SlideShare a Scribd company logo
1
Kiki Alhadiida
“Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial”
[Warnasari Tulisan]
ISLAM dan UMAT
1. MANUSIA, KHALIFAH ALLAH ATAU HAMBA ALLAH?
(Sebuah Renungan terhadap Peran Pribadi Muslim atas Problematika Umat) {2-8}
2. Umat Islam: kuantitas yang menggembirakan dan kualitas yang dipertanyakan?
{9-10}
3. Islam-Cina-Indonesia {11-17}
4. ”Islam” dan ”Betawi”, adalah 2 Merek Produk Dagang yang Paling Laku di Bisnis
Hiburan {18-21}
5. KETIKA UMAT BERADA DI PERSIMPANGAN JALAN
(Implementasi ajaran Islam dalam garis “vertikal & horisontal”) {22-24}
6. Jangan sampai bertengkar di dalam masjid?! {25-28}
ILAHIYAH-ILMIAH-AMALIYAH
1. Tiga Level Kebenaran {29-35}
2. PAHPI: 3M (membaca, mengaji & mengkaji) {36-40}
3. Dunia bukan surga, juga bukan neraka {41}
4. Meng-Islam-kan ”PGEP” atau Meng-”PGEP”kan Islam? {42-49}
5. Mendengar + Menonton > Membaca {50-51}
6. Orang “PA” = “Pakar Analisa?” {52-53}
SERBA SERBI
1. Ahad, Muharam, dan Hijriah {54-57}
2. Dua Fenomena Ramadhan: Ngabuburit dan Mendadak Dagang {58-59}
3. THR atau TIF saja? {60}
4. Bonus THR untuk Dana Qurban? Tepatkah! {61-62}
5. Lebaran: Ketupat, Halal bihalal, dan Mudik {63-64}
6. ldul Fitri atau Tahun Baru? Apa maknanya bagi Anda? {65-66}
2
MANUSIA, KHALIFAH ALLAH ATAU HAMBA ALLAH?
(Sebuah Renungan terhadap Peran Pribadi Muslim atas Problematika Umat)
(Sebuah Renungan terhadap Peran Pribadi Muslim atas Problematika Umat). (bagian-1)
Bila kita mencermati makhluk ciptaan Allah semua berada dalam ukuran-Nya, adanya
keteraturan dan keseimbangan (QS, 54:49). Fenomena seimbang ini berada dalam kerangka
simetris bilateral atau simetris multilateral. Keseimbangan dalam pasang-pasangan, bahkan
dalam beberapa pasang secara simultan yang saling membentuk keteraturan yang simetris.
Mari kita pandang cakrawala, bagaimana teraturnya susunan tata surya kita. Matahari dengan
kesembilan planet yang mengelilinginya. Benda-benda langit bergerak dan berputar sesuai
dengan poros dan lintasan orbitnya masing-masing, tanpa terjadi saling benturan. Dalam
hukum fisika (sunatullah), semua itu berada dalam keadaan, dimana resultan gaya sama
dengan nol (prinsip keseimbangan).
Sementara di awal adanya kehidupan di muka bumi ini, Allah mengaturnya dengan lebih dulu
diciptakannya tumbuh-tumbuhan, lalu hewan-hewan, dan terakhir manusia. Antara satu
komponen dengan komponen lainnya dalam sistem kehidupan di bumi, diikat dan dijalin
dengan adanya siklus zat dan energi. Sebuah keteraturan dan keseimbangan. Adanya
keteraturan dalam waktu, dimana siang hari silih berganti dengan datangnya malam hari.
Pada makhluk, Allah menciptakannya berpasang-pasangan, jantan-betina.
PERANAN MANUSIA
Makhluk Allah yang satu ini termasuk paling sempurna diantara jenis makhluk lainnya (QS,
95:4). Kesempurnaannya meliputi kelebihan dan kekurangan yang melekat padanya. Sangat
sulit membuat definisi yang tepat dan komprehensif mengenai makhluk ini. Diperlukan
berbagi disiplin ilmu untuk membuka tabir misteri yang ada pada diri manusia. Dalam
konteks spiritualitas, ia adalah makhluk Allah. Sebagai pribadi, ia memiliki potensi
intelektual, emosional, dengan dukungan fisikal. Dan agar dapat berkiprah di masyarakat
lingkungannya, ia menyandang peran makhluk sosial.
Manusia dikaruniai akal pikiran dan hawa nafsu. Keduanya mestinya berjalan saling beriring,
sehingga dinamika kehidupan terus berlanjut, yang pada gilirannya ilmu, kebudayaan, dan
peradaban akan berkembang. Namun, keduanya mesti dikendalikan dengan bahasa hati (nilai
3
keimanan dan ketakwaan), agar pemanfaatan kekayaan alam tidak melampaui batas dan
menimbulkan kerusakan di muka bumi ini.
Al Qur’an mengajarkan kita, untuk mengejar akhirat dengan tidak melupakan dunia (QS,
28:77). Kita juga diingatkan oleh kalimat, bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kau hidup
selamanya dan berusahalah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok hari. Di sini
jelas, keseimbangan posisi bahwa manusia tidak harus menjadi malaikat yang meninggalkan
sisi keduniawiannya/mengekang kodrat kemanusiaannya. Sebaliknya jangan sampai menjadi
homo homini lupus (seperti hewan), dengan menjadikan hawa nafsu sebagai panglima dan
mengumbar naluri kebinatangan kemana-mana serta untuk memangsa manusia lain. Atau
menjadi robopath (robot bernyawa), sekedar menjalankan apa yang sudah tersistematisasi di
lingkungannya, terbelenggu dengan rutinitas, tak ada spontanitas, hilang kreativitas, serba
rasionalitas, dan semakin tumbuh sikap individualitas dengan diiringi lenyapnya humanitas
sebagai seorang manusia.
Oleh karena itu kita perlu melakukan reorientasi terhadap tujuan hidup muslim, yaitu untuk
mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Pada saat ini tujuan dan
orientasi hidup pribadi muslim kian baur dan bias, karena begitu dahsyatnya intervensi
ideologi, budaya, dan sistem ekonomi yang tidak Islami di kehidupan sehari-hari. Mulai dari
bangun tidur sampai kembali ke peraduan kita disuguhi hal-hal yang sedikit demi sedikit
akan mengubah cara berpikir, gaya hidup, dan kebiasaan kita. Sekian lama kita terlena dan
terlelap dengan produk yang kita konsumsi sehari-hari, tanpa sikap kritis mempertanyakan
halal atau haram produk tersebut. Kita kurang tanggap terhadap model dan desain pakaian
kita dan anak-anak kita, layak atau tidak untuk dikenakan pada pribadi muslim/muslimah,
yang senantiasa diwajibkan untuk menutup aurat. Media massa, baik cetak maupun
elektronik kita telan mentah-mentah semua informasi yang disajikan, lagi-lagi kita tidak kritis
terhadap arti dan makna dibalik sebuah tampilan atau tayangan media tersebut.
Apakah umat Islam kini terjangkit budaya EGP (emang gue pikirin), cuek, masa bodoh, atau
tidak peduli?
