baik aspek kewilayahan, lingkungan dan keuangan
6. Kapolri dan Jaksa Agung memerintahkan jajarannya untuk memprioritaskan dan memastikan penyelesaian kasus-kasus lubang tambang dan korupsi sektor pertambangan.
7. Terkait Kasus Lubang Tambang di Kaltim, Gubernur, Bupati/Walikota dan Kapolda Kaltim segera menindaklanjuti hasil Rekomendasi dari Komnas HAM
Dokumen tersebut membahas capaian program SETAPAK dan mitra-mitranya dalam memperbaiki tata kelola hutan dan lahan di Indonesia melalui peningkatan transparansi, penegakan hukum, dan advokasi anti-korupsi."
Materi Presentasi Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia
Disampaikan dalam "Sosialisasi EITI Untuk Pemerintah Daerah" pada tanggal 22 Mei 2014 di Hotel Morrissey Jakarta.
Dokumen tersebut membahas tentang ketertutupan informasi di sektor sumber daya alam dan tambang di Sulawesi Tenggara yang menyebabkan potensi kebocoran penerimaan negara. Studi kasus menunjukkan bahwa lebih dari 80% permintaan informasi publik tidak dipenuhi oleh badan publik di daerah tersebut. Hal ini diduga menyebabkan potensi kebocoran pembayaran iuran tambang sebesar Rp15 miliar. Koalisi masyarakat sipil
1. Pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia masih berjalan lambat meskipun sudah berlaku selama 5 tahun. Banyak badan publik belum sepenuhnya mematuhi ketentuan yang diatur dalam UU tersebut. 2. Informasi di sektor lingkungan hidup dan sumber daya alam sangat sulit diakses oleh masyarakat. Hanya sedikit dokumen yang diberikan oleh badan publik meskipun banyak yang diminta. 3. Ketidaktransparanan di
Dokumen ini membahas tentang upaya keterbukaan pemerintah Indonesia melalui kebijakan Satu Data, termasuk implementasinya di sektor kelautan dan perikanan, sumber daya energi dan mineral, serta pengalaman seorang wanita yang dulu terlibat pertambangan ilegal namun kini mengawasi aktivitas pertambangan.
Dokumen tersebut membahas kerangka hukum keterbukaan kontrak di sektor migas dan minerba Indonesia. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa Pasal 33 UUD 1945 memberikan mandat penguasaan negara atas sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, yang mewajibkan keterbukaan informasi pengelolaan sumber daya alam termasuk kontraknya. UU KIP juga mewajibkan keterbukaan dokumen publik seperti kontrak, me
Analisis Putusan Komisi Informasi Pusat Mengimplementasikan Keterbukaan Kontr...Lestari Moerdijat
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008 yang memberikan hak kepada masyarakat untuk mengakses informasi yang dikelola pemerintah. UU KIP juga mewajibkan pemerintah untuk membuka berbagai informasi yang dimilikinya.
Proposal ini mengajukan studi pembentukan Unit Pengelola Irigasi (UPI) di Daerah Irigasi Batang Anai dengan pendekatan pengelolaan pengetahuan (Knowledge Management/KM). Tujuannya adalah membentuk UPI di beberapa daerah irigasi dengan melakukan penelusuran data, proses KM, dan hubungan kerja antar institusi pengelola irigasi. Hasilnya akan digunakan untuk menyusun payung hukum pembentukan UPI dan melakuk
Laporan riset studi transparansi spasial industri ekstraktif di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar)yang dilakukan oleh Swandiri Institute bekerja sama dengan Publish What You Pay Indonesia.
Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas penerimaan dan belanja di sektor sumber daya ekstraktif melalui penggunaan open data. Open data digunakan untuk memperbaiki tata kelola sektor ekstraktif dengan cara meningkatkan kapasitas masyarakat sipil, memantau aktivitas industri, dan mempengaruhi kebijakan publik.
Dokumen tersebut membahas tentang perkembangan standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) khususnya mengenai keterbukaan kontrak dan izin di sektor sumber daya alam. Standar EITI semakin mengharuskan negara anggota untuk mempublikasikan kontrak dan izin yang diberikan, meskipun sebelumnya hanya bersifat opsional. Indonesia sebagai negara pelaksana EITI belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban tersebut.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Pertambangan yang mewajibkan pemerintah untuk mempublikasikan data dan informasi pertambangan serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan pertambangan. Meski merupakan langkah positif, masih diperlukan aturan turunan untuk memperjelas pelaksanaannya.
