Dokumen tersebut membahas sejarah penanggalan kalender Islam (Hijriah) dan kalender lain yang pernah digunakan di Indonesia, seperti kalender Saka, Jawa, dan Masehi. Dibahas pula bagaimana penggunaan istilah 'Minggu' mulai menggantikan 'Ahad' di Indonesia akibat pengaruh Barat.
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 4 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Edisi 13
1.
2. eM_Anam
Tema yang
Kembali dibahas
Malam itu, saya dipanggil ke dhalem. Kebetulan selesai
rapat mengenai kuliah. Ustadz Baqir, Ustadz Muchsin, Ustadz
Fawaid dan Ustadz Kholid masih belum pulang. Membahas
suatu hal dengan Kiai. Diakhir pertemuan, Kiai mengungkit
tentang TRILOGI, agar edisi selanjutnya membahas perihal
kalender Hijriyah, permulaan dan wajibnya umat Islam untuk
mengetahuinya. Kiai juga mengungkit tentang kesalahan
mayoritas masyarakat Indonesia yang mengucapkan hari Ahad
dengan sebutan Minggu.
Setelah menghitung bulan terbit TRILOGI, yang masih
angkat cetak bulan Rabiul Awal, jika menunggu tanggal
mainnya, tema tersebut akan terlanjur basi. Akhirnya Redaksi
sepakat untuk mengupas tema tersebut di majalah kecil PENA.
Apalagi di TRILOGI edisi tiga sudah pernah disinggung, meski
hanya sekelumit tentang awal mulanya penanggalan Hijriyah.
Selain itu, di edisi ini, PENA hadir dengan tampilan isi
yang baru. Menggabungkan design 3D dan origami. Namun
masih menggunakan format cover yang lama.
Tak lupa kami juga sampaikan selamat! Kepada buletin
QONITA, yang terbit perdana bulan ini. Semoga dengan
hadirnya buletin ini, bisa menambah wadah kreativitas santri
AL-UTSMANI. Utamanya untuk santri banat.
Akhiron, selamat menyimak sajian kami.
Wassalam
Redaksi
3. “Telah datang kepada kami beberapa
surat dari Amirul Mukminin, sementara
kami tidak tahu kapan kami harus
menindak lanjuti. Kami telah membaca
satu surat yang ditulis pada bulan
Sya’ban. Kami tidak tahu Sya’ban itu
tahun ini atau tahun kemarin.”
DEMIKIAN isi surat yang diterima
Khalifah Umar bin Khattab dari Abu
Musa al-Asy’ary Ra. Yang saat itu
menjabat gubernur Bashrah.
Sebagaimana yang tertulis dalam surat,
nama bulan Sya’ban sudah digunakan
oleh bangsa Arab, tak berbeda dengan
dua belas nama bulan yang kita kenal
sekarang. Namun penentuan tahunnya
masa itu mengacu pada kejadia-kejadian
besar, seperti Sanatul Amir (tahun
perintah) dan tahun Gajah.
Terkadang masyarakat Arab
menggunakan kematian tokohnya
sebagai acuan. Semisal; sepuluh tahun
setelah meninggalnya ka’ab bin Luay.
Keadaan semacam ini terus berlanjut
sampai zaman Nabi dan Khalifah Abu
Bakar Ra. Hingga terjadilah kerancuan
dalam penentuan tahun Islam.
Kedatangan surat tadi menggerakkan
Umar bin Khattab untuk mengumpulkan
pembesar sahabat Muhajirin dan Anshar,
guna merumuskan tahun yang resmi
dipakai oleh umat Islam.
Beragam pendapatpun muncul.
(Untuk lebih jelasnya silahkan merujuk
ke TRILOGI edisi 3. Untuk yang lebih
terperinci lihat Fathul Bari, juz 7).
Singkat cerita, para sahabat sepakat
menunjuk Muharrom sebagai bulan
pertama. Dan peristiwa hijrahnya Nabi
sebagai tahun pertama. Sebab itulah,
penanggalan Islam dikenal dengan
sebutan kalender Hijriyah. Titik.
Dari tanah Arab, kita terbang
menuju Nusantara. Dari masa Khalifah
kita menyelinap lewat mesin waktu,
menuju tahun 1625 M atau 1035 H. Di
tanah kita berdiri ini, dulunya penganut
penanggalan Saka. Kalender ini berasal
dari India yang menggunakan
perhitungan Bulan dan Matahari
sekaligus. Seiring dengan masuknya
agama Hindu, kalender ini masuk ke
Indonesia sejak abad 4. Selain itu,
masyarakat Jawa juga mengenal empat
macam pembagian waktu dengan
patokan perhitungan yang lain. Yakni, 1)
Windu, 2) Wuku, 3) Pranotu Mongsu
atau Mangsa, dan 4) Hari Pasar. Tidak
perlu diperinci satu persatu. Namun agar
teman-teman paham, berikut kutipan
singkat hasil riset saya setelah bertanya
kesana-kemari. Plek.
Yang pertama, Windu, terdiri dari
delapan tahun. Wuku, terdiri dari tiga
puluh pilihan. (Entah apa yang
dimaksud kata pilihan, tapi kata orang
dulu, inilah cikal bakal penentuan hari
baik dan buruk. Yang jika diterjemah ke
bahasa Jawa, hari menjadi ‘dina’ (dino).
‘Nagheh dhinah’ can orenng Madhureh.
–Cuplikan ini saya tulis karena malam
itu Kiai juga menyinggungnya-, (baca
salam redaksi).
4. Selanjutnya, Pranotu Mongsu atau
Mangsa, yang terdiri dari dua belas
pilihan. Pembagian waktu ini lebih
sempit dalam suatu tahun. Sebenarnya
pembagian ini mirip dengan zodiak yang
berasal dari Astrologi atau kebudayaan
‘Barat’. Seperti Aries, Leo, gemini, dan
apa itu lagi? Ah, saya tidak hafal.
Sedangkan yang terakhir Hari
Pasar. Terdiri dari lima pilihan; Legi,
Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Diberi
nama ‘pasar’ karena sistem ini, lazim
dipakai untuk membagi hari buka pasar
(tempat jual beli), untuk pemerataan
ekonomi. Hal ini disesuaikan dengan
arah mata angin. (Timur, Selatan, Barat,
Utara, dan Tengah). Pasar ini dibuka
secara bergantian. Sedangkan
masyarakat Melayu Islam menggunakan
siklus Mingguan yang berjumlah tujuh
hari. Semisal pasar Senen, pasar Kamis.
Reng Madhureh ngucak ‘Kemmisan’.
Konon, pasaran yang berjumlah 5
hari ini sejalan dengan “Sedulur Papat,
Kalima Pancer.” Empat saudara,
kelimanya pusat. Pancer adalah diri kita
(ego), dan yang empat adalah unsur
anasir (elemen) pembentuk raga atau
jasad, yaitu: Tanah, Air, Api dan udara.
Adapun hubungannya sebagai
berikut:
Legi, bertempat di timur,
Anasir (elemen) Udara, memancar sinar
(aura) putih.
Paing, bertempat di selatan,
Anasir Api, memancarkan sinar merah.
Pon, bertempat di barat, Anasir
Air, memancarkan sinar kuning
Wage, bertempat di utara
Anasir Tanah, menacarkan sinar hitam.
Kliwon, tempatnya di pusat,
Anasir Eter, memancarkan sinar manca
warna.
Ada-ada saja orang dulu itu, ya!
Setelah diulas panjang lebar, kita
kembali ke kalender.
Tepatnya pada tahun 1633 M,
seorang raja dari Mataram sedang
berusaha keras untuk menyebarkan
Islam. Sultan Agung, begitulah orang-
orang mengenal. Beliau berkehendak
untuk menggunakan kalender Islam
(Hijriah) tanpa meninggalkan kalender
yang telah ada. Hingga lahirlah
‘kalender Jawa,’ adaptasidari kalender
Hijriyah. Hal ini dapat dilihat dari nama-
nama bulan yang hampir mirip antara
keduanya. Kalender Islam menggunakan
7 hari dalam seminggu, sedangkan orang
Jawa menggunakan sistem 5 hari dalam
seminggu. Kedua sistem ini tetap
dipertahankan hingga saat ini, yang
membuat kedua sistem ini berjalan
secara paralel.
