SlideShare a Scribd company logo
1 of 61
Download to read offline
No. 47, 1987 
International Standard Serial Number: 0125 – 913X 
Diterbitkan oleh: 
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma 
Daftar Isi : 
2. Editorial 
Artikel: 
3. Diit Protein dan Ginjal 
7. Nefropati Imunoglobulin A 
11. Pengobatan Dosis Tunggal Pada Infeksi Saluran Kemih 
15. Hipertensi Pada Diabetes Melitus 
19. Hipertensi dengan Kehamilan 
21. Kelainan Ginjal Pada Penyakit Tropik 
25. Masalah Penggunaan Diuretika 
28. Pemeliharaan Pendengaran di Industri 
32. EMIT: Salah Satu Cara Penetapan Obat Dalam Serum Untuk 
Pemantauan Kadar Terapi 
36. Penderita Penyakit Jantung Psikosomatik di Rumah Sakit 
Dr. Pirngadi Medan 
39. Sklerema Neonatorum 
42. Terapi Artritis dengan Yetrium – 90 
44. Pengobatan Epilepsia dengan Karbamazepin 
48. Imunisasi Campak dan Beberapa Permasalahannya 
53. Cairan Hemodialisis 
55. Hukum & Etika: Tepatkah Tindakan Saudara ? 
57. Humor Ilmu Kedokteran 
59. Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran 
60. Abstrak-abstrak 
Karya Sriwidodo 
Alamat redaksi: 
Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN 
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp.4892808 
Penanggung jawab/Pimpinan umum: 
Dr. Oen L.H. 
Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani, 
Dr. Budi Riyanto W. 
Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bam-bang 
Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR. 
Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs. 
Victor Siringoringo. 
Redaksi Kehormatan: Prof. DR. Kusumanto 
Setyonegoro, Dr. R.P. Sidabutar, Prof. DR. 
B.Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo, 
Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I. 
Sadrach. 
No. Ijin : 151/SK/Dit Jen PPG/STT/1976, 
tgl.3 Juli 1976. 
Pencetak : PT. Temprint. 
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandang-an/ 
pendapat masing-masing penulis dan tidak 
selalu merupakan pandangan atau kebijakan 
instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis
Penyakit ginjal dan saluran kencing memang belum mencapai sepuluh penyebab utama morbi-ditas 
dan mortalitas di Indonesia, akan tetapi kelompok penyakit ini makin lama makin terdapat 
di banyak jenis pelayanan kesehatan, dari yang primer sampai ke yang tertier. Di negara yang 
lebih dahulu berkembang dari negara kita, dilihat kenyataan bahwa pola penyakit sering cepat 
berubah, sejalan dengan perubahan kondisi sosio-ekonomi-budaya. Dikemudian hari, diduga di 
Indonesia penyakit gin/al dan saluran kencing serta hipertensi akan meningkat dalam jumlah 
dan kepentingan. 
Pada edisi. Cermin Dunia Kedokteran kali ini, Redaksi memberi kesempatan pada Sub-bagian 
Gin/al dan Hipertensi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas 
Indonesia mengisi dengan judul pilihan. Dokter Suhardjono dan kawan-kawan menulis tentang 
pandangan baru tentang pentingnya diet pada Gagal Ginjal, bukan sa/a untuk sedapat mungkin 
memelihara homoeostasis, tetapi juga untuk memperlambat laju gaged ginjal ke arah terminal. 
Nefropati IgA merupakan suatu kelompok nefropati yang baru dikenal dan belum banyak 
menarik perhatian di Indonesia. Dirasakan perlunya pengetahuan dokter di semua tingkat pe-layanan 
kesehatan tentang kelompok penyakit ini, karena pengetahuan yang dini akan me-ngurangi 
pemeriksaan dan pengobatan yang tak perlu sehingga menghindarkan pemborosan 
dan mempercepat pencegahan progessi bila memungkinkan. Nefropati IgA ini dibahas dokter 
Markum dan kawan-kawan dengan cara yang memungkinkan pembaca mengenalinya dalam 
waktu pendek. Dua topik penanggulangan dengan obat yang sangat lazim dilakukan, yaitu 
dengan obat antimikroba dosis tunggal dan diuretik, dibahas oleh dokter Roemiati Oesman dan 
dokter Parlindungan Siregar beserta kawan-kawan. Pengetahuan tentang hipertensi dewasa ini 
sudah mulai. merata dan meningkat di kalangan dokter-dokter di Indonesia dan sudah waktunya 
pula kita diperlengkapi dengan pengenalan kelompok khusus penderita hipertensi. Hipertensi 
pada wanita hamil dibahas oleh dokter Jose Roesma dan kawan-kawan. Seperti nyata dari 
tulisan tersebut, ia mempunyai profil patofisiologi yang berbeda dari kelompok umum dan harus 
ditanggulangi dengan cara tersendiri pula. Hipertensi pada diabetes melitus memegang 
peranan penting, karena berperan sebagai penyebab laju perjalanan penyakit ke arah gaga/ 
ginjal terminal. Profil patofisiologi dan penanganan yang khusus dituliskan oleh dokter Wiguno. 
Di Indonesia, penyakit tropik dan infeksi seperti kita ketahui memegang peran yang terpenting, 
tetapi tidak sering kita perhatikan bahwa penyakit tropik dapat menyebabkan nefropati. Dokter 
Endang Susalit dan kawan-kawan menuliskan dalam garis besar tentang nefropati Penyakit 
tropik ini. 
Topik pilihan kami, belum tentu menjadi topik pilihan pembaca, karena itu umpan balik 
tentang topik dan isi topik sangat kami harapkan. 
Terimakasih 
R.P. Sidabutar 
Cermin 2 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
Artikel 
Diit Protein dan Ginjal 
Dr. Suhardjono, Dr. Pudji Rahardjo, Dr. Roemiati Oesman, Dr. M.S. Markum 
Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam 
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta 
PENDAHULUAN 
Belum lama berselang ini, diit restriksi protein (RDP) pada 
insufisiensi gijal/gangguan fungsi ginjal (GFG) menjadi topik 
yang banyak menarik minat dan perhatian para penyelidik di 
bidang nefrologi. DRP ternyata dapat memperlambat kemun-duran 
fungsi ginjal pada penderita-penderita yang sudah meng-alami 
gangguan fungsi ginjal. Hal ini sangat berarti, oleh 
karena dapat memperlambat penderita masuk ke dalam tahap 
gagal ginjal terminal (GGT), di mana penderita harus 
mengalami dialisis kronik atau transplantasi ginjal untuk 
mempertahankan hidupnya. 
Selain itu, diit restriksi protein sudah lebih dari 100 tahun 
dianjurkan untuk mengurangi keluhan-keluhan uremia. Tetapi 
hal ini kurang populer, sulit dijalankan karena pilihan makanan 
pada DRP yang mengandung protein nilai biologik tinggi amat 
terbatas (monoton) dan tidak enak, memerlukan motivasi dan 
usaha yang besar. Saat ini hal-hal seperti itu dapat diatasi 
dengan adanya sediaan asam amino esensial (AAE) atau 
analognya, sehingga diit restriksi protein bisa dijalankan 
dengan baik. 
Diit rendah protein ini sebelumnya hanyalah salah satu 
usaha dari banyak cara untuk memperlambat perburukan 
seperti yang dapat dilihat pada tabel 11. Kesemua usaha ini 
disebut sebagai penanganan secara konservatif gagal ginjal. 
Secara lebih terperinci, masalah terapi konservatif gagal ginjal 
kronik dapat dilihat di buku Gagal ginjal kronik, diagnosis dan 
penanggulangannya2. 
Walaupun pada saat ini bidang dialisis dan transplantasi 
sebagai terapi pengganti gagal ginjal sudah sangat maju, tetap 
saja tidak dapat memenuhi banyaknya penderita yang me-merlukan 
tindakan tersebut. Hal ini antara lain disebabkan 
keterbatasan biaya dan fasilitas, yang bahkan terjadi juga di 
negara maju. Oleh karena itu, tindakan pencegahan GGT 
menempati posisi yang amat penting. 
Makalah yang singkat ini akan membicarakan DRP pada 
gangguan fungsi ginjal (insufisiensi ginjal, gagal ginjal kronik) 
khususnya pada fase preterminal, terutama mengenai peng-aruhnya 
terhadap progresivitas kemunduran fungsi ginjal, 
mekanisme, dan aplikasinya. 
Tabel 1. Prinsip-prinsip pengelolaan gagal ginjal kronik 
1. Pastikan berat dan etiologi gagal ginjal kronik. 
2. Pengobatan konservatif bila etiologi diketahui dan kliren krea-tinin 
> 5 ml/menit. 
a. Rencanakan diit dan jumlah cairan 
b. Atasi; 
Hipertensi, 
anemia, 
gangguan elektrolit, 
osteodistrofi, 
bakteriuria, 
hiperurikemi berat 
keluhan gastrointestinal, 
kelainan neuromuskuler, 
pruritus. 
c. Hindari: 
obat-obatan nefrotoksik, 
kontras radiologi apabila tak begitu perlu, 
tindakan instrumen/invasif, 
kehamilan dengan resiko tinggi, 
zat toksik. 
3. Refer ke pusat Nefrologi jika etiologi tak jelas, khususnya pada 
keadaan penurunan fungsi ginjal yang cepat, progresif atau 
TKK < 5 ml/menit. 
Dikutip dari (1). TKK = Tes kliren kreatinin. 
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI 
PROGRESIVITAS KEMUNDURAN FUNGSI GINJAL3,4,5 
Kehilangan sebagian fungsi ginjal 
Pada tingkat gagal ginjal tertentu, kemunduran fungsi 
ginjal akan berjalan secara cepat. Hal ini tetap akan terjadi 
walaupun penyakit atau keadaan yang menyebabkan kerusak- 
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 3
an ginjal tersebut bervariasi, tergantung antara lain oleh pe-nyakit 
dasarnya. Pada penderita yang mempunyai kadar krea-tinin 
5 mg%, Ahlmen mendapatkan angka rata-rata (median) 
terjadinya gagal ginjal terminal pada nefropati diabetes melitus 
dalam waktu 6 bulan, glomerulonefritis 10 bulan, dan 14 bulan 
pada pielonefritis nonobstruktif. 
Baik pada manusia ataupun pada binatangpercobaan telah 
dapat dibuktikan bahwa pada ginjal yang tersisa setelah nefrek-tomi, 
terjadi perubahan-perubahan fungsional dan struktural. 
Perubahan ini terjadi dalam rangka mengambil alih fungsi gin-jal 
yang hilang oleh karena nefrektomi. Proses ini disebut juga 
sebagai usaha kompensasi (compensatory) atau penyesuaian. 
Perubahari morfologi yang sering terjadi adalah sklerosis pada 
glomeruli dan didapatkannya proteinuria. Semakin banyak 
kehilangan jaringan ginjal, semakin cepat pula proses ke tahap 
terminal. 
Dari beberapa penyelidikan didapatkan, perubahan struktur 
glomerulus yang terjadi setelah nefrektomi adalah disebabkan 
meningkatnya secara terus-menerus tekanan dan aliran darah ka-piler 
glomerulus sebagai usaha kompensasi. Dari penyelidikan 
pungsi mikro ginjal pada keadaan ini, dilatasi arteriol ginjallah 
yang menyebabkan peningkatan aliran darah ke glomerulus. 
Pengaruh diit pada ginjal 
Sejak lama sudah diketahui bahwa protein dapat mem-pengaruhi 
fungsi ginjal. Anjing yang diganti makanannya dari 
karbohidrat menjadi daging menunjukkan peningkatan aliran 
darah ginjal dan laju filtrasi glomeruler (LFG) sampai 100%. 
Demikian juga pada tikus yang diberi diit tinggi protein 35%, 
dibandingkan dengan yang diberi hanya 6%, didapatkan LFG 
yang 70% lebih tinggi. Addis, yang pertama kali mengajurkan 
dill rendah protein, menganggap bahwa mengekskresi urea 
memerukan kerja dari ginjal, sehingga pada gagal ginjal beban 
kerja ini perlu dikurangi. Pada manusia, yang mendapat nutrisi 
parenteral, selama pemberian asam amino (sama dengan 150 g 
protein) menunjukkan peningkatan LFG 50% lebih tinggi 
dibanding pada saat tidak diberi. Dari berbagai percobaan 
didapat kesan, penyebab peningkatan perfusi dan filtrasi 
glomeruler ini agaknya oleh karena kerja horman tertentu atau 
media lainnya yang diinduksi oleh makanan mengandung 
tinggi protein. 
Binatang percobaan yang diberi makan ad libitum terus 
menerus, (protein tinggi) pada sebagian besar akan terjadi 
proteinuri dan sklerosis glomeruler. Kejadian ini dapat dihindari 
dengan pemberian makanan yang selang sehari atau dengan 
jumlah yang lebih sedikit sampai 1/2 – 2/3 nya. Bukti-bukti ini 
menunjukkan adanya kemungkinan bahwa peningkatan 
tekanan dan aliran intra ginjal oleh karena diit tinggi protein 
berkaitan erat dengan terjadinya sklerosis glomeruler. 
Walaupun sklerosis glomerulus terjadi pada orang normal 
dengan meningkatnya usia (10 – 30% dari total glomerulus 
menjadi sklerosis pada usia 40 – 80 tahun), tetapi hal ini tidak 
membahayakan karena fungsi ginjal masih mencukupi. Lain 
halnya apabila pasien yang sudah kehilangan sebagian fungsi 
girtjal dibebani lagi dengan makan ad libitum (protein tinggi), 
maka pada keadaan ini proses sklerosisnya akan lebih cepat 
terjadi. 
Gambar 1. Skema hipotesis hubungan perubahan kompensasi hedo-dinamik 
glomerulus pada glomerulus yang utuh dengan 
perubahan patologik. Modifikasi dari Hostetter, (4) dan 
Harrisdkk(9). 
Selain itu masih ada pula faktor-faktor lain yang masih ada 
hubungannya dengan diit, yang berperan dalam kemunduran 
fungsi ginjal. 
1) Fosfor. Selain dengan mengurangi absorpsi fosfor, dengan 
restriksi protein, asupan fosfor juga akan menurun. Diit rendah 
fosfor memperlambat proses perburukan ginjal dengan jalan: 
a. mengurangi pengendapan garam kalsiumfosfat di ginjal. 
b. mengurangi efek kompensasi hemodinamik glomerulus. 
c. menghambat respon inflamasi. 
2) Lipid, mempunyai pengaruh terhadap perjalanan penyakit 
ginjal pada beberapa model/percobaan penyakit ginjal. Bebe-rapa 
fraksi lemak, terutama LDL, dapat menyebabkan ke-rusakan 
lebih besar pada struktur mesangial dan glomerular 
basement membrane. 
Apabila peningkatan tekanan dan aliran darah glomerular 
amat penting dalam proses kemunduran fungsi ginjal pada 
insufisiensi/gagal ginjal, usaha-usaha penurunan tekanan darah 
glomerular akan dapat memperlambat proses kemunduran ini. 
Diit rendah protein tampaknya merupakan salah satu usaha 
yang telah terbnkti. 
DIIT RESTRIKSI PROTEIN 
Konsep dasar diit rendah protein adalah memberikan protein 
dalam jumlah terbatas bersama dengan jumlah energi yang 
cukup. 
Dalam DRP ini ada beberapa hal yang perlu mendapat per-hatian: 
1) Protein yang diberikan tidak boleh terlalu kurang atau terlalu 
tinggi. 
Hal ini dapat dinilai antara lain dengan pengukuran asupan 
nitrogen. Pada pasien yang stabil keadaannya, terdapat korelasi 
antara rasio ureum/kreatinin serum dengan asupan nitrogen. 
Walaupun cara ini cukup akurat dan mudah, ada beberapa 
Cermin 4 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
keadaan yang membuat kesalahan perhitungan, yaitu antara 
lain pada keadaan katabolik, diuresis kurang dari 1500 ml 
(produksi ureum meninggi). 
2) Harus diperhatikan kecukupan kalori, zat-zat nutrisi lainnya 
agar tidak mengganggu metabolisme, aktivitas atau per-tumbuhan. 
Penurunan berat badan, atau bahkan malnutrisi yang dapat 
terjadi karena diit ini harus dicegah. Sering diperlukan pe-nambahan 
vitamin. 
3) Diit harus dapat diterima atau disesuaikan dengan selera 
penderita. 
Banyaknya protein yang diberikan6-7. 
1) Pada umumnya protein diberikan sebesar 0,55 – 0,60 
gram/kg/hari, yang mengandung protein nilai biologik tinggi 
minimal 0,35 g/kg. Dengan protein sebanyak ini, keseimbangan 
nitrogen menjadi netral atau positif, diit dapat diterima 
penderita, dan makanan cukup bervariasi. 
Semakin rendah LFG atau TKK, (LFG kurang dari 15 - 25 
ml/men.), hasil atau sisa metabolisme yang potensial toksik 
akan lebih menumpuk, sehingga pemberian protein harus lebih 
rendah lagi, yaitu 0,4 gram/kg. Atau pada tahap ini diperlukan 
suplementasi asam amino esensial/analognya. 
2) Saat ini sudah banyak dipakai asam amino semi sintetik 
atau asam keto untuk meningkatkan efisiensi penggunaan 
nitrogen. Pada tabel 2 dapat dilihat komposisi salah satu pre-parat 
asam amino esensial yang ada. 
Tabel 2. Kandungan asam amino semi sintetik.* 
Isi gram/10 tablet 
L– Histidine 
L– Isoleucine 
L– Leucine 
L– Lysine acetat as lysine 
L– Methioninc 
L– Phenylalanine 
L– Tryptophan 
L– Valine 
0,55 
0,70 
1,10 
0,80 
1,10 
0,50 
0,25 
0,80 
Total 
Total nitrogen 
5,80 
0,87 
*Aminers. (Dari 8) 
Apabila diberikan suplementasi asam amino esensiil 
(AAE) atau analognya asam keto, protein makanan cukup 
diberikan 0,28 g/kg/hari atau antara 16 - 20 g protein/hari, 
ditambah 10 - 20 gram AAE (20 lebih tablet aminess). Pada diit 
ini jenis protein yang dipilih dapat leluasa sehingga pilihan 
makanan menjadi lebih banyak, walaupun jumlah yang 
dimakan tetap sedikit. Hambatannya adalah harga AAE/asam 
keto yang cukup mahal. 
Diit suplementasi/kombinasi ini mempunyai beberapa 
keuntungan yaitu antara lain: a) Asam keto tidak mengandung 
grup alfa amino (Nitrogen) sehingga pembentukan sisa meta-bolisme 
Nitrogen yang berbahaya berkurang, b) tidak banyak 
mengandung fosfor atau kalium, c) dapat menormalkan asam 
amino dalam sirkulasi atau dalam otot dan kelebihan nitrogen 
dalam badan dapat terpakai. 
Apabila terdapat proteinuria, maka setiap kehilangan 
protein diganti dengan protein nilai biologik tinggi sejumlah 
yang sama. Pada LFG/TKK kurang dari 5 ml/menit DRP sulit 
dilaksanakan dan umumnya sudah terjadi banyak perubahan 
biokimiawi dalam tubuh, sehingga diperlukan dialisis (hemo/ 
peritoneal) atau transplantasi ginjal. Juga tindakan ini diperlu-kan 
apabila terdapat oliguria (urin < 400 ml/24 jam) yang tidak 
respon terhadap pengobatan konservatif. 
Dari suatu studi prospektif dengan diit seperti di atas, pe-nurunan 
fungsi ginjal dapat diperlambat 3 - 5 kali lebih lama 
dari kontrol. 
Kalori atau energi 
Untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen, faktor 
yang penting adalah energi/jumlah kalori dan banyaknya 
karbohidrat dalam diit. 
Dari berbagai penyelidikan kalori sebesar 35 Kkal. per 
hari, sudah cukup memenuhi. Penambahan kalori/energi yang 
berlebihan yang dimaksudkan untuk menambah pemakaian 
nitrogen, tak berarti banyak. 
KESIMPULAN 
Pada gangguan fungsi ginjal terjadi usaha-usaha untuk 
mengkompensasi kekurangan ini, yang ditandai dengan hiper-filtrasi, 
hipertensi, hiperperfusi, yang kemudian dapat menye-babkan 
kerusakan pada glomerulus, dan pada akhirnya terjadi 
gagal ginjal terminal. Makanan (protein) juga dapat menimbul- 
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 5
kan keadaan hiperfiltrasi. Diit restriksi protein pada penderitā 
yang mempunyai gangguan fungsi ginjal terbukti dapat mem-perlambat 
kemunduran fungsi lebih lanjut. Protein yang diberi-kan 
adalah 0,55 – 0,60 gram/kg dengan protein nilai biologik 
tinggi, atau 0,4 g/kg pada gangguan ginjal yang lebih berat, 
dengan kalori 35 Kkal/kg, dan penambahan vitamin. Meskipun 
saat ini masih sangat mahal asam amino esensialsemisintetik 
atau analognya asam keto, amat bermanfaat pada pelaksanaan 
DRP. 
KEPUSTAKAAN 
1. Sidabutar RP. Management of chronic renal failure. Medical Progress 
1983, Sept. 1–5. 
2. Markum MS, Wiguno, Endang Susalit, Roemiati. Penatalaksanaan 
konservatif gagal ginjal kronik. Dalam; Gagal ginjal kronik. Diagno-sis 
dan penatalaksanaannya. Bagian Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 
1987. 
3. Brenner BM, Meyer TW, Hostetter TH. Dietary protein intake and 
progressive nature of kidney disease. N Engl J Med 1982; 307 : 
654 – 659. 
4. Hostetter TH. Dietary prrotein and progressive renal disease. The 
nature of chronic human renal disease. Dalam Woo KT, WU AYT, 
Lim CH (eds). Priceesing if the 3rd Asian - Pacific Congress of 
Nephrology, Singapore, 1986. 
5. Alfrey AC, Tomford RC. The case for tubulontersititial factors 
in the progression of 'lanai disease. Dalam Narins (ed) Controver-sies 
in nephrology and hypertension. New York; Churchil Livingston 
1984. 
6. Kopple JD. Chronic Renal Failure: Nutritional and non dialytic 
management. Dalam Bayless TM, Brain C, Cherniac RM. Current Therapy 
in Internal Medicine, Toronto; B.C. Drecker Inc. 1987. 
7. Mitch WE, Walser M. Nutritional therapy of the uremic patient. Dalam 
Brenner BM, Rector FC. The kidney, 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders 
Company, 1986. 
8. Furst P, Ahlberg M, Alverstand A, Bergstrom. Principles of essential 
amino acid therapy in ureimia. Am J Clin Nutr 1987; 31 : 1744 - 
1755. 
9. Harris RC, Meyer TW, Brener BM, Nephron adaptation to renal injury. 
Dalam Brenner BM, Rector FC. The Kidney, 3rd ed, Philadelphia : WB 
Saunders Co. 1986. 
Cermin 6 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
Nefropati Imunoglobulin A 
Dr. M.S. Markum, Dr. Suhardjono, Dr. Endang Susalit, Dr. Jose Roesma 
Subbagian Ginjal-Hipertensi, Raglan Ilmu Penyakit Dalam 
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Ciptomangunkusumo, Jakarta 
PENDAHULUAN 
Di kawasan ASEAN, Singapura-lah yang pertama-tama 
melakukan penelitian yang meluas terhadap nefropati IgA, 
yaitu sejak ditemukannya kasus pertama pada tahun 1973. Pada 
tahun 1974, yaitu pada First Colloquim in Nephrology, Sinniah 
et al. mempresentasikan hal ini dengan lebih lengkap.l 
Perhatian terhadap nefropati IgA dicetuskan oleh Berger 
dan Hinglais pada tahun 1968. Mula-mula para peneliti kurang 
menaruh minat terhadap publikasi ini, tetapi kemudian makalah 
mengenai nefropati ini meningkat sekali jumlahnya. Misalnya 
pada seminar mengenai glomerulonefritis di Australia pada 
tahun 1972, telah diberikan perhatian khusus untuk nefropati 
IgA, tetapi masih bersifat inventarisasi masalah; belum nyata 
ke mana arah penelitian lebih lanjut harus di lakukan.2 Dalam 
Kongres Nefrologi Asia-Pasifik di Tokyo pada tahun 1979, 
pembahasan tentang penyakit ini sudah lebih mendalam. 
Peranan IgA polimer, peranan antigen, peranan OKT4 dan 
OKT8 dalam patogenesis nefropati IgA mulai diteliti3. 
Selanjutnya akhir-akhir ini pembahasan tentang nefropati IgA 
hampir selalu muncul pada tiap majalah nefrologi. 
Terdapat distibusi yang tidak merata dari nefropati IgA, 
misalnya di Eropa lebih banyak dari pada di Amerika Serikat. 
(Eropa 20% dari jumlah biopsi untuk glomerulonefritis primer 
sedangkan di Amerika Utara 10%)4. Di beberapa negara Asia, 
nefropati IgA mulai nampak sebagai kelainan yang sering atau 
paling sering dijumpai. (30% – 40% dari jumlah biopsi ginjal)5. 
Usaha untuk mencari nefropati IgA di Indonesia pada saat 
munculnya laporan tentang kelainan ini pada beberapa negara 
Asia, belum berhasil. Tetapi kemudian tampaklah, kelainan ini 
menjadi penting pula bagi kita, karena semakin banyaknya 
dilaporkan nefropati jenis ini. Sidabutar dkk. melaporkan pada 
tahun 1985 bahwa 9.5% dari pasien glomerulonefritis 
disebabkan oleh nefropati IgA6 . 
Diharapkan dengari banyaknya penelitian mengenai 
nefropati IgA pada pusat-pusat penelitian di Indonesia akan 
dapat dikumpulkan data yang lebih pasti. Sudah pada tempat-nya 
kita di Indonesia juga memberikan perhatian khusus 
terhadap kelainan ini, karena tampaknya nefropati IgA akan 
mempunyai kedudukan yang sangat penting. 
DEFINISI 
Kelainan ini dikenal juga sebagai: 
− penyakit Berger 
− nefropati IgA–IgG 
Berger menamakannya sebagai deposisi IgA yang idioptik pada 
mesangium. Kelainan ini adalah suatu bentuk glomerulonefritis 
yang ditandai oleh deposit, terutama IgA, pada setiap 
glomerulus. Deposit yang difus ini disertai pula dengan kelain-an 
fokal dan segmental. 
Penyakit sistematik yang juga disertai dengan deposit IgA 
perlu disingkirkan, seperti kelainan hepato-bilier dan purpura 
Henoch–Schonlein. 
PATOFISIOLOGI8,9,10 
Imunoglobulin A 
Imunoglobulin A (IgA) adalah protein yang dihasilkan oleh sel 
limfosit B. 
IgA merupakan imunoglobulin utama yang ditemukan 
pada mukosa, sehingga disebut juga sebagai secretory immuno-globulin 
(SIgA). Bila dilihat luasnya jaringan mukosa pada 
badan kita, jelaslah, IgA memang peranan penting dalam me-kanisme 
pertahanan tubuh kita. IgA merupakan pertahanan 
primer tubuh, terdapat banyak pada air liur, air mata, sekresi 
bonchus, mukosa hidung, cairan prostat, sekresi vagina dan 
mukus dari usus halus. 
Di dalam serum manusia, 85%–90% dari total IgA adalah 
monomer, sedangkan sisanya berbentuk polimer. Tiap molekul 
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 7
SIgA terdiri atas 2 unit dasar berantai 4, di mana terdapat 
komponen sekresi (secretory component) dan rantai J (J-chain). 
Jadi SIgA adalah suatu bentuk dimer dari IgA, dengan berat 
molekul 400.000. 
L = lightchain. 
H = heavy chain 
1 = J–chain 
SC = secretory component 
Pembentukan IgA dianggap terjadi pada jaringan lomfoid 
mukosa, dan sebagian dari IgA ini alan membentuk polimer. 
Polimerisasi terjadi intraseluler dan dimungkinkan oleh karena 
adanya rantai J. Bentuk polimer inilah yang dapat membentuk 
kompleks imun yang terdapat pada deposit di mesangium, 
karena kompleks imun yang terbentuk mempunyai ukuran yang 
besar, sehingga tertahan pada mesangium. Mukosa usus adalah 
tempat utama bagi pembentukan IgA. Setelah masuknya 
antigen per oral akan terbentuk zat anti yang terdiri dari IgA. 
Zat anti ini dapat keluar ke dalam lumen usus atau masuk ke 
dalam peredaran darah yang selanjutnya akan merangsang 
pembentukan IgG dan IgM. 
Pada proses eliminasi antigen yang terdapat pada mukosa, 
IgA tidak mengundang timbulnya reaksi radang yang hebat, 
karena berfungsi melindungi mukosa yang lembut. Tidak ter-dapat 
aktifasi sistem komplemen maupun mobilisasi lekosit. 
SIgA dalam bentuk dimerik yang stabil akan mengikat antigen, 
membentuk molekul makro yang tidak dapat diserap. Dengan 
cara ini, virus, bakteri dan antigen makanan dapat dibuang 
dari tubuh setelah berikatan dengan lendir (mucin), yang di-bentuk 
terus menerus. Seandainya lapisan mukosa dengan 
SIgA ini dapat ditembus oleh antigen, akan terjadi reaksi 
radang karena diaktifkannya pertahanan tubuh, yaitu IgG, 
IgM dan lekosit. Akibatnya akan terjadi reaksi radang yang 
hebat. 
Pendapat bahwa IgA yang beradal dari mukosa dan ke-mudian 
menjadi deposit pada glomerulus stelah melalui proses 
polimerisasi adalah pendapat yang paling mudah diterima. 
Pendapat ini didukung oleh kenyataan, IgA terdapat banyak 
sekali pada mukosa, ditemukannya nefropati IgA setelah 
infeksi saluran nafas bagian atas, dan tingginya frekuensi 
nefropati IgA pada daerah-daerah di mana didapatkan ente-ropati 
karena gluten. 
Namun demikian masih diselidiki apakah memang benar 
IgA yang diendapkan pada glomerulus memang dibentuk oleh 
sel-sel mukosa. Sudah dipastikan, IgA yang terdapat pada 
mesangium adalah IgAl, bukan IgA2. Dengan berdasarkan hal 
ini, diperkirakan pembentukan IgA berasal dari sel limfosit B 
dari sumsum tulang. 
Deposisi kompleks imun–IgA pada mesangium4,11 
Nefropati IgA adalah suatu penyakit yang berdasarkan 
pembentukan kompleks imun, yang diendapkan pada 
mesangium. Pendapat ini didukung oleh gambaran endapan 
IgA yang tidak merata pada membrana basalis, yang terlihat 
pada pemeriksaan imunoflouresens. Selain daripada itu, ginjal 
yang terkena nefropati IgA bila ditransplantasikan kepada 
resipien yang sehat, maka gambaran nefropati IgA akan 
menghilang. Kadar IgA pada plasma pasien didapatkan 
meninggi pada 50% pasien, peningkatan kadar kompleks 
imun– IgA yang sejalan dengan aktifitas penyakit, peningkatan 
produksi IgA in vitro oleh limfosit, serta didapatkannya 
endapan IgA pada kapiler kulit, merupakan data tambahan 
yang menyokong adanya kompleks imun sebagai dasar 
nefropati IgA. 
Namun demikian antigen yang merangsang pembentukan 
kompleks umun tersebut masih belum dapat dikenal dengan 
jelas. 
Beberapa hal yang dapat menjelaskan terjadinya nefropati 
IgA adalah: 
1). Produksi IgA yang berlebihan 
Hematuria pada nefropati IgA terjadi dalam 1–3 hari setelah 
infeksi saluran nafas bagian atas. Hal ini jelas membedakan 
nefropati IgA dengan glomerulonefritis pasca streptokokus. 
Infeksi virus yang berulang pada mukosa akan menyebabkan 
pembentukan .IgA lokal yang berlebihan. Rangsangan oleh 
antigen dari makanan dapat pula merangsang produksi IgA 
yang berlebihan pada mukosa usus. Selain daripada itu, limfosit 
tonsil pasien juga menunjukkan kemampuan membentuk IgA 
yang lebih banyak. Rangsangan kronis antigen ini me-mungkinkan 
dibentuk endapan pada glomerulus. Diperkirakan 
kompeks imun terbentuk in situ. 
2). Defek pada mukosa 
Kerusakan mukosa, menyebabkan eliminasi antigen tidak 
sempurna. Antigen dapat masuk ke dalam peredaran darah. 
Kemudian dapat terjadi reaksi peradangan yang berdasarkan 
pembentukan kompleks imun. Contoh dari hal ini adalah 
hubungan nefropati IgA dengan dermatitis herpetiformis dan 
enteropati gluten. 
3). Eliminasi yang terganggu 
Penyakit hati, akan menghambat eliminasi kompleks imun-IgA 
dari sirkulasi. Kompleks imun ini dapat terlihat diendapkan 
pada sinusoid hati dan kapiler kulit. 
Dijumpai adanya nefropati IgA pada pasien serosis, men-dukung 
pendapat ini. 
4). Peranan komplemen 
Kompleks imun–IgA tidak mampu berikatan dengan Cl, se-hingga 
tidak terjadi pembentukan C3b. Padahal C3b ini ber-fungsi 
mencegah pembentukan kompleks imun yang berukuran 
besar. Seperti dibicarakan sebelumnya, kompleks imun yang 
berukuran besar lebih mudah diendapkan, sehingga timbul 
kerusakan jaringan. Selain itu C3b ini dapat mengikatkan 
kompleks imun pada reseptor eritrosit , sehingga memudahkan 
pengangkutan kompleks imun ini ketempat penghancurannya 
pada sistem retikuloendotelial. 
5). Faktor genetik 
Keluarga pasien penderita nefropati IgA terbukti mempunyai 
kemampuan sintesis IgA poliklonal yang meninggi. Penelitian 
di Jepang menunjukkan kaitan antara nefropati IgA dengan 
Cermin 8 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
sistem HLA, yaitu HLA DR4, sedangkan di Eropa menunjuk-kan 
golongan lain (HLA B35 dan HLA B12). 
6). Faktor geografis 
Perbedaan frekuensi nefropati IgA di beberapa negara belum 
dapat diterangkan dengan jelas. Faktor antigen setempat, faktor 
reaksi terhadap antigen dapat dipertimbangkan. Seleksi dan 
pencariān kasus yang intensif, indikasi biopsi ginjal yang lebih 
lunak, tentu akan menghasilkan penemuan kasus yang lebih 
banyak. 
GAMBARAN KLINIS4,6,11 
Nefropati IgA dapat terjadi pada semua tingkat usia, walaupun 
jarang ditemukan pada usia < 10 tahun atau> 50 tahun. Laki-laki 
lebih sering mendapat kelainan ini daripada wanita (6:1). 
Perbandingan ini untuk Indonesia adalah 1:0,86. Hematuria 
makroskopik yang berulang terjadi 1–3 hari setelah infeksi 
saluran nafas, atau setelah suatu infeksi yang tidak jelas 
merupakan gejala permulaan yang sering dijumpai di Eropa. 
Perlu difikirkan nefritis pasca streptokokal sebagai diagnosis 
banding. 
Disuria dapat pula menyertai hematuria, sehingga mungkin 
terjadi pemikiran ke arah infeksi saluran kencing. Gambaran 
gagal ginjal akut mungkin pula terjadi, bersamaan dengan saat 
terjadinya hematuria makroskopik, disebabkan sumbatan 
tubulus oleh sel darah merah. 
Selain itu mungkin ditemukan sindrom nefrotik.Terdapat 
golongan pasien dengan sindrom nefrotik, tetapi tanpa hema-turia. 
Gambaran klinik golongan ini mirip dengan kelainan 
minimal, responsif terhadap steroid, sering relaps, remisi yang 
menetap setelah siklosfamid. 
Laporan dari Indonesia adalah 35,71% dengan gambaran 
sindrom nefrotik, 3,57% dengan glmerulonefritis cepat–pro-gresif 
dan 60,75% menunjukkan glomerulonefritis tanpa sin-drom 
nefrotik, 17,85% di antaranya dengan gagal ginjal kronik. 
Purpura Henoch–Schonlein juga menunjukkan deposit IgA 
pada mesangium, tetapi ditemukan gejala artralgia, sakit perut 
dan purpura nontrōmbositopenik. Ada yang menganggap 
bahwa nefropati IgA adalah bagian dari purpura Henoch– 
Schonlein. 
GAMBARAN LABORATORIK4,11 
Hematuria makroskopik merupakan kelainan utama yang 
hilang timbul, tetapi hematuria mikroskopik menetap di antara 
saat terjadinya hematuria makroskopik. Dismofik eritrosit pada 
urin menunjukkan bahwa eritrosit berasal dari glomerulus, 
walaupun mungkin ditemukani bentuk eritrosit normomorfik 
dan dismorfik. 
Proteinuria sering (60% dari kasus) diditeksi pada pe-meriksaan 
urin rutin dengan kadar kurang dari 1 gram/hari. 
Proteinuria yang berat (nephrotic range) ditemukan pada kira-kira 
pada 10% penderita. 
Faal ginjal umumnya masih normal, tetapi gambaran gagal 
ginjal akut maupun gagal ginjal kronik dapat dideteksi pada 
beberapa pasien. 
Kadar komplemen juga normal, walaupun dapat dijumpai 
fragmen C3 yang meningkat, karena proses nefropati IgA 
berjalan melalui alternate pathway. 
Peningkatan kadar serum IgA terdapat pada 50% pen-derita, 
dalam bentuk dimerik. 
GAMBARAN PATOLOGI ANATOMIK4,5,6,11 
Meskipin semua jenis gambaran glomerulonefritis dapat 
ditemukan pada nefropati IgA, tetapi gambaran proliferasi 
mesangial adalah gambaran yang paling menonjol. Menarik 
pula untuk dikemukakan adanya gambaran bulan sabit dan 
sklerosis fokal. Prognosis lebih buruk bila terdapat gambaran 
bulan sabit. Sidabutar melaporkan sebagai berikut: Glome-rulonefritis 
mesangio proliferatif 35,71%, lesi fokal-segmental 
32,14%, kelainan minor 17,85% dan sklerosis pada 17,86%. 
Mikroskop imunofluoresens menunjukkan deposit IgA 
yang granular mesangium. Endapan IgM dan IgG juga dapat 
terlihat. Dapat pula dijumpai endapan C3 dan antigen yang 
berkaitan dengan fibrin. 
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS DIFERENSIAL4,11 
Gambaran klinik seperti telah dibahas di atas dapat mem-bantu 
untuk menegakkan diagnosis. Biopsi ginjal dengan pe-meriksaan 
imunofluoresens merupakan cara utama untuk 
menegakkan diagnosis. Purpura Henoch–Schonlein, SLE, 
kelainan minimal, infeksi saluran kencing, dapat dipertim-bangkan 
sebagai diagnosis banding. 
PROGNOSIS4,5,11 
Hipertensi, protenuria, usia lanjut, gambaran bulan sakit 
pada biopsi, merupakan faktor yang memperburuk prog-nosis. 
Proses sklerosis dipercepat pada keadaan tersebut. 
Perjalanan penyakit umumnya lambat, walaupun 10% 
pasien akan mengalami gagal ginjal kronik dalam 10 tahun, 
20% dalam 20 tahun. 20%–30% dari pasien faal ginjalnya 
akan terganggu pada masa 20 tahun perjalanan penyakitnya. 
TERAPI4,11,12,13 
Sampai saat ini belum ada cara pengobatan yang memuaskan 
bagi nefropati IgA. Tonsilektomi dapat menurunkan pem-bentukan 
polimer IgA, mengurangi frekuensi hematuria, tetapi 