Dokumen tersebut membahas sengketa informasi publik antara Yayasan FWI dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai permintaan informasi terkait pengelolaan hutan. FWI mengajukan permohonan informasi namun ditolak dengan berbagai alasan. FWI kemudian mengajukan gugatan ke Komisi Informasi Pusat yang memutuskan bahwa informasi tersebut bersifat terbuka. Dokumen ini berisi pembelajaran dari kasus tersebut
Similar to Transparansi Tata Kelola Pertambangan (20)
1. Nyawiji Nandur Kanggo Lestarine Kendeng
2. Sedulur Kendeng Social Audit Training: Increasing Community Participation in Development Oversight
3. Sedulur Kendeng Social Audit Training: Increasing Community Participation in Development Oversight
4. Self-led influencing: Shifting the Empowerment Narrative
5. Moeldoko and JMPPK Discuss Kendeng Mountain Study
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Aliansi masyarakat sipil menyampaikan masukan untuk RPJMD Jawa Tengah agar lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan dengan memperhatikan rekomendasi KLHS terkait Pegunungan Kendeng.
2. Kegiatan lingkar belajar advokasi kebijakan dan temu kartini Kendeng membahas keterlibatan perempuan dalam perencanaan pembangunan agar lebih berdaya
1. The Civil Society Alliance: "The RPJMD of Central Java Province Must Be Inclusive, Fair and Sustainable"
2. Community Training on Policy Advocacy and Kendeng Women Gathering
3. Kendeng Community Recites Al-Quran for the Mother Nature
4. “Letter of Super Soko Semar (SUPERSEMAR)” KLHS Orders President, Must Be Done !!!
5. These Kartini from Central Java Will Continue to Speak Out for the Sustainability of the Earth
6. JMPPK Builds Command Post to Monitor Kendeng Mountain Mining Violations
Omnibus Law dianggap memiliki implikasi yang serius terhadap penataan ruang dan lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan RUU Cipta Kerja melemahkan proteksi lingkungan demi kepentingan investasi, dan menghilangkan mekanisme pengawasan seperti Komisi Penilai Amdal. Stranas PK berupaya meningkatkan tata kelola data perizinan sektor sumber daya alam melalui Kebijakan Satu Peta, namun menemui kendala karena ketersed
Compared with other sources of energy, oil and gas continue to become primary sources of energy in Indonesia with the highest level of consumption. Apart from propping up almost one third of national revenue, oil and gas also significantly contribute to create job opportunities, supply the need of fuel, petrochemical industry which in turn effectively enhances investment and economy.
As a natural resource contained within the bowel of the earth, the constitution of the Republic of Indonesia asserts that the ownership and enterpreneurship of national oil and gas industry is controlled by the state and immensely benefitted to the welfare of people accordingly (constitution 1945, article 33). Furthermore, it is asserted through the law 22/2001 on oil and gas that the control by the state is administered by the government as the holder of mining right. It means, the government is entitled with authority to administer the exploration and exploitation of oil and gas throughout Indonesian territory.
Dokumen tersebut membahas tentang opsi-opsi yang diajukan Dewan EITI terkait keterbukaan kontrak antara pemerintah dan perusahaan ekstraktif dalam standar EITI di masa depan, yaitu apakah kontrak tersebut harus dibuka secara umum, dibuka dengan pengecualian tertentu, atau hanya sebagai dorongan tanpa kewajiban."
Keterbukaan informasi publik merupakan hak asasi setiap warga negara yang mendukung pengembangan diri dan kehidupan seseorang, baik secara pribadi/individu maupun dalam hubungan sosialnya, serta dalam menjalankan peran kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik dan bertanggung jawab. Keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri dari negara demokratis, dan menjadiprasyarat dalam partisipasi, transparansi, dan akuntablitas dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Keterbukaan informasi publik dapat mendorong kemajuan sebuah bangsa, karena memungkinkan adanya kontrol publik serta mendorong terciptanya check and balances.