Kita tidak mengharapkan demikian. Namun, gejala meresapnya virus tersebut tidak dapat
dipungkiri. Bila hal ini tidak kita antisipasi, di masa depan umat hanya bisa bicara tentang
kebesaran Islam masa lalu. Islam akan tidak seindah warna aslinya. [14/10/2012]
4
Sekarang saatnya umat Islam kembali ke Islam. Memahami Islam sebagai sistem hidup dan
kehidupan, dan Islam bukan sekedar agama dengan kelima rukunnya saja. Rukun Islam harus
dijalankan karena kebutuhan, dan diimplementasikan dalam kehidupan. Ajaran Islam
mencakup segala bidang dan aspek kehidupan, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, hukum, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertahanan dan keamanan.
Kita terlalu banyak takut kalau menjalankan aturan yang Islami. Takut dikatakan fanatik,
takut dicap fundamentalis, takut dibilang primordialisme atau sektarianisme. Apalagi
sebagian besar umat masih menganggap orang sudah Islam kalau sudah shalat dan berhaji.
Pendapat yang ada, urusan akhirat jangan dicampur dengan dunia, dan agama jangan dibawa-
bawa dalam masalah dunia. Memang sungguh ironis bahwa pengetahuan dan pemahaman
keIslaman kita masih terpotong-potong, parsial, dan tidak integral. Seolah-olah antara hablum
minallah tidak terkait dengan hablum minannas. Islam hanya dalam ibadah, muamalah tidak
perlu Islam. Sementara Allah menyerukan, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh (QS,
2:208).
Maka dari itu mari kita mulai memahami bahwa Islam adalah sistem yang universal
dibanding ideologi manapun. Islam hanya satu yang bersumber dari Al Qur’an dan As
Sunnah. Islam tidak mengenal istilah fundamentalis atau moderat. Tidak ada Islam tradisional
atau modernis. Tidak ada yang lebih puritan atau sinkretis. Al Qur’an tidak memisahkan
Islam antara politik dan kultural. Ideologi dan faham lokal maupun impor yang tidak Islami
tidak bisa diadopsi dan dicampur ke dalam Islam.
Islam tidak bisa disandingkan dengan hal-hal yang tidak Islami, yang hanya mendeskreditkan
atau mempersempit keuniversalan Islam itu sendiri. Dan hanya ada satu Islam, sebagai satu-
satunya agama yang diridhai Allah (QS, 3:19).
MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH
Manusia diciptakan hanya untuk mengabdi kepada Allah. Segala gerak dan aktivitas hidup
pada hakekatnya adalah ibadah, dalam rangka pengabdian kepada Allah (QS, 51:56). Dalam
pengertian sempit ibadah yaitu ibadah ritual, seperti yang ada dalam rukun Islam yakni
syahadat, shalat, zakat, puasa, dan pergi haji. Dalam konteks ibadah yang sifatnya lebih
individual ini manusia bersifat pasif, terikat, dan tidak boleh kreatif. Prinsipnya semua
dilarang, kecuali yang diperintahkan/dianjurkan.
5
MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH ALLAH
Dengan predikat sebagai khalifah Allah (QS, 2:30), manusia memiliki keleluasaan dan
kebebasan dalam mengelola alam semesta ini. Dalam peran ini manusia mesti aktif, bebas,
dan diharapkan harus kreatif, karena di lapangan muamalah persoalan akan terus berkembang
sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya yang semakin banyak dan beragam. Di sinilah, manusia merealisasikan ibadah
individualnya menjadi ibadah sosial. Di arena muamalah ini, semua dibolehkan kecuali yang
dilarang.
HAMBA ALLAH & KHALIFAH ALLAH
Ternyata, manusia memiliki dwigelar sekaligus, baik sebagai khalifah Allah maupun hamba
Allah. Pengabdian sebagai hamba Allah dalam rangka panggilan tugas sebagai khalifah
Allah. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan fungsi masing-masing secara seimbang.
[24/10/2012]
BIDANG STRATEGIS
Islam pernah menikmati zaman keemasan, dan ada prediksi Islam akan bangkit kembali di
masa datang. Masalahnya apa kriteria dan tolok ukurnya? Nah, yang terpenting kita harus
mengejar segala ketertinggalan yang ada. Terlalu banyak problematika umat yang harus
diagendakan. Perekonomian umat yang lemah, tingkat pendidikan yang rendah, kehidupan
sosial budaya yang cenderung tidak Islami, gaya hidup yang semakin konsumerisme dan
hedonisme, serta kepribadian muslim yang rendah diri dan kurang percaya diri. Sehingga
umat tidak bangga dengan status kemuslimannya, dan yang lebih parah lagi, bila malu
dengan keIslamannnya sendiri dengan cara menutup identitasnya. Astaghfirullah.
Saatnya kini kita harus bangkit. Melakukan evolusi yang dipercepat. Kita bisa mulai dengan
bidang strategis yang harus dipegang lebih dulu, yaitu:
1. Pendidikan dan Sumber Daya Manusia
Wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah
membaca atau belajar. Tujuan hidup sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat diperlukan
ilmu. Menuntut ilmu diwajibkan bagi muslim dan muslimah dimulai dari bayi hingga masuk
liang kubur. Dan banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menggugah dan menantang kita untuk
menyibak tirai penutup keharasiaan alam ini (QS, 88:17-20). Semua ini adalah referensi bagi
6
setiap muslim begitu pentingnya menuntut ilmu/memperhatikan pendidikan dalam
meningkatkan Sumber Daya Manusia.
Sesuai tujuan hidup kita, maka tujuan pendidikan adalah bagaimana mendalami IMTAQ
(iman & taqwa) dan mengusai IPTEK (ilmu pengetahuan & teknologi), dalam rangka
menyiapkan generasi yang benar dan pintar. Maka sarana pendidikan harus berorientasi
seperti majelis taklim yang mengajarkan pengajian dan pengkajian untuk mempertebal iman
dan mengasah ilmu, sehingga ada keseimbangan antara majelis ilahiyah (zikir) dengan
majelis ilmiah (pikir). Bentuk sarana dimulai dari pendidikan yang paling esensial, yaitu
pendidikan dalam keluarga, yang kemudian berlanjut di sekolah, madrasah, pondok
pesantren, perguruan tinggi, atau pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan masyarakat.
Dari sini diharapkan muncul generasi muslim yang memiliki keahlian dalam spesialisasi,
berpengetahuan secara generalisasi, dan berwawasan dalam globalisasi. Thinks globally, acts
locally.
Bila keseimbangan ini terjaga terus, insya Allah memasuki milenium mendatang akan banyak
bermunculan ulama intelektual dan intelektual ulama. Disamping para praktisi yang
komitmen keIslamannya tinggi, integritas moralnya bagus, dan keprofesionalannya tidak
diragukan.
2. Ekonomi
Dalam hal jumlah umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, tetapi minoritas dalam
penguasaan ekonomi, sehingga miskinnya sebagian besar rakyat Indonesia adalah umat Islam
sendiri. Penyakit kemiskinan memang sedang berjangkit, mulai dari miskin harta, miskin
ilmu, sampai miskin iman, terutama pengaruh krisis multidimensi sejak 1997 yang lalu.
