Majalah ini membahas berbagai topik terkait penyakit ginjal dan hipertensi. Beberapa artikel membahas tentang pentingnya diet protein rendah dalam menunda perburukan fungsi ginjal pada pasien gagal ginjal kronik. Artikel lain membahas tentang nefropati IgA, pengobatan dosis tunggal infeksi saluran kemih, hipertensi pada diabetes dan kehamilan, serta nefropati akibat penyakit tropis. Majalah ini bertuju
2. No. 47, 1987
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Diterbitkan oleh:
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma
Daftar Isi :
2. Editorial
Artikel:
3. Diit Protein dan Ginjal
7. Nefropati Imunoglobulin A
11. Pengobatan Dosis Tunggal Pada Infeksi Saluran Kemih
15. Hipertensi Pada Diabetes Melitus
19. Hipertensi dengan Kehamilan
21. Kelainan Ginjal Pada Penyakit Tropik
25. Masalah Penggunaan Diuretika
28. Pemeliharaan Pendengaran di Industri
32. EMIT: Salah Satu Cara Penetapan Obat Dalam Serum Untuk
Pemantauan Kadar Terapi
36. Penderita Penyakit Jantung Psikosomatik di Rumah Sakit
Dr. Pirngadi Medan
39. Sklerema Neonatorum
42. Terapi Artritis dengan Yetrium – 90
44. Pengobatan Epilepsia dengan Karbamazepin
48. Imunisasi Campak dan Beberapa Permasalahannya
53. Cairan Hemodialisis
55. Hukum & Etika: Tepatkah Tindakan Saudara ?
57. Humor Ilmu Kedokteran
59. Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran
60. Abstrak-abstrak
Karya Sriwidodo
Alamat redaksi:
Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp.4892808
Penanggung jawab/Pimpinan umum:
Dr. Oen L.H.
Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani,
Dr. Budi Riyanto W.
Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bam-bang
Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR.
Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs.
Victor Siringoringo.
Redaksi Kehormatan: Prof. DR. Kusumanto
Setyonegoro, Dr. R.P. Sidabutar, Prof. DR.
B.Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo,
Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I.
Sadrach.
No. Ijin : 151/SK/Dit Jen PPG/STT/1976,
tgl.3 Juli 1976.
Pencetak : PT. Temprint.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandang-an/
pendapat masing-masing penulis dan tidak
selalu merupakan pandangan atau kebijakan
instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis
3. Penyakit ginjal dan saluran kencing memang belum mencapai sepuluh penyebab utama morbi-ditas
dan mortalitas di Indonesia, akan tetapi kelompok penyakit ini makin lama makin terdapat
di banyak jenis pelayanan kesehatan, dari yang primer sampai ke yang tertier. Di negara yang
lebih dahulu berkembang dari negara kita, dilihat kenyataan bahwa pola penyakit sering cepat
berubah, sejalan dengan perubahan kondisi sosio-ekonomi-budaya. Dikemudian hari, diduga di
Indonesia penyakit gin/al dan saluran kencing serta hipertensi akan meningkat dalam jumlah
dan kepentingan.
Pada edisi. Cermin Dunia Kedokteran kali ini, Redaksi memberi kesempatan pada Sub-bagian
Gin/al dan Hipertensi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia mengisi dengan judul pilihan. Dokter Suhardjono dan kawan-kawan menulis tentang
pandangan baru tentang pentingnya diet pada Gagal Ginjal, bukan sa/a untuk sedapat mungkin
memelihara homoeostasis, tetapi juga untuk memperlambat laju gaged ginjal ke arah terminal.
Nefropati IgA merupakan suatu kelompok nefropati yang baru dikenal dan belum banyak
menarik perhatian di Indonesia. Dirasakan perlunya pengetahuan dokter di semua tingkat pe-layanan
kesehatan tentang kelompok penyakit ini, karena pengetahuan yang dini akan me-ngurangi
pemeriksaan dan pengobatan yang tak perlu sehingga menghindarkan pemborosan
dan mempercepat pencegahan progessi bila memungkinkan. Nefropati IgA ini dibahas dokter
Markum dan kawan-kawan dengan cara yang memungkinkan pembaca mengenalinya dalam
waktu pendek. Dua topik penanggulangan dengan obat yang sangat lazim dilakukan, yaitu
dengan obat antimikroba dosis tunggal dan diuretik, dibahas oleh dokter Roemiati Oesman dan
dokter Parlindungan Siregar beserta kawan-kawan. Pengetahuan tentang hipertensi dewasa ini
sudah mulai. merata dan meningkat di kalangan dokter-dokter di Indonesia dan sudah waktunya
pula kita diperlengkapi dengan pengenalan kelompok khusus penderita hipertensi. Hipertensi
pada wanita hamil dibahas oleh dokter Jose Roesma dan kawan-kawan. Seperti nyata dari
tulisan tersebut, ia mempunyai profil patofisiologi yang berbeda dari kelompok umum dan harus
ditanggulangi dengan cara tersendiri pula. Hipertensi pada diabetes melitus memegang
peranan penting, karena berperan sebagai penyebab laju perjalanan penyakit ke arah gaga/
ginjal terminal. Profil patofisiologi dan penanganan yang khusus dituliskan oleh dokter Wiguno.
Di Indonesia, penyakit tropik dan infeksi seperti kita ketahui memegang peran yang terpenting,
tetapi tidak sering kita perhatikan bahwa penyakit tropik dapat menyebabkan nefropati. Dokter
Endang Susalit dan kawan-kawan menuliskan dalam garis besar tentang nefropati Penyakit
tropik ini.
Topik pilihan kami, belum tentu menjadi topik pilihan pembaca, karena itu umpan balik
tentang topik dan isi topik sangat kami harapkan.
Terimakasih
R.P. Sidabutar
Cermin 2 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
4. Artikel
Diit Protein dan Ginjal
Dr. Suhardjono, Dr. Pudji Rahardjo, Dr. Roemiati Oesman, Dr. M.S. Markum
Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Belum lama berselang ini, diit restriksi protein (RDP) pada
insufisiensi gijal/gangguan fungsi ginjal (GFG) menjadi topik
yang banyak menarik minat dan perhatian para penyelidik di
bidang nefrologi. DRP ternyata dapat memperlambat kemun-duran
fungsi ginjal pada penderita-penderita yang sudah meng-alami
gangguan fungsi ginjal. Hal ini sangat berarti, oleh
karena dapat memperlambat penderita masuk ke dalam tahap
gagal ginjal terminal (GGT), di mana penderita harus
mengalami dialisis kronik atau transplantasi ginjal untuk
mempertahankan hidupnya.
Selain itu, diit restriksi protein sudah lebih dari 100 tahun
dianjurkan untuk mengurangi keluhan-keluhan uremia. Tetapi
hal ini kurang populer, sulit dijalankan karena pilihan makanan
pada DRP yang mengandung protein nilai biologik tinggi amat
terbatas (monoton) dan tidak enak, memerlukan motivasi dan
usaha yang besar. Saat ini hal-hal seperti itu dapat diatasi
dengan adanya sediaan asam amino esensial (AAE) atau
analognya, sehingga diit restriksi protein bisa dijalankan
dengan baik.
Diit rendah protein ini sebelumnya hanyalah salah satu
usaha dari banyak cara untuk memperlambat perburukan
seperti yang dapat dilihat pada tabel 11. Kesemua usaha ini
disebut sebagai penanganan secara konservatif gagal ginjal.
Secara lebih terperinci, masalah terapi konservatif gagal ginjal
kronik dapat dilihat di buku Gagal ginjal kronik, diagnosis dan
penanggulangannya2.
Walaupun pada saat ini bidang dialisis dan transplantasi
sebagai terapi pengganti gagal ginjal sudah sangat maju, tetap
saja tidak dapat memenuhi banyaknya penderita yang me-merlukan
tindakan tersebut. Hal ini antara lain disebabkan
keterbatasan biaya dan fasilitas, yang bahkan terjadi juga di
negara maju. Oleh karena itu, tindakan pencegahan GGT
menempati posisi yang amat penting.
Makalah yang singkat ini akan membicarakan DRP pada
gangguan fungsi ginjal (insufisiensi ginjal, gagal ginjal kronik)
khususnya pada fase preterminal, terutama mengenai peng-aruhnya
terhadap progresivitas kemunduran fungsi ginjal,
mekanisme, dan aplikasinya.
Tabel 1. Prinsip-prinsip pengelolaan gagal ginjal kronik
1. Pastikan berat dan etiologi gagal ginjal kronik.
2. Pengobatan konservatif bila etiologi diketahui dan kliren krea-tinin
> 5 ml/menit.
a. Rencanakan diit dan jumlah cairan
b. Atasi;
Hipertensi,
anemia,
gangguan elektrolit,
osteodistrofi,
bakteriuria,
hiperurikemi berat
keluhan gastrointestinal,
kelainan neuromuskuler,
pruritus.
c. Hindari:
obat-obatan nefrotoksik,
kontras radiologi apabila tak begitu perlu,
tindakan instrumen/invasif,
kehamilan dengan resiko tinggi,
zat toksik.
3. Refer ke pusat Nefrologi jika etiologi tak jelas, khususnya pada
keadaan penurunan fungsi ginjal yang cepat, progresif atau
TKK < 5 ml/menit.
Dikutip dari (1). TKK = Tes kliren kreatinin.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PROGRESIVITAS KEMUNDURAN FUNGSI GINJAL3,4,5
Kehilangan sebagian fungsi ginjal
Pada tingkat gagal ginjal tertentu, kemunduran fungsi
ginjal akan berjalan secara cepat. Hal ini tetap akan terjadi
walaupun penyakit atau keadaan yang menyebabkan kerusak-
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 3
5. an ginjal tersebut bervariasi, tergantung antara lain oleh pe-nyakit
dasarnya. Pada penderita yang mempunyai kadar krea-tinin
5 mg%, Ahlmen mendapatkan angka rata-rata (median)
terjadinya gagal ginjal terminal pada nefropati diabetes melitus
dalam waktu 6 bulan, glomerulonefritis 10 bulan, dan 14 bulan
pada pielonefritis nonobstruktif.
Baik pada manusia ataupun pada binatangpercobaan telah
dapat dibuktikan bahwa pada ginjal yang tersisa setelah nefrek-tomi,
terjadi perubahan-perubahan fungsional dan struktural.
Perubahan ini terjadi dalam rangka mengambil alih fungsi gin-jal
yang hilang oleh karena nefrektomi. Proses ini disebut juga
sebagai usaha kompensasi (compensatory) atau penyesuaian.
Perubahari morfologi yang sering terjadi adalah sklerosis pada
glomeruli dan didapatkannya proteinuria. Semakin banyak
kehilangan jaringan ginjal, semakin cepat pula proses ke tahap
terminal.
Dari beberapa penyelidikan didapatkan, perubahan struktur
glomerulus yang terjadi setelah nefrektomi adalah disebabkan
meningkatnya secara terus-menerus tekanan dan aliran darah ka-piler
glomerulus sebagai usaha kompensasi. Dari penyelidikan
pungsi mikro ginjal pada keadaan ini, dilatasi arteriol ginjallah
yang menyebabkan peningkatan aliran darah ke glomerulus.
Pengaruh diit pada ginjal
Sejak lama sudah diketahui bahwa protein dapat mem-pengaruhi
fungsi ginjal. Anjing yang diganti makanannya dari
karbohidrat menjadi daging menunjukkan peningkatan aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomeruler (LFG) sampai 100%.
Demikian juga pada tikus yang diberi diit tinggi protein 35%,
dibandingkan dengan yang diberi hanya 6%, didapatkan LFG
yang 70% lebih tinggi. Addis, yang pertama kali mengajurkan
dill rendah protein, menganggap bahwa mengekskresi urea
memerukan kerja dari ginjal, sehingga pada gagal ginjal beban
kerja ini perlu dikurangi. Pada manusia, yang mendapat nutrisi
parenteral, selama pemberian asam amino (sama dengan 150 g
protein) menunjukkan peningkatan LFG 50% lebih tinggi
dibanding pada saat tidak diberi. Dari berbagai percobaan
didapat kesan, penyebab peningkatan perfusi dan filtrasi
glomeruler ini agaknya oleh karena kerja horman tertentu atau
media lainnya yang diinduksi oleh makanan mengandung
tinggi protein.
Binatang percobaan yang diberi makan ad libitum terus
menerus, (protein tinggi) pada sebagian besar akan terjadi
proteinuri dan sklerosis glomeruler. Kejadian ini dapat dihindari
dengan pemberian makanan yang selang sehari atau dengan
jumlah yang lebih sedikit sampai 1/2 – 2/3 nya. Bukti-bukti ini
menunjukkan adanya kemungkinan bahwa peningkatan
tekanan dan aliran intra ginjal oleh karena diit tinggi protein
berkaitan erat dengan terjadinya sklerosis glomeruler.
Walaupun sklerosis glomerulus terjadi pada orang normal
dengan meningkatnya usia (10 – 30% dari total glomerulus
menjadi sklerosis pada usia 40 – 80 tahun), tetapi hal ini tidak
membahayakan karena fungsi ginjal masih mencukupi. Lain
halnya apabila pasien yang sudah kehilangan sebagian fungsi
girtjal dibebani lagi dengan makan ad libitum (protein tinggi),
maka pada keadaan ini proses sklerosisnya akan lebih cepat
terjadi.
Gambar 1. Skema hipotesis hubungan perubahan kompensasi hedo-dinamik
glomerulus pada glomerulus yang utuh dengan
perubahan patologik. Modifikasi dari Hostetter, (4) dan
Harrisdkk(9).
Selain itu masih ada pula faktor-faktor lain yang masih ada
hubungannya dengan diit, yang berperan dalam kemunduran
fungsi ginjal.
1) Fosfor. Selain dengan mengurangi absorpsi fosfor, dengan
restriksi protein, asupan fosfor juga akan menurun. Diit rendah
fosfor memperlambat proses perburukan ginjal dengan jalan:
a. mengurangi pengendapan garam kalsiumfosfat di ginjal.
b. mengurangi efek kompensasi hemodinamik glomerulus.
c. menghambat respon inflamasi.
2) Lipid, mempunyai pengaruh terhadap perjalanan penyakit
ginjal pada beberapa model/percobaan penyakit ginjal. Bebe-rapa
fraksi lemak, terutama LDL, dapat menyebabkan ke-rusakan
lebih besar pada struktur mesangial dan glomerular
basement membrane.
Apabila peningkatan tekanan dan aliran darah glomerular
amat penting dalam proses kemunduran fungsi ginjal pada
insufisiensi/gagal ginjal, usaha-usaha penurunan tekanan darah
glomerular akan dapat memperlambat proses kemunduran ini.