diragukan apakah akan mempengaruhi perjalanan penyakitnya. 
Mengingat perjalanan penyakitnya yang lambat, maka sulit 
menjawab pernyataan ini. Steroid dianggap tidak mempunyai 
efek. Penelitian diaaahkan kepada usaha menekan produksi 
IgA, mempercepat eliminasi IgA. 
KEPUSTAKAAN 
1. Sinniah R. IgA Nephropathy. Dalam Sulaiman AB, Morad Z (eds). Proc. 
of the sixth Collouium in Nephrology. Excerpta Medica, 1986. 
2. Morel–Morager L, Mary J Ph, Leroux Robert C, Richet G. Mesangial IgA 
Deposits. Dalam Kincaid Smith P. Mathew TH, Lovell Becker E (eds). 
Glomerulonephritis. New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley & 
Son, 1972. 
3. Clarkson AR, et. al. Clinical Features and Pathogenesis of IgA 
Nephropathy. Dalam Oshima K. Yoshitoshi Y,. Hatano M. (eds) Proc of 
the First Asian Pacific Congress of Nephrology, Tokyo, 1979. 
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 9
4. Glassock RI, Adler SG, Ward HI, Cohen AH. Primary Glomerular 
Diseases. Dalam Brenner BM, Rector FJ (eds). The Kidney. Philadelphia, 
London, Toronto, Mexico City, Rio de Jeneiro, Sydney, Tokyo: WB 
Saunders Company, 1986. 
5. Woo KT, et al., Clinical and Prognostic Indices of IgA Nephritis. Dalam 
Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proc of the 3rd Asian Pacific Congress 
of Nephrology,1986. 
6. Sidabutār RP. Lumenta NA, Suhardjono, et al. Glomerulonephritis in 
Indonesia. Dalam Woo KT, Wu AYT, Urn CH (eds). Proc of the 3rd 
Asian-Pacific Congress of Nephrology, 1986. 
7. Berger J. Indiopathic Mesangial Deposition of IgA. Dalam Ham-burger J. 
Crosnier J. Grunfeld JP (eds). Nephrology. New York, Paris, London, 
Sydney, Toronto: Wiley–Flammarion, 1979. 
8. Dwyer JM. Selective IgA Deficiency and Autoimmūne Disease. 
Dalam Franklin EC, et al. (eds). Clinical Immunology Update. 
New York, Amsterdam, Oxford: Elsevier Biomedical, 1983. 
9. Wang AC. The Structure of Immunoglobulins. Dalam Fundenberg HH, et 
al. (eds). Basic Clinical Immunology. Los Altos: Lange Medical 
Publication, 1976. 
10. Valentijn TM, et al. Circulating and Mesangial Secretory Com-ponent– 
Binding IgAl in Primary IgA Nephropathy. Kidney Int. 1984; 26: 760– 
766. 
11. Rose BD. Pathophysiology of Renal Disease. 2nd ed. New York: 
McGraw–Hill, 1987. 
12. Woodroffe AJ. IhA Nephropathy–Experimental Aspects. Dalam Woo KT, 
Wu AYT, Lim CH (eds). Proc of the 3rd Asian-Pacific Congress of 
Nephrology, 1986. 
13. Lozano L, et al. Tonsillectomy Decreases the Synthesis of Poly-meric IgA 
by Blood Lymphocytes and Clinical Activity in Patients with IgA 
Nephropathy. Dalam Devision AM, Guillou PJ (eds). Proc EDTA Vol 22, 
1985. 
Cermin 10 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
Pengobatan Dosis Tunggal Pada 
Infeksi Saluran Kemih 
Dr. Roemiati Oesman, Dr. Parlindungan Siregar, Dr. Wiguno P, Dr. M.S Markum 
Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam 
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Ciptomangunkusumo, Jakarta 
PENDAHULUAN 
Pengobatan infeksi saluran kemih (I.S.K.) masih merupa-kan 
problem, oleh karena walaupun sudah banyak penyelidikan 
tentang infeksi tersebut, pendapat bagaimana pengobatan yang 
optimal masih simpang siur. Prosentase terbesar dari I.S.K. 
adalah wanita dengan disuri akut. Menurut gejala, tanda dan 
kelainan urinnya, dapat disebabkan oleh pielonefritis akut, 
pielonefritis sub akut, I.S.K. bagian bawah yaitu sistitis dan 
atau uretritis, uretritis Klamidia atau gonokokus, vaginitis, 
sistitis interstisial dan bukan infeksi. 
Pada wanita muda yang seksual aktif, penyebab primer 
dari I.S.K. adalah Eserikhia coli dan sekunder oleh Stafilo-kokus 
saprofitikust . Pada pria berumur lebih dari 50 tahun 
yang sering mengalami kateterisasi saluran kemih, penyebab 
I.S.K. adalah Stafilokokus saprofitikus. Infeksi dengan kuman 
tersebut dapat sembuh spontan, dan beberapa lainnya akan 
kambuh. Apabila kuman menetap atau kambuh, harus di-pikirkan 
ada batu, oleh karena kuman tersebut bersifat pelepas 
urea serta banyak ditemukan pada urin alkalis. Penyebab 
kuman pada wanita disuri akut umumnya sama, Eserikhia Coli 
atau Stafilokokus saprofitikus. Pada wanita, I.S.K. yang 
bergejala dan barn diketahui untuk pertama kali, untuk ke-perluan 
pengobatannya antara lain harus ditentukan ada infeksi. 
Pada populasi banyak, secara praktis dan cepat hanya perlu 
pemeriksaan urinalisis, yaitu mengetahui adanya piuria dan 
bukan dengan kultur atau pemeriksaan kepekaan, oleh karena 
anti mikroba masih peka terhadap Eserikhia Coli atau 
Stafilokokus saprofitikus. Kecuali pada pasien-pasien yang 
mendapat infeksi waktu dirawat di rumah-sakit, antara lain 
akibat kateterisasi saluran kemih bagian bawah, uropati ob-struktif 
dan gagal ginjal. Pada umumnya sifat dari kuman yang 
sama, sudah berbeda sehingga tidak lagi peka terhadap semua 
obat. Sebagian kecil dari wanita dengan disuri akut yang 
berulang, kultur urin negatif. Hal tersebut terdapat pada sistitis 
interstitialis,uretritis oleh karena Nesseria gonokokus atau Kla-midia 
trakomalis. Pada I.S.K. bagian atas perlu pemeriksaan 
kultur. 
Tujuan pengobatan I.S.K. adalah menghilangkan gejala, 
membasmi kuman sebagai sumber infeksi, mencegah kambuh 
atau reinfeksi dan mencegah kerusakan ginjal. I.S.K. pada 
orang dewasa jarang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal 
yang dapat menuju ke gagal ginjal, kecuali apabila ada ob-struksi 
saluran kemih akibat batu atau kelainan anatomi dari 
saluran kemih. Berhasilnya pengobatan sangat berhubungan 
dengan kepekaan obat anti mikroba terhadap kuman yang ada, 
tingginya kadar obat anti mikroba dalam urin, lokalisasi infeksi 
ada tidaknya komplikasi saluran kemih seperti kandung kemih 
urogenik, batu, kelainan anatomik, kateterisasi saluran kemih 
dan diabetes melitus. Disamping hal-hal tersebut, dipihak lain 
harus dipikirkan harga obat, efek samping obat, kenikmatan/ 
kepatuhan pasien, sehingga efektivitas pengobatannya harus 
disesuaikan pada setiap individu. Pada wanita dengan disuri 
akut, bila ada piuria, segera harus diobat dengan obat anti 
bakteri sederhana dosis tunggal. Di sini mungkin sama efek-tifnya 
dengan pengobatan jangka 7–10 hari. Pada wanita 
dengan riwayat infeksi berulang, pada waktu ada gejala perlu 
diobati dosis tunggal 4–5 tablet, masing-masing 80 mg trime-toprim 
- 400 mg sulfametoksasol. Pada disuri akut tanpa piuria, 
tidak perlu diobati. 
Gambar 1. Pendekatan klinik pada wanita dengan disuria 
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 11
Dari penyelidikan-penyelidikan yang terdahulu belum ada 
pernyataan yang pasti bahwa pengobatan I.S.K. jangka panjang 
lebih berhasil daripada pengobatan jangka pendek (1–3 hari). 
R.R. Bailey dkk2 dalam penyelidikannya mengenai pengobat-an 
I.S.K. pada orang dewasa dan anak-anak, ternyata amoksil 
dosis tunggal 3 gram sama efektifnya dengan jangka 5–7 
hari. Pada golongan wanita yang seksual aktif, bila ada I.S.K. 
yang tanpa komplikasi (tidak ada obstruksi saluran kemih, 
radiologis saluran kemih normal dan fungsi ginjal baik), laju 
pertumbuhan Kesembuhan pengobatan 5–10 hari adalah 85%, 
akan tetapi pengobatan jangka panjang tidak menguntungkan, 
oleh karena; 
1). banyak orang berhenti minum obat waktu gejala mem-baik. 
2). sukar minum obat 3–4 kali per hari. 
3). sukar memakan obat jangka panjang pada kasus tanpa ge-jala. 
4). tetap makan obat setelah gejala menghilang. 
Oleh karena hal tersebut, dipikirkan oleh Bailey kembali 
memakai dosis tungal pada I.S.K. bagian bawah yang bergejala 
atau bakteriuria tanpa gejala pada kehamilan trimester pertama 
dengan nitrofurantoin 100 mg. Ternyata kesembuhan terjadi 
pada kasus yang tanpa kelainan radiologis saluran kemih, 
sehingga hasil pengobatan dosis tunggal dapat dipakai untuk 
membantu memilih pasien yang perlu pemeriksaan radiologis 
dan urologis. William & Smith3 mengobati bakteriuri pada 
kehamilan dengan dosis tunggal kombinasi: Streptomisin 1 
gram dan sulfametopirason 2 gram. Dari 47 kasus, laju 
penyembuhan 77%. Ronald dkk4 memakai 0,5 gram kanamisin 
I.M., laju penyembuhan 92% dari 39 kasus dan 72% pada 
infeksi saluran atas, Aliran mengobati 100 wanita sistitis 
superfisialis dengan kanamisin 500 mg I.M. dan hasilnya baik. 
Daripada memakai dosis ganda 5–14 hari, pengobatan anti-biotika 
dosis tunggal pada wanita dengan I.S.K. tanpa kom-plikasi 
mempunyai beberapa keuntungan: lebih menyenangkan, 
angka kepatuhan tinggi, murah dan efek sampingan yang 
rendah. Beberapa penyelidik mengatakan, pada wanita dengan 
I.S.K. tanpa komplikasi, pengobatan dosis tunggal cukup 
efektif, sedangkan beberapa penyelidik lain menentang 
pernyataan tersebut. 
Beberapa penyelidik dalam penyelidikannya mengeluarkan 
kasus I.S.K. saluran atas dengan pemeriksaan pencucian 
kandung kemih atau bakteri berselubung antibodi, dan hasil 
pengobatan dosis tunggal sama efektifnya dengan pengobatan 
7–14 hari. Ada pendapat yang tidak setuju pemakaian dosis 
tunggal, oleh karena kemungkinan infeksi yang kambuh lebih 
Tabel : 
Penyelidik. 
th. Dosis obat Sembuh total 
% Dosis obat Sembuh total 
% 
Guneberg & Brumfitt 
1967 
Slode & Crowthen 1972 
Bailey & Abbort 1977 
Bailey & Abort 1978 
Fang dkk, 1978 
Rubni dkk, 1980 
Bai Ley & Blobe, 1990 
Grifson dkk, 1981 
Greenberg dkk, 1981 
Savord Fentok dkk, 
1982 
Hoovh dkk, 1982 
Counts dkk, 1982 
Talkoff Rubra dkk, 
1983 
Pontrer dkk; 1983. 
Sulfometaksin 2 gr 
Sulfametoperasin 
2 gr 
Amoksilin 3 gr 
Trimetroprim 
Sulfametaksasol 
Amoksilin 3 gr 
Amoksilin 3 gr 
Trimetoprim 
Sulfametok 0,96 gr 
0,96 gr 
1,92 gr 
2,88 gr 
Amoksilin 3 gr 
Sefaklor 2 gr 
Amok silin 3 gr 
Amoksilin 3 gr 
Trimetroprim–sulfa-metoksasol 
1,92 g 
Trimetoprim–sulfa-metoksasol 
1,92 gr 
Sulfonesid M. lgr 
22 
29 
8 
17 
21 
33 
13 
16 
14 
18 
10 
43 
8 
29 
34 
16 
25 
34 
10 
20 
2 
38 
16 
16 
16 
28 
30 
71 
11 
38 
41 
18 
88 
85 
80 
85 
95 
87 
61 
100 
88 
64 
33 
61 
73 
76 
83 
89 
amplisilin 500 mg 
3x/hari–7hari 
amplisilin 500 mg 
3 x / hari – 7 hari 
amoksilin 250 mg 
3 x / hari – 5 hari 
Trimetroprim-sulfa-metoksasol 
0,96 gr, 2 x/hari-5 hari 
amoksilin 250 mg 
4 x/hari – 10 hari 
ampisilin 500 mg 
4 x/hari – 10 hari 
Trimetroprim–sulfa 
metoksasol 0,96 gr 
2 x/hari – 10 hari 
Trimetroprim–sulfa 
0,96 gr 2x/hari– 5 hari 
Sulfametoksasol 500 mg 
2 x/hari – 7 hari 
Sefaklor 250 mg 
3 x/hani – 10 hari 
amoksilin 250 mg 
3 x/hari – 14 hari 
amoksilin 500 mg 
3 x/hari – 7 hari 
Trimet–sulfamet 
0,9 gr 2x/hani–10 hari 
amoksilin 520 mg 
3 x/hari – 7 hari 
22 
25 
5 
17 
21 
26 
25 
15 
28 
18 
67 
10 
36 
14 
25 
29 
10 
20 
22 
28 
25 
16 
31 
22 
91 
12 
40 
15 
88 
86 
50 
85 
100 
93 
100 
94 
90 
82 
74 
83 
90 
93 
Cermin 12 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
sulit, tidak semua anti mikroba kemanjurannya sama, me-nambah 
ongkos untuk pemantauan berhasilnya pengobatan 
dengan pemeriksaan kultur urin dan tidak adanya pemeriksaan 
yang baku untuk memilih kasus yang paling baik untuk dosis 
tunggal. Lalu penyembuhan dnegan dosis tunggal sangat varia-bel, 
dari 30% (memakai siklasilin) sampai 85 – 90% (memakai 
trimetroprim – sulfametoksasol Oleh karena, pendapat yang 
simpang siur tersebut, I.T. Philbrick dkk5 mencoba meneliti 
sebab musabab perbedaan pendapat dari 14 penyelidik (Lihat 
tabel). 
12 dari 14 penyelidikan di atas berkesimpulan, dosis tunggal 
sama efektifnya dengan dosis ganda. Menurut J.T. Philbrick 
dkk, dari tabel di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 
1) Efisiensi pengobatan dosis tunggal pada kasus wanita de-ngan 
I.S.K. tanpa komplikasi tidak terbukti. 
2) Semua penyelidik memakai jumlah kasus yang kurang dan 
contoh kasus tidak adekuat, sehingga salah bila ditafsirkan 
bahwa dosis tunggal sama efektif dengan dosis ganda. Pada ke-nyataannya, 
bila dibandingkan dengan dosis ganda, amoksil 
dosis tunggal 3 gram peroral kurang efektif. Kesimpulan ter-sebut 
disokong juga oleh penyelidikan yang lebih baru dengan 
memakai kasus jumlah besar yang diobati dengan amoksil atau 
siklasilin6, penyelidikan terpaksa dihentikan oleh karena laju 
penyembuhan yang rendah. Bila dilihat dalam satu bulan, laju 
penyembuhan spontan pada I.S.K. tanpa komplikasi , kira-kira 
50%, dan laju penyembuhan dengan amoksildosis tunggal 
69%. Jadi hanya sedikit perbaikannya, serta jauh lebih rendah 
dari laju penyembuhan dosis ganda amoksil atau ampisilin 
yang 84%. 
Dosis tunggal sulfametoksasol – trimetroprim 2 atau 3 
tablet dengan kekuatan ganda, agaknya sama efektifnya dengan 
dosis ganda. Pada penyelidikan dengan sefaklor,s dosis tunggal 
tidak efektif. 
3) Dengan dosis tunggal, kemungkinan berkurangnya efek 
samping juga tidak terbukti. Pada setiap penyelidikan di-laporkan 
bahwa tidak ada perbedaan efek samping di antara 
kedua macam pengobatan ataupun efek samping lebih tinggi 
pada pengobatan dosis ganda. 
4) Pemeriksaan bakteri berselubung antibodi sering dipakai 
untuk mengetahui berhasilnya pengobatan. Pasien dengan 
bakteri berselubung antibodi yang negatif akan berhasil baik 
dengan dosis tunggal. Tetapi sayang pemeriksaan tersebut tidak 
selalu dapat dikerjakan dan metode pemeriksaannya tidak baku, 
sehingga hasil pemeriksaan kurang dapat dipercaya. 
5) Kesimpulan kegagalan dosis tunggal, jangan dipakai pada 
kasus dengan infeksi ginjal yang menjalar ke parenkim. Sem-buhnya 
infeksi dengan dosis tunggal, berarti kasus tersebut ti-dak 
perlu diperiksa radiologik ataupun sistografi, oleh karena 
kegagalan hanya 30%; sehingga tidak praktis untuk melakukan 
pemeriksaan tersebut, yang mahal dan memerlukan waktu. 
6) Pada I.S.K., jangka waktu pengobatan yang optimal belum 
diketahui. 
Penelitian baru yang lain membandingkan pemakaian 
dosis tunggal 3 hari dan 7 hari pada wanita tidak hamil, dari 
sosio ekonomi rendah. Dengan 3 hari trimetoprim–sulfame-toksasol, 
laju pertumbuhan 88% dengan pemantauan 4 minggu, 
dengan sefadroksil dosis tunggal, 25% sembuh, 3 hari sefa-droksil, 
58% sembuh, 7 hari sefadroksil, 70% sumbuh dan 
dosis tunggal trimetoprim – sulfametoksasol 65% sembuh. 
Baik pemeriksaan bakteri berselubung antibodi maupun gam-baran 
kepekaan tidak dapat dipakai sbagai ramalam pengobat-an. 
10 Untuk memilih pengobatan, harus dilakukan anamnesis 
tentang faktor risiko sebelum I.S.K., lesi anatomi ginjal, di-abetes, 
tanda dan gejala yang mengarah ke vaginitis, gejala dan 
tanda penyakit saluran kemih atas, Pengobatan dosis tunggal 
yang paling sederhana dengan trimetoprim–sulfametoksasol 
320 mg – 1600 mg, atau 3 gram amoksilin. 
Pengobatan mandiri dosis tunggal 
Selain daripada itu diteliti kegunaan pengobatan pencegahan 
pada wanita dalam waktu 1 tahun timbul serangan I.S.K. 
bagian bawah (reinfeksi lebih sering daripada relaps , oleh 
karena pengobatan I.S.K. yang tidak adekuat) Obat-obatan 
yang dipakai adalah nitrofurantoin, metanamin-madelat, 
trimetroprim dan trimetoprim–sulfametoksasol. Pencegahan 
dapat diberikan setiap hari selama 6 bulan atau lebih11,12 ,atau 
diberikan hanya sesudah bersenggama13. Satu penyelidik 
memakai dosis tunggal harian trimetoprim–sulfametoksasol, 
dinyatakan hasilnya efektif dan murah untuk wanita dengan 
infeksi minimal 3 kali dalam setahun14. Pada wanita dengan 
infeksi berulang, di mana dia sendiri dapat dengan cermat 
mendeteksi gejala dini, dianjurkan segera mengobati sendiri 
dengan dosis tunggal trimetoprim 320 mg sulfametoksasol 
1600 mg. Cara tersebut dapat menyembuhkan infeksi secara 
klinis dan bakteriologis15. Pengobatan dosis tunggal di sini 
menarik, oleh karena efektif, murah, tidak ada efek samping 
obat dan pengaruh ke flora enterobakteri di dubur, uretra dan 
vagina; lebih mudah memilih anti-biotika yang masih peka, dan 
tidak perlu menentukan lamanya pengobatan yang optimal. 
E.S. Wong dkkls menyelidiki 38 wanita dengan I.S.K. berulang, 
dibēri pengobatan sendiri intermiten dosis tunggal 
trimetoprim–sulfametoksasol. Semua gejala klinis infeksi 
tersebut adalah sistitis akut tanpa komplikasi, 90% dari kuman 
sensitif terhadap trimetroprim–sulfametoksasol dan kasus 
dengan bakteri berselubung antibodi hanya 10%. Dengan ada-nya 
tiga hal tersebut, diharapkan bahwa pengobatan dosis 
tunggal akan efektif10,16 Mengobati mandiri secara intermiten, 
pada umumnya dapat lebih cepat daripada pasien harus datang 
ke dokter, sehingga mungkin dapat mencegah infeksi beranjak 
ke ginjal. Dari 38 kasus, 30 berhasil, 2 gagal dan 3 kambuh 
yang kemudian sembuh dengan pengobatan jangka 10 hari. 
Gambar 2 : Pendekatan klinik pada wanita dengan riwayat I.S.K. berulang 
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 13
Dengan pengobatan profilaksis, laju infeksi 0,2 kali serangan 
pertahun, dan 2,2 kali serangan pertahun pada pengobatan 
mandiri. Ongkos perkwartal pengobatan profilaksis dan man-diri 
sama, lebih murah daripada pengobatan konvensional 
untuk wanita dengan 2 atau lebih infeksi pertahun. 
Pengobatan profilaksis sangat berguna untuk wanita 
dengan infeksi 3 atau lebih pertahun, dan pengobatan mandiri 
untuk wanita dengan infeksi 1–2 pertahun. 
Ringkasan 
1) Prosentase terbesar pada I.S.K. adalah wanita dengan disuri 
akut. Pada umumnya penyebab terbesar dari I.S.K. tersebut 
primer oleh Eserikhia Coli dan sekunder oleh Stafilokokus 
saprofitikus. 
2) I.S.K. tanpa komplikasi atau dengan risiko rendah terhadap 
kerusakan ginjal, berarti tidak ditemikan: kelainan struktur 
saluran kemih, kelainan neurologis saluran kemih, benda asing 
dalam saluran kemih, diabetes melitus. 
3) Dari sudut epidemiologis, pengobatan I.S.K. baru diberikan 
bila ada piuria. 
4) Tujuan pengobatan pada wanita dengan I.S.K. tanpa kom-plikasi 
menghilangkan gejala dan mengurangi infeksi kambuh, 
sehingga pengobatan pencegahan ditunjukkan hanya pada 
serangan yang bergejala. 
5) Bakteriuria tanpa gejala tidak perlu diobati. Tetapi pada 
kehamilan, wanita dengan infeksi yang sering berulang dan 
pria dengan infeksi yang menetap, perlu diobati. 
6) Dalam praktek sehari-hari, pengobatan pada wanita dengan 
I.S.K. bagian bawah tanpa komplikasi cukup dengan dosis 
tunggal. Follow up dengan kultur sesudah 4–7 hari pengobatan. 
7) Keuntungan pengobatan dosis tunggal: lebih murah, kepa-tuhan 
obat lebih tinggi, lebih menyenangkan, dan efek samping 
lebih kecil. 
8) Pengobatan dosis tunggal cukup efektif, tetapi kurang 
efektif daripada dosis ganda beberapa hari. 
9) Kegagalan pengobatan dosis tunggal berarti ada komplikasi 
atau I.S.K. bagian atas dengan komplikasi. Di sini barn perlu 
pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan urologis. 
10)Infeksi berulang pada wanita, 80% oleh serotipe baru dari 
Eserikhia Coli atau bakteri usus yang lain dan 20% oleh kuman 
seperti semula. 
11)Pada wanita dengan infeksi berulang 1–2 kali pertahun, 
dianjurkan pengobatan mandiri dosis tunggal. 
12)Obat-obatan yang umum dipakai: trimetoprim–sulfa-mctoksasol, 
furadantin, urfadin, ampisilin, asam nalidisik. 
KEPUSTAKAAN 
1. Savard-Denton M, fenton BW, Roller LB dkk. Single dose amoxy-cillin 
therapy with follow up urine culture. Am J Med 1982; 
73 : 808–813. 
2. Bailey RR, Abbott BD. Treatment of urinary tract infection with a single 
dose of amoxycillin. Nephron. 1977; 18 : 316–320. 
3. Williams JD, Smith EK. Single dose therapy with srteptomycin Ind 
sulfametopyrazone for bacteriuria during pregnancy. Brit Med J 1970; 2 : 
651–657. 
4. Ronald HR, Boutros P, Mourtada H. Bacteriuria localisation and 
response to single dose therapy in women. JAMA 1976; 235 : 1854– 
1856. 
5. Philbrick JT, Bracikowski JP. Single dose antibiotic treatment for 
uncomplicated urinary tract infections. Arch, Intern Med. 1985; 
145 : 1672–1678. 
6. Hooton TM, Running K, Stamm WE. Single-dose theraphy for 
cystitis in women. JAMA 1985; 253 : 387–390. 
7. Mabeck CE. Treatment of uncomplicated urinary tract infection in 
nonpregnant women. Postgrad Med J, 1972; 48 : 69–75. 
8. Greenberg RN, Sanders CV, Lewis AC dkk. Single dose cefaclor 
therapy of urinary tract infection. Am J Med 1981; 71 : 841–845. 
9. Sheehan G, Harding BKM, Ronald AR. Advances in the treatment 
of urinary tract infenction. Am J Med 1984; 76 : 141–147. 
10. Rubbin RH, Fang RST, Wagner KF dkk. Single dose amoxcycillin 
therapy for urinary tract infection : Multicantertrial using anti-body 
coated bacteria localization technique. JAMA 1980; 244 : 
561–564. 
11. Harding BK, Ronald AR. A controlled study of anti microbal 
prophylaxis of recurrent urinary infection in women. N Engl J Med 
1974; 291 : 597–601. 
12. Stamey TA, Condy M, Mihara G. Prophylactic efficacy of nitro-furation 
macrocrustals and trimethoprin–sulfamethoxazole in 
urinary infection. N Engl J Med 1977; 296 : 780–783. 
13. Vosti KL. Recurrent urinary tract infection prevention by pro-phylactic 
antibiotics after sexual inter–course. JAMA. 1975; 231 : 
934–940. 
14. Stamm WE, Mc Kevitt M, Counts GW dkk. Antimicrobial pro-phylaxis 
of urinary tract infection cost effective ?. Amm intern 
Med. 1981; 94 : 251–255 
15. Wong ES, Kevitt MM, Running dkk. Management of tercurrent 
urinary tract infentions with patient administered single dose 
therapy. Am of hit Med 1985; 102 : 302–307. 
16. Counts GW; Stamm WE, Mc Kevitt M dkk. Treatment of cystitis in 
women' with a single dose of trimethiprin–sulfamethoxazole. Rev 
infect Dis. 1982; 4 : 484–490. 
17. Bailey RR. Single dose therapy of urinary tract infection–Sydney, 
ADIS health Science Press, 1983. 
18. Erickson K, Kjellberg L, Henning C. Single dose antibiotics for 
urinary infection. Lancet 1981; 1 : 331. 
19. Fang LST, Talkoff RN, Rubin RH. Efficacy of single dose and 
conventional amoxycillin therapy in urinary tract infection 
localized by the antibody–Coated bacteria technic. N Engl J Med 
1978, 298 : 413–416. 
20. Kuning CM. Duration of treatment of urinary tract infections the 
Am J of Med 1981; 71 : 849–854. 
21. Lawrence RM. Current theraphy of urinary tract infections and 
pyelonephritis. Seminar in Nephrology : 6:3. 1986, 241–250. 
22. Sellon M., Cooke DJ, Gillespie WA dkk. Micrococcal urinary tract 
infections in young women. Lancet 1975; 2 : 570:-575. 
23. Treatment of urinary tract infections Med. Lett 1981; 23 : 69–70. 
24. Soney P, Polk BF. Single dose anti–mikrobial therapy for urinary 
tract infections in women Rev infect des. 1982; 4 : 29–34. 
Untuk segala surat-surat, pergunakan alamat: 
Redaksi Majalah Cermin Dunia Kedokteran 
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 
Cermin 14 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
Hipertensis Pada Diabetes Melitus 
Dr. Wiguno P, Dr. M.S. Markum, Dr. Roemiati 0, Dr. R.P. Sidabutar 
Sub Bagian Gin/al dan Hipertensi Bagian Ilmu Penvakit Dalam 
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Ciptomangunkusumo, Jakarta 
Diabetes melitus dan hipertensi adalah dua keadaan yang 
berhubungan erat dan keduanya merupakan masalah kesehatan 
yang perlu mendapatkan penanganan yang seksama. Insidensi 
hipertensi pada penderita diabetes melitus lebih tinggi apabila 
dibandingkan dengan penderita tanpa diabetes melitus, dan 
pada beberapa penelitian dibuktikan, kenaikan tersebut sesuai 
dengan kenaikan umur dan lama diabetes. Diperkirakan 30– 
60% penderita diabetes melitus mempunyai hubungan dengan 
hipertensi1,2,3. 
Hipertensi pada diabetes melitus meningkatkan morbiditas 
dan mortalitas, serta berperan dalam mekanisme terjadinya 
penyakit jantung koroner, gangguan pembuluh darah perifer, 
gangguan pembuluh darah serebral dan terjadinya gagal ginjal. 
Kelainan pada mata akibat diabetes melitus yang berupa 
retinopati diabetik juga dipengaruhi oleh hipertensi..Oleh 
karena itu, hipertensi pada diabetes melitus perlu ditanggulangi 
secara seksama. Untuk tujuan ini diperlukan pengetahuan 
mengenai patogenesis hipertensi pada diabetes melitus, dan 
berbagai obat anti-hipertensi serta pengaruhnya terhadap 
diabetes melitus. 
PATOGENESIS1,3,4 
Hipertensi pada diabetes melitus dapat dilihat dalam 
beberapa bentuk, yaitu1: 
1. Hipertensi diabetik 
2. Hlpertensi sistolik 
3. Hipertensi esensial. 
Hipertensi diabetik adalah bentuk hipertensi renal yang ter-jadi 
pada nefropati diabetik yang sering ditemukan pada 
diabetes melitus tipe I. Hipertensi sistolik merupakan akibat 
terjadinya aterosklerosis pada diabetes melitus. Sedangkan 
hipertensi esensial merupakan bentuk yang paling sering di-jumpai 
dan biasanya merupakan komplikasi akhir dari diabetes 
melitus. 
Laporan final dari "Working Group on Hypertension in 
Diabetes", membagi hipertensi pada diabetes melitus dalam 
beberapa bentuk, seperti terlihat pada tabel5. 
Tabel. Hipertensi pada penderita dengan DM *) 
1. Potentially surgical curable 
2. Nephropathy clinically absent 
Essential hypertension 
Isolated Systolic hypertension 
3. Nephropathy present 
Renal hypertension 
4. Neuropathy present 
Supine hypertension with orthostatic hypotension 
*) dikutip dari 5 
Dalam membicarakam patogenesis hipertensi pada diabe-tes 
melitus dapat ditinjau dari berbagai segi, misalnya peran 
ginjal, sistem pembuluh darah dan jantung, sistem renin-angiotensin- 
aldosteron, sistem susunan saraf otonom, dan peran 
berbagai hormon. 
Kelainan histopatologik pada ginjal akibat hipertensi dapat 
mengenai glomerulus, tubulus, interstitium, dan arteriol. 
Kelainan patologik yang paling sering dijumpai adalah lesi 
nodular yang mengenai mikrovaskular dan lesi glomerular 
yang difus. Kelainan ini lebih banyak dijumpai pada diabetes 
melitus tipe I dan dikenal dengan lesi Kimmelstiel Wilson. 
Keadaan ini dihubungkan dengan terjadinya hialinisasi glo-merulus 
yang mengakibatkan penurunan kliren air, peninglcat-an 
volume intravaskular, dan hipertensi. Gambaran klinik yang 
dijumpai adalah proteinuri, hipertensi, dan gagal ginjal. 
Peningkatan tekanan darah yang terjadi sejalan dengan berat-nya 
kelainan pada ginjal. Dengan adanya pielonefritis yang 
sering dijumpai pada diabetes melitus, akan memperberat 
glomerulosklerosis, dan kemungkinan berperan secara ber- 
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 15
makna pada patogenesis hipertensi. 
Terdapat 2 (dua) teori yang dapat menerangkan mekanis-me 
terjadinya kelainan mikrovaskular pada glomerulosklerosis 
diabetik, yaitu teori genetik dan teori metabolik yang keduanya 
saling kontroversial. Teori genetik menyatakan, terjadinya 
mikroangiopati disebabkan oleh sifat genetik (genome) dari 
vaskular sendiri dan tidak dipengaruhi oleh faktor yang ber-hubungan 
dengan defisiensi insulin. Hal ini dibuktikan bahwa 
lesi mikrovaskular dijumpai pada beberapa penderita tanpa 
kelainan glukosa dan terjadinya lesi awal pada glomerulos-klerosis 
diabetik yang berupa penebalan membrana basalis 
jarang dijumpai pada awal penyakit. Teori metabolik menyata-kan, 
terjadinya mikroangiopati secara langsung oleh karena 
kelainan metabolik akibat defisiensi insulin baik secara absolut 
maupun relatif. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah 
obesitas. Obesitas dijumpai pada 80% penderita diabetes 
melitus tipe II dan diduga faktor ini juga mempengaruhi 
terjadinya hipertensi pada diabetes melitus3. 
Kelainan pada diabetes melitus yang klasik adalah mikro-angiopati 
spesifik dan makroangiopati yang tidak spesifik yang 
mempunyai andil terhadap terjadinya hipertensi. Pada hiper-tensi 
dan diabetes melitus terjadi proliferasi otot polos pem-buluh 
darah akibat kerusakan pembuluh oleh kadar hormon dan 
lemak dalam sirkulasi yang abnormal, dan atau intervensi trom-bosit 
yang menimbulkan hiperagregasi. Keadaan tersebut me-rupakan 
latar belakang terjadinya aterosklerosis, dengan akibat 
terjadinya hipertensi sistolik pada penderita diabetes melitus. 
Hubungan antara hipertensi pada diabetes melitus dengan 
sistem renin-angiotensin-aldosteron dilaporkan kontroversial 
oleh beberapa peneliti. Pada umumnya menyatakan, pada awal 
penyakit aktifitas renin plasma (PRA) masih normal atau 
meningkat, sedangkan pada akhir penyakitnya didapatkan 
penurunan respon renin terhadap efek stimulasi oleh perubahan 
posisi, furosemid, diaksosid dan angiotensin II. Pada umumnya 
peninggian tekanan darah tidak diikuti oleh peningkatan renin 
dan aldosteron. Keadaan inilah yang dapat menerangkan bahwa 
hipertensi maligna jarang diju.mpai pada penderita diabetes 
melitus2,3. Adanya kadar katekolamin yang rendah pada 
penderita hipertensi dan diabetes melitus kemungkinan 
merupakan salah satu yang dapat menerangkan keadaan ini. 
Dalam keadaan basal, kadar katekolamin ditemukan 
normal pada penderita diabetes melitus. Akan tetapi perang-sangan 
dengan perubahan posisi dan aktifitas fisik isometrik 
menunjukkan kelainan dalam peningkatan katekolamin. 
Katekolamin diketahui mempengaruhi pelepasan renin, 
sehingga adanya penurunan kadar katekolamin bertanggung 
jawab terhadap penekanan sistem renin-angiotensin-aldosteron. 
Beberapa hormon diduga mempunyai pengaruh terhadap 
ter-jadinya hipertensi pada diabetes melitus. Hormon yang di-ketahui 
mempunyai peran terhadap mekanisme kontrol tekanan 
darah adalah PRA, katekolamin, kortisol dan growth hormone. 
EVALUASI KLINIK DAN DIAGNOSTIK5,6 
Pada prinsipnya, evaluasi hipertensi pada diabetes tidak 
berbeda dengan evaluasi hipertensi pada penderita non-diabetes, 
akan tetapi berbagai bentuk hipertensi yang dapat 
terjadi pada diabetes perlu diperhatikan. Anamnesis yang teliti 
mengenai riwayat hipertensi atau diabetes dalam keluarga, 
riwayat penggunaan obat yang dapat meningkatkan tekanan 
darah atau gula darah antara lain steroid, pil kontrasepsi, 
antiinflamasi nonsteroid atau dekongestan nasal perlu di-tanyakan. 
Keluhan yang dapat timbul pada hipertensi atau 
diabetes perlu ditanyakan dengan teliti. Riwayat pengobatan 
hipertensi dan perkembangan keadaan tekanan darahnya dapat 
dipakai untuk menduga kemungkinan hipertensi sekunder. 
Walaupun hipertensi sekunder yang potensial dapat 
disembuhkan dengan tindakan bedah (potentially sugical 
curable) seperti hipertensi renovaskular, hiperaldosteronisme 
primer, feokromositoma, biasanya jarang dijumpai, akan tetapi 
hal ini perlu dipertimbangkan. Hipertensi golongan ini biasanya 
merupakan hipertensi maligna, secara klinis sesuai dengan 
hipertensi sekunder, respon pengobatan yang jelek, atau pada 
penderita yang semula mudah dikontrol tiba-tiba menjadi sulit 
terkontrol. Kebiasaan minum alkohol, makan makanan yang 
banyak mengandung garam, faktor psikososial dan lingkungan 
yang dapat mempengaruhi tekanan darah perlu diteliti. 
Dalam pengukuran tekanan darah harus diperhatikan cara 
pengukuran, alat ukur, saat pengukuran dan tempat pengukur-an. 
Pemeriksaan pada jantung, mata, ginjal dan susunan saraf 
pusat perlu dilakukan untuk menilai keterlibatan organ tersebut 
pada hipertensi. Penilaian yang mengarah pada hipertensi 
sekunder seperti bruit di abdomen, ginjal polikistik, takikardi 
dan keringat tidak boleh dilupakan. 
Pemeriksaan darah tepi dan urin lengkap, fungsi ginjal, 
kadar gula darah, kalium dalam serum, dan hemoglobin 
glikosilated diperlukan untuk menilai keadaan diabetes dan 
kemungkinan penyebab hipertensi. Pemeriksaan fraksi lemak 
diperlukan untuk menilai faktor risiko kardiovaskular. 
PENATALAKSANAAN 
Pengobatan hipertensi pada diabetes selain bertujuan untuk 
mengontrol tekanan darah harus juga diperhatikan kontrol ter-hadap 
diabetes melitus dan komplikasinya, terutama yang me-nyangkut 
ginjal dan kardiovaskular. Secara garis besar penata-laksanaan 
hipertensi dapat dibedakan atas penatalaksanaan 
non-farmakologik dan penatalaksanaan farmakologik. 
Prinsip pengobatan hipertensi masa kini dengan perhatian 
terhadap pengaruh pengobatan pada kualitas hidup penderita 
harus selalu mendasari sikap kita dalam pemilihan obat. 
Pengobatan non-farmakologik2,5,6,7 
Pengobatan non-farmakologik dapat diberikan sebagai 
terapi tambahan pada pengobatan farmakologik. Pengobatan 
non-farmakologik dapat berupa kontrol terhadap berat badan, 
membatasi asupan garam, atau asam lemak. Pengobatan ini 
biasanya diberikan untuk hipertensi yang ringan. Jenis 
pengobatan yang diberikan diupayakan yang tidak mengganggu 
gaya hidup dan tanpa efek samping. 
Penurunan berat badan sampai dengan batas tertentu 
yang diharapkan merupakan indikasi pengobatan, baik pada 
hipertensi maupun diabetes melitus. Penurunan berat badan 
ini dapat dilakukan dengan pembatasan kalori ataupun olah-raga. 
Pada beberapa penelitian, olah-raga terbukti dapat me-nurunkan 
tekanan darah melui penurunan tahanan perifer. 
Cermin 16 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
Di samping itu olah-raga menimbulkan perasaar. santai yang 
dapat membantu menurunkan tekanan darah. Kedua bentuk 
pengobatan non-farmakologik tersebut sangat sesuai untuk 
pada penderita diabetes karena dapat mengontrol gula darah. 
Pembatasan asupan garam di samping penurunan berat 
badan dapat menurunkan tekanan darah. Akan tetapi perlu 
diperhatikan agar pembatasan garam masih telap dapat diterima 
oleh penderita. Untuk ini perlu diperhatikan kebiasaan makan 
dan jenis makanan yang banyak mengandung garam. 
Penambahan kalium, pemanfaatan ion kalsium dan mag-nesium 
belum seluruhnya meyakinkan sehingga masih belum 
direkomendasi. Pada beberapa penelitian, pemberian diet 