Hingga pada suatu waktu, hari Legi
–yang katanya memancar aura putih-,
dan hari Jumat –Sayyidul Ayyam bagi
orang islam- menyatu dalam satu hari.
Terucaplah hari ‘Jumat Legi’, yang
akhirnya orang-orang lebih mengenalnya
dengan sebutan Jumat Manis.
Owh, jadi karena itu kiai
berpendapat semua jumat itu sama, yang
membedakan adalah orang Jawa kuno.
Tapi kenapa bacaan istighasah malam
jumat manis berbeda? Itu karena, jika
dibaca tiap malam Jumat, orang-orang
akan mengeluh, terlalu panjang, yang
pasti akan semakin larut selesainya. Dan
dipilih malam Jumat manis, karena
malam itu anggota istighasah lebih
banyak dari biasanya. Maklum, ada
segelintir orang yang menjadwalkan
hadir istighasah hanya malam Jumat
manis saja. Sangat disayangkan.
Baiklah, mari kita melompat ke
pembahasan berikutnya. Malam
mingguan. Muda-mudi sekarang
menyingkat dengan sebutan ‘MalMing’.
Namun sebelum melanjutkan perjalanan,
marilah sejenak kita mampir ke tahun
’sebelum Masehi’. Ya, sebelum tanggal
1, bulan 1 (Januari), tahun 1. Yakni,
sebelum kelahiran nabi Isa al-Masih.
Seperti halnya kalender Hijriah,
nama-nama bulan Masehi (Januari
sampai Desember) sudah ada sebelum
dimulainya penanggalan Masehi. Sistem
penanggalan Masehi berhubungan erat
dengan sejarah Romawi (kiai sering
menyinggungnya saat pengajian pagi.
Inilah kerajaan besar yang menguasai
separuh dunia ke timur. Akibatnya
5. sampai saat ini, Indonesia masih
menggunakan angka Romawi) menurut
legenda, kerajaan ini dibangun oleh raja
Romulus, tanggal 21 April 753 BCE
(Before common era ‘sebelum masehi’)
pada saat itu kalender hanya 10 bulan
(Maret sampai Desember), ditambah 2
bulan tanpa nama (musim dingin). Raja
berikutnya, Numa Pumpilus,
menamainya dengan Januari dan
Februari. Penamaan nama bulan akan
dijelaskan di lembar selanjutnya, (baca
rubrik Hikmah).
Setelah menjelajah jauh melompati
dimensi ruang dan waktu saatnya kita
kembali ke tanah air tercinta, republik
Indonesia.
Alkisah, sebelum tahun 1960 tak
pernah dijumpai hari bernama Minggu.
Masyarakat tempo dulu hanya mengenal
hari Ahad. Yang didownload dari bahasa
Arab, artinya ‘hari kesatu’. Dan sudah
resmi sejak sebelum penjajahan Belanda.
Tentu, penyebutan Ahad adalah hal yang
membanggakan bagi umat Islam. Kata
Ahad mengingatkan kita pada nama
Allah yang maha esa (al-Ahad).
Memiliki kandungan yang cukup mulia,
untuk menolak pemikiran yahudi dan
nasrani, bahwa Allah itu satu, tidak
beranak dan diperanakkan. Sebagaimana
tercantum dalam surat al-Ikhlas.
Lalu kenapa sekarang, penyebutan
hari ‘Minggu’ merata di seluruh
nusantara? Rupanya ini juga tak luput
dari pengaruh barat. Saat tak mampu
untuk menjajah fisik, mereka menjajah
aqidah kita. Asal anda tahu! Kata
Minggu itu berasal dari kata portugis,
Domingo. Dari bahasa latin Dies
Dominicus yang berarti “Dia Do
Senhor” atau hari tuhan kita. Mulanya
dalam bahasa melayu dieja Dominggu.
Barulah di akhir abad 19, kata ini dieja
menjadi Minggu.
Paham kan, siapa yang dimaksud
tuhan kita? Ya, mereka itu-tuh yang
beribadah hari Minggu.
Potongan sejarah mengungkap,
adanya dana yang cukup besar dari luar
Indonesia untuk memonopoli percetakan
kalender selama bertahun-tahun.
Percetakan dibayar agar menghapus kata
Ahad, lalu diganti dengan Minggu.
Setelah jadi, kalender ini dibagikan
secara gratis atau dijual dengan harga
sangat murah. Hari liburpun digeser ke
hari minggu, katanya, toleransi
beragama. Sangat ironis. Namun
begitulah sejarah mencatat.
Zaman bergulir. Saatnya kita
pulang, kembali menuju era, dimana kita
menapakkan kaki. Disebuah masa, yang
muda-mudinya menyebut ‘Malam
Mingguan’ dengan istilah MalMing.
Jika kita mengintip keluar
pesantren, pastinya akan mendapati tiap
malam Minggu jalanan ramai, hilir
mudik kendaraan para pelaku
‘MalMing’. Sebagian besar, muda-mudi,
remaja, abg, sampai ‘bang toyib yang
tak pulang-pulang’. Ya, mereka bilang
untuk refreshing. Menghilangkan bosan,
depresi dan stres setelah 6 hari sibuk
dengan sekolah dan kerja.
Ada banyak aktivitas dimalam
yang panjang ini, (karena besoknya
libur). Diantaranya, nonton, kumpul
bareng, hang out dengan teman, apel
kerumah pacar, ketemuan dengan
seseorang, hingga terjadilah kecelakaan
yang tidak diharapkan, bukan
kecelakaan sesungguhnya. Tapi
kecelakaan yang…. Hmzz, tentu anda
paham maksud saya. Naudzubillah.
Ternyata, minggu yang disebut
‘hari tuhan kita’ telah menjelma hari
maksiat. Bahkan yang tampak sekarang,
orang Islam sendiri yang meramaikan
MalMing di jalanan. Sekali lagi harus
terucap “sangat disayangkan.”
Nah, pembaca yang budiman,
setelah menemani saya berkelana, dan
sebelum anda membuka lembar
selanjutnya, saya berpesan: Hapus kata
Minggu dari daftar kamus lisan maupun
tulisan. Ganti pengucapan 7 hari yang
biasa disebut seminggu dengan
melafadzkan sepekan. Bukan minggu
depan, tapi pekan depan. Bukan hari
Minggu, tapi ucapkanlah dengan tegas,
hari Ahad.
احد هوهللا قل
Malam Ahad, 13 Muharrom 1440
6. BERBICARA, berkata, berucap,
berujar, dan bertutur.
Kurang lebih seperti itulah kalimat-
kalimat yang digunakan untuk
mengungkapkan atau menyatakan
sesuatu yang keluar dari anggota tubuh
yang bernama lisan atau mulut. Entah
bagaimanapun pengungkapan atau
pernyataan yang digunakan, fokusnya
adalah siapa, seperti apa pernyataan
yang baik dan benar, serta bagaimana
pengungkapan tersebut bermakna, lebih-
lebih berfaidah.
Utamanya bagi kalangan santri,
ungkapan-ungkapan beserta kriterianya
bukan lagi hal yang gharib di indera
pendengaran. Sebab, jika merujuk pada
materi yang ada, ditingkat Ibtidaiyah
atau Ula, sudah dijabarkan sedemikian
rupa mengenai hal itu. Misal, dalam
kitab Matn al-Ajurumiyah disebutkan:
بالوضع المفيد المركب اللفظ هو ,الكالم di tingkat
tsanawiyah ada Nadzm ‘Imrithy: كالمهم
مسند مفيد ,لفظ dan Khulashah al-Alfiyah:
كاستقم مفيد لفظ .كالمنا Dan banyak lagi versi-
versi lain, seperti
menurut Fuqaha’,
Lughawiyyin, dan
semacamnya. Tinggal
seberapa besar usaha
kita guna menyulut
himmah dalam
mempelajari,
memahami,
mempraktekkan, dan
mengalokasikan sebagaimana
semestinya.