Diit rendah protein tampaknya merupakan salah satu usaha
yang telah terbnkti.
DIIT RESTRIKSI PROTEIN
Konsep dasar diit rendah protein adalah memberikan protein
dalam jumlah terbatas bersama dengan jumlah energi yang
cukup.
Dalam DRP ini ada beberapa hal yang perlu mendapat per-hatian:
1) Protein yang diberikan tidak boleh terlalu kurang atau terlalu
tinggi.
Hal ini dapat dinilai antara lain dengan pengukuran asupan
nitrogen. Pada pasien yang stabil keadaannya, terdapat korelasi
antara rasio ureum/kreatinin serum dengan asupan nitrogen.
Walaupun cara ini cukup akurat dan mudah, ada beberapa
Cermin 4 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
6. keadaan yang membuat kesalahan perhitungan, yaitu antara
lain pada keadaan katabolik, diuresis kurang dari 1500 ml
(produksi ureum meninggi).
2) Harus diperhatikan kecukupan kalori, zat-zat nutrisi lainnya
agar tidak mengganggu metabolisme, aktivitas atau per-tumbuhan.
Penurunan berat badan, atau bahkan malnutrisi yang dapat
terjadi karena diit ini harus dicegah. Sering diperlukan pe-nambahan
vitamin.
3) Diit harus dapat diterima atau disesuaikan dengan selera
penderita.
Banyaknya protein yang diberikan6-7.
1) Pada umumnya protein diberikan sebesar 0,55 – 0,60
gram/kg/hari, yang mengandung protein nilai biologik tinggi
minimal 0,35 g/kg. Dengan protein sebanyak ini, keseimbangan
nitrogen menjadi netral atau positif, diit dapat diterima
penderita, dan makanan cukup bervariasi.
Semakin rendah LFG atau TKK, (LFG kurang dari 15 - 25
ml/men.), hasil atau sisa metabolisme yang potensial toksik
akan lebih menumpuk, sehingga pemberian protein harus lebih
rendah lagi, yaitu 0,4 gram/kg. Atau pada tahap ini diperlukan
suplementasi asam amino esensial/analognya.
2) Saat ini sudah banyak dipakai asam amino semi sintetik
atau asam keto untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
nitrogen. Pada tabel 2 dapat dilihat komposisi salah satu pre-parat
asam amino esensial yang ada.
Tabel 2. Kandungan asam amino semi sintetik.*
Isi gram/10 tablet
L– Histidine
L– Isoleucine
L– Leucine
L– Lysine acetat as lysine
L– Methioninc
L– Phenylalanine
L– Tryptophan
L– Valine
0,55
0,70
1,10
0,80
1,10
0,50
0,25
0,80
Total
Total nitrogen
5,80
0,87
*Aminers. (Dari 8)
Apabila diberikan suplementasi asam amino esensiil
(AAE) atau analognya asam keto, protein makanan cukup
diberikan 0,28 g/kg/hari atau antara 16 - 20 g protein/hari,
ditambah 10 - 20 gram AAE (20 lebih tablet aminess). Pada diit
ini jenis protein yang dipilih dapat leluasa sehingga pilihan
makanan menjadi lebih banyak, walaupun jumlah yang
dimakan tetap sedikit. Hambatannya adalah harga AAE/asam
keto yang cukup mahal.
Diit suplementasi/kombinasi ini mempunyai beberapa
keuntungan yaitu antara lain: a) Asam keto tidak mengandung
grup alfa amino (Nitrogen) sehingga pembentukan sisa meta-bolisme
Nitrogen yang berbahaya berkurang, b) tidak banyak
mengandung fosfor atau kalium, c) dapat menormalkan asam
amino dalam sirkulasi atau dalam otot dan kelebihan nitrogen
dalam badan dapat terpakai.
Apabila terdapat proteinuria, maka setiap kehilangan
protein diganti dengan protein nilai biologik tinggi sejumlah
yang sama. Pada LFG/TKK kurang dari 5 ml/menit DRP sulit
dilaksanakan dan umumnya sudah terjadi banyak perubahan
biokimiawi dalam tubuh, sehingga diperlukan dialisis (hemo/
peritoneal) atau transplantasi ginjal. Juga tindakan ini diperlu-kan
apabila terdapat oliguria (urin < 400 ml/24 jam) yang tidak
respon terhadap pengobatan konservatif.
Dari suatu studi prospektif dengan diit seperti di atas, pe-nurunan
fungsi ginjal dapat diperlambat 3 - 5 kali lebih lama
dari kontrol.
Kalori atau energi
Untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen, faktor
yang penting adalah energi/jumlah kalori dan banyaknya
karbohidrat dalam diit.
Dari berbagai penyelidikan kalori sebesar 35 Kkal. per
hari, sudah cukup memenuhi. Penambahan kalori/energi yang
berlebihan yang dimaksudkan untuk menambah pemakaian
nitrogen, tak berarti banyak.
KESIMPULAN
Pada gangguan fungsi ginjal terjadi usaha-usaha untuk
mengkompensasi kekurangan ini, yang ditandai dengan hiper-filtrasi,
hipertensi, hiperperfusi, yang kemudian dapat menye-babkan
kerusakan pada glomerulus, dan pada akhirnya terjadi
gagal ginjal terminal. Makanan (protein) juga dapat menimbul-
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 5
7. kan keadaan hiperfiltrasi. Diit restriksi protein pada penderitā
yang mempunyai gangguan fungsi ginjal terbukti dapat mem-perlambat
kemunduran fungsi lebih lanjut. Protein yang diberi-kan
adalah 0,55 – 0,60 gram/kg dengan protein nilai biologik
tinggi, atau 0,4 g/kg pada gangguan ginjal yang lebih berat,
dengan kalori 35 Kkal/kg, dan penambahan vitamin. Meskipun
saat ini masih sangat mahal asam amino esensialsemisintetik
atau analognya asam keto, amat bermanfaat pada pelaksanaan
DRP.
KEPUSTAKAAN
1. Sidabutar RP. Management of chronic renal failure. Medical Progress
1983, Sept. 1–5.
2. Markum MS, Wiguno, Endang Susalit, Roemiati. Penatalaksanaan
konservatif gagal ginjal kronik. Dalam; Gagal ginjal kronik. Diagno-sis
dan penatalaksanaannya. Bagian Penyakit Dalam FKUI, Jakarta,
1987.
3. Brenner BM, Meyer TW, Hostetter TH. Dietary protein intake and
progressive nature of kidney disease. N Engl J Med 1982; 307 :
654 – 659.
4. Hostetter TH. Dietary prrotein and progressive renal disease. The
nature of chronic human renal disease. Dalam Woo KT, WU AYT,
Lim CH (eds). Priceesing if the 3rd Asian - Pacific Congress of
Nephrology, Singapore, 1986.
5. Alfrey AC, Tomford RC. The case for tubulontersititial factors
in the progression of 'lanai disease. Dalam Narins (ed) Controver-sies
in nephrology and hypertension. New York; Churchil Livingston
1984.
6. Kopple JD. Chronic Renal Failure: Nutritional and non dialytic
management. Dalam Bayless TM, Brain C, Cherniac RM. Current Therapy
in Internal Medicine, Toronto; B.C. Drecker Inc. 1987.
7. Mitch WE, Walser M. Nutritional therapy of the uremic patient. Dalam
Brenner BM, Rector FC. The kidney, 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company, 1986.
8. Furst P, Ahlberg M, Alverstand A, Bergstrom. Principles of essential
amino acid therapy in ureimia. Am J Clin Nutr 1987; 31 : 1744 -
1755.
9. Harris RC, Meyer TW, Brener BM, Nephron adaptation to renal injury.
Dalam Brenner BM, Rector FC. The Kidney, 3rd ed, Philadelphia : WB
Saunders Co. 1986.
Cermin 6 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
8. Nefropati Imunoglobulin A
Dr. M.S. Markum, Dr. Suhardjono, Dr. Endang Susalit, Dr. Jose Roesma
Subbagian Ginjal-Hipertensi, Raglan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Ciptomangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Di kawasan ASEAN, Singapura-lah yang pertama-tama
melakukan penelitian yang meluas terhadap nefropati IgA,
yaitu sejak ditemukannya kasus pertama pada tahun 1973. Pada
tahun 1974, yaitu pada First Colloquim in Nephrology, Sinniah
et al. mempresentasikan hal ini dengan lebih lengkap.l
Perhatian terhadap nefropati IgA dicetuskan oleh Berger
dan Hinglais pada tahun 1968. Mula-mula para peneliti kurang
menaruh minat terhadap publikasi ini, tetapi kemudian makalah
mengenai nefropati ini meningkat sekali jumlahnya. Misalnya
pada seminar mengenai glomerulonefritis di Australia pada
tahun 1972, telah diberikan perhatian khusus untuk nefropati
IgA, tetapi masih bersifat inventarisasi masalah; belum nyata
ke mana arah penelitian lebih lanjut harus di lakukan.2 Dalam
Kongres Nefrologi Asia-Pasifik di Tokyo pada tahun 1979,
pembahasan tentang penyakit ini sudah lebih mendalam.
Peranan IgA polimer, peranan antigen, peranan OKT4 dan
OKT8 dalam patogenesis nefropati IgA mulai diteliti3.
Selanjutnya akhir-akhir ini pembahasan tentang nefropati IgA
hampir selalu muncul pada tiap majalah nefrologi.
Terdapat distibusi yang tidak merata dari nefropati IgA,
misalnya di Eropa lebih banyak dari pada di Amerika Serikat.
(Eropa 20% dari jumlah biopsi untuk glomerulonefritis primer
sedangkan di Amerika Utara 10%)4. Di beberapa negara Asia,
nefropati IgA mulai nampak sebagai kelainan yang sering atau
paling sering dijumpai. (30% – 40% dari jumlah biopsi ginjal)5.
Usaha untuk mencari nefropati IgA di Indonesia pada saat
munculnya laporan tentang kelainan ini pada beberapa negara
Asia, belum berhasil. Tetapi kemudian tampaklah, kelainan ini
menjadi penting pula bagi kita, karena semakin banyaknya
dilaporkan nefropati jenis ini. Sidabutar dkk. melaporkan pada
tahun 1985 bahwa 9.5% dari pasien glomerulonefritis
disebabkan oleh nefropati IgA6 .
Diharapkan dengari banyaknya penelitian mengenai
nefropati IgA pada pusat-pusat penelitian di Indonesia akan
dapat dikumpulkan data yang lebih pasti. Sudah pada tempat-nya
kita di Indonesia juga memberikan perhatian khusus
terhadap kelainan ini, karena tampaknya nefropati IgA akan
mempunyai kedudukan yang sangat penting.
DEFINISI
Kelainan ini dikenal juga sebagai:
− penyakit Berger
− nefropati IgA–IgG
Berger menamakannya sebagai deposisi IgA yang idioptik pada
mesangium. Kelainan ini adalah suatu bentuk glomerulonefritis
yang ditandai oleh deposit, terutama IgA, pada setiap
glomerulus. Deposit yang difus ini disertai pula dengan kelain-an
fokal dan segmental.
Penyakit sistematik yang juga disertai dengan deposit IgA
perlu disingkirkan, seperti kelainan hepato-bilier dan purpura
Henoch–Schonlein.
PATOFISIOLOGI8,9,10
Imunoglobulin A
Imunoglobulin A (IgA) adalah protein yang dihasilkan oleh sel
limfosit B.
IgA merupakan imunoglobulin utama yang ditemukan
pada mukosa, sehingga disebut juga sebagai secretory immuno-globulin
(SIgA). Bila dilihat luasnya jaringan mukosa pada
badan kita, jelaslah, IgA memang peranan penting dalam me-kanisme
pertahanan tubuh kita. IgA merupakan pertahanan
primer tubuh, terdapat banyak pada air liur, air mata, sekresi
bonchus, mukosa hidung, cairan prostat, sekresi vagina dan
mukus dari usus halus.
Di dalam serum manusia, 85%–90% dari total IgA adalah
monomer, sedangkan sisanya berbentuk polimer. Tiap molekul
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 7
9. SIgA terdiri atas 2 unit dasar berantai 4, di mana terdapat
komponen sekresi (secretory component) dan rantai J (J-chain).
Jadi SIgA adalah suatu bentuk dimer dari IgA, dengan berat
molekul 400.000.
L = lightchain.
H = heavy chain
1 = J–chain
SC = secretory component
Pembentukan IgA dianggap terjadi pada jaringan lomfoid
mukosa, dan sebagian dari IgA ini alan membentuk polimer.
Polimerisasi terjadi intraseluler dan dimungkinkan oleh karena
adanya rantai J. Bentuk polimer inilah yang dapat membentuk
kompleks imun yang terdapat pada deposit di mesangium,
karena kompleks imun yang terbentuk mempunyai ukuran yang
besar, sehingga tertahan pada mesangium. Mukosa usus adalah
tempat utama bagi pembentukan IgA. Setelah masuknya
antigen per oral akan terbentuk zat anti yang terdiri dari IgA.
Zat anti ini dapat keluar ke dalam lumen usus atau masuk ke
dalam peredaran darah yang selanjutnya akan merangsang
pembentukan IgG dan IgM.
Pada proses eliminasi antigen yang terdapat pada mukosa,
IgA tidak mengundang timbulnya reaksi radang yang hebat,
karena berfungsi melindungi mukosa yang lembut. Tidak ter-dapat
aktifasi sistem komplemen maupun mobilisasi lekosit.
SIgA dalam bentuk dimerik yang stabil akan mengikat antigen,
membentuk molekul makro yang tidak dapat diserap. Dengan
cara ini, virus, bakteri dan antigen makanan dapat dibuang
dari tubuh setelah berikatan dengan lendir (mucin), yang di-bentuk
terus menerus. Seandainya lapisan mukosa dengan
SIgA ini dapat ditembus oleh antigen, akan terjadi reaksi
radang karena diaktifkannya pertahanan tubuh, yaitu IgG,
IgM dan lekosit. Akibatnya akan terjadi reaksi radang yang
hebat.
Pendapat bahwa IgA yang beradal dari mukosa dan ke-mudian
menjadi deposit pada glomerulus stelah melalui proses
polimerisasi adalah pendapat yang paling mudah diterima.
Pendapat ini didukung oleh kenyataan, IgA terdapat banyak
sekali pada mukosa, ditemukannya nefropati IgA setelah
infeksi saluran nafas bagian atas, dan tingginya frekuensi
nefropati IgA pada daerah-daerah di mana didapatkan ente-ropati
karena gluten.