Semoga kini sudah berakhir dan tuntas. Terlepas dari sebab kemiskinan ekonomi (alasan
kultural atau struktural), yang jelas ketiga bentuk kemiskinan itu bisa saling berkaitan.
Masalah eknomi memang rumit dan pelik, bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat
berpenghasilan rendah dan berpendidikan kurang. Kebijakan pemerintah dalam keberpihakan
pada ekonomi yang melibatkan potensi rakyat banyak sedang dinantikan. Sedangkan bagi
kita harus mulai merubah pola pikir dan sikap mental terhadap sistem ekonomi yang kita anut
selama ini. Mengapa kita tidak mengacu pada sistem ekonomi Islam, yakni ekonomi syariah
yang jelas masalah konsep pemilikan, pemanfaatan, dan distribusi kekayaan. Sekarang
tinggal kita mau atau tidak hijrah ke sistem ekonomi syariah. Sementara lembaga keuangan
7
syariah sudah berdiri, seperti bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, dan pasar
modal syariah.
3. Informasi
Sumber informasi yang benar dan tepat guna akan mencerdaskan umat. Namun, pemegang
sumber informasi di era reformasi ikut latah euphoria seperti halnya masyarakat, sehingga
informasi yang disajikan terlalu bebas dan membingungkan. Sulit membedakan mana
informasi yang benar mana informasi sampah. Tak ada checks and balance. Pemberitaan
tidak proporsional dan berimbang. Bahkan beberapa media cetak umum menonjolkan
kepentingan kelompok dan menjadi partisan partai politik sekuler. Celakanya, umat senang
mengkonsumsinya.
Media massa yang ada di Indonesia, baik media elektronik maupun media cetak sedikit yang
berpihak pada kepentingan umat. Kalaupun menyajikan informasi umat hanya pada saat
tertentu saja dan belum merepresentasikan sebagai media Islam dengan nuansa keIslaman
dari segi tayangan dan sajian. Media audio visual (TV) menampilkan unsur Islam baru
sekedar kemasan yang membungkus mata acara, belum menyentuh substansi nilai. Sementara
media cetak Islam belum banyak diminati. Kadang umat lebih percaya pada media cetak yang
menyebarkan sekulerisme dan mendeskreditkan Islam sendiri baik secara samar-samar
ataupun transparan.
Dalam suasana keterbukaan sekarang ini berita-berita cenderung dan bernuansa sadisme dan
pornografi, serta ditambah lagi bermunculan iklan yang menjurus kemusyrikan, perzinahan
dan perjudian. Mau dibawa kemana umat kita? Media massa adalah sarana da’wah, dan ini
harus dikuasai. Tantangan umat untuk memegang sumber informasi dan melakukan kontrol
sosial. Media juga sarana berpolemik dan wadah penyaluran aspirasi. Penerbit muslim harus
lebih produktif lagi menerbitkan buku, koran, majalah, atau tabloid. Bagi umat sendiri
seyogyanya meningkatkan budaya gemar membaca dan menjadikan media Islam sebagai
rujukan utama. Yang lebih penting lagi, sejalan tren perkembangan teknologi pemanfaatn
radio, tv, internet menjadi keharusan, agar pelaksanaan da’wah lebih strategis dan efektif.
Dan perlu diingat, di era globalisasi sekarang ini, informasi memegang peran sentral.
Dibandingkan kekuatan modal dan fisik, kekuatan informasi jauh lebih unggul. Karena itu,
siapa yang memegang akses informasi, maka ia akan memenangkan pertarungan.
8
Berdasarkan hal di atas, untuk memegang bidang ini, selain modal dan kontribusi kalangan
media massa, juga dibutuhkan dukungan dan partisipasi umat sebagai konsumen informasi.
Untuk menyikapi tantangan ke depan, sejak dini diperlukan paradigma yang benar dalam
memahami Islam. Setiap muslim hendaknya berusaha mewujudkan, bahwa kita adalah
sebaik-baik umat (QS, 3:110). Mari kita menjadi yang terbaik di bidang kita masing-masing.
Dan pada akhirnya, Islam sebagai rahmat seluruh alam (QS, 21:107) dapat dinikmati
masyarakat dunia ini. [28/10/2012]
9
Umat Islam: kuantitas yang menggembirakan
dan kualitas yang dipertanyakan?
Kesemarakan berislam telah ditunjukan oleh warganegara ini sejak tahun 90’an, setelah era
perang dingin usai. Hancurnya Uni Sovyet membuat Komunisme tidak berdaya untuk terus
menjadi musuh bebuyutan Kapitalisme. Meskipun Barat telah kehilangan musuh utamanya,
Barat tetap berpegang teguh pada prinsip: ”Menjadi pengikut saya atau musuh saya”.
Sehingga seorang penulis Yahudi membuat tesis tentang benturan peradaban (clash
civilization) antara Islam sebagai wakil peradaban Timur dan Kristen sebagai wakil
peradaban Barat. Singkatnya, Barat dengan komando Amerika menemukan musuh baru,
yakni Islam. Seolah tidak bergeming dengan perseteruan di luar negeri, umat di negara
muslim terbesar di dunia ini seolah bangun dari tidurnya. Pengajian dan pengkajian kian
ramai dikunjungi. Majelis taklim juga semakin banyak jumlahnya. Muslimahpun tidak
ketinggalan menyesuiakan diri dengan penampilannya dengan memakai jilbab yang menutup
aurat. Meskipun dengan dasar dan alasan yang berbeda. Bisa karena mengerti perintah
agama, mengikuti tren modis, formalitas lingkungan kerja, atau sekedar ingin tampil
kelihatan lebih cantik, anggun, keibuan, rapi, atau ’baik’ (kelihatan shalehah). Maka mode
jilbab yang seharusnya menjadi hijab berbentuk beragam rupa, bahan, dan warna. Sehingga
jelas mana jilbab yang syar’i dan mana yang gaul. Hijab dalam jilbab tidak sekedar menutup
kepala, tetapi juga menutup dada dengan longgar (tidak ketat agar lekuk tubuh tidak
nampak), warna pakaian, dan model tidak mencolok perhatian.
Para remaja muslimpun sudah ’PD’ dengan baju koko (takwa?) dan peci bepergian, terutama
di hari jumat. Jika pakaian sudah berhijab sebagai kemasan, tinggal bagaimana menghijabkan
pergaulan dengan akhlaqul karimah. Muslim dewasa juga memiliki girah dalam menghadiri
kajian keislaman, dan menjadi donatur lembaga sosial Islam.
Menurut beberapa informasi media, Islam adalah agama yang berkembangnya sangat laju di
dunia ini, terutama di dunia Barat. Perkembangan Islam secara signifikan justru setelah
terjadi peristiwa 11 September 2001, dimana 2 pesawat Boeing 767 menabrak 2 menara
kembar WTC yang terletak di pusat kota New York, AS. Terlepas peristiwa ini adalah teror
yang dilakukan oleh muslim garis keras, hasil rekayasa pihak islamphobia untuk
menyudutkan umat Islam dan memberi stigma negatif pada umat Islam, atau sebuah
kebijakan politik ekonomi tingkat tinggi. Wallahu a’lam. Yang jelas, pasca peristiwa dahsyat
10
ini, semakin banyak non muslim yang belajar Islam dan penasaran terhadap Islam itu sendiri.