Namun, realita kehidupanlah yang
dirasa tepat sebagai objek dalam
pembahasan ini. Mengapa? Tak perlu
kemana-mana, karena disekitar kitapun
masih banyak, bahkan bisa dibilang
mayoritas dalam menggunakan kalimat-
kalimat, istilah-istilah yang tidak sesuai
dengan yang seharusnya. Tentu, adat-
istiadat, tuntutan lingkungan, dan aspek
pergaulanlah yang menjadi faktor paling
berpengaruh. Sebagai contoh, dalam
dunia remaja ada istilah ‘MalMing’ dari
kepanjangan ‘Malam Minggu’. Dan
yang mengungkapkannya pun tidak
hanya para remaja, orang tuapun juga
ikut berpartisipasi yang kesemuanya
beragama Islam. Memangnya tidak
boleh jika beragama Islam menyatakan
kayak begituan? Nah, disinilah letak
permasalahannya. Dalam agama Islam,
tidak ada sebutan ‘hari ini adalah hari
Minggu’, ‘besok malam adalah malam
Minggu’. Yang ada hanya hari Ahad
atau malam Ahad. Selain pada hari dan
malam, kebiasaan masyarakat juga
berlaku saat menyatakan tanggal
kalender Masehi dan kalender Hijriyah.
“Mun umumah tangghel tello belles,
mun jhebenah tangghel tello’,”
(Umumnya tanggal tiga belas, Jawanya
tanggal tiga). Bisa dipastikan yang
dimaksud ‘Umum’ adalah kalender
Masehi, dan ‘Jawa’ adalah kalender
Hijriyah.
Bila dicermati lebih logis, sah saja
jika kalender Masehi disebut dengan
sebutan ‘Umum’. Karena mayoritas
umat berbagai agama bahkan dunia
menggunakannya. Secara tidak
langsung, keumuman atau meratanya
penggunaan sebutan itulah yang menjadi
penyebab masyarakat di sekitar kita
menyebut kalender Masehi dengan
sebutan kalender Umum. Berbeda
dengan kalender Hijriyah, hanya umat
Islam yang sadar dan menyadari bahwa
kalender Hijriyah adalah kalender
miliknya. Lalu, apakah tidak boleh
menggunakan kalender Masehi dalam
rutinitas sehari-hari? Jawabannya,
tidakkah lucu bila ada seseorang tak
menganggap segala barang yang di
rumahnya sendiri adalah miliknya.
Seperti yang tertulis diatas, adat-
istiadatlah faktor yang paling
mempengaruhi.
Oleh karena itu, meskipun adat-
istiadat bisa dijadikan pijakan hukum,
7. bukan berarti kita dengan enteng dapat
menghukumi mubah segala hal, dengan
berlandaskan kaidah al-‘adatu
muhakkamatun’. –Dalam Islam- adat-
istiadat merupakan pintasan terakhir
setelah al-Quran, Hadits, Ijma’ ulama,
dan Qiyas. Dan karenanya pula, marilah
serentak ganti kebiasaan menyatakan
hari Minggu menjadi hari Ahad, malam
Minggu menjadi malam Ahad, dan
kalender Jhebeh menjadi kalender
Hijriyah.
Menyimpang dari bahasan diatas,
namun dapat dinilai berkaitan secara
pemahaman, beberapa bulan yang lalu
muncul beberapa problematika yang
meramaikan jagat dunia maya.
Terjadinya problema tersebut tentu tak
lain dan tak bukan adalah ulah mereka
yang mendahulukan tindakan daripada
akal fikiran, yang tak memandang
berfaidah dan tidaknya, bermakna dan
tidaknya, serta seberapa besar dampak
dan akibat yang akan dihasilkan. Dalam
kitab Ta’lim al-Muta’allim dikatakan
‘التأمل من الكالم قبل ,’البد haruslah sebelum
berbicara atau berkata itu difikir terlebih
dahulu. Mengapa? Lanjutan konteksnya
‘كالسهم الكالم ,’فإن karena perkataan,
pembicaraan tak ubahnya anak panah.
Sedikit saja meleset, bahayanya dapat
mengarah pada keselamatan seseorang
bahkan nyawa. Hal tersebut sesuai
dengan pepatah bahasa Arab ‘Salamatul
Insan fi Hifdzil Lisan’.
Salah satunya adalah ceramah
kontroversial dari seorang Ustadz muda
gaul bernama Evie Efendi. Ceramah
yang disampaikan dalam rangka
memperingati Maulid Nabi Saw. Si
Ustadz mengatakan bahwa peringatan
Maulid Nabi merupakan peringatan
sesatnya Nabi Muhammad. Karena
menurutnya, Nabi Muhammad
dilahirkan dalam keadaan sesat. Hal itu
mengacu pada ayat ketujuh surat ad-
Dhuha yang berbunyi: فهدى ضاال ,ووجدك
kemudian si Evie mengartikan kata
Dhallan dengan ‘tersesat’. Dia berkata,
“Setiap orang itu awalnya sesat, dhallan
fa hada, Muhammad termasuk. Maka
kalau ada yang muludan, apanya yang
diperingati?”. Sebelum mengartikan
sendiri, Evie terlebih dulu bertanya pada
seorang Ustadz disampingnya. “Wa
wajadaka dhallan fa hada, artinya teh
naon, ustadz?. “Dan Dia (Allah)
menemukanmu dalam keadaan sesat,
kemudian Allah memberi petunjuk.”
Jawab si ustadz. Setelah mendapati
terjemahan tersebut, Evie semakin yakin
jika Nabi Muhammad pernah tersesat.
Setelah videonya tersebar di dunia maya,
selang beberapa hari, Habib Bahar bin
Ali bin Smith seorang ulama asal Bogor,
Jawa Barat, dalam sebuah ceramahnya
beliau memberikan komentar pedas atas
ceramah ustadz gaul tersebut. “Dia
(Evie) tidak punya akhlak, tidak punya
adab kepada Rasulullah. Dalam tafsir
Baghawy karangan daripada Imam
Baghawy dijelaskan, kata dhallan bukan
berarti Nabi itu tersesat, bukan Nabi
tidak tahu apa-apa, bukan Nabi tidak
punya agama, bukan Nabi itu tidak
beriman. Yang dimaksud adalah Nabi
pernah tersesat di lereng-lereng kota
Mekkah. Pada saat itu, Nabi berumur
delapan tahun sedang menunggangi unta
betina bersama pamannya, Abu Thalib,
dalam perjalanan menuju kota Syam.
Yang menyesatkan Nabi adalah iblis
la’natullah. Lalu Allah memerintahkan
Malaikat Jibril As untuk meniup iblis
tersebut, hingga tertiup jauh ke Bashrah.
Sedangkan maksud dari fa hada, Allah
memberikan petunjuk pada Nabi, hingga
Nabi dan Abu Thalib sampai pada
tujuan, yaitu Syam. Juga Allah memberi
perlindungan pada Abu Thalib yang
ketika itu menjaga dan mengasuh Nabi.”
Dengan adanya ceramah kontroversial
dari si Evie dan tanggapan tegas dari
sang Habib diatas, kita dapat menciduk
hikmah bahwa jikalau kita ingin
memberi penegasan dari segala hal, baik
berupa perkataan atau perbuatan,
seyogyanyalah bagi kita guna
mengklarifikasi terlebih dahulu. Meski
pada proses penegasannya tidak boleh
tidak dari kesalahan, setidaknya tidak
separah seperti problema diatas. Wallahu
A’lam.