Namun demikian masih diselidiki apakah memang benar
IgA yang diendapkan pada glomerulus memang dibentuk oleh
sel-sel mukosa. Sudah dipastikan, IgA yang terdapat pada
mesangium adalah IgAl, bukan IgA2. Dengan berdasarkan hal
ini, diperkirakan pembentukan IgA berasal dari sel limfosit B
dari sumsum tulang.
Deposisi kompleks imun–IgA pada mesangium4,11
Nefropati IgA adalah suatu penyakit yang berdasarkan
pembentukan kompleks imun, yang diendapkan pada
mesangium. Pendapat ini didukung oleh gambaran endapan
IgA yang tidak merata pada membrana basalis, yang terlihat
pada pemeriksaan imunoflouresens. Selain daripada itu, ginjal
yang terkena nefropati IgA bila ditransplantasikan kepada
resipien yang sehat, maka gambaran nefropati IgA akan
menghilang. Kadar IgA pada plasma pasien didapatkan
meninggi pada 50% pasien, peningkatan kadar kompleks
imun– IgA yang sejalan dengan aktifitas penyakit, peningkatan
produksi IgA in vitro oleh limfosit, serta didapatkannya
endapan IgA pada kapiler kulit, merupakan data tambahan
yang menyokong adanya kompleks imun sebagai dasar
nefropati IgA.
Namun demikian antigen yang merangsang pembentukan
kompleks umun tersebut masih belum dapat dikenal dengan
jelas.
Beberapa hal yang dapat menjelaskan terjadinya nefropati
IgA adalah:
1). Produksi IgA yang berlebihan
Hematuria pada nefropati IgA terjadi dalam 1–3 hari setelah
infeksi saluran nafas bagian atas. Hal ini jelas membedakan
nefropati IgA dengan glomerulonefritis pasca streptokokus.
Infeksi virus yang berulang pada mukosa akan menyebabkan
pembentukan .IgA lokal yang berlebihan. Rangsangan oleh
antigen dari makanan dapat pula merangsang produksi IgA
yang berlebihan pada mukosa usus. Selain daripada itu, limfosit
tonsil pasien juga menunjukkan kemampuan membentuk IgA
yang lebih banyak. Rangsangan kronis antigen ini me-mungkinkan
dibentuk endapan pada glomerulus. Diperkirakan
kompeks imun terbentuk in situ.
2). Defek pada mukosa
Kerusakan mukosa, menyebabkan eliminasi antigen tidak
sempurna. Antigen dapat masuk ke dalam peredaran darah.
Kemudian dapat terjadi reaksi peradangan yang berdasarkan
pembentukan kompleks imun. Contoh dari hal ini adalah
hubungan nefropati IgA dengan dermatitis herpetiformis dan
enteropati gluten.
3). Eliminasi yang terganggu
Penyakit hati, akan menghambat eliminasi kompleks imun-IgA
dari sirkulasi. Kompleks imun ini dapat terlihat diendapkan
pada sinusoid hati dan kapiler kulit.
Dijumpai adanya nefropati IgA pada pasien serosis, men-dukung
pendapat ini.
4). Peranan komplemen
Kompleks imun–IgA tidak mampu berikatan dengan Cl, se-hingga
tidak terjadi pembentukan C3b. Padahal C3b ini ber-fungsi
mencegah pembentukan kompleks imun yang berukuran
besar. Seperti dibicarakan sebelumnya, kompleks imun yang
berukuran besar lebih mudah diendapkan, sehingga timbul
kerusakan jaringan. Selain itu C3b ini dapat mengikatkan
kompleks imun pada reseptor eritrosit , sehingga memudahkan
pengangkutan kompleks imun ini ketempat penghancurannya
pada sistem retikuloendotelial.
5). Faktor genetik
Keluarga pasien penderita nefropati IgA terbukti mempunyai
kemampuan sintesis IgA poliklonal yang meninggi. Penelitian
di Jepang menunjukkan kaitan antara nefropati IgA dengan
Cermin 8 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
10. sistem HLA, yaitu HLA DR4, sedangkan di Eropa menunjuk-kan
golongan lain (HLA B35 dan HLA B12).
6). Faktor geografis
Perbedaan frekuensi nefropati IgA di beberapa negara belum
dapat diterangkan dengan jelas. Faktor antigen setempat, faktor
reaksi terhadap antigen dapat dipertimbangkan. Seleksi dan
pencariān kasus yang intensif, indikasi biopsi ginjal yang lebih
lunak, tentu akan menghasilkan penemuan kasus yang lebih
banyak.
GAMBARAN KLINIS4,6,11
Nefropati IgA dapat terjadi pada semua tingkat usia, walaupun
jarang ditemukan pada usia < 10 tahun atau> 50 tahun. Laki-laki
lebih sering mendapat kelainan ini daripada wanita (6:1).
Perbandingan ini untuk Indonesia adalah 1:0,86. Hematuria
makroskopik yang berulang terjadi 1–3 hari setelah infeksi
saluran nafas, atau setelah suatu infeksi yang tidak jelas
merupakan gejala permulaan yang sering dijumpai di Eropa.
Perlu difikirkan nefritis pasca streptokokal sebagai diagnosis
banding.
Disuria dapat pula menyertai hematuria, sehingga mungkin
terjadi pemikiran ke arah infeksi saluran kencing. Gambaran
gagal ginjal akut mungkin pula terjadi, bersamaan dengan saat
terjadinya hematuria makroskopik, disebabkan sumbatan
tubulus oleh sel darah merah.
Selain itu mungkin ditemukan sindrom nefrotik.Terdapat
golongan pasien dengan sindrom nefrotik, tetapi tanpa hema-turia.
Gambaran klinik golongan ini mirip dengan kelainan
minimal, responsif terhadap steroid, sering relaps, remisi yang
menetap setelah siklosfamid.
Laporan dari Indonesia adalah 35,71% dengan gambaran
sindrom nefrotik, 3,57% dengan glmerulonefritis cepat–pro-gresif
dan 60,75% menunjukkan glomerulonefritis tanpa sin-drom
nefrotik, 17,85% di antaranya dengan gagal ginjal kronik.
Purpura Henoch–Schonlein juga menunjukkan deposit IgA
pada mesangium, tetapi ditemukan gejala artralgia, sakit perut
dan purpura nontrōmbositopenik. Ada yang menganggap
bahwa nefropati IgA adalah bagian dari purpura Henoch–
Schonlein.
GAMBARAN LABORATORIK4,11
Hematuria makroskopik merupakan kelainan utama yang
hilang timbul, tetapi hematuria mikroskopik menetap di antara
saat terjadinya hematuria makroskopik. Dismofik eritrosit pada
urin menunjukkan bahwa eritrosit berasal dari glomerulus,
walaupun mungkin ditemukani bentuk eritrosit normomorfik
dan dismorfik.
Proteinuria sering (60% dari kasus) diditeksi pada pe-meriksaan
urin rutin dengan kadar kurang dari 1 gram/hari.
Proteinuria yang berat (nephrotic range) ditemukan pada kira-kira
pada 10% penderita.
Faal ginjal umumnya masih normal, tetapi gambaran gagal
ginjal akut maupun gagal ginjal kronik dapat dideteksi pada
beberapa pasien.
Kadar komplemen juga normal, walaupun dapat dijumpai
fragmen C3 yang meningkat, karena proses nefropati IgA
berjalan melalui alternate pathway.
Peningkatan kadar serum IgA terdapat pada 50% pen-derita,
dalam bentuk dimerik.
GAMBARAN PATOLOGI ANATOMIK4,5,6,11
Meskipin semua jenis gambaran glomerulonefritis dapat
ditemukan pada nefropati IgA, tetapi gambaran proliferasi
mesangial adalah gambaran yang paling menonjol. Menarik
pula untuk dikemukakan adanya gambaran bulan sabit dan
sklerosis fokal. Prognosis lebih buruk bila terdapat gambaran
bulan sabit. Sidabutar melaporkan sebagai berikut: Glome-rulonefritis
mesangio proliferatif 35,71%, lesi fokal-segmental
32,14%, kelainan minor 17,85% dan sklerosis pada 17,86%.
Mikroskop imunofluoresens menunjukkan deposit IgA
yang granular mesangium. Endapan IgM dan IgG juga dapat
terlihat. Dapat pula dijumpai endapan C3 dan antigen yang
berkaitan dengan fibrin.
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS DIFERENSIAL4,11
Gambaran klinik seperti telah dibahas di atas dapat mem-bantu
untuk menegakkan diagnosis. Biopsi ginjal dengan pe-meriksaan
imunofluoresens merupakan cara utama untuk
menegakkan diagnosis. Purpura Henoch–Schonlein, SLE,
kelainan minimal, infeksi saluran kencing, dapat dipertim-bangkan
sebagai diagnosis banding.
PROGNOSIS4,5,11
Hipertensi, protenuria, usia lanjut, gambaran bulan sakit
pada biopsi, merupakan faktor yang memperburuk prog-nosis.
Proses sklerosis dipercepat pada keadaan tersebut.
Perjalanan penyakit umumnya lambat, walaupun 10%
pasien akan mengalami gagal ginjal kronik dalam 10 tahun,
20% dalam 20 tahun. 20%–30% dari pasien faal ginjalnya
akan terganggu pada masa 20 tahun perjalanan penyakitnya.
TERAPI4,11,12,13
Sampai saat ini belum ada cara pengobatan yang memuaskan
bagi nefropati IgA. Tonsilektomi dapat menurunkan pem-bentukan
polimer IgA, mengurangi frekuensi hematuria, tetapi
diragukan apakah akan mempengaruhi perjalanan penyakitnya.
Mengingat perjalanan penyakitnya yang lambat, maka sulit
menjawab pernyataan ini. Steroid dianggap tidak mempunyai
efek. Penelitian diaaahkan kepada usaha menekan produksi
IgA, mempercepat eliminasi IgA.
KEPUSTAKAAN
1. Sinniah R. IgA Nephropathy. Dalam Sulaiman AB, Morad Z (eds). Proc.
of the sixth Collouium in Nephrology. Excerpta Medica, 1986.
2. Morel–Morager L, Mary J Ph, Leroux Robert C, Richet G. Mesangial IgA
Deposits. Dalam Kincaid Smith P. Mathew TH, Lovell Becker E (eds).
Glomerulonephritis. New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley &
Son, 1972.
3. Clarkson AR, et. al. Clinical Features and Pathogenesis of IgA
Nephropathy. Dalam Oshima K. Yoshitoshi Y,. Hatano M. (eds) Proc of
the First Asian Pacific Congress of Nephrology, Tokyo, 1979.
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 9
11. 4. Glassock RI, Adler SG, Ward HI, Cohen AH. Primary Glomerular
Diseases. Dalam Brenner BM, Rector FJ (eds). The Kidney. Philadelphia,
London, Toronto, Mexico City, Rio de Jeneiro, Sydney, Tokyo: WB
Saunders Company, 1986.
5. Woo KT, et al., Clinical and Prognostic Indices of IgA Nephritis. Dalam
Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proc of the 3rd Asian Pacific Congress
of Nephrology,1986.
6. Sidabutār RP. Lumenta NA, Suhardjono, et al. Glomerulonephritis in
Indonesia. Dalam Woo KT, Wu AYT, Urn CH (eds). Proc of the 3rd
Asian-Pacific Congress of Nephrology, 1986.
7. Berger J. Indiopathic Mesangial Deposition of IgA. Dalam Ham-burger J.
Crosnier J. Grunfeld JP (eds). Nephrology. New York, Paris, London,
Sydney, Toronto: Wiley–Flammarion, 1979.
8. Dwyer JM. Selective IgA Deficiency and Autoimmūne Disease.
Dalam Franklin EC, et al. (eds). Clinical Immunology Update.
New York, Amsterdam, Oxford: Elsevier Biomedical, 1983.
9. Wang AC. The Structure of Immunoglobulins. Dalam Fundenberg HH, et
al. (eds). Basic Clinical Immunology. Los Altos: Lange Medical
Publication, 1976.
10. Valentijn TM, et al. Circulating and Mesangial Secretory Com-ponent–
Binding IgAl in Primary IgA Nephropathy. Kidney Int. 1984; 26: 760–
766.
11. Rose BD. Pathophysiology of Renal Disease. 2nd ed. New York:
McGraw–Hill, 1987.
12. Woodroffe AJ. IhA Nephropathy–Experimental Aspects. Dalam Woo KT,
Wu AYT, Lim CH (eds). Proc of the 3rd Asian-Pacific Congress of
Nephrology, 1986.
13. Lozano L, et al. Tonsillectomy Decreases the Synthesis of Poly-meric IgA
by Blood Lymphocytes and Clinical Activity in Patients with IgA
Nephropathy. Dalam Devision AM, Guillou PJ (eds). Proc EDTA Vol 22,
1985.
Cermin 10 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
12. Pengobatan Dosis Tunggal Pada
Infeksi Saluran Kemih
Dr. Roemiati Oesman, Dr. Parlindungan Siregar, Dr. Wiguno P, Dr. M.S Markum
Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Ciptomangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Pengobatan infeksi saluran kemih (I.S.K.) masih merupa-kan
problem, oleh karena walaupun sudah banyak penyelidikan
tentang infeksi tersebut, pendapat bagaimana pengobatan yang
optimal masih simpang siur. Prosentase terbesar dari I.S.K.
adalah wanita dengan disuri akut. Menurut gejala, tanda dan
kelainan urinnya, dapat disebabkan oleh pielonefritis akut,
pielonefritis sub akut, I.S.K. bagian bawah yaitu sistitis dan
atau uretritis, uretritis Klamidia atau gonokokus, vaginitis,
sistitis interstisial dan bukan infeksi.
Pada wanita muda yang seksual aktif, penyebab primer
dari I.S.K. adalah Eserikhia coli dan sekunder oleh Stafilo-kokus
saprofitikust . Pada pria berumur lebih dari 50 tahun
yang sering mengalami kateterisasi saluran kemih, penyebab
I.S.K. adalah Stafilokokus saprofitikus. Infeksi dengan kuman
tersebut dapat sembuh spontan, dan beberapa lainnya akan
kambuh. Apabila kuman menetap atau kambuh, harus di-pikirkan
ada batu, oleh karena kuman tersebut bersifat pelepas
urea serta banyak ditemukan pada urin alkalis. Penyebab
kuman pada wanita disuri akut umumnya sama, Eserikhia Coli
atau Stafilokokus saprofitikus. Pada wanita, I.S.K. yang
bergejala dan barn diketahui untuk pertama kali, untuk ke-perluan
pengobatannya antara lain harus ditentukan ada infeksi.