This document discusses contract transparency in the extractive industries according to the 2019 EITI Standard. It provides background on EITI and how contract transparency has developed over time in the EITI standards from 2013 to 2019. The 2019 standard now requires EITI implementing countries, including Indonesia, to publish all contracts issued after 2021 and encourages publishing existing contracts. However, Indonesia has yet to fully comply. The document outlines the roles EITI can play in facilitating greater contract transparency at the national level through discussion, publishing contracts, and influencing regulatory changes.
Openness of public information is a human right of every citizen who supports self- development and the life of a person, both personally / individually and in social relations, and in carrying out the role of national and state life in a good and responsible manner. Openness of public information is one of the characteristics of a democratic country, and is a prerequisite for participation, transparency and accountability in good governance. Openness of public information can encourage the progress of a nation, because it allows for public control and encourages the creation of checks and balances
The principle of openness in running the government is needed to realize a participatory government where people can actively participate in overseeing policy implementation. To support this, the Government of Indonesia has committed to use the principle of public information disclosure, which is shown through Law No. 14/2008. Moreover, Indonesia had participated in Open Government Partnership (OGP) which has 78-member countries which Indonesia is one of the pioneers of OGP, as well as Presidential Decree No.39/2019 on Satu Data (One Data) Indonesia.
The government of West Nusa Tenggara Province issued a Local Government Regulation on Mining Governance in September 2019. In this newly-issued regulation, there is a specific chapter on data and information systems of the mining sector and also provisions that guarantee public participation to monitor mining activities in the province. This is an answer to the problems faced by the people living near mining areas in West Nusa Tenggara Province.
West Nusa Tenggara Province (NTB) is one of the provinces with abundant metal and non-metal mineral resources and spread in almost all districts / cities. Now, there are 261 Mining Business Licenses (IUP) in NTB, consisting of 27 metal mineral IUPs and 234 rock IUPs (NTB ESDM Service, 2019). From 27 metal mineral IUPs, in fact there are 11 IUPs covering an area of 35,519 ha that are indicated to be in protected and conservation forest areas (DG Minerba, MEMR, 2017). Whereas based on Law number 41 of 1999 concerning Forestry, the two regions may not be used for mining activities.
The need for contract (and licensing documents) openness in the extractive industries is currently getting stronger, along with public demands for a transparent and accountable extractive industry governance. Some cases have shown a good precedent of contract openness in the said sector in Indonesia
Kajian ini menemukan bahwa selama masa darurat Covid-19 di NTB, akses informasi publik terkait penanganan Covid-19 sangat terbatas bagi masyarakat pedesaan, terutama kelompok perempuan dan rumah tangga berpenghasilan rendah. Informasi yang seharusnya tersedia tidak merata, bahkan ada masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui informasi terkait Covid-19. Meskipun demikian, layanan informasi pemerintah
Countries around the world collect taxes from their people in various forms, income tax, vehicle tax, land-building tax, fees from extraction of natural resources (royalties) and so forth. John Locke declared tax payments as reciprocity for meeting the people’s needs to get protection from the state.1 Such protection can be interpreted as guarantee and fulfillment of basic rights such as the right to life, health, ownership of property, and education.2 Richard Murphy emphasized the principle of protection, countries that collect taxes must protect their citizens without discrimination and provide public goods.3
Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia expressly states that all-natural resources in the land of Indonesia are controlled by the state and used to realize the prosperity of the people.1 Oil and gas, as well as minerals and coal are some of Indonesia’s natural wealth, which must be managed to achieve the objectives of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Considering that oil and gas, mineral and coal are classified as high risk, high technology, and high cost industries, the management needs to be done in collaboration with various parties who have capital and competitive technology. Most of the cooperation in oil and gas, mineral and coal management is carried out based on the contract system. In the Indonesian context, the contract system is widely used for upstream sector activities that include exploration and exploitation/production of oil and gas, and mineral and coal, while for downstream activities it is implemented through the granting of a business license.2 Since 2009, part of the upstream mineral and coal sector has been implemented through a licensing system.
