Laporan ini merangkum upaya reformasi tata kelola pertambangan batubara yang dilakukan KPK melalui Korsup Minerba sejak 2014-2017. Terdapat peningkatan perizinan yang tidak terkontrol setelah desentralisasi, mengakibatkan izin berlebih. Korsup mendorong penertiban izin, khususnya non-Clean and Clear. Hasilnya, 776 izin dicabut, meliputi 3,56 juta hektar. Izin batubara tersisa 2966 iz
Dokumen tersebut membahas upaya peningkatan tata kelola pertambangan batubara di Indonesia melalui kerja sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia (GNP-SDA). Beberapa upaya yang dilakukan antara lain meningkatkan pengawasan perizinan pertambangan, menindaklanjuti temuan audit, dan mendorong penyelesaian permasalahan hukum dalam sektor pertambangan.
Pemerintah Daerah memainkan peran strategis dalam perbaikan tata kelola batubara di daerah dengan:
1. Melaksanakan peraturan perundang-undangan dan menyusun Perda terkait pengelolaan pertambangan batubara
2. Mengelola seluruh aspek pertambangan batubara mulai dari perizinan, penambangan, pengolahan, pengangkutan, PNBP hingga pasca tambang
3. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap I
Materi ini disampaikan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM dalam Diskusi "Penataan Izin Batubara dalam Korsup Batubara" (8/6).
Dokumen tersebut membahas beberapa isu strategis dan peraturan subsektor mineral dan batubara, termasuk penataan IUP non CNC, renegosiasi KK dan PKP2B, Rencana Kegiatan Anggaran Biaya (RKAB), jaminan reklamasi, penerimaan negara, integrasi inspektur tambang, kebijakan pertambangan, peningkatan nilai tambah, revisi UU Minerba, dan pelayanan RPIIT."
Policy Brief yang disusun oleh Koalisi Anti Mafia Sumber Daya Alam ini memuat 7 rekomendasi yang diusung oleh masyarakat sipil pemerhati tambang. Berikut rekomendasinya:
1. Presiden Jokowi segera membentuk satuan tugas (satgas) pemberantasan kejahatan pertambangan
2. Gubenur dan Kementerian ESDM segera mencabut IUP yang berstatus Non CnC sasesuai dengan tenggat waktu 2 Januari 2016 dan segera melakukan evaluasi kembali terhadap seluruh IUP yang berstatus CnC.
3. KLHK dan KPK segera melakukan penegakan hukum terhadap IUP CnC maupun Non CnC yang tidak memiliki IPPKH
4. KLHK dan Kementerian ESDM segera melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan tambang pemegang IUP yang menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang signifikan
dan menyebabkan hilangnya nyawa.
5. KPK segera melakukan penegakan hukum terhadap korporasi pemegang IUP berdasarkan temuan Korsup Minerba yang tidak ditindaklanjuti baik aspek kewilayahan, lingkungan dan keuangan
6. Kapolri dan Jaksa Agung memerintahkan jajarannya untuk memprioritaskan dan memastikan penyelesaian kasus-kasus lubang tambang dan korupsi sektor pertambangan.
7. Terkait Kasus Lubang Tambang di Kaltim, Gubernur, Bupati/Walikota dan Kapolda Kaltim segera menindaklanjuti hasil Rekomendasi dari Komnas HAM
Dokumen tersebut membahas upaya peningkatan tata kelola pertambangan batubara di Indonesia melalui kerja sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia (GNP-SDA). Beberapa upaya yang dilakukan antara lain meningkatkan pengawasan perizinan pertambangan, menindaklanjuti temuan audit, dan mendorong penyelesaian permasalahan hukum dalam sektor pertambangan.
Pemerintah Daerah memainkan peran strategis dalam perbaikan tata kelola batubara di daerah dengan:
1. Melaksanakan peraturan perundang-undangan dan menyusun Perda terkait pengelolaan pertambangan batubara
2. Mengelola seluruh aspek pertambangan batubara mulai dari perizinan, penambangan, pengolahan, pengangkutan, PNBP hingga pasca tambang
3. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap I
Materi ini disampaikan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM dalam Diskusi "Penataan Izin Batubara dalam Korsup Batubara" (8/6).
Dokumen tersebut membahas beberapa isu strategis dan peraturan subsektor mineral dan batubara, termasuk penataan IUP non CNC, renegosiasi KK dan PKP2B, Rencana Kegiatan Anggaran Biaya (RKAB), jaminan reklamasi, penerimaan negara, integrasi inspektur tambang, kebijakan pertambangan, peningkatan nilai tambah, revisi UU Minerba, dan pelayanan RPIIT."
Policy Brief yang disusun oleh Koalisi Anti Mafia Sumber Daya Alam ini memuat 7 rekomendasi yang diusung oleh masyarakat sipil pemerhati tambang. Berikut rekomendasinya:
1. Presiden Jokowi segera membentuk satuan tugas (satgas) pemberantasan kejahatan pertambangan
2. Gubenur dan Kementerian ESDM segera mencabut IUP yang berstatus Non CnC sasesuai dengan tenggat waktu 2 Januari 2016 dan segera melakukan evaluasi kembali terhadap seluruh IUP yang berstatus CnC.
3. KLHK dan KPK segera melakukan penegakan hukum terhadap IUP CnC maupun Non CnC yang tidak memiliki IPPKH
4. KLHK dan Kementerian ESDM segera melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan tambang pemegang IUP yang menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang signifikan
dan menyebabkan hilangnya nyawa.
5. KPK segera melakukan penegakan hukum terhadap korporasi pemegang IUP berdasarkan temuan Korsup Minerba yang tidak ditindaklanjuti baik aspek kewilayahan, lingkungan dan keuangan
6. Kapolri dan Jaksa Agung memerintahkan jajarannya untuk memprioritaskan dan memastikan penyelesaian kasus-kasus lubang tambang dan korupsi sektor pertambangan.
7. Terkait Kasus Lubang Tambang di Kaltim, Gubernur, Bupati/Walikota dan Kapolda Kaltim segera menindaklanjuti hasil Rekomendasi dari Komnas HAM
Dokumen tersebut membahas koordinasi dan supervisi pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilakukan oleh Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2014-2015, termasuk fokus kegiatan, lokus kegiatan, tujuan, dan sasaran kegiatan tersebut.
1. Mendorong Keterbukaan Perizinan dan Masukan bagi Perda Pertambangan di Provinsi NTB
2. Mengakses Informasi Izin Pertambangan: Aksi Jamhur yang Menginspirasi
3. Tantangan Keterbukaan Beneficial Ownership bagi Negara Anggota OGP
4. Urgensi Kebijakan Satu Data di Provinsi NTB
5. Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Pengawasan Pertambangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Hampir 40% izin pertambangan di 3 provinsi (Maluku, Papua, Papua Barat) masih berstatus non-clean and clear, menandakan masih banyak pelanggaran yang dilakukan pemegang izin. Lebih dari 60.000 hektar hutan rusak akibat kegiatan pertambangan di 3 provinsi antara 2009-2013. Banyak izin diberikan di kawasan hutan lindung dan konservasi tanpa memperhatikan peraturan.
Undang-undang ini membahas perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Beberapa ketentuan dalam UU tersebut diubah, di antaranya definisi istilah-istilah yang digunakan, penambahan istilah baru, dan penyisipan beberapa pasal baru. Perubahan ini dimaksudkan agar UU dapat menjadi dasar hukum yang lebih efektif, efisien, dan komprehensif dalam penyelen
The document discusses several topics related to open contracting and mining permits in Indonesia, including:
1) The need for transparency in extractive industry contracts and permits, as mandated by law, but challenges in implementation remain.
2) Efforts to increase community participation and monitoring of mining activities through the use of permitting documents.
3) Citizen journalism as an alternative media for communities to voice concerns not accommodated by mainstream media.
Dokumen tersebut membahas tentang implementasi kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat (PTSP Pusat) di BKPM untuk sektor pertambangan di tingkat nasional. Dibahas pula perkembangan dan implementasi layanan PTSP Pusat, dasar hukum terkini, serta terobosan baru layanan cepat investasi 3 jam."
Sebanyak 129.654,04 Ha kawasan hutan lindung dan konservasi di 3 Provinsi (Bengkulu, Lampung, dan Banten) telah terbebani izin pertambangan.
Kertas posisi ini disusun oleh Koalisi Anti Mafia Tambang, dipersiapkan dalam Rapat Koordinasi dan Supervisi KPK sektor minerba untuk wilayah Bengkulu, Lampung, Banten, 22 April 2015.
Dokumen tersebut membahas potensi kerugian negara dari iuran land rent di sektor pertambangan di dua provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebesar Rp64,47 miliar untuk periode 2010-2013. Dokumen ini juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan KPK untuk menghentikan pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi serta mendesak pemerintah untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat sip
Peraturan ini membahas tentang penetapan aturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai tata cara pemberian wilayah, perizinan, dan pelaporan pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Peraturan ini mengatur mengenai definisi istilah-istilah terkait pertambangan mineral dan batubara serta ketentuan umum yang terkait dengan perizinan dan pelaporan kegiatan pertambangan.
Perlunya menetapkan arah, kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional yang jelas dan terukur dan menuangkannya ke dalam suatu dokumen kebijakan pertambangan nasional yang bersifat resmi dan mengikat dalam aturan dan pelaksanaannya.
Komitmen pemberantasan korupsi pemerintah Indonesia tercantum dalam Inpres No. 7/2015 dan Inpres no. 10/2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Sudah sejauh manakah kinerja pemberantasan korupsi ini?
Di sisi lain, adanya Gerakan Nasional Penyelamatan SDA yang mendorong perbaikan tata kelola SDA khususnya hutan dan kebun menjadi momentum perbaikan sektor ini.
Kertas posisi ini disusun oleh koalisi masyarakat sipil di Sumatera yang fokus pada tata kelola sektor kehutanan dan perkebunan dalam rangkaian kegiatan Indonesia Anti Corruption Forum ke 5 di Riau (22-23 Nov 2016). Sejumlah rekomendasi bagi pemerintah pusat dan daerah yang dihasilkan semoga menjadi masukan dalam perbaikan sektor ini.
Koalisi Anti Mafia Tambang mengapresiasi inisiatif KPK untuk melakukan pengawasan di sektor pertambangan melalui kegiatan Korsup. Namun, puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di 4 provinsi telah dibebani izin pertambangan dan melanggar peraturan. Koalisi Anti Mafia Tambang mengumpulkan data untuk disampaikan kepada KPK guna memperkuat pengawasan dan penegakan hukum di sektor pertambangan.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Pertambangan yang mewajibkan pemerintah untuk mempublikasikan data dan informasi pertambangan serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan pertambangan. Meski merupakan langkah positif, masih diperlukan aturan turunan untuk memperjelas pelaksanaannya.
Presentasi Oleh: Ditjen Minerba-ESDM
disampaikan dalam:
"Diskusi Publik - Tantangan Transparansi Penerimaan Migas dan Tambang"
Diselenggarakan oleh Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dengan dukungan NRGI & Ford Foundation,
(Jakarta, 04 Februari 2015)
Dokumen tersebut membahas tentang ketidakpastian hukum lahan hutan di Bengkulu, Lampung, dan Banten dimana hanya 8% lahan hutan yang memiliki kepastian hukum. Hal ini menyebabkan konflik tenurial antara masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan karena izin eksploitasi lahan yang diberikan pemerintah melampaui kapasitas lahan. Dokumen juga membahas tentang dominasi lahan oleh 25 perusahaan kelapa sawit milik para ta
Dokumen tersebut membahas hasil koordinasi dan supervisi KPK terhadap penataan izin usaha pertambangan sektor mineral dan batubara. Temuan utama meliputi masih adanya IUP non CnC, IUP di kawasan hutan lindung dan konservasi, serta perlunya integrasi database izin antara pemerintah pusat dan daerah. Langkah yang diambil antara lain pengumpulan data IUP, penertiban IUP non CnC dan di kawasan larangan, serta revitalisasi database
Dokumen tersebut membahas koordinasi dan supervisi pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilakukan oleh Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2014-2015, termasuk fokus kegiatan, lokus kegiatan, tujuan, dan sasaran kegiatan tersebut.
1. Mendorong Keterbukaan Perizinan dan Masukan bagi Perda Pertambangan di Provinsi NTB
2. Mengakses Informasi Izin Pertambangan: Aksi Jamhur yang Menginspirasi
3. Tantangan Keterbukaan Beneficial Ownership bagi Negara Anggota OGP
4. Urgensi Kebijakan Satu Data di Provinsi NTB
5. Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Pengawasan Pertambangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Hampir 40% izin pertambangan di 3 provinsi (Maluku, Papua, Papua Barat) masih berstatus non-clean and clear, menandakan masih banyak pelanggaran yang dilakukan pemegang izin. Lebih dari 60.000 hektar hutan rusak akibat kegiatan pertambangan di 3 provinsi antara 2009-2013. Banyak izin diberikan di kawasan hutan lindung dan konservasi tanpa memperhatikan peraturan.
Undang-undang ini membahas perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Beberapa ketentuan dalam UU tersebut diubah, di antaranya definisi istilah-istilah yang digunakan, penambahan istilah baru, dan penyisipan beberapa pasal baru. Perubahan ini dimaksudkan agar UU dapat menjadi dasar hukum yang lebih efektif, efisien, dan komprehensif dalam penyelen
The document discusses several topics related to open contracting and mining permits in Indonesia, including:
1) The need for transparency in extractive industry contracts and permits, as mandated by law, but challenges in implementation remain.
2) Efforts to increase community participation and monitoring of mining activities through the use of permitting documents.
3) Citizen journalism as an alternative media for communities to voice concerns not accommodated by mainstream media.
Dokumen tersebut membahas tentang implementasi kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat (PTSP Pusat) di BKPM untuk sektor pertambangan di tingkat nasional. Dibahas pula perkembangan dan implementasi layanan PTSP Pusat, dasar hukum terkini, serta terobosan baru layanan cepat investasi 3 jam."
Sebanyak 129.654,04 Ha kawasan hutan lindung dan konservasi di 3 Provinsi (Bengkulu, Lampung, dan Banten) telah terbebani izin pertambangan.
Kertas posisi ini disusun oleh Koalisi Anti Mafia Tambang, dipersiapkan dalam Rapat Koordinasi dan Supervisi KPK sektor minerba untuk wilayah Bengkulu, Lampung, Banten, 22 April 2015.
Dokumen tersebut membahas potensi kerugian negara dari iuran land rent di sektor pertambangan di dua provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebesar Rp64,47 miliar untuk periode 2010-2013. Dokumen ini juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan KPK untuk menghentikan pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi serta mendesak pemerintah untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat sip
Peraturan ini membahas tentang penetapan aturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai tata cara pemberian wilayah, perizinan, dan pelaporan pada kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Peraturan ini mengatur mengenai definisi istilah-istilah terkait pertambangan mineral dan batubara serta ketentuan umum yang terkait dengan perizinan dan pelaporan kegiatan pertambangan.