Kabar menggembirakan dengan bertambahnya kuantitas umat ini, bolehlah disambut dengan
nada proporsional bagi kita yang telah lahir sebagai umat Muhammad SAW. Karena
informasi orang yang menjadi mualaf lebih terdengar nyaring dibanding dengan informasi
muslim yang menjadi murtadin. Semoga saja, jumlah mualaf lebih besar dan jauh lebih besar
daripada murtadin. Demikian pula pemberitahuan tentang kuantitas lebih ramai dibanding
dengan berita mengenai kualitas pada umat akhir zaman ini.
Sederhananya kualitas`umat Islam hanya diukur bagaimana dia menjalani agamanya sesuai
perintah Al Qur’an dan As Sunnah. Beribadah dengan ikhlas dan melakukannya dengan ittiba
(seperti yang dicontohkan Rasulullah). Menyadari bahwa semua aktivitas di dunia ini bisa
bernilai ibadah jika ditujukan untuk mencari keridhaan Allah. Suksesnya di dunia menjadi
anak tangga kesuksesan di akhirat kelak.[12/5/2013]
11
Islam-Cina-Indonesia
Waktu sekolah di SMP saat mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) ketika guru
menanyakan bagaimana hubungan antara Pancasila, UUD 1945, dan GBHN (Garis-garis
Besar Haluan Negara), penulis menjawabnya dengan santai ya baik-baik saja hubungannya.
Kembali saat mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)
baik yang Pola 45 jam maupun Pola 100 jam, kembali pertanyaam itu diajukan. Ya, tetap saja
jawaban singkatnya baik-baik saja. Kini, sedang digencarnya ditampilkan 4 pilar kehidupana
berbangsa dan bernegara yang digagas Mantan Ketua MPR Taufik Kiemas, yaitu Pancasila,
UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Bagaimana hubungan antaranya? Tentu saja,
baik-baik pula.
Jika Islam, Cina, dan Indonesia, bagaimana hubungannya? Insya Allah, baik-baik saja juga.
Islam dan Cina
Islam dan Cina, adalah dua hal yang berbeda dan tidak sepadan. Islam adalah agama,
sedangkan Cina adalah negara, bangsa, dan budaya. Bagaimana hubungannya?
Mengenai hubungan Cina dengan agama Islam, yang paling masyhur adalah tentang:
Uthlubul ‘ilma walaw bishshiin [tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina].
Sebagian besar umat Islam yang awam akan mengatakan bahwa kalimat di atas adalah
sebuah Hadis. Jikalau Hadis termasuk dalam Hadis Palsu. Lebih tepatnya, hanya ungkapan
ulama atau sejenis kata mutiara. [Membongkar Status Hadis dalam Ali Mustafa Yaqub: Hadis
Hadis Bermasalah].
Sejarah Cina adalah salah satu sejarah kebudayaan tertua di dunia. Dari penemuan arkeologi
dan antropologi, daerah Cina telah didiami oleh manusia purba sejak 1,7 juta tahun yang lalu.
Peradaban Cina berawal dari berbagai negara kota di sepanjang lembah Sungai Kuning pada
zaman Neolitikum. Zaman peradaban Cina sangat panjang, dimulai dari Zaman Kuno sampai
Zaman Modern, dan selama Zaman Kekaisaran tidak kurang 20 Dinasti pernah berkuasa di
negeri berjuluk Tirai Bambu ini.
Secara historis tercatat, Islam masuk ke Cina pada awal abad ke 7, yakni sekitar tahun 678
Masehi, di masa pemerintahan Dinasti Tang (618-905 M), yang dibawa oleh salah seorang
12
panglima Muslim, Sa’ad bin Abi Waqqash RA, di masa Khalifah Utsman bin Affan RA.
Menurut Chen Yuen, dalam A Brief Study of the Introduction of Islam to China, masuknya
Islam ke Cina sekitar tahun 30 H atau sekitar 651 M. Ketika itu, Cina diperintah oleh Kaisar
Yong Hui (ada pula yang menyebut nama Yung Wei). Data masuknya Islam ke Cina ini
dipertegas lagi oleh Ibrahim Tien Ying Ma dalam Muslims in China (Perkembangan Islam di
Tiongkok). Buku ini secara lengkap mengupas sejarah perkembangan Islam di Cina sejak
awal masuk hingga tahun 1980-an. [kisahislami.com]
Ada dua jalur utama penyebaran agama Islam di China, yakni melalui darat atau biasa disebut
dengan Jalur Sutera, dan jalan laut melalui pelayaran alias Jalur Lada. Selain utusan Khalifah
Utsman, masuknya agama Islam ke China juga dibawa oleh saudagar dari Arab dan Persia.
Meski merupakan negara komunis, hingga tahun 2012 lalu China tercatat memiliki tak
kurang dari 45.000 masjid. Angka ini diperkirakan masih akan terus bertambah, terutama di
kota-kota yang banyak penganut agama Islamnya. Seperti di Xinjiang dan Ningxia, Guilin,
dan Zhengzhou, tiga kota lain di China yang menjadi tempat bermukimnya komunitas
muslim, yakni di Guilin, Zhengzhou, dan Beijing. [detikNews]
Islam-Indonesia
Ada banyak teori dan pendapat mengenai masuknya Islam ke bumi Nusantara. Teori jalur
emas, Islam masuk ke Indonesia melalui Arab, Persia, dan Gujarat (India). Teori ini terdiri
dari 2 teori, yakni teori Persia dan teori Gujarat, yang masing-masing terjadi pada abad ke-13
M. Sementara teori ketiga (teori Mekah), Islam langsung dibawa dari Timur Tengah pada
abad ke-7 M. [Republika]
Teori lainnya, sekitar abad ke-15 M, imigran Cina Muslim yang sebagian besar berasal dari
Guangzhou dan Fujian mendarat di Nusantara. Misi penyebaran Islam dari Cina secara resmi
terlihat dari pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Laksamana Cheng Ho (Sam Poo
Tay Djien). Walaupun banyak teori yang masing-masing mempunyai dasar, tetapi ada
persamaan dari semua teori itu, yakni Islam disebarkan lewat perdagangan dan disampaikan
dengan cara damai tanpa kekerasan.
Islam masuk ke Indonesia yang sudah memiliki agama lain sebelumnya (Hindu dan Budha)
dan kepercayaan primitif (Animisme dan Dinamisme). Islam dibanding dengan agama lain,
memiliki karakteristik yang spesifik. Misalnya: penggunaan kata “agama Islam” dengan
13
“dienul Islam” yang mempunyai arti dan makna yang berbeda. Islam sebagai agama
wahyu/langit revealed religion), bukan agama budaya (natural religion). Lebih lanjut, Islam
bisa dikaji dalam “Islamologi” dan “Islamisme”. Seorang Muslim menjalankan Islam hanya
sekedar “religiusitas” nya saja atau sampai “spiritualitas”nya.