Negara-negara di seluruh dunia memungut pajak dari rakyatnya dalam berbagai macam bentuk, pajak penghasilan, pajak kendaraan, pajak bumi-bangunan, iuran dari ekstraksi sumber daya alam (royalti) dan lain sebagainya. John Locke menyatakan pembayaran pajak sebagai timbal balik atas pemenuhan kebutuhan rakyat untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Perlindungan tersebut dapat dimaknai sebagai jaminan dan pemenuhan atas hak-hak dasar seperti hak untuk hidup, sehat, memiliki properti, dan pendidikan. Richard Murphy mempertegas prinsip perlindungan tersebut bahwa negara yang memungut pajak harus melindungi warganya tanpa diskriminasi dan menyediakan kebutuhan publik (public goods).
The oil and gas sector known as migas in Indonesian is one of the strategic industrial sectors that is considered vulnerable to corrupt practices. This is proven by the results of the corruption perception survey in 2015 by Transparency International, which ranks oil and gas in third place after the construction and services business, as the business sector that has the largest percentage of bribes. Nevertheless, the oil and gas industry and the mining and forest sectors have the highest prevalence (intensity level) at national and local levels.
In other findings at the end of 2014, The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) released a report that is stating the extractive or natural resource exploitation industries such as oil and gas were the most corrupt industries in the world. The OECD Foreign Bribery report showed that 19% of 427 corruption cases in 2014, came from the extractive industry sector and 23 % of the 176 cases prosecuted under the Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) came from the oil sector.
Sektor minyak dan gas bumi (Migas) merupakan salah satu sektor industri strategis yang dianggap rentan oleh praktik korupsi. Pandangan tersebut terkonfirmasi oleh hasil Survei Persepsi Korupsi tahun 2015 oleh The Transparency International yang menempatkan migas di urutan ketiga setelah bisnis konstruksi dan jasa, sebagai sektor usaha yang memiliki persentase suap terbesar. Kendati begitu, industri migas memiliki prevalensi (tingkat intensitas) yang paling tinggi bersama sektor tambang dan hutan, baik di level nasional maupun lokal.
Pada temuan lain di akhir tahun 2014, Lembaga Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis laporan yang menyatakan industri eksploitasi sumber daya alam atau ekstraktif, seperti minyak dan gas, adalah industri terkorup di dunia. Laporan OECD Foreign Bribery menunjukkan dari 427 kasus korupsi di 2014, 19% berasal dari sektor industri ekstraktif. Dari 176 kasus yang dituntut di bawah Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) atau Undang-undang Praktek Korupsi Luar Negeri Amerika Serikat, sebanyak 23% kasus berasal dari sektor minyak.
Usulan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) pertama kali diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 2 Februari 2015 melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Pada perjalanannya dalam kurang lebih 5 (lima) tahun, proses penyusunan RUU Minerba sangat dinamis. Perdebatan RUU ini mengalami fase maju mundur dan tarik ulur, baik antar fraksi-fraksi di DPR dan Pemerintah, maupun lahirnya berbagai pandangan dari pengamat, akademisi, organisasi masyarakat sipil dan publik secara umum. Sampai akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019, revisi UU Minerba merupakan salah satu RUU yang ditunda penyelesaiannya di tengah polemik dan penolakan atas Revisi UU KPK melalui gerakan publik dengan tagar #ReformasiDikorupsi.
More from Publish What You Pay (PWYP) Indonesia (20)
Keberadaan Nganjuk sebagai kabupaten yang memiliki resiko bencana berskala sedang menjadi fokus pembahasan dalam FGD Lingkungan yang di gelar di Dinas Lingkungan Hidup Kab. Nganjuk.
Dalam kegiatan FGD yang di hadiri seluruh Komunitas, Pemangku Kebijakan (Dinas Kehutanan Jawa Timur, FPRB Nganjuk, BPBD Nganjuk) tersebut menyoroti pentingnya kolaborasi antar pihak untuk melakukan aksi mitigasi pengurangan resiko bencana.
Dalam Paparan ini, Pelestari Kawasan Wilis memaparkan konsep mitigasi yang bertumpu pada perlindungan sumber mata Air. Hal ini selaras dengan aksi & kegiatan yang telah dilakukan sejak 2020, dimana Perkawis mengambil peran konservasi di sekitar lereng Wilis
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdfZainul Ulum
Sekelumit cerita tentang ekspresi kegelisahan kaum muda desa atas kondisi negara, yang memilih menyalakan lilin-lilin kecil sebisanya daripada mengutuk kegelapan yang memiskinkannya selama beberapa generasi
1. KOLOM
48 Edisi Agustus 2014/Th. IX
I
ndustri ekstraktif, khususnya migas, mineral dan batu
bara masih menjadi sumber penerimaan negara
andalan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) terakhir di tahun 2013 mencatat, penerimaan
dari sektor migas, mineral dan batu bara yang dipero-
leh dari pembayaran pajak dan pendapatan non-pajak da-
ri sektor hulu/ekstraktif mencapai 23% dari total APBN-P
2013, atau sebesar Rp 398,4 triliun, dari total Rp 1.726 triliun
APBN-P 2013.
Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian ter-
hadap produk domestik bruto menurut harga berlaku ha-
nya tercatat sebesar 10,43% dari total PDB nasional de-
ngan migas di tahun 2013 (BPS, 2014) Angka ini sesung-
guhnya masih menjadi tanda tanya, karena bisnis ekstrak-
tif yang menyokong pendapatan utama orang-orang ter-
kaya di negeri ini teryata hanya memberikan kontribusi se-
kitar sepersepuluh dari total PDB nasional.
Di sisi lain, hasil koordinasi dan supervisi Komisi Pem-
berantasan Korupsi (KPK) tahun 2014 ini mencatat terda-
pat potensi kerugian penerimaan negara bernilai triliunan
rupiah, akibat kebocoran dalam penerimaan negara.
Salah satu yang disorot publik adalah aspek transpa-
ransi dan akuntabilitas. Problem transparansi terutama di-
tengarai oleh tidak sinkronnya (atau tidak adanya) data
dan informasi yang memadai antar-instansi terkait, infor-
masi yang asimetris, tidak terbukanya sebuah proses atau
mekanisme, serta lemahnya pengawasan dan penegakan
hukum pada hampir semua rantai proses dari industri per-
tambangan. Problem itu terjadi sejak proses lelang, pe-
nandatanganan kontrak, hingga pasca tambangnya.
Penulis dalam hal ini membatasi pembahasan me-
ngenai transparansi tata kelola pertambangan, khusus pa-
da tiga aspek utama, sebagaimana diuraikan pada bagian
tulisan berikut ini.
1. Transparansi Perizinan Tambang
Mekanisme pemberian kontrak/perizinan, baik me-
lalui lelang maupun pemberian izin sudah semestinya ber-
jalan secara terbuka dan transparan. Bukan hanya persoa-
lan proses yang, kompetitif dan jujur, namun juga me-
nyangkut hak-hak masyarakat yang harus diperhatikan.
Terutama jika area/wilayah yang dijadikan konsesi per-
tambangan tersebut berada di permukiman warga, hak
tanah ulayat, atau menyangkut kepentingan masyarakat
tempatan yang lebih luas.
Hal esensi lainnya dalam transparansi kontrak/per-
izinan adalah hak warga atas informasi yang terdapat di
dalam kontrak/perizinan tersebut. Bukan hanya informasi
mengenai area/batas-batas wilayah perizinan yang tertera
di dalam kontrak yang penting bagi warga. Identifikasi ke-
pemilikan serta segala hak dan kewajiban yang tertera di
dalam kontrak membantu warga untuk terlibat dalam me-
mantau kegiatan pertambangan agar berjalan sesuai prak-
tik pertambangan yang baik.
Transparansi diperlukan salah satunya agar tidak ter-
jadi tumpang tindih kontrak, pemalsuan kontrak, ataupun
pemberian kontrak yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Kita bisa berkaca dari proses sertifikasi ”clean and clear”
oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM, sejak 2011. Dari
total 10.922 total IUP yang tercatat di Dirjen Minerba, hanya
6,042 yang telah dinyatakan CnC. Artinya, hampir 50% dari
total IUP tersebut bermasalah.
Penelusuran oleh Indonesia diPublish What You Pay
beberapa daerah tambang, dalam hal IUP ini menemukan
beberapa persoalan mendasar, yakni : (1) Pemahaman/
kapasitas pemda dalam memberikan izin tidak didasari
oleh rencana kebijakan yang memadai. Belum ada peren-
canaan dan kajian strategis baik secara ekonomi, sosial
dan lingkungan sebagai dasar pemberian izin pertamba-
ngan;
(2) Masih terdapat perbedaan data antara peme-
rintah pusat dan daerah, karena adanya izin-izin yang tidak
dilaporkan atau data yang tidak valid; (3) Dalam proses
pemberian izin, kuat diduga terjadi suap, pengelabuhan
informasi wilayah izin, dokumen izin yang tidak valid
(copy-paste), prosedur yang tidak sesuai, serta cenderung
tidak memperhatikan asas-asas competitive and fairness
secara ekonomi; (4) Data dan informasi perizinan sulit di-
akses oleh publik, meskipun sudah terdapat peraturan
mengenai keterbukaan informasi publik (KIP).