11 Muharrom 1440
8. BELIAU dilahirkan di kota Tarim
Hadramaut, republik Yaman pada hari
Sabtu tanggal 13 Jumadil Akhirtahun
919 H. Adapun nasab lengkapnya adalah
as-Sayyid as-Syeikh al-Kabir al-Qutb as-
Syahir Abu Bakar bin Salim bin
Abdullah bin Abdurrahman bin
Abdullah bin as-Syeikh al-Imam al-Qutb
Abdurrahman as-Seggafbin as-Syeikh
Muhammad Maula ad-Dawilah bin as-
Syeikh Ali Shahibul Dark bin al-Imam
Alwi al-Ghuyur bin al-Imam al-Faqih al-
Muqaddam Muhammad bin Ali bin Al-
Imam Muhammad Shahib Marbat bin al-
Imam Ali Khola’ Qosam bin Alwi bin
al-Imam Ubaydillah bin al-Imam al-
Muhajir Ahmad bin al-Imam Isa ar-
Rumi bin al-Imam Ali al-Uraydhi bin al-
Imam Ja’far as-Shodiq bin al-Imam
Muhammad al-Baqir bin sayyidina al-
Imam Ali Zainal Abidin bin sayyidina
al-Imam as-Syahid syababul Jannah al-
Husein putra dari al-Imam Amirul
Mukminin sayyidina Ali bin Abi Thalib
k-w. dan sayyidatina Fathimah Az-Zahra
r-a, binti Sayyidina Rasulullah
shallallahu alihi wa sallam.
Sesugguhnya jauh sebelum
kelahiran beliau telah banyak
diramalkan oleh para Auliya’ terkemuka
di zaman itu, beberapa auliya’ tersebut
diantaranya; al-Imâm Ahmad bin Alwi
berhenti ditempat tersebut dan beliau
berkata kepada masyarakat yang hadir di
waktu itu: “Akan lahir salah seorang
anak kami yang akan mempunyai
keagungan dan ia akan tinggal ditempat
ini. al-Imâm Ahmad bin Alwi,
selanjutnya berjalan berkeliling kota
‘Iynat sambil sesekali beliau
menunjukkan tempat-tempat yang
berkaitan kelak nantinya dengan As-
Syĕikh Abû Bakar bin Sãlim r-a, beliau
menunjukkan tempat yang akan
dibangun masjid oleh as-Syĕikh Abû
Bakar bin Sãlim r-a, dan beliau sempat
shalat disana, beliau juga menunjukkan
tempat yang mana disana kelak akan
dibangun rumah as-Syĕkh Abû Bakar
bin Sãlim r-a.
9. Al-Imâm As-Syarifal-‘Arif billah
al-Mukasyifshahibul karomah al-
Khawariq Al-‘Adah as-sayyid Ahmad
bin Alwi yang tinggal di daerah
Maryamah, sekali waktu beliau ini
datang ke ‘Iynat dan beliau duduk di
sebidang tanah yang pada waktu itu
hanya berupa semak belukar dan
bebatuan (yang nantinya akan didiami
oleh as-Syĕkh Abû Bakar bin Sãlim r-a).
Al-Imâm al-Habib Ali al-Habsyi r-
a (shahibus-Simthudduror)
meriwayatkan bahwa wali lainnya yang
telah meramalkan keberadaan dan
keagungan sayyidina as-Syĕkh Abû
Bakar bin Sãlim r-a. adalah al-wâli al-
Imâm Muhammad bin Ahmad
Jamalullail, beliau berkata : “Akan ada
disini (‘Iynat ) salah seorang dari anak-
anak kami yang akan termasyhur dengan
keagungan dan kewalian, dan qubahnya
akan berada dan didirikan di kota ini”.
Wali lainnya yang telah
mengisyaratkan keagungan beliau adalah
guru beliau sendiri yaitu sayyidina al-
Imâm Syahâbuddin al-Akbar Ahmad bin
Abdurrahman, tatkala didatangi oleh
ayahanda beliau yaitu al-Imâm as-
Sayyid Salim bin Abdullah r-a, yang
bermaksud mengeluhkan kelambanan
beliau dalam mempelajari ulumul
Qur’an dalam usia remaja, karena pada
masa itu anak-anak remaja di kota Tarim
juga giat mempelajari ilmu-ilmu al-
Qur`an dalam usia yang sangat belia. Al-
Imâm Syahabudin Al-Akbar
mengomentari keluhan ayahanda as-
Syĕkh al-Imâm Abû Bakar bin Sãlim r-a,
beliau berkata: “Biarkanlah anakmu dan
tak usah engkau khawatirkan,
sesungguhnya anakmu akan bisa dengan
sendirinya dan kelak ia akan mempunyai
keutamaan yang agung.” Kenyataanya
beliau syeikh Abu Bakar bin Salim
akhirnya mahir membaca al-Quran dan
tak lama kemudian beliaupun
mengkhatamkan Al-Quran dengan
disiplin ilmu ulumul Quran, hanya
selama 4 bulan.
Kemudian beliau disibukkan
dengan menuntut ilmu-ilmu bahasa Arab
dan agama dari para pembesar ulama
dengan semangat yang kuat, kejernihan
batin dan ketulusan niat. Bersamaan
dengan itu, beliau memiliki semangat
yang menyala dan ruh yang bergelora.
Maka tampaklah tanda-tanda
keluhurannya, bukti-bukti
kecerdasannya dan ciri-ciri
kepimpinannya. Sejak itu, sebagaimana
diberitakan as-Syilly dalam kitab al-
Masyra’ ar-Rawy, beliau membolak-
balik kitab-kitab tentang bahasa Arab
dan agama dan bersungguh-sungguh
dalam mengkajinya serta menghafal
pokok-pokok dan cabang-cabang kedua
disiplin ilmu tersebut. Sampai akhirnya,
beliau mendapat langkah yang luas
dalam segala ilmu pengetahuan.
Beliau telah menggabungkan
pemahaman, peneguhan, penghafalan
dan pendalaman. Beliau alim handal
dalam ilmu-ilmu syariat, mahir dalam
sastra Arab dan pandai serta kokoh
dalam segenap bidang pengetahuan.
Dalam semua bidang tersebut, beliau
telah menampakkan kecerdasannya yang
nyata. Maka, menonjollah karya-
karyanya dalam mengajak dan
membimbing hamba-hamba Allah
menuju jalan-Nya yang lurus.
Syeikh Abu Bakar menuntut ilmu
dari guru-guru besar di masanya seperti
Imam Umar bin Muhammad bin Ahmad
bin Abu Bakar Basyaiban pengarang
kitab Tiryaq, Imam Ahmad bin Alwi Ba-
Jahdab, Syeikh Al-Faqih As-Sufi Umar
bin Abdullah Bamahramah, belajar
padanya kitab Risalah Qusyairiyah, al-
Faqih Umar ini tidak mudah mengajar
seseorang kecuali beliau ketahui
keselamatannya dan kesiapannya. Juga
syeikh Ma’rufbin Abdullah Bajamal
Asy-Syibamy dan Ad-Dau’any juga
termasuk guru-guru beliau.
Bersambung...
10. TANGIS ADIKKU
Menangis adikku,
Luntur sudah relief bulan-bintang diwajahnya
Kidung wasiat ibu kemarin
Tersingkap dan lenyap dari kepalanya
Hangus! Terbakar angin api simpang khatulistiwa
Tersedu adikku,
Kedua kakinya gemetar rapuh
Serapuh tebal aspal pantura
nan hancur tergerus
nyinyir banjir air bir.
AW, Sulek: 21/02/2017
PENGEMIS
Matahari belum menampakan wajah
Namun pengemis itu sudah membuka mata
Dia tak mau matahari mendahului
Walau langit masih pekat dengan gelap
Dan rembulan enggan mengeluarkan cahaya
Pengemis itu tetap berjalan dengan penuh harapan
Tak ada sedikit pun keraguan dalam langkah
Dinginnya malam seakan tak terasa
Karena kesadarannya akan dosa-dosa
Dengan rasa malu ia angkat tangan
Untuk mengemis ampunan pada tuhan
Saifur Rahman
11. BUKAN WAKTU YANG SALAH
Bukan waktu yang salah
Saat tertidur nyenyak bersama mimpi
Merajut benang fana yang tak kan jadi nyata
Menikmati setiap senti, hembusan nafas yang silih ganti
Yang lalu jadi usang, yang datang terhirup dalam
Bukan waktu yang salah
Saat mimpi menjadi kisah fiksi
Terbumbui namun tanpa rasa
Tetap berangan diatas cakrawala malam
Membanggakan bintang yang tak sudi menatap bumi
Dan diri sendiri...
Terpaku di atas tanah
Bukan waktu yang salah
Saat nafas telah lelah
Duduk membatu di mulut pintu
Tak lagi keluar tak lagi kedalam
Darahpun tak mampu melangkah
Hingga sebilah memori menancap
Teori-teori masa lalu yang tetap menjadi teori
Angan-angan masa depan yang tetap menjadi angan
Timbullah hendak memperbaiki
Namun waktu benar-benar telah pergi
Sekali lagi...
Bukan waktu yang salah
eM_Anam
LAGI-LAGI TENTANG CINTA
Terkadang masih berkelindan
Sebuah cerita yang kata orang telah usang
Denyutan rindu itu berdetak
Seakan hidup padahal tidak
Itu hanya panggilan untuk kembali
Pada deretan buih yang tak seharusnya terulang lagi
Buih kelam terombang-ambing
Ingin kuhapus, terlanjur runcing
Menusuk dan tak kunjung usai
Tak cukup tangan kujadikan perisai
Maka inilah puisiku
Sederet cerita yang belum usai
Hamba Allah
12. BEBERAPA waktu yang lalu, dalam
sebuah obrolan santai, seorang sahabat
bercerita kepada penulis, “Suatu ketika
saya pernah datang ke masjid, lalu
bersesuci dan berwudhu di kamar mandi
masjid tersebut. Usai berwudhu, saya
masuk ke dalam masjid dengan niat
yang juga tidak kalah suci: untuk
melaksanakan ibadah sholat dhuhur.”
Tuturnya memulai cerita.
“Di depan serambi masjid, Saya
meninggalkan sandal yang masih bersih
dan basah oleh sisa-sisa siraman air
wudhu.” Lanjutnya semakin serius.
“Lalu?” sela penulis penasaran.
“Setelah beberapa saat, usai
melaksanakan ibadah, saya beranjak
keluar dari masjid. Sesampainya di
serambi masjid, tahu-tahunya saya
mendapati sandal yang tadi, sudah dalam
keadaan sangat kotor. Kotor oleh bekas
terinjak-injak jemaah lain yang telah
meninggalkan masjid lebih dulu.
Padahal jelas-jelas, dan dengan yakin
sekali, sebelum saya tinggalkan masuk
ke dalam masjid, sandal itu tadinya
masih bersih.” Demikian sang sahabat
menyelesaikan ceritanya. Lengkap
dengan mimik kesal di dahinya.
Menanggapinya, penulis hanya
sedikit menghibur dengan
menyarankannya agar bersabar. “Sabar...
itu hanya masalah sepele.”
***
Secara global, masalah tersebut
(sepintas) memang tergolong kategori:
masalah ringan. Tidak ada yang perlu
dibesar-besarkan, untuk kemudian
menjadi sebuah topik yang perlu dibahas
panjang dan lebar. Tidak ada sisi yang
perlu direnungkan, dikoreksi, atau
13. diperbaiki. Malah, realitanya memang
sudah menjadi kebiasaan dimana-mana.
Namun jika diamati lebih dalam
lagi, ternyata masalah tersebut tidaklah
sesederhana yang kita bayangkan selama
ini. Mengapa? Karena, beda orang, beda
cara berpikirnya. Lain cara berpikir, lain
juga respon hatinya.
Kaitannya dengan masalah di atas,
adalah setiap orang bisa jadi berbeda
cara pandang, pendapat, dan
tanggapannya mengenai masalah ‘kecil’
tersebut. Perbedaan tanggapan itu
biasanya tergantung sebagai ‘apa’
dirinya berperan dalam masalah tersebut.
Apabila posisinya sebagai pelaku dan
pihak ketiga (alias pendengar saja),
maka pandangan dan tanggapannya
biasanya kompak: “Itu hanya pesoalan
kecil, sederhana, dan sudah biasa.”
Akan tetapi, persepsi ‘kecil’ dan
sepele itu akan serta-merta hilang
manakala kita mencoba membayakannya
dari sudut pandang korban. Sama seperti
tokoh korban dalam cerita di atas, boleh
jadi kita juga akan mengeluh,
ngedongkol, dll.
Pertama, pendengar (pihak ketiga).
Jika dilihat dari sudut pandang penulis
(dan kita semua) yang notabenenya
hanya sebagai pendengar saja, maka
masalah tersebut tentu termasuk masalah
ringan, sepele, dan sangat jauh dari
kategori serius, alias biasa-biasa saja.
Kedua, pelaku. Jika masalah
tersebut ditinjau dari sudut pandang
pelaku, maka jelas, persoalan tersebut
bukanlah suatu masalah yang layak
dipanjang-panjangkan. Ringan-ringan
saja. Remeh-remeh saja. Toh, memang
sudah biasa terjadi seperti itu di
khalayak umum.
Ketiga, korban. Nah, setelah kita
mencoba berandai-andai dan
meneropong masalah tersebut dari dua
sudut pandang sebelumnya, kini mari
kita mencoba meniliknya dari sudut
pandang korban: sudut pandang pihak
yang paling dirugikan dalam masalah
sepeleh tersebut.
Akhirnya, secara otomatis, tentu
nilai yang demikian rendah dari dua
sudut pandang sebelumnya, akan serta-
merta berubah manakala problema
‘sandal kotor’ tersebut kita sorot dari
sudut pandang korban.
Untuk lebih jelasnya, silakan
bayangkan, kira-kira bagaimana rasanya
jika hal itu terjadi kepada kita?
Kesalkah? Sebalkah? Atau merasa
ngedongkol sendiri tapi kita tidak tahu
siapa yang harus didongkoli?! Oh... itu
menyebalkan sekali, bukan?!
Sungguh, yang demikian baru
kotor terinjak-injak oleh ‘kaki-kaki’
yang tidak bertanggung jawab. Belum
kalau sampai dicuri. Hilang. Lenyap tak
tersisa.
Maka, berdasarkan cerita singkat di
atas, marilah mulai dari sekarang kita
pastikan bahwa kaki-kaki yang slebor itu
BUKAN KAKI KITA.
Karena meski menginjak sandal
orang lain secara sembarangan itu tidak
ada apa-apanya jika dibandingkan
dengan mereka yang doyan meng-
ghasab, atau dengan mereka yang kerap
kali menukarkan dengan milik dirinya
yang lebih jelek, dan atau dengan
mereka yang hobi nyolong, tetap saja
kebiasaan buruk yang ‘kecil’ itu
MERUGIKAN ORANG LAIN.
Tidak ingatkah kita bahwa, konon,
menurut Rasulullah Saw, yang dimaksud
seorang muslim sejati ialah seorang
(muslim) yang mampu menjaga orang
lain dari gangguan tangan dan kakinya.
Bahkan, dalam kesempatan yang
lain, Rasulullah Saw juga pernah
bersabda, “La yu’minu ahadukum hatta
yuhibba liakhihi ma yuhibba linafsihi,”
tidaklah sempurna iman seseorang
sampai ia bisa mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri. Jika kita tidak ingin sandal kita
diinjak-injak sembarangan oleh orang
lain, maka jangan sekali-kali kita
menginjak sandal orang lain. Mari mulai
dari diri sendiri!
Tegal Jati, 05 November 2017
14. JANUARI. Dalam mitologi
Romawi Kuno, dikenal seorang dewa
berwajah dua. Satu menghadap ke depan
dan satunya ke belakang. Untuk
menentukan mana yang depan atau
belakang, ditandai dengan wajah yang
menghadap depan selalu tersenyum dan
optimis, sedangkan yang menghadap ke
belakang selalu terlihat muram dan
sedih. Dewa itu bernama Janus, yang
bisa pula berarti pintu, gerbang, gapura
atau lorong masuk.