Meskipun sering digabungkan antara kata “rohani” dan “Islam”, menjadi “Kerohanian Islam”
atau lebih kerennya menjadi “Spiritual Islam” (kata: spirit = ruh/roh), akan tetapi dalam
praktik keberagamaan tidak mudah merealisasikannya.
Dengan kondisi Indonesia yang demikian, maka Islam masuk mengalami akulturasi dan
sinkretisme. Cara penyampaian (dakwah?) menggunakan metode yang mengadopsi agama
dan kepercayaan bukan Islam. Alasannya supaya mudah diterima umat lain. Namun, anehnya
sampai sekian abad berlangsung argumentasi itu tetap dipakai. Kalaulah saat itu dianggap
darurat, seyogyanya tidak dilakukan turun temurun. Mochtar Lubis dalam bukunya berjudul
Manusia Indonesia yang terbit sekitar tahun 1977/1978, memberikan penilaian tentang sifat-
sifat negatif manusia Indonesia.
1. Hipokrit alias Munafik:
2. Segan dan Enggan Bertanggung Jawab
3. Berjiwa Feodal
4. Percaya Takhayul
5. Artistik
6. Watak yang Lemah
7. Tidak Hemat
7. Lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa
9. Manusia Indonesia Tukang Menggerutu/ Berani Berbicara di Belakang
10. Cepat Cemburu dan Dengki:
11. Manusia Yang Sok
12. Manusia Tukang Tiru atau Plagiat
Penulis bukan bermaksud mempopulerkan sifat jelek, tetapi mencoba mengkaitkan sifat yang
ada pada diri orang Indonesia dengan bagaimana orang Indonesia itu ber-Islam. Meskipun
sifat positif menerima Islam dan menjadikan Islam lebih terbuka, fleksibel, ramah, toleran,
dan moderat cukup diacungkan jempol di dunia internasional. Sehingga, [kata media] Islam
14
di Indonesia bisa dijadikan contoh bagi negara lain yang agama Islamnya minoritas, untuk
belajar Islam di Indonesia bukan di Timur Tengah.
Dari sifat-sifat manusia Indonesia dapat dilihat cara menjadikan Islam sebagai status, agama,
pedoman hidup, atau jalan menuju akhirat. Ajaran Islam yang diterima setiap orang juga
tidak sama. Ada orang tua yang memberikan didikan pertama tentang Islam. Kemudian lewat
Pengajian. Ditambah lagi pada palajaran di Sekolah. Atau langsung masuk Pesantren.
Wawasan Islam bisa diperoleh lewat Kajian keislaman. Dengan begitu karakteristik orang
Indonesia dalam beragama Islam menjadi beragam dan dapat dibagi menjadi:
1. Beragama Islam sesuai dengan apa yang diajarkan dari Orang Tua.
2. Beragama Islam sesuai dengan apa yang sudah menjadi kebiasaan, adat istiadat, tradisi,
paham, aliran, dan budaya setempat.
3. Beragama Islam sesuai dengan pemahaman yang ada pada Al Qur’an dan As Sunah secara
murni dan konsekuen.
4. Beragama Islam dengan mencampuraduk ajaran Islam dari Al Qur’an dan Hadits dengan
mengadopsi paham dan aliran yang tidak Islami.
5. Beragama Islam tidak integral, tetapi parsial pada bidang tertentu saja.
6. Beragama Islam dengan paham dan aliran yang bukan Islam.
7. Mengaku beragama Islam, tetapi menciptakan “agama baru”
8. Mengaku beragama Islam, tetapi tidak ber-aqidah Islam.
Dengan beraneka macam pemahaman, maka munculnya ormas yang berwarna-warni di
Indonesia yang masing-masing paling mengaku menjalankan agama Islam dengan benar.
Sebenarnya di Indonesia ini cukup hanya ada 4 jenis ormas Islam, yaitu:
a. Ormas Islam yang khusus menangani Amar ma’ruf
b. Ormas Islam yang khusus menangani Nahi munkar
c. Ormas Islam yang khusus mengurus Orang Hidup
d. Ormas Islam yang khusus mengurus Orang Mati
Nah, jika begitu akan jelas jobdesk-nya dan tidak saling tumpang tindih bidang garapannya.
Cina-Indonesia (tepatnya: Tionghoa-Indonesia)
Menurut von Hiene Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia, secara teoritis, berasal dari
tempat yang sekarang bernama Provinsi Yunnan di Republik Rakyat Cina, melalui migrasi
15
ribuan tahun lalu. Penduduk asli Kepulauan Indonesia saat itu yaitu ras Austromelanesoid
tergusur oleh keberadaan nenek moyang bangsa Indonesia saat ini dan terdesak ke Irian.
Berdasarkan waktu kedatangannya, para imigran tersebut dibagi dua:
1. Proto Melayu
Orang-orang Proto Melayu datang dari Yunnan sekitar tahun 2000 SM. Mereka datang
melalui dua jalur:
a. Jalur pertama dari Filipina menyebar ke Sulawesi dan Papua. Mereka ini antara lain
menjadi nenek moyang suku Toraja. Mereka membawa kebudayaan kapak lonjong.
b. Jalur kedua dari Indocina melewati Semenanjung Malaya ke Sumatera, lalu menyebar
ke Kalimantan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Mereka ini antara lain menjadi nenek
moyang suku Batak, dayak, dan Sasak (Lombok).
2. deutero Melayu
Orang-orang deutero Melayu datang dari daerah Teluk Tonkin (Vietnam Utara) sekitar
tahun 500 SM. Peradaban mereka lebih maju dari orang-orang Proto Melayu, yaitu
kebudayaan dong Son yang ditemui di Vietnam. Mereka menempati pesisir-pesisir dan
mendesak orang-orang Proto Melayu ke pedalaman. Mereka ini antara lain menjadi nenek
moyang suku Jawa, Minang, dan Bugis.
Semua yang disebutkan di atas, penduduk "asli" Indonesia, nenek moyang bangsa "pribumi"
Indonesia yang sekarang, berasal dari Cina. Namun mereka tetaplah nenek moyang bangsa
Indonesia. Yang membedakan hanyalah waktu kedatangan, entah itu 2000 SM, 500 SM, atau
1000an M.
Menurut BPS tahun 2010 terdapat 300 kelompok etnik atau 1.340 suku bangsa di Indonesia.
Suku bangsa asli (pribumi) yang termasuk 7 terbesar adalah: Jawa, Sunda, Melayu, Madura,
Batak, Minangkabau, dan Betawi. Sedangkan sebagai suku bangsa asal pendatang/imigran,
yaitu Tionghoa-Indonesia (3.7%) dan Arab-Indonesia (2,4%) [sensus 2000]
Dari Wikipedia, tentang Penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa:
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di
Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek
Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
16
Sekitar akhir abad ke-19 diambilah jalan tengah penggunaan istilah Tiongkok yang diambil
dari terjemahan Chung Kuo. Pada tahun 1901, didirikan organisasi Tiong Hoa Hwee Kwan
yang dipengaruhi oleh gerakan pembaruan di daratan Tiongkok. Organisasi ini dipimpin oleh
Kang Yu Wei, Liang Chi Chao, dan Phoa Keng Hek di Jakarta. Organisasi ini bertujuan
mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Kong Hu Cu dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa.