Terkait hal ini, penulis merekomendasikan bebera-
pa hal berikut :
Ÿ Perlu dibuat prosedur standar dalam proses pemberi-
an izin, dengan prasyarat dasar kebijakan yang kuat
dan strategis, prosedur jelas dan terbuka, serta mem-
perhatikan hak-hak dan partisipasi masyarakat
Ÿ Perlu segera dibuat pusat data dan informasi perizinan
tambang, yang memungkinkan akses dan penelusu-
ran oleh publik, dengan informasi yang memadai teru-
tama mengenai kepemilikan, status perizinan, area
operasi serta komitmen menyangkut hak dan kewaji-
ban pertambangan kepada publik
Ÿ Mekanisme lelang dan pemberian izin harus lebih ter-
buka dan transparan, serta adanya kontrol dan partisi-
pasi publik, yang mencegah terjadinya suap, konflik
kepentingan, ekonomi biaya tinggi serta korupsi.
2. Transparansi Tata Ruang dan Penggunaan Lahan
Transparansi dalam tata ruang dan penggunaan la-
han merupakan persoalan mendasar yang sering menim-
bulkan persoalan tumpang tindih izin, kerancuan dalam
identifikasi dan monitoring kegiatan pertambangam, serta
TRANSPARANSI
TATA KELOLA
PERTAMBANGAN
Maryati Abdullah *)
2. KOLOM
49Edisi Agustus 2014/Th. IX
menimbulkan kesulitan dalam identifikasi kewajiban pa-
jak, yang berakibat pada tidak optimalnya penerimaan ne-
gara. Persoalan tersebut juga merupakan salah satu hasil
identifikasi KPK dalam Koordinasi dan Supervisi Pertam-
bangan yang diluncurkan pada Februari 2014 ini.
Inisiatif Open Government Partnership (OGP) di
tingkat pemerintah yang dipimpin oleh Unit Kerja Presi-
den untuk Pemantauan dan Pengendalian Pembangunan
(UKP4) juga telah memulai upaya penyatuan peta tata
ruang dalam bentuk satu peta. Salah satu tujuannya ada-
lah untuk menertibkan peta izin sektor pertambangan se-
cara terpadu.
Penelitian Swandiri Institute bersama Publish What
You Pay Indonesia di salah satu wilayah pantauan KPK di
Kalimantan Barat menemukan, akibat dari tidak dipatuhi-
nya ketentuan tata ruang, di tahun 2012 terdapat tumpang
tindih antara industri pertambangan dengan hak pengu-
sahaan hutan (HPH) seluas 367.224 ha, tambang dengan
HTI (hutan tanaman industri) seluas 442.080 ha, serta tam-
bang dan perkebunan sawit sebesar 1.792.593 ha.
Dari sisi penerimaan negara, hitungan Publish What
You Pay Indonesia bersama Swandiri Institute mengemu-
kakan, di tahun 2012 terdapat potensi kehilangan peneri-
maan negara sebesar RP 59.542.372.770, dari seluruh ka-
bupaten di Provinsi Kalimantan Barat.
Terkait hal ini, penulis merekomendasikan bebe-
rapa hal berikut :
Ÿ Perlu transparansi penggunaan lahan dan hutan untuk
memastikan adanya alokasi keadilan tata ruang bagi
segenap masyarakat, serta untuk menghindari praktik
’jual beli’ konsesi tanpa pengawasan dan penegakan
hukum
Ÿ Informasi spasial sebagai informasi publik harus mu-
dah diakses oleh publik, agar masyarakat terlibat aktif
dalam memantau dan memonitor penggunaan lahan
dan hutan
Ÿ Inisiatif yang dikomandoi oleh UKP4 harus’One Map’
diteruskan oleh pemerintahan periode selanjutnya un-
tuk memberikan kepastian dan penertiban peta-peta
izin konsesi, baik di sektor pertambangan, perkebunan
maupun kehutanan.