Itulah mengapa bulan pertama
setiap tahun dinamakan dengan bulan
JANUARI. Januarius Mensis (Latin,
bulan Januari) dan bulan ini bisa
dikatakan berwajah dua. Wajah yang
satu menghadap ke tahun sebelumnya
dan lainnya ke tahun berjalan.
FEBRUARI, adalah bulan kedua
tahun dalam Kalender Gregorius. Kata
ini diambil dari Bahasa Belanda Februari
yang mengambil dari bahasa Latin,
Februus, dewa penyucian. Bulan ini
merupakan bulan istimewa sebab
panjangnya bisa 28 atau 29 hari, pada
Tahun Kabisat. Variasi pengejaan
nonbaku yang kadang-kadang dipakai
adalah "Pebruari". Oleh bangsa Romawi
bulan ini dipandang sebagai waktu untuk
merayakan upacara penyucian.
MARET, Merupakan bulan ketiga
dalam tahun Masehi. Berasal dari nama
Dewa Mars, Dewa Perang. Pada
mulanya, Maret merupakan bulan
pertama dalam kalender Romawi, lalu
pada tahun 45 SM Julius Caesar
menambahkan bulan Januari dan
Februari di depannya sehingga menjadi
bulan ketiga. Bulan ini memiliki 31 hari.
APRIL, Merupakan bulan keempat
dalam tahun Masehi. Berasal dari nama
Dewi Aprilis, atau dalam bahasa Latin
disebut juga Aperire yang berarti
”membuka”. Diduga kuat sebutan ini
berkaitan dengan musim bunga dimana
kelopak bunga mulai membuka. Juga
diyakini sebagai nama lain dari Dewi
Aphrodite atau Apru, Dewi Cinta orang
Romawi. Bulan ini memiliki 30 hari.
MEI, adalah bulan kelima dalam
Kalender Gregorian. Namanya berasal
dari bahasa Latin yang kemungkinan
besar merujuk kepada Dewi Maia yaitu
Dewi Kesuburan Bangsa. Bulan ini
memiliki 31 hari.
JUNI, merupakan bulan keenam
dari tahun Masehi. Kata ini diambil dari
Bahasa Belanda yang mengambil dari
bahasa Latin dewi Juno, sakti atau istri
dari dewa Jupiter. Bulan ini memiliki 30
hari.
JULI, adalah bulan ketujuh dalam
Kalender Gregorian. Namanya diambil
dari nama Kaisar Romawi, Julius
Caesar, yang lahir pada bulan ini.
Sebelumnya, bulan ini disebut Quintilis
yang berarti kelima dalam bahasa Latin
karena pada mulanya, Kalender Romawi
diawali pada bulan Maret. Bulan ini
memiliki 31 hari, sama dengan bulan
setelahnya, Agustus.
AGUSTUS, adalah bulan
kedelapan dalam satu tahun Kalender
Gregorian. Asal-usul kata ini tidaklah
begitu jelas, tetapi kemungkinan besar
diambil dari bahasa Portugis "Agosto"
yang dipengaruhi oleh bahasa Belanda
"Augustus". Kedua nama tersebut
merujuk kepada Kaisar Romawi,
Octavianus Augustus. Sebelumnya,
bulan ini disebut Sextilis yang berarti
keenam dalam bahasa Latin. Agustus
adalah satu dari tujuh bulan lain yang
memiliki 31 hari. Pada tahun biasa, tidak
ada bulan lain yang dimulai pada hari
dalam minggu yang sama seperti pada
bulan Agustus walaupun pada tahun
kabisat, bulan Februari dimulai pada hari
Tentang Bulan
15. yang sama. Bulan Agustus berakhir pada
hari yang sama dengan bulan November
setiap tahunnya.
SEPTEMBER, September adalah
bulan kesembilan dalam Kalender
Gregorian. Kata ini diambil dari Bahasa
Belanda yang mengambil dari bahasa
Latin; septem yang berarti "tujuh"
karena dahulu kala tahun bermula pada
bulan Maret, kemudiannya ditukar pada
153 SM. Bulan ini memiliki 30 hari.
OKTOBER, Merupakan bulan
kesepuluh dari tahun Masehi. Nama
bulan ini berasal dari bahasa Latin Octo,
yang berarti delapan. Oktober
merupakan bulan kedelapan dalam
kalender Romawi. Dan memiliki 31 hari.
NOVEMBER, adalah bulan
kesebelas dalam Kalender Gregorian.
Kata ini diambil dari Bahasa Belanda
yang mengambil dari bahasa Latin;
novem yang berarti "sembilan". Bulan
ini memiliki 30 hari. Variasi pengejaan
nonbaku yang kadang-kadang (namun
tidak dianjurkan) dipakai adalah
"Nopember". November merupakan
bulan kesembilan dalam kalender
Romawi sampai dengan tahun 153 SM.
DESEMBER, adalah bulan terakhir
dalam Kalender Gregorian. Kata ini
diambil dari Bahasa Belanda, December
yang mengambil dari bahasa Latin;
decem yang berarti "sepuluh" karena
dahulu tahun bermula pada bulan Maret.
Desember merupakan bulan kesepuluh
dalam kalender Romawi. Bulan ini
memiliki 31 hari. Dibulan inilah diyakini
lahirnya Dewa Matahari (25 Dec) yang
kemudian diadopsi oleh Kristen menjadi
perayaan gereja, yakni Natal Yesus
Kristus.
Setelah menyelami makna bulan
Masehi, marilah kita memahami makna
dari bulan Hijriyah. Penanggalan umat
Islam sendiri yang hampir terlupa.
1. Muharram. Artinya, yg
diharamkan atau menjadi pantangan. Di
bulan Muharram, dilarang untuk
berperang.
2. Shafar. Artinya, kosong. Di
bulan ini, lelaki Arab pergi untuk
merantau atau berperang.
3. Rabi’ul Awal. Masa kembalinya
kaum lelaki yg merantau (shafar).
4. Rabi’ul Akhir. Akhir masa
menetapnya kaum lelaki.
5. Jumadil Awal. Artinya awal
kekeringan. Maksudnya, mulai terjadi
musim kering.
6. Jumadil Akhir. Artinya akhir
kekeringan. Dengan demikian, musim
kering berakhir.
7. Rajab. Artinya mulia. Jaman
dulu, bangsa Arab sangat memuliakan
bulan ini.
8. Sya’ban. Artinya berkelompok.
Biasanya bangsa Arab berkelompok
mencari nafkah.
9. Ramadhan. Artinya sangat
panas. Bulan yg memanggang
(membakar) dosa, karena di bulan ini
kaum Mukmin diharuskan
berpuasa/shaum sebulan penuh.
10. Syawwal. Artinya kebahagiaan.
11. Zulqa’dah. Artinya waktu
istirahat bagi kaum lelaki Arab.
12. Zulhijjah. Artinya yang
menuaikan haji.
Dari uraian di atas, jadi tampak
kesalahan yang dialami umat Islam hari
ini. Kenapa umat Islam sekarang lebih
mengenal penanggalan Masehi dari
Hijriyah? Padahal dengan bulan
Hijriyah, ibadah umat Islam ditentukan.
Marilah sejenak kita mencerna ayat
berikut:
“Sesungguhnya bilangan bulan
pada sisi Allah ialah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu
semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya; dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.” (At
Taubah:36).
Misbah
16. SEHABIS mengajar mengaji. Sekitar
jam setengah sembilan malam,
kusempatkan untuk sowan kepada
beliau. Berbincang dan menggugah jiwa
dengan cerita-cerita seputar kehidupan
pesantren. Maghrib dan Isyak tadi beliau
(pengasuh pesantren tempatku
ditugaskan) menjadi imam sholat di
masjid desa. Sedangkan subuh, dhuhur,
dan asharnya jarang sekali ada sholat
berjamaah. Mungkin orang-orang sibuk
dengan pekerjaan mereka masing-
masing.
Malam itu udara begitu dingin.
Musim kemarau sepertinya sudah
melewati batas jaraknya dengan musim
hujan. Hujan sudah lama tidak turun.