Penggunaan kata Tionghoa juga terpengaruh gerakan Sun Yat-sen untuk meruntuhkan dinasti
Ching dan menggantinya dengan "Chung Hwa Ming Kuo" atau "Republik Tiongkok". Sejak
saat itu, mereka menyebut diri mereka dengan istilah Tionghoa, yaitu dialek Hokkian dari
kata bahasa Mandarin Chung Hwa, dan menolak disebut Cina.
Pada tahun 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa "berhutang budi" kepada
masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan pemimpin pergerakan
tersebut. Sepakat mengganti sebutan Cina dengan Tionghoa. Koran Sin Po adalah koran
pertama yang mengganti sebutan Hindia-Belanda menjadi Indonesia pada setiap
penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan W.R.
Supratman. Dalam teks penjelasan UUD 1945 kata yang digunakan adalah Tionghoa, bukan
Cina. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno,
digantikan rezim Orde Baru.
Selama Orde Baru berkuasa etnis ini dikebiri kebebasannya terutama di bidang politik, dan
diberi kelonggaran luar biasa dan bahkan digandeng dalam memainkan dan menikmati kue
ekonomi bangsa ini. Pada jaman pemerintahan Soeharto ini, orang Tionghoa di Indonesia
diharuskan mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yg
sangat pedih karena mereka menjadi kehilangan marga dan nama keluarga mereka. Segala
tradisi yg berbau Cina diharamkan, dan bahasa Mandarin pun dilarang karena mereka dituduh
menyebarkan paham komunis.
Setelah reformasi, pada masa pemerintahannya, Gus Dur mencabut larangan bagi orang
Tionghoa untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kran hubungan dibuka di era ini, dengan
menjadikan Kong Hu Cu sebagai agama resmi keenam di negara ini. Kemudian pada
Presiden Megawati, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Sejak itu etnis ini terus
menunjukkan eksistensi yang semakin nampak dan partisipasinya di sektor publik semakin
percaya diri, memberi warna pada seni dan budaya Indonesia, dan mengisi dunia seminan,
17
artis sinetron, musisi, bintang iklan dalam profil pesohor yang berunjuk kebolehan tampil di
panggung media kotak kaca.
Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan undang2 no 12 th 2006 yg menghapus segala
perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Dan pada tahun 2007, SBY meresmikan istilah
"Tionghoa" sebagai nama bagi penduduk keturunan Cina di Indonesia. Ruang yang semakin
terbuka terus dimanfaatkan etnis Tionghoa untuk ikut berpartisipasi di dunia politik dengan
menjadi anggota legislatif atau kepala daerah. Kekuatan etnis ini ada pada kedekatan dengan
penguasa, modal besar atau kuatnya jaringan dagang [Ong Hok Ham]. Setelah ketua umum
partai memberi tempat sebagai wakilnya, dan sedang melaju untuk mencalonkan diri sebagai
Wakil Presiden, maka tinggal menghitung waktu saja seorang dari etnis ini akan menduduki
singgasana pemimpin pemerintahan negara ini.
Dan memang tidak ada yang salah. Semua warganegara mempunyai hak dan kewajiban yang
sama dalam demokrasi. Islam-Cina-Indonesia secara budaya saling mendukung dan
melengkapi membentuk budaya nasional Indonesia. Islam dan Cina memang memberi warna
baik pada budaya nasional secara keseluruhan atau memoles kultur lokal kedaerahan. Sebagai
misal, pada pesta perkawinan adat Betawi jelas sekali pengaruh Arabnya pada pakaian
mempelai pria, sementara pengaruh Cina tampak pada pakaian mempelai wanita. Namun,
penggunaan petasan atau mercon, jelas bukan budaya Arab melainkan bawaan dari Cina.
[31/1/2014]
18
”Islam” dan ”Betawi”, adalah 2 Merek Produk Dagang yang Paling Laku
di Bisnis Hiburan
”Islam” sebagai pondasi hidup atau barang dagangan?
Beberapa media mengabarkan Islam merupakan agama yang tingkat pertumbuhannaya sangat
cepat di benua Eropa dan Amerika Utara. Girah beragama umat di negeri ini juga semakin
nampak. Tidak malu menampilkan identitas keislamannya. Hampir semua aktivitas dikemas
dalam warna islamnya. Geliat ekonomi Islampun semakin semarak dengan hadirnya Bank
Syariah, yang diikuti dengan Asuransi Syariah, Reksadana Syariah, dan Pasar Modal Syariah.
Bahkan di sektor lain juga tidak mau ketinggalan. Muncul MLM Syariah, Hotel Syariah, dan
Wisata Syariah. Entahlah, apa lagi yang di-Syariah-kan? Semoga saja sesuai dengan hukum
syariah yang sesungguhnya. Bukan sekedar kulit, tetapi juga isinya.
Di bidang pangan juga demikian, dengan menggencarnya kebutuhan akan produk halal.
Kepastian produk yang bersertifikat atau berlabel halal menjadi kebutuhan umat. Sandang
sudah lebih dahulu berorientasi ke model busana muslim, terutama busana muslimah yang
berbentuk jilbab atau hijab. Para profesi perancang busana berputar haluan dan berkiblat ke
fashion jilbab. Apalagi perancang pemula yang memanfaatkan situasi yang tengah trend ini.
Kemudian bermunculah komunitas perempuan muda yang berhijab, dan diikuti oleh ibu-ibu
rumah tangga. Nah, terlepas berjilbabnya karena alasan perintah agama (syar’i), modis,
formalitas, gaul, atau mengikuti trend? Tidak dibahas di mari.
Penayangan acara iklan, sinetron, talk show, atau entertainment lainnya dengan bintang iklan,
tokoh/pemeran, host, atau pengisi acara yang menggunakan busana muslimah secara tidak
langsung juga menjadi bagian ajang promosi produk.
”Betawi” dan image minor-nya?
Di samping ”Islam” yang sedang dijual dalam bentuk kemasan hiburan, ”Betawi” juga
demikian. Unsur Betawi ditampakan dalam bentuk dialog dan tradisi. Hampir semua stasiun
TV swasta menayangkan sinetron yang berlatar belakang etnis Betawi yang dipadu dengan
nuansa keislamannya.
19
Penulis teringat ketika masih duduk di bangku SMA yang ketika itu saat mengisi formulir
PMDK. Ibu Wali Kelas sempat menyampaikan sesuatu yang penulis tidak menduga sama
sekali. ”Ki, kamu setelah lulus paling seperti orang Betawi kebanyakan. Setelah lulus, kawin
dan buka warung. Nanti warungnya bini kamu yang nungguin, dan kamu kerjaannya tidur
seharian”. Seperti palu godam menghantam muka penulis saat itu. Namun, untungnya teman-
teman sekelas tidak ada yang tertawa, tersenyum atau berubah mimik. Karena sedang
seriusnya mengisi form atau memang ucapan itu dianggap sekedar canda. Seketika itu juga
penulis, menjawab dengan lantang: ”Bu, lihat nanti ! Saya tidak seperti orang Betawi
kebanyakan.”