3. Transparansi Penerimaan Negara
Di sektor hulu, industri ekstraktif pertambangan mi-
neral dan batu bara seharusnya masih mampu memberi-
kan penerimaan yang lebih besar dari kondisi sekarang.
Hal ini terbukti dari setelah dilakukannya koordinasi dan
supervisi di 12 provinsi penghasil minerba oleh KPK dan
Dirjen Minerba-ESDM, terdapat peningkatan penerimaan
negara bukan pajak (PNBP).
Beberapa titik persoalan terkait transparansi peneri-
maan negara dari sektor pertambangan yang diidentifikasi
oleh antara lain: (1)Publish What You Pay Indonesia
Transparansi informasi/data produksi; Hasil uji petik
PWYP Indonesia bersama anggotanya di Riau misalnya,
menemukan perbedaan data produksi batu bara dari sa-
lah satu perusahaan yang beroperasi di Riau, antara data
yang dimiliki Pemda Riau yang diperoleh dari perusahaan
dengan data yang dimiliki oleh Dirjen Minerba, Kemen-
terian ESDM yang diunggah di situs http://www.minerba.
esdm.go.id/public/38477/produksi-batubara/.produksi/.
Perbedaan data produksi tentunya akan berpenga-
ruh pada seberapa banyak setoran penerimaan negara
(royalti, sewa tanah, dan sebagainya) yang seharusnya di-
*) Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia,
Anggota Komite Pengarah Open Government
Partnership (OGP) di Tingkat Internasional
menimbulkan kesulitan dalam identifikasi kewajiban pa-
jak, yang berakibat pada tidak optimalnya penerimaan ne-
gara. Persoalan tersebut juga merupakan salah satu hasil
identifikasi KPK dalam Koordinasi dan Supervisi Pertam-
bangan yang diluncurkan pada Februari 2014 ini.
Inisiatif Open Government Partnership (OGP) di
tingkat pemerintah yang dipimpin oleh Unit Kerja Presi-
den untuk Pemantauan dan Pengendalian Pembangunan
(UKP4) juga telah memulai upaya penyatuan peta tata
ruang dalam bentuk satu peta. Salah satu tujuannya ada-
lah untuk menertibkan peta izin sektor pertambangan se-
cara terpadu.
Penelitian Swandiri Institute bersama Publish What
You Pay Indonesia di salah satu wilayah pantauan KPK di
Kalimantan Barat menemukan, akibat dari tidak dipatuhi-
nya ketentuan tata ruang, di tahun 2012 terdapat tumpang
tindih antara industri pertambangan dengan hak pengu-
sahaan hutan (HPH) seluas 367.224 ha, tambang dengan
HTI (hutan tanaman industri) seluas 442.080 ha, serta tam-
bang dan perkebunan sawit sebesar 1.792.593 ha.
Dari sisi penerimaan negara, hitungan Publish What
You Pay Indonesia bersama Swandiri Institute mengemu-
kakan, di tahun 2012 terdapat potensi kehilangan peneri-
maan negara sebesar RP 59.542.372.770, dari seluruh ka-
bupaten di Provinsi Kalimantan Barat.
Terkait hal ini, penulis merekomendasikan bebe-
rapa hal berikut :
Ÿ Perlu transparansi penggunaan lahan dan hutan untuk
memastikan adanya alokasi keadilan tata ruang bagi
segenap masyarakat, serta untuk menghindari praktik
’jual beli’ konsesi tanpa pengawasan dan penegakan
hukum
Ÿ Informasi spasial sebagai informasi publik harus mu-
dah diakses oleh publik, agar masyarakat terlibat aktif
dalam memantau dan memonitor penggunaan lahan
dan hutan
Ÿ Inisiatif yang dikomandoi oleh UKP4 harus’One Map’
diteruskan oleh pemerintahan periode selanjutnya un-
tuk memberikan kepastian dan penertiban peta-peta
izin konsesi, baik di sektor pertambangan, perkebunan
maupun kehutanan.
3. Transparansi Penerimaan Negara
Di sektor hulu, industri ekstraktif pertambangan mi-
neral dan batu bara seharusnya masih mampu memberi-
kan penerimaan yang lebih besar dari kondisi sekarang.