rendah lemak jenuh dibuktikan dapat menurunkan tekanan 
darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular. 
Menghindari rokok, alkohol, hiperlipidemi dan stres yang ber-lebihan 
akan menolong menghindarkan diri dari risiko hipertensi. 
Pengobatan farmakologik2,4,5,6,8 
Apabila dengan pengobatan non-farmakologik belum 
menolong, langkah selanjutnya adalah menggunakan obat. 
Menjadi masalah kapan pengobatan harus dimulai? Mengingat 
adanya pengaruh terhadap kelainan pembuluh darah, hipertensi 
pada diabetes harus mulai diberikan pengobatan farmakologik 
apabila tekanan darah 140 mmHg sistolik atau lebih, setelah 
pengobatan non-farmakologik tidak berhasil. Pertimbangan ini 
sesuai dengan penelitian KNOWLER (dikutip dari 4), yang 
mendapatkan, tekanan darah 145 mmHg sistolik insidensi 
retinopati menjadi dua kalinya. Sedangkan PARVING (dikutip 
dari 4) menunjukkan, dengan pengobatan hipertensi secara 
agresif ternyata dapat menurunkan 57% albuminuri setelah 
pengobatan selama 1 tahun pada penderita muda dengan 
diabetes melitus tipe I. 
Apabila telah disepakati bahwa hipertensi pada diabetes me-litus 
harus diobati, maka masalah kedua adalah obat mana yang 
akan digunakan. Pada prinsipnya disetujui bahwa pengobatan hi-pertensi 
pada diabetes melitus tidak berbeda dengan peng-obatan 
pada hipertensi pada penderita tanpa diabetes melitus. 
Yang perlu mendapatkan perhatian ialah bahwa efek samping 
obat anti-hipertensi dapat menimbulkan gangguan metabolik 
pada diabetes melitus. Oleh karena itu pengobatan harus 
diberikan dengan mengingat kepentingan secara individual dan 
tingkat kelainan metabolik yang ada. 
Golongan diuretik tiasid banyak dipakai pada pengobatan 
hipertensi pada diabetes, karena dihubungkan dengan adanya 
retensi natrium. Akan tetapi, secara epidemiologik terbukti 
dapat meningkatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain. 
Pada penggunaan jangka panjang dapat teijadi gangguan 
toleransi glukosa, kenaikan kadar lemak darah, hipokalemi dan 
gangguan seksual yang pada diabetes melitus kemungkinannya 
menjadi meningkat. Pada diabetes melitus tipe II penggunaan 
tiasid dapat menurunkan sekresi insulin melalui efek 
hipokalemi sehingga akan mengganggu kontrol terhadap 
diabetes. Keadaan ini tidak berpengaruh pada diabetes melitus 
tipe I karena memang teijadi ketidakefektifan sekresi insulin. 
Pada gangguan fungsi ginjal, tiasid menjadi kurang efPktif 
aan pada keadaan ini furosemid dapat digunakan. Golongan ini 
juga menimbulkan efek samping yang kurang lebih sama 
sehingga memerlukan pengawasan yang seksama. Pada peng-gunaan 
diuretik golongan spironolakton perlu dipikirkan 
kemungkinan terjadi penimbunan kalium yang dapat meng-ganggu 
irama jantung. Golongan ini dilaporkan pula dapat 
menimbulkan gangguan seksual sehingga penggunaannya 
jarang dianjurkan. 
Golongan penyekat beta atau betabloker, sering me-ngaburkan 
gejala hipoglikemi dan memperlambat penyembuh-annya. 
Di samping itu dapat pula mengganggu toleransi glu-kosa 
dengan menghambat sekresi insulin. Hal ini lebih banyak 
terjadi pada betabloker golongannon-selektif akibat terjadinya 
hambatan pada resptor beta-2 yang berperan dalam sekresi 
insulin melalui perangsangannya. 
Golongan penyekat alfa yang beredar di Indonesia adalah 
prasozin. Akibat samping yang sering teijadi pada golongan ini 
adalah hipotensi ortostatik. Oleh karena golongan ini tidak 
memperberat gangguan metabolisme lemak pada diabetes 
melitus dan jarang menimbulkan gangguan seksual, obat 
golongan ini dipakai sebagai pengobatan tingkat pertama untuk 
hipertensi pada diabetes melitus. Pada penderita dengan 
gangguan saraf otonom perlu mendapat perhatian khusus 
karena sudah terjadi hipotensi ortostatik. 
Golongan penghambat simpatik seperti reserpin, klonidin, 
alfametildopa, dan guanitidin sering menimbulkan efek sam-ping 
seperti hipotensi ortostatik, dan gangguan seksual. 
Gangguan ini akan makin menonjol pada penderita diabetes 
melitus yang disertai gangguan saraf otonom. 
Golongan vasodilator seperti hidralasin dan minoksidil juga 
sering menimbulkan hipotensi ortostatik, walaupun sedikit peng-aruhnya 
terhadap toleransi glukosa, elektrolit dan kadar lemak. 
Golongan antagonis kalsium dan penghambat ensim 
konversi angiotensin dapat dipakai pada hipertensi pada 
diabetes melitus. Mengenai pengaruhnya terhadap toleransi 
glukosa dan metabolisme insulin masih merupakan kontro-versial. 
Sebagian mengatakan, golongan ini tidak mempe-ngaruhi 
sekresi insulin dan metabolisme glukosa; sedangkan 
yang lain menyatakan, golongan ini mempunyai tendensi 
diabetogenik. 
Penghematan ensim konversi angiotensin selain 
mempunyai efek antihipertensi pada diabetes melitus juga 
mengurangi proteinuri dan mempertahankan fungsi ginjal pada 
nefropati diabetik. Penggunaan obat golongan ini harus hati-hati 
apabila terdapat keadaan hiporenin-hipoaldosteronisme 
dan gangguan fungsi ginjal karena efek sampingnya. 
Hiperkalemi, gangguan fungsi ginjal dan proteinuri dapat 
timbul sehingga perlu pemantauan secara seksama. 
Keuntungannya, golongan ini tidak mempengaruhi toleransi 
glukosa, kadar lemak dan gangguan seksual. Enalapril 
merupakan obat yang baru dari golongan ini dan dinyatakan 
lebih jarang menimbulkan efek samping. 
Berbagai efek samping obat dan kaitannya dengan ganggu-an 
metabolisme glukosa pada diabetes melitus, harus. merupa-kan 
bahan pertimbangan dalam pemilihan obat dan harus selalu 
dikaitkan pengaruhnya terhadap kualitas hidup penderita. 
RINGKASAN 
Telah diuraikan patogenesis, evaluasi klinik dan penata-laksanaan 
hipertensi pada diabetes melitus. Di pasaran tersedia 
banyak sekali obat anti-hipertensi yang telah dibuktikan 
efektifitasnya untuk pengobatan hipertensi. Pengobatan 
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 17
hipertensi pada penderita tanpa diabetes melitus, akan tetapi 
tingkat gangguan metaboliknya perlu mendapatkan perhatian. 
Beberapa pertimbangan dalam pemilihan jenis obat telah di-uraikan. 
Prinsip pengobatan hipertensi masa kini yang tidak hanya 
menurunkan tekanan darah saja, akan tetapi harus mem-perhatikan 
kualitas hidup penderita harus selalu ,,diingat. 
KEPUSTAKAAN 
1. Christlieb AR. Diabetes and Hypertensive Vascular Disease : 
Mecahanism and Treatment. The Am J of Cardiology 1973; 32 : 
592-604. 
2. Peiris AN and Gustafson AB. Current Therapeutic Copcepts in 
Diabetic Hypertension. Diabetes Care 1986; 9 (4) : 409-13. 
3. Yzagoumis M. Aspect of Hypertension, Coexisting Diabetes, Pfizer 
International Inc. publication. 
4. Hamet P. Metabolic Aspects of Hypertension : Hypertension 
Physiopathology and Treatment, 2nd Ed. Jacques Genest, Erich 
Koiw, Otto Kuchel (eds), Mc. Graw-hill Book Company, 1977: 
413-16. 
5. Statement on Hypertension in Diabetes Mellitus, Final Report The 
Working Group in Hypertension in Diabetes, Arch Intern Med 1987; 147: 
830-42. 
6. Sidabutar RP, Wigune P. Hipertensi Esensial dan Penanggulangannya. 
Dalam : Hipertensi Pendekatan Praktis dan Penatalaksanaan, Bintari 
Rukmono, Elias Sulisto (eds), 1986 : 41-61. 
7. Kaplan NM. Non-Drug Treatment of hypertension, Annals of Internal 
Medicine 1985; 102 : 359-73. 
8. Roesma J, Sidabutar RP. Penanggulangan Hipertensi Pada Diabetes 
Melitus dengan Perhatian khusus pada Penghambat Enzim Konverting 
Angiotensin, Simposium Nasional Hipertensi, Aspek Khusus dan Gagal 
Jantung, 29 Agustus 1987, Jakarta. 
Cermin 18 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
Hipertensi dengan Kehamilan 
Dr. Jose Roesme, Dr. Endang Susalit, Dr. Suhardjono, Dr. Pudji Rahardjo 
Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Da/arn 
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Ciptomangunkusumo, Jakarta 
Berdasarkan pengalaman klinik dalam penanggulangan hi-pertensi 
dengan kehamilan di Indonesia dengan penyesuaian 
terhadap lingkungan dan fasilitas yang tersedia bagi sebagian 
besar dokter di Indonesia, dirasakan perlu adanya suatu upaya 
klasifikasi baru mengenai hipertensi dengan kehamilan. Tujuan 
klasifikasi baru ini adalah untuk mempermudah diagnostik 
dengan memberikan beberapa tolok ukur klinik dan untuk me-nyeragamkan 
catatan medik agar dapat membantu epidemio-logi 
dan penanggulangan hipertensi dengan kehamilan dimasa 
depan. 
Dalam Kongres Internasional Society of Hypertension in 
Pregnancy' , diusulkan suatu kiasifikasi klinis yang dirasakan 
cocok untuk negara kita. Makalah ini berusaha menyebarluas-kan 
klasifikasi baru ini untuk mendapatkan umpan balik dari 
pembaca. 
BEBERAPA TOLOK UKUR KLINIS 
Di masa lalu yang segala keadaan yang berhubungan 
dengan hipertensi dengan kehamilan digabungkan dalam istilah 
toksemia kehamilan dengan trias hipertensi, proteinuria dan 
edema. Pada saat ini, istilah toksemia kehamilan tidak dianjur-kan 
lagi, demikian juga berpuluh-puluh istilah lain. Yang di-pakai 
adalah data klinis yang ditemukan pada satu kali peme-riksaan. 
Edema yang penilaiannya sangat subjektif, terutama 
dalam derajat dan patologinya tidak lagi dipakai sebagai tolok 
ukur. Tolok ukur yang dipergunakan hanya tinggal dua, yaitu 
hipertensi dan proteini ria bermakna. 
Hipertensi dinyatakan dan apabila tekanan diastolik sama 
atau lebih dari 90 mmHg, yang diperiksa dua kali berturutturut 
dengan selang waktu 4 jam atau bila tekanan diastolik sama 
atau lebih dari 100 mm Hg pada waktu pemeriksaan. Penilaian 
tekanan darah dilakukan dalam keadaan berbaring miring, 
dalam posisi setengah. duduk (15–30 derajat dari bidang 
mendatar). Tekanan diastolik diukur berdasarkan bunyi 
Korotkoff 4, yaitu pada saat bunyi terdengar melemah. 
Proteinuria bermakna dinyatakan ada bila didapatkan: 
a) derajat 2+ pada urin sewaktu dengan memakai cara clean 
catch atau urin kateter yang diperiksa dengan metode kertas 
reagen (strip) atau metode sulfosalisilat. Pemeriksaan ini harus 
dilakukan dua kali dengan selang waktu 4 jam. 
b) atau didapatkan jumlah protein sama atau lebih dari 300 mg 
pada urin 24 jam yang terkumpul sempurna. Pemeriksaan ini 
cukup dilakukan satu kali saja. 
Kedua tolok ukur ini dapat diperiksa secara objektif dan pada 
umumnya dapat dilakukan di seluruh Indonesia. 
BEBERAPA ISTILAH 
Istilah hipertensi proteinuria dengan kehamilan dipakai 
sebagai istilah umum, yang menggambarkan adanya hipertensi 
proteinuria dan adanya kehamilan tanpa menjelaskan hubung-annya. 
Istilah hipertensi proteinuria pada kehamilan dipakai -bila 
diperkirakan hipertensi dan proteinuria disebabkan oleh he-hamilan 
itu sendiri. 
Pada umumnya keadaan ini timbul setelah kehamilan ber-langsung 
20 minggu atau lebih, waktu persalinan ataupun 2 
hari masa nifas. 
Istilah hipertensi proteinuria dan kehamilan dipakai bila: 
a) Keadaan ini telah diketahui sebelum kehamilan atau 
b) Keadaan ini timbul sebelum kehamilan 20 minggu, dan 
c) Keadaan ini tetap ada setelah habis masa nifas. Jadi hiper-tensi 
/ proteinuria telah ada sebelum hamil dan tetap ada 
sesudah nifas. 
KLASIFIKASI HIPERTENSI DENGAN KEHAMILAN 
1. Hipertensi pada kehamilan. 
2. Hipertensi dan kehamilan 
3. Hipertensi dengan kehamilan tidak terklasifikasi. 
Hipertensi pada kehamilan 
Golongan ini dibagi dalam : 
a. hipertensi pada kehamilan > 20 minggu / persalinan / 2 hari 
masa nifas. 
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 19
b. Proteinuria pada kehamilan > 20 minggu / persalinan / 2 
hari masa nifas. 
c. Proteinuria dan hipertensi pada kehamilan > 20 minggu / 
persalinan / 2 hari masa nifas = (preeklampsia). 
• Hipertensi pada kehamilan adalah : 
hipertensi yang timbul pada kehamilan yang hilang/menjadi 
normotensif pada masa nifas. 
• Proteinuria pada kehamilan bisa disebabkan : 
1. orthostatic proteinuria 
2. pyuria 
3. kehamilan sendiri (preeklampsia) 
4. penyakit ginjal baik akut maupun kronik. 
Orthostatik proteinuria dan pyuria dapat di diagnosis dengan 
mudah, sedangkan proteinuria yang disebabkan kehamilan 
sendiri dan proteinuria pada penyakit ginjal baik akut maupun 
kronik sering barn bisa diketahui secara pasti pasca persalinan. 
Proteinuria ini akan menghilang pada masa nifas. 
Proteinuria dan hipertensi pada kehamilan pada umumnya 
merupakan pertanda preeklampsia. Kadang-kadang nefritis 
akut bisa muncul pertama kali dalam kehamilan dengan gejala 
hipertensi danproteinuria,tapi kejadian ini jarang sekali. 
Hipertensi dan kehamilan 
Keadaan ini meliputi : 
a. hipertensi kronik 
b. penyakit ginjal kronik 
c. hipertensi dengan preeklampsia (superimposed) 
• Hipertensi kronik pada umumnya adalah hipertensi essen-sial 
yang terdapat bersama dengan kehamilan. 
Hipertensi sekunder pun bisa ditemukan sesuai dengan fre-kuensinya 
pada masyarakat. 
• Penyakit ginjal kronik disamping yang jelas dapat 
diketahui, dianggap ada bila ditemukan proteinuria bermakna 
sebelum kehamilan 20 minggu. 
• Timbulnya proteinuria pada hipertensi kronik selama masa 
kehamilan menunjukkan timbulnya preeklampsia, yang disertai 
kenaikan jumlah kematian perinatal. 
Hipertensi dan/atau proteinuria yang tidak dapat 
diklafikasi-kan. 
Hal ini terutama terjadi bila hipertensi dan/atau proteinuria 
didapatkan pertama kali sesudah kehamilan 20 minggu tanpa 
ada didapatkan riwayat kadaan ini sebelumnya. Klasifikasi 
diadakan sesudah persalinan. Bila hipertensi dan/atau protei-nuria 
menghilang setelah persalinan, keadaan ini termasuk 
hipertensi/proteinuria pada kehamilan. Bila hipertensi ini/ atau 
proteinuria tetap ada sesudah 2 hari masa nifas, keadaan ini 
termasuk hipertensi/proteinuria dan kehamilan. 
KEUNTUNGAN KLASIFIKASI BARU 
1. Bersifat murni klinis. 
2. Klasifikasi didasarkan saat timbulnya kelainan sewaktu 
kehamilan, persalinan atau dalam 2 hari masa nifas. 
3. Klasifikasi ini membuka kesempatan untuk reklasifikasi 
selambat-lambatnya sampai akhir masa nifas. 
Klasifikasi ini sangat sederhana praktis dan kami anjurkan 
dipakai oleh para ahli sesuai sikon di Indonesia. 
Masih banyak kelemahan-kelemahan, yang juga terbukti 
dari diskusi-diskusi yang menyertai usulan ini. 
Sub bagian Nefrologi Bagian Penyakit Dalam FKUI 
sedang berusaha mengklasifikasi penderita-penderitanya dan 
mempelajari kelamahan dan keuntungannya usulan barn ini. 
KLASIFIKASI BARU DAN PENGOBATAN 
Klasifikasi baru lebih bersifat suatu upaya mencapai 
kesatuan pendapat dalam mencapai diagnostik dan tidak 
mempunyai pengaruh terhadap pengobatan. Pada umumnya 
semua pengobatan yang telah dianjurkan untuk hipertensi 
dengan kehamilan tetap berlaku3. Malah klasifikasi ini 
berusaha membantu upaya pengobatan dengan: 
– menyesuaikan tolok ukur hipertensi yaitu tekanan darah 
140/90 sesuai dengan tolok ukur WHO yang berlaku umum. 
– bila tekanan diastolik sama atau lebih 110 mmHg cukup 
satu kali pemeriksaan saja untuk diagnosis hipertensi. 
– hipertensi berat didefinisikan sebagai tekanan diastolik 
sama atau lebih dari 120 mmHg sekali periksa atau tekanan 
diastolik sama atau lebih 110 mmHg diperiksa 2x dengan 
selang waktu 4 jam. 
– tekanan diastolik dikur pada fase korotkoff 4 (bunyi me-lemah), 
kecuali bila hal itu tidak jelas baru dipakai korot-koff 
5. 
Dengan cara demikian, pengobatan dapat dilakukan segera 
tanpa perlu menunggu/mencari tolok ukur yang lain yang di-pakai 
oleh klasifikasi terdahulu. 
KEPUSTAKAAN. 
1. Davey, Mac Gillivray. Hypertensive Disordes of Pregnancy. Clin and exper 
Hyper, 1986; BS (1) : 97–133. 
2. Jose Roesma, Sidabutar RP, Hipertensi dengan Kehamilan, suatu upaya 
klasifikasi baru Naskah lengkap KOPAPDI VII, 24–27 Agustus 1987. 
3. Jose Roesma. Pengobatan Hipertensi dengan Kehamilan, MEDIKA 1984. 
Cermin 20 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
Kelainan -Ginjal Pada Penyakit 
Tropik 
Dr. E. Susalit, Dr. Jose Roesma, Dr. Pudji Rahardjo dan Dr. R.P. Sidabutar 
Subbagian Ginjal–Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam 
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta 
PENDAHULUAN 
Penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi, gigitan ular 
dan sengatan serangga bisa mengakibatkan berbagai kelainan 
ginjal. Kelainan bisa terjadi di semua bagian ginjal, tergāntung 
pada jenis dan berat penyakit dan yang paling sering meng-alami 
kelainan adalah glomerulus. 
Sindrom klinik yang bisa terjadi adalah sindrom nefritis, 
.sindrom nefrotik dan gagal ginjal akut. Sindrom nefritis atau 
glomerulonefritis biasanya ringan dan sementara, pada infeksi 
akut misalnya malaria, demam tifoid, tetapi glomerulonefritis 
bisa persisten dan bahkan menimbulkan sindrom nefrotik pada 
infeksi kronik misalnya malaria kwartana dan skistosomiasis. 
Gagal ginjal akut dengan kelainan tubulointerstisial yang 
umumnya nekrosis tubuler, sering terjadi pada infeksi berat 
misalnya oleh malaria falsiparum, leptospirosis atau gigitan 
ular. 
PATOGENESIS 
Terdapat 4 mekanisme yang berperan dalam menimbulkan 
kelainan ginjal, yaitu efek migrasi parasit, proses imunologik, 
reaksi nonspesifik dan nefrotoksisitas langsung. 
Efek migrasi parasit 
Kelainan ginjal bisa terjadi selama migrasi parasit. Reaksi 
jaringan bisa berupa proliferasi, infiltrasi dan pembentukan 
granuloma atau kista. Termasuk dalam mekanisme ini adalah 
kelainan ginjal akibat larva migran dan kista hidatid. 
Pada filariasis, obstruksi pembuluh limfe saluran kencing 
atau ginjal yang mengakibatkan khiluria. 
Proses imunologik 
Mekanisme ini menyebabkan lesi pada glomerulus. Glome-rulonefritis 
proliferatif mesangial sering terjadi pada penyakit 
infeksi, di mana terdapat endapan terutama C3 dan IgM di 
mesangium. Walaupun sukar, Antigen spesifik dapat diperlihat-kan 
di glomerulus. Kadar C3 serum biasanya normal dan ka 
dang-kadang menurun. Circulating immune complex dan anti-bodi 
bisa didapatkan dalam serum. 
Jadi endapan C3 dan imunoglobulin, adanya antigen di 
glomerulus, penurunan C3 serum dan adanya antibodi dan 
circulating immune complex dalam serum merupakan bukti 
peranan mekanisme imunologik. 
Reaksi nonspesifik 
Gagal ginjal akut karena nekrosis tubuler akut pada infeksi 
berat umumnya disebabkan oleh faktor nonspesifik proses 
inflamasi. Faktor-faktor ini adalah hipovolemia, hemolisis 
intravaskuler, koagulasi intra vaskuler, mioglobinuria, hiper-viskositas 
darah, pelepasan katekholamin dan penurunan curah 
jantung. Walaupun pada penyakit tertentu hanya salah satu 
faktor yang menimbulkan gagal ginjal, tetapi umumnya pada 
kebanyakan kasus berbagai faktor nonspesifik di atas ikut 
berperan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan penurunan aliran 
darah ginjal yang menimbulkan iskemi ginjal yang 
mengakibatkan nekrosis tubuler akut dan akhirnya gagal ginjal. 
Infeksi berat (sepsis) sering disertai ikterus dan hiperbili-rubinemia 
ini bisa lebih memperburuk fungsi ginjal. 
Nefrotoksik langsung 
Leptospirosis dan gigitan ular Russel's viper merupakan 
contoh di mana lesi gagal disebabkan oleh nefrotoksik lang-sung. 
Pada percobaan dengan mencit, lepstopira didapatkan di 
glomerulus dan interstisium 3 jam dan di tubulus proksimal 9 
jam sesudah inokulasi lepstropira. Lesi patologis permulaan 
terjadi di glomerulus dan interstitium yang kemudian bisa me-ngenai 
tubulus, merupakan akibat langsung karena adanya 
leptospira. 
Gagal ginjal karena gigitan ular Russel's viper terjadi se-gera 
setelah digigit tanpA adanya perubahan tanda vital. 
LESI GLOMERULLJS PADA PENYAKIT INFEKSI 
Terdapat dua jenis glomerulonefritis pada penyakit 
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 21
infeksi. 
1) Glomerulonefritis ringan. 
Glomerulonefritis jenis ini biasanya terjadi setelah infeksi 
akut. Biasanya didapatkan proteinuria ringan dengan sedikit 
kelainan sedimen urin yang membaik setelah infeksinya diatasi. 
Walaupun jarang, bisa dijumpai hematuria makroskopik. 
Fungsi ginjal normal dan biasanya tekanan darah normal dan 
tanpa edema. Komplemen serum sedikit menurun. Glomeru-lonefritis 
yang sementara ini disebabkan oleh semua jenis 
infeksi akut seperti infeksi oleh virus, bakteri, riketsia, malaria 
falsiparum, leptospirosis, trikhinosis dan salmonelosis. 
Pada . pemeriksaan histopatologis didapatkan hipertrofi 
mesangial atau proliferasi dengan endapan IgM dan C3 di 
daerah mesangial dan sepanjang gelung kapiler. Lesi ini meng-hilang 
dalam 4–6 minggu. 
2) Glomerulonefritis persisten. 
Glomerulonefritis dengan gejala klinik yang lebih jelas, 
terjadi pada penyakit infeksi yang perjalanannya kronik misal-nya 
pada penyakit lepra, hepatitis virus B dan filariasis. Mani-festasi 
klinik berupa proteinuria, sindroma nefritik, sindroma 
nefrotik bahkan bisa sampai gagal ginjal. Pengobatan infeksi 
dengan antimikroba bisa berhasil mungkin juga tidak dalam 
memperbaiki lesi ini. Kortikosteroid memberikan hasil peng-obatan 
yang bervariasi. 
BERBAGAI PENYAKIT TROPIK YANG MENIMBULKAN 
LESI GINJAL 
Malaria falsiparum 
Malaria falsiparum adalah salah satu penyakit tropik yang 
sering dijumpai. Lesi pada ginjal terjadi pada 67% kasus dan 
merupakan penyebab penting gagal ginjal akut di daerah tropik. 
Manifestasi klinik bisa berupa glomerulonefritis ringan atau 
gagal ginjal akut dan kadang-kadang sindroma nefrotik. Pe-meriksaan 
histopatologis memperlihatkan hipertrofi mesangial, 
proliferasi, endapan C3, IgM, kadang-kadang IgG dan endapan 
granuler antigen Plasmodium falsiparum di daerah mesangial 
dan sepanjang dinding kapiler. Electron dense deposits terlihat 
di daerah subendotel dan paramesangium. Ini menunjukkan 
suatu glomerulonefritis imun komplek dengan Plasmodium 
falsiparum sebagai antigen. 
Gambaran histopatologis gagal ginjal akut berupa nekrosis 
tubuler, terutama tubulus konvolutus distal. Nekrosis tubuler 
akut di sini disebabkan oleh berbagai faktor aspesifik yang 
sudah disebutkan di atas. 
Pengobatan malaria falsiparum dengan glomerulonefritis 
ringan cukup dengan obat antimalaria. Bila terjadi gagal ginjal 
yang memerlukan tindakan dialisis, hemodialisis lebih efektif 
daripada dialisis peritoneal, karena dihlysance yang rendah 
akibat aliran mikrosirkulasi yang buruk. 
Malaria kwartana 
Hubungan antara malaria kwartana dan glomerulonefritis 
sudah lama diketahui. Kejadian infeksi Plasmodium malariae 
dengan sindroma nefrotik pada anak di Afrika cukup tinggi. 
Manifestasi klinik bisa berupa glomerulonefritis persisten, 
bahkan lebih sering sindroma nefrotik. Gambaran histopatolo-gis 
berupa glomerulonefritis proliferatif fokal dan difus. Glo-merulonefritis 
membranosa sering pada anak-anak. Kadang-kadang 
terlihat sklerosis fokal mesangial. Endapan IgG, IgM, 
C3 dan antigen Plasmodium malariae yang granuler t,erlihat se-panjang 
dinding kapiler, sedangkan electrone dense deposits 
terdapat di membrana basalis atau di daerah subepitelial. Di 
daerah subendotelial bisa terlihat basement membrane like 
material. 
Glomerulonefritis pada malaria kwartana adalah suatu 
penyakit imun kompleks yang perjalanannya kronik dan 
progresif yang bisa menimbulkan gagal ginjal. Perjalanan 
klinik di sini berbeda dari malaria falsiparum, mungkin karena 
pada malaria kwartana stimulasi antigen kronik, antibodinya 
berafinitas rendah dan perbedaan dalam respon imun. 
Pengobatan glomerulonefritis pada malaria kwartana 
biasanya mengecewakan. Obat antimalaria, kortikosteroid dan 
obat imunosupresif jarang bisa memperbaiki manifestasi klinik 
dan prognosis umumnya buruk. 
Lepra 
Penyakit lepra cukup banyak di daerah tropik. Lesi pada 
ginjal lebih sering pada jenis lepromatosa dan dilaporkan ke-jadian 
glomerulonefritis pada penderita lepra sekitar 31%. 
Manifestasi klinik bisa berupa sindrom nefritik, sindrom 
nefrotik atau proteinuria dan hematuria asimtomatik. Circu-lating 
Immune complex dan .krioglobulin didapatkan pada 
kebanyakan penderita dan komplemen serum rendah. Sindrom 
nefrotik 'bisa timbul akibat amiloidosis, juga bisa karena 
glomerulonefritis membranosa dan glomerulonefritis proli-feratif 
difus. Gagal ginjal kronik akibat amiloidosis merupakan 
sebab kematian terbanyak, dan •kejadian amiloidosis sekunder 
antara 2,4 – 8,4%. 
Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis pro-liferatif 
difus dan proliferatif mesangial. Kadang-kadang be-rupa 
glomerulonefritis proliferatif fokal, kresentik, sklerosing 
dan membranosa. Endapan granuler IgM, IgG, IgA dan C3 ter-lihat 
di mesangium dan sepanjang dinding kapiler glomerulus, 
sedangkan electror..e dense deposits terlihat di daerah mesang-ial, 
subendotelial, intramembranosa dan subepitelial. Hal-hal di 
atas menunjukkan suatu glomerulonefritis imun komplek, 
walaupun belum dijumpai antigen lepra di glomerulus. 
Pengobatan ditujukan pada lepra dan penatalaksaaan 
sidrom nefrotik adalah suportif, sedangkan kortikosteroid tidak 
efektif. 
Hepatitis B 
Glomerulonefritis disebabkan Hepatitis B tidak jarang di 
daerah tropik. Manifestasi klilik berupa sindrom nefritik, 
sindrom nefrotik atau proteinuria asimtomatik. Terdapat 
hematuria mikroskopik dan pada 30% kasus kadar C3 turun. 
HBsAg terdapat dalam serum dan HBeAg dijumpai pada 2/3 
kasus. 
Gambaran histopatologis bisa berupa glomerulonefritis 
membranosa, proliferatif mesangial, mesangiokapiler, proli-feratif 
difus atau glomerulosklerosis fokal. Endapan granuler 
IgG, IgM dan C3 terlihat sepanjang dinding kapiler. HBcAg 
dan HBsAg bisa ditemukan di dinding kapiler dan mesangium. 
Electrone dense deposits terlihat pada membrana basalis glome-rulus 
atau di daerah subendotelial, mesangial dan subepitelial: 
Hal di atas menunjukkan suatu glomerulonefritis imun kom-plek. 
Cermin 22 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
Pengobatan kortikosteroid dan obat imunosupresif 
memberikan hasil yang bervariasi. Pada sampai 50% kasus bisa 
terlihat remisi spontan, yang umumnya terjadi pada 6 bulan 
pertama. 
Filariasis 
Pada filariasis, selain khiluria akibat pbstruksi pembuluh 
limfe juga bisa terdapat glomerulonefritis. Telah dilaporkan 
baik sindrom nefritik maupun sindrom nefrotik. Penderita 
biasanya mempunyai riwayat obstruksi saluran limfe sebelum 
timbul proteinuria dan hematuria. 
Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis pro-liferatif 
mesangial atau membranosa dan didapatkan endapan 
C3 dan IgM di glomerulus. Walaupun antigen filaria belum 
dapat ditemukan, hal di atas menunjukkan suatu glomerulo-nefritis 
imun komplek. Mikrofilaria bisa terdapat dalam 
glomerulus dan pada percobaan binatang bisa terlihat amiloi-dosis. 
Pada glomerulonefritis pengobatan filariasis menghasilkan 
perbaikan klinik, tetapi pada sindrom nefrotik pengobatan 
filariasis tidak memperbaiki gejala klinik. 
Leptospirosis 
Pada leptospirosis lesi pada ginjal terutama kelainan 
tubulointerstisial, sedangkan pada glomerulus sering hanya 
terjadi lesi ringan. 
Manifestasi klinik berupa gagal ginjal akut pada 44–67% 
kasus dan glomerulonefritis ringan. Gagal ginjal akut terjadi 
pada infeksi berat yang disebabkan oleh iskemi ginjal ākibat 
faktor aspesifik yang telah disebutkan di atas. 
Gambaran histopatologis berupa lesi glomerulus yang 
biasanya ringan seperti pada penyakit infeksi akut lain. Pada 
awal penyakit tampak sel polimorfonuklir di glomerulus yang 
terjadi untuk sementara. Endapat C3 tampak di daerah mesa-ngial 
dan gelung kapiler. Kadang-kadang ada endapan IgM di 
daerah mesangial, tapi pada kebanyakan kasus tak terlihat 
imunoglobulin. Pada mikroskop elektron hanya tampak fusi 
foot processus fokal dan penebalan mebrana basalis lokal. Pada 
kasus gagal ginjal akut terlihat nekrosis tubulus baik proksimal 
maupun distal dan di interstisium didapatkan infiltrasi sel 
mononuklir dan edema. 
Pengobatan lesi ginjal terutama ditujukan kepada peng-obatan 
leptospira. Bila terjadi gagal ginjal, pada dasarnya tak 
berbeda dengan pengelolaan gagal ginjal akut pada umumnya. 
Skistosomiasis 
Lesi glomerulus telah dilaporkan pada skistosomiasis yang 
disebabkan oleh S. mansoni dan japonicum. Manifestasi klinik 
berupa glomerulonefritis persisten, bahkan yang sering adalah 
sindrom nefrotik yang perlahan-lahan dan progresif menjadi 
gagal ginjal kronik. Dalam perjalanan penyakitnya yang kronik 
bisa terjadi amiloidosis. Hidronefrosis bisa terjadi akibat 
obstruksi ureter oleh granuloma pada infeksi S. hematobium. 
Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis mem-branoproliferatif 
difus. Juga telah dilaporkan bisa berupa 
glomerulonefritis membranosa, glomerulosklerosis fokal, glo-rnerulonefritis 
proliferatif difus dan glomerulonefritis pro-liferatif 
ekstrakapiler. Endapan IgG, IgM, IgE, IgA, C3 dan 
antigen skistosoma terlihat di daerah mesangial dan sepanjang 
gelung kapiler. Electrone dense deposits terlihat di daerah 
mesangial dan mebrana basalis. Hal di atas sesuai dengan 
glomerulonefritis imun komplek. 
Pengobatan glomerulonefritis dengan obat antiskistosoma 
saja atau dengan kortikosteroid dan obat imunosupresif, mem-berikan 
hasil yang mengecewakan. Hidronefrosis pada infeksi 
S. hematobium bisa membaik dengan obat antiskistosoma. 
Tripanosomiasis 
Infeksi disebabkan oleh protozoa genus Tripanosoma. 
Manifestasi klinik bisa berupa glomerulonefritis atau gagal 
ginjal akut. Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis 
proliferatif dan terdapat endapan granuler IgG, IgM, C3 dan 
antigen tripanosoma di glomerulus yang menunjukkan suatu 
endapan imun komplek. 
Degenerasi tubulus pada gagal ginjal akut disebabkan oleh 
iskemi ginjal akibat faktor aspesifik pada penyakit infeksi. 
Leismaniasis 
Lesi ginjal jarang terjadi pada leismaniasis viseral yang 
disebabkan oleh L. donovani. Manifestasi klinik berupa glo-merulonefritis 
ringan dan pada kasus kronik bisa timbul aini-loidosis. 
Gambaran histopatologis berupa hipertrofi mesangial de-ngan 
endapan IgA, IgG, IgM, C3 dan fibrinogen di daerah me-sangial 
dan sepanjang gelung kapiler. Electrone dense deposits 
terdapat di daerah mesangial, subendotelial dan intra membran. 
Toksoplasmosis 
Lesi glomerulus bisa terlihat pada infeksi T. gondii. Mani-festasi 
klinik berupa glomerulonefritis ringan dan kadang-kadang 
sindrom nefrotik. 
Didapatkan hiperseluler sel endotel dan mesangial dengan 
infriltrasi sel polimorfonuklir. Endapan granuler IgG; IgA, C3, 
fibrin dan antigen toksoplasma didapatkan di daerah mesangial 
dan sepanjang dinding kapiler. 
Trikinosis 
Manifestasi klinik berupa glomerulonefritis ringan. Di-dapatkan 
glomerulonefritis proliferatif mesangial dengan 
endapanIgA, IgG, IgM dan C3 di daerah mesangial dan se-panjang 
gelung kapiler. Ini menunjukkan suatu glomerulo-nefritis 
imun komplek. 
Penyakit hidatid 
Penyakit ini disebabkan oleh larva Ekhinokokus. Kista 
yang terbentuk bisa terjadi di ginjal pada 2,5% kasus. Kista 
yang perlahan-lahan membesar menimbulkan gejala karena 
penekanan terhadap jaringan di sekitarnya. Kadang-kadang 
bisa timbul hipertensi maligna. Kista yang pecah bisa me-nimbulkan 
syok anafilaktik. Keluhan yang biasanya ada adalah 
hematuri dan nyeri pinggang. 
Pengobatan pada kista yang besar dengan operasi. 
Larva migran viseral 
Penyakit ini disebabkan oleh T. canis dan T. cati. Gra- 
Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 23
nuloma yang terbentuk, walaupun jarang bisa terjadi di ginjal. 
Gigitan ular 
Manifestasi klinik akibat toksin gigitan ular bisa berupa 
sindrom nefritik dan kadang-kadang gagal ginjal. Pada ke-banyakan 
kasus, lesi glomerulus ringan berupa proliferasi atau 
hipertrofi mesangial dengan endapan C3 dan IgM. Electron 
dense deposits terlihat di daerah mesangial dan suBendotelial. 
Kadang-kadang bisa juga terjadi glomerulonefritis berat yang 
pada gambaran histopatologis terlihat sebagai glomerulonefritis 
proliferatif difus. 
Gagal ginjal akut bisa terjadi pada gigitan ular dan pada 
pemeriksaan histopatologis didapatkan nekrosis tubulus akut 
dan nekrosis kortek. Lesi pada ginjal ini disebabkan oleh efek 
nefrotoksik langsung toksin gigitan ular. 
Sengatan serangga 
Sindrom nefrotik akibat sengatan lebah telah lama di-ketahui. 
Gambaran histopatologis bisa berupa lesi minimal, 
glomerulonefritis proliferatif mesangial, glomerulonefritis 
membranosa dan glomerulosklerosis. Endapan C3, 1gM dan 
IgG bisa terlihat, tapi belum ada yang melaporkan antigen 
racun lebah di glomerulus. 
Mekanisme yang pasti terjadinya glomerulonefritis pada 
sengatan serangga masih dalam penyelidikan. 
KEPUSTAKAAN 
1. Boonpucknavig V et al. Renal disease in acute Plasmodium falciparum 
infection in man, Kidney Int. 1979;16: 44. 
2. Chugh KS et al. Pathogenesis of renal lesions in snakes bites, pada 
Proceedings of the Second Asian-Pacific Congress of Nephrology, 
Melbourne, 1983, hal. 183. 
3. Hendrickse RG et al. Quartan malarial nephrotic syndrome in children, 
Kidney Int. 1979; 16 : 64. 
4. Houba V. Immunologic aspects of renal lesions associated with malaria, 
Kidney Int. 1979; 16 : 3. 
5. Sitprija V. Mechanisms of renal involvement in tropical diseases, pada 
Proceedings of the Third Colloquium in Nephrology, Tokyo, 1979 hal. 
104. 
6. Sitprija V et al. Tropical diseases and glomerulonephritis, pada Proceeding 
of the Third Asian-Pasific Congress of Nephrology, Singapore, 1986, hal. 
262.
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi
Ginjal dan hipertensi