Pada populasi banyak, secara praktis dan cepat hanya perlu
pemeriksaan urinalisis, yaitu mengetahui adanya piuria dan
bukan dengan kultur atau pemeriksaan kepekaan, oleh karena
anti mikroba masih peka terhadap Eserikhia Coli atau
Stafilokokus saprofitikus. Kecuali pada pasien-pasien yang
mendapat infeksi waktu dirawat di rumah-sakit, antara lain
akibat kateterisasi saluran kemih bagian bawah, uropati ob-struktif
dan gagal ginjal. Pada umumnya sifat dari kuman yang
sama, sudah berbeda sehingga tidak lagi peka terhadap semua
obat. Sebagian kecil dari wanita dengan disuri akut yang
berulang, kultur urin negatif. Hal tersebut terdapat pada sistitis
interstitialis,uretritis oleh karena Nesseria gonokokus atau Kla-midia
trakomalis. Pada I.S.K. bagian atas perlu pemeriksaan
kultur.
Tujuan pengobatan I.S.K. adalah menghilangkan gejala,
membasmi kuman sebagai sumber infeksi, mencegah kambuh
atau reinfeksi dan mencegah kerusakan ginjal. I.S.K. pada
orang dewasa jarang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal
yang dapat menuju ke gagal ginjal, kecuali apabila ada ob-struksi
saluran kemih akibat batu atau kelainan anatomi dari
saluran kemih. Berhasilnya pengobatan sangat berhubungan
dengan kepekaan obat anti mikroba terhadap kuman yang ada,
tingginya kadar obat anti mikroba dalam urin, lokalisasi infeksi
ada tidaknya komplikasi saluran kemih seperti kandung kemih
urogenik, batu, kelainan anatomik, kateterisasi saluran kemih
dan diabetes melitus. Disamping hal-hal tersebut, dipihak lain
harus dipikirkan harga obat, efek samping obat, kenikmatan/
kepatuhan pasien, sehingga efektivitas pengobatannya harus
disesuaikan pada setiap individu. Pada wanita dengan disuri
akut, bila ada piuria, segera harus diobat dengan obat anti
bakteri sederhana dosis tunggal. Di sini mungkin sama efek-tifnya
dengan pengobatan jangka 7–10 hari. Pada wanita
dengan riwayat infeksi berulang, pada waktu ada gejala perlu
diobati dosis tunggal 4–5 tablet, masing-masing 80 mg trime-toprim
- 400 mg sulfametoksasol. Pada disuri akut tanpa piuria,
tidak perlu diobati.
Gambar 1. Pendekatan klinik pada wanita dengan disuria
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 11
13. Dari penyelidikan-penyelidikan yang terdahulu belum ada
pernyataan yang pasti bahwa pengobatan I.S.K. jangka panjang
lebih berhasil daripada pengobatan jangka pendek (1–3 hari).
R.R. Bailey dkk2 dalam penyelidikannya mengenai pengobat-an
I.S.K. pada orang dewasa dan anak-anak, ternyata amoksil
dosis tunggal 3 gram sama efektifnya dengan jangka 5–7
hari. Pada golongan wanita yang seksual aktif, bila ada I.S.K.
yang tanpa komplikasi (tidak ada obstruksi saluran kemih,
radiologis saluran kemih normal dan fungsi ginjal baik), laju
pertumbuhan Kesembuhan pengobatan 5–10 hari adalah 85%,
akan tetapi pengobatan jangka panjang tidak menguntungkan,
oleh karena;
1). banyak orang berhenti minum obat waktu gejala mem-baik.
2). sukar minum obat 3–4 kali per hari.
3). sukar memakan obat jangka panjang pada kasus tanpa ge-jala.
4). tetap makan obat setelah gejala menghilang.
Oleh karena hal tersebut, dipikirkan oleh Bailey kembali
memakai dosis tungal pada I.S.K. bagian bawah yang bergejala
atau bakteriuria tanpa gejala pada kehamilan trimester pertama
dengan nitrofurantoin 100 mg. Ternyata kesembuhan terjadi
pada kasus yang tanpa kelainan radiologis saluran kemih,
sehingga hasil pengobatan dosis tunggal dapat dipakai untuk
membantu memilih pasien yang perlu pemeriksaan radiologis
dan urologis. William & Smith3 mengobati bakteriuri pada
kehamilan dengan dosis tunggal kombinasi: Streptomisin 1
gram dan sulfametopirason 2 gram. Dari 47 kasus, laju
penyembuhan 77%. Ronald dkk4 memakai 0,5 gram kanamisin
I.M., laju penyembuhan 92% dari 39 kasus dan 72% pada
infeksi saluran atas, Aliran mengobati 100 wanita sistitis
superfisialis dengan kanamisin 500 mg I.M. dan hasilnya baik.
Daripada memakai dosis ganda 5–14 hari, pengobatan anti-biotika
dosis tunggal pada wanita dengan I.S.K. tanpa kom-plikasi
mempunyai beberapa keuntungan: lebih menyenangkan,
angka kepatuhan tinggi, murah dan efek sampingan yang
rendah. Beberapa penyelidik mengatakan, pada wanita dengan
I.S.K. tanpa komplikasi, pengobatan dosis tunggal cukup
efektif, sedangkan beberapa penyelidik lain menentang
pernyataan tersebut.
Beberapa penyelidik dalam penyelidikannya mengeluarkan
kasus I.S.K. saluran atas dengan pemeriksaan pencucian
kandung kemih atau bakteri berselubung antibodi, dan hasil
pengobatan dosis tunggal sama efektifnya dengan pengobatan
7–14 hari. Ada pendapat yang tidak setuju pemakaian dosis
tunggal, oleh karena kemungkinan infeksi yang kambuh lebih
Tabel :
Penyelidik.
th. Dosis obat Sembuh total
% Dosis obat Sembuh total
%
Guneberg & Brumfitt
1967
Slode & Crowthen 1972
Bailey & Abbort 1977
Bailey & Abort 1978
Fang dkk, 1978
Rubni dkk, 1980
Bai Ley & Blobe, 1990
Grifson dkk, 1981
Greenberg dkk, 1981
Savord Fentok dkk,
1982
Hoovh dkk, 1982
Counts dkk, 1982
Talkoff Rubra dkk,
1983
Pontrer dkk; 1983.
Sulfometaksin 2 gr
Sulfametoperasin
2 gr
Amoksilin 3 gr
Trimetroprim
Sulfametaksasol
Amoksilin 3 gr
Amoksilin 3 gr
Trimetoprim
Sulfametok 0,96 gr
0,96 gr
1,92 gr
2,88 gr
Amoksilin 3 gr
Sefaklor 2 gr
Amok silin 3 gr
Amoksilin 3 gr
Trimetroprim–sulfa-metoksasol
1,92 g
Trimetoprim–sulfa-metoksasol
1,92 gr
Sulfonesid M. lgr
22
29
8
17
21
33
13
16
14
18
10
43
8
29
34
16
25
34
10
20
2
38
16
16
16
28
30
71
11
38
41
18
88
85
80
85
95
87
61
100
88
64
33
61
73
76
83
89
amplisilin 500 mg
3x/hari–7hari
amplisilin 500 mg
3 x / hari – 7 hari
amoksilin 250 mg
3 x / hari – 5 hari
Trimetroprim-sulfa-metoksasol
0,96 gr, 2 x/hari-5 hari
amoksilin 250 mg
4 x/hari – 10 hari
ampisilin 500 mg
4 x/hari – 10 hari
Trimetroprim–sulfa
metoksasol 0,96 gr
2 x/hari – 10 hari
Trimetroprim–sulfa
0,96 gr 2x/hari– 5 hari
Sulfametoksasol 500 mg
2 x/hari – 7 hari
Sefaklor 250 mg
3 x/hani – 10 hari
amoksilin 250 mg
3 x/hari – 14 hari
amoksilin 500 mg
3 x/hari – 7 hari
Trimet–sulfamet
0,9 gr 2x/hani–10 hari
amoksilin 520 mg
3 x/hari – 7 hari
22
25
5
17
21
26
25
15
28
18
67
10
36
14
25
29
10
20
22
28
25
16
31
22
91
12
40
15
88
86
50
85
100
93
100
94
90
82
74
83
90
93
Cermin 12 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
14. sulit, tidak semua anti mikroba kemanjurannya sama, me-nambah
ongkos untuk pemantauan berhasilnya pengobatan
dengan pemeriksaan kultur urin dan tidak adanya pemeriksaan
yang baku untuk memilih kasus yang paling baik untuk dosis
tunggal. Lalu penyembuhan dnegan dosis tunggal sangat varia-bel,
dari 30% (memakai siklasilin) sampai 85 – 90% (memakai
trimetroprim – sulfametoksasol Oleh karena, pendapat yang
simpang siur tersebut, I.T. Philbrick dkk5 mencoba meneliti
sebab musabab perbedaan pendapat dari 14 penyelidik (Lihat
tabel).
12 dari 14 penyelidikan di atas berkesimpulan, dosis tunggal
sama efektifnya dengan dosis ganda. Menurut J.T. Philbrick
dkk, dari tabel di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Efisiensi pengobatan dosis tunggal pada kasus wanita de-ngan
I.S.K. tanpa komplikasi tidak terbukti.
2) Semua penyelidik memakai jumlah kasus yang kurang dan
contoh kasus tidak adekuat, sehingga salah bila ditafsirkan
bahwa dosis tunggal sama efektif dengan dosis ganda. Pada ke-nyataannya,
bila dibandingkan dengan dosis ganda, amoksil
dosis tunggal 3 gram peroral kurang efektif. Kesimpulan ter-sebut
disokong juga oleh penyelidikan yang lebih baru dengan
memakai kasus jumlah besar yang diobati dengan amoksil atau
siklasilin6, penyelidikan terpaksa dihentikan oleh karena laju
penyembuhan yang rendah. Bila dilihat dalam satu bulan, laju
penyembuhan spontan pada I.S.K. tanpa komplikasi , kira-kira
50%, dan laju penyembuhan dengan amoksildosis tunggal
69%. Jadi hanya sedikit perbaikannya, serta jauh lebih rendah
dari laju penyembuhan dosis ganda amoksil atau ampisilin
yang 84%.
Dosis tunggal sulfametoksasol – trimetroprim 2 atau 3
tablet dengan kekuatan ganda, agaknya sama efektifnya dengan
dosis ganda. Pada penyelidikan dengan sefaklor,s dosis tunggal
tidak efektif.
3) Dengan dosis tunggal, kemungkinan berkurangnya efek
samping juga tidak terbukti. Pada setiap penyelidikan di-laporkan
bahwa tidak ada perbedaan efek samping di antara
kedua macam pengobatan ataupun efek samping lebih tinggi
pada pengobatan dosis ganda.
4) Pemeriksaan bakteri berselubung antibodi sering dipakai
untuk mengetahui berhasilnya pengobatan. Pasien dengan
bakteri berselubung antibodi yang negatif akan berhasil baik
dengan dosis tunggal. Tetapi sayang pemeriksaan tersebut tidak
selalu dapat dikerjakan dan metode pemeriksaannya tidak baku,
sehingga hasil pemeriksaan kurang dapat dipercaya.
5) Kesimpulan kegagalan dosis tunggal, jangan dipakai pada
kasus dengan infeksi ginjal yang menjalar ke parenkim. Sem-buhnya
infeksi dengan dosis tunggal, berarti kasus tersebut ti-dak
perlu diperiksa radiologik ataupun sistografi, oleh karena
kegagalan hanya 30%; sehingga tidak praktis untuk melakukan
pemeriksaan tersebut, yang mahal dan memerlukan waktu.
6) Pada I.S.K., jangka waktu pengobatan yang optimal belum
diketahui.
Penelitian baru yang lain membandingkan pemakaian
dosis tunggal 3 hari dan 7 hari pada wanita tidak hamil, dari
sosio ekonomi rendah. Dengan 3 hari trimetoprim–sulfame-toksasol,
laju pertumbuhan 88% dengan pemantauan 4 minggu,
dengan sefadroksil dosis tunggal, 25% sembuh, 3 hari sefa-droksil,
58% sembuh, 7 hari sefadroksil, 70% sumbuh dan
dosis tunggal trimetoprim – sulfametoksasol 65% sembuh.
Baik pemeriksaan bakteri berselubung antibodi maupun gam-baran
kepekaan tidak dapat dipakai sbagai ramalam pengobat-an.
10 Untuk memilih pengobatan, harus dilakukan anamnesis
tentang faktor risiko sebelum I.S.K., lesi anatomi ginjal, di-abetes,
tanda dan gejala yang mengarah ke vaginitis, gejala dan
tanda penyakit saluran kemih atas, Pengobatan dosis tunggal
yang paling sederhana dengan trimetoprim–sulfametoksasol
320 mg – 1600 mg, atau 3 gram amoksilin.
Pengobatan mandiri dosis tunggal
Selain daripada itu diteliti kegunaan pengobatan pencegahan
pada wanita dalam waktu 1 tahun timbul serangan I.S.K.
bagian bawah (reinfeksi lebih sering daripada relaps , oleh
karena pengobatan I.S.K. yang tidak adekuat) Obat-obatan
yang dipakai adalah nitrofurantoin, metanamin-madelat,
trimetroprim dan trimetoprim–sulfametoksasol. Pencegahan
dapat diberikan setiap hari selama 6 bulan atau lebih11,12 ,atau
diberikan hanya sesudah bersenggama13. Satu penyelidik
memakai dosis tunggal harian trimetoprim–sulfametoksasol,
dinyatakan hasilnya efektif dan murah untuk wanita dengan
infeksi minimal 3 kali dalam setahun14. Pada wanita dengan
infeksi berulang, di mana dia sendiri dapat dengan cermat
mendeteksi gejala dini, dianjurkan segera mengobati sendiri
dengan dosis tunggal trimetoprim 320 mg sulfametoksasol
1600 mg. Cara tersebut dapat menyembuhkan infeksi secara
klinis dan bakteriologis15. Pengobatan dosis tunggal di sini
menarik, oleh karena efektif, murah, tidak ada efek samping
obat dan pengaruh ke flora enterobakteri di dubur, uretra dan
vagina; lebih mudah memilih anti-biotika yang masih peka, dan
tidak perlu menentukan lamanya pengobatan yang optimal.
E.S. Wong dkkls menyelidiki 38 wanita dengan I.S.K. berulang,
dibēri pengobatan sendiri intermiten dosis tunggal
trimetoprim–sulfametoksasol. Semua gejala klinis infeksi
tersebut adalah sistitis akut tanpa komplikasi, 90% dari kuman
sensitif terhadap trimetroprim–sulfametoksasol dan kasus
dengan bakteri berselubung antibodi hanya 10%. Dengan ada-nya
tiga hal tersebut, diharapkan bahwa pengobatan dosis
tunggal akan efektif10,16 Mengobati mandiri secara intermiten,
pada umumnya dapat lebih cepat daripada pasien harus datang
ke dokter, sehingga mungkin dapat mencegah infeksi beranjak
ke ginjal. Dari 38 kasus, 30 berhasil, 2 gagal dan 3 kambuh
yang kemudian sembuh dengan pengobatan jangka 10 hari.
Gambar 2 : Pendekatan klinik pada wanita dengan riwayat I.S.K. berulang
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 13
15. Dengan pengobatan profilaksis, laju infeksi 0,2 kali serangan
pertahun, dan 2,2 kali serangan pertahun pada pengobatan
mandiri. Ongkos perkwartal pengobatan profilaksis dan man-diri
sama, lebih murah daripada pengobatan konvensional
untuk wanita dengan 2 atau lebih infeksi pertahun.
Pengobatan profilaksis sangat berguna untuk wanita
dengan infeksi 3 atau lebih pertahun, dan pengobatan mandiri
untuk wanita dengan infeksi 1–2 pertahun.
Ringkasan
1) Prosentase terbesar pada I.S.K. adalah wanita dengan disuri
akut. Pada umumnya penyebab terbesar dari I.S.K. tersebut
primer oleh Eserikhia Coli dan sekunder oleh Stafilokokus
saprofitikus.
2) I.S.K. tanpa komplikasi atau dengan risiko rendah terhadap
kerusakan ginjal, berarti tidak ditemikan: kelainan struktur
saluran kemih, kelainan neurologis saluran kemih, benda asing
dalam saluran kemih, diabetes melitus.
3) Dari sudut epidemiologis, pengobatan I.S.K. baru diberikan
bila ada piuria.
4) Tujuan pengobatan pada wanita dengan I.S.K. tanpa kom-plikasi
menghilangkan gejala dan mengurangi infeksi kambuh,
sehingga pengobatan pencegahan ditunjukkan hanya pada
serangan yang bergejala.
5) Bakteriuria tanpa gejala tidak perlu diobati. Tetapi pada
kehamilan, wanita dengan infeksi yang sering berulang dan
pria dengan infeksi yang menetap, perlu diobati.
6) Dalam praktek sehari-hari, pengobatan pada wanita dengan
I.S.K. bagian bawah tanpa komplikasi cukup dengan dosis
tunggal. Follow up dengan kultur sesudah 4–7 hari pengobatan.
7) Keuntungan pengobatan dosis tunggal: lebih murah, kepa-tuhan
obat lebih tinggi, lebih menyenangkan, dan efek samping
lebih kecil.
8) Pengobatan dosis tunggal cukup efektif, tetapi kurang
efektif daripada dosis ganda beberapa hari.
9) Kegagalan pengobatan dosis tunggal berarti ada komplikasi
atau I.S.K. bagian atas dengan komplikasi. Di sini barn perlu
pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan urologis.
10)Infeksi berulang pada wanita, 80% oleh serotipe baru dari
Eserikhia Coli atau bakteri usus yang lain dan 20% oleh kuman
seperti semula.
11)Pada wanita dengan infeksi berulang 1–2 kali pertahun,
dianjurkan pengobatan mandiri dosis tunggal.
12)Obat-obatan yang umum dipakai: trimetoprim–sulfa-mctoksasol,
furadantin, urfadin, ampisilin, asam nalidisik.
KEPUSTAKAAN
1. Savard-Denton M, fenton BW, Roller LB dkk. Single dose amoxy-cillin
therapy with follow up urine culture. Am J Med 1982;
73 : 808–813.
2. Bailey RR, Abbott BD. Treatment of urinary tract infection with a single
dose of amoxycillin. Nephron. 1977; 18 : 316–320.
3. Williams JD, Smith EK. Single dose therapy with srteptomycin Ind
sulfametopyrazone for bacteriuria during pregnancy. Brit Med J 1970; 2 :
651–657.
4. Ronald HR, Boutros P, Mourtada H. Bacteriuria localisation and
response to single dose therapy in women. JAMA 1976; 235 : 1854–
1856.
5. Philbrick JT, Bracikowski JP. Single dose antibiotic treatment for
uncomplicated urinary tract infections. Arch, Intern Med. 1985;
145 : 1672–1678.
6. Hooton TM, Running K, Stamm WE. Single-dose theraphy for
cystitis in women. JAMA 1985; 253 : 387–390.
7. Mabeck CE. Treatment of uncomplicated urinary tract infection in
nonpregnant women. Postgrad Med J, 1972; 48 : 69–75.
8. Greenberg RN, Sanders CV, Lewis AC dkk. Single dose cefaclor
therapy of urinary tract infection. Am J Med 1981; 71 : 841–845.
9. Sheehan G, Harding BKM, Ronald AR. Advances in the treatment
of urinary tract infenction. Am J Med 1984; 76 : 141–147.
10. Rubbin RH, Fang RST, Wagner KF dkk. Single dose amoxcycillin
therapy for urinary tract infection : Multicantertrial using anti-body
coated bacteria localization technique. JAMA 1980; 244 :
561–564.
11. Harding BK, Ronald AR. A controlled study of anti microbal
prophylaxis of recurrent urinary infection in women. N Engl J Med
1974; 291 : 597–601.
12. Stamey TA, Condy M, Mihara G. Prophylactic efficacy of nitro-furation
macrocrustals and trimethoprin–sulfamethoxazole in
urinary infection. N Engl J Med 1977; 296 : 780–783.
13. Vosti KL. Recurrent urinary tract infection prevention by pro-phylactic
antibiotics after sexual inter–course. JAMA. 1975; 231 :
934–940.
14. Stamm WE, Mc Kevitt M, Counts GW dkk. Antimicrobial pro-phylaxis
of urinary tract infection cost effective ?. Amm intern
Med. 1981; 94 : 251–255
15. Wong ES, Kevitt MM, Running dkk. Management of tercurrent
urinary tract infentions with patient administered single dose
therapy. Am of hit Med 1985; 102 : 302–307.
16. Counts GW; Stamm WE, Mc Kevitt M dkk. Treatment of cystitis in
women' with a single dose of trimethiprin–sulfamethoxazole. Rev
infect Dis. 1982; 4 : 484–490.
17. Bailey RR. Single dose therapy of urinary tract infection–Sydney,
ADIS health Science Press, 1983.
18. Erickson K, Kjellberg L, Henning C. Single dose antibiotics for
urinary infection. Lancet 1981; 1 : 331.
19. Fang LST, Talkoff RN, Rubin RH. Efficacy of single dose and
conventional amoxycillin therapy in urinary tract infection
localized by the antibody–Coated bacteria technic. N Engl J Med
1978, 298 : 413–416.
20. Kuning CM. Duration of treatment of urinary tract infections the
Am J of Med 1981; 71 : 849–854.
21. Lawrence RM. Current theraphy of urinary tract infections and
pyelonephritis. Seminar in Nephrology : 6:3. 1986, 241–250.
22. Sellon M., Cooke DJ, Gillespie WA dkk. Micrococcal urinary tract
infections in young women. Lancet 1975; 2 : 570:-575.
23. Treatment of urinary tract infections Med. Lett 1981; 23 : 69–70.
24. Soney P, Polk BF. Single dose anti–mikrobial therapy for urinary
tract infections in women Rev infect des. 1982; 4 : 29–34.
Untuk segala surat-surat, pergunakan alamat:
Redaksi Majalah Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105 Jakarta 10002
Cermin 14 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
16. Hipertensis Pada Diabetes Melitus
Dr. Wiguno P, Dr. M.S. Markum, Dr. Roemiati 0, Dr. R.P. Sidabutar
Sub Bagian Gin/al dan Hipertensi Bagian Ilmu Penvakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Ciptomangunkusumo, Jakarta
Diabetes melitus dan hipertensi adalah dua keadaan yang
berhubungan erat dan keduanya merupakan masalah kesehatan
yang perlu mendapatkan penanganan yang seksama. Insidensi
hipertensi pada penderita diabetes melitus lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan penderita tanpa diabetes melitus, dan
pada beberapa penelitian dibuktikan, kenaikan tersebut sesuai
dengan kenaikan umur dan lama diabetes. Diperkirakan 30–
60% penderita diabetes melitus mempunyai hubungan dengan
hipertensi1,2,3.
Hipertensi pada diabetes melitus meningkatkan morbiditas
dan mortalitas, serta berperan dalam mekanisme terjadinya
penyakit jantung koroner, gangguan pembuluh darah perifer,
gangguan pembuluh darah serebral dan terjadinya gagal ginjal.
Kelainan pada mata akibat diabetes melitus yang berupa
retinopati diabetik juga dipengaruhi oleh hipertensi..Oleh
karena itu, hipertensi pada diabetes melitus perlu ditanggulangi
secara seksama. Untuk tujuan ini diperlukan pengetahuan
mengenai patogenesis hipertensi pada diabetes melitus, dan
berbagai obat anti-hipertensi serta pengaruhnya terhadap
diabetes melitus.
PATOGENESIS1,3,4
Hipertensi pada diabetes melitus dapat dilihat dalam
beberapa bentuk, yaitu1:
1. Hipertensi diabetik
2. Hlpertensi sistolik
3. Hipertensi esensial.
Hipertensi diabetik adalah bentuk hipertensi renal yang ter-jadi
pada nefropati diabetik yang sering ditemukan pada
diabetes melitus tipe I. Hipertensi sistolik merupakan akibat
terjadinya aterosklerosis pada diabetes melitus. Sedangkan
hipertensi esensial merupakan bentuk yang paling sering di-jumpai
dan biasanya merupakan komplikasi akhir dari diabetes
melitus.
Laporan final dari "Working Group on Hypertension in
Diabetes", membagi hipertensi pada diabetes melitus dalam
beberapa bentuk, seperti terlihat pada tabel5.
Tabel. Hipertensi pada penderita dengan DM *)
1. Potentially surgical curable
2. Nephropathy clinically absent
Essential hypertension
Isolated Systolic hypertension
3. Nephropathy present
Renal hypertension
4. Neuropathy present
Supine hypertension with orthostatic hypotension
*) dikutip dari 5
Dalam membicarakam patogenesis hipertensi pada diabe-tes
melitus dapat ditinjau dari berbagai segi, misalnya peran
ginjal, sistem pembuluh darah dan jantung, sistem renin-angiotensin-
aldosteron, sistem susunan saraf otonom, dan peran
berbagai hormon.
Kelainan histopatologik pada ginjal akibat hipertensi dapat
mengenai glomerulus, tubulus, interstitium, dan arteriol.
Kelainan patologik yang paling sering dijumpai adalah lesi
nodular yang mengenai mikrovaskular dan lesi glomerular
yang difus. Kelainan ini lebih banyak dijumpai pada diabetes
melitus tipe I dan dikenal dengan lesi Kimmelstiel Wilson.
Keadaan ini dihubungkan dengan terjadinya hialinisasi glo-merulus
yang mengakibatkan penurunan kliren air, peninglcat-an
volume intravaskular, dan hipertensi. Gambaran klinik yang
dijumpai adalah proteinuri, hipertensi, dan gagal ginjal.
Peningkatan tekanan darah yang terjadi sejalan dengan berat-nya
kelainan pada ginjal. Dengan adanya pielonefritis yang
sering dijumpai pada diabetes melitus, akan memperberat
glomerulosklerosis, dan kemungkinan berperan secara ber-
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 15
17. makna pada patogenesis hipertensi.
Terdapat 2 (dua) teori yang dapat menerangkan mekanis-me
terjadinya kelainan mikrovaskular pada glomerulosklerosis
diabetik, yaitu teori genetik dan teori metabolik yang keduanya
saling kontroversial. Teori genetik menyatakan, terjadinya
mikroangiopati disebabkan oleh sifat genetik (genome) dari
vaskular sendiri dan tidak dipengaruhi oleh faktor yang ber-hubungan
dengan defisiensi insulin. Hal ini dibuktikan bahwa
lesi mikrovaskular dijumpai pada beberapa penderita tanpa
kelainan glukosa dan terjadinya lesi awal pada glomerulos-klerosis
diabetik yang berupa penebalan membrana basalis
jarang dijumpai pada awal penyakit. Teori metabolik menyata-kan,
terjadinya mikroangiopati secara langsung oleh karena
kelainan metabolik akibat defisiensi insulin baik secara absolut
maupun relatif. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah
obesitas. Obesitas dijumpai pada 80% penderita diabetes
melitus tipe II dan diduga faktor ini juga mempengaruhi
terjadinya hipertensi pada diabetes melitus3.
Kelainan pada diabetes melitus yang klasik adalah mikro-angiopati
spesifik dan makroangiopati yang tidak spesifik yang
mempunyai andil terhadap terjadinya hipertensi. Pada hiper-tensi
dan diabetes melitus terjadi proliferasi otot polos pem-buluh
darah akibat kerusakan pembuluh oleh kadar hormon dan
lemak dalam sirkulasi yang abnormal, dan atau intervensi trom-bosit
yang menimbulkan hiperagregasi. Keadaan tersebut me-rupakan
latar belakang terjadinya aterosklerosis, dengan akibat
terjadinya hipertensi sistolik pada penderita diabetes melitus.
Hubungan antara hipertensi pada diabetes melitus dengan
sistem renin-angiotensin-aldosteron dilaporkan kontroversial
oleh beberapa peneliti. Pada umumnya menyatakan, pada awal
penyakit aktifitas renin plasma (PRA) masih normal atau
meningkat, sedangkan pada akhir penyakitnya didapatkan
penurunan respon renin terhadap efek stimulasi oleh perubahan
posisi, furosemid, diaksosid dan angiotensin II. Pada umumnya
peninggian tekanan darah tidak diikuti oleh peningkatan renin
dan aldosteron. Keadaan inilah yang dapat menerangkan bahwa
hipertensi maligna jarang diju.mpai pada penderita diabetes
melitus2,3. Adanya kadar katekolamin yang rendah pada
penderita hipertensi dan diabetes melitus kemungkinan
merupakan salah satu yang dapat menerangkan keadaan ini.
Dalam keadaan basal, kadar katekolamin ditemukan
normal pada penderita diabetes melitus. Akan tetapi perang-sangan
dengan perubahan posisi dan aktifitas fisik isometrik
menunjukkan kelainan dalam peningkatan katekolamin.