Hal ini terbukti dari setelah dilakukannya koordinasi dan
supervisi di 12 provinsi penghasil minerba oleh KPK dan
Dirjen Minerba-ESDM, terdapat peningkatan penerimaan
negara bukan pajak (PNBP).
Beberapa titik persoalan terkait transparansi peneri-
maan negara dari sektor pertambangan yang diidentifikasi
oleh antara lain: (1)Publish What You Pay Indonesia
Transparansi informasi/data produksi; Hasil uji petik
PWYP Indonesia bersama anggotanya di Riau misalnya,
menemukan perbedaan data produksi batu bara dari sa-
lah satu perusahaan yang beroperasi di Riau, antara data
yang dimiliki Pemda Riau yang diperoleh dari perusahaan
dengan data yang dimiliki oleh Dirjen Minerba, Kemen-
terian ESDM yang diunggah di situs http://www.minerba.
esdm.go.id/public/38477/produksi-batubara/.produksi/.
Perbedaan data produksi tentunya akan berpenga-
ruh pada seberapa banyak setoran penerimaan negara
(royalti, sewa tanah, dan sebagainya) yang seharusnya di-
bayarkan oleh perusahaan kepada negara; (2) Mekanime
pembayaran pajak dan non-pajak kepada negara. Meka-
nisme dan dalam pembaya-self assesment self reporting
ran royalti dan pajak di sektor minerba ditengarai menim-
bulkan celah kebocoran dari pembayaran penerimaan
negara, akibat dari selisih kurang atau lebih bayar. Hal ini
ditunjukkan di antaranya oleh temuan laporan rekonsiliasi
EITI yang dilakukan oleh rekonsiliator independen.
Indonesia telah menjadi negara pelaksana EITI (Ex-
tractive Industries Transparency Initiative) sejak empat ta-
hun lalu melalui Peraturan Presiden Nomor 256 Tahun
2010 tentang Transparansi Penerimaan Negara dan Dae-
rah dari Sektor Migas dan Pertambangan.
Namun demikian, masih terdapat ketidaksesuaian
data antara laporan perusahaan dengan yang disampai-
kan oleh pemerintah. Secara umum, perbedaan utama
pada laporan pertama disebabkan oleh perbedaan satuan
dan basis pelaporan, adanya kendala dalam pembukaan
beberapa data perpajakan, hingga persoalan database
informasi penerimaan pertambangan di Ditjen Minerba-
Kementerian ESDM.
Sedangkan pada laporan kedua yang dikeluarkan
Juni 2014 ini, perbedaan data untuk sektor mineral dan
batu bara secara umum disebabkan oleh masih adanya
kesalahan pembagian antara royalti dan, adanya perbe-
daan pembagian penjualan hasil tambang (PHT) dan ro-
yalti yang ada di laporan perusahaan dan laporan peme-
rintah, adanya pembayaran Pph yang teridentifikasi seba-
gai pembayaran royalti, adanya perbedaan nomor akun
dalam sistem pembayaran di Ditjen Pajak, dan sebagai-
nya.
Laporan rekonsiliasi EITI Indonesia ini juga menca-
tat masih lemahnya partisipasi pelaku industri pertamba-
ngan dalam mentransparansikan pembayaran setoran pe-
nerimaannya kepada negara. Hal itu dibuktikan dengan
masih adanya perusahaan-perusahaan yang tidak me-
nyampaikan laporan pembayaran penerimaan negaranya
kepada EITI, yakni satu perusahaan untuk laporan tahun
fiskal 2010 dan sembilan perusahaan untuk tahun fiskal
2011.
Terhadap hal ini, penulis merekomendasikan bebe-
rapa perbaikan sebagai berikut :
Ÿ Perlu keterpaduan sumber data produksi yang dapat
terverifikasi dengan baik. Hal ini juga terkait dengan
pengawasan angka produksi, dan termasuk volume
penjualan.
Ÿ Proses verifikasi perhitungan dan pembayaran pene-
rimaan negara perlu diperkuat lagi dengan mekanisme
pengawasan yang ketat dan diikuti oleh penegakan
hukum yang tegas
Ÿ Perlu dikembangkan mekanisme pengawasan pene-
rimaan negara secara , yang memungkinkan ak-online
ses dan pengawasan oleh publik.