More Related Content

What's hot

Penggunaan Obat Antiepilepsi pada Gangguan Ginjal
Penggunaan Obat Antiepilepsi pada Gangguan Ginjal Penggunaan Obat Antiepilepsi pada Gangguan Ginjal
Penggunaan Obat Antiepilepsi pada Gangguan Ginjal Ersifa Fatimah
 
Final exam case study(studi kasus)
Final exam case study(studi kasus)Final exam case study(studi kasus)
Final exam case study(studi kasus)tara nusa
 
PPT-Chronic Kidney Disease-Muhammad Lukman Hakim, Amd.Kep
PPT-Chronic Kidney Disease-Muhammad Lukman Hakim, Amd.KepPPT-Chronic Kidney Disease-Muhammad Lukman Hakim, Amd.Kep
PPT-Chronic Kidney Disease-Muhammad Lukman Hakim, Amd.KepHanaYulia4
 
Modul 2 kmb 3 kb3
Modul 2 kmb 3 kb3Modul 2 kmb 3 kb3
Modul 2 kmb 3 kb3Anton Saja
 
Hubungan tingkat kepatuhan minum obat penderita DM tipe 2 terhadap kadar hb a1c
Hubungan tingkat kepatuhan minum obat penderita DM tipe 2 terhadap kadar hb a1cHubungan tingkat kepatuhan minum obat penderita DM tipe 2 terhadap kadar hb a1c
Hubungan tingkat kepatuhan minum obat penderita DM tipe 2 terhadap kadar hb a1cFaradhillah Adi Suryadi
 
Penyakit gagal ginjal kronis
Penyakit gagal ginjal kronisPenyakit gagal ginjal kronis
Penyakit gagal ginjal kronisasfar12
 
147128076 case-ckd-docx
147128076 case-ckd-docx147128076 case-ckd-docx
147128076 case-ckd-docxhomeworkping3
 
Askep klien dengan addison AKPER SUBANG
Askep klien dengan addison AKPER SUBANGAskep klien dengan addison AKPER SUBANG
Askep klien dengan addison AKPER SUBANGSurangga Jaya
 
Henoch
HenochHenoch
HenochKindal
 
Asuhan keperawatan diabetes mellitus AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan diabetes mellitus AKPER PEMKAB MUNA Asuhan keperawatan diabetes mellitus AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan diabetes mellitus AKPER PEMKAB MUNA Operator Warnet Vast Raha
 
Askep stroke2
Askep stroke2Askep stroke2
Askep stroke2yonraen
 
Diabetes melitus by MANTAP bimbel
Diabetes melitus by MANTAP bimbelDiabetes melitus by MANTAP bimbel
Diabetes melitus by MANTAP bimbelRidwansyah Iid
 
Laporan kasus endokrin ulkus diabetikum
Laporan kasus endokrin ulkus diabetikumLaporan kasus endokrin ulkus diabetikum
Laporan kasus endokrin ulkus diabetikumkemal pratama
 

What's hot (20)

Penggunaan Obat Antiepilepsi pada Gangguan Ginjal
Penggunaan Obat Antiepilepsi pada Gangguan Ginjal Penggunaan Obat Antiepilepsi pada Gangguan Ginjal
Penggunaan Obat Antiepilepsi pada Gangguan Ginjal
 