Katekolamin diketahui mempengaruhi pelepasan renin,
sehingga adanya penurunan kadar katekolamin bertanggung
jawab terhadap penekanan sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Beberapa hormon diduga mempunyai pengaruh terhadap
ter-jadinya hipertensi pada diabetes melitus. Hormon yang di-ketahui
mempunyai peran terhadap mekanisme kontrol tekanan
darah adalah PRA, katekolamin, kortisol dan growth hormone.
EVALUASI KLINIK DAN DIAGNOSTIK5,6
Pada prinsipnya, evaluasi hipertensi pada diabetes tidak
berbeda dengan evaluasi hipertensi pada penderita non-diabetes,
akan tetapi berbagai bentuk hipertensi yang dapat
terjadi pada diabetes perlu diperhatikan. Anamnesis yang teliti
mengenai riwayat hipertensi atau diabetes dalam keluarga,
riwayat penggunaan obat yang dapat meningkatkan tekanan
darah atau gula darah antara lain steroid, pil kontrasepsi,
antiinflamasi nonsteroid atau dekongestan nasal perlu di-tanyakan.
Keluhan yang dapat timbul pada hipertensi atau
diabetes perlu ditanyakan dengan teliti. Riwayat pengobatan
hipertensi dan perkembangan keadaan tekanan darahnya dapat
dipakai untuk menduga kemungkinan hipertensi sekunder.
Walaupun hipertensi sekunder yang potensial dapat
disembuhkan dengan tindakan bedah (potentially sugical
curable) seperti hipertensi renovaskular, hiperaldosteronisme
primer, feokromositoma, biasanya jarang dijumpai, akan tetapi
hal ini perlu dipertimbangkan. Hipertensi golongan ini biasanya
merupakan hipertensi maligna, secara klinis sesuai dengan
hipertensi sekunder, respon pengobatan yang jelek, atau pada
penderita yang semula mudah dikontrol tiba-tiba menjadi sulit
terkontrol. Kebiasaan minum alkohol, makan makanan yang
banyak mengandung garam, faktor psikososial dan lingkungan
yang dapat mempengaruhi tekanan darah perlu diteliti.
Dalam pengukuran tekanan darah harus diperhatikan cara
pengukuran, alat ukur, saat pengukuran dan tempat pengukur-an.
Pemeriksaan pada jantung, mata, ginjal dan susunan saraf
pusat perlu dilakukan untuk menilai keterlibatan organ tersebut
pada hipertensi. Penilaian yang mengarah pada hipertensi
sekunder seperti bruit di abdomen, ginjal polikistik, takikardi
dan keringat tidak boleh dilupakan.
Pemeriksaan darah tepi dan urin lengkap, fungsi ginjal,
kadar gula darah, kalium dalam serum, dan hemoglobin
glikosilated diperlukan untuk menilai keadaan diabetes dan
kemungkinan penyebab hipertensi. Pemeriksaan fraksi lemak
diperlukan untuk menilai faktor risiko kardiovaskular.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan hipertensi pada diabetes selain bertujuan untuk
mengontrol tekanan darah harus juga diperhatikan kontrol ter-hadap
diabetes melitus dan komplikasinya, terutama yang me-nyangkut
ginjal dan kardiovaskular. Secara garis besar penata-laksanaan
hipertensi dapat dibedakan atas penatalaksanaan
non-farmakologik dan penatalaksanaan farmakologik.
Prinsip pengobatan hipertensi masa kini dengan perhatian
terhadap pengaruh pengobatan pada kualitas hidup penderita
harus selalu mendasari sikap kita dalam pemilihan obat.
Pengobatan non-farmakologik2,5,6,7
Pengobatan non-farmakologik dapat diberikan sebagai
terapi tambahan pada pengobatan farmakologik. Pengobatan
non-farmakologik dapat berupa kontrol terhadap berat badan,
membatasi asupan garam, atau asam lemak. Pengobatan ini
biasanya diberikan untuk hipertensi yang ringan. Jenis
pengobatan yang diberikan diupayakan yang tidak mengganggu
gaya hidup dan tanpa efek samping.
Penurunan berat badan sampai dengan batas tertentu
yang diharapkan merupakan indikasi pengobatan, baik pada
hipertensi maupun diabetes melitus. Penurunan berat badan
ini dapat dilakukan dengan pembatasan kalori ataupun olah-raga.
Pada beberapa penelitian, olah-raga terbukti dapat me-nurunkan
tekanan darah melui penurunan tahanan perifer.
Cermin 16 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
18. Di samping itu olah-raga menimbulkan perasaar. santai yang
dapat membantu menurunkan tekanan darah. Kedua bentuk
pengobatan non-farmakologik tersebut sangat sesuai untuk
pada penderita diabetes karena dapat mengontrol gula darah.
Pembatasan asupan garam di samping penurunan berat
badan dapat menurunkan tekanan darah. Akan tetapi perlu
diperhatikan agar pembatasan garam masih telap dapat diterima
oleh penderita. Untuk ini perlu diperhatikan kebiasaan makan
dan jenis makanan yang banyak mengandung garam.
Penambahan kalium, pemanfaatan ion kalsium dan mag-nesium
belum seluruhnya meyakinkan sehingga masih belum
direkomendasi. Pada beberapa penelitian, pemberian diet
rendah lemak jenuh dibuktikan dapat menurunkan tekanan
darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular.
Menghindari rokok, alkohol, hiperlipidemi dan stres yang ber-lebihan
akan menolong menghindarkan diri dari risiko hipertensi.
Pengobatan farmakologik2,4,5,6,8
Apabila dengan pengobatan non-farmakologik belum
menolong, langkah selanjutnya adalah menggunakan obat.
Menjadi masalah kapan pengobatan harus dimulai? Mengingat
adanya pengaruh terhadap kelainan pembuluh darah, hipertensi
pada diabetes harus mulai diberikan pengobatan farmakologik
apabila tekanan darah 140 mmHg sistolik atau lebih, setelah
pengobatan non-farmakologik tidak berhasil. Pertimbangan ini
sesuai dengan penelitian KNOWLER (dikutip dari 4), yang
mendapatkan, tekanan darah 145 mmHg sistolik insidensi
retinopati menjadi dua kalinya. Sedangkan PARVING (dikutip
dari 4) menunjukkan, dengan pengobatan hipertensi secara
agresif ternyata dapat menurunkan 57% albuminuri setelah
pengobatan selama 1 tahun pada penderita muda dengan
diabetes melitus tipe I.
Apabila telah disepakati bahwa hipertensi pada diabetes me-litus
harus diobati, maka masalah kedua adalah obat mana yang
akan digunakan. Pada prinsipnya disetujui bahwa pengobatan hi-pertensi
pada diabetes melitus tidak berbeda dengan peng-obatan
pada hipertensi pada penderita tanpa diabetes melitus.
Yang perlu mendapatkan perhatian ialah bahwa efek samping
obat anti-hipertensi dapat menimbulkan gangguan metabolik
pada diabetes melitus. Oleh karena itu pengobatan harus
diberikan dengan mengingat kepentingan secara individual dan
tingkat kelainan metabolik yang ada.
Golongan diuretik tiasid banyak dipakai pada pengobatan
hipertensi pada diabetes, karena dihubungkan dengan adanya
retensi natrium. Akan tetapi, secara epidemiologik terbukti
dapat meningkatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain.
Pada penggunaan jangka panjang dapat teijadi gangguan
toleransi glukosa, kenaikan kadar lemak darah, hipokalemi dan
gangguan seksual yang pada diabetes melitus kemungkinannya
menjadi meningkat. Pada diabetes melitus tipe II penggunaan
tiasid dapat menurunkan sekresi insulin melalui efek
hipokalemi sehingga akan mengganggu kontrol terhadap
diabetes. Keadaan ini tidak berpengaruh pada diabetes melitus
tipe I karena memang teijadi ketidakefektifan sekresi insulin.
Pada gangguan fungsi ginjal, tiasid menjadi kurang efPktif
aan pada keadaan ini furosemid dapat digunakan. Golongan ini
juga menimbulkan efek samping yang kurang lebih sama
sehingga memerlukan pengawasan yang seksama. Pada peng-gunaan
diuretik golongan spironolakton perlu dipikirkan
kemungkinan terjadi penimbunan kalium yang dapat meng-ganggu
irama jantung. Golongan ini dilaporkan pula dapat
menimbulkan gangguan seksual sehingga penggunaannya
jarang dianjurkan.
Golongan penyekat beta atau betabloker, sering me-ngaburkan
gejala hipoglikemi dan memperlambat penyembuh-annya.
Di samping itu dapat pula mengganggu toleransi glu-kosa
dengan menghambat sekresi insulin. Hal ini lebih banyak
terjadi pada betabloker golongannon-selektif akibat terjadinya
hambatan pada resptor beta-2 yang berperan dalam sekresi
insulin melalui perangsangannya.
Golongan penyekat alfa yang beredar di Indonesia adalah
prasozin. Akibat samping yang sering teijadi pada golongan ini
adalah hipotensi ortostatik. Oleh karena golongan ini tidak
memperberat gangguan metabolisme lemak pada diabetes
melitus dan jarang menimbulkan gangguan seksual, obat
golongan ini dipakai sebagai pengobatan tingkat pertama untuk
hipertensi pada diabetes melitus. Pada penderita dengan
gangguan saraf otonom perlu mendapat perhatian khusus
karena sudah terjadi hipotensi ortostatik.
Golongan penghambat simpatik seperti reserpin, klonidin,
alfametildopa, dan guanitidin sering menimbulkan efek sam-ping
seperti hipotensi ortostatik, dan gangguan seksual.
Gangguan ini akan makin menonjol pada penderita diabetes
melitus yang disertai gangguan saraf otonom.
Golongan vasodilator seperti hidralasin dan minoksidil juga
sering menimbulkan hipotensi ortostatik, walaupun sedikit peng-aruhnya
terhadap toleransi glukosa, elektrolit dan kadar lemak.
Golongan antagonis kalsium dan penghambat ensim
konversi angiotensin dapat dipakai pada hipertensi pada
diabetes melitus. Mengenai pengaruhnya terhadap toleransi
glukosa dan metabolisme insulin masih merupakan kontro-versial.
Sebagian mengatakan, golongan ini tidak mempe-ngaruhi
sekresi insulin dan metabolisme glukosa; sedangkan
yang lain menyatakan, golongan ini mempunyai tendensi
diabetogenik.
Penghematan ensim konversi angiotensin selain
mempunyai efek antihipertensi pada diabetes melitus juga
mengurangi proteinuri dan mempertahankan fungsi ginjal pada
nefropati diabetik. Penggunaan obat golongan ini harus hati-hati
apabila terdapat keadaan hiporenin-hipoaldosteronisme
dan gangguan fungsi ginjal karena efek sampingnya.
Hiperkalemi, gangguan fungsi ginjal dan proteinuri dapat
timbul sehingga perlu pemantauan secara seksama.
Keuntungannya, golongan ini tidak mempengaruhi toleransi
glukosa, kadar lemak dan gangguan seksual. Enalapril
merupakan obat yang baru dari golongan ini dan dinyatakan
lebih jarang menimbulkan efek samping.
Berbagai efek samping obat dan kaitannya dengan ganggu-an
metabolisme glukosa pada diabetes melitus, harus. merupa-kan
bahan pertimbangan dalam pemilihan obat dan harus selalu
dikaitkan pengaruhnya terhadap kualitas hidup penderita.
RINGKASAN
Telah diuraikan patogenesis, evaluasi klinik dan penata-laksanaan
hipertensi pada diabetes melitus. Di pasaran tersedia
banyak sekali obat anti-hipertensi yang telah dibuktikan
efektifitasnya untuk pengobatan hipertensi. Pengobatan
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 17
19. hipertensi pada penderita tanpa diabetes melitus, akan tetapi
tingkat gangguan metaboliknya perlu mendapatkan perhatian.
Beberapa pertimbangan dalam pemilihan jenis obat telah di-uraikan.
Prinsip pengobatan hipertensi masa kini yang tidak hanya
menurunkan tekanan darah saja, akan tetapi harus mem-perhatikan
kualitas hidup penderita harus selalu ,,diingat.
KEPUSTAKAAN
1. Christlieb AR. Diabetes and Hypertensive Vascular Disease :
Mecahanism and Treatment. The Am J of Cardiology 1973; 32 :
592-604.
2. Peiris AN and Gustafson AB. Current Therapeutic Copcepts in
Diabetic Hypertension. Diabetes Care 1986; 9 (4) : 409-13.
3. Yzagoumis M. Aspect of Hypertension, Coexisting Diabetes, Pfizer
International Inc. publication.
4. Hamet P. Metabolic Aspects of Hypertension : Hypertension
Physiopathology and Treatment, 2nd Ed. Jacques Genest, Erich
Koiw, Otto Kuchel (eds), Mc. Graw-hill Book Company, 1977:
413-16.
5. Statement on Hypertension in Diabetes Mellitus, Final Report The
Working Group in Hypertension in Diabetes, Arch Intern Med 1987; 147:
830-42.
6. Sidabutar RP, Wigune P. Hipertensi Esensial dan Penanggulangannya.
Dalam : Hipertensi Pendekatan Praktis dan Penatalaksanaan, Bintari
Rukmono, Elias Sulisto (eds), 1986 : 41-61.
7. Kaplan NM. Non-Drug Treatment of hypertension, Annals of Internal
Medicine 1985; 102 : 359-73.
8. Roesma J, Sidabutar RP. Penanggulangan Hipertensi Pada Diabetes
Melitus dengan Perhatian khusus pada Penghambat Enzim Konverting
Angiotensin, Simposium Nasional Hipertensi, Aspek Khusus dan Gagal
Jantung, 29 Agustus 1987, Jakarta.
Cermin 18 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
20. Hipertensi dengan Kehamilan
Dr. Jose Roesme, Dr. Endang Susalit, Dr. Suhardjono, Dr. Pudji Rahardjo
Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Da/arn
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Ciptomangunkusumo, Jakarta
Berdasarkan pengalaman klinik dalam penanggulangan hi-pertensi
dengan kehamilan di Indonesia dengan penyesuaian
terhadap lingkungan dan fasilitas yang tersedia bagi sebagian
besar dokter di Indonesia, dirasakan perlu adanya suatu upaya
klasifikasi baru mengenai hipertensi dengan kehamilan. Tujuan
klasifikasi baru ini adalah untuk mempermudah diagnostik
dengan memberikan beberapa tolok ukur klinik dan untuk me-nyeragamkan
catatan medik agar dapat membantu epidemio-logi
dan penanggulangan hipertensi dengan kehamilan dimasa
depan.