Perlunya menetapkan arah, kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional yang jelas dan terukur dan menuangkannya ke dalam suatu dokumen kebijakan pertambangan nasional yang bersifat resmi dan mengikat dalam aturan dan pelaksanaannya.
Komitmen pemberantasan korupsi pemerintah Indonesia tercantum dalam Inpres No. 7/2015 dan Inpres no. 10/2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Sudah sejauh manakah kinerja pemberantasan korupsi ini?
Di sisi lain, adanya Gerakan Nasional Penyelamatan SDA yang mendorong perbaikan tata kelola SDA khususnya hutan dan kebun menjadi momentum perbaikan sektor ini.
Kertas posisi ini disusun oleh koalisi masyarakat sipil di Sumatera yang fokus pada tata kelola sektor kehutanan dan perkebunan dalam rangkaian kegiatan Indonesia Anti Corruption Forum ke 5 di Riau (22-23 Nov 2016). Sejumlah rekomendasi bagi pemerintah pusat dan daerah yang dihasilkan semoga menjadi masukan dalam perbaikan sektor ini.
Koalisi Anti Mafia Tambang mengapresiasi inisiatif KPK untuk melakukan pengawasan di sektor pertambangan melalui kegiatan Korsup. Namun, puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di 4 provinsi telah dibebani izin pertambangan dan melanggar peraturan. Koalisi Anti Mafia Tambang mengumpulkan data untuk disampaikan kepada KPK guna memperkuat pengawasan dan penegakan hukum di sektor pertambangan.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Pertambangan yang mewajibkan pemerintah untuk mempublikasikan data dan informasi pertambangan serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan pertambangan. Meski merupakan langkah positif, masih diperlukan aturan turunan untuk memperjelas pelaksanaannya.
Presentasi Oleh: Ditjen Minerba-ESDM
disampaikan dalam:
"Diskusi Publik - Tantangan Transparansi Penerimaan Migas dan Tambang"
Diselenggarakan oleh Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dengan dukungan NRGI & Ford Foundation,
(Jakarta, 04 Februari 2015)
Dokumen tersebut membahas tentang ketidakpastian hukum lahan hutan di Bengkulu, Lampung, dan Banten dimana hanya 8% lahan hutan yang memiliki kepastian hukum. Hal ini menyebabkan konflik tenurial antara masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan karena izin eksploitasi lahan yang diberikan pemerintah melampaui kapasitas lahan. Dokumen juga membahas tentang dominasi lahan oleh 25 perusahaan kelapa sawit milik para ta
Dokumen tersebut membahas hasil koordinasi dan supervisi KPK terhadap penataan izin usaha pertambangan sektor mineral dan batubara. Temuan utama meliputi masih adanya IUP non CnC, IUP di kawasan hutan lindung dan konservasi, serta perlunya integrasi database izin antara pemerintah pusat dan daerah. Langkah yang diambil antara lain pengumpulan data IUP, penertiban IUP non CnC dan di kawasan larangan, serta revitalisasi database
Makalah ini membahas tentang kebijakan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, termasuk undang-undang terkait, kebijakan pemerintah terhadap perusahaan tambang negara, dan rencana kebijakan pemerintah untuk sektor pertambangan sumber daya alam. Topik utama yang dibahas adalah undang-undang pertambangan tahun 2009 dan peraturan terkait, serta pengaturan pemerintah terhadap pertambangan rakyat.
Dokumen tersebut membahas tentang Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disusun oleh perusahaan pertambangan sebagai bentuk komitmen terhadap negara. RKAB mencakup rencana operasional tahunan yang meliputi aspek eksplorasi, cadangan, lingkungan, investasi, operasi, pemasaran, tenaga kerja, pengembangan masyarakat, dan kesehatan. RKAB diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara serta
1. Pemerintah melakukan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam untuk menertibkan ijin pertambangan dan kehutanan serta meningkatkan penerimaan negara. Gerakan ini telah menyelamatkan lebih dari Rp10 triliun.
2. Pemerintah menerbitkan peraturan baru tentang Perijinan Terpadu Satu Pintu di BKPM untuk mereformasi perijinan menjadi lebih efisien.
Kepatuhan penempatan dana jaminan reklamasi dan pascatambang oleh perusahaan pemegang izin pertambangan masih rendah, dengan hanya 40% yang memenuhi kewajiban tersebut. Rendahnya kepatuhan berpotensi menimbulkan kerugian negara yang besar dalam bentuk biaya reklamasi tambang yang ditinggalkan. Penegakan hukum dan pengawasan terhadap pertambangan perlu ditingkatkan.
Dokumen tersebut membahas tentang catatan akhir tahun Publish What You Pay Indonesia mengenai tata kelola sumberdaya ekstraktif migas dan pertambangan di Indonesia pada tahun 2013. Pertama, Indonesia telah melaksanakan inisiatif EITI untuk transparansi penerimaan negara, namun masih terdapat ketidaksesuaian data antara laporan pemerintah dan perusahaan. Kedua, masih lemahnya partisipasi perusahaan pertambangan dalam pelaporan dan pengelola
Disampaikan oleh Sony Heru Prasetyo, Kasubag Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Ditjen Minerba, pada penajaman desain program Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Tata Kelola Hutan dan Lahan yang Baik (SETAPAK), 3 Februari 2016.
1. Nyawiji Nandur Kanggo Lestarine Kendeng
2. Sedulur Kendeng Social Audit Training: Increasing Community Participation in Development Oversight
3. Sedulur Kendeng Social Audit Training: Increasing Community Participation in Development Oversight
4. Self-led influencing: Shifting the Empowerment Narrative
5. Moeldoko and JMPPK Discuss Kendeng Mountain Study
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Aliansi masyarakat sipil menyampaikan masukan untuk RPJMD Jawa Tengah agar lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan dengan memperhatikan rekomendasi KLHS terkait Pegunungan Kendeng.
2. Kegiatan lingkar belajar advokasi kebijakan dan temu kartini Kendeng membahas keterlibatan perempuan dalam perencanaan pembangunan agar lebih berdaya
1. The Civil Society Alliance: "The RPJMD of Central Java Province Must Be Inclusive, Fair and Sustainable"
2. Community Training on Policy Advocacy and Kendeng Women Gathering
3. Kendeng Community Recites Al-Quran for the Mother Nature
4. “Letter of Super Soko Semar (SUPERSEMAR)” KLHS Orders President, Must Be Done !!!
5. These Kartini from Central Java Will Continue to Speak Out for the Sustainability of the Earth
6. JMPPK Builds Command Post to Monitor Kendeng Mountain Mining Violations
Omnibus Law dianggap memiliki implikasi yang serius terhadap penataan ruang dan lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan RUU Cipta Kerja melemahkan proteksi lingkungan demi kepentingan investasi, dan menghilangkan mekanisme pengawasan seperti Komisi Penilai Amdal. Stranas PK berupaya meningkatkan tata kelola data perizinan sektor sumber daya alam melalui Kebijakan Satu Peta, namun menemui kendala karena ketersed
Compared with other sources of energy, oil and gas continue to become primary sources of energy in Indonesia with the highest level of consumption. Apart from propping up almost one third of national revenue, oil and gas also significantly contribute to create job opportunities, supply the need of fuel, petrochemical industry which in turn effectively enhances investment and economy.
As a natural resource contained within the bowel of the earth, the constitution of the Republic of Indonesia asserts that the ownership and enterpreneurship of national oil and gas industry is controlled by the state and immensely benefitted to the welfare of people accordingly (constitution 1945, article 33). Furthermore, it is asserted through the law 22/2001 on oil and gas that the control by the state is administered by the government as the holder of mining right. It means, the government is entitled with authority to administer the exploration and exploitation of oil and gas throughout Indonesian territory.
Dokumen tersebut membahas tentang opsi-opsi yang diajukan Dewan EITI terkait keterbukaan kontrak antara pemerintah dan perusahaan ekstraktif dalam standar EITI di masa depan, yaitu apakah kontrak tersebut harus dibuka secara umum, dibuka dengan pengecualian tertentu, atau hanya sebagai dorongan tanpa kewajiban."
Keterbukaan informasi publik merupakan hak asasi setiap warga negara yang mendukung pengembangan diri dan kehidupan seseorang, baik secara pribadi/individu maupun dalam hubungan sosialnya, serta dalam menjalankan peran kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik dan bertanggung jawab. Keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri dari negara demokratis, dan menjadiprasyarat dalam partisipasi, transparansi, dan akuntablitas dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Keterbukaan informasi publik dapat mendorong kemajuan sebuah bangsa, karena memungkinkan adanya kontrol publik serta mendorong terciptanya check and balances.
This document discusses contract transparency in the extractive industries according to the 2019 EITI Standard. It provides background on EITI and how contract transparency has developed over time in the EITI standards from 2013 to 2019. The 2019 standard now requires EITI implementing countries, including Indonesia, to publish all contracts issued after 2021 and encourages publishing existing contracts. However, Indonesia has yet to fully comply. The document outlines the roles EITI can play in facilitating greater contract transparency at the national level through discussion, publishing contracts, and influencing regulatory changes.
Openness of public information is a human right of every citizen who supports self- development and the life of a person, both personally / individually and in social relations, and in carrying out the role of national and state life in a good and responsible manner. Openness of public information is one of the characteristics of a democratic country, and is a prerequisite for participation, transparency and accountability in good governance. Openness of public information can encourage the progress of a nation, because it allows for public control and encourages the creation of checks and balances
Dokumen ini membahas tentang upaya keterbukaan pemerintah Indonesia melalui kebijakan Satu Data, termasuk implementasinya di sektor kelautan dan perikanan, sumber daya energi dan mineral, serta pengalaman seorang wanita yang dulu terlibat pertambangan ilegal namun kini mengawasi aktivitas pertambangan.
The principle of openness in running the government is needed to realize a participatory government where people can actively participate in overseeing policy implementation. To support this, the Government of Indonesia has committed to use the principle of public information disclosure, which is shown through Law No. 14/2008. Moreover, Indonesia had participated in Open Government Partnership (OGP) which has 78-member countries which Indonesia is one of the pioneers of OGP, as well as Presidential Decree No.39/2019 on Satu Data (One Data) Indonesia.
The government of West Nusa Tenggara Province issued a Local Government Regulation on Mining Governance in September 2019. In this newly-issued regulation, there is a specific chapter on data and information systems of the mining sector and also provisions that guarantee public participation to monitor mining activities in the province. This is an answer to the problems faced by the people living near mining areas in West Nusa Tenggara Province.
West Nusa Tenggara Province (NTB) is one of the provinces with abundant metal and non-metal mineral resources and spread in almost all districts / cities. Now, there are 261 Mining Business Licenses (IUP) in NTB, consisting of 27 metal mineral IUPs and 234 rock IUPs (NTB ESDM Service, 2019). From 27 metal mineral IUPs, in fact there are 11 IUPs covering an area of 35,519 ha that are indicated to be in protected and conservation forest areas (DG Minerba, MEMR, 2017). Whereas based on Law number 41 of 1999 concerning Forestry, the two regions may not be used for mining activities.
The need for contract (and licensing documents) openness in the extractive industries is currently getting stronger, along with public demands for a transparent and accountable extractive industry governance. Some cases have shown a good precedent of contract openness in the said sector in Indonesia
Kajian ini menemukan bahwa selama masa darurat Covid-19 di NTB, akses informasi publik terkait penanganan Covid-19 sangat terbatas bagi masyarakat pedesaan, terutama kelompok perempuan dan rumah tangga berpenghasilan rendah. Informasi yang seharusnya tersedia tidak merata, bahkan ada masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui informasi terkait Covid-19. Meskipun demikian, layanan informasi pemerintah
Dokumen tersebut membahas kerangka hukum keterbukaan kontrak di sektor migas dan minerba Indonesia. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa Pasal 33 UUD 1945 memberikan mandat penguasaan negara atas sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, yang mewajibkan keterbukaan informasi pengelolaan sumber daya alam termasuk kontraknya. UU KIP juga mewajibkan keterbukaan dokumen publik seperti kontrak, me
Countries around the world collect taxes from their people in various forms, income tax, vehicle tax, land-building tax, fees from extraction of natural resources (royalties) and so forth. John Locke declared tax payments as reciprocity for meeting the people’s needs to get protection from the state.1 Such protection can be interpreted as guarantee and fulfillment of basic rights such as the right to life, health, ownership of property, and education.2 Richard Murphy emphasized the principle of protection, countries that collect taxes must protect their citizens without discrimination and provide public goods.3
Dokumen tersebut membahas tentang perkembangan standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) khususnya mengenai keterbukaan kontrak dan izin di sektor sumber daya alam. Standar EITI semakin mengharuskan negara anggota untuk mempublikasikan kontrak dan izin yang diberikan, meskipun sebelumnya hanya bersifat opsional. Indonesia sebagai negara pelaksana EITI belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban tersebut.
Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia expressly states that all-natural resources in the land of Indonesia are controlled by the state and used to realize the prosperity of the people.1 Oil and gas, as well as minerals and coal are some of Indonesia’s natural wealth, which must be managed to achieve the objectives of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Considering that oil and gas, mineral and coal are classified as high risk, high technology, and high cost industries, the management needs to be done in collaboration with various parties who have capital and competitive technology. Most of the cooperation in oil and gas, mineral and coal management is carried out based on the contract system. In the Indonesian context, the contract system is widely used for upstream sector activities that include exploration and exploitation/production of oil and gas, and mineral and coal, while for downstream activities it is implemented through the granting of a business license.2 Since 2009, part of the upstream mineral and coal sector has been implemented through a licensing system.
Negara-negara di seluruh dunia memungut pajak dari rakyatnya dalam berbagai macam bentuk, pajak penghasilan, pajak kendaraan, pajak bumi-bangunan, iuran dari ekstraksi sumber daya alam (royalti) dan lain sebagainya. John Locke menyatakan pembayaran pajak sebagai timbal balik atas pemenuhan kebutuhan rakyat untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Perlindungan tersebut dapat dimaknai sebagai jaminan dan pemenuhan atas hak-hak dasar seperti hak untuk hidup, sehat, memiliki properti, dan pendidikan. Richard Murphy mempertegas prinsip perlindungan tersebut bahwa negara yang memungut pajak harus melindungi warganya tanpa diskriminasi dan menyediakan kebutuhan publik (public goods).
More from Publish What You Pay (PWYP) Indonesia (20)
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdfZainul Ulum
Sekelumit cerita tentang ekspresi kegelisahan kaum muda desa atas kondisi negara, yang memilih menyalakan lilin-lilin kecil sebisanya daripada mengutuk kegelapan yang memiskinkannya selama beberapa generasi
3. Tim Penyusun
Agung Budiono
Rizky Ananda WSR
Penyunting
Maryati Abdullah
Penataan Izin Batubara
dalam Koordinasi
dan Supervisi KPK
4. iv
Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
LAPORAN
ISBN: 987-602-50032-1-9
Tim Penyusun
Agung Budiono
Rizky Ananda Wulan Sapta Rini
Editor
Maryati Abdullah
Desain & Layout
Agus Wiyono
Laporan ini disusun dan diterbitkan oleh Publish What You Pay Indonesia
[Yayasan Transparansi Sumber Daya Ekstraktif] bekerjasama dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Hak cipta dilindungi Undang-Undang.
Diperbolehkan untuk mengutip isi laporan dengan mengikuti kaidah
pengutipan yang berlaku.
Edisi I, 2017
Publish What You Pay Indonesia
Jl. Tebet Timur Dalam VIII K No. 12, Tebet, Jakarta 12820, Telp : +6221 - 29069727
Email : sekretariat@pwyp-indonesia.org | Website : www.pwyp-indonesia.org
Fanpage : Publish What You Pay Indonesia | Twitter : @pwyp_indonesia
5. vPenataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
I
ndonesia adalah produsen batubara terbesar kelima di dunia setelah China, Amerika
Serikat, India dan Australia. Sebelum tahun 2015, Indonesia merupakan eksportir batubara
terbesar di dunia dengan rata-rata produksi yang tercatat di tahun 2012-2015 mencapai
lebihdari400jutatonpertahun.SedangkansumberdayabatubaraIndonesiasaatinimencapai
99,2 miliar ton dengan cadangan terbukti mencapai 13,3 miliar ton, yang mayoritas tersebar di
wilayah Sumatera, Kalimantan dan sebagian Papua.
Jika diasumsikan rata-rata produksi per tahunnya tetap (461 juta ton/tahun) dan tidak ada
penambahan data cadangan terbukti, maka batubara di Indonesia diperkirakan akan habis
dalam kurun waktu 29 tahun mendatang, atau tepatnya hingga tahun 2046. Dari sisi manfaat
bagi perekonomian, kontribusi batubara masih sangat minim, hanya berkontribusi rata-rata
2,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional pada kurun waktu 2010-2015 (BPS,
2016). Dari total produksi yang ada, rata-rata hanya 15-25% yang digunakan di dalam negeri
(terutama untuk pembangkit listrik), sementara sebagian besar lainnya diekspor.
Sejarah produksi batubara Indonesia diawali pada periode booming pertama di tahun
1989-1999 (dengan kenaikan produksi mencapai 30% per tahun), kemudian dilanjutkan
dengan booming kedua antara tahun 2009 hingga 2013/2014 terutama yang didukung oleh
desentralisasi kewenangan pemberian izin kepada pemerintah daerah. Kondisi booming
tersebut ternyata menyisakan problem carut marutnya tata kelola batubara yang semakin
kompleks, mulai dari proses penerbitan izin yang tidak sesuai prosedur sehingga muncul
masalah tumpang tindih izin dan atau berada di kawasan hutan konservasi dan hutan
lindung (secara terbuka); lemahnya pengawasan dan penerapan good mining practices
telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hingga meninggalkan bekas lubang
yang menelan korban jiwa; lemahnya pengawasan produksi dan pengapalan, hingga tidak
jarang adanya terpaan isu ekspor yang merugikan keuangan negara; serta masih rendahnya
kepatuhan kewajiban fiskal pelaku usaha kepada negara seperti adanya tunggakan PNBP,
rendahnya rasio pajak pertambangan, hingga minimnya pengalokasian dana jaminan
reklamasi dan pasca-tambang.
Laporan ini menyajikan potret masalah dan capaian dari penataan sektor batubara yang
ditemukan dan disupervisi oleh KPK dalam program koordinasi dan supervisi (Korsup) sektor
pertambangan yang digawangi oleh Divisi Litbang – Deputi Pencegahan KPK. Korsup Minerba
yang merupakan bagian dari Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA)
ini merupakan bagian dari trigger mechanism KPK untuk mencegah adanya tindak pidana
korupsi dan kerugian negara, serta mendorong perbaikan tata kelola yang lebih baik di sektor
Kata Pengantar
6. vi
pertambangan. Secara garis besar laporan ini meliputi ulasan temuan di sektor batubara dari
aspek administrasi dan kewilayahan. Laporan ini disajikan bersama data dan analisis temuan,
tindak lanjut dan capaian, serta rekomendasi-rekomendasi dalam proses penertiban dan
penataan yang dilakukan oleh Korsup KPK bersama dengan Kementerian ESDM dan instansi
terkait seperti Pemda, pelaku usaha, dan elemen penegak hukum maupun unsur organisasi
masyarakat sipil.
Terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada tim penyusun dan segenap pihak
yang membantu dan mendukung penerbitan laporan ini: Agung Budiono dan Rizky Ananda
yang merupakan tim peneliti sektor batubara dari Publish WhatYou Pay Indonesia; Bapak Dian
Patria dan Mbak Epa Kartika serta tim Korsup Minerba lainnya di Kedeputian Pencegahan KPK;
Mas Agus yang membantu proses lay out, serta pihak-pihak terkait lainnya yang tidak dapat
kami sebutkan satu per satu di sini. Akhir kata, kami sangat terbuka atas masukan, saran dan
kritik dari pembaca dan berbagi pihak, bagi kesempurnaan dan manfaat dari laporan ini bagi
perbaikan tata kelola pertambangan dan sumberdaya alam di Indonesia.
Jakarta, 2 Mei 2017
Maryati Abdullah
Koordinator Nasional
Publish What You Pay Indonesia
7. viiPenataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
Ringkasan Eksekutif
L
aporan hadir untuk merangkum perjalanan reformasi tata kelola pertambangan
batubara yang diinisiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Kordinasi
dan Superivisi Sektor Mineral dan Batubara (Korsup Minerba) yang dimulai sejak 2014
hingga 2017. Laporan ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan
terhadap aspek penertiban izin khususnya untuk skema Izin Usaha Pertambangan (IUP)
batubara sekaligus capaiannya. Terdapat sejumlah temuan penting dari laporan ini yang
bertujuan untuk mengurai benang kusut tata kelola minerba sejak tahun 1999-2009. Berikut
adalah sejumlah temuan penting yang disarikan dalam laporan ini.
•• Booming perizinan minerba terjadi akibat tidak sinkronnya kebijakan pada masa
transisi peralihan dari era sentralisme menuju otonomi daerah (desentralisasi). Hal
itu mengakibatkan angka perizinan yang tidak terkontrol. Akibatnya jumlah izin
meningkat tajam dari hanya 750 izin di 2001 menjadi sekitar 10 ribu lebih di 2010, di
mana sebanyak 40% diantaranya adalah IUP batubara dengan total luasan mencapai
16,2 juta hektar (Ditjen Minerba, 2013). Sedangkan luasan untuk rezim izin PKP2B
luasannya sekitar 1,95 juta hektar (Ditjen Planologi, 2014).
•• Upaya pemerintah pusat menghimpun data IUP tambang pasca-booming izin guna
disesuaikan dengan rezim UU Nomor 4/2009 Minerba, salah satunya dilakukan melalui
mekanisme rekonsiliasi di tahun 2011 dengan mengkategorikan izin menjadi Clean
and Clear (CnC) dan non-Clean and Clear (non-CnC). Namun, proses yang tidak berjalan
dengan baik mengkibatkan rekonsiliasi juga belum berhasil menghimpun data yang
valid. Penolakan oleh sejumlah daerah terjadi karena terdapat anggapan bahwa
payung hukum dalam menentukan CnC dan non-CnC belum jelas.
•• Korsup Minerba mendorong proses penertiban perizinan yang diarahkan pada
pencabutan/pengakhiran izin yang berstatus non-CnC. Korsup juga mempelopori
dilakukanya verifikasi (overlay) antara izin tambang dengan kawasan hutan, sehingga
penertiban izin juga diarahkan pada pencabutan atau penciutan izin yang berada di
kawasan hutan konservasi, dan hutan lindung yang tidak beroperasi secara bawah
tanah (underground mining) --mandat UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.
•• Korsup Minerba KPK merekomendasikan adanya payung hukum terkait penertiban
izin yang ditindaklanjuti dengan hadirnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 43/2015
tentang Tata Cara Evaluasi Penertiban IUP di penghujung tahun 2015 dan menjadi
acuan terhadap proses penataan IUP hingga 2017
8. viii
•• Sejak 2014 hingga April 2017, tercatat sebanyak 776 izin tambang batubara dicabut/
diakhirkan oleh Kepala Daerah yang berwenang, (Bupati dan Gubernur), diketahui izin
yang dicabut mayoritas yang berstatus non-CnC dan masih dalam tahapan eksplorasi.
•• Luasan IUP batubara yang dicabut dan diakhirkan mencapai sekitar 3,56 juta hektar.
Sehingga total luas IUP batubara setelah adanya Korsup Minerba KPK mencapai sekitar
12,6 juta hektar (berdasarkan data per-30 Januari 2017).
•• IUP Batubara yang tersisa hingga April 2017 mencapai 2966 IUP, di mana sebanyak
52% atau 1561 IUP diketahui telah habis masa berlakunya pada Desember 2016.
Untuk sisanya, yakni sebanyak 1405 IUP, SK izinnya masih aktif, namun sebanyak 217
izin masih berstatus IUP non-CnC. Pemerintah daerah harus segera menindaklanjuti
penertiban izin-izin tersebut.
•• Untuk penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan, 102 ribu hektar
konsesi batubara jenis PKP2B terdapat di hutan konservasi. Sementara yang berada di
hutanlindungmencapai 123,8ribuhektar.SedangkanuntukkonsesijenisIUP,terdapat
194,8 ribu hektar di kawasan hutan konservasi dan 519,8 ribu hektar di kawasa hutan
lindung. Sehingga, izin/konsesi batubara yang masih ada di kawasan hutan konservasi
dan hutan lindung luasannya hampir mencapai 940,4 ribu hektar atau 15 % dari seluruh
luasan konsesi minerba di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
•• Secara kewilayahan, sebaran konsesi batubara yang berada di kawasan hutan
konservasi dan hutan lindung di seluruh Indonesia sebagian besar berada di wilayah
Papua, Kalimantan Timur, Papua Barat, dan Aceh.
9. ixPenataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
Daftar Isi
Kata Pengantar .............................................................................................................................................. v
Ringkasan Eksekutif..................................................................................................................................... vii
Daftar Isi ............................................................................................................................................................ ix
Daftar Tabel...................................................................................................................................................... x
Daftar Gambar................................................................................................................................................ x
Daftar Singkatan .......................................................................................................................................... xi
A. PENDAHULUAN....................................................................................................................................... 1
1. Potret Tata Kelola Perizinan Batubara................................................................................ 1
2. Ihwal Sengkarut Perizinan........................................................................................................ 2
3. Moratorium Izin Tambang ........................................................................................................ 3
4. Rekonsiliasi IUP dan Status Clean and Clear dan Non-Clean and Clear............... 4
5. Update Batubara Indonesia .................................................................................................... 5
6. Cadangan dan Sumberdaya Batubara Indonesia.......................................................... 6
7. Periodisasi Perkembangan Batubara Indonesia............................................................ 7
B. KOORDINASI DAN SUPERVISI MINERBA KPK SEKTOR BATUBARA ............................ 11
1. Latar Belakang dan Cakupan Korsup Minerba KPK .................................................... 11
2. Temuan, Tindak Lanjut dan Capaian Korsup .................................................................. 12
3. Aspek Administrasi dan Kewilayahan ................................................................................ 13
a. Tumpang Tindih Antar-Konsesi/Izin................................................................................. 13
b. Masa Berlaku IUP Berakhir.................................................................................................... 15
c. Konsesi/Izin di Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung......................................... 15
d. IUP Non-Clean and Clear........................................................................................................ 19
e. Tindak Lanjut dan Capaian Penataan............................................................................... 23
4. Anomali Peningkatan Luasan Konsesi/Izin di Hutan Konservasi dan Hutan
Lindung.............................................................................................................................................. 27
C. REKOMENDASI........................................................................................................................................ 29
D. DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 30
E. LAMPIRAN................................................................................................................................................. 31
10. x
Daftar Tabel
Tabel 1. Rekapitulasi IUP Batubara CnC dan Non-CnC Se- Indonesia, 2014 & 2017
Tabel 2. Tumpang Tindih IUP dengan PKP2B (2014)
Tabel 3. Kerangka‘Go’dan‘No Go Zone’Kawasan Hutan bagi Kegiatan Industri Ekstraktif
Tabel 4. Konsesi Pertambangan Minerba di Kawasan Hutan & Area Penggunaan Lain
Tabel 5. Masalah dan Tindak Lanjut dalam Evaluasi CnC Sektor Batubara
Tabel 6. Kategori Masalah Administrasi dan Kewilayahan dalam Rekomendasi CnC yang
Diajukan oleh Pemda
Tabel 7. Pola Umum Temuan dan Tindak Lanjut/Rencana Aksi
Tabel 8. Rekap Jumlah IUP Batubara yang Dicabut/Diakhirkan (Status April 2017)
Tabel 9. Perbandingan Luas Kawasan Konsesi/Izin Batubara di Hutan Konservasi & Hutan
Lindung Tahun 2016 (dalam Hektar)
Daftar Gambar
Gambar 1. Volume Produksi Batubara: Ekspor VS Domestik (dalam Juta Ton)
Gambar 2. Sumberdaya dan Cadangan Batubara Indonesia (dalam Juta Ton)
Gambar 3. Periodisasi Perkembangan Batubara di Indonesia
Gambar 4. Perjalanan Proses Korsup Minerba 2014-sekarang
Gambar 5. IUP Batubara dan Status Berakhirnya SK Izin
Gambar 6. Luas Konsesi Batubara di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung Tahun 2014
(dalam Hektar)
Gambar 7. Sebaran Konsesi /Izin Batubara (IUP & PKP2B) di Hutan Konservasi (2014)
Gambar 8. Sebaran Konsesi /Izin Batubara (IUP & PKP2B) di Hutan Lindung (2014)
Gambar 9. Alur Perkembangan Permen 43/2015
Gambar 10. Perkembangan Jumlah IUP Batubara Non-CnC
Gambar 11. Luasan Konsesi /Izin Batubara di Kawasan Hutan Konservasi pada Tahun 2014 &
2017 (dalam Hektar)
Gambar 12. Luasan Konsesi /Izin Batubara di Kawasan Hutan Lindung pada Tahun 2014 &
2017 (dalam Hektar)
Gambar 13. Ilustrasi Hutan tambang (Pixabay)
11. xiPenataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
Daftar Singkatan
AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
APBI : Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APL : Area Penggunaan Lain
BARESKRIM : Badan Reserse Kriminal
BKF : Badan Kebijakan Fiskal
BKPM : Badan Koordinasi Penanaman Modal
BIG : Badan Informasi dan Geospasial
BPKP : Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
BPS : Badan Pusat Statistik
BUMN : Badan Umum Milik Negara
CnC : Clean and Clear
DBB : Dinas Batu Bara
DHPB : Dana Hasil Penjualan Batubara
DIRJEN : Direktur Jenderal
DITJEN : Direktorat Jenderal
EBTKE : Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral
GN-PSDA : Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam
IUP : Izin Usaha Pertambangan
JAMDATUN : Jaksa Agung Muda Perdana dan Tata Usaha Negara
JAMINTEL : Jaksa Agung Muda Intelijen
KALTARA : Kalimantan Utara
KALTIM : Kalimantan Timur
KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
KP : Kuasa Pertambangan
KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
PDB : Produk Domestik Bruto
MINERBA : Mineral dan Batubara
NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak
PERMEN : Peraturan Menteri
PHT : Penjualan Hasil Tambang
PKP2B : Penjanjian Karya Pertambangan Pengusahaan Batubara
12. xii
PLTU : Pembangkit Listrik Tenaga Uap
PMA : Penanaman Modal Asing
PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri
PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak
POLRI : Kepolisian Republik Indonesia
PP : Peraturan Pemerintah
PWYP : Publish What You Pay
RKAB : Rencana Kerja dan Anggaran Belanja
SE : Surat Edaran
SIE : Surat Izin Ekspor
SK : Surat Keputusan
SPE : Surat Perjanjian Ekspor
UKL/UPL : Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup/Upaya Pemantauan Lingkungan
UU : Undang Undang
WIUP : Wilayah Izin Usaha Pertambangan
WP : Wilayah Pertambangan
15. 1Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
A. Pendahuluan
1. Potret Tata Kelola Perizinan Batubara
Industri batubara merupakan salah satu penopang perekonomian nasional dan beberapa
daerah di Indonesia. Kendati demikian, sebagai komoditas yang memanfatkan banyak lahan
(land use), batubara belum berkontribusi optimal kepada kesejahteraan rakyat. Kondisi
tersebut disebabkan oleh celah kebijakan yang berimbas pada kebocoran penerimaan negara
sepanjang rantai nilai batubara. Salah satu rantai nilai batubara yang penting untuk disorot
adalah sektor hulu, yaitu pada aspek perizinan. Celah kebijakan banyak dimanfaatkan oleh
pelaku rente sehingga membuat penerbitan izin batubara tidak terkendali. Kondisi tersebut
terjadi pada rentang tahun 1999-2012
Pemberian izin penggunaan lahan pada daerah kaya sumber daya alam kerap dikaitkan
dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal ini dapat dilihat dari adanya
kecenderungan eskalasi pemberian Kuasa Pertambangan (KP)-istilah perizinan di rezim UU
11/1967-yang saat ini telah berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), berdasarkan
UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Izin yang diberikan kepala daerah kepada pelaku usaha
diduga banyak disertai dengan ada imbal jasa (kickback) dalam bentuk suap atau gratifikasi.