Dalam hati penulis setelah kejadian itu, kawin? Enggaklah! Nganggur?, Ogah ah! Kerja?
Hayo! , Kuliah? Harus!, Aktivis? , Jalani terus!
Penulis memang menyadari bukan dari keluarga berkecukupan apalagi berlebihan. Orang tua
hanya pedagang kaki lima dengan anak sejumlah warna pelangi. Penulis sendiri anak sulung.
Dengan perkataan Sang Wali Kelas itu, penulis sendiri tidak bisa memahami. Apakah
mendeskreditkan atau menantang? Memang saat itu penulis butuh motivator dan konsultan
pendidikan, tetapi tidak ada. Sampai tiga tahun kemudian Ibu Guru tersebut juga hadir dalam
Reuni Kelas yang diadakan di Sekolah, dan penulis sudah duduk di salah satu PTN di
Indonesia, maksud ”perkataan” itu tidak ada klarifikasinya, bahkan sampai kini. Akan tetapi
penulis berbaik sangka, bahwa itu adalah cara mendidik dengan mem-pressure. Orang di-
pressure, semakin tertekan atau melawan balik.
Orang Betawi dimata suku bangsa lainnya di Indonesia yang menjadi kaum pendatang tidak
dipandang dengan baik, tidak adil dalam membandingkan, dan tidak proporsional dalam
menilai. Penilaian sangat menggeneralisir kasus yang diangkat menjadi sebuah masalah.
Ibarat nila setitik rusak susu sebelanga. Bahwa orang Betawi itu malas, tidak bersekolah,
kerjaannya nongrong, tukang kawin, nungguin warisan orang tua, dan sejumlah nada minor
lain yang bisa-bisa saja disematkan. Membandingkan orang Betawi sebagai sebuah etnis
dengan suku lain yang merantau di Jakarta tidak adil. Jakarta hanya sebuah propinsi sekaligus
sebuah kota tidak sebanding dengan sebuah suku yang besar dalam sebuah propinsi yang
memiliki banyak kota. Kaum pribumi dibandingkan dengan kaum perantau tidak pas. Ketika
penulis berwisata di sebuah kota terkenal di Jawa, pemandu wisata menceritakan bahwa
20
warga kota ini merasa sudah puas dengan keadaannya (hanya tidak dikatakan malas), tetapi
yang membangun kota ini adalah para perantaunya yang kembali pulang.
”Betawi” sebagai barang dagangan yang menasional
Salah satu kelebihan bahasa atau dialek Betawi dibanding dengan bahasa daerah lain, adalah
banyak kesamaannya dengan bahasa Indonesia. Logat yang mudah ditiru oleh suku atau etnis
lain. Perantau yang pulang kampung ada yang merasa bangga karena sudah bisa melafalkan
cengkok logat Betawi ketika pulang ke kampungnya.
Pelesetan ”betawi” adalah betah di wilayah. Hanya ngendon di kampung dan jago kandang.
Semua rumor itu tidak sepenuhnya benar. Azis Khaifa (2009) dalam ”Dari Betawi untuk
Indonesia” mengutip penelitian Leo Suryadinata yang diterbitkan LP3ES (2000)
menyebutkan: etnis Betawi merupakan etnis terbesar ketujuh di Indonesia, rata-rata angka
pertumbuhan 2,34% pertahun, dan etnis Betawi ada di semua propinsi di Indonesia dengan
jumlah yang signifikan.
Mahbub Djunaedi, tokoh asli Betawi yang menerjemahkan buku Michael Hart: ”100 Tokoh
Berpengaruh di Dunia” mengemukakan: ”Betawi adalah....Betawi.....Ia berdiam di Jakarta
dan seputarnya. Ia orang kebanyakan. Ia bukan berasal dari dasar laut atau puncak gunung. Ia
punya satu kepala dan dua kaki. Ia termasuk kesatuan etnis Melayu. Ia bersih dari feodalisme.
Ia tak merasa lebih, juga tak merasa kurang. Ia demokratis dan terbuka. Ia merasa berasal dari
kaum Betawi pimpinan Husni Thamrin. Ia merasa pendukung Bung Karno ketika Rapat
IKADA tanggal 15 September 1945. Ia republican tulen. Dalam banyak hal mereka merasa
tergusur dan kececeran dalam persaingan metropolitan. Dalam banyak hal tidak cerewet
walau pemerintah daerahnya dipegang orang kampung lain”
Sementara mantan Presiden Soeharto (1991) pernah menyatakan bahwa: ”Masyarakat Betawi
merupakan masyarakat ini kota Jakarta.” Sedangkan Prof. Dr. Nurchlish Madjid berpendapat:
”Masyarakat Betawi telah terlatih untuk berbeda, toleran, egaliter dan terbuka, inilah
mungkin salah satu pertimbangan mengapa Presiden Sukarno memilih Ibukota Negara di
Jakarta.”
Perubahan Jayakarta menjadi Jakarta, dan Batavia menjadi Betawi, adalah catatan sejarah
perkembangan wilayah dengan etnis yang memiliki 111 organisasi massa ini. Sejatinya,
21
Jakarta dan Betawi tidak bisa dipisahkan, sekalipun sebagian warga Betawi berada di pinggir
Jakarta menempati Bogor, Tangerang dan Bekasi. Walaupun demikian, memang sudah ada
etnis Betawi yang sejak dulu sudah menempati beberapa tempat di wilayah penyangga Ibu
Kota tersebut dengan sebaran yang tidak merata. Dengan kata lain, etnis Betawi lebih luas
dari Jakarta itu sendiri.
Alwi Shahab (2014) menuturkan: ”Dalam hal kerukunan dan hidup dalam keragaman, warga
Betawi bisa dibilang sudah amat berpengalaman. Orang dengan latar belakang bangsa,
bahasa, kebudayaan, warna kulit, dan keyakinan agama yang berbeda sejak berabad-abad lalu
sudah bertemu di sini. Karena itulah, sejak dulu bagi orang Betawi tidak aneh hidup dan
bergaul dengan para pendatang. Kawin campur pun bukan masalah bagi suku Betawi, selama
mereka satu keyakinan.”
Sejarawah dan Budayawan Betawi Ridwan Saidi menyebut Betawi adalah etnis paling
matang menerima gagasan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi satu). Tokoh Betawi,
H. Irwan Syafe’ie, menurutnya warga Betawi tidak iri hati terhadap pendatang yang sukses.
Di kawasan elit terdapat rumah-rumah mewah, sedangkan orang Betawi tinggal di lorong-
lorong jalan yang sempit dan kumuh. Di tempat-tempat ini warga Betawi tidak ketinggalan
rasa humornya.
Dengan modal dasar demikian pantaslah etnis Betawi dapat naik ke panggung nasional untuk
diterima sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang ikut membentuk identitas dan jati diri
bangsa. Lewat tayangan sinetron budaya dan bahasa Betawi dipopulerkan, menjadi produk
yang diperdagangkan.
Jika ”Islam” dijadikan merek dagangan bernama hiburan, maka siapa yang dapat meraup
keuntungannya? Apakah esensi ajaran Islam yang ditampilkan dalam peran dan dialog bisa
membuat tontonan sekaligus tuntunan? Demikian pula halnya, dengan produk ”Betawi.”