Dalam Kongres Internasional Society of Hypertension in
Pregnancy' , diusulkan suatu kiasifikasi klinis yang dirasakan
cocok untuk negara kita. Makalah ini berusaha menyebarluas-kan
klasifikasi baru ini untuk mendapatkan umpan balik dari
pembaca.
BEBERAPA TOLOK UKUR KLINIS
Di masa lalu yang segala keadaan yang berhubungan
dengan hipertensi dengan kehamilan digabungkan dalam istilah
toksemia kehamilan dengan trias hipertensi, proteinuria dan
edema. Pada saat ini, istilah toksemia kehamilan tidak dianjur-kan
lagi, demikian juga berpuluh-puluh istilah lain. Yang di-pakai
adalah data klinis yang ditemukan pada satu kali peme-riksaan.
Edema yang penilaiannya sangat subjektif, terutama
dalam derajat dan patologinya tidak lagi dipakai sebagai tolok
ukur. Tolok ukur yang dipergunakan hanya tinggal dua, yaitu
hipertensi dan proteini ria bermakna.
Hipertensi dinyatakan dan apabila tekanan diastolik sama
atau lebih dari 90 mmHg, yang diperiksa dua kali berturutturut
dengan selang waktu 4 jam atau bila tekanan diastolik sama
atau lebih dari 100 mm Hg pada waktu pemeriksaan. Penilaian
tekanan darah dilakukan dalam keadaan berbaring miring,
dalam posisi setengah. duduk (15–30 derajat dari bidang
mendatar). Tekanan diastolik diukur berdasarkan bunyi
Korotkoff 4, yaitu pada saat bunyi terdengar melemah.
Proteinuria bermakna dinyatakan ada bila didapatkan:
a) derajat 2+ pada urin sewaktu dengan memakai cara clean
catch atau urin kateter yang diperiksa dengan metode kertas
reagen (strip) atau metode sulfosalisilat. Pemeriksaan ini harus
dilakukan dua kali dengan selang waktu 4 jam.
b) atau didapatkan jumlah protein sama atau lebih dari 300 mg
pada urin 24 jam yang terkumpul sempurna. Pemeriksaan ini
cukup dilakukan satu kali saja.
Kedua tolok ukur ini dapat diperiksa secara objektif dan pada
umumnya dapat dilakukan di seluruh Indonesia.
BEBERAPA ISTILAH
Istilah hipertensi proteinuria dengan kehamilan dipakai
sebagai istilah umum, yang menggambarkan adanya hipertensi
proteinuria dan adanya kehamilan tanpa menjelaskan hubung-annya.
Istilah hipertensi proteinuria pada kehamilan dipakai -bila
diperkirakan hipertensi dan proteinuria disebabkan oleh he-hamilan
itu sendiri.
Pada umumnya keadaan ini timbul setelah kehamilan ber-langsung
20 minggu atau lebih, waktu persalinan ataupun 2
hari masa nifas.
Istilah hipertensi proteinuria dan kehamilan dipakai bila:
a) Keadaan ini telah diketahui sebelum kehamilan atau
b) Keadaan ini timbul sebelum kehamilan 20 minggu, dan
c) Keadaan ini tetap ada setelah habis masa nifas. Jadi hiper-tensi
/ proteinuria telah ada sebelum hamil dan tetap ada
sesudah nifas.
KLASIFIKASI HIPERTENSI DENGAN KEHAMILAN
1. Hipertensi pada kehamilan.
2. Hipertensi dan kehamilan
3. Hipertensi dengan kehamilan tidak terklasifikasi.
Hipertensi pada kehamilan
Golongan ini dibagi dalam :
a. hipertensi pada kehamilan > 20 minggu / persalinan / 2 hari
masa nifas.
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 19
21. b. Proteinuria pada kehamilan > 20 minggu / persalinan / 2
hari masa nifas.
c. Proteinuria dan hipertensi pada kehamilan > 20 minggu /
persalinan / 2 hari masa nifas = (preeklampsia).
• Hipertensi pada kehamilan adalah :
hipertensi yang timbul pada kehamilan yang hilang/menjadi
normotensif pada masa nifas.
• Proteinuria pada kehamilan bisa disebabkan :
1. orthostatic proteinuria
2. pyuria
3. kehamilan sendiri (preeklampsia)
4. penyakit ginjal baik akut maupun kronik.
Orthostatik proteinuria dan pyuria dapat di diagnosis dengan
mudah, sedangkan proteinuria yang disebabkan kehamilan
sendiri dan proteinuria pada penyakit ginjal baik akut maupun
kronik sering barn bisa diketahui secara pasti pasca persalinan.
Proteinuria ini akan menghilang pada masa nifas.
Proteinuria dan hipertensi pada kehamilan pada umumnya
merupakan pertanda preeklampsia. Kadang-kadang nefritis
akut bisa muncul pertama kali dalam kehamilan dengan gejala
hipertensi danproteinuria,tapi kejadian ini jarang sekali.
Hipertensi dan kehamilan
Keadaan ini meliputi :
a. hipertensi kronik
b. penyakit ginjal kronik
c. hipertensi dengan preeklampsia (superimposed)
• Hipertensi kronik pada umumnya adalah hipertensi essen-sial
yang terdapat bersama dengan kehamilan.
Hipertensi sekunder pun bisa ditemukan sesuai dengan fre-kuensinya
pada masyarakat.
• Penyakit ginjal kronik disamping yang jelas dapat
diketahui, dianggap ada bila ditemukan proteinuria bermakna
sebelum kehamilan 20 minggu.
• Timbulnya proteinuria pada hipertensi kronik selama masa
kehamilan menunjukkan timbulnya preeklampsia, yang disertai
kenaikan jumlah kematian perinatal.
Hipertensi dan/atau proteinuria yang tidak dapat
diklafikasi-kan.
Hal ini terutama terjadi bila hipertensi dan/atau proteinuria
didapatkan pertama kali sesudah kehamilan 20 minggu tanpa
ada didapatkan riwayat kadaan ini sebelumnya. Klasifikasi
diadakan sesudah persalinan. Bila hipertensi dan/atau protei-nuria
menghilang setelah persalinan, keadaan ini termasuk
hipertensi/proteinuria pada kehamilan. Bila hipertensi ini/ atau
proteinuria tetap ada sesudah 2 hari masa nifas, keadaan ini
termasuk hipertensi/proteinuria dan kehamilan.
KEUNTUNGAN KLASIFIKASI BARU
1. Bersifat murni klinis.
2. Klasifikasi didasarkan saat timbulnya kelainan sewaktu
kehamilan, persalinan atau dalam 2 hari masa nifas.
3. Klasifikasi ini membuka kesempatan untuk reklasifikasi
selambat-lambatnya sampai akhir masa nifas.
Klasifikasi ini sangat sederhana praktis dan kami anjurkan
dipakai oleh para ahli sesuai sikon di Indonesia.
Masih banyak kelemahan-kelemahan, yang juga terbukti
dari diskusi-diskusi yang menyertai usulan ini.
Sub bagian Nefrologi Bagian Penyakit Dalam FKUI
sedang berusaha mengklasifikasi penderita-penderitanya dan
mempelajari kelamahan dan keuntungannya usulan barn ini.
KLASIFIKASI BARU DAN PENGOBATAN
Klasifikasi baru lebih bersifat suatu upaya mencapai
kesatuan pendapat dalam mencapai diagnostik dan tidak
mempunyai pengaruh terhadap pengobatan. Pada umumnya
semua pengobatan yang telah dianjurkan untuk hipertensi
dengan kehamilan tetap berlaku3. Malah klasifikasi ini
berusaha membantu upaya pengobatan dengan:
– menyesuaikan tolok ukur hipertensi yaitu tekanan darah
140/90 sesuai dengan tolok ukur WHO yang berlaku umum.
– bila tekanan diastolik sama atau lebih 110 mmHg cukup
satu kali pemeriksaan saja untuk diagnosis hipertensi.
– hipertensi berat didefinisikan sebagai tekanan diastolik
sama atau lebih dari 120 mmHg sekali periksa atau tekanan
diastolik sama atau lebih 110 mmHg diperiksa 2x dengan
selang waktu 4 jam.
– tekanan diastolik dikur pada fase korotkoff 4 (bunyi me-lemah),
kecuali bila hal itu tidak jelas baru dipakai korot-koff
5.
Dengan cara demikian, pengobatan dapat dilakukan segera
tanpa perlu menunggu/mencari tolok ukur yang lain yang di-pakai
oleh klasifikasi terdahulu.
KEPUSTAKAAN.
1. Davey, Mac Gillivray. Hypertensive Disordes of Pregnancy. Clin and exper
Hyper, 1986; BS (1) : 97–133.
2. Jose Roesma, Sidabutar RP, Hipertensi dengan Kehamilan, suatu upaya
klasifikasi baru Naskah lengkap KOPAPDI VII, 24–27 Agustus 1987.
3. Jose Roesma. Pengobatan Hipertensi dengan Kehamilan, MEDIKA 1984.
Cermin 20 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
22. Kelainan -Ginjal Pada Penyakit
Tropik
Dr. E. Susalit, Dr. Jose Roesma, Dr. Pudji Rahardjo dan Dr. R.P. Sidabutar
Subbagian Ginjal–Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi, gigitan ular
dan sengatan serangga bisa mengakibatkan berbagai kelainan
ginjal. Kelainan bisa terjadi di semua bagian ginjal, tergāntung
pada jenis dan berat penyakit dan yang paling sering meng-alami
kelainan adalah glomerulus.
Sindrom klinik yang bisa terjadi adalah sindrom nefritis,
.sindrom nefrotik dan gagal ginjal akut. Sindrom nefritis atau
glomerulonefritis biasanya ringan dan sementara, pada infeksi
akut misalnya malaria, demam tifoid, tetapi glomerulonefritis
bisa persisten dan bahkan menimbulkan sindrom nefrotik pada
infeksi kronik misalnya malaria kwartana dan skistosomiasis.
Gagal ginjal akut dengan kelainan tubulointerstisial yang
umumnya nekrosis tubuler, sering terjadi pada infeksi berat
misalnya oleh malaria falsiparum, leptospirosis atau gigitan
ular.
PATOGENESIS
Terdapat 4 mekanisme yang berperan dalam menimbulkan
kelainan ginjal, yaitu efek migrasi parasit, proses imunologik,
reaksi nonspesifik dan nefrotoksisitas langsung.
Efek migrasi parasit
Kelainan ginjal bisa terjadi selama migrasi parasit. Reaksi
jaringan bisa berupa proliferasi, infiltrasi dan pembentukan
granuloma atau kista. Termasuk dalam mekanisme ini adalah
kelainan ginjal akibat larva migran dan kista hidatid.
Pada filariasis, obstruksi pembuluh limfe saluran kencing
atau ginjal yang mengakibatkan khiluria.
Proses imunologik
Mekanisme ini menyebabkan lesi pada glomerulus. Glome-rulonefritis
proliferatif mesangial sering terjadi pada penyakit
infeksi, di mana terdapat endapan terutama C3 dan IgM di
mesangium. Walaupun sukar, Antigen spesifik dapat diperlihat-kan
di glomerulus. Kadar C3 serum biasanya normal dan ka
dang-kadang menurun. Circulating immune complex dan anti-bodi
bisa didapatkan dalam serum.
Jadi endapan C3 dan imunoglobulin, adanya antigen di
glomerulus, penurunan C3 serum dan adanya antibodi dan
circulating immune complex dalam serum merupakan bukti
peranan mekanisme imunologik.
Reaksi nonspesifik
Gagal ginjal akut karena nekrosis tubuler akut pada infeksi
berat umumnya disebabkan oleh faktor nonspesifik proses
inflamasi. Faktor-faktor ini adalah hipovolemia, hemolisis
intravaskuler, koagulasi intra vaskuler, mioglobinuria, hiper-viskositas
darah, pelepasan katekholamin dan penurunan curah
jantung. Walaupun pada penyakit tertentu hanya salah satu
faktor yang menimbulkan gagal ginjal, tetapi umumnya pada
kebanyakan kasus berbagai faktor nonspesifik di atas ikut
berperan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan penurunan aliran
darah ginjal yang menimbulkan iskemi ginjal yang
mengakibatkan nekrosis tubuler akut dan akhirnya gagal ginjal.
Infeksi berat (sepsis) sering disertai ikterus dan hiperbili-rubinemia
ini bisa lebih memperburuk fungsi ginjal.
Nefrotoksik langsung
Leptospirosis dan gigitan ular Russel's viper merupakan
contoh di mana lesi gagal disebabkan oleh nefrotoksik lang-sung.
Pada percobaan dengan mencit, lepstopira didapatkan di
glomerulus dan interstisium 3 jam dan di tubulus proksimal 9
jam sesudah inokulasi lepstropira. Lesi patologis permulaan
terjadi di glomerulus dan interstitium yang kemudian bisa me-ngenai
tubulus, merupakan akibat langsung karena adanya
leptospira.
Gagal ginjal karena gigitan ular Russel's viper terjadi se-gera
setelah digigit tanpA adanya perubahan tanda vital.
LESI GLOMERULLJS PADA PENYAKIT INFEKSI
Terdapat dua jenis glomerulonefritis pada penyakit
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 21
23. infeksi.
1) Glomerulonefritis ringan.
Glomerulonefritis jenis ini biasanya terjadi setelah infeksi
akut. Biasanya didapatkan proteinuria ringan dengan sedikit
kelainan sedimen urin yang membaik setelah infeksinya diatasi.
Walaupun jarang, bisa dijumpai hematuria makroskopik.
Fungsi ginjal normal dan biasanya tekanan darah normal dan
tanpa edema. Komplemen serum sedikit menurun. Glomeru-lonefritis
yang sementara ini disebabkan oleh semua jenis
infeksi akut seperti infeksi oleh virus, bakteri, riketsia, malaria
falsiparum, leptospirosis, trikhinosis dan salmonelosis.
Pada . pemeriksaan histopatologis didapatkan hipertrofi
mesangial atau proliferasi dengan endapan IgM dan C3 di
daerah mesangial dan sepanjang gelung kapiler. Lesi ini meng-hilang
dalam 4–6 minggu.
2) Glomerulonefritis persisten.
Glomerulonefritis dengan gejala klinik yang lebih jelas,
terjadi pada penyakit infeksi yang perjalanannya kronik misal-nya
pada penyakit lepra, hepatitis virus B dan filariasis. Mani-festasi
klinik berupa proteinuria, sindroma nefritik, sindroma
nefrotik bahkan bisa sampai gagal ginjal. Pengobatan infeksi
dengan antimikroba bisa berhasil mungkin juga tidak dalam
memperbaiki lesi ini. Kortikosteroid memberikan hasil peng-obatan
yang bervariasi.
BERBAGAI PENYAKIT TROPIK YANG MENIMBULKAN
LESI GINJAL
Malaria falsiparum
Malaria falsiparum adalah salah satu penyakit tropik yang
sering dijumpai. Lesi pada ginjal terjadi pada 67% kasus dan
merupakan penyebab penting gagal ginjal akut di daerah tropik.
Manifestasi klinik bisa berupa glomerulonefritis ringan atau
gagal ginjal akut dan kadang-kadang sindroma nefrotik. Pe-meriksaan
histopatologis memperlihatkan hipertrofi mesangial,
proliferasi, endapan C3, IgM, kadang-kadang IgG dan endapan
granuler antigen Plasmodium falsiparum di daerah mesangial
dan sepanjang dinding kapiler. Electron dense deposits terlihat
di daerah subendotel dan paramesangium. Ini menunjukkan
suatu glomerulonefritis imun komplek dengan Plasmodium
falsiparum sebagai antigen.
Gambaran histopatologis gagal ginjal akut berupa nekrosis
tubuler, terutama tubulus konvolutus distal. Nekrosis tubuler
akut di sini disebabkan oleh berbagai faktor aspesifik yang
sudah disebutkan di atas.
Pengobatan malaria falsiparum dengan glomerulonefritis
ringan cukup dengan obat antimalaria. Bila terjadi gagal ginjal
yang memerlukan tindakan dialisis, hemodialisis lebih efektif
daripada dialisis peritoneal, karena dihlysance yang rendah
akibat aliran mikrosirkulasi yang buruk.
Malaria kwartana
Hubungan antara malaria kwartana dan glomerulonefritis
sudah lama diketahui. Kejadian infeksi Plasmodium malariae
dengan sindroma nefrotik pada anak di Afrika cukup tinggi.
Manifestasi klinik bisa berupa glomerulonefritis persisten,
bahkan lebih sering sindroma nefrotik. Gambaran histopatolo-gis
berupa glomerulonefritis proliferatif fokal dan difus. Glo-merulonefritis
membranosa sering pada anak-anak. Kadang-kadang
terlihat sklerosis fokal mesangial. Endapan IgG, IgM,
C3 dan antigen Plasmodium malariae yang granuler t,erlihat se-panjang
dinding kapiler, sedangkan electrone dense deposits
terdapat di membrana basalis atau di daerah subepitelial. Di
daerah subendotelial bisa terlihat basement membrane like
material.
Glomerulonefritis pada malaria kwartana adalah suatu
penyakit imun kompleks yang perjalanannya kronik dan
progresif yang bisa menimbulkan gagal ginjal. Perjalanan
klinik di sini berbeda dari malaria falsiparum, mungkin karena
pada malaria kwartana stimulasi antigen kronik, antibodinya
berafinitas rendah dan perbedaan dalam respon imun.
Pengobatan glomerulonefritis pada malaria kwartana
biasanya mengecewakan. Obat antimalaria, kortikosteroid dan
obat imunosupresif jarang bisa memperbaiki manifestasi klinik
dan prognosis umumnya buruk.
Lepra
Penyakit lepra cukup banyak di daerah tropik. Lesi pada
ginjal lebih sering pada jenis lepromatosa dan dilaporkan ke-jadian
glomerulonefritis pada penderita lepra sekitar 31%.
Manifestasi klinik bisa berupa sindrom nefritik, sindrom
nefrotik atau proteinuria dan hematuria asimtomatik. Circu-lating
Immune complex dan .krioglobulin didapatkan pada
kebanyakan penderita dan komplemen serum rendah. Sindrom
nefrotik 'bisa timbul akibat amiloidosis, juga bisa karena
glomerulonefritis membranosa dan glomerulonefritis proli-feratif
difus. Gagal ginjal kronik akibat amiloidosis merupakan
sebab kematian terbanyak, dan •kejadian amiloidosis sekunder
antara 2,4 – 8,4%.
Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis pro-liferatif
difus dan proliferatif mesangial. Kadang-kadang be-rupa
glomerulonefritis proliferatif fokal, kresentik, sklerosing
dan membranosa. Endapan granuler IgM, IgG, IgA dan C3 ter-lihat
di mesangium dan sepanjang dinding kapiler glomerulus,
sedangkan electror..e dense deposits terlihat di daerah mesang-ial,
subendotelial, intramembranosa dan subepitelial. Hal-hal di
atas menunjukkan suatu glomerulonefritis imun komplek,
walaupun belum dijumpai antigen lepra di glomerulus.
Pengobatan ditujukan pada lepra dan penatalaksaaan
sidrom nefrotik adalah suportif, sedangkan kortikosteroid tidak
efektif.
Hepatitis B
Glomerulonefritis disebabkan Hepatitis B tidak jarang di
daerah tropik. Manifestasi klilik berupa sindrom nefritik,
sindrom nefrotik atau proteinuria asimtomatik. Terdapat
hematuria mikroskopik dan pada 30% kasus kadar C3 turun.
HBsAg terdapat dalam serum dan HBeAg dijumpai pada 2/3
kasus.
Gambaran histopatologis bisa berupa glomerulonefritis
membranosa, proliferatif mesangial, mesangiokapiler, proli-feratif
difus atau glomerulosklerosis fokal. Endapan granuler
IgG, IgM dan C3 terlihat sepanjang dinding kapiler. HBcAg
dan HBsAg bisa ditemukan di dinding kapiler dan mesangium.
Electrone dense deposits terlihat pada membrana basalis glome-rulus
atau di daerah subendotelial, mesangial dan subepitelial:
Hal di atas menunjukkan suatu glomerulonefritis imun kom-plek.
Cermin 22 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
24. Pengobatan kortikosteroid dan obat imunosupresif
memberikan hasil yang bervariasi. Pada sampai 50% kasus bisa
terlihat remisi spontan, yang umumnya terjadi pada 6 bulan
pertama.
Filariasis
Pada filariasis, selain khiluria akibat pbstruksi pembuluh
limfe juga bisa terdapat glomerulonefritis. Telah dilaporkan
baik sindrom nefritik maupun sindrom nefrotik. Penderita
biasanya mempunyai riwayat obstruksi saluran limfe sebelum
timbul proteinuria dan hematuria.
Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis pro-liferatif
mesangial atau membranosa dan didapatkan endapan
C3 dan IgM di glomerulus. Walaupun antigen filaria belum
dapat ditemukan, hal di atas menunjukkan suatu glomerulo-nefritis
imun komplek. Mikrofilaria bisa terdapat dalam
glomerulus dan pada percobaan binatang bisa terlihat amiloi-dosis.
Pada glomerulonefritis pengobatan filariasis menghasilkan
perbaikan klinik, tetapi pada sindrom nefrotik pengobatan
filariasis tidak memperbaiki gejala klinik.
Leptospirosis
Pada leptospirosis lesi pada ginjal terutama kelainan
tubulointerstisial, sedangkan pada glomerulus sering hanya
terjadi lesi ringan.
Manifestasi klinik berupa gagal ginjal akut pada 44–67%
kasus dan glomerulonefritis ringan. Gagal ginjal akut terjadi
pada infeksi berat yang disebabkan oleh iskemi ginjal ākibat
faktor aspesifik yang telah disebutkan di atas.
Gambaran histopatologis berupa lesi glomerulus yang
biasanya ringan seperti pada penyakit infeksi akut lain. Pada
awal penyakit tampak sel polimorfonuklir di glomerulus yang
terjadi untuk sementara. Endapat C3 tampak di daerah mesa-ngial
dan gelung kapiler. Kadang-kadang ada endapan IgM di
daerah mesangial, tapi pada kebanyakan kasus tak terlihat
imunoglobulin. Pada mikroskop elektron hanya tampak fusi
foot processus fokal dan penebalan mebrana basalis lokal. Pada
kasus gagal ginjal akut terlihat nekrosis tubulus baik proksimal
maupun distal dan di interstisium didapatkan infiltrasi sel
mononuklir dan edema.
Pengobatan lesi ginjal terutama ditujukan kepada peng-obatan
leptospira. Bila terjadi gagal ginjal, pada dasarnya tak
berbeda dengan pengelolaan gagal ginjal akut pada umumnya.
Skistosomiasis
Lesi glomerulus telah dilaporkan pada skistosomiasis yang
disebabkan oleh S. mansoni dan japonicum. Manifestasi klinik
berupa glomerulonefritis persisten, bahkan yang sering adalah
sindrom nefrotik yang perlahan-lahan dan progresif menjadi
gagal ginjal kronik. Dalam perjalanan penyakitnya yang kronik
bisa terjadi amiloidosis. Hidronefrosis bisa terjadi akibat
obstruksi ureter oleh granuloma pada infeksi S. hematobium.
Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis mem-branoproliferatif
difus. Juga telah dilaporkan bisa berupa
glomerulonefritis membranosa, glomerulosklerosis fokal, glo-rnerulonefritis
proliferatif difus dan glomerulonefritis pro-liferatif
ekstrakapiler. Endapan IgG, IgM, IgE, IgA, C3 dan
antigen skistosoma terlihat di daerah mesangial dan sepanjang
gelung kapiler. Electrone dense deposits terlihat di daerah
mesangial dan mebrana basalis. Hal di atas sesuai dengan
glomerulonefritis imun komplek.
Pengobatan glomerulonefritis dengan obat antiskistosoma
saja atau dengan kortikosteroid dan obat imunosupresif, mem-berikan
hasil yang mengecewakan. Hidronefrosis pada infeksi
S. hematobium bisa membaik dengan obat antiskistosoma.
Tripanosomiasis
Infeksi disebabkan oleh protozoa genus Tripanosoma.
Manifestasi klinik bisa berupa glomerulonefritis atau gagal
ginjal akut. Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis
proliferatif dan terdapat endapan granuler IgG, IgM, C3 dan
antigen tripanosoma di glomerulus yang menunjukkan suatu
endapan imun komplek.
Degenerasi tubulus pada gagal ginjal akut disebabkan oleh
iskemi ginjal akibat faktor aspesifik pada penyakit infeksi.
Leismaniasis
Lesi ginjal jarang terjadi pada leismaniasis viseral yang
disebabkan oleh L. donovani. Manifestasi klinik berupa glo-merulonefritis
ringan dan pada kasus kronik bisa timbul aini-loidosis.
Gambaran histopatologis berupa hipertrofi mesangial de-ngan
endapan IgA, IgG, IgM, C3 dan fibrinogen di daerah me-sangial
dan sepanjang gelung kapiler. Electrone dense deposits
terdapat di daerah mesangial, subendotelial dan intra membran.
Toksoplasmosis
Lesi glomerulus bisa terlihat pada infeksi T. gondii. Mani-festasi
klinik berupa glomerulonefritis ringan dan kadang-kadang
sindrom nefrotik.
Didapatkan hiperseluler sel endotel dan mesangial dengan
infriltrasi sel polimorfonuklir. Endapan granuler IgG; IgA, C3,
fibrin dan antigen toksoplasma didapatkan di daerah mesangial
dan sepanjang dinding kapiler.
Trikinosis
Manifestasi klinik berupa glomerulonefritis ringan. Di-dapatkan
glomerulonefritis proliferatif mesangial dengan
endapanIgA, IgG, IgM dan C3 di daerah mesangial dan se-panjang
gelung kapiler. Ini menunjukkan suatu glomerulo-nefritis
imun komplek.
Penyakit hidatid
Penyakit ini disebabkan oleh larva Ekhinokokus. Kista
yang terbentuk bisa terjadi di ginjal pada 2,5% kasus. Kista
yang perlahan-lahan membesar menimbulkan gejala karena
penekanan terhadap jaringan di sekitarnya. Kadang-kadang
bisa timbul hipertensi maligna. Kista yang pecah bisa me-nimbulkan
syok anafilaktik. Keluhan yang biasanya ada adalah
hematuri dan nyeri pinggang.
Pengobatan pada kista yang besar dengan operasi.
Larva migran viseral
Penyakit ini disebabkan oleh T. canis dan T. cati. Gra-
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 23
25. nuloma yang terbentuk, walaupun jarang bisa terjadi di ginjal.
Gigitan ular
Manifestasi klinik akibat toksin gigitan ular bisa berupa
sindrom nefritik dan kadang-kadang gagal ginjal. Pada ke-banyakan
kasus, lesi glomerulus ringan berupa proliferasi atau
hipertrofi mesangial dengan endapan C3 dan IgM. Electron
dense deposits terlihat di daerah mesangial dan suBendotelial.
Kadang-kadang bisa juga terjadi glomerulonefritis berat yang
pada gambaran histopatologis terlihat sebagai glomerulonefritis
proliferatif difus.
Gagal ginjal akut bisa terjadi pada gigitan ular dan pada
pemeriksaan histopatologis didapatkan nekrosis tubulus akut
dan nekrosis kortek. Lesi pada ginjal ini disebabkan oleh efek
nefrotoksik langsung toksin gigitan ular.
Sengatan serangga
Sindrom nefrotik akibat sengatan lebah telah lama di-ketahui.
Gambaran histopatologis bisa berupa lesi minimal,
glomerulonefritis proliferatif mesangial, glomerulonefritis
membranosa dan glomerulosklerosis. Endapan C3, 1gM dan
IgG bisa terlihat, tapi belum ada yang melaporkan antigen
racun lebah di glomerulus.
Mekanisme yang pasti terjadinya glomerulonefritis pada
sengatan serangga masih dalam penyelidikan.
KEPUSTAKAAN
1. Boonpucknavig V et al. Renal disease in acute Plasmodium falciparum
infection in man, Kidney Int. 1979;16: 44.
2. Chugh KS et al. Pathogenesis of renal lesions in snakes bites, pada
Proceedings of the Second Asian-Pacific Congress of Nephrology,
Melbourne, 1983, hal. 183.
3. Hendrickse RG et al. Quartan malarial nephrotic syndrome in children,
Kidney Int. 1979; 16 : 64.
4. Houba V. Immunologic aspects of renal lesions associated with malaria,
Kidney Int. 1979; 16 : 3.
5. Sitprija V. Mechanisms of renal involvement in tropical diseases, pada
Proceedings of the Third Colloquium in Nephrology, Tokyo, 1979 hal.
104.
6. Sitprija V et al. Tropical diseases and glomerulonephritis, pada Proceeding
of the Third Asian-Pasific Congress of Nephrology, Singapore, 1986, hal.
262.