Siang hari panas mencekik. Malam
harinya cuaca dingin serasa menyayat-
nyayat. Membuat sebagian murid yang
bermalam di mushalla tempatku
mengajar ngaji sedikit malas untuk
keluar berwudhu bila sudah tiba waktu
subuh.
Di ruang tamu dhalem beliau itu,
terdapat empat kursi. Dua menghadap
selatan. Searah dengan arah rumah
menghadap. Sedangkan yang dua
lainnya persis berhadap-hadapan. Di atas
meja itu sudah terhidang dua cangkir
kopi buatan Bu Nyai. Setelah beberapa
kali kuseruput tantangan panas kopi,
barulah kumulai bercerita. “Saya ingat
Kiai. Dulu sewaktu saya masih di
pondok, ada seorang santri yang
dikeluarkan dari pondok. Sontak, hal itu
membuat santri-santri yang lain pada
heboh. Katanya, orang yang sudah
dikeluarkan dari pondok oleh kiainya
tidak akan diterima langit dan bumi.
Alias tidak akan selamat di dunia dan
akhirat. Kalau tidak salah, santri itu
dikeluarkan karena keluar batas komplek
pesantren dengan tanpa ijin kiai. Apa
betul tidak ada kesempatan kedua, Kiai?
Bukankah Allah itu Maha Pemaaf?
Apakah pesantren bisa lebih ‘kejam’
daripada Tuhan? Astahgfirullah...”
Dengan nada mengkritisi, kusampaikan
unek-unek yang sudah lama terpendam
kepada Kiai yang sejak tadi asyik
dengan hisapan rokoknya.
Mendengar apa yang kusampaikan,
Kiai menimpali, “Sudah Ustadz? Apa
tidak ada tambahan lagi unek-uneknya?
Kalau masih ada silahkan. Nanti gantian
saya yang akan bercerita agak panjang.”
Kusampaikan bahwa tidak ada lagi.
Hanya itu yang menjadi ganjalan
pikiranku selama ini. Apakah benar
santri yang dikeluarkan dari pesantren
itu terkutuk?
Tiba-tiba Kiai mematikan
rokoknya yang kelihatan masih tinggal
separuh. Lalu beliau memulai bercerita.
17. “Begini Ustadz, dulu di pesantren al-
Wafa ada seorang santri yang berasal
dari Madura. Ia berniat ngaji sama kiai.
Mungkin Ustadz sendiri tahu bagaimana
pesantren al-Wafa. Dulu, di sana kalau
ada santri yang melanggar tidak ada
sangsi atau teguran sedikitpun.
Celakanya, santri yang melanggar terlalu
sering, sewaktu-waktu bisa langsung
dihukum berat: disuruh pulang oleh kiai.
Atau dalam bahasa kasarnya ‘diusir’,
begitu. ”Kiai membuat jeda pada
ceritanya. Beliau menyuruput kembali
kopinya yang mulai mendingin. Aku
sendiri masih menanti kelanjutan
ceritanya.
“Nah santri yang dari Madura tadi
memiliki kebiasaan setiap malam Jumat
pasti dia keluar komplek pesantrentanpa
ijin. Tujuannya adalah untuk mencari
tetangga sekitar pesantren yang ingin
mengadakan tahlilan sekedarnya untuk
para leluhur. Mungkin bisa dianggap
santri yang satu ini mencari makanlah
istilahnya.
Suatu saat Kiai mengusir beberapa
santrinya yang sering melanggar.
Termasuk santri yang tadi itu. Ya... mau
bagaimana lagi. Santri itu pun pulang ke
Madura. Tapi tidak lama kemudian dia
kembali lagi. Nyantri lagi. Dan
kebiasaannya masih saja tetap seperti
itu. Akhirnya diusir lagi. Tapi tetap
kembali lagi setelah seminggu. Kejadian
itu terus berlangsung sampai santri itu
pamit boyong. Anehnya, santri itu
sekarang menjadi kiai besar di Jember.
Orang-orang menjulukinya dengan Kiai
Tahlil”. Ketika mengucapkan beberapa
kalimat terakhir itu, kiai menyuarakan
dengan sambil tertawa. Akupun ikut
larut dalam tawa. Karena menurutku
memang lucu. Tiba-tiba kiai
melanjutkan. “Makanya Ustadz, tidak
ada yang bisa mengetahui masa depan
seseorang. Asal Ustadz tahu, saya pun
dulu pernah diusir kiai sewaktu
mondok.”
Kiai berhenti sebentar. Aku
terkejut melongo. “Ah, kok bisa beliau
diusir dari pesantren?”. Pikiran bahwa
santri usiran itu terkutuk masih lekat
jelas dalam kepalaku. Cerita kiai tahlilan
tadi sepertinya begitu saja kulupakan.
“Benarkah itu kiai? Bagaimana
ceritanya?” Tanyaku dengan raut muka
yang kubuat tenang menyembunyikan
keterkejutan.Seperti menebak, kiai
langsung melanjutkan santai, “Tidak
usah terkejut Ustadz, apapun bisa
terjadi.”
Beliau kembali menyulutkan api
pada ujung batang rokoknya yang
tinggal separuh tadi di asbak. Sejenak
beliau hisap rokok itu dalam-dalam.
Nampak ‘nikmat’ sekali. Kemudian kiai
melanjutkan bercerita. “Dulu... di antara
sekian puluh santri (waktu itu pesantren
kita, Darus-Shalah, belum ratusan
jumlah santrinya), saya adalah termasuk
santri yang tidak pernah dipanggil oleh
kiai. Mungkin kiai tidak kenal saya.
Atau mungkin waktu itu saya masih
kurang lama mondoknya. Maklum, baru
tiga tahun jalan.
Ceritanya, dulu saya sangat senang
ikut pengajian kitab, Ustadz. Selain pada
kiai sendiri, saya juga sering ikut
mengaji kitab pada ustadz-ustadz yang
menjadi staf pengajar di pondok. Salah
satu kitab yang sangat saya suka waktu
itu adalah pengajian kitab Ihya’ Ulumid-
Din, karya Imam Al-Ghazali. Eh, tiba-
tiba ustadz yang mengajar kitab itu
pamit boyong karena akan berkeluarga
katanya. Kami sekawan pengajian
merasa sangat eman [baca: kepikiran],
Ustadz. Akhirnya kami bersepakat akan
melanjutkan pengajian itu di dhalem
Ustadz Zainal Abdullah (beliau adalah
guru kitab Ihya’ saya berikutnya).
Pengajian berjalan lancar sesuai rencana.
Beberapa hari keluar pondok untuk
mengaji kitab itu. Dulu tidak seketat
sekarang, Ustadz. Keamanannya pun
masih teman dekat saya. Jadi gampang
bagi saya untuk mendapat ijin keluar.
Suatu hari, selesai mengaji, tiba
tiba seorang santri memberitahu kami
bahwa kami peserta pengajian dipanggil
kiai sepuh. Tanpa panjang pikir,
bergegaslah kami semua menuju dhalem
kiai sepuh untuk menghadap. Bahagia
rasanya. Ini yang pertama kalinya.
Mungkin kiai akan memberi tugas.
18. Sampai di depan dhalem kiai, kami
mematung. Menunggu kiai keluar.
Sampai... beberapa saat kemudian, kiai
benar keluar menemui kami. Tapi...”
dengan mata berkaca-kaca pengasuh
pesantren tempatku mengabdi itu
kembali memberi jeda di tengah
ceritanya. Lalu, dengan nada sedikit
bergetar, beliau melanjutkan ceritanya,
“Tapi... kiai sepuh keluar menemui kami
malah dengan wajah murka. Benar-benar
marah. Seakan-akan kami akan
‘dihabisi’ waktu itu. ‘Saya mendapat
laporan, katanya kalian mengaji kitab di
luar pondok?’ Tanya kiai waktu itu.
“Lerres... [baca: benar]”,jawab kami
serempak dengan pandangan tertunduk.
Sangat menunduk. Tak kuasa
mengangkat wajah.
Tiba-tiba dengan suara agak keras
kiai sepuh berujar tegas “Pulang kalian!
Pulang! Saya tidak ridha kalian di sini.”
Kami pun tercengang tak percaya.
Kami diusir. Terusir gara-gara keluar
untuk mengaji kitab. Mengajinya benar.
Tapi keluar tanpa ijinnya itu salah.
Niatnya benar, namun caranya yang
salah. Jadi mau bagaimana lagi.
Kesimpulannya kami memang salah.
Ada salah satu kawan yangmenangis.
Ada pula yang hanya memejamkan
mata. Pasrah pada keadaan yang sedang
terjadi.”
1
Konon, nama kecil KH. Ghazali Utsman
Lalu, seraya kembali masuk ke
dhalem, kiai memanggil pelayannya.
Memerintahkan agar kami diurus cepat-
cepat untuk segera pulang. Saya pun
kenal sama pelayan itu. Fadlan,
namanya. Dia salah satu teman dekat
saya. Kamar kami bersebelahan: Saya di
B 16, sedangkan Fadlan di B 15. Tapi
apa mau dikata. Teman ya teman, tapi
aturan tetaplah aturan. Dan kali ini, kiai
sudah mengusir kami. Inilah aturannya.
Inilah hukumnya. Tidak ada yang bisa
menggugat. Begitulah pesantren.
Sami’na wa atho’na!.
Beberapa kawan saya akhirnya ada
yang benar-benar pulang ke rumahnya
pada hari itu juga. Ada pula yang
bertahan di pondok tidak mau pulang.
Sementara saya sendiri bersikukuh akan
meminta maaf pada kiai. Walau Fadlan
menghalangi, saya tidak peduli.
Setidaknya saya harus berusaha minta
maaf.
Esok harinya. Setelah semalaman
saya menangisi nasib. Pagi-pagi sekali
saya menanti kiai keluar. Biasanya pada
pagi hari kiai keluar untuk mengajar
kitab Safinatun-Najah di masjid
pesantren. Saya kuatkan tekad untuk
meminta maaf pada kiai. Setelah
menunggu beberapa lama, kiai pun
keluar membawa kitab pengajian itu.
Tapi tidak biasanya, seperti menghindar,
kiai memilih jalan yang bersimpangan
agak jauh dengan tempat saya duduk
bersimpuh menanti kiai. Dan tidak
sedikitpun kiai menghiraukan
keberadaan saya. Air matapun kembali
jatuh membasahi baju koko putih saya di
hari itu. Saya terus berdoa kepada Allah.
Semoga kiai berkenan memaafkan saya.
Karena hanya itu yang bisa saya
lakukan.”
Empat puluh lima menit berlalu.
Pengajian kitab selesai. Kiai pun turun
dari masjid dan hendak masuk ke
dhalem. Namun beliau tetap tak
sedikitpun mengacuhkan keberadaan
saya. Akhirnya seharian saya tetap
menunggu kiai di depan dhalem. Ke
pondok hanya kalau sudah waktu mandi
dan sholat berjamaah. Lain dari itu saya
tetap menunggu kiai di depan dhalem.
Mendamba maaf dari beliau.
Hari kedua saya masih menunggu.
Waktu pengajian, seperti biasanya,
sudah dimulai. Tapi sampai beberapa
puluh menit kiai tak kunjung keluar.
Tiba-tiba keluarlah Gus Munib1
. Beliau
putra kiai yang kedua dari istri beliau
yang ke dua. Gus Munib sangat
bersahaja. Tidak berkata apa-apa beliau
hanya tersenyum lewat di dekat saya.
Sampai di masjid, beliau memberikan
pengumuman bahwa pengajian wirid
pada pagi itu diliburkan dan diganti
19. dengan pembacaan yasin berjamaah.
Mengetahui hal itu pikiran saya menjadi
semakin kalang kabut. Ya Allah...
Apakah sudah tertutup maaf kiai untuk
saya. Serasa hampir putus asa dan
bayang-bayang pulang ke kampung
halaman seperti menari-nari di depan
saya. Tapi saya kuatkan. Saya yakin
akan mendapat maaf dari kiai.
Gus Munib tidak kembali lagi ke
dhalem. Beliau terus berjalan ke arah
halaman madrasah. Beberapa saat
kemudian keluarlah Gus Ali2
. Kakak
dari Gus Munib. Tiba-tiba dengan
berjalan gontai beliau berkata kepada
saya sambil tertawa seperti mengejek
‘Hah... kamu man... mau apa kamu ke
sini. Abah sudah tidak mau lagi punya
santri seperti kamu.” seketika: Deg!
Tubuh saya seperti tertindih tong besar
berisi matreal beton berat. Berat sekali
mendengarnya. Kepala kembali
tertunduk. Tangis kembali pecah.
Bahkan semakin menjadi. Oh...
Bagaimana tidak. Terlebih kata orang,
Gus Ali itu sakti. Beliau sangat disegani.
Bahkan oleh kiai sendiri. Dan
mendengar beliau berkata seperti itu
tadi. Sayapun semakin tidak tahu harus
berbuat apa. Gamang rasanya. Dilema
besar. Mau pulang takut terkutuk. Mau
tetap di dhalem, hati rasanya sudah
sangat hancur. Namun batin terdalam
2
Konon, merupakan nama kecil KH. Qusyairi Utsman
saya masih berbisik kuat. Ya, dari lubuk
hati terdalam, keyakinan bahwa saya
harus tetap meminta maaf kepada kiai
itu masih ada.
Hari ketiga. Masih menunggu.
Tepat hari jumat waktu itu Pengajian
kitab seperti biasanya diliburkan. Sekitar
jam setengah sembilan, kiai keluar
mengahampiri saya. Saya masih
menunduk. Air mata penyesalan masih
mengalir, meski tidak sederas kemarin-
kemarinnya. Tapi rasa perih dan panas di
kedua kelopak mata, jelas kian terasa.
Mungkin karena airnya sudah terperas.
“Siapa namamu, Nak?” Sapa kiai
ramah. Sapaan yang tiba-tiba membuat
seluruh tubuh saya terasa sejuk.
“Utsman, Kiai” jawab saya waktu itu.
Lalu kiai menanyakan asal-usul saya
dari desa mana. Dan saya menjawab apa
adanya. Sambil menundukkan kepala
dan pandangan. Juga tetap dengan
bersimpuh. “Bangunlah, Nak. Kau sudah
aku maafkan. Kau berhasil menguasai
hatimu. Tapi Utsman... kau akan kuberi
tugas setiap hari harus membaca
‘Ratibul-Haddad’ di dhalem sini.
Sekarang silahkan kembali ke
pondokmu. Lakukan seperti biasa
aktifitasmu”. Setelah kusalami tangan
kiai. Kukecup dengan menyerahkan diri
sepenuhnya. Kiai kembali ke dhalem.
Sayapun kembali ke pondok. Tak kuasa
menahan derai air mata haru. Bahagia
tiada tara. Panas kelopak mata hilang
seketika.
Semenjak itu kiai sering
memanggil saya dan sering
memerintahkan saya untuk mengiringi
beliau jika hendak mengisi pengajian di
luar pesantren”
*****
Seperti kolam, air mataku
menggenang, lalu meluber, tumpah.
Haru. Aku hanya bisa manggut-manggut
mendengar cerita kiai. Kiai pun kembali
menyulut rokoknya yang baru beliau
ambil dari bungkusnya. Sebab rokok
yang tadi sudah habis bersamaan dengan
cerita penantian kiai akan maaf dari kiai
kami di pesantren (Ya, kiai kami! Aku
dan kiai adalah santri dari pesantren
yang sama, Darus-Shalah).
“Meski orang yang diusir seperti
itu berakhir dengan indah, jangan
sampai ada keinginan diusir dari
pesantren. Iya kan... Ustadz? Sebab kita
tidak tahu masa depan.” Kata kiai sambil
menyemburkan asap rokok yang
semakin memenuhi ruangan.*
14 Muharram 1439 H
*Terinspirasi dari kisah nyata
seorang santri PSA yang bernama
Utsman