Askep glomerulonefritis akut
Askep glomerulonefritis akutAskep glomerulonefritis akut
Askep glomerulonefritis akut
 
Askep dm
Askep dmAskep dm
Askep dm
 
Final exam case study(studi kasus)
Final exam case study(studi kasus)Final exam case study(studi kasus)
Final exam case study(studi kasus)
 
PPT-Chronic Kidney Disease-Muhammad Lukman Hakim, Amd.Kep
PPT-Chronic Kidney Disease-Muhammad Lukman Hakim, Amd.KepPPT-Chronic Kidney Disease-Muhammad Lukman Hakim, Amd.Kep
PPT-Chronic Kidney Disease-Muhammad Lukman Hakim, Amd.Kep
 
Askep diabetes mellitus
Askep diabetes mellitusAskep diabetes mellitus
Askep diabetes mellitus
 
Modul 2 kmb 3 kb3
Modul 2 kmb 3 kb3Modul 2 kmb 3 kb3
Modul 2 kmb 3 kb3
 
Sindrom Nefrotik
Sindrom NefrotikSindrom Nefrotik
Sindrom Nefrotik
 
Hubungan tingkat kepatuhan minum obat penderita DM tipe 2 terhadap kadar hb a1c
Hubungan tingkat kepatuhan minum obat penderita DM tipe 2 terhadap kadar hb a1cHubungan tingkat kepatuhan minum obat penderita DM tipe 2 terhadap kadar hb a1c
Hubungan tingkat kepatuhan minum obat penderita DM tipe 2 terhadap kadar hb a1c
 
Penyakit gagal ginjal kronis
Penyakit gagal ginjal kronisPenyakit gagal ginjal kronis
Penyakit gagal ginjal kronis
 
Kti sobri musabawah (1)
Kti sobri musabawah (1)Kti sobri musabawah (1)
Kti sobri musabawah (1)
 
147128076 case-ckd-docx
147128076 case-ckd-docx147128076 case-ckd-docx
147128076 case-ckd-docx
 
Askep klien dengan addison AKPER SUBANG
Askep klien dengan addison AKPER SUBANGAskep klien dengan addison AKPER SUBANG
Askep klien dengan addison AKPER SUBANG
 
Sindrom nefrotik
Sindrom nefrotikSindrom nefrotik
Sindrom nefrotik
 
Henoch
HenochHenoch
Henoch
 
Asuhan keperawatan diabetes mellitus AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan diabetes mellitus AKPER PEMKAB MUNA Asuhan keperawatan diabetes mellitus AKPER PEMKAB MUNA
Asuhan keperawatan diabetes mellitus AKPER PEMKAB MUNA
 
Sepsis
SepsisSepsis
Sepsis
 
Askep stroke2
Askep stroke2Askep stroke2
Askep stroke2
 
Diabetes melitus by MANTAP bimbel
Diabetes melitus by MANTAP bimbelDiabetes melitus by MANTAP bimbel
Diabetes melitus by MANTAP bimbel
 
Laporan kasus endokrin ulkus diabetikum
Laporan kasus endokrin ulkus diabetikumLaporan kasus endokrin ulkus diabetikum
Laporan kasus endokrin ulkus diabetikum
 

Similar to Ginjal dan hipertensi

Masalah penyakit ginjal_dan_saluran_air_kemih_di_indonesia
Masalah penyakit ginjal_dan_saluran_air_kemih_di_indonesiaMasalah penyakit ginjal_dan_saluran_air_kemih_di_indonesia
Masalah penyakit ginjal_dan_saluran_air_kemih_di_indonesiaHelmon Chan
 
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.pptAyu Rahayu
 
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt PENYEBAB GAGAL GINJAL AKUT
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt PENYEBAB GAGAL GINJAL AKUT1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt PENYEBAB GAGAL GINJAL AKUT
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt PENYEBAB GAGAL GINJAL AKUTeric214073
 
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.pptretno915824
 
farmakoterapi pada pasien gangguan hati
farmakoterapi pada pasien gangguan hatifarmakoterapi pada pasien gangguan hati
farmakoterapi pada pasien gangguan hatiwitanurma
 
Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases
 Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases
Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseasespjj_kemenkes
 
Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases
Asuhan Keperawatan Chronic Kidney DeseasesAsuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases
Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseasespjj_kemenkes
 
60-Article Text-167-1-10-20200730.pdf
60-Article Text-167-1-10-20200730.pdf60-Article Text-167-1-10-20200730.pdf
60-Article Text-167-1-10-20200730.pdfAkbarBaktiAffandi
 
Asuhan keperawatan pada pasien lanjut usia dengan diabetes mellitus AKPER PEM...
Asuhan keperawatan pada pasien lanjut usia dengan diabetes mellitus AKPER PEM...Asuhan keperawatan pada pasien lanjut usia dengan diabetes mellitus AKPER PEM...
Asuhan keperawatan pada pasien lanjut usia dengan diabetes mellitus AKPER PEM...Operator Warnet Vast Raha
 
OBAT YANG MENGINDUKSI NEFROTOKSISITAS
OBAT YANG MENGINDUKSI NEFROTOKSISITASOBAT YANG MENGINDUKSI NEFROTOKSISITAS
OBAT YANG MENGINDUKSI NEFROTOKSISITASAisyah Asmara
 
Pasien hemodialisa
Pasien hemodialisaPasien hemodialisa
Pasien hemodialisaVerla Audita
 
Pasien hemodialisa
Pasien hemodialisaPasien hemodialisa
Pasien hemodialisaVerla Audita
 
Pasien hemodialisa
Pasien hemodialisaPasien hemodialisa
Pasien hemodialisaDickyrialdi3
 

Similar to Ginjal dan hipertensi (20)

Masalah penyakit ginjal_dan_saluran_air_kemih_di_indonesia
Masalah penyakit ginjal_dan_saluran_air_kemih_di_indonesiaMasalah penyakit ginjal_dan_saluran_air_kemih_di_indonesia
Masalah penyakit ginjal_dan_saluran_air_kemih_di_indonesia
 
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt
 
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt PENYEBAB GAGAL GINJAL AKUT
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt PENYEBAB GAGAL GINJAL AKUT1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt PENYEBAB GAGAL GINJAL AKUT
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt PENYEBAB GAGAL GINJAL AKUT
 
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt
1.-Materi-Prof.-Bambang-1.ppt
 
etika
etikaetika
etika
 
farmakoterapi pada pasien gangguan hati
farmakoterapi pada pasien gangguan hatifarmakoterapi pada pasien gangguan hati
farmakoterapi pada pasien gangguan hati
 
Lapkas gastropati nsaid
Lapkas gastropati nsaidLapkas gastropati nsaid
Lapkas gastropati nsaid
 
Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases
 Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases
Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases
 
Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases
Asuhan Keperawatan Chronic Kidney DeseasesAsuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases
Asuhan Keperawatan Chronic Kidney Deseases
 
60-Article Text-167-1-10-20200730.pdf
60-Article Text-167-1-10-20200730.pdf60-Article Text-167-1-10-20200730.pdf
60-Article Text-167-1-10-20200730.pdf
 
88875407 kmb-jurnal-1
88875407 kmb-jurnal-188875407 kmb-jurnal-1
88875407 kmb-jurnal-1
 
Asuhan keperawatan pada pasien lanjut usia dengan diabetes mellitus AKPER PEM...
Asuhan keperawatan pada pasien lanjut usia dengan diabetes mellitus AKPER PEM...Asuhan keperawatan pada pasien lanjut usia dengan diabetes mellitus AKPER PEM...
Asuhan keperawatan pada pasien lanjut usia dengan diabetes mellitus AKPER PEM...
 
OBAT YANG MENGINDUKSI NEFROTOKSISITAS
OBAT YANG MENGINDUKSI NEFROTOKSISITASOBAT YANG MENGINDUKSI NEFROTOKSISITAS
OBAT YANG MENGINDUKSI NEFROTOKSISITAS
 
Pasien hemodialisa
Pasien hemodialisaPasien hemodialisa
Pasien hemodialisa
 
Pasien hemodialisa
Pasien hemodialisaPasien hemodialisa
Pasien hemodialisa
 
Pasien hemodialisa
Pasien hemodialisaPasien hemodialisa
Pasien hemodialisa
 
Pasien hemodialisa
Pasien hemodialisaPasien hemodialisa
Pasien hemodialisa
 
Pasien hemodialisa
Pasien hemodialisaPasien hemodialisa
Pasien hemodialisa
 
Pasien hemodialisa
Pasien hemodialisaPasien hemodialisa
Pasien hemodialisa
 
NCP_DM_ULKUS.docx
NCP_DM_ULKUS.docxNCP_DM_ULKUS.docx
NCP_DM_ULKUS.docx
 

More from Helmon Chan

We believe in_all_the_prophets_and_the_messengers
We believe in_all_the_prophets_and_the_messengersWe believe in_all_the_prophets_and_the_messengers
We believe in_all_the_prophets_and_the_messengersHelmon Chan
 
Understand quran
Understand   quranUnderstand   quran
Understand quranHelmon Chan
 
The message of_islam
The message of_islamThe message of_islam
The message of_islamHelmon Chan
 
My lord i_love_you
My   lord i_love_youMy   lord i_love_you
My lord i_love_youHelmon Chan
 
Turkish Islam 08
Turkish Islam      08Turkish Islam      08
Turkish Islam 08Helmon Chan
 
Turkish Islam 09
Turkish Islam   09Turkish Islam   09
Turkish Islam 09Helmon Chan
 
Turkish Islam 10
Turkish Islam  10Turkish Islam  10
Turkish Islam 10Helmon Chan
 
Turkish Islam 15
Turkish Islam  15Turkish Islam  15
Turkish Islam 15Helmon Chan
 
Turkish Islam 16
Turkish Islam  16Turkish Islam  16
Turkish Islam 16Helmon Chan
 
Turkish Islam 17
Turkish Islam  17Turkish Islam  17
Turkish Islam 17Helmon Chan
 
Turkish Islam 18
Turkish Islam  18Turkish Islam  18
Turkish Islam 18Helmon Chan
 
Turkish Islam 03
Turkish Islam 03Turkish Islam 03
Turkish Islam 03Helmon Chan
 
Turkish Islam 02
Turkish Islam  02Turkish Islam  02
Turkish Islam 02Helmon Chan
 

More from Helmon Chan (20)

We believe in_all_the_prophets_and_the_messengers
We believe in_all_the_prophets_and_the_messengersWe believe in_all_the_prophets_and_the_messengers
We believe in_all_the_prophets_and_the_messengers
 
Understand quran
Understand   quranUnderstand   quran
Understand quran
 
The message of_islam
The message of_islamThe message of_islam
The message of_islam
 
My lord i_love_you
My   lord i_love_youMy   lord i_love_you
My lord i_love_you
 
Hajj and umrah
Hajj    and  umrahHajj    and  umrah
Hajj and umrah
 
Haji and umrah
Haji   and umrahHaji   and umrah
Haji and umrah
 
Haji and umrah
Haji and umrahHaji and umrah
Haji and umrah
 
Turkish Islam 08
Turkish Islam      08Turkish Islam      08
Turkish Islam 08
 
Turkish Islam 09
Turkish Islam   09Turkish Islam   09
Turkish Islam 09
 
Turkish Islam 10
Turkish Islam  10Turkish Islam  10
Turkish Islam 10
 
Turkish Islam 15
Turkish Islam  15Turkish Islam  15
Turkish Islam 15
 
Turkish Islam 16
Turkish Islam  16Turkish Islam  16
Turkish Islam 16
 
Turkish Islam 17
Turkish Islam  17Turkish Islam  17
Turkish Islam 17
 
Turkish Islam 18
Turkish Islam  18Turkish Islam  18
Turkish Islam 18
 
Turkish Islam 03
Turkish Islam 03Turkish Islam 03
Turkish Islam 03
 
Turkish Islam 02
Turkish Islam  02Turkish Islam  02
Turkish Islam 02
 
Yoruba Islam 01
Yoruba Islam  01Yoruba Islam  01
Yoruba Islam 01
 
Yoruba Islam 03
Yoruba Islam  03Yoruba Islam  03
Yoruba Islam 03
 
Yoruba Islam 05
Yoruba Islam  05Yoruba Islam  05
Yoruba Islam 05
 
telugu islam 13
telugu  islam 13telugu  islam 13
telugu islam 13
 

Recently uploaded

JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxadimulianta1
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptxHendryJulistiyanto
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Abdiera
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptArkhaRega1
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptxGiftaJewela
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxIrfanAudah1
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggeraksupriadi611
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docxbkandrisaputra
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxazhari524
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapsefrida3
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdfsdn3jatiblora
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASKurniawan Dirham
 

Recently uploaded (20)

JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
 
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptxsoal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
soal AKM Mata Pelajaran PPKN kelas .pptx
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar  mata pelajaranPPKn 2024.pdf
2 KISI-KISI Ujian Sekolah Dasar mata pelajaranPPKn 2024.pdf
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
 