Namun, jika memang sekedar dagangan, tentu saja yang mendapat untung si pedagang itu
sendiri. Bisa umat Islam bisa juga tidak. Bisa orang Betawi bisa juga bukan. [18/1/2014]
22
KETIKA UMAT BERADA DI PERSIMPANGAN JALAN
(Implementasi ajaran Islam dalam garis “vertikal & horisontal”)
Jika dimisalkan turunnya wahyu dari Allah Swt melalui malaikat Jibril menuju Nabi
Muhammad Saw berupa garis tegak (vertikal), maka implementasi wahyu tersebut (berupa
ajaran Islam) yang dituntun oleh Rasulullah untuk umat seluruh dunia ini dapat dikatakan
sebagai garis mendatar (horisontal). Garis horisontal tersebut berpangkal dari Rasulullah
membentang lurus menuju setiap umat yang mendapat hidayah sebagai titik-titiknya hingga
sampai akhir kehidupan (kiamat) pada ujung garis. Sampai pada 3 generasi terbaik – era
sahabat, tabiin, tabiit tabiin – yang pernah ada di muka bumi ini dan diakui oleh penduduk
langit, garis horisontal ini masih bertahan dengan rel dan koridornya pada Al Qur’an dan As
sunnah. Namun, dalam penelusurannya garis itu tidak lurus terus bahkan garis tersebut pecah
menjadi 2 bagian melebar ke kanan dan ke kiri, laksana membentuk bidang segitiga.
Pelebaran ke kanan, dapat dikatakan “Islam plus”, dimana ajaran Islam ditambah-tambah
dengan yang tidak ada dasarnya pada Al Qur’an dan As Sunnah, dan sudah sedemikian rupa
diyakini dan diibadahi oleh umatnya sebagai ajaran Islam. Umat semakin “kreatif’ beribadah
dengan melebih-lebihkan apa yang tidak diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Ajaran Islam
dipadukan dengan budaya lokal, tradisi setempat, pemikiran di luar Islam, dan segala
macama aliran, faham dan isme-isme, yang berdalih agar menambah khazanah cakrawala
Islam itu sendiri. Islam juga disandingkan dengan istilah-istilah, yang terkadang tidak pantas
dan hanya mengkotak-kotakan umat dan membingungkan umat (yang awam).
Muncul istilah Islam moderat sebagai lawan dari Islam fundamentalis, Islam toleran lawan
Islam radikal, Islam historis lawan Islam normatif, Islam pluralis lawan Islam ekstrim, Islam
kultural lawan Islam politik, Islam modernis lawan Islam tradisionalis, dan Islam sinkretis
lawan Islam puritan, serta yang paling aktual dan masih hangat membenturkan pengertian
“Islamis” dengan Islam “rahmatan lil alamin”.
Konyolnya, dari kalangan internal umat sendiri juga mengekor hasil sinisme dan sentimen
media barat, dengan ikut menempatkan saudaranya sendiri sebagai “kaum Islamis” yang
tidak sefaham, sealiran, atau sepemikiran dengannnya. Dan, muaranya muncul “agama baru”,
yakni “agama sepilis” yaitu sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, yang ironisnya
23
digaungkan oleh “cendekiawan muslim” yang lulusan universitas barat. Mereka menjadi
produk dan corong barat, yang tak bedanya dengan orientalis yang suka menyerang Islam.
Bedanya, “saudara kita” ini ikut menggerogoti bangunan Islam dari dalam, kalau orientalis
dari luar. Maklum selama dididik telah mengalami brainwashing dari para profesornya.
Sedangkan pelebaran ke kiri, sebagai “Islam minus”, dimana ajaran Islam dikurang-kurangi,
direduksi dan mengalami pendeskreditan karena kepentingan dan hawa nafsu. Ajaran Islam
yang tidak mendukung kepentingan ditinggalkan, dibuang jauh-jauh, dipendam dan dikubur
dalam-dalam. Sunah Rasul menjadi asing bagi umatnya sendiri, karena memang sudah tidak
diajarkan lagi. Umat juga lebih percaya kepada kitab-kitab ulama daripada Al Qur’an dan
lebih taat pada ucapan guru, ustaz, kyai, atau yang “disembah” daripada As Sunnah yang
tertulis pada kitab Hadist.
Ajaran Islam yang memadukan hubungan vertikal (hablum minallah) dan hubungan
horisontal (hablum minannas), diterapkan hanya salah satunya saja. Umat yang rajin dengan
ibadah individual abai dengan ibadah sosial. Sebaliknya, sebagian mengganggap cukup
berbuat baik saja kepada sesama manusia, tidak perlu menjalankan ibadah ritual nanti
terserah Tuhan saja yang menilai. Ibadah yang dijalankan terkadang bertolak belakang
dengan akhlak yang ditampilkan, karena ibadahnya hanya seputar ritualitas dan sekitar
formalitas saja, tanpa esensi dan substansi.
Kemalasan membaca menjadi pendukung dari usaha meminimalisasi ajaran Islam ini. Umat
tidak dapat membedakan antara iman dan kafir, tauhid dan syirik, haq dan bathil, ibadah dan
maksiat, sunnah dan bid’ah, serta ittiba’ dan taqlid. Juga telah bercampur atau tertukar antara
persoalan agama dan budaya, antara tradisi dengan syariat, dan antara adat istiadat dengan
ibadah. Ditambah lagi dengan kefanatikan umat pada figur seorang tokoh atau guru, akan
menjadikannya sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Tidak adanya tradisi sharing, budaya
kritik, dan dialog akan semakin mengukuhkan monopoli kebenaran. Sehingga tidak perlu
heran kalau sering muncul ajaran sesat. Kebodohan umat dimanfaatkan “sang guru” yang
punya kepentingan dan tujuan tertentu. Akhirnya umat sudah jauh dari Islam itu sendiri.
Nah, masalahnya apakah kita menjadi “agen” yang memberikan kontribusi dengan
memperlebar bidang segitiga tadi, baik ke kanan ataupun ke kiri sehingga semakin mendekati
kiamat segitiga itu semakin membentuk segitiga sama kaki yang sangat tumpul? Atau
24
menjadi pribadi muslim yang tetap istiqomah dengan Al Qur’an dan As Sunnah, dengan
memperkecil segitiga itu menjadi lebih lancip dan bervisi mengembalikannya ke bentuk
semula sebagai sebuah garis lurus?
Tentunya, kembali pada pribadi masing-masing. Jelasnya, beragama perlu ilmu. Minimal
untuk berIslam harus melakukan 3M (membaca, mengaji, dan mengkaji). Memang orang tua
kita menjadi mediator menurunnya hidayah Islam sampai ke kita. Akan tetapi, keharusan
belajar Islam (menuntut ilmu) tetap menjadi kewajiban setiap pribadi muslim, agar menjadi
muslim yang berkualitas. Menjadi muslim yang tidak bodoh di dunia juga tidak bodoh untuk
akhirat. Bodoh di dunia akan tertinggal dengan kemajuan zaman dan peradaban yang
berkