2. Mengapa Perlu Kelas Storytelling?
Bekal menulis yang bisa diterapkan
di berbagai wilayah penulisan
Memperkuat kapasitas penulisan para
frater untuk tujuan ”jangka panjang”:
menulis karya misi.
3. 3
Mampu memformulasikan gagasan untuk
berbagai karya tulisan.
Mampu menentukan angle/point of view yang
menarik dari setiap materi tulisan.
Mampu menulis laporan dengan gaya bertutur
khas dan memikat (jurnalisme narasi).
Mampu merumuskan narasi dengan sederhana
dari keruwetan topik.
Mendekatkan Sabda (Divine Words) kepada
hati manusia.
4. Tiga Anatomi Basis
Menulis dengan teknik storytelling (selanjutnya kita gunakan bergantian
istilah bercerita) dibangun setidaknya dari tiga anatomi dasar:
Narasi yang “bernyawa”, yang membuat kita paham mengapa
perlu teknik bercerita dalam menulis – otak merekam 22 kali lipat
(why).
Narasi yang menuturkan unsur “apa”: nilai, tujuan, keyakinan,
pesan, sosok di baliknya ada di sini (what & who).
Narasi yang membuka proses—dan keberlanjutan di balik hasil:
konteks, karakter, konflik, (how).
Elemen waktu dan tempat menjadi pelengkap yang niscaya dalam setiap
laporan/tulisan (when & where).
5. Bagan Alur Belanja Bahan:
Hulu Proses Hilir
1). Angle, target,
observasi bahan, dan
riset.
1). Cek magnitude, relevansi,
kedekatan pada audiens.
1). Memenuhi dan
melampaui target.
2). Bertanya secara
konstan: apa perlunya ini
ditulis, uji silang dengan
relevansi, magnitude,
kedekatan.
2). Lakukan filter. Perlu “kepala
jernih” & “hati dingin” agar
tidak mudah terharu.
2). Bahan singset, daging
semua, boleh ada sedikit
lemak sehat.
3). 5 W + 1 H adalah
bintang pemandu.
3). Cerita dibangun dari basis
fakta, jangan terjebak pepesan
kosong atau jargon-jargon.
3). Narasi deskriptif,
fokus, kutipan menarik,
detail padat, singkat,
kaya.
4). Beri tempat pada
“bintang utama”
4). Siapa dan apa di balik
capaian yang “menerobos”.
4). Bisa pakai data,
deskripsi komparasi,
6. Jangan Membunuh Pagi-pagi
▪ “Kematian dini” suatu laporan bercerita lazimnya ada di tangan penulis –
bukan narasumber: malas mengolah bahan, melompat terlalu cepat ke
konklusi tanpa membangun proses, miskin riset, ogah observasi, minim
relevansi adalah virus-virus pembunuh laporan storytelling.
▪ Dinamika penggalian bahan sangat ditopang oleh kesabaran dan
keakuratan membaca bahan, kekuatan riset, serta upaya menambal
bolong.
7. Laporan/narasi yang berhasil
harus disusun dari bata-bata kata
kerja (verba) dan kata benda
(nomina) – bukan kata sifat
(adjektiva).
Bersandar pada Verba dan Nomina
Perkawinan verba + nomina
yang kuat dan rapat – dengan
sendirinya melahirkan
“adjektiva” yang dapat
melukiskan citra positif tanpa
tumpukan kata sifat yang
hambar.
8. Fondasi Elemen Kunci
Baru, jelas,
akurat (mulai
dari angka,
nama, kutipan,
jabatan, jumlah,
dan
seterusnya).
Berpegang
pada 5W + 1H
Elemen
“pertama kali”
perlu
dihadirkan --
dan bisa
diciptakan.
9. Bagan Alur Narasi
STEP 2 STEP 3 STEP 4
STEP 1
Lead – membuka
tulisan.
(What, Where, When –
muncul di sini)
Body text –
membentuk konten
utama.
(What, Who, Why
– bergerak di sini) +
kuotasi + keterangan
Jalin benang
merah
ide/fakta
antar-paragraf
Closing – Tone
defines!
11. Lebih Singkat, Lebih Baik
Prioritaskan
kalimat
tunggal
Jalin benang
merah ide
antar-paragraf
Ide tunggal
dalam satu
paragraf
12. Lima Signifikansi
Narasi
berceritera hadir
dalam kitab suci
berbagai agama.
Menguji kembali
“status” narasi
(terobosan, maju,
stagnan, mundur,
jeblok).
Ada tujuan
sinambung antara
narasi dan fakta
kehidupan.
Jalan menuju tujuan
(signifikansi proses).
Era digital perlu perlu
“dihidupkan” melalui
elemen storytelling.
01
02
03
04
05
13. Beberapa Potensi Kegagalan
Tenggelam
dalam lautan
bahan.
Terjerembap
dalam
bangunan
data dan
fakta belaka.
Terjebak menulis
“kisah sukses”.
Gampang
“terharu” dan
jiper –
menghadapi
tokoh cerita.
Tidak punya disiplin
“format”.