Ginjal dan hipertensi

  • 1.
  • 2. No. 47, 1987 International Standard Serial Number: 0125 – 913X Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma Daftar Isi : 2. Editorial Artikel: 3. Diit Protein dan Ginjal 7. Nefropati Imunoglobulin A 11. Pengobatan Dosis Tunggal Pada Infeksi Saluran Kemih 15. Hipertensi Pada Diabetes Melitus 19. Hipertensi dengan Kehamilan 21. Kelainan Ginjal Pada Penyakit Tropik 25. Masalah Penggunaan Diuretika 28. Pemeliharaan Pendengaran di Industri 32. EMIT: Salah Satu Cara Penetapan Obat Dalam Serum Untuk Pemantauan Kadar Terapi 36. Penderita Penyakit Jantung Psikosomatik di Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan 39. Sklerema Neonatorum 42. Terapi Artritis dengan Yetrium – 90 44. Pengobatan Epilepsia dengan Karbamazepin 48. Imunisasi Campak dan Beberapa Permasalahannya 53. Cairan Hemodialisis 55. Hukum & Etika: Tepatkah Tindakan Saudara ? 57. Humor Ilmu Kedokteran 59. Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran 60. Abstrak-abstrak Karya Sriwidodo Alamat redaksi: Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp.4892808 Penanggung jawab/Pimpinan umum: Dr. Oen L.H. Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani, Dr. Budi Riyanto W. Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bam-bang Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR. Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs. Victor Siringoringo. Redaksi Kehormatan: Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro, Dr. R.P. Sidabutar, Prof. DR. B.Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo, Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I. Sadrach. No. Ijin : 151/SK/Dit Jen PPG/STT/1976, tgl.3 Juli 1976. Pencetak : PT. Temprint. Tulisan dalam majalah ini merupakan pandang-an/ pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis
  • 3. Penyakit ginjal dan saluran kencing memang belum mencapai sepuluh penyebab utama morbi-ditas dan mortalitas di Indonesia, akan tetapi kelompok penyakit ini makin lama makin terdapat di banyak jenis pelayanan kesehatan, dari yang primer sampai ke yang tertier. Di negara yang lebih dahulu berkembang dari negara kita, dilihat kenyataan bahwa pola penyakit sering cepat berubah, sejalan dengan perubahan kondisi sosio-ekonomi-budaya. Dikemudian hari, diduga di Indonesia penyakit gin/al dan saluran kencing serta hipertensi akan meningkat dalam jumlah dan kepentingan. Pada edisi. Cermin Dunia Kedokteran kali ini, Redaksi memberi kesempatan pada Sub-bagian Gin/al dan Hipertensi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengisi dengan judul pilihan. Dokter Suhardjono dan kawan-kawan menulis tentang pandangan baru tentang pentingnya diet pada Gagal Ginjal, bukan sa/a untuk sedapat mungkin memelihara homoeostasis, tetapi juga untuk memperlambat laju gaged ginjal ke arah terminal. Nefropati IgA merupakan suatu kelompok nefropati yang baru dikenal dan belum banyak menarik perhatian di Indonesia. Dirasakan perlunya pengetahuan dokter di semua tingkat pe-layanan kesehatan tentang kelompok penyakit ini, karena pengetahuan yang dini akan me-ngurangi pemeriksaan dan pengobatan yang tak perlu sehingga menghindarkan pemborosan dan mempercepat pencegahan progessi bila memungkinkan. Nefropati IgA ini dibahas dokter Markum dan kawan-kawan dengan cara yang memungkinkan pembaca mengenalinya dalam waktu pendek. Dua topik penanggulangan dengan obat yang sangat lazim dilakukan, yaitu dengan obat antimikroba dosis tunggal dan diuretik, dibahas oleh dokter Roemiati Oesman dan dokter Parlindungan Siregar beserta kawan-kawan. Pengetahuan tentang hipertensi dewasa ini sudah mulai. merata dan meningkat di kalangan dokter-dokter di Indonesia dan sudah waktunya pula kita diperlengkapi dengan pengenalan kelompok khusus penderita hipertensi. Hipertensi pada wanita hamil dibahas oleh dokter Jose Roesma dan kawan-kawan. Seperti nyata dari tulisan tersebut, ia mempunyai profil patofisiologi yang berbeda dari kelompok umum dan harus ditanggulangi dengan cara tersendiri pula. Hipertensi pada diabetes melitus memegang peranan penting, karena berperan sebagai penyebab laju perjalanan penyakit ke arah gaga/ ginjal terminal. Profil patofisiologi dan penanganan yang khusus dituliskan oleh dokter Wiguno. Di Indonesia, penyakit tropik dan infeksi seperti kita ketahui memegang peran yang terpenting, tetapi tidak sering kita perhatikan bahwa penyakit tropik dapat menyebabkan nefropati. Dokter Endang Susalit dan kawan-kawan menuliskan dalam garis besar tentang nefropati Penyakit tropik ini. Topik pilihan kami, belum tentu menjadi topik pilihan pembaca, karena itu umpan balik tentang topik dan isi topik sangat kami harapkan. Terimakasih R.P. Sidabutar Cermin 2 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
  • 4. Artikel Diit Protein dan Ginjal Dr. Suhardjono, Dr. Pudji Rahardjo, Dr. Roemiati Oesman, Dr. M.S. Markum Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN Belum lama berselang ini, diit restriksi protein (RDP) pada insufisiensi gijal/gangguan fungsi ginjal (GFG) menjadi topik yang banyak menarik minat dan perhatian para penyelidik di bidang nefrologi. DRP ternyata dapat memperlambat kemun-duran fungsi ginjal pada penderita-penderita yang sudah meng-alami gangguan fungsi ginjal. Hal ini sangat berarti, oleh karena dapat memperlambat penderita masuk ke dalam tahap gagal ginjal terminal (GGT), di mana penderita harus mengalami dialisis kronik atau transplantasi ginjal untuk mempertahankan hidupnya. Selain itu, diit restriksi protein sudah lebih dari 100 tahun dianjurkan untuk mengurangi keluhan-keluhan uremia. Tetapi hal ini kurang populer, sulit dijalankan karena pilihan makanan pada DRP yang mengandung protein nilai biologik tinggi amat terbatas (monoton) dan tidak enak, memerlukan motivasi dan usaha yang besar. Saat ini hal-hal seperti itu dapat diatasi dengan adanya sediaan asam amino esensial (AAE) atau analognya, sehingga diit restriksi protein bisa dijalankan dengan baik. Diit rendah protein ini sebelumnya hanyalah salah satu usaha dari banyak cara untuk memperlambat perburukan seperti yang dapat dilihat pada tabel 11. Kesemua usaha ini disebut sebagai penanganan secara konservatif gagal ginjal. Secara lebih terperinci, masalah terapi konservatif gagal ginjal kronik dapat dilihat di buku Gagal ginjal kronik, diagnosis dan penanggulangannya2. Walaupun pada saat ini bidang dialisis dan transplantasi sebagai terapi pengganti gagal ginjal sudah sangat maju, tetap saja tidak dapat memenuhi banyaknya penderita yang me-merlukan tindakan tersebut. Hal ini antara lain disebabkan keterbatasan biaya dan fasilitas, yang bahkan terjadi juga di negara maju. Oleh karena itu, tindakan pencegahan GGT menempati posisi yang amat penting. Makalah yang singkat ini akan membicarakan DRP pada gangguan fungsi ginjal (insufisiensi ginjal, gagal ginjal kronik) khususnya pada fase preterminal, terutama mengenai peng-aruhnya terhadap progresivitas kemunduran fungsi ginjal, mekanisme, dan aplikasinya. Tabel 1. Prinsip-prinsip pengelolaan gagal ginjal kronik 1. Pastikan berat dan etiologi gagal ginjal kronik. 2. Pengobatan konservatif bila etiologi diketahui dan kliren krea-tinin > 5 ml/menit. a. Rencanakan diit dan jumlah cairan b. Atasi; Hipertensi, anemia, gangguan elektrolit, osteodistrofi, bakteriuria, hiperurikemi berat keluhan gastrointestinal, kelainan neuromuskuler, pruritus. c. Hindari: obat-obatan nefrotoksik, kontras radiologi apabila tak begitu perlu, tindakan instrumen/invasif, kehamilan dengan resiko tinggi, zat toksik. 3. Refer ke pusat Nefrologi jika etiologi tak jelas, khususnya pada keadaan penurunan fungsi ginjal yang cepat, progresif atau TKK < 5 ml/menit. Dikutip dari (1). TKK = Tes kliren kreatinin. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROGRESIVITAS KEMUNDURAN FUNGSI GINJAL3,4,5 Kehilangan sebagian fungsi ginjal Pada tingkat gagal ginjal tertentu, kemunduran fungsi ginjal akan berjalan secara cepat. Hal ini tetap akan terjadi walaupun penyakit atau keadaan yang menyebabkan kerusak- Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 3
  • 5. an ginjal tersebut bervariasi, tergantung antara lain oleh pe-nyakit dasarnya. Pada penderita yang mempunyai kadar krea-tinin 5 mg%, Ahlmen mendapatkan angka rata-rata (median) terjadinya gagal ginjal terminal pada nefropati diabetes melitus dalam waktu 6 bulan, glomerulonefritis 10 bulan, dan 14 bulan pada pielonefritis nonobstruktif. Baik pada manusia ataupun pada binatangpercobaan telah dapat dibuktikan bahwa pada ginjal yang tersisa setelah nefrek-tomi, terjadi perubahan-perubahan fungsional dan struktural. Perubahan ini terjadi dalam rangka mengambil alih fungsi gin-jal yang hilang oleh karena nefrektomi. Proses ini disebut juga sebagai usaha kompensasi (compensatory) atau penyesuaian. Perubahari morfologi yang sering terjadi adalah sklerosis pada glomeruli dan didapatkannya proteinuria. Semakin banyak kehilangan jaringan ginjal, semakin cepat pula proses ke tahap terminal. Dari beberapa penyelidikan didapatkan, perubahan struktur glomerulus yang terjadi setelah nefrektomi adalah disebabkan meningkatnya secara terus-menerus tekanan dan aliran darah ka-piler glomerulus sebagai usaha kompensasi. Dari penyelidikan pungsi mikro ginjal pada keadaan ini, dilatasi arteriol ginjallah yang menyebabkan peningkatan aliran darah ke glomerulus. Pengaruh diit pada ginjal Sejak lama sudah diketahui bahwa protein dapat mem-pengaruhi fungsi ginjal. Anjing yang diganti makanannya dari karbohidrat menjadi daging menunjukkan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomeruler (LFG) sampai 100%. Demikian juga pada tikus yang diberi diit tinggi protein 35%, dibandingkan dengan yang diberi hanya 6%, didapatkan LFG yang 70% lebih tinggi. Addis, yang pertama kali mengajurkan dill rendah protein, menganggap bahwa mengekskresi urea memerukan kerja dari ginjal, sehingga pada gagal ginjal beban kerja ini perlu dikurangi. Pada manusia, yang mendapat nutrisi parenteral, selama pemberian asam amino (sama dengan 150 g protein) menunjukkan peningkatan LFG 50% lebih tinggi dibanding pada saat tidak diberi. Dari berbagai percobaan didapat kesan, penyebab peningkatan perfusi dan filtrasi glomeruler ini agaknya oleh karena kerja horman tertentu atau media lainnya yang diinduksi oleh makanan mengandung tinggi protein. Binatang percobaan yang diberi makan ad libitum terus menerus, (protein tinggi) pada sebagian besar akan terjadi proteinuri dan sklerosis glomeruler. Kejadian ini dapat dihindari dengan pemberian makanan yang selang sehari atau dengan jumlah yang lebih sedikit sampai 1/2 – 2/3 nya. Bukti-bukti ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa peningkatan tekanan dan aliran intra ginjal oleh karena diit tinggi protein berkaitan erat dengan terjadinya sklerosis glomeruler. Walaupun sklerosis glomerulus terjadi pada orang normal dengan meningkatnya usia (10 – 30% dari total glomerulus menjadi sklerosis pada usia 40 – 80 tahun), tetapi hal ini tidak membahayakan karena fungsi ginjal masih mencukupi. Lain halnya apabila pasien yang sudah kehilangan sebagian fungsi girtjal dibebani lagi dengan makan ad libitum (protein tinggi), maka pada keadaan ini proses sklerosisnya akan lebih cepat terjadi. Gambar 1. Skema hipotesis hubungan perubahan kompensasi hedo-dinamik glomerulus pada glomerulus yang utuh dengan perubahan patologik. Modifikasi dari Hostetter, (4) dan Harrisdkk(9). Selain itu masih ada pula faktor-faktor lain yang masih ada hubungannya dengan diit, yang berperan dalam kemunduran fungsi ginjal. 1) Fosfor. Selain dengan mengurangi absorpsi fosfor, dengan restriksi protein, asupan fosfor juga akan menurun. Diit rendah fosfor memperlambat proses perburukan ginjal dengan jalan: a. mengurangi pengendapan garam kalsiumfosfat di ginjal. b. mengurangi efek kompensasi hemodinamik glomerulus. c. menghambat respon inflamasi. 2) Lipid, mempunyai pengaruh terhadap perjalanan penyakit ginjal pada beberapa model/percobaan penyakit ginjal. Bebe-rapa fraksi lemak, terutama LDL, dapat menyebabkan ke-rusakan lebih besar pada struktur mesangial dan glomerular basement membrane. Apabila peningkatan tekanan dan aliran darah glomerular amat penting dalam proses kemunduran fungsi ginjal pada insufisiensi/gagal ginjal, usaha-usaha penurunan tekanan darah glomerular akan dapat memperlambat proses kemunduran ini. Diit rendah protein tampaknya merupakan salah satu usaha yang telah terbnkti. DIIT RESTRIKSI PROTEIN Konsep dasar diit rendah protein adalah memberikan protein dalam jumlah terbatas bersama dengan jumlah energi yang cukup. Dalam DRP ini ada beberapa hal yang perlu mendapat per-hatian: 1) Protein yang diberikan tidak boleh terlalu kurang atau terlalu tinggi. Hal ini dapat dinilai antara lain dengan pengukuran asupan nitrogen. Pada pasien yang stabil keadaannya, terdapat korelasi antara rasio ureum/kreatinin serum dengan asupan nitrogen. Walaupun cara ini cukup akurat dan mudah, ada beberapa Cermin 4 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
  • 6. keadaan yang membuat kesalahan perhitungan, yaitu antara lain pada keadaan katabolik, diuresis kurang dari 1500 ml (produksi ureum meninggi). 2) Harus diperhatikan kecukupan kalori, zat-zat nutrisi lainnya agar tidak mengganggu metabolisme, aktivitas atau per-tumbuhan. Penurunan berat badan, atau bahkan malnutrisi yang dapat terjadi karena diit ini harus dicegah. Sering diperlukan pe-nambahan vitamin. 3) Diit harus dapat diterima atau disesuaikan dengan selera penderita. Banyaknya protein yang diberikan6-7. 1) Pada umumnya protein diberikan sebesar 0,55 – 0,60 gram/kg/hari, yang mengandung protein nilai biologik tinggi minimal 0,35 g/kg. Dengan protein sebanyak ini, keseimbangan nitrogen menjadi netral atau positif, diit dapat diterima penderita, dan makanan cukup bervariasi. Semakin rendah LFG atau TKK, (LFG kurang dari 15 - 25 ml/men.), hasil atau sisa metabolisme yang potensial toksik akan lebih menumpuk, sehingga pemberian protein harus lebih rendah lagi, yaitu 0,4 gram/kg. Atau pada tahap ini diperlukan suplementasi asam amino esensial/analognya. 2) Saat ini sudah banyak dipakai asam amino semi sintetik atau asam keto untuk meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen. Pada tabel 2 dapat dilihat komposisi salah satu pre-parat asam amino esensial yang ada. Tabel 2. Kandungan asam amino semi sintetik.* Isi gram/10 tablet L– Histidine L– Isoleucine L– Leucine L– Lysine acetat as lysine L– Methioninc L– Phenylalanine L– Tryptophan L– Valine 0,55 0,70 1,10 0,80 1,10 0,50 0,25 0,80 Total Total nitrogen 5,80 0,87 *Aminers. (Dari 8) Apabila diberikan suplementasi asam amino esensiil (AAE) atau analognya asam keto, protein makanan cukup diberikan 0,28 g/kg/hari atau antara 16 - 20 g protein/hari, ditambah 10 - 20 gram AAE (20 lebih tablet aminess). Pada diit ini jenis protein yang dipilih dapat leluasa sehingga pilihan makanan menjadi lebih banyak, walaupun jumlah yang dimakan tetap sedikit. Hambatannya adalah harga AAE/asam keto yang cukup mahal. Diit suplementasi/kombinasi ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu antara lain: a) Asam keto tidak mengandung grup alfa amino (Nitrogen) sehingga pembentukan sisa meta-bolisme Nitrogen yang berbahaya berkurang, b) tidak banyak mengandung fosfor atau kalium, c) dapat menormalkan asam amino dalam sirkulasi atau dalam otot dan kelebihan nitrogen dalam badan dapat terpakai. Apabila terdapat proteinuria, maka setiap kehilangan protein diganti dengan protein nilai biologik tinggi sejumlah yang sama. Pada LFG/TKK kurang dari 5 ml/menit DRP sulit dilaksanakan dan umumnya sudah terjadi banyak perubahan biokimiawi dalam tubuh, sehingga diperlukan dialisis (hemo/ peritoneal) atau transplantasi ginjal. Juga tindakan ini diperlu-kan apabila terdapat oliguria (urin < 400 ml/24 jam) yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif. Dari suatu studi prospektif dengan diit seperti di atas, pe-nurunan fungsi ginjal dapat diperlambat 3 - 5 kali lebih lama dari kontrol. Kalori atau energi Untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen, faktor yang penting adalah energi/jumlah kalori dan banyaknya karbohidrat dalam diit. Dari berbagai penyelidikan kalori sebesar 35 Kkal. per hari, sudah cukup memenuhi. Penambahan kalori/energi yang berlebihan yang dimaksudkan untuk menambah pemakaian nitrogen, tak berarti banyak. KESIMPULAN Pada gangguan fungsi ginjal terjadi usaha-usaha untuk mengkompensasi kekurangan ini, yang ditandai dengan hiper-filtrasi, hipertensi, hiperperfusi, yang kemudian dapat menye-babkan kerusakan pada glomerulus, dan pada akhirnya terjadi gagal ginjal terminal. Makanan (protein) juga dapat menimbul- Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 5
  • 7. kan keadaan hiperfiltrasi. Diit restriksi protein pada penderitā yang mempunyai gangguan fungsi ginjal terbukti dapat mem-perlambat kemunduran fungsi lebih lanjut. Protein yang diberi-kan adalah 0,55 – 0,60 gram/kg dengan protein nilai biologik tinggi, atau 0,4 g/kg pada gangguan ginjal yang lebih berat, dengan kalori 35 Kkal/kg, dan penambahan vitamin. Meskipun saat ini masih sangat mahal asam amino esensialsemisintetik atau analognya asam keto, amat bermanfaat pada pelaksanaan DRP. KEPUSTAKAAN 1. Sidabutar RP. Management of chronic renal failure. Medical Progress 1983, Sept. 1–5. 2. Markum MS, Wiguno, Endang Susalit, Roemiati. Penatalaksanaan konservatif gagal ginjal kronik. Dalam; Gagal ginjal kronik. Diagno-sis dan penatalaksanaannya. Bagian Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 1987. 3. Brenner BM, Meyer TW, Hostetter TH. Dietary protein intake and progressive nature of kidney disease. N Engl J Med 1982; 307 : 654 – 659. 4. Hostetter TH. Dietary prrotein and progressive renal disease. The nature of chronic human renal disease. Dalam Woo KT, WU AYT, Lim CH (eds). Priceesing if the 3rd Asian - Pacific Congress of Nephrology, Singapore, 1986. 5. Alfrey AC, Tomford RC. The case for tubulontersititial factors in the progression of 'lanai disease. Dalam Narins (ed) Controver-sies in nephrology and hypertension. New York; Churchil Livingston 1984. 6. Kopple JD. Chronic Renal Failure: Nutritional and non dialytic management. Dalam Bayless TM, Brain C, Cherniac RM. Current Therapy in Internal Medicine, Toronto; B.C. Drecker Inc. 1987. 7. Mitch WE, Walser M. Nutritional therapy of the uremic patient. Dalam Brenner BM, Rector FC. The kidney, 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1986. 8. Furst P, Ahlberg M, Alverstand A, Bergstrom. Principles of essential amino acid therapy in ureimia. Am J Clin Nutr 1987; 31 : 1744 - 1755. 9. Harris RC, Meyer TW, Brener BM, Nephron adaptation to renal injury. Dalam Brenner BM, Rector FC. The Kidney, 3rd ed, Philadelphia : WB Saunders Co. 1986. Cermin 6 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
  • 8. Nefropati Imunoglobulin A Dr. M.S. Markum, Dr. Suhardjono, Dr. Endang Susalit, Dr. Jose Roesma Subbagian Ginjal-Hipertensi, Raglan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Ciptomangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN Di kawasan ASEAN, Singapura-lah yang pertama-tama melakukan penelitian yang meluas terhadap nefropati IgA, yaitu sejak ditemukannya kasus pertama pada tahun 1973. Pada tahun 1974, yaitu pada First Colloquim in Nephrology, Sinniah et al. mempresentasikan hal ini dengan lebih lengkap.l Perhatian terhadap nefropati IgA dicetuskan oleh Berger dan Hinglais pada tahun 1968. Mula-mula para peneliti kurang menaruh minat terhadap publikasi ini, tetapi kemudian makalah mengenai nefropati ini meningkat sekali jumlahnya. Misalnya pada seminar mengenai glomerulonefritis di Australia pada tahun 1972, telah diberikan perhatian khusus untuk nefropati IgA, tetapi masih bersifat inventarisasi masalah; belum nyata ke mana arah penelitian lebih lanjut harus di lakukan.2 Dalam Kongres Nefrologi Asia-Pasifik di Tokyo pada tahun 1979, pembahasan tentang penyakit ini sudah lebih mendalam. Peranan IgA polimer, peranan antigen, peranan OKT4 dan OKT8 dalam patogenesis nefropati IgA mulai diteliti3. Selanjutnya akhir-akhir ini pembahasan tentang nefropati IgA hampir selalu muncul pada tiap majalah nefrologi. Terdapat distibusi yang tidak merata dari nefropati IgA, misalnya di Eropa lebih banyak dari pada di Amerika Serikat. (Eropa 20% dari jumlah biopsi untuk glomerulonefritis primer sedangkan di Amerika Utara 10%)4. Di beberapa negara Asia, nefropati IgA mulai nampak sebagai kelainan yang sering atau paling sering dijumpai. (30% – 40% dari jumlah biopsi ginjal)5. Usaha untuk mencari nefropati IgA di Indonesia pada saat munculnya laporan tentang kelainan ini pada beberapa negara Asia, belum berhasil. Tetapi kemudian tampaklah, kelainan ini menjadi penting pula bagi kita, karena semakin banyaknya dilaporkan nefropati jenis ini. Sidabutar dkk. melaporkan pada tahun 1985 bahwa 9.5% dari pasien glomerulonefritis disebabkan oleh nefropati IgA6 . Diharapkan dengari banyaknya penelitian mengenai nefropati IgA pada pusat-pusat penelitian di Indonesia akan dapat dikumpulkan data yang lebih pasti. Sudah pada tempat-nya kita di Indonesia juga memberikan perhatian khusus terhadap kelainan ini, karena tampaknya nefropati IgA akan mempunyai kedudukan yang sangat penting. DEFINISI Kelainan ini dikenal juga sebagai: − penyakit Berger − nefropati IgA–IgG Berger menamakannya sebagai deposisi IgA yang idioptik pada mesangium. Kelainan ini adalah suatu bentuk glomerulonefritis yang ditandai oleh deposit, terutama IgA, pada setiap glomerulus. Deposit yang difus ini disertai pula dengan kelain-an fokal dan segmental. Penyakit sistematik yang juga disertai dengan deposit IgA perlu disingkirkan, seperti kelainan hepato-bilier dan purpura Henoch–Schonlein. PATOFISIOLOGI8,9,10 Imunoglobulin A Imunoglobulin A (IgA) adalah protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B. IgA merupakan imunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa, sehingga disebut juga sebagai secretory immuno-globulin (SIgA). Bila dilihat luasnya jaringan mukosa pada badan kita, jelaslah, IgA memang peranan penting dalam me-kanisme pertahanan tubuh kita. IgA merupakan pertahanan primer tubuh, terdapat banyak pada air liur, air mata, sekresi bonchus, mukosa hidung, cairan prostat, sekresi vagina dan mukus dari usus halus. Di dalam serum manusia, 85%–90% dari total IgA adalah monomer, sedangkan sisanya berbentuk polimer. Tiap molekul Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 7
  • 9. SIgA terdiri atas 2 unit dasar berantai 4, di mana terdapat komponen sekresi (secretory component) dan rantai J (J-chain). Jadi SIgA adalah suatu bentuk dimer dari IgA, dengan berat molekul 400.000. L = lightchain. H = heavy chain 1 = J–chain SC = secretory component Pembentukan IgA dianggap terjadi pada jaringan lomfoid mukosa, dan sebagian dari IgA ini alan membentuk polimer. Polimerisasi terjadi intraseluler dan dimungkinkan oleh karena adanya rantai J. Bentuk polimer inilah yang dapat membentuk kompleks imun yang terdapat pada deposit di mesangium, karena kompleks imun yang terbentuk mempunyai ukuran yang besar, sehingga tertahan pada mesangium. Mukosa usus adalah tempat utama bagi pembentukan IgA. Setelah masuknya antigen per oral akan terbentuk zat anti yang terdiri dari IgA. Zat anti ini dapat keluar ke dalam lumen usus atau masuk ke dalam peredaran darah yang selanjutnya akan merangsang pembentukan IgG dan IgM. Pada proses eliminasi antigen yang terdapat pada mukosa, IgA tidak mengundang timbulnya reaksi radang yang hebat, karena berfungsi melindungi mukosa yang lembut. Tidak ter-dapat aktifasi sistem komplemen maupun mobilisasi lekosit. SIgA dalam bentuk dimerik yang stabil akan mengikat antigen, membentuk molekul makro yang tidak dapat diserap. Dengan cara ini, virus, bakteri dan antigen makanan dapat dibuang dari tubuh setelah berikatan dengan lendir (mucin), yang di-bentuk terus menerus. Seandainya lapisan mukosa dengan SIgA ini dapat ditembus oleh antigen, akan terjadi reaksi radang karena diaktifkannya pertahanan tubuh, yaitu IgG, IgM dan lekosit. Akibatnya akan terjadi reaksi radang yang hebat. Pendapat bahwa IgA yang beradal dari mukosa dan ke-mudian menjadi deposit pada glomerulus stelah melalui proses polimerisasi adalah pendapat yang paling mudah diterima. Pendapat ini didukung oleh kenyataan, IgA terdapat banyak sekali pada mukosa, ditemukannya nefropati IgA setelah infeksi saluran nafas bagian atas, dan tingginya frekuensi nefropati IgA pada daerah-daerah di mana didapatkan ente-ropati karena gluten. Namun demikian masih diselidiki apakah memang benar IgA yang diendapkan pada glomerulus memang dibentuk oleh sel-sel mukosa. Sudah dipastikan, IgA yang terdapat pada mesangium adalah IgAl, bukan IgA2. Dengan berdasarkan hal ini, diperkirakan pembentukan IgA berasal dari sel limfosit B dari sumsum tulang. Deposisi kompleks imun–IgA pada mesangium4,11 Nefropati IgA adalah suatu penyakit yang berdasarkan pembentukan kompleks imun, yang diendapkan pada mesangium. Pendapat ini didukung oleh gambaran endapan IgA yang tidak merata pada membrana basalis, yang terlihat pada pemeriksaan imunoflouresens. Selain daripada itu, ginjal yang terkena nefropati IgA bila ditransplantasikan kepada resipien yang sehat, maka gambaran nefropati IgA akan menghilang. Kadar IgA pada plasma pasien didapatkan meninggi pada 50% pasien, peningkatan kadar kompleks imun– IgA yang sejalan dengan aktifitas penyakit, peningkatan produksi IgA in vitro oleh limfosit, serta didapatkannya endapan IgA pada kapiler kulit, merupakan data tambahan yang menyokong adanya kompleks imun sebagai dasar nefropati IgA. Namun demikian antigen yang merangsang pembentukan kompleks umun tersebut masih belum dapat dikenal dengan jelas. Beberapa hal yang dapat menjelaskan terjadinya nefropati IgA adalah: 1). Produksi IgA yang berlebihan Hematuria pada nefropati IgA terjadi dalam 1–3 hari setelah infeksi saluran nafas bagian atas. Hal ini jelas membedakan nefropati IgA dengan glomerulonefritis pasca streptokokus. Infeksi virus yang berulang pada mukosa akan menyebabkan pembentukan .IgA lokal yang berlebihan. Rangsangan oleh antigen dari makanan dapat pula merangsang produksi IgA yang berlebihan pada mukosa usus. Selain daripada itu, limfosit tonsil pasien juga menunjukkan kemampuan membentuk IgA yang lebih banyak. Rangsangan kronis antigen ini me-mungkinkan dibentuk endapan pada glomerulus. Diperkirakan kompeks imun terbentuk in situ. 2). Defek pada mukosa Kerusakan mukosa, menyebabkan eliminasi antigen tidak sempurna. Antigen dapat masuk ke dalam peredaran darah. Kemudian dapat terjadi reaksi peradangan yang berdasarkan pembentukan kompleks imun. Contoh dari hal ini adalah hubungan nefropati IgA dengan dermatitis herpetiformis dan enteropati gluten. 3). Eliminasi yang terganggu Penyakit hati, akan menghambat eliminasi kompleks imun-IgA dari sirkulasi. Kompleks imun ini dapat terlihat diendapkan pada sinusoid hati dan kapiler kulit. Dijumpai adanya nefropati IgA pada pasien serosis, men-dukung pendapat ini. 4). Peranan komplemen Kompleks imun–IgA tidak mampu berikatan dengan Cl, se-hingga tidak terjadi pembentukan C3b. Padahal C3b ini ber-fungsi mencegah pembentukan kompleks imun yang berukuran besar. Seperti dibicarakan sebelumnya, kompleks imun yang berukuran besar lebih mudah diendapkan, sehingga timbul kerusakan jaringan. Selain itu C3b ini dapat mengikatkan kompleks imun pada reseptor eritrosit , sehingga memudahkan pengangkutan kompleks imun ini ketempat penghancurannya pada sistem retikuloendotelial. 5). Faktor genetik Keluarga pasien penderita nefropati IgA terbukti mempunyai kemampuan sintesis IgA poliklonal yang meninggi. Penelitian di Jepang menunjukkan kaitan antara nefropati IgA dengan Cermin 8 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
  • 10. sistem HLA, yaitu HLA DR4, sedangkan di Eropa menunjuk-kan golongan lain (HLA B35 dan HLA B12). 6). Faktor geografis Perbedaan frekuensi nefropati IgA di beberapa negara belum dapat diterangkan dengan jelas. Faktor antigen setempat, faktor reaksi terhadap antigen dapat dipertimbangkan. Seleksi dan pencariān kasus yang intensif, indikasi biopsi ginjal yang lebih lunak, tentu akan menghasilkan penemuan kasus yang lebih banyak. GAMBARAN KLINIS4,6,11 Nefropati IgA dapat terjadi pada semua tingkat usia, walaupun jarang ditemukan pada usia < 10 tahun atau> 50 tahun. Laki-laki lebih sering mendapat kelainan ini daripada wanita (6:1). Perbandingan ini untuk Indonesia adalah 1:0,86. Hematuria makroskopik yang berulang terjadi 1–3 hari setelah infeksi saluran nafas, atau setelah suatu infeksi yang tidak jelas merupakan gejala permulaan yang sering dijumpai di Eropa. Perlu difikirkan nefritis pasca streptokokal sebagai diagnosis banding. Disuria dapat pula menyertai hematuria, sehingga mungkin terjadi pemikiran ke arah infeksi saluran kencing. Gambaran gagal ginjal akut mungkin pula terjadi, bersamaan dengan saat terjadinya hematuria makroskopik, disebabkan sumbatan tubulus oleh sel darah merah. Selain itu mungkin ditemukan sindrom nefrotik.Terdapat golongan pasien dengan sindrom nefrotik, tetapi tanpa hema-turia. Gambaran klinik golongan ini mirip dengan kelainan minimal, responsif terhadap steroid, sering relaps, remisi yang menetap setelah siklosfamid. Laporan dari Indonesia adalah 35,71% dengan gambaran sindrom nefrotik, 3,57% dengan glmerulonefritis cepat–pro-gresif dan 60,75% menunjukkan glomerulonefritis tanpa sin-drom nefrotik, 17,85% di antaranya dengan gagal ginjal kronik. Purpura Henoch–Schonlein juga menunjukkan deposit IgA pada mesangium, tetapi ditemukan gejala artralgia, sakit perut dan purpura nontrōmbositopenik. Ada yang menganggap bahwa nefropati IgA adalah bagian dari purpura Henoch– Schonlein. GAMBARAN LABORATORIK4,11 Hematuria makroskopik merupakan kelainan utama yang hilang timbul, tetapi hematuria mikroskopik menetap di antara saat terjadinya hematuria makroskopik. Dismofik eritrosit pada urin menunjukkan bahwa eritrosit berasal dari glomerulus, walaupun mungkin ditemukani bentuk eritrosit normomorfik dan dismorfik. Proteinuria sering (60% dari kasus) diditeksi pada pe-meriksaan urin rutin dengan kadar kurang dari 1 gram/hari. Proteinuria yang berat (nephrotic range) ditemukan pada kira-kira pada 10% penderita. Faal ginjal umumnya masih normal, tetapi gambaran gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik dapat dideteksi pada beberapa pasien. Kadar komplemen juga normal, walaupun dapat dijumpai fragmen C3 yang meningkat, karena proses nefropati IgA berjalan melalui alternate pathway. Peningkatan kadar serum IgA terdapat pada 50% pen-derita, dalam bentuk dimerik. GAMBARAN PATOLOGI ANATOMIK4,5,6,11 Meskipin semua jenis gambaran glomerulonefritis dapat ditemukan pada nefropati IgA, tetapi gambaran proliferasi mesangial adalah gambaran yang paling menonjol. Menarik pula untuk dikemukakan adanya gambaran bulan sabit dan sklerosis fokal. Prognosis lebih buruk bila terdapat gambaran bulan sabit. Sidabutar melaporkan sebagai berikut: Glome-rulonefritis mesangio proliferatif 35,71%, lesi fokal-segmental 32,14%, kelainan minor 17,85% dan sklerosis pada 17,86%. Mikroskop imunofluoresens menunjukkan deposit IgA yang granular mesangium. Endapan IgM dan IgG juga dapat terlihat. Dapat pula dijumpai endapan C3 dan antigen yang berkaitan dengan fibrin. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS DIFERENSIAL4,11 Gambaran klinik seperti telah dibahas di atas dapat mem-bantu untuk menegakkan diagnosis. Biopsi ginjal dengan pe-meriksaan imunofluoresens merupakan cara utama untuk menegakkan diagnosis. Purpura Henoch–Schonlein, SLE, kelainan minimal, infeksi saluran kencing, dapat dipertim-bangkan sebagai diagnosis banding. PROGNOSIS4,5,11 Hipertensi, protenuria, usia lanjut, gambaran bulan sakit pada biopsi, merupakan faktor yang memperburuk prog-nosis. Proses sklerosis dipercepat pada keadaan tersebut. Perjalanan penyakit umumnya lambat, walaupun 10% pasien akan mengalami gagal ginjal kronik dalam 10 tahun, 20% dalam 20 tahun. 20%–30% dari pasien faal ginjalnya akan terganggu pada masa 20 tahun perjalanan penyakitnya. TERAPI4,11,12,13 Sampai saat ini belum ada cara pengobatan yang memuaskan bagi nefropati IgA. Tonsilektomi dapat menurunkan pem-bentukan polimer IgA, mengurangi frekuensi hematuria, tetapi diragukan apakah akan mempengaruhi perjalanan penyakitnya. Mengingat perjalanan penyakitnya yang lambat, maka sulit menjawab pernyataan ini. Steroid dianggap tidak mempunyai efek. Penelitian diaaahkan kepada usaha menekan produksi IgA, mempercepat eliminasi IgA. KEPUSTAKAAN 1. Sinniah R. IgA Nephropathy. Dalam Sulaiman AB, Morad Z (eds). Proc. of the sixth Collouium in Nephrology. Excerpta Medica, 1986. 2. Morel–Morager L, Mary J Ph, Leroux Robert C, Richet G. Mesangial IgA Deposits. Dalam Kincaid Smith P. Mathew TH, Lovell Becker E (eds). Glomerulonephritis. New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley & Son, 1972. 3. Clarkson AR, et. al. Clinical Features and Pathogenesis of IgA Nephropathy. Dalam Oshima K. Yoshitoshi Y,. Hatano M. (eds) Proc of the First Asian Pacific Congress of Nephrology, Tokyo, 1979. Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 9
  • 11. 4. Glassock RI, Adler SG, Ward HI, Cohen AH. Primary Glomerular Diseases. Dalam Brenner BM, Rector FJ (eds). The Kidney. Philadelphia, London, Toronto, Mexico City, Rio de Jeneiro, Sydney, Tokyo: WB Saunders Company, 1986. 5. Woo KT, et al., Clinical and Prognostic Indices of IgA Nephritis. Dalam Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proc of the 3rd Asian Pacific Congress of Nephrology,1986. 6. Sidabutār RP. Lumenta NA, Suhardjono, et al. Glomerulonephritis in Indonesia. Dalam Woo KT, Wu AYT, Urn CH (eds). Proc of the 3rd Asian-Pacific Congress of Nephrology, 1986. 7. Berger J. Indiopathic Mesangial Deposition of IgA. Dalam Ham-burger J. Crosnier J. Grunfeld JP (eds). Nephrology. New York, Paris, London, Sydney, Toronto: Wiley–Flammarion, 1979. 8. Dwyer JM. Selective IgA Deficiency and Autoimmūne Disease. Dalam Franklin EC, et al. (eds). Clinical Immunology Update. New York, Amsterdam, Oxford: Elsevier Biomedical, 1983. 9. Wang AC. The Structure of Immunoglobulins. Dalam Fundenberg HH, et al. (eds). Basic Clinical Immunology. Los Altos: Lange Medical Publication, 1976. 10. Valentijn TM, et al. Circulating and Mesangial Secretory Com-ponent– Binding IgAl in Primary IgA Nephropathy. Kidney Int. 1984; 26: 760– 766. 11. Rose BD. Pathophysiology of Renal Disease. 2nd ed. New York: McGraw–Hill, 1987. 12. Woodroffe AJ. IhA Nephropathy–Experimental Aspects. Dalam Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proc of the 3rd Asian-Pacific Congress of Nephrology, 1986. 13. Lozano L, et al. Tonsillectomy Decreases the Synthesis of Poly-meric IgA by Blood Lymphocytes and Clinical Activity in Patients with IgA Nephropathy. Dalam Devision AM, Guillou PJ (eds). Proc EDTA Vol 22, 1985. Cermin 10 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
  • 12. Pengobatan Dosis Tunggal Pada Infeksi Saluran Kemih Dr. Roemiati Oesman, Dr. Parlindungan Siregar, Dr. Wiguno P, Dr. M.S Markum Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Ciptomangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN Pengobatan infeksi saluran kemih (I.S.K.) masih merupa-kan problem, oleh karena walaupun sudah banyak penyelidikan tentang infeksi tersebut, pendapat bagaimana pengobatan yang optimal masih simpang siur. Prosentase terbesar dari I.S.K. adalah wanita dengan disuri akut. Menurut gejala, tanda dan kelainan urinnya, dapat disebabkan oleh pielonefritis akut, pielonefritis sub akut, I.S.K. bagian bawah yaitu sistitis dan atau uretritis, uretritis Klamidia atau gonokokus, vaginitis, sistitis interstisial dan bukan infeksi. Pada wanita muda yang seksual aktif, penyebab primer dari I.S.K. adalah Eserikhia coli dan sekunder oleh Stafilo-kokus saprofitikust . Pada pria berumur lebih dari 50 tahun yang sering mengalami kateterisasi saluran kemih, penyebab I.S.K. adalah Stafilokokus saprofitikus. Infeksi dengan kuman tersebut dapat sembuh spontan, dan beberapa lainnya akan kambuh. Apabila kuman menetap atau kambuh, harus di-pikirkan ada batu, oleh karena kuman tersebut bersifat pelepas urea serta banyak ditemukan pada urin alkalis. Penyebab kuman pada wanita disuri akut umumnya sama, Eserikhia Coli atau Stafilokokus saprofitikus. Pada wanita, I.S.K. yang bergejala dan barn diketahui untuk pertama kali, untuk ke-perluan pengobatannya antara lain harus ditentukan ada infeksi. Pada populasi banyak, secara praktis dan cepat hanya perlu pemeriksaan urinalisis, yaitu mengetahui adanya piuria dan bukan dengan kultur atau pemeriksaan kepekaan, oleh karena anti mikroba masih peka terhadap Eserikhia Coli atau Stafilokokus saprofitikus. Kecuali pada pasien-pasien yang mendapat infeksi waktu dirawat di rumah-sakit, antara lain akibat kateterisasi saluran kemih bagian bawah, uropati ob-struktif dan gagal ginjal. Pada umumnya sifat dari kuman yang sama, sudah berbeda sehingga tidak lagi peka terhadap semua obat. Sebagian kecil dari wanita dengan disuri akut yang berulang, kultur urin negatif. Hal tersebut terdapat pada sistitis interstitialis,uretritis oleh karena Nesseria gonokokus atau Kla-midia trakomalis. Pada I.S.K. bagian atas perlu pemeriksaan kultur. Tujuan pengobatan I.S.K. adalah menghilangkan gejala, membasmi kuman sebagai sumber infeksi, mencegah kambuh atau reinfeksi dan mencegah kerusakan ginjal. I.S.K. pada orang dewasa jarang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal yang dapat menuju ke gagal ginjal, kecuali apabila ada ob-struksi saluran kemih akibat batu atau kelainan anatomi dari saluran kemih. Berhasilnya pengobatan sangat berhubungan dengan kepekaan obat anti mikroba terhadap kuman yang ada, tingginya kadar obat anti mikroba dalam urin, lokalisasi infeksi ada tidaknya komplikasi saluran kemih seperti kandung kemih urogenik, batu, kelainan anatomik, kateterisasi saluran kemih dan diabetes melitus. Disamping hal-hal tersebut, dipihak lain harus dipikirkan harga obat, efek samping obat, kenikmatan/ kepatuhan pasien, sehingga efektivitas pengobatannya harus disesuaikan pada setiap individu. Pada wanita dengan disuri akut, bila ada piuria, segera harus diobat dengan obat anti bakteri sederhana dosis tunggal. Di sini mungkin sama efek-tifnya dengan pengobatan jangka 7–10 hari. Pada wanita dengan riwayat infeksi berulang, pada waktu ada gejala perlu diobati dosis tunggal 4–5 tablet, masing-masing 80 mg trime-toprim - 400 mg sulfametoksasol. Pada disuri akut tanpa piuria, tidak perlu diobati. Gambar 1. Pendekatan klinik pada wanita dengan disuria Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 11
  • 13. Dari penyelidikan-penyelidikan yang terdahulu belum ada pernyataan yang pasti bahwa pengobatan I.S.K. jangka panjang lebih berhasil daripada pengobatan jangka pendek (1–3 hari). R.R. Bailey dkk2 dalam penyelidikannya mengenai pengobat-an I.S.K. pada orang dewasa dan anak-anak, ternyata amoksil dosis tunggal 3 gram sama efektifnya dengan jangka 5–7 hari. Pada golongan wanita yang seksual aktif, bila ada I.S.K. yang tanpa komplikasi (tidak ada obstruksi saluran kemih, radiologis saluran kemih normal dan fungsi ginjal baik), laju pertumbuhan Kesembuhan pengobatan 5–10 hari adalah 85%, akan tetapi pengobatan jangka panjang tidak menguntungkan, oleh karena; 1). banyak orang berhenti minum obat waktu gejala mem-baik. 2). sukar minum obat 3–4 kali per hari. 3). sukar memakan obat jangka panjang pada kasus tanpa ge-jala. 4). tetap makan obat setelah gejala menghilang. Oleh karena hal tersebut, dipikirkan oleh Bailey kembali memakai dosis tungal pada I.S.K. bagian bawah yang bergejala atau bakteriuria tanpa gejala pada kehamilan trimester pertama dengan nitrofurantoin 100 mg. Ternyata kesembuhan terjadi pada kasus yang tanpa kelainan radiologis saluran kemih, sehingga hasil pengobatan dosis tunggal dapat dipakai untuk membantu memilih pasien yang perlu pemeriksaan radiologis dan urologis. William & Smith3 mengobati bakteriuri pada kehamilan dengan dosis tunggal kombinasi: Streptomisin 1 gram dan sulfametopirason 2 gram. Dari 47 kasus, laju penyembuhan 77%. Ronald dkk4 memakai 0,5 gram kanamisin I.M., laju penyembuhan 92% dari 39 kasus dan 72% pada infeksi saluran atas, Aliran mengobati 100 wanita sistitis superfisialis dengan kanamisin 500 mg I.M. dan hasilnya baik. Daripada memakai dosis ganda 5–14 hari, pengobatan anti-biotika dosis tunggal pada wanita dengan I.S.K. tanpa kom-plikasi mempunyai beberapa keuntungan: lebih menyenangkan, angka kepatuhan tinggi, murah dan efek sampingan yang rendah. Beberapa penyelidik mengatakan, pada wanita dengan I.S.K. tanpa komplikasi, pengobatan dosis tunggal cukup efektif, sedangkan beberapa penyelidik lain menentang pernyataan tersebut. Beberapa penyelidik dalam penyelidikannya mengeluarkan kasus I.S.K. saluran atas dengan pemeriksaan pencucian kandung kemih atau bakteri berselubung antibodi, dan hasil pengobatan dosis tunggal sama efektifnya dengan pengobatan 7–14 hari. Ada pendapat yang tidak setuju pemakaian dosis tunggal, oleh karena kemungkinan infeksi yang kambuh lebih Tabel : Penyelidik. th. Dosis obat Sembuh total % Dosis obat Sembuh total % Guneberg & Brumfitt 1967 Slode & Crowthen 1972 Bailey & Abbort 1977 Bailey & Abort 1978 Fang dkk, 1978 Rubni dkk, 1980 Bai Ley & Blobe, 1990 Grifson dkk, 1981 Greenberg dkk, 1981 Savord Fentok dkk, 1982 Hoovh dkk, 1982 Counts dkk, 1982 Talkoff Rubra dkk, 1983 Pontrer dkk; 1983. Sulfometaksin 2 gr Sulfametoperasin 2 gr Amoksilin 3 gr Trimetroprim Sulfametaksasol Amoksilin 3 gr Amoksilin 3 gr Trimetoprim Sulfametok 0,96 gr 0,96 gr 1,92 gr 2,88 gr Amoksilin 3 gr Sefaklor 2 gr Amok silin 3 gr Amoksilin 3 gr Trimetroprim–sulfa-metoksasol 1,92 g Trimetoprim–sulfa-metoksasol 1,92 gr Sulfonesid M. lgr 22 29 8 17 21 33 13 16 14 18 10 43 8 29 34 16 25 34 10 20 2 38 16 16 16 28 30 71 11 38 41 18 88 85 80 85 95 87 61 100 88 64 33 61 73 76 83 89 amplisilin 500 mg 3x/hari–7hari amplisilin 500 mg 3 x / hari – 7 hari amoksilin 250 mg 3 x / hari – 5 hari Trimetroprim-sulfa-metoksasol 0,96 gr, 2 x/hari-5 hari amoksilin 250 mg 4 x/hari – 10 hari ampisilin 500 mg 4 x/hari – 10 hari Trimetroprim–sulfa metoksasol 0,96 gr 2 x/hari – 10 hari Trimetroprim–sulfa 0,96 gr 2x/hari– 5 hari Sulfametoksasol 500 mg 2 x/hari – 7 hari Sefaklor 250 mg 3 x/hani – 10 hari amoksilin 250 mg 3 x/hari – 14 hari amoksilin 500 mg 3 x/hari – 7 hari Trimet–sulfamet 0,9 gr 2x/hani–10 hari amoksilin 520 mg 3 x/hari – 7 hari 22 25 5 17 21 26 25 15 28 18 67 10 36 14 25 29 10 20 22 28 25 16 31 22 91 12 40 15 88 86 50 85 100 93 100 94 90 82 74 83 90 93 Cermin 12 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
  • 14. sulit, tidak semua anti mikroba kemanjurannya sama, me-nambah ongkos untuk pemantauan berhasilnya pengobatan dengan pemeriksaan kultur urin dan tidak adanya pemeriksaan yang baku untuk memilih kasus yang paling baik untuk dosis tunggal. Lalu penyembuhan dnegan dosis tunggal sangat varia-bel, dari 30% (memakai siklasilin) sampai 85 – 90% (memakai trimetroprim – sulfametoksasol Oleh karena, pendapat yang simpang siur tersebut, I.T. Philbrick dkk5 mencoba meneliti sebab musabab perbedaan pendapat dari 14 penyelidik (Lihat tabel). 12 dari 14 penyelidikan di atas berkesimpulan, dosis tunggal sama efektifnya dengan dosis ganda. Menurut J.T. Philbrick dkk, dari tabel di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Efisiensi pengobatan dosis tunggal pada kasus wanita de-ngan I.S.K. tanpa komplikasi tidak terbukti. 2) Semua penyelidik memakai jumlah kasus yang kurang dan contoh kasus tidak adekuat, sehingga salah bila ditafsirkan bahwa dosis tunggal sama efektif dengan dosis ganda. Pada ke-nyataannya, bila dibandingkan dengan dosis ganda, amoksil dosis tunggal 3 gram peroral kurang efektif. Kesimpulan ter-sebut disokong juga oleh penyelidikan yang lebih baru dengan memakai kasus jumlah besar yang diobati dengan amoksil atau siklasilin6, penyelidikan terpaksa dihentikan oleh karena laju penyembuhan yang rendah. Bila dilihat dalam satu bulan, laju penyembuhan spontan pada I.S.K. tanpa komplikasi , kira-kira 50%, dan laju penyembuhan dengan amoksildosis tunggal 69%. Jadi hanya sedikit perbaikannya, serta jauh lebih rendah dari laju penyembuhan dosis ganda amoksil atau ampisilin yang 84%. Dosis tunggal sulfametoksasol – trimetroprim 2 atau 3 tablet dengan kekuatan ganda, agaknya sama efektifnya dengan dosis ganda. Pada penyelidikan dengan sefaklor,s dosis tunggal tidak efektif. 3) Dengan dosis tunggal, kemungkinan berkurangnya efek samping juga tidak terbukti. Pada setiap penyelidikan di-laporkan bahwa tidak ada perbedaan efek samping di antara kedua macam pengobatan ataupun efek samping lebih tinggi pada pengobatan dosis ganda. 4) Pemeriksaan bakteri berselubung antibodi sering dipakai untuk mengetahui berhasilnya pengobatan. Pasien dengan bakteri berselubung antibodi yang negatif akan berhasil baik dengan dosis tunggal. Tetapi sayang pemeriksaan tersebut tidak selalu dapat dikerjakan dan metode pemeriksaannya tidak baku, sehingga hasil pemeriksaan kurang dapat dipercaya. 5) Kesimpulan kegagalan dosis tunggal, jangan dipakai pada kasus dengan infeksi ginjal yang menjalar ke parenkim. Sem-buhnya infeksi dengan dosis tunggal, berarti kasus tersebut ti-dak perlu diperiksa radiologik ataupun sistografi, oleh karena kegagalan hanya 30%; sehingga tidak praktis untuk melakukan pemeriksaan tersebut, yang mahal dan memerlukan waktu. 6) Pada I.S.K., jangka waktu pengobatan yang optimal belum diketahui. Penelitian baru yang lain membandingkan pemakaian dosis tunggal 3 hari dan 7 hari pada wanita tidak hamil, dari sosio ekonomi rendah. Dengan 3 hari trimetoprim–sulfame-toksasol, laju pertumbuhan 88% dengan pemantauan 4 minggu, dengan sefadroksil dosis tunggal, 25% sembuh, 3 hari sefa-droksil, 58% sembuh, 7 hari sefadroksil, 70% sumbuh dan dosis tunggal trimetoprim – sulfametoksasol 65% sembuh. Baik pemeriksaan bakteri berselubung antibodi maupun gam-baran kepekaan tidak dapat dipakai sbagai ramalam pengobat-an. 10 Untuk memilih pengobatan, harus dilakukan anamnesis tentang faktor risiko sebelum I.S.K., lesi anatomi ginjal, di-abetes, tanda dan gejala yang mengarah ke vaginitis, gejala dan tanda penyakit saluran kemih atas, Pengobatan dosis tunggal yang paling sederhana dengan trimetoprim–sulfametoksasol 320 mg – 1600 mg, atau 3 gram amoksilin. Pengobatan mandiri dosis tunggal Selain daripada itu diteliti kegunaan pengobatan pencegahan pada wanita dalam waktu 1 tahun timbul serangan I.S.K. bagian bawah (reinfeksi lebih sering daripada relaps , oleh karena pengobatan I.S.K. yang tidak adekuat) Obat-obatan yang dipakai adalah nitrofurantoin, metanamin-madelat, trimetroprim dan trimetoprim–sulfametoksasol. Pencegahan dapat diberikan setiap hari selama 6 bulan atau lebih11,12 ,atau diberikan hanya sesudah bersenggama13. Satu penyelidik memakai dosis tunggal harian trimetoprim–sulfametoksasol, dinyatakan hasilnya efektif dan murah untuk wanita dengan infeksi minimal 3 kali dalam setahun14. Pada wanita dengan infeksi berulang, di mana dia sendiri dapat dengan cermat mendeteksi gejala dini, dianjurkan segera mengobati sendiri dengan dosis tunggal trimetoprim 320 mg sulfametoksasol 1600 mg. Cara tersebut dapat menyembuhkan infeksi secara klinis dan bakteriologis15. Pengobatan dosis tunggal di sini menarik, oleh karena efektif, murah, tidak ada efek samping obat dan pengaruh ke flora enterobakteri di dubur, uretra dan vagina; lebih mudah memilih anti-biotika yang masih peka, dan tidak perlu menentukan lamanya pengobatan yang optimal. E.S. Wong dkkls menyelidiki 38 wanita dengan I.S.K. berulang, dibēri pengobatan sendiri intermiten dosis tunggal trimetoprim–sulfametoksasol. Semua gejala klinis infeksi tersebut adalah sistitis akut tanpa komplikasi, 90% dari kuman sensitif terhadap trimetroprim–sulfametoksasol dan kasus dengan bakteri berselubung antibodi hanya 10%. Dengan ada-nya tiga hal tersebut, diharapkan bahwa pengobatan dosis tunggal akan efektif10,16 Mengobati mandiri secara intermiten, pada umumnya dapat lebih cepat daripada pasien harus datang ke dokter, sehingga mungkin dapat mencegah infeksi beranjak ke ginjal. Dari 38 kasus, 30 berhasil, 2 gagal dan 3 kambuh yang kemudian sembuh dengan pengobatan jangka 10 hari. Gambar 2 : Pendekatan klinik pada wanita dengan riwayat I.S.K. berulang Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 13
  • 15. Dengan pengobatan profilaksis, laju infeksi 0,2 kali serangan pertahun, dan 2,2 kali serangan pertahun pada pengobatan mandiri. Ongkos perkwartal pengobatan profilaksis dan man-diri sama, lebih murah daripada pengobatan konvensional untuk wanita dengan 2 atau lebih infeksi pertahun. Pengobatan profilaksis sangat berguna untuk wanita dengan infeksi 3 atau lebih pertahun, dan pengobatan mandiri untuk wanita dengan infeksi 1–2 pertahun. Ringkasan 1) Prosentase terbesar pada I.S.K. adalah wanita dengan disuri akut. Pada umumnya penyebab terbesar dari I.S.K. tersebut primer oleh Eserikhia Coli dan sekunder oleh Stafilokokus saprofitikus. 2) I.S.K. tanpa komplikasi atau dengan risiko rendah terhadap kerusakan ginjal, berarti tidak ditemikan: kelainan struktur saluran kemih, kelainan neurologis saluran kemih, benda asing dalam saluran kemih, diabetes melitus. 3) Dari sudut epidemiologis, pengobatan I.S.K. baru diberikan bila ada piuria. 4) Tujuan pengobatan pada wanita dengan I.S.K. tanpa kom-plikasi menghilangkan gejala dan mengurangi infeksi kambuh, sehingga pengobatan pencegahan ditunjukkan hanya pada serangan yang bergejala. 5) Bakteriuria tanpa gejala tidak perlu diobati. Tetapi pada kehamilan, wanita dengan infeksi yang sering berulang dan pria dengan infeksi yang menetap, perlu diobati. 6) Dalam praktek sehari-hari, pengobatan pada wanita dengan I.S.K. bagian bawah tanpa komplikasi cukup dengan dosis tunggal. Follow up dengan kultur sesudah 4–7 hari pengobatan. 7) Keuntungan pengobatan dosis tunggal: lebih murah, kepa-tuhan obat lebih tinggi, lebih menyenangkan, dan efek samping lebih kecil. 8) Pengobatan dosis tunggal cukup efektif, tetapi kurang efektif daripada dosis ganda beberapa hari. 9) Kegagalan pengobatan dosis tunggal berarti ada komplikasi atau I.S.K. bagian atas dengan komplikasi. Di sini barn perlu pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan urologis. 10)Infeksi berulang pada wanita, 80% oleh serotipe baru dari Eserikhia Coli atau bakteri usus yang lain dan 20% oleh kuman seperti semula. 11)Pada wanita dengan infeksi berulang 1–2 kali pertahun, dianjurkan pengobatan mandiri dosis tunggal. 12)Obat-obatan yang umum dipakai: trimetoprim–sulfa-mctoksasol, furadantin, urfadin, ampisilin, asam nalidisik. KEPUSTAKAAN 1. Savard-Denton M, fenton BW, Roller LB dkk. Single dose amoxy-cillin therapy with follow up urine culture. Am J Med 1982; 73 : 808–813. 2. Bailey RR, Abbott BD. Treatment of urinary tract infection with a single dose of amoxycillin. Nephron. 1977; 18 : 316–320. 3. Williams JD, Smith EK. Single dose therapy with srteptomycin Ind sulfametopyrazone for bacteriuria during pregnancy. Brit Med J 1970; 2 : 651–657. 4. Ronald HR, Boutros P, Mourtada H. Bacteriuria localisation and response to single dose therapy in women. JAMA 1976; 235 : 1854– 1856. 5. Philbrick JT, Bracikowski JP. Single dose antibiotic treatment for uncomplicated urinary tract infections. Arch, Intern Med. 1985; 145 : 1672–1678. 6. Hooton TM, Running K, Stamm WE. Single-dose theraphy for cystitis in women. JAMA 1985; 253 : 387–390. 7. Mabeck CE. Treatment of uncomplicated urinary tract infection in nonpregnant women. Postgrad Med J, 1972; 48 : 69–75. 8. Greenberg RN, Sanders CV, Lewis AC dkk. Single dose cefaclor therapy of urinary tract infection. Am J Med 1981; 71 : 841–845. 9. Sheehan G, Harding BKM, Ronald AR. Advances in the treatment of urinary tract infenction. Am J Med 1984; 76 : 141–147. 10. Rubbin RH, Fang RST, Wagner KF dkk. Single dose amoxcycillin therapy for urinary tract infection : Multicantertrial using anti-body coated bacteria localization technique. JAMA 1980; 244 : 561–564. 11. Harding BK, Ronald AR. A controlled study of anti microbal prophylaxis of recurrent urinary infection in women. N Engl J Med 1974; 291 : 597–601. 12. Stamey TA, Condy M, Mihara G. Prophylactic efficacy of nitro-furation macrocrustals and trimethoprin–sulfamethoxazole in urinary infection. N Engl J Med 1977; 296 : 780–783. 13. Vosti KL. Recurrent urinary tract infection prevention by pro-phylactic antibiotics after sexual inter–course. JAMA. 1975; 231 : 934–940. 14. Stamm WE, Mc Kevitt M, Counts GW dkk. Antimicrobial pro-phylaxis of urinary tract infection cost effective ?. Amm intern Med. 1981; 94 : 251–255 15. Wong ES, Kevitt MM, Running dkk. Management of tercurrent urinary tract infentions with patient administered single dose therapy. Am of hit Med 1985; 102 : 302–307. 16. Counts GW; Stamm WE, Mc Kevitt M dkk. Treatment of cystitis in women' with a single dose of trimethiprin–sulfamethoxazole. Rev infect Dis. 1982; 4 : 484–490. 17. Bailey RR. Single dose therapy of urinary tract infection–Sydney, ADIS health Science Press, 1983. 18. Erickson K, Kjellberg L, Henning C. Single dose antibiotics for urinary infection. Lancet 1981; 1 : 331. 19. Fang LST, Talkoff RN, Rubin RH. Efficacy of single dose and conventional amoxycillin therapy in urinary tract infection localized by the antibody–Coated bacteria technic. N Engl J Med 1978, 298 : 413–416. 20. Kuning CM. Duration of treatment of urinary tract infections the Am J of Med 1981; 71 : 849–854. 21. Lawrence RM. Current theraphy of urinary tract infections and pyelonephritis. Seminar in Nephrology : 6:3. 1986, 241–250. 22. Sellon M., Cooke DJ, Gillespie WA dkk. Micrococcal urinary tract infections in young women. Lancet 1975; 2 : 570:-575. 23. Treatment of urinary tract infections Med. Lett 1981; 23 : 69–70. 24. Soney P, Polk BF. Single dose anti–mikrobial therapy for urinary tract infections in women Rev infect des. 1982; 4 : 29–34. Untuk segala surat-surat, pergunakan alamat: Redaksi Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Cermin 14 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
  • 16. Hipertensis Pada Diabetes Melitus Dr. Wiguno P, Dr. M.S. Markum, Dr. Roemiati 0, Dr. R.P. Sidabutar Sub Bagian Gin/al dan Hipertensi Bagian Ilmu Penvakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Ciptomangunkusumo, Jakarta Diabetes melitus dan hipertensi adalah dua keadaan yang berhubungan erat dan keduanya merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan penanganan yang seksama. Insidensi hipertensi pada penderita diabetes melitus lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penderita tanpa diabetes melitus, dan pada beberapa penelitian dibuktikan, kenaikan tersebut sesuai dengan kenaikan umur dan lama diabetes. Diperkirakan 30– 60% penderita diabetes melitus mempunyai hubungan dengan hipertensi1,2,3. Hipertensi pada diabetes melitus meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta berperan dalam mekanisme terjadinya penyakit jantung koroner, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan pembuluh darah serebral dan terjadinya gagal ginjal. Kelainan pada mata akibat diabetes melitus yang berupa retinopati diabetik juga dipengaruhi oleh hipertensi..Oleh karena itu, hipertensi pada diabetes melitus perlu ditanggulangi secara seksama. Untuk tujuan ini diperlukan pengetahuan mengenai patogenesis hipertensi pada diabetes melitus, dan berbagai obat anti-hipertensi serta pengaruhnya terhadap diabetes melitus. PATOGENESIS1,3,4 Hipertensi pada diabetes melitus dapat dilihat dalam beberapa bentuk, yaitu1: 1. Hipertensi diabetik 2. Hlpertensi sistolik 3. Hipertensi esensial. Hipertensi diabetik adalah bentuk hipertensi renal yang ter-jadi pada nefropati diabetik yang sering ditemukan pada diabetes melitus tipe I. Hipertensi sistolik merupakan akibat terjadinya aterosklerosis pada diabetes melitus. Sedangkan hipertensi esensial merupakan bentuk yang paling sering di-jumpai dan biasanya merupakan komplikasi akhir dari diabetes melitus. Laporan final dari "Working Group on Hypertension in Diabetes", membagi hipertensi pada diabetes melitus dalam beberapa bentuk, seperti terlihat pada tabel5. Tabel. Hipertensi pada penderita dengan DM *) 1. Potentially surgical curable 2. Nephropathy clinically absent Essential hypertension Isolated Systolic hypertension 3. Nephropathy present Renal hypertension 4. Neuropathy present Supine hypertension with orthostatic hypotension *) dikutip dari 5 Dalam membicarakam patogenesis hipertensi pada diabe-tes melitus dapat ditinjau dari berbagai segi, misalnya peran ginjal, sistem pembuluh darah dan jantung, sistem renin-angiotensin- aldosteron, sistem susunan saraf otonom, dan peran berbagai hormon. Kelainan histopatologik pada ginjal akibat hipertensi dapat mengenai glomerulus, tubulus, interstitium, dan arteriol. Kelainan patologik yang paling sering dijumpai adalah lesi nodular yang mengenai mikrovaskular dan lesi glomerular yang difus. Kelainan ini lebih banyak dijumpai pada diabetes melitus tipe I dan dikenal dengan lesi Kimmelstiel Wilson. Keadaan ini dihubungkan dengan terjadinya hialinisasi glo-merulus yang mengakibatkan penurunan kliren air, peninglcat-an volume intravaskular, dan hipertensi. Gambaran klinik yang dijumpai adalah proteinuri, hipertensi, dan gagal ginjal. Peningkatan tekanan darah yang terjadi sejalan dengan berat-nya kelainan pada ginjal. Dengan adanya pielonefritis yang sering dijumpai pada diabetes melitus, akan memperberat glomerulosklerosis, dan kemungkinan berperan secara ber- Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 15
  • 17. makna pada patogenesis hipertensi. Terdapat 2 (dua) teori yang dapat menerangkan mekanis-me terjadinya kelainan mikrovaskular pada glomerulosklerosis diabetik, yaitu teori genetik dan teori metabolik yang keduanya saling kontroversial. Teori genetik menyatakan, terjadinya mikroangiopati disebabkan oleh sifat genetik (genome) dari vaskular sendiri dan tidak dipengaruhi oleh faktor yang ber-hubungan dengan defisiensi insulin. Hal ini dibuktikan bahwa lesi mikrovaskular dijumpai pada beberapa penderita tanpa kelainan glukosa dan terjadinya lesi awal pada glomerulos-klerosis diabetik yang berupa penebalan membrana basalis jarang dijumpai pada awal penyakit. Teori metabolik menyata-kan, terjadinya mikroangiopati secara langsung oleh karena kelainan metabolik akibat defisiensi insulin baik secara absolut maupun relatif. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah obesitas. Obesitas dijumpai pada 80% penderita diabetes melitus tipe II dan diduga faktor ini juga mempengaruhi terjadinya hipertensi pada diabetes melitus3. Kelainan pada diabetes melitus yang klasik adalah mikro-angiopati spesifik dan makroangiopati yang tidak spesifik yang mempunyai andil terhadap terjadinya hipertensi. Pada hiper-tensi dan diabetes melitus terjadi proliferasi otot polos pem-buluh darah akibat kerusakan pembuluh oleh kadar hormon dan lemak dalam sirkulasi yang abnormal, dan atau intervensi trom-bosit yang menimbulkan hiperagregasi. Keadaan tersebut me-rupakan latar belakang terjadinya aterosklerosis, dengan akibat terjadinya hipertensi sistolik pada penderita diabetes melitus. Hubungan antara hipertensi pada diabetes melitus dengan sistem renin-angiotensin-aldosteron dilaporkan kontroversial oleh beberapa peneliti. Pada umumnya menyatakan, pada awal penyakit aktifitas renin plasma (PRA) masih normal atau meningkat, sedangkan pada akhir penyakitnya didapatkan penurunan respon renin terhadap efek stimulasi oleh perubahan posisi, furosemid, diaksosid dan angiotensin II. Pada umumnya peninggian tekanan darah tidak diikuti oleh peningkatan renin dan aldosteron. Keadaan inilah yang dapat menerangkan bahwa hipertensi maligna jarang diju.mpai pada penderita diabetes melitus2,3. Adanya kadar katekolamin yang rendah pada penderita hipertensi dan diabetes melitus kemungkinan merupakan salah satu yang dapat menerangkan keadaan ini. Dalam keadaan basal, kadar katekolamin ditemukan normal pada penderita diabetes melitus. Akan tetapi perang-sangan dengan perubahan posisi dan aktifitas fisik isometrik menunjukkan kelainan dalam peningkatan katekolamin. Katekolamin diketahui mempengaruhi pelepasan renin, sehingga adanya penurunan kadar katekolamin bertanggung jawab terhadap penekanan sistem renin-angiotensin-aldosteron. Beberapa hormon diduga mempunyai pengaruh terhadap ter-jadinya hipertensi pada diabetes melitus. Hormon yang di-ketahui mempunyai peran terhadap mekanisme kontrol tekanan darah adalah PRA, katekolamin, kortisol dan growth hormone. EVALUASI KLINIK DAN DIAGNOSTIK5,6 Pada prinsipnya, evaluasi hipertensi pada diabetes tidak berbeda dengan evaluasi hipertensi pada penderita non-diabetes, akan tetapi berbagai bentuk hipertensi yang dapat terjadi pada diabetes perlu diperhatikan. Anamnesis yang teliti mengenai riwayat hipertensi atau diabetes dalam keluarga, riwayat penggunaan obat yang dapat meningkatkan tekanan darah atau gula darah antara lain steroid, pil kontrasepsi, antiinflamasi nonsteroid atau dekongestan nasal perlu di-tanyakan. Keluhan yang dapat timbul pada hipertensi atau diabetes perlu ditanyakan dengan teliti. Riwayat pengobatan hipertensi dan perkembangan keadaan tekanan darahnya dapat dipakai untuk menduga kemungkinan hipertensi sekunder. Walaupun hipertensi sekunder yang potensial dapat disembuhkan dengan tindakan bedah (potentially sugical curable) seperti hipertensi renovaskular, hiperaldosteronisme primer, feokromositoma, biasanya jarang dijumpai, akan tetapi hal ini perlu dipertimbangkan. Hipertensi golongan ini biasanya merupakan hipertensi maligna, secara klinis sesuai dengan hipertensi sekunder, respon pengobatan yang jelek, atau pada penderita yang semula mudah dikontrol tiba-tiba menjadi sulit terkontrol. Kebiasaan minum alkohol, makan makanan yang banyak mengandung garam, faktor psikososial dan lingkungan yang dapat mempengaruhi tekanan darah perlu diteliti. Dalam pengukuran tekanan darah harus diperhatikan cara pengukuran, alat ukur, saat pengukuran dan tempat pengukur-an. Pemeriksaan pada jantung, mata, ginjal dan susunan saraf pusat perlu dilakukan untuk menilai keterlibatan organ tersebut pada hipertensi. Penilaian yang mengarah pada hipertensi sekunder seperti bruit di abdomen, ginjal polikistik, takikardi dan keringat tidak boleh dilupakan. Pemeriksaan darah tepi dan urin lengkap, fungsi ginjal, kadar gula darah, kalium dalam serum, dan hemoglobin glikosilated diperlukan untuk menilai keadaan diabetes dan kemungkinan penyebab hipertensi. Pemeriksaan fraksi lemak diperlukan untuk menilai faktor risiko kardiovaskular. PENATALAKSANAAN Pengobatan hipertensi pada diabetes selain bertujuan untuk mengontrol tekanan darah harus juga diperhatikan kontrol ter-hadap diabetes melitus dan komplikasinya, terutama yang me-nyangkut ginjal dan kardiovaskular. Secara garis besar penata-laksanaan hipertensi dapat dibedakan atas penatalaksanaan non-farmakologik dan penatalaksanaan farmakologik. Prinsip pengobatan hipertensi masa kini dengan perhatian terhadap pengaruh pengobatan pada kualitas hidup penderita harus selalu mendasari sikap kita dalam pemilihan obat. Pengobatan non-farmakologik2,5,6,7 Pengobatan non-farmakologik dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada pengobatan farmakologik. Pengobatan non-farmakologik dapat berupa kontrol terhadap berat badan, membatasi asupan garam, atau asam lemak. Pengobatan ini biasanya diberikan untuk hipertensi yang ringan. Jenis pengobatan yang diberikan diupayakan yang tidak mengganggu gaya hidup dan tanpa efek samping. Penurunan berat badan sampai dengan batas tertentu yang diharapkan merupakan indikasi pengobatan, baik pada hipertensi maupun diabetes melitus. Penurunan berat badan ini dapat dilakukan dengan pembatasan kalori ataupun olah-raga. Pada beberapa penelitian, olah-raga terbukti dapat me-nurunkan tekanan darah melui penurunan tahanan perifer. Cermin 16 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
  • 18. Di samping itu olah-raga menimbulkan perasaar. santai yang dapat membantu menurunkan tekanan darah. Kedua bentuk pengobatan non-farmakologik tersebut sangat sesuai untuk pada penderita diabetes karena dapat mengontrol gula darah. Pembatasan asupan garam di samping penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah. Akan tetapi perlu diperhatikan agar pembatasan garam masih telap dapat diterima oleh penderita. Untuk ini perlu diperhatikan kebiasaan makan dan jenis makanan yang banyak mengandung garam. Penambahan kalium, pemanfaatan ion kalsium dan mag-nesium belum seluruhnya meyakinkan sehingga masih belum direkomendasi. Pada beberapa penelitian, pemberian diet rendah lemak jenuh dibuktikan dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular. Menghindari rokok, alkohol, hiperlipidemi dan stres yang ber-lebihan akan menolong menghindarkan diri dari risiko hipertensi. Pengobatan farmakologik2,4,5,6,8 Apabila dengan pengobatan non-farmakologik belum menolong, langkah selanjutnya adalah menggunakan obat. Menjadi masalah kapan pengobatan harus dimulai? Mengingat adanya pengaruh terhadap kelainan pembuluh darah, hipertensi pada diabetes harus mulai diberikan pengobatan farmakologik apabila tekanan darah 140 mmHg sistolik atau lebih, setelah pengobatan non-farmakologik tidak berhasil. Pertimbangan ini sesuai dengan penelitian KNOWLER (dikutip dari 4), yang mendapatkan, tekanan darah 145 mmHg sistolik insidensi retinopati menjadi dua kalinya. Sedangkan PARVING (dikutip dari 4) menunjukkan, dengan pengobatan hipertensi secara agresif ternyata dapat menurunkan 57% albuminuri setelah pengobatan selama 1 tahun pada penderita muda dengan diabetes melitus tipe I. Apabila telah disepakati bahwa hipertensi pada diabetes me-litus harus diobati, maka masalah kedua adalah obat mana yang akan digunakan. Pada prinsipnya disetujui bahwa pengobatan hi-pertensi pada diabetes melitus tidak berbeda dengan peng-obatan pada hipertensi pada penderita tanpa diabetes melitus. Yang perlu mendapatkan perhatian ialah bahwa efek samping obat anti-hipertensi dapat menimbulkan gangguan metabolik pada diabetes melitus. Oleh karena itu pengobatan harus diberikan dengan mengingat kepentingan secara individual dan tingkat kelainan metabolik yang ada. Golongan diuretik tiasid banyak dipakai pada pengobatan hipertensi pada diabetes, karena dihubungkan dengan adanya retensi natrium. Akan tetapi, secara epidemiologik terbukti dapat meningkatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain. Pada penggunaan jangka panjang dapat teijadi gangguan toleransi glukosa, kenaikan kadar lemak darah, hipokalemi dan gangguan seksual yang pada diabetes melitus kemungkinannya menjadi meningkat. Pada diabetes melitus tipe II penggunaan tiasid dapat menurunkan sekresi insulin melalui efek hipokalemi sehingga akan mengganggu kontrol terhadap diabetes. Keadaan ini tidak berpengaruh pada diabetes melitus tipe I karena memang teijadi ketidakefektifan sekresi insulin. Pada gangguan fungsi ginjal, tiasid menjadi kurang efPktif aan pada keadaan ini furosemid dapat digunakan. Golongan ini juga menimbulkan efek samping yang kurang lebih sama sehingga memerlukan pengawasan yang seksama. Pada peng-gunaan diuretik golongan spironolakton perlu dipikirkan kemungkinan terjadi penimbunan kalium yang dapat meng-ganggu irama jantung. Golongan ini dilaporkan pula dapat menimbulkan gangguan seksual sehingga penggunaannya jarang dianjurkan. Golongan penyekat beta atau betabloker, sering me-ngaburkan gejala hipoglikemi dan memperlambat penyembuh-annya. Di samping itu dapat pula mengganggu toleransi glu-kosa dengan menghambat sekresi insulin. Hal ini lebih banyak terjadi pada betabloker golongannon-selektif akibat terjadinya hambatan pada resptor beta-2 yang berperan dalam sekresi insulin melalui perangsangannya. Golongan penyekat alfa yang beredar di Indonesia adalah prasozin. Akibat samping yang sering teijadi pada golongan ini adalah hipotensi ortostatik. Oleh karena golongan ini tidak memperberat gangguan metabolisme lemak pada diabetes melitus dan jarang menimbulkan gangguan seksual, obat golongan ini dipakai sebagai pengobatan tingkat pertama untuk hipertensi pada diabetes melitus. Pada penderita dengan gangguan saraf otonom perlu mendapat perhatian khusus karena sudah terjadi hipotensi ortostatik. Golongan penghambat simpatik seperti reserpin, klonidin, alfametildopa, dan guanitidin sering menimbulkan efek sam-ping seperti hipotensi ortostatik, dan gangguan seksual. Gangguan ini akan makin menonjol pada penderita diabetes melitus yang disertai gangguan saraf otonom. Golongan vasodilator seperti hidralasin dan minoksidil juga sering menimbulkan hipotensi ortostatik, walaupun sedikit peng-aruhnya terhadap toleransi glukosa, elektrolit dan kadar lemak. Golongan antagonis kalsium dan penghambat ensim konversi angiotensin dapat dipakai pada hipertensi pada diabetes melitus. Mengenai pengaruhnya terhadap toleransi glukosa dan metabolisme insulin masih merupakan kontro-versial. Sebagian mengatakan, golongan ini tidak mempe-ngaruhi sekresi insulin dan metabolisme glukosa; sedangkan yang lain menyatakan, golongan ini mempunyai tendensi diabetogenik. Penghematan ensim konversi angiotensin selain mempunyai efek antihipertensi pada diabetes melitus juga mengurangi proteinuri dan mempertahankan fungsi ginjal pada nefropati diabetik. Penggunaan obat golongan ini harus hati-hati apabila terdapat keadaan hiporenin-hipoaldosteronisme dan gangguan fungsi ginjal karena efek sampingnya. Hiperkalemi, gangguan fungsi ginjal dan proteinuri dapat timbul sehingga perlu pemantauan secara seksama. Keuntungannya, golongan ini tidak mempengaruhi toleransi glukosa, kadar lemak dan gangguan seksual. Enalapril merupakan obat yang baru dari golongan ini dan dinyatakan lebih jarang menimbulkan efek samping. Berbagai efek samping obat dan kaitannya dengan ganggu-an metabolisme glukosa pada diabetes melitus, harus. merupa-kan bahan pertimbangan dalam pemilihan obat dan harus selalu dikaitkan pengaruhnya terhadap kualitas hidup penderita. RINGKASAN Telah diuraikan patogenesis, evaluasi klinik dan penata-laksanaan hipertensi pada diabetes melitus. Di pasaran tersedia banyak sekali obat anti-hipertensi yang telah dibuktikan efektifitasnya untuk pengobatan hipertensi. Pengobatan Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 17
  • 19. hipertensi pada penderita tanpa diabetes melitus, akan tetapi tingkat gangguan metaboliknya perlu mendapatkan perhatian. Beberapa pertimbangan dalam pemilihan jenis obat telah di-uraikan. Prinsip pengobatan hipertensi masa kini yang tidak hanya menurunkan tekanan darah saja, akan tetapi harus mem-perhatikan kualitas hidup penderita harus selalu ,,diingat. KEPUSTAKAAN 1. Christlieb AR. Diabetes and Hypertensive Vascular Disease : Mecahanism and Treatment. The Am J of Cardiology 1973; 32 : 592-604. 2. Peiris AN and Gustafson AB. Current Therapeutic Copcepts in Diabetic Hypertension. Diabetes Care 1986; 9 (4) : 409-13. 3. Yzagoumis M. Aspect of Hypertension, Coexisting Diabetes, Pfizer International Inc. publication. 4. Hamet P. Metabolic Aspects of Hypertension : Hypertension Physiopathology and Treatment, 2nd Ed. Jacques Genest, Erich Koiw, Otto Kuchel (eds), Mc. Graw-hill Book Company, 1977: 413-16. 5. Statement on Hypertension in Diabetes Mellitus, Final Report The Working Group in Hypertension in Diabetes, Arch Intern Med 1987; 147: 830-42. 6. Sidabutar RP, Wigune P. Hipertensi Esensial dan Penanggulangannya. Dalam : Hipertensi Pendekatan Praktis dan Penatalaksanaan, Bintari Rukmono, Elias Sulisto (eds), 1986 : 41-61. 7. Kaplan NM. Non-Drug Treatment of hypertension, Annals of Internal Medicine 1985; 102 : 359-73. 8. Roesma J, Sidabutar RP. Penanggulangan Hipertensi Pada Diabetes Melitus dengan Perhatian khusus pada Penghambat Enzim Konverting Angiotensin, Simposium Nasional Hipertensi, Aspek Khusus dan Gagal Jantung, 29 Agustus 1987, Jakarta. Cermin 18 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
  • 20. Hipertensi dengan Kehamilan Dr. Jose Roesme, Dr. Endang Susalit, Dr. Suhardjono, Dr. Pudji Rahardjo Subbagian Ginjal-Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Da/arn Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Ciptomangunkusumo, Jakarta Berdasarkan pengalaman klinik dalam penanggulangan hi-pertensi dengan kehamilan di Indonesia dengan penyesuaian terhadap lingkungan dan fasilitas yang tersedia bagi sebagian besar dokter di Indonesia, dirasakan perlu adanya suatu upaya klasifikasi baru mengenai hipertensi dengan kehamilan. Tujuan klasifikasi baru ini adalah untuk mempermudah diagnostik dengan memberikan beberapa tolok ukur klinik dan untuk me-nyeragamkan catatan medik agar dapat membantu epidemio-logi dan penanggulangan hipertensi dengan kehamilan dimasa depan. Dalam Kongres Internasional Society of Hypertension in Pregnancy' , diusulkan suatu kiasifikasi klinis yang dirasakan cocok untuk negara kita. Makalah ini berusaha menyebarluas-kan klasifikasi baru ini untuk mendapatkan umpan balik dari pembaca. BEBERAPA TOLOK UKUR KLINIS Di masa lalu yang segala keadaan yang berhubungan dengan hipertensi dengan kehamilan digabungkan dalam istilah toksemia kehamilan dengan trias hipertensi, proteinuria dan edema. Pada saat ini, istilah toksemia kehamilan tidak dianjur-kan lagi, demikian juga berpuluh-puluh istilah lain. Yang di-pakai adalah data klinis yang ditemukan pada satu kali peme-riksaan. Edema yang penilaiannya sangat subjektif, terutama dalam derajat dan patologinya tidak lagi dipakai sebagai tolok ukur. Tolok ukur yang dipergunakan hanya tinggal dua, yaitu hipertensi dan proteini ria bermakna. Hipertensi dinyatakan dan apabila tekanan diastolik sama atau lebih dari 90 mmHg, yang diperiksa dua kali berturutturut dengan selang waktu 4 jam atau bila tekanan diastolik sama atau lebih dari 100 mm Hg pada waktu pemeriksaan. Penilaian tekanan darah dilakukan dalam keadaan berbaring miring, dalam posisi setengah. duduk (15–30 derajat dari bidang mendatar). Tekanan diastolik diukur berdasarkan bunyi Korotkoff 4, yaitu pada saat bunyi terdengar melemah. Proteinuria bermakna dinyatakan ada bila didapatkan: a) derajat 2+ pada urin sewaktu dengan memakai cara clean catch atau urin kateter yang diperiksa dengan metode kertas reagen (strip) atau metode sulfosalisilat. Pemeriksaan ini harus dilakukan dua kali dengan selang waktu 4 jam. b) atau didapatkan jumlah protein sama atau lebih dari 300 mg pada urin 24 jam yang terkumpul sempurna. Pemeriksaan ini cukup dilakukan satu kali saja. Kedua tolok ukur ini dapat diperiksa secara objektif dan pada umumnya dapat dilakukan di seluruh Indonesia. BEBERAPA ISTILAH Istilah hipertensi proteinuria dengan kehamilan dipakai sebagai istilah umum, yang menggambarkan adanya hipertensi proteinuria dan adanya kehamilan tanpa menjelaskan hubung-annya. Istilah hipertensi proteinuria pada kehamilan dipakai -bila diperkirakan hipertensi dan proteinuria disebabkan oleh he-hamilan itu sendiri. Pada umumnya keadaan ini timbul setelah kehamilan ber-langsung 20 minggu atau lebih, waktu persalinan ataupun 2 hari masa nifas. Istilah hipertensi proteinuria dan kehamilan dipakai bila: a) Keadaan ini telah diketahui sebelum kehamilan atau b) Keadaan ini timbul sebelum kehamilan 20 minggu, dan c) Keadaan ini tetap ada setelah habis masa nifas. Jadi hiper-tensi / proteinuria telah ada sebelum hamil dan tetap ada sesudah nifas. KLASIFIKASI HIPERTENSI DENGAN KEHAMILAN 1. Hipertensi pada kehamilan. 2. Hipertensi dan kehamilan 3. Hipertensi dengan kehamilan tidak terklasifikasi. Hipertensi pada kehamilan Golongan ini dibagi dalam : a. hipertensi pada kehamilan > 20 minggu / persalinan / 2 hari masa nifas. Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 19
  • 21. b. Proteinuria pada kehamilan > 20 minggu / persalinan / 2 hari masa nifas. c. Proteinuria dan hipertensi pada kehamilan > 20 minggu / persalinan / 2 hari masa nifas = (preeklampsia). • Hipertensi pada kehamilan adalah : hipertensi yang timbul pada kehamilan yang hilang/menjadi normotensif pada masa nifas. • Proteinuria pada kehamilan bisa disebabkan : 1. orthostatic proteinuria 2. pyuria 3. kehamilan sendiri (preeklampsia) 4. penyakit ginjal baik akut maupun kronik. Orthostatik proteinuria dan pyuria dapat di diagnosis dengan mudah, sedangkan proteinuria yang disebabkan kehamilan sendiri dan proteinuria pada penyakit ginjal baik akut maupun kronik sering barn bisa diketahui secara pasti pasca persalinan. Proteinuria ini akan menghilang pada masa nifas. Proteinuria dan hipertensi pada kehamilan pada umumnya merupakan pertanda preeklampsia. Kadang-kadang nefritis akut bisa muncul pertama kali dalam kehamilan dengan gejala hipertensi danproteinuria,tapi kejadian ini jarang sekali. Hipertensi dan kehamilan Keadaan ini meliputi : a. hipertensi kronik b. penyakit ginjal kronik c. hipertensi dengan preeklampsia (superimposed) • Hipertensi kronik pada umumnya adalah hipertensi essen-sial yang terdapat bersama dengan kehamilan. Hipertensi sekunder pun bisa ditemukan sesuai dengan fre-kuensinya pada masyarakat. • Penyakit ginjal kronik disamping yang jelas dapat diketahui, dianggap ada bila ditemukan proteinuria bermakna sebelum kehamilan 20 minggu. • Timbulnya proteinuria pada hipertensi kronik selama masa kehamilan menunjukkan timbulnya preeklampsia, yang disertai kenaikan jumlah kematian perinatal. Hipertensi dan/atau proteinuria yang tidak dapat diklafikasi-kan. Hal ini terutama terjadi bila hipertensi dan/atau proteinuria didapatkan pertama kali sesudah kehamilan 20 minggu tanpa ada didapatkan riwayat kadaan ini sebelumnya. Klasifikasi diadakan sesudah persalinan. Bila hipertensi dan/atau protei-nuria menghilang setelah persalinan, keadaan ini termasuk hipertensi/proteinuria pada kehamilan. Bila hipertensi ini/ atau proteinuria tetap ada sesudah 2 hari masa nifas, keadaan ini termasuk hipertensi/proteinuria dan kehamilan. KEUNTUNGAN KLASIFIKASI BARU 1. Bersifat murni klinis. 2. Klasifikasi didasarkan saat timbulnya kelainan sewaktu kehamilan, persalinan atau dalam 2 hari masa nifas. 3. Klasifikasi ini membuka kesempatan untuk reklasifikasi selambat-lambatnya sampai akhir masa nifas. Klasifikasi ini sangat sederhana praktis dan kami anjurkan dipakai oleh para ahli sesuai sikon di Indonesia. Masih banyak kelemahan-kelemahan, yang juga terbukti dari diskusi-diskusi yang menyertai usulan ini. Sub bagian Nefrologi Bagian Penyakit Dalam FKUI sedang berusaha mengklasifikasi penderita-penderitanya dan mempelajari kelamahan dan keuntungannya usulan barn ini. KLASIFIKASI BARU DAN PENGOBATAN Klasifikasi baru lebih bersifat suatu upaya mencapai kesatuan pendapat dalam mencapai diagnostik dan tidak mempunyai pengaruh terhadap pengobatan. Pada umumnya semua pengobatan yang telah dianjurkan untuk hipertensi dengan kehamilan tetap berlaku3. Malah klasifikasi ini berusaha membantu upaya pengobatan dengan: – menyesuaikan tolok ukur hipertensi yaitu tekanan darah 140/90 sesuai dengan tolok ukur WHO yang berlaku umum. – bila tekanan diastolik sama atau lebih 110 mmHg cukup satu kali pemeriksaan saja untuk diagnosis hipertensi. – hipertensi berat didefinisikan sebagai tekanan diastolik sama atau lebih dari 120 mmHg sekali periksa atau tekanan diastolik sama atau lebih 110 mmHg diperiksa 2x dengan selang waktu 4 jam. – tekanan diastolik dikur pada fase korotkoff 4 (bunyi me-lemah), kecuali bila hal itu tidak jelas baru dipakai korot-koff 5. Dengan cara demikian, pengobatan dapat dilakukan segera tanpa perlu menunggu/mencari tolok ukur yang lain yang di-pakai oleh klasifikasi terdahulu. KEPUSTAKAAN. 1. Davey, Mac Gillivray. Hypertensive Disordes of Pregnancy. Clin and exper Hyper, 1986; BS (1) : 97–133. 2. Jose Roesma, Sidabutar RP, Hipertensi dengan Kehamilan, suatu upaya klasifikasi baru Naskah lengkap KOPAPDI VII, 24–27 Agustus 1987. 3. Jose Roesma. Pengobatan Hipertensi dengan Kehamilan, MEDIKA 1984. Cermin 20 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
  • 22. Kelainan -Ginjal Pada Penyakit Tropik Dr. E. Susalit, Dr. Jose Roesma, Dr. Pudji Rahardjo dan Dr. R.P. Sidabutar Subbagian Ginjal–Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN Penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi, gigitan ular dan sengatan serangga bisa mengakibatkan berbagai kelainan ginjal. Kelainan bisa terjadi di semua bagian ginjal, tergāntung pada jenis dan berat penyakit dan yang paling sering meng-alami kelainan adalah glomerulus. Sindrom klinik yang bisa terjadi adalah sindrom nefritis, .sindrom nefrotik dan gagal ginjal akut. Sindrom nefritis atau glomerulonefritis biasanya ringan dan sementara, pada infeksi akut misalnya malaria, demam tifoid, tetapi glomerulonefritis bisa persisten dan bahkan menimbulkan sindrom nefrotik pada infeksi kronik misalnya malaria kwartana dan skistosomiasis. Gagal ginjal akut dengan kelainan tubulointerstisial yang umumnya nekrosis tubuler, sering terjadi pada infeksi berat misalnya oleh malaria falsiparum, leptospirosis atau gigitan ular. PATOGENESIS Terdapat 4 mekanisme yang berperan dalam menimbulkan kelainan ginjal, yaitu efek migrasi parasit, proses imunologik, reaksi nonspesifik dan nefrotoksisitas langsung. Efek migrasi parasit Kelainan ginjal bisa terjadi selama migrasi parasit. Reaksi jaringan bisa berupa proliferasi, infiltrasi dan pembentukan granuloma atau kista. Termasuk dalam mekanisme ini adalah kelainan ginjal akibat larva migran dan kista hidatid. Pada filariasis, obstruksi pembuluh limfe saluran kencing atau ginjal yang mengakibatkan khiluria. Proses imunologik Mekanisme ini menyebabkan lesi pada glomerulus. Glome-rulonefritis proliferatif mesangial sering terjadi pada penyakit infeksi, di mana terdapat endapan terutama C3 dan IgM di mesangium. Walaupun sukar, Antigen spesifik dapat diperlihat-kan di glomerulus. Kadar C3 serum biasanya normal dan ka dang-kadang menurun. Circulating immune complex dan anti-bodi bisa didapatkan dalam serum. Jadi endapan C3 dan imunoglobulin, adanya antigen di glomerulus, penurunan C3 serum dan adanya antibodi dan circulating immune complex dalam serum merupakan bukti peranan mekanisme imunologik. Reaksi nonspesifik Gagal ginjal akut karena nekrosis tubuler akut pada infeksi berat umumnya disebabkan oleh faktor nonspesifik proses inflamasi. Faktor-faktor ini adalah hipovolemia, hemolisis intravaskuler, koagulasi intra vaskuler, mioglobinuria, hiper-viskositas darah, pelepasan katekholamin dan penurunan curah jantung. Walaupun pada penyakit tertentu hanya salah satu faktor yang menimbulkan gagal ginjal, tetapi umumnya pada kebanyakan kasus berbagai faktor nonspesifik di atas ikut berperan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan penurunan aliran darah ginjal yang menimbulkan iskemi ginjal yang mengakibatkan nekrosis tubuler akut dan akhirnya gagal ginjal. Infeksi berat (sepsis) sering disertai ikterus dan hiperbili-rubinemia ini bisa lebih memperburuk fungsi ginjal. Nefrotoksik langsung Leptospirosis dan gigitan ular Russel's viper merupakan contoh di mana lesi gagal disebabkan oleh nefrotoksik lang-sung. Pada percobaan dengan mencit, lepstopira didapatkan di glomerulus dan interstisium 3 jam dan di tubulus proksimal 9 jam sesudah inokulasi lepstropira. Lesi patologis permulaan terjadi di glomerulus dan interstitium yang kemudian bisa me-ngenai tubulus, merupakan akibat langsung karena adanya leptospira. Gagal ginjal karena gigitan ular Russel's viper terjadi se-gera setelah digigit tanpA adanya perubahan tanda vital. LESI GLOMERULLJS PADA PENYAKIT INFEKSI Terdapat dua jenis glomerulonefritis pada penyakit Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 21
  • 23. infeksi. 1) Glomerulonefritis ringan. Glomerulonefritis jenis ini biasanya terjadi setelah infeksi akut. Biasanya didapatkan proteinuria ringan dengan sedikit kelainan sedimen urin yang membaik setelah infeksinya diatasi. Walaupun jarang, bisa dijumpai hematuria makroskopik. Fungsi ginjal normal dan biasanya tekanan darah normal dan tanpa edema. Komplemen serum sedikit menurun. Glomeru-lonefritis yang sementara ini disebabkan oleh semua jenis infeksi akut seperti infeksi oleh virus, bakteri, riketsia, malaria falsiparum, leptospirosis, trikhinosis dan salmonelosis. Pada . pemeriksaan histopatologis didapatkan hipertrofi mesangial atau proliferasi dengan endapan IgM dan C3 di daerah mesangial dan sepanjang gelung kapiler. Lesi ini meng-hilang dalam 4–6 minggu. 2) Glomerulonefritis persisten. Glomerulonefritis dengan gejala klinik yang lebih jelas, terjadi pada penyakit infeksi yang perjalanannya kronik misal-nya pada penyakit lepra, hepatitis virus B dan filariasis. Mani-festasi klinik berupa proteinuria, sindroma nefritik, sindroma nefrotik bahkan bisa sampai gagal ginjal. Pengobatan infeksi dengan antimikroba bisa berhasil mungkin juga tidak dalam memperbaiki lesi ini. Kortikosteroid memberikan hasil peng-obatan yang bervariasi. BERBAGAI PENYAKIT TROPIK YANG MENIMBULKAN LESI GINJAL Malaria falsiparum Malaria falsiparum adalah salah satu penyakit tropik yang sering dijumpai. Lesi pada ginjal terjadi pada 67% kasus dan merupakan penyebab penting gagal ginjal akut di daerah tropik. Manifestasi klinik bisa berupa glomerulonefritis ringan atau gagal ginjal akut dan kadang-kadang sindroma nefrotik. Pe-meriksaan histopatologis memperlihatkan hipertrofi mesangial, proliferasi, endapan C3, IgM, kadang-kadang IgG dan endapan granuler antigen Plasmodium falsiparum di daerah mesangial dan sepanjang dinding kapiler. Electron dense deposits terlihat di daerah subendotel dan paramesangium. Ini menunjukkan suatu glomerulonefritis imun komplek dengan Plasmodium falsiparum sebagai antigen. Gambaran histopatologis gagal ginjal akut berupa nekrosis tubuler, terutama tubulus konvolutus distal. Nekrosis tubuler akut di sini disebabkan oleh berbagai faktor aspesifik yang sudah disebutkan di atas. Pengobatan malaria falsiparum dengan glomerulonefritis ringan cukup dengan obat antimalaria. Bila terjadi gagal ginjal yang memerlukan tindakan dialisis, hemodialisis lebih efektif daripada dialisis peritoneal, karena dihlysance yang rendah akibat aliran mikrosirkulasi yang buruk. Malaria kwartana Hubungan antara malaria kwartana dan glomerulonefritis sudah lama diketahui. Kejadian infeksi Plasmodium malariae dengan sindroma nefrotik pada anak di Afrika cukup tinggi. Manifestasi klinik bisa berupa glomerulonefritis persisten, bahkan lebih sering sindroma nefrotik. Gambaran histopatolo-gis berupa glomerulonefritis proliferatif fokal dan difus. Glo-merulonefritis membranosa sering pada anak-anak. Kadang-kadang terlihat sklerosis fokal mesangial. Endapan IgG, IgM, C3 dan antigen Plasmodium malariae yang granuler t,erlihat se-panjang dinding kapiler, sedangkan electrone dense deposits terdapat di membrana basalis atau di daerah subepitelial. Di daerah subendotelial bisa terlihat basement membrane like material. Glomerulonefritis pada malaria kwartana adalah suatu penyakit imun kompleks yang perjalanannya kronik dan progresif yang bisa menimbulkan gagal ginjal. Perjalanan klinik di sini berbeda dari malaria falsiparum, mungkin karena pada malaria kwartana stimulasi antigen kronik, antibodinya berafinitas rendah dan perbedaan dalam respon imun. Pengobatan glomerulonefritis pada malaria kwartana biasanya mengecewakan. Obat antimalaria, kortikosteroid dan obat imunosupresif jarang bisa memperbaiki manifestasi klinik dan prognosis umumnya buruk. Lepra Penyakit lepra cukup banyak di daerah tropik. Lesi pada ginjal lebih sering pada jenis lepromatosa dan dilaporkan ke-jadian glomerulonefritis pada penderita lepra sekitar 31%. Manifestasi klinik bisa berupa sindrom nefritik, sindrom nefrotik atau proteinuria dan hematuria asimtomatik. Circu-lating Immune complex dan .krioglobulin didapatkan pada kebanyakan penderita dan komplemen serum rendah. Sindrom nefrotik 'bisa timbul akibat amiloidosis, juga bisa karena glomerulonefritis membranosa dan glomerulonefritis proli-feratif difus. Gagal ginjal kronik akibat amiloidosis merupakan sebab kematian terbanyak, dan •kejadian amiloidosis sekunder antara 2,4 – 8,4%. Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis pro-liferatif difus dan proliferatif mesangial. Kadang-kadang be-rupa glomerulonefritis proliferatif fokal, kresentik, sklerosing dan membranosa. Endapan granuler IgM, IgG, IgA dan C3 ter-lihat di mesangium dan sepanjang dinding kapiler glomerulus, sedangkan electror..e dense deposits terlihat di daerah mesang-ial, subendotelial, intramembranosa dan subepitelial. Hal-hal di atas menunjukkan suatu glomerulonefritis imun komplek, walaupun belum dijumpai antigen lepra di glomerulus. Pengobatan ditujukan pada lepra dan penatalaksaaan sidrom nefrotik adalah suportif, sedangkan kortikosteroid tidak efektif. Hepatitis B Glomerulonefritis disebabkan Hepatitis B tidak jarang di daerah tropik. Manifestasi klilik berupa sindrom nefritik, sindrom nefrotik atau proteinuria asimtomatik. Terdapat hematuria mikroskopik dan pada 30% kasus kadar C3 turun. HBsAg terdapat dalam serum dan HBeAg dijumpai pada 2/3 kasus. Gambaran histopatologis bisa berupa glomerulonefritis membranosa, proliferatif mesangial, mesangiokapiler, proli-feratif difus atau glomerulosklerosis fokal. Endapan granuler IgG, IgM dan C3 terlihat sepanjang dinding kapiler. HBcAg dan HBsAg bisa ditemukan di dinding kapiler dan mesangium. Electrone dense deposits terlihat pada membrana basalis glome-rulus atau di daerah subendotelial, mesangial dan subepitelial: Hal di atas menunjukkan suatu glomerulonefritis imun kom-plek. Cermin 22 Dunia Kedokteran No. 47, 1987
  • 24. Pengobatan kortikosteroid dan obat imunosupresif memberikan hasil yang bervariasi. Pada sampai 50% kasus bisa terlihat remisi spontan, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Filariasis Pada filariasis, selain khiluria akibat pbstruksi pembuluh limfe juga bisa terdapat glomerulonefritis. Telah dilaporkan baik sindrom nefritik maupun sindrom nefrotik. Penderita biasanya mempunyai riwayat obstruksi saluran limfe sebelum timbul proteinuria dan hematuria. Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis pro-liferatif mesangial atau membranosa dan didapatkan endapan C3 dan IgM di glomerulus. Walaupun antigen filaria belum dapat ditemukan, hal di atas menunjukkan suatu glomerulo-nefritis imun komplek. Mikrofilaria bisa terdapat dalam glomerulus dan pada percobaan binatang bisa terlihat amiloi-dosis. Pada glomerulonefritis pengobatan filariasis menghasilkan perbaikan klinik, tetapi pada sindrom nefrotik pengobatan filariasis tidak memperbaiki gejala klinik. Leptospirosis Pada leptospirosis lesi pada ginjal terutama kelainan tubulointerstisial, sedangkan pada glomerulus sering hanya terjadi lesi ringan. Manifestasi klinik berupa gagal ginjal akut pada 44–67% kasus dan glomerulonefritis ringan. Gagal ginjal akut terjadi pada infeksi berat yang disebabkan oleh iskemi ginjal ākibat faktor aspesifik yang telah disebutkan di atas. Gambaran histopatologis berupa lesi glomerulus yang biasanya ringan seperti pada penyakit infeksi akut lain. Pada awal penyakit tampak sel polimorfonuklir di glomerulus yang terjadi untuk sementara. Endapat C3 tampak di daerah mesa-ngial dan gelung kapiler. Kadang-kadang ada endapan IgM di daerah mesangial, tapi pada kebanyakan kasus tak terlihat imunoglobulin. Pada mikroskop elektron hanya tampak fusi foot processus fokal dan penebalan mebrana basalis lokal. Pada kasus gagal ginjal akut terlihat nekrosis tubulus baik proksimal maupun distal dan di interstisium didapatkan infiltrasi sel mononuklir dan edema. Pengobatan lesi ginjal terutama ditujukan kepada peng-obatan leptospira. Bila terjadi gagal ginjal, pada dasarnya tak berbeda dengan pengelolaan gagal ginjal akut pada umumnya. Skistosomiasis Lesi glomerulus telah dilaporkan pada skistosomiasis yang disebabkan oleh S. mansoni dan japonicum. Manifestasi klinik berupa glomerulonefritis persisten, bahkan yang sering adalah sindrom nefrotik yang perlahan-lahan dan progresif menjadi gagal ginjal kronik. Dalam perjalanan penyakitnya yang kronik bisa terjadi amiloidosis. Hidronefrosis bisa terjadi akibat obstruksi ureter oleh granuloma pada infeksi S. hematobium. Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis mem-branoproliferatif difus. Juga telah dilaporkan bisa berupa glomerulonefritis membranosa, glomerulosklerosis fokal, glo-rnerulonefritis proliferatif difus dan glomerulonefritis pro-liferatif ekstrakapiler. Endapan IgG, IgM, IgE, IgA, C3 dan antigen skistosoma terlihat di daerah mesangial dan sepanjang gelung kapiler. Electrone dense deposits terlihat di daerah mesangial dan mebrana basalis. Hal di atas sesuai dengan glomerulonefritis imun komplek. Pengobatan glomerulonefritis dengan obat antiskistosoma saja atau dengan kortikosteroid dan obat imunosupresif, mem-berikan hasil yang mengecewakan. Hidronefrosis pada infeksi S. hematobium bisa membaik dengan obat antiskistosoma. Tripanosomiasis Infeksi disebabkan oleh protozoa genus Tripanosoma. Manifestasi klinik bisa berupa glomerulonefritis atau gagal ginjal akut. Gambaran histopatologis berupa glomerulonefritis proliferatif dan terdapat endapan granuler IgG, IgM, C3 dan antigen tripanosoma di glomerulus yang menunjukkan suatu endapan imun komplek. Degenerasi tubulus pada gagal ginjal akut disebabkan oleh iskemi ginjal akibat faktor aspesifik pada penyakit infeksi. Leismaniasis Lesi ginjal jarang terjadi pada leismaniasis viseral yang disebabkan oleh L. donovani. Manifestasi klinik berupa glo-merulonefritis ringan dan pada kasus kronik bisa timbul aini-loidosis. Gambaran histopatologis berupa hipertrofi mesangial de-ngan endapan IgA, IgG, IgM, C3 dan fibrinogen di daerah me-sangial dan sepanjang gelung kapiler. Electrone dense deposits terdapat di daerah mesangial, subendotelial dan intra membran. Toksoplasmosis Lesi glomerulus bisa terlihat pada infeksi T. gondii. Mani-festasi klinik berupa glomerulonefritis ringan dan kadang-kadang sindrom nefrotik. Didapatkan hiperseluler sel endotel dan mesangial dengan infriltrasi sel polimorfonuklir. Endapan granuler IgG; IgA, C3, fibrin dan antigen toksoplasma didapatkan di daerah mesangial dan sepanjang dinding kapiler. Trikinosis Manifestasi klinik berupa glomerulonefritis ringan. Di-dapatkan glomerulonefritis proliferatif mesangial dengan endapanIgA, IgG, IgM dan C3 di daerah mesangial dan se-panjang gelung kapiler. Ini menunjukkan suatu glomerulo-nefritis imun komplek. Penyakit hidatid Penyakit ini disebabkan oleh larva Ekhinokokus. Kista yang terbentuk bisa terjadi di ginjal pada 2,5% kasus. Kista yang perlahan-lahan membesar menimbulkan gejala karena penekanan terhadap jaringan di sekitarnya. Kadang-kadang bisa timbul hipertensi maligna. Kista yang pecah bisa me-nimbulkan syok anafilaktik. Keluhan yang biasanya ada adalah hematuri dan nyeri pinggang. Pengobatan pada kista yang besar dengan operasi. Larva migran viseral Penyakit ini disebabkan oleh T. canis dan T. cati. Gra- Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987 23
  • 25. nuloma yang terbentuk, walaupun jarang bisa terjadi di ginjal. Gigitan ular Manifestasi klinik akibat toksin gigitan ular bisa berupa sindrom nefritik dan kadang-kadang gagal ginjal. Pada ke-banyakan kasus, lesi glomerulus ringan berupa proliferasi atau hipertrofi mesangial dengan endapan C3 dan IgM. Electron dense deposits terlihat di daerah mesangial dan suBendotelial. Kadang-kadang bisa juga terjadi glomerulonefritis berat yang pada gambaran histopatologis terlihat sebagai glomerulonefritis proliferatif difus. Gagal ginjal akut bisa terjadi pada gigitan ular dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan nekrosis tubulus akut dan nekrosis kortek. Lesi pada ginjal ini disebabkan oleh efek nefrotoksik langsung toksin gigitan ular. Sengatan serangga Sindrom nefrotik akibat sengatan lebah telah lama di-ketahui. Gambaran histopatologis bisa berupa lesi minimal, glomerulonefritis proliferatif mesangial, glomerulonefritis membranosa dan glomerulosklerosis. Endapan C3, 1gM dan IgG bisa terlihat, tapi belum ada yang melaporkan antigen racun lebah di glomerulus. Mekanisme yang pasti terjadinya glomerulonefritis pada sengatan serangga masih dalam penyelidikan. KEPUSTAKAAN 1. Boonpucknavig V et al. Renal disease in acute Plasmodium falciparum infection in man, Kidney Int. 1979;16: 44. 2. Chugh KS et al. Pathogenesis of renal lesions in snakes bites, pada Proceedings of the Second Asian-Pacific Congress of Nephrology, Melbourne, 1983, hal. 183. 3. Hendrickse RG et al. Quartan malarial nephrotic syndrome in children, Kidney Int. 1979; 16 : 64. 4. Houba V. Immunologic aspects of renal lesions associated with malaria, Kidney Int. 1979; 16 : 3. 5. Sitprija V. Mechanisms of renal involvement in tropical diseases, pada Proceedings of the Third Colloquium in Nephrology, Tokyo, 1979 hal. 104. 6. Sitprija V et al. Tropical diseases and glomerulonephritis, pada Proceeding of the Third Asian-Pasific Congress of Nephrology, Singapore, 1986, hal. 262.