Kondisi tersebut diperparah dari rantai pengawasan yang tidak ketat oleh penyelenggara
negara. Karena itu, booming izin pertambangan yang tidak disertai pengawasan yang tepat
memicu dampak sosial dan lingkungan serta kerugian negara dari penerimaan.
Pemberian izin yang tidak terkendali berimbas pada permasalahan tata kelola
pertambangan batubara di rantai proses bisnis lainnya, antara lain:
• Terbitnya ribuan izin pertambangan (mineral dan batubara) tanpa melalui proses
uji tuntas (due diligence) atas kewajiban dan kepatuhan yang memadai sehingga
meninggalkan sejumlah permasalahan seperti tumpang tindih izin baik sesama
komoditas dan komoditas lain, maupun tumpang tindih dengan kawasan hutan
konservasi dan hutan lindung; keberadaan perusahaan yang diragukan seperti alamat
yang tidak jelas, kecukupan modal yang dipertanyakan, serta status IUP Eksplorasi
dan Operasi Produksi yang dikeluarkan tanpa adanya komitmen pengalokasian dana
reklamasi dan pasca-tambang.
• Lemahnya pengawasan, seperti minimnya jumlah dan lemahnya fungsi inspektur
tambang dan tidak adanya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di sektor Minerba;
praktik pertambangan yang tidak sesuai prosedur praktek pertambangan yang baik
memunculkan dampak lingkungan seperti dampak buruk bagi lingkungan dan adanya
sisa lubang bekas tambang yang ditinggalkan tanpa reklamasi;
• Pengawasan produksi dan penjualan serta pengawasan aliran penerimaan negara
yang tidak ketat, memunculkan indikasi adanya ekspor ilegal, produksi yang tidak
sejalan dengan rencana kerja (RKAB).
16. 2
Hasil kajian KPK di sektor batubara pada tahun 2011 yang mengungkap berbagai
permasalahan di pertambangan batubara mendorong KPK untuk melakukan Koordinasi dan
Supervisi(Korsup),khususnyadisektorPertambanganMineraldanBatubara(Minerba).Sejumlah
temuan pada kajian tersebut melahirkan beberapa rekomendasi tindak lanjut, diantaranya:
• Perlunya dilakukan perbaikan regulasi, misalnya berupa Peraturan Menteri (Permen);
• Perlunya dilakukan penguatan kelembagaan;
• Perlu adanya perbaikan ketatalaksanaan perizinan;
• Perlunya dibangun database minerba, salah satunya melalui Minerba One Map
Indonesia (MOMI);
• Pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban pemda dan pelaku usaha;
• Mendorong penetapan batas wilayah pertambangan;
• Membenahi IUP melalui proses Clean and Clear (CNC); dan
• Perlu adanya pelatihan inspektur tambang untuk menguatkan pengawasan.
Korsup juga merupakan salah satu mandat yang dimiliki KPK sesuai dengan tugas dan
kewenangan KPK pada pasal 14 UU No 30/2002 tentang KPK yaitu,
• Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga
negara dan pemerintah.
• Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan
perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi.
• Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan
tersebut tidak diindahkan.
Selain itu, isu batubara merupakan bagian dari rencana strategi KPK 2011-2015 yang salah
satunya berfokus pada perbaikan sektor strategis terkait kepentingan nasional (national
interest) meliputi ketahanan energi dan lingkungan (migas, pertambangan dan kehutanan)
serta penerimaan negara (pajak, bea dan cukai, serta PNBP). Korsup Minerba juga lahir sebagai
trigger mechanism yang dijalankan KPK untuk melakukan pencegahan korupsi di sektor-sektor
tertentu melalui koordinasi dan supervisi dengan kementerian/lembaga terkait
2. Ihwal Sengkarut Perizinan
Jika ditarik mundur, sengkarut tata kelola tambang minerba yang memicu booming
perizinan tambang terjadi pasca-ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75/2001
tentang Penyerahan Kewenangan Pertambangan kepada Pemerintah Daerah yang merupakan
turunan UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). PP Nomor 75/2001
itu mulanya dimaksudkan sebagai jembatan perantara antara UU Nomor 11/1967 tentang
Pertambangan dengan UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Konsekuensi lahirnya PP Nomor 75/2001 tersebut secara umum memberikan kewenangan
pengelolaan sektor pertambangan secara utuh kepada Pemda di tingkat Kabupaten/Kota,
sehingga memicu ketidaksinkronan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Pertambangan.
17. 3Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
Berdasarkan data pada tahun 2001, izin tambang yang tercatat oleh pemerintah pusat
diketahui hanya sebanyak 750-an izin, namun dengan peralihan kewenangan pemberian izin
di era desentralisasi, angka izin minerba berkembang secara tidak terkontrol menjadi 8.000-an
lebih di tahun 2008 (Tri Haryati, 2013). Angka tersebut melonjak lebih signifikan lagi menjadi
10.900-an lebih di tahun rentang 2010 hingga 2014. Dari angka tersebut 40% diantaranya
adalah IUP batubara dengan total luasan mencapai mencapai 16,2 juta hektar (Ditjen Minerba,
2013). Sedangkan luasan untuk rezim izin PKP2B luasanya sekitar 1,95 juta hektar (Ditjen
Planologi, 2014).
Kelahiran UU Nomor 4/2009 tentang Minerba menjadi titik balik baru dalam tata kelola
pertambangan. UU Minerba diharapkan mampu menyelesaikan sejumlah masalah dari
regulasi pertambangan sebelumnya dan menyesuaikan dengan semangat desentralisasi. UU
Minerba telah mengakhiri skema/model kontrak/perjanjian dan beralih ke bentuk IUP yang
terdiri atas IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. UU ini memandatkan pada seluruh KP
yang ada untuk dikonversi menjadi IUP.
3. Moratorium Izin Tambang
Pasca-diterbitkannya UU Minerba Nomor 4/2009, Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba
meresponnya dengan menerbitkan dua Surat Edaran (SE) untuk dilakukannya moratorium
penerbitan IUP baru, yakni:
1. SE Nomor 03/2009 tertanggal 30 Januari 2009 tentang Perizinan Pertambangan
Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan
UU Nomor 4/2009. SE ini ditujukan kepada seluruh gubernur dan bupati/walikota
agar menghentikan sementara penerbitan IUP baru sampai dengan diterbitkannya
Peraturan Pemerintah (Poin 2 Surat Edaran);
2. SE Nomor 08/2012 tentang Penghentian Sementara Penerbitan IUP Baru Sampai
Ditetapkannya Wilayah Pertambangan (WP). Surat Edaran yang menegaskan soal
moratorium ini diterbitkan tiga tahun dari SE Nomor 03/2009 tepatnya pada tanggal 6
Maret 2012 dan ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota di seluruh Indonesia.
Dengan terbitnya SE itu, maka gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia
diminta untuk menghentikan penerbitan IUP baru sampai ditetapkannya WP.
KeduaSEtersebutmerupakanpedomanbagiDinasPertambanganProvinsidanKabupaten/
Kota di seluruh Indonesia untuk melaksanakan moratorium (penghentian sementara) IUP. Bagi
kepala daerah yang melanggar akan ada sanksi tegas yang dijatuhkan, bahkan dapat dipidana.
Sedangkan bagi perusahaan yang melanggar maka semua izin usahanya akan dicabut oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menurut Sawitri (2013), sayangnya moratorium dalam praktik di beberapa daerah kerap
“diakali” dengan tanggal permohonan izin tambang yang dibuat mundur (backdate), seolah-
olah permohonan IUP diajukan sebelum tahun 2009. Hal ini bertujuan agar permohonan izin
tambang dapat diproses segera tanpa harus melalui lelang1
.
1 Konfirmasi juga kembali dilakukan kepada Tim SDA KPK yang mengemukakan indikasi backdate izin
terjadi di sejumlah daerah.
18. 4
Indikasi kuat adanya backdate dari SK penerbitan IUP ini tampak dari adanya peningkatan
jumlah izin tambang yang terindentifikasi di tingkat pusat, dari hanya 8.000-an izin di akhir
2008 menjadi sekitar 10.900-an di akhir 2011, sehingga ada IUP yang diduga lahir pada rentang
2009-2011, yang jumlahnya mencapai 2900-an izin lebih.
4. Rekonsiliasi IUP dan Status Clean and Clear dan Non-Clean and Clear
Minimnya validitas data dan banyaknya permasalahan turunan akibat lonjakan perizinan
di era desentralisasi membuat Kementerian ESDM melalui Ditjen Minerba berinisiatif
mengadakan rekonsiliasi nasional data IUP pada 3-6 Mei 2011. Rekonsiliasi itu yang bertujuan
untuk mendapatkan data pasti dalam proses penataan IUP yang diterbitkan Pemda seluruh
Indonesia.
Untuk menyaring keberadaan tambang tersebut, maka dilakukan identifikasi melalui
penetapan status CnC dan non-CnC yang diharapkan untuk mendapatkan data IUP nasional,
sekaligus untuk mempercepat proses penyesuaian KP menjadi IUP sebagaimana diamanatkan
oleh PP Nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Pada momen rekonsiliasi, pemerintah daerah (Bupati/Walikota/Gubernur) menyerahkan
seluruh IUP yang diterbitkan beserta kelengkapan seluruh dokumen pendukungnya antara
lain: kelengkapan administrasi seperti Surat Keputusan (SK) penerbitan IUP yang masih berlaku
beserta lampiran peta dan koordinat, dokumen yang menunjukkan tidak terjadi tumpang
tindih antar izin dan komoditas, dokumen terkait kewajiban keuangan, serta persetujuan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Berdasarkan verifikasi dan klasifikasi tersebut, IUP dikelompokkan menjadi IUP CnC dan
IUP non-CnC. Data yang dihimpun oleh pemerintah dalam proses rekonsiliasi IUP nasional itu
digunakan untuk melakukan penataan KP/IUP, khususnya terhadap KP/IUP yang diterbitkan
oleh Pemda.
Secara umum, IUP CnC adalah IUP yang proses penerbitannya telah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak memiliki permasalahan administrasi
dan tumpang tindih kewilayahan dan komoditas. Sebaliknya, IUP Non-CnC merupakan IUP
yang memiliki permasalahan dalam proses penerbitannya dan/atau memiliki permasalahan
tumpang tindih kewilayahan.
Selanjutnya bagi IUP yang telah menyandang status CnC, dapat ditingkatkan untuk
mendapatkan sertifikat CnC dengan catatan selain tidak bermasalah secara administrasi dan
tumpang tindih kewilayahan, IUP tersebut juga telah memenuhi seluruh kewajiban finansial
(baik pajak dan non-pajak), memenuhi kewajiban persyaratan teknis seperti laporan akhir
eksplorasi, laporan studi kelayakan dan laporan lingkungan seperti AMDAL, UKL/UPL (Upaya
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan), serta rencana reklamasi dan pasca tambang
beserta persetujuannya.
Upaya rekonsiliasi ini bukan tanpa hambatan dan perdebatan. Banyak kabupaten/kota
dan provinsi yang tidak juga patuh untuk menyampaikan datanya, lantaran dianggap proses
rekonsiliasi ini tidak memiliki payung hukum yang jelas. Selain itu, pemerintah daerah juga ada
19. 5Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
yang menyalahkan pemerintah pusat akibat tidak dilaksanakannya tugas pokok dan fungsi
pemerintah pusat dalam mekanisme pengawasan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah melalui sejumlah regulasi mulai
mempersyaratkan CnC dalam pemberian layanan perizinan, termasuk perizinan angkut jual,
surat izin ekspor (SIE), surat persetujuan ekspor (SPE), dan perubahan investasi.
Kebijakan penataan IUP terus berjalan seiring dengan terbitnya UU Nomor 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah yang menarik kewengan bupati/walikota sebagai pemberi
izin kepada gubernur. Selain itu, terbit juga Permen ESDM Nomor 43/2015 Tentang Tata
Cara Evaluasi Penerbitan IUP yang memperkuat mekanisme evaluasi dan penertiban izin,
dan khususnya melalui mekanisme audit CnC. Permen 43/2015 lahir setelah Korsup KPK
merekomendasikan pentingnya payung hukum dalam penataan perizinan.
5. Update Batubara Indonesia
Indonesia merupakan negara produsen batubara urutan kelima dunia setelah China,
Amerika Serikat, India dan Australia (BP Statistical Review, 2016). Produksi batubara Indonesia
sepanjang2012-2015rata-ratamencapailebihdari400jutatonsetiaptahun.Kendatidemikian,
Indonesia merupakan eksportir batubara terbesar di dunia sebelum disalip Australia pada
tahun 2015. Sekitar 75%-85% dari volume produksi batubara Indonesia diekspor, sedangkan
sisanya digunakan untuk kebutuhan domestik dengan peruntukan utama sebagai bahan
bakar pembangkit listrik. Namun, kontribusi batubara terhadap produk domestik bruto (PDB)
masih sangat minim, rata-rata hanya berada di kisaran 2,5% sepanjang 2010-2015 dari kisaran
4-5% PDB pertambangan secara umum pada periode yang sama (BPS, 2016).
Gambar 1.
Volume Produksi Batubara: Ekspor VS Domestik (dalam juta ton)
Sumber: Laporan Kinerja Ditjen Minerba (2015-2016), Kementerian ESDM & APBI (2016)
2005
EksporProduksi Batubara Domestik
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
154
194
217
240
254
275
353
412
474
458 461
434
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
103
142
163
191 198
210
287
345
402
382
366
343.5
51 52 54 49 56 65 66 67 72 76 87 90.5
20. 6
Berdasarkan data runut waktu, lonjakan produksi batubara mulai mengalami peningkatan
pada rentang tahun 1989 hingga 1999. Volume produksi batubara pada kurun waktu tersebut
meningkat dari 4,43 juta ton menjadi 80,89 juta ton dengan tingkat pertumbuhan yang
sangat signifikan, tiap tahunnya hampir mencapai 30%. Selanjutnya, angka volume produksi
batubara Indonesia terus tumbuh hingga menyentuh rekor tertingginya di angka 400-an
juta ton pada tahun 2012 hingga dua tahun setelahnya. Pada tahun 2015 dan 2016 angka
produksi mengalami penurunan sebagai konsekuensi dari turunnya harga batubara dunia
dan antisipasi yang dilakukan China untuk mengerem laju penggunaan Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) di negaranya. Industri tambang batubara kembali bergeliat di penghujung
2016 yang ditunjukkan dengan peningkatan harga batubara dunia dan Harga Batubara Acuan
(HBA) yang cukup signifikan.
Dalam kerangka kebijakan energi nasional, komoditas batubara juga mendapatkan
perhatian khusus melalui Peraturan Presiden No 22/2017 tentang Rencana Umum Energi
Nasional (RUEN). Terdapat sejumlah rencana aksi kegiatan yang dimandatkan oleh Perpres
terkait batubara kepada Kementerian ESDM untuk ditindaklanjuti menjadi kebijakan nasional
yang tentunya akan berdampak pada industri batubara. Poin-poin penting yang berkaitan
sektor batubara antara lain:
• Mengendalikan produksi batubara maksimal sebesar 400 juta ton mulai tahun 2019.
• Mengurangi porsi ekspor batubara secara bertahap dan menghentikan ekspor
batubara paling lambat tahun 2046, dalam rangka memprioritaskan kebutuhan dalam
negeri.
• Menghentikan ekspor batubara pada saat kebutuhan dalam negeri mencapai 400 juta
ton.
• Memanfaatkan batubara sebagai andalan untuk menyeimbangkan pasokan energi
primer sebesar minimal 30% pada tahun 2025 dan minimal 25% pada tahun 2050,
dengan menggunakan teknologi bersih.
• Moratorium pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK) batubara di hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan
konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain.
6. Cadangan dan Sumberdaya Batubara Indonesia
Berdasarkan data Badan Geologi tahun 2016, Indonesia memiliki sumberdaya batubara
mencapai 99,2 miliar ton dengan cadangan terbukti mencapai 13,3 miliar ton dari seluruh
jenis izin pertambangan batubara yang sedang berjalan. Cadangan terbukti tersebut
dikontribusikan oleh Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebesar
41,3 %, IUP Penanaman Modal Asing (PMA) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar
11%, dan IUP Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar 47,7%. Dengan asumsi laju
produksi batubara tetap seperti tahun 2015 (461 juta ton/tahun) dan data cadangan terbukti
tetap seperti sekarang (13,3 miliar ton), maka cadangan terbukti batubara di Indonesia
diperkirakan akan habis dalam kurun waktu 28,85 tahun mendatang, tepatnya di tahun 2046.
21. 7Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
Secara kewilayahan, mayoritas sumberdaya dan cadangan batubara di Indonesia
terkonsentrasi di dua pulau besar, yaitu Sumatera (50%) dan Kalimantan (49,5%), sisanya
tersebar di pulau-pulau lain seperti Papua. Saat ini, lokasi eksploitasi batubara sebagian besar
berada di wilayah Kalimantan (93%) dan selebihnya (7%) di wilayah Sumatera. Sementara dari
sisi kualitas, batubara Indonesia terdiri atas kualitas menengah (63%), kualitas rendah (29%),
kualitas tinggi (5%), dan kualitas sangat tinggi (3%).
Gambar 2.
Sumberdaya dan Cadangan Batubara Indonesia (dalam Juta Ton)
Sumber: Badan Geologi, 2016
7. Periodisasi Perkembangan Batubara Indonesia
Sejarah pertambangan batubara di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak zaman
penjajahan Belanda, namun saat itu volumenya belum begitu besar. Dalam klasifikasi Lacurelli
(2010), setidaknya terdapat tiga fase dalam perkembangan batubara di Indonesia hingga
periode tahun 2009, terutama apabila dihubungkan dengan pertumbuhan volume produksi.
Periodisasi oleh Lucarelli ini dikembangkan lebih lanjut oleh laporan ini dengan menambahkan
satu periode yakni periode penyesuaian dan penataan (2010 – sekarang). Periodisasi tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Periode Perkembangan (Formative Period), 1967-1998. Pada periode ini lahir dua
regulasi kunci atas dibukanya investasi sektor batubara di Indonesia, yaitu UU Nomor
1/1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Pertambangan Nomor 11/1967
yang membuka pintu bagi investasi asing di sektor pertambangan mineral dan
batubara. Pada periode ini lahir berbagai bentuk konsesi batubara dalam bentuk KP.
60.000,00
50.000,00
40.000,00
30.000,00
20.000,00
10.000,00
-
Tereka Tertunjuk Terukur Total Terkira Terbukti Total
PKP2B 14.748,90 13.892,26 15.168,58 43.808,75 4.815,72 5.475,57 10.291,29
IUP PMA DAN BUMN 1.635,40 2.187,17 1.777,07 5.599,64 1.966,87 1.463,93 3.430,80
IUP PMDN 15.816,77 14.271,91 19.779,23 49.867,91 12.389,50 6.329,02 18.718,52
PKP2B IUP PMA DAN BUMN IUP PMDN
22. 8
b. PeriodeLepasLandas(Take-offperiod),1989-1999. Secaraumumperiodeiniadalah
titik balik dari industri batubara, di mana terjadi pertumbuhan produksi signifikan
dalam 10 tahun lebih dari 2000% dari hanya 4,43 juta ton di tahun 1989 menjadi 80,89
juta ton di tahun 1999. Pada periode ini ditandai oleh masuknya investasi di sektor
batubara dari pemodal asing dengan hadirnya PKP2B Generasi I sebanyak 10, yang
lahir pada rentang tahun 1981–1989. Selanjutnya, PKP2B Generasi II sebanyak 18, yang
lahir pada tahun 1994-1996 dan PKP2B Generasi III sebanyak 113, pada periode 1997-
2000.
c. Periode Otonomi Daerah (The localization period), 2000-2009. Proses transisi
pasca-kejatuhan rezim Suharto mengubah arah pelimpahan kewenangan dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah yang terjadi secara masif sehingga memicu
sengkarut kewenangan perizinan yang berakibat pada tidak terkendalinya izin-izin
tambang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. Otonomi daerah ditafsirkan
sebagai kewenangan mutlak untuk membagi-bagi izin tambang sampai tidak ada
izin tambang yang tersisa lagi untuk bisa diberikan kepada Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD). Pada periode 2001–2009 sektor pertambangan dapat dikatakan mengalami
chaos, dimana dalam periode tersebut sektor pertambangan batubara berkembang
hampir tanpa pengawasan baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi.
Bahkan muncul adagium, otonomi ditafsirkan tergantung pada kearifan para Bupati
dan DPRDnya.
d. Periode Penyesuaian dan Penataan, 2010-Sekarang. Periode ini ditandai dengan
adanya penyesuaian/penyelarasan dan penataan kembali otonomi daerah yang
berimplikasi pada sektor pertambangan. Dari sisi regulasi, periode ini ditandai dengan
lahirnya UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)
dan lima tahun kemudian lahir UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang mengalihkan kewenangan perizinan ke provinsi, berbeda dari UU Pemda
sebelumnya Nomor 32/2004 yang memberikan kewenangan pada Bupati/Walikota.
Pada periode ini, KP disesuaikan menjadi IUP sesuai dengan UU Minerba, sedangkan
PKP2B pada akhirnya akan diarahkan menjadi IUP Khusus melalui renegosiasi untuk
melakukan amandemen, yang hingga kini prosesnya masih belum selesai seluruhnya.
Pada periode ini terdapat proses evaluasi dan semacam audit izin melalui kebijakan
pemberian status dan sertifikat CnC sebagai upaya untuk melakukan penataan
pertambangan. Penertiban yang cukup progresif juga dilakukan melalui dukungan
KPK dalam mekanisme Korsup yang secara formal dimulai sejak tahun 2014. Korsup
ini melibatkan kerja sama dengan Kementerian/Lembaga sektoral dan penegak
hukum terkait, serta peran aktif Pemerintah Daerah baik tingkat Kabupaten/Kota dan
Provinsi di seluruh Indonesia. Periode ini juga ditandai dengan ditariknya kewenangan
pemerintah kabupaten/kota dalam memberikan IUP dan pengawasan pertambangan
ke pemerintah provinsi melalui UU Nomor 23/2014.
23. 9Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
Gambar 3.
Periodisasi Perkembangan Batubara di Indonesia
Sumber: Lucarelli (2010) dan PWYP Indonesia (2017)
Periode
Penyesuaian dan
Penataan
2010-sekarang
Periode Otonomi
(The Localization
Period)
2000-2009
Periode Lepas
Landas
(Take-off Period)
1989-1999
Periode
Perkembangan
(Formative Period)
1967-1980
24. 10
Sumber: ft.com
KPK bersama Kementerian ESDM dan Pemerintah
Daerah, berkolaborasi dengan organisasi masyarakat
sipil dan NGOs menginisiasi upaya penertiban dan
penataan sektor batubara melalui Koordinasi dan
Supervisi sektor Minerba dalam Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA).
25. 11Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
B. Koordinasi dan Supervisi
Minerba KPK Sektor Batubara
1. Latar Belakang dan Cakupan Korsup Minerba KPK
Korsup Minerba merupakan bagian dari Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya
Alam (GN-PSDA) yang dinisiasi KPK awal tahun 2014, diawali dengan kick-off meeting antara
KPK dan jajaran Kementerian/Lembaga dan Penegak Hukum terkait yang dihadiri oleh kepala-
kepala daerah di bulan Februari 2014. Pada awalnya, wilayah cakupan Korsup Minerba terbatas
di 12 provinsi dengan izin pertambangan minerba terbanyak di Indonesia2
. Namun, setelah
diadakan pertemuan puncak pada akhir 2014, cakupan wilayah Korsup bertambah 19 provinsi
lainnya, 3
sehingga total menjadi 31+1 Provinsi (ditambah Kalimantan Utara yang merupakan
pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur). Total cakupannya mencapai 162 Kabupaten/Kota
penghasil Minerba terlibat dalam Korsup ini. Terdapat lima (5) sasaran utama yang harus
dilakukan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam Korsup Minerba, antara lain:
• Pelaksanaan Penataan IUP
• Pelaksanaan Kewajiban keuangan pelaku IUP
• Pelaksanaan pengawasn produksi dan penjualan minerba
• Pelaksanaan kewajiban pengolahan dan pemurnian
• Pelaksanaan kewajiban pengelolaan lingkungan
Pelaksanaan Korsup Minerba ini meliputi studi awal sebagai baseline, rapat koordinasi,
penyusunan rencana aksi bersama instansi terkait, serta melakukan monitoring, koordinasi,
dan supervisi capaian rencana aksi yang telah disusun oleh berbagai instansi terkait. Hingga
sekarang, Korsup Minerba masih berlangsung, dan sejak Februari 2016 bertansformasi menjadi
bagian dari Korsup Energi dengan perluasan cakupan sektor yang meliputi Migas, Kelistrikan,
serta Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Gambar 4 adalah lini masa dari
perjalanan Korsup Minerba hingga Korsup Energi KPK.
2 12 Provinsi: Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, dan Maluku Utara
3 19 Provinsi: Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara
Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,
Bengkulu, Lampung, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Papua dan Papua Barat
26. 12
Gambar 4.
Perjalanan Proses Korsup Minerba 2014-sekarang
Sumber: Korsup Minerba KPK
2. Temuan, Tindak Lanjut dan Capaian Korsup
Pola umum permasalahan perizinan pertambangan batubara secara umum meliputi aspek
administratif seperti kelengkapan syarat izin, alamat perusahaan yang tidak jelas, tumpang
tindihperizinan,problemtataruangdankewilayahan,kewajibanfinansial,sertaketidakpatuhan
ketentuan reklamasi dan pasca-tambang. Persoalan administrasi dan kewilayahan sebagian
besar disebabkan oleh kelemahan dan ketidaksinkronan database antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Di bawah ini adalah tabel perizinan batubara saat pertama kali
Korsup Minerba dilakukan pada 2014 dan tiga tahun setelahnya. Secara umum, dapat terlihat
kinerja Korsup Minerba, yakni terjadinya penurunan jumlah IUP Batubara pasca-adanya Korsup
Minerba.
Tabel 1.
Rekapitulasi IUP Batubara CnC dan Non-CnC Se- Indonesia, 2014 & 2017
Status
IUP Batubara (Desember 2014) IUP Batubara (April 2017)
Eksplorasi
Operasi Produksi
(OP)
Eksplorasi
Operasi Produksi
(OP)
CNC 1.391 1.028 899 1.300
Non-CNC 991 382 535 236
Sub Total 2.382 1.410 1.434 1.536
TOTAL 3.792 2.970
Sumber: Ditjen Minerba, 2014 & 2017
Jan-Feb 2014
Kick off meeting
Korsup Minerba di
KPK
Agu-Des 2015
Pelaksanaan Monev
Korsup di 19
Provinsi
Feb-Jul 2014
Kick off Korsup
Minerba di 12
Provinsi
31 Okt 2015
Keputusan dan
Rekomendasi Final
Tindak Lanjut
Korsup Minerba di
32 Provinsi
Agu-Nov 2014
Monev Korsup
Minerba di 12
Provinsi
Feb 2016-sekarang
Korsup Energi:
Minerba, Migas,
Kelistrikan dan
EBTKE
Jan-Jul 2015
Kick off
Pelaksanaan
Korsup Minerba di
19 Provinsi
27. 13Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
3. Aspek Administrasi dan Kewilayahan
a. Tumpang Tindih Antar Konsesi/Izin
Basis data yang lemah menyebabkan banyak terjadinya tumpang tindih antar izin/konsesi
serta lambatnya tindak lanjut dari pengakhiran dan pencabutan izin-izin yang telah
berakhir atau habis masa berlakunya. Hal tersebut juga dikarenakan lemahnya koordinasi
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sehingga IUP yang dikeluarkan oleh
Pemda ternyata masih masuk dalam wilayah izin yang dikelola oleh pusat seperti KK/
PKP2B. Berikut adalah dua contoh model kasus yang saling tumpang tindih antar izin:
Tumpang Tindih IUP dengan PKP2B
Berdasarkan temuan Korsup KPK tahun 2014, tumpang tindih IUP dengan PKP2B jumlahnya
mencapai 50-an izin, sebagian besar berada di wilayah Kalimantan dan sebagian kecil di
Sumatera Selatan. Hal itu terutama terjadi pada saat terjadi konversi dari KK menjadi IUP,
dimana wilayah/area IUP yang diterbitkan oleh Pemda tersebut ternyata masih menjadi
area PKP2B.
Tabel 2.
Tumpang Tindih IUP dengan PKP2B (2014)
NO PKP2B Lokasi
Penerbit IUP
(Prov/Kab/Kota)
Jumlah
IUP
1 Tanjung Alam Jaya Banjar Banjar (1 IUP) 1
2 Ekasatya Yanatama Tanah Bumbu Kotabaru (2 IUP) 2
3 Kadya Caraka Mulia Banjar Banjar (1 IUP) 1
4 Trubando Coal Mining Kutai Barat Barito Utara (1 IUP) 1
5 Borneo Indobara Tanah Bumbu SK Menteri (1
kk:Pelsart)
1
6 Bharinto Ekatama Barito Utara & Kutai Barat Kutai barat (1 IUP) 1
7 Asmin Bara Bronang Kapuas dan Murungraya Kapuas (7 IUP) 7
8 Antang Gunung
Meratus
Hulu sungai selatan, Hulu
sungai tengah, Banjar,
Taipin
Hulu Sungai (1 IUP) 1
9 Suprabari Mapindo
Mineral
Barito Utara Barito Utara (1 IUP) 1
10 Interex Sacra Raya Pasir dan Tabalong Tabalong (1 IUP) 1
11 Bangun Banua Persada
Kalimantan
Banjar dan Tapin Tapin (1 IUP) 1
12 Intitirta Primasakti Sarolangun, Batanghari,
Musi Banyuasin
Batanghari (4 IUP)
Sarolangun (6 IUP)
10
13 Firman Ketaun Perkasa Kutai barat Kutai Barat (2 IUP) 2
28. 14
14 Nusantara Termal Coal Bungo Bungo (1 IUP) 1
15 Singlurus Pratama Kutai Kartanegara; Kota
Balikpapan; Penajam
Paser Utara
Penajam Paser Utara
(1 IUP)
1
16 Arutmin Indonesia Tanah Bumbu; Tanah
Laut; Kotabaru
Tanah Bumbu (8 IUP)
Kotabaru (3 IUP)
11
17 Multi Tambangjaya
Utama
Barito Selatan; Bario
Utara; Barito Timur
Barito Timur (3 IUP) 3
18 Perkasa Inakakerta Kutai Timur Kutai Timur (2 IUP) 2
19 Juloi Coal Murungraya Murungraya (1 IUP) 1
20 Kalimantan Energi
Lestari
Kotabaru SK Menteri (1KK:
Pelsart)
1
Jumlah 50
Sumber: Bahan Paparan Dirjen Minerba, Jakarta, 27 Agustus 2014
Tumpang Tindih Antar IUP
Antar IUP juga mengalami tumpang tindih. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh
permasalahan batas wilayah, dimana belum adanya penetapan batas wilayah dari suatu
kabupaten/kota maupun provinsi. Kasus KalimantanTimur dan Kalimantan Utara di bawah
ini menggambarkan kondisi tersebut (Ditjen Minerba, 2016).
Kalimantan Timur
Terdapat permasalahan batas wilayah antara IUP batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara
denganIUPbatubaradiKabupatenKutaiTimur.Sejumlahupayauntukmenengahipersoalan
tersebut telah dilakukan sebelumnya, yaitu dengan adanya kesepakatan Tim Penegasan
Batas Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Tim Penegasan Batas Daerah Kabupaten
Kutai Timur yang mana kesepakatan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan
Batas tanggal 3 Desember 2010, dan Surat Penegasan Batas Gubernur Kalimantan Timur
No. 136/9187/BPPWK-C/X/2012 tanggal 31 Oktober 2012 (Dirjen Minerba). Sebagai upaya
tindak lanjut penyelesaiaanya, Kementerian ESDM membentuk Tim Kordinasi yang terdiri
dari Ditjen Minerba, Jamdatun Kejaksaan Agung, Jamintel Kejaksaan Agung, Bareskrim
POLRI dan BPKP. Tim ini merekomendasikan: “Dalam hal belum ditetapkannya batas
administratif Kab. Kutai Kartanegara dan Kab. Kutai Timur, permohonan CnC PT. XXX dapat
diproses mengacu pada batas indikatif wilayah yang dikeluarkan oleh Badan Informasi dan
Geospasial (BIG)”
Kalimantan Utara
Tumpang tindih IUP terjadi akibat belum adanya penetapan batas wilayah administratif
definitif antara Kabupaten Tana Tidung dengan Kabupaten Nunukan. Penyelesaiannya
mengikutipenyelesaiankasustumpangtindihbatasadministrasiIUPdiProvinsiKalimantan
Timur sesuai kesepakatan Tim Koordinasi Penyelesaian permasalahan IUP yang dibentuk
29. 15Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
oleh Kementerian ESDM. Selanjutnya Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) melalui
surat tanggal 3 Mei 2016 kepada Menteri ESDM, meminta penerbitan Sertifikat CnC PT.
XXX sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Surat Dirjen Minerba ke Gubernur Kalimantan Utara pada bulan Juni 2016
menyampaikan bahwa Penetapan CnC PT. XXX akan dilakukan setelah Gubernur Kaltara
memproses penciutan wilayah yang tumpang tindih; menerbitkan SK penciutan; dan
menyampaikan hasil penyelesaian tumpang tindih WIUP. Namun, berdasarkan laporan
Kementerian ESDM ke KPK per 15 September 2016, SK penyelesaian tumpang tindih belum
juga diterbitkan oleh Gubenur Kaltara.
b. Masa Berlaku IUP Berakhir
Korsup Minerba juga telah merekomendasikan untuk mendapatkan data perizinan yang
lengkap, termasuk mengenai periode perizinan yang telah berakhir masa berlakunya.
Dari total 8.524 IUP di sektor Minerba yang tersisa di awal April 2017, terdapat 2.996 IUP
Batubara. Dari jumlah itu, 1.561 IUP diantaranya telah habis masa berlakunya, sedangkan
sisanya 1.405 IUP masih aktif. Dari SK yang aktif, 217 IUP diantaranya berstatus Non-CnC
dan 1.188 diantaranya berstatus CnC. Sedangkan dari IUP yang SK nya habis, 1.007 IUP
diantaranya CnC dan 554 diantaranya Non-CnC. Gambar 5 mengilustrasikan IUP batubara
dan status berakhirnya SK Izin per April 2017.
Gambar 5.
IUP Batubara dan Status Berakhirnya SK Izin
Sumber: Ditjen Minerba Kementerian ESDM, April 2017
c. Konsesi/ Izin di Kawasan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung
Salah satu temuan penting dari Korsup Minerba adalah banyaknya izin pertambangan
batubarayangberadadikawasanhutanyangtidakbolehdilakukankegiatanpertambangan
(no go zone), yakni hutan konservasi dan hutan lindung (secara penambangan terbuka).
Hal ini terungkap dalam rapat koordinasi bersama Ditjen Minerba, Kementerian ESDM dan
Ditjen Planologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada awal tahun
2014.
2.966 IUP Batubara
SK Aktif
1.405 IUP
SK Habis
1.561 IUP
554
IUP Non-CnC
217
IUP Non-CnC
1.007
IUP C&C
1188
IUP CnC
30. 16
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, aktivitas pertambangan
di kawasan hutan tidak boleh dilakukan di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan Pasal
38 UU Kehutanan, dapat dilakukan dengan ketentuan: (1) Jika dalam kawasan hutan produksi,
dapat dilakukan dengan pola pertambangan terbuka (open pit); dan atau dengan pola
penambangan bawah tanah (underground); sedangkan (2) Jika dalam kawasan hutan lindung,
hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola underground, dengan ketentuan dilarang
mengakibatkan turunnya permukaan tanah, berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara
permanen, dan terjadinya kerusakan akuifer air tanah (lapisan bawah tanah yang mengandung
air dan dapat mengalirkan air). Tabel 3 menggambarkan kerangka ‘Go’ dan ‘No Go Zone’ bagi
kegiatan industri ekstraktif di kawasan hutan.
Pada era pemerintahan Presiden Megawati, dikeluarkan Keputusan Presiden No. 41 Tahun
2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan
Hutan yang memberikan penetapan kepada 13 izin atau perjanjian di bidang pertambangan
yang telah ada sebelum berlakunya UU Nomor 41/1999. Dari ke-13 izin tambang itu, hanya
satu yang komoditasnya batubara yaitu milik PT Interex Sacra Raya.
Tabel 3.
Kerangka‘Go’dan‘No Go Zone’Kawasan Hutan bagi Kegiatan Industri Ekstraktif
(Berdasarkan Ketentuan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan)
Jenis Hutan Konsesi Tambang Konsesi
Kelapa
Sawit
Konsesi
Kawasan
Kehutanan
Konsensi
Penebangan
Hutan
Hutan
Konservasi
No Go No Go No Go No Go
Hutan
Lindung
No Go (diizinkan apabila
melakukan penambangan bawah
tanah)
No Go No Go No Go
Hutan
Produksi
Go (dengan persetujuan
Kementerian KLHK berupa Izin
Pinjam Pakai Kawasan Hutan)
No Go No Go Go
Sumber: Radjawali, 2014,
Konsesi Minerba di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung
Hasil temuan Korsup tahun 2014 mencatat, jumlah seluruh izin tambang baik mineral
maupun batubara yang berada di kawasan hutan hampir mencapai sekitar 26 juta hektar,
dimana 6,3 juta hektar di antaranya berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
Tabel 3 menguraikan konsesi pertambangan mineral dan batubara di kawasan hutan dan area
penggunaan lain (APL).
31. 17Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
Tabel 4.
Izin/Konsesi Pertambangan Minerba di Kawasan Hutan & Area Penggunaan Lain
Kategori
Konsesi
Hutan
Konservasi
(A)
Hutan
Lindung (B)
Hutan
Produksi
(C)
Kawasan
Hutan
(D=A+B+C)
Area Peng-
gunaan
Lain (E)
Grand Total
(D+E)
IUP 1,160,181 3,922,584 17,909,481 22,992,246 11,735,091 34,727,338
Operasi
Produksi
18,819 173,196 2,022,352 2,214,367 2,232,884 4,447,250
C&C 10,852 75,068 1,612,090 1,698,010 1,730,613 3,428,623
Non-C&C 7,967 98,128 410,262 516,357 502,271 1,018,627
Survei/
Explorasi
1,141,363 3,749,388 15,887,130 20,777,880 9,498,814 30,276,694
C&C 119,499 1,380,574 8,057,850 9,557,924 5,125,754 14,683,678
Non-C&C 1,021,863 2,368,814 7,829,279 11,219,956 4,373,060 15,593,016
KK 110,219 890,541 837,558 1,838,318 372,380 2,210,698
Operasi
Produksi
10,166 236,046 285,484 531,696 151,654 683,350
Survei/
Explorasi
100,053 654,496 552,075 1,306,624 220,725 1,527,348
PKP2B 101,998 123,752 927,171 1,152,921 803,274 1,956,194
Operasi
Produksi
10,074 16,695 539,780 566,549 698,355 1,264,904
Survei/
Explorasi
91,924 107,056 387,390 586,370 104,919 691,290
Grand Total 1,372,398 4,936,878 19,674,211 25,983,486 12,910,744 38,894,231
Sumber: Ditjen Planologi, KLHK, Diolah (2014)
Konsesi/Izin Batubara di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung
Sedangkan konsesi batubara jenis PKP2B mencapai 1,2 juta hektar, dimana 102 ribu
hektarnya di hutan konservasi, dan 123,8 ribu hektar di hutan lindung. Sedangkan konsesi jenis
IUP, terdapat 194,8 ribu hektar di kawasan hutan konservasi dan 519,8 ribu hektar di kawasa
hutan lindung. Dengan demikian, konsesi/izin batubara di kawasan hutan konservasi dan
hutan lindung total hampir mencapai 940,4 ribu hektar atau 15 % dari seluruh luasan konsesi
minerba di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Gambar 6 merupakan komposisi
luasan masing-masing konsesi IUP dan PKP2B di hutan konservasi dan hutan lindung.
32. 18
Gambar 6.
Luas Konsesi Batubara di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung Tahun 2014 (dalam Ha)
Sumber: Ditjen Planologi, KLHK, Diolah (2014)
Berdasarkan proses diskusi dan pembahasan-pembahasan yang diikuti oleh PWYP
Indonesia dalam Korsup Minerba, dapat dianalisa bahwa keberadaan konsesi/izin batubara di
Hutan Konservasi dan Hutan Lindung tersebut antara lain disebabkan oleh:
a. Lemahnya database pertambangan, terutama yang berkaitan dengan informasi peta
wilayah dan titik koordinat. Di mana, peta wilayah hutan konservasi dan hutan lindung
yang bisa jadi tidak dimiliki oleh Pemda/Kementerian terkait, dimiliki namun tidak
update, atau data tersebut tidak sinkron dengan data yang ada di Kementerian ESDM
dan KLHK,
b. Izin yang seharusnya telah berakhir namun belum dicabut, atau sudah dicabut namun
databasenya tidak sama antara Pemda dan Kementerian di tingkat pusat seperti ESDM
dan KLHK,
c. Pada saat mengajukan izin, para pemegang konsesi tidak mengurus Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan (IPPKH) ke KLHK, atau IPPKH belum disetujui/belum keluar namun
WIUP dan IUP telah dikeluarkan oleh Pemda/Kementerian Teknis terkait.
d. Adanya potensi modus korupsi, misalnya berupa suap atau kick back dalam proses
alih fungsi lahan atau perolehan izin, sehingga meski di wilayah hutan konservasi, izin
tetap saja dikeluarkan.
60.000,00
50.000,00
40.000,00
30.000,00
20.000,00
10.000,00
-
IUP PKP2B
Hutan Lindung 5.198.825,14 123.751,78
Hutan Konservasi 194.795,38 101.998
Hutan Lindung Hutan Konservasi
33. 19Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
Secara kewilayahan, sebaran konsesi batubara yang berada di kawasan hutan konservasi
dan hutan lindung di seluruh Indonesia sebagian besar berada di wilayah Papua, Kalimantan
Timur, Papua Barat, Kalimantan dan Aceh. Gambar 7 dan 8 merupakan komposisi sebaran
wilayah konsesi batubara di hutan konservasi dan hutan lindung tersebut pada awal
pelaksanaan korsup di tahun 2014.
Gambar 7.
Sebaran Konsesi/Izin Batubara (IUP & PKP2B) di Hutan Konservasi (2014)
Sumber: Korsup Minerba, diolah dari Surat Edaran KLHK kepada Pemda, 2014
Gambar 8.
Sebaran Konsesi/Izin Batubara (IUP & PKP2B) di Hutan Lindung (2014)
Sumber: Korsup Minerba, diolah dari Surat Edaran KLHK kepada Pemda, 2014
33%
60%
Papua
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Sumatera Selatan
Bengkulu
Papua Barat
Lainnya
2014
Papua
Papua Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Aceh
Lainnya
14%
14%
18%
37%
2014
34. 20
d. IUP Non-Clean and Clear
Penertiban IUP dalam Korsup Minerba sejak awal telah seiring dan sejalan dengan proses
Clean and Clear yang tengah berlangsung. Sebagai tindak lanjut dalam mempercepat
penertiban IUP dan khususnya melalui mekanisme CnC, pada awal tahun 2016 Menteri
ESDM menerbitkan Permen Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi dan
Penertiban IUP Sektor Minerba oleh Pemerintah Daerah. Permen ini mencakup evaluasi
dalam aspek administrasi, kewilayahan, teknik, lingkungan dan aspek finansial. Di bawah
ini adalah alur mekanisme Permen No 43/2015 sejak disahkan hingga masa berlakunya
berakhir di Januari 2017.
Gambar 9.
Alur Perkembangan Permen 43/2015
Sumber: Ditjen Minerba, 2017
Terdapat sejumlah isu yang menjadi perhatian khusus atas pelaksanaan Permen ESDM
43/2015, diantaranya:
1. Rekomendasi yang disampaikan oleh Gubernur tidak memenuhi ketentuan Permen
43 Tahun 2015
2. Rekomendasi yang masih belum lengkap/salah
3. Sebagian besar surat rekomendasi C&C diterbitkan oleh Kepala Dinas bukan Gubernur
(kecuali Kalbar, Sulteng, dan Jambi)
30 Des 2015
5 Jan 2016
12 Mei 2016
... Mei 2016
2 Okt 2016
2 Jan 2017
Surat Edaran Dirjen
Minerba No. 01.E/30/
DJB/2016 Perihal
Pelaksanaan Evaluasi
Penerbitan IUP Mineral
dan Batubara
Ditjen Minerba akan
mengumumkan IUP
Non CNC bagi IUP yang
tidak direkomendasikan
oleh Gubernur pada
tanggal ...Mei 2016
Permen ESDM Nomor
43 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Evaluasi
Dokumen Izin Usaha
Pertambangan Mineral
dan Batubara
Batas waktu penyerahan rekomendasi IUP
Clear and Clean dari Gubernur kepada Direktur
Jenderal adalah 90 hari kerja sejak terbitnya
Permen ESDM 43/2015 (paling lambat tanggal
12 Mei 2016) apabila telah dilakukan serah
terima dokumen IUP dari Bupati kepada
gubernur sebelum penandatanganan Permen
ESDM 43 Tahun 2015
Hasil Evaluasi Gubernur yang sudah disampaikan kepada pusat meliputi:
1. Rekomendasi IUP status C&C (sudah dievaluasi administrasi dan
kewilayahan)
2. Rekomendasi sertifikat C&C (sudah dievaluasi administrasi, kewilayahan,
teknis dan lingkungan serta sudah lunas PNBP)
3. Laporan Pemberian Sanksi Administrasi bagi perusahaan yang tidak
melaksanakan kewajiban finansial, teknis dan lingkungan
4. Laporan pencabutan IUP
Terhadap IUP yang direkomendasikan CNC oleh Gubernur, tapi masih
memiliki permasalahan tumpang tindih (aspek kewilayahan) tidak
akan diumumkan CNC dan penyelesaiannya akan dilakukan oleh
Ditjen Minerba bersama-sama dengan Tim Penyelesaian IUP Non CNC
Tim Penyelesaian IUP Non CNC merupakan Tim lintas kementerian
yang beranggotakan stakeholder termasuk KPK, yang bertugas
melakukan penyelesaian IUP Non CNC bersama dengan pemerintah
provinsi
Batas waktu penyerahan rekomendasi IUP
Clear and Clean dari Gubernur setelah Permen
ESDM 43 Tahun 2015 diundangkan adalah 90
hari sejak dilakukan serah terima dokumen IUP
dari bupati kepada gubernur paling lambat
2 Oktober 2016 s/d 2 Januarai 2017 (sesuai
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014)
35. 21Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
4. Beberapa provinsi ada yang belum menyerahkan kembali hasil evaluasi terhadap IUP
sesuai batas waktu Pasal 25 Permen ESDM 43Tahun 2015 (12 Mei 2016) seperti Provinsi
Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Barat, Jawa Tengah.
5. Banyak Bupati/Walikota yang belum menyerahkan dokumen perizinan ke provinsi
Untuk melihat tren dari capaian penertiban izin batubara yang dilakukan oleh Korsup
dapat dilihat pada gambar berikut. Secara umum
Gambar 10.
Perkembangan Jumlah IUP Batubara Non-CnC
Sumber: PWYP Indonesia, 2017 (Diolah dari Paparan Korsup Minerba KPK)
Masalah dalam Pengajuan Rekomendasi CnC
Beberapa permasalahan yang menjadi kendala dalam proses evaluasi CnC,
terutama berkaitan dengan rekomendasi status CnC yang diajukan oleh Pemda serta
gambaran tindak lanjut yang diambil oleh Ditjen Minerba dipaparkan pada pada
Tabel 5 di bawah ini.
2014 2015 2016 2017
1600
1400
1200
1050
800
600
400
200
0
C&C C&CNon C&C Non C&C
Eksplorasi Operasi Produksi
36. 22
Tabel 5.
Masalah dan Tindak Lanjut dalam Evaluasi CnC sektor Batubara
No Masalah Tindak Lanjut Minerba
1. Sesuai evaluasi yang dilakukan oleh
Dirjen Minerba, surat penyataan dan/
atau rekomendasi IUP CnC yang
disampaikan Pemprov tidak memenuhi
ketentuan Permen 43/2015
• Ditjen Mineral dan Batubara tetap
melakukan evaluasi aspek kewilayahan
dan administrasi.
• Ditjen Minerba telah menyurati ke
Pemprov untuk perbaikan
2. Rekomendasi yang masih belum
lengkap/salah dan/atau rekomendasi
ulang yang melewati batas 12 Mei 2016
Batas waktu sesuaikan dengan UU 23 tahun
2014 yaitu Oktober 2016
3. Ada beberapa Gubernur yang sampai
dengan saat ini belum menyelesaikan
permasalahan tumpang tindih IUP batas
administrasi dimana batas administrasi
masih indikatif.
Ditjen Minerba sudah menyampaikan surat
kepada Gubernur bahwa proses CnC dapat
diproses setelah Gubernur menyelesaikan
tumpang tindih dan menerbitkan SK
penciutan
Sumber: Dirjen Minerba dalam Rapat Korsup Minerba (2016)
Tabel 6 menyajikan rekapitulasi secara detail kategori masalah dari rekomendasi CnC yang
disampaikan Pemerintah Daerah (Status Per 15 September 2016), terutama dalam aspek
administrasi dan kewilayahan yang mengacu pada pelaksanaan Permen 43/2015.
Tabel 6.
Penertiban IUP Batubara: Kategori Masalah Administrasi dan Kewilayahan
dalam Rekomendasi CnC Yang Diajukan oleh Pemda
No KATEGORI ASPEK PERMASALAHAN JUMLAH IUP
A KATEGORI ASPEK ADMINISTRASI
1 Sesuai Ketentuan Peraturan 97
2
Pengajuan permohonan perpanjangan/peningkatan KP atau IUP
setelah masa berlaku KP atau IUP berakhir
18
3 IUP terbit sebelum WP dan/atau dispensasi /IUP terbit setelah UU
No. 4/2009
8
4 Melebihi batas waktu 10
5 Format tidak sesuai SE Dirjen 01.e/30/DJB/2016 0
6 Rekomendasi tidak lengkap 50
7 IUP baru, tidak perlu CnC
8 SIPK, KP terbit setelah UU No.4/2009 1
37. 23Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
9 Sudah CnC 34
10 Kronologis SK tidak lengkap
11 KP eksploitasi/IUP OP bukan peningkatan dari KP/IUP eksplorasi 5*)
12 Tidak ada SK 68
13 Tidak ada pencadangan wilayah 101**)
14 SK habis masa berlaku 93
TOTAL 485
*Proses CnC tetap dilakukan apabila IUP memiliki persetujuan FS dan Lingkungan
** Proses CnC tetap dilakukan apabila IUP tidak memiliki pencadangan wilayah selama
WIUP tidak tumpang tindih
B KATEGORI ASPEK KEWILAYAHAN
1 Sesuai Ketentuan 79
2 Masuk WPN 1
3 Belum Cek Wilayah 93
4 Perluasan/Pergeseran 2
5 Sudah CnC 34
6 SK habis masa berlaku 34
7 Tumpang tindih sama komoditas 26
8 Blok tidak tegak lurus 0
9 Tidak perlu CnC 0
10 Koordinat salah 2
11 Pencadangan pada KK/PKP2B/IUP/KP 0
12 IUP dicabut 0
TOTAL 271
Sumber: Dirjen Minerba dalam Rapat Korsup Minerba (September 2016)
38. 24
e. Tindak Lanjut dan Capaian Penataan
Sebagai tindak lanjut dari hasil temuan Korsup mengenai persoalan izin/konsesi
batubara, KPK bersama Kementerian/Lembaga dan Pemda melakukan koordinasi
untukmenyusunrencanaaksiyangdisertaidenganpembagianperandankesepakatan
kerangka. KPK berperan dalam melakukan supervisi atas pelaksanaan rencana aksi
tersebut, serta memantau sampai sejauh mana capaian-capaiannya. Klasifikasi pola
umum temuan dan rencana aksi yang disepakati dalam Korsup digambarkan pada
Tabel 7.
Tabel 7.
Pola Umum Temuan dan Tindak Lanjut/Rencana Aksi
No Pola Umum Temuan Tindak Lanjut/Rencana Aksi
1. Terdapat IUP status CnC di
Kementerian ESDM namun tidak
tercatat di Pemda (Kabupaten dan
Provinsi)
Bupati/Walikota diminta untuk menyampaikan
Surat Keterangan ke Dirjen Minerba-
Kementerian ESDM, ditembuskan ke KPK
2. Terdapat IUP yang diterbitkan
Pemda tidak tercatat di
Kementerian ESDM, namun
direkomendasikan untuk CnC ke
Provinsi
Pemerintah Provinsi dan Dirjen Minerba diminta
untuk memastikan keabsahan dokumen dari
kemungkinan adanya IUP yang di back date,
agar ditelusuri dan dilakukan langkah-langkah
hukum
3. Terdapat IUP yang sudah berakhir
masa berlakunya, namun belum
dicabut/diakhiri.
Gubernur/Bupati/Walikota diminta untuk segera
menagih semua kewajibannya dan segera
dibuatkan Surat Keputusan (SK) Pengakhiran/
Pencabutan IUP
4. Terdapat IUP yang berada di
kawasan hutan lindung dan hutan
konservasi
Gubernur/Bupati/Walikota diminta untuk
mengirimkan surat pemberitahuan penciutan/
pemberhentian sementara dan meminta
perusahaan untuk mengurus perizinan di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK)
5. Terdapat IUP dengan alamat yang
tidak valid/tidak jelas.
Gubernur/Bupati/Walikota diminta untuk
memastikan kembali seluruh alamat IUP di
daerahnya masing-masing
6. Terdapat IUP yang telah dicabut,
namun termasuk IUP yang tidak
terdaftar di Kementerian ESDM.
Gubernur/Bupati/Walikota diminta untuk
segera berkoordinasi dengan Dirjen Minerba
agar segera dikeluarkan dari database IUP di
Kementerian ESDM
Sumber: Diolah dari Bahan Presentasi KPK pada KorMonev Minerba, 2014
39. 25Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
Pengakhiran/Pencabutan IUP Non-CNC dan Tumpang Tindih
Terhadap IUP yang berakhir masa berlakunya, dan yang tidak memenuhi
persyaratandantidakberstatusCnCsesuaidenganbataswaktuyangtelahditentukan,
maka dilakukan pengakhiran dan pencabutan IUP tersebut, baik oleh Pemerintah
Daerah maupun oleh Pemerintah Pusat. Penertiban IUP Non-CnC ini diperkuat oleh
terbitnya Permen Nomor 43/2015 yang memandatkan dilakukannya evaluasi dan
penertiban oleh Pemerintah Daerah. Pelaksanaan Permen tersebut didukung oleh
langkah-langkah tindak lanjut untuk mempercepat prosesnya, diantaranya melalui
penerbitan Surat Edaran Dirjen Minerba Nomor 01.E/30/DJB/2016 tanggal 5 Januari
2016 yang menjelaskan Permen ESDM Nomor 43/2015.
Selanjutnya, Dirjen Minerba melakukan rapat kerja dengan Kepala Dinas ESDM
Provinsi Se-Indonesia (2 Februari 2016); serta dilakukan inventarisasi IUP Non-
CNC yang masuk ke Ditjen Minerba yang akan diselesaikan oleh Gubernur. Tabel
8 merupakan rekapitulasi jumlah IUP Batubara yang status izinnya telah dicabut/
diakhirkan. Sejak pertama kali dilaksanakan tahun 2014, Korsup Minerba total telah
melakukan pengakhiran/pencabutan IUP Batubara sejumlah 776 IUP. Sedangkan,
angka luasan IUP batubara yang dicabut dan diakhirkan mencapai sekitar 3,56 juta
hektar. Sehingga total luas IUP batubara saat ini mencapai sekitar 12,6 juta hektar
(berdasarkan data per-30 Januari 2017)4
.
Tabel 8.
Rekap jumlah IUP Batubara yang Dicabut/Diakhirkan (Status April 2017)
No Provinsi Jumlah IUP No Provinsi Jumlah IUP
1 NAD 11 18 Nusa Tenggara Barat 0
2 Sumatera Utara 2 19 Nusa Tenggara Timur 1
3 Sumatera Barat 0 20 Kalimantan Barat 57
4 Riau 31 21 Kalimantan Tengah 135
5 Jambi 131 22 Kalimantan Selatan 42
6 Sumatera Selatan 135 23 Kalimantan Timur 60
7 Bengkulu 45 24 Kalimantan Utara 32
8 Lampung 8 25 Sulawesi Utara 0
9 Bangka Belitung 0 26 Sulawesi Tengah 0
10 Kep.Riau 0 27 Sulawesi Selatan 3
4 Jumlah IUP batubara yang dicabut hingga Bulan Januari 2017 mencapai 524 IUP.
40. 26
11 DKI Jakarta 0 28 Sulawesi Tenggara 15
12 Jawa Barat 0 29 Gorontalo 0
13 Jawa Tengah 0 30 Sulawesi Barat 7
14 DI Yogyakarta 0 31 Maluku 0
15 Jawa Timur 0 32 Maluku Utara 4
16 Banten 0 33 Papua 4
17 Bali 0 34 Papua Barat 53
JUMLAH 776
Sumber: Kementerian ESDM, PFG PWYP Indonesia, April 2017
Penertiban IUP di Kawasan Hutan Konservasi/Hutan Lindung
Untuk melaksanakan dan menegakkan ketentuan regulasi sebagaimana
dimandatkan dalam Pasal 38 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, Korsup
Minerba melalui kerjasama dengan Kementerian terkait (KLHK dan ESDM) bersama
Pemerintah Daerah menyepakati adanya rencana aksi dimana Gubernur/Bupati/
Walikota diminta untuk: (a) mengirimkan surat pemberitahuan penciutan bagi
konsesi yang berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung; (b) Melakukan
pemberhentian sementara dan meminta perusahaan untuk mengurus perizinan di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk izin-izin yang belum
memiliki IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan). Capaian dari penertiban IUP untuk
kasus ini dapat dilihat pada gambar 11 dan 12 dari laporan ini, yang memaparkan
perbedaan luasan konsesi dan jumlah izin di hutan konservasi dan hutan lindung
selama tahun 2014 hingga akhir tahun 2016. Secara umum terlihat adanya capaian
positif, yang terindikasi dari jumlah IUP dan PKP2B serta luasan konsesi di kawasan
hutan konservasi dan hutan lindung yang semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa
evaluasi dan pencabutan IUP menjadi instrumen yang efektif untuk menyelesaikan
permasalahan tumpang tindih wilayah pertambangan batubara di hutan konservasi
dan hutan lindung.
41. 27Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
Gambar 11.
Luasan Konsesi/Izin Batubara di Kawasan Hutan Konservasi pada Tahun 2014 & 2016
(dalam hektar)
Sumber: PWYP Indonesia, Diolah dari Data Ditjen Planologi, KLHK dan Ditjen Minerba, Kementerian
ESDM, 2017
Gambar 12.
Luasan Konsesi/Izin Batubara di Kawasan Hutan Lindung pada Tahun 2014 & 2016
(dalam hektar)
Sumber: PWYP Indonesia, Diolah dari Data Ditjen Planologi, KLHK dan Ditjen Minerba, Kementerian
ESDM, 2017
42. 28
4. Anomali Peningkatan Luasan Konsesi di Hutan Konservasi/Lindung
Dari capaian penertiban konsesi di kawasan hutan konservasi/lindung, terdapat kondisi
anomali di sejumlah provinsi, yakni Provinsi Papua Barat dan Jambi untuk hutan konservasi
dan Provinsi Papua, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan untuk hutan lindung. Di mana
justru terjadi peningkatan luasan dan/atau jumlah izin batubara yang berada di kawasan
hutan lindung atau konservasi setelah pelaksanaan Korsup di tahun 2016.
Tabel 9.
Perbandingan Luas Kawasan Konsesi/Izin Batubara
di Hutan Konservasi & Hutan Lindung Tahun 2016 (dalam Hektar)
No Provinsi 2014 2016 Gap Keterangan
1 Papua Barat 2.775,4 3.950,1 1.174,7 Hutan Konservasi
2 Jambi 0 2.115,6 2.115,6 Hutan Konservasi
3 Papua 240.019,4 292.725,1 52.705,7 Hutan Lindung
4 Kalimantan Barat 18.414,8 30.733,4 12.318,6 Hutan Lindung
5 Sumatera Selatan 3.412,0 8.910,9 5.499,0 Hutan Lindung
Sumber: PWYP Indonesia, Diolah dari data Ditjen Planologi, KLHK, 2017
43. 29Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
Peningkatan luasan tumpang tindih izin
tambang batubara di kawasan hutan lindung
dan hutan konservasi dimungkinkan jika ada
perubahan luasan kawasan hutan yang diatur
melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Pasalnya, kawasan hutan di lima
provinsi di atas tidak mengalami perubahan
dalam kurun waktu 2014 hingga tahun 2017,
jika mengacu pada SK yang dikeluarkan oleh
Menteri Kehutanan. Lemahnya dokumentasi
data perizinan ditengarai menjadi salah
satu alasan dibalik ‘anomali’ di atas. Besar
kemungkinan pendataan di tahun 2014
tidak dilakukan secara menyeluruh, sehingga
jumlah izin tambang di tahun 2017 mengalami
peningkatan. Di samping itu, progress data
luasan tumpang tindih di tahun 2017 yang
didapatkan dari Ditjen Minerba, Kementerian
ESDM juga perlu dikonfirmasi ulang. Hal ini
dikarenakan penciutan lahan dilakukan oleh
pemerintah Provinsi dan pemerintah Provinsi
belum tentu menembuskan informasi tersebut
ke Kementerian ESDM. Sebagai contoh, kasus
Provinsi Sumatera Selatan, yang mana Dinas
Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera
Selatan mengaku telah melakukan penciutan
terhadap seluruh IUP yang berada di kawasan
hutan lindung maupun konservasi. Namun,
justru luasan konsesi bertambah setelah
tahun 2017. Temuan ini sekaligus memperkuat
lemahnya koordinasi antara pemerintah
provinsi dan pusat, utamanya terkait dengan
sinkronisasi data.
Kendatidemikian,evaluasidanpencabutan
IUP secara umum dapat ditempatkan sebagai
instrumen yang efektif untuk menyelesaikan
permasalahan tumpang tindih wilayah
pertambangan batubara di hutan konservasi
dan hutan lindung. Meski perlu dicermati
mekanisme rehabilitasi lingkungan terhadap
hutan konservasi maupun lindung yang
menjadi bekas wilayah pertambangan
tersebut, mengingat keduanya memiliki
peran vital dalam mengembalikan fungsi
hutan konservasi dan lindung tersebut dalam
rangka menjaga keseimbangan lingkungan.
Sumber: Pixabay
Gambar 13.
Ilustrasi Hutan Tambang (Pixabay).
44. 30
C. Rekomendasi
1. Segera mempercepat tindak lanjut penertiban bagi konsesi batubara yang masih
bermasalah, baik secara administratif, kewilayahan, permasalahan pengajuan PMA,
berakhir masa berlakunya, berstatus Non-Clear and Clean, serta konsesi yang berada di
hutan konservasi dan hutan lindung. Pemerintah harus bersikap tegas dan konsisten
melakukan pencabutan/pengakhiran, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Izin yang
telah dicabut dikembalikan kepada Wilayah Pencadangan Negara (WPN) untuk dibuat
regulasinya.
2. Membangun dan mengembangkan sistem database perizinan pertambangan
yang singkron dan terintegrasi antara Pusat-Daerah. Database tersebut berisikan
informasi konsesi izin/kontrak pertambangan terupdate di seluruh Indonesia, yang
menjadi platform database bersama dan dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan
dan keputusan terkait perizinan/kontrak batubara baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah. Platform yang terintegrasi ini senantiasa diupdate, direkonsiliasi, dan diverifikasi
setiap waktu dan secara berkala, sehingga informasi di dalamnya selalu valid dan update.
3. Mempercepat penyelesaian platform satu peta di Kementerian ESDM (ESDM One
Map) yang bertujuan untuk melakukan singkronisasi data peta koordinat konsesi izin/
kontrak yang telah ada, mendukung monitoring kegiatan pertambangan dan analisa
kinerja berbasis spasial di sektor ESDM, serta mencegah adanya kesalahan (spasial) serupa
seperti persoalan tumpang tindih di masa mendatang.
4. Mempercepat pengembangan sistem penerimaan negara secara online dan
terintegrasi dengan database dan layanan lainnya seperti database perusahaan,
data spasial, data rencana produksi dan anggaran (RKAB), ijin ekspor terbatas (ET), data
surveyor, maupun kesyahbandaran dan bea cukai serta Indonesia National SingleWindow
(INSW). Sistem tersebut satu sama lain saling terhubung, saling mensyaratkan, serta
terpadu dan menjadi acuan dalam melakukan monitoring dan pengawasan kepatuhan
kewajiban fiskal pelaku usaha.
5. Mendorong pengembangan analisis kepemilikan sesungguhnya (beneficial
ownership) dari pelaku usaha batubara, serta mengembangkan sanski berupa
sistem black list bagi perusahaan yang terindikasi tidak patuh dan melakukan
pelanggaran. Upaya ini bisa ditempuh dengan melakukan koordinasi secara intens antara
Ditjen Minerba-ESDM dengan Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian
Hukum dan HAM terkait legal register perusahaan batubara.
45. 31Penataan Izin Batubara dalam Koordinasi dan Supervisi KPK
D. Daftar Pustaka
Abdullah, Maryati dan Jensi Sartin. (2015). Tata Kelola, Penerimaan Negara, dan Dana Bagi Hasil
Sektor Kehutanan. Jakarta: Publish What You Pay Indonesia.
BP. (2016). Statistical Review of World Energy 2016. BP.
ESDM, Ditjen Minerba. (2016). Bahan Presentasi FGD: Tata Kelola Pengusahaan Pertambangan
Batubara di Indonesia. Jakarta: Kementerian ESDM.
ESDM, Ditjen Minerba. (2016). Bahan Presentasi Korsup: Tindak Lanjut Korsup Sektor ESDM
Dalam Pengelolaan PengusahaanPertambangan Batubara. Jakarta: Kementerian ESDM.
Hayati, Tri. (2013). Analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan tentang minerba
di kawasan hutan lindung. Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI.
Litbang KPK. (2014). Bahan Presentasi: Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
Lucarelli, B. (2010). The history and the future of Indonesia’s coal industry. Working Paper, 93.
Stanford: Program on Energy and Sustainable Development.
Sawitri, Dian Eka Rahayu. (2013). Kebijakan Clean and Clear Dalam Menata Izin Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (Tesis). Fakultas Hukum, Program Pasca-Sarjana,
Kekhususan Tata Negara, Universitas Indonesia.
Schernikau, Lars. (2016). Economics of the International Coal Trade Why Coal Continues to Power
the World. 2nd
Edition. Cham. Springer
____________, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara berikut penjelasannya, Lembaran Negara RI.
____________, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan berikut
penjelasannya, Lembaran Negara RI
____________, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 43 Tahun 2015
tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,
Lembaran Negara RI.
46. 32
E. Lampiran
Lampiran-1: Rekap IUP Batubara di Indonesia (Status April 2017)
PROVINSI
(1)
JUMLAH IUP
CnC
(2)
NON CnC
(3)
TOTAL
(4)
PUSAT 4 1 5
ACEH 9 1 10
SUMATERA UTARA 2 0 2
SUMATERA BARAT 58 9 67
RIAU 31 1 32
JAMBI 146 30 176
SUMATERA SELATAN 133 0 133
BENGKULU 33 6 39
LAMPUNG 4 0 4
BANGKA BELITUNG 0 0 0
KEP. RIAU 0 0 0
DKI JAKARTA 0 0 0
JAWA BARAT 1 1 2
JAWA TENGAH 0 0 0
DI. YOGYAKARTA 0 0 0
JAWA TIMUR 0 0 0
BANTEN 5 0 5
BALI 0 0 0
NTB 0 0 0
NTT 1 0 1
KALIMANTAN BARAT 18 17 35
KALIMANTAN TENGAH 323 122 445
KALIMANTAN SELATAN 378 253 631
47. KALIMANTAN TIMUR 882 261 1143
KALIMANTAN UTARA 72 2 74
SULAWESI UTARA 0 0 0
SULAWESI TENGAH 3 0 3
SULAWESI SELATAN 7 14 21
SULAWESI TENGGARA 46 4 50
GORONTALO 0 0 0
SULAWESI BARAT 6 2 8
MALUKU 3 2 5
MALUKU UTARA 1 3 4
PAPUA 27 27 54
PAPUA BARAT 7 14 21
TOTAL 2199 771 2970
48. Publish What You Pay (PWYP) Indonesia merupakan koalisi masyarakat sipil untuk
transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif migas, pertambangan,
kehutanan dan sumber daya alam lainnya. PWYP Indonesia terafiliasi dalam
kampanye global Publish What You Pay. Berdiri sejak tahun 2007, dan terdaftar
sebagai badan hukum Indonesia sejak tahun 2012 dengan nama Yayasan Transparansi
Sumberdaya Ekstraktif. Aktivitas PWYP Indonesia di sepanjang rantai nilai sumberdaya
ekstraktif berfokus pada transparansi dan akuntabilitas fase sebelum kontrak dan
operasi pertambangan (publish why you pay and how you extract); fase produksi
dan menghasilkan pendapatan negara (publish what you pay); fase pemanfaatan
pendapatan ekstraktif untuk kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan (publish
what you earn and how you spend).
Website: www.pwyp-indonesia.org
Email: sekretariat@pwyp-indonesia.org
Facebook Fanpage: Publish What You Pay Indonesia
Twitter: @PWYP_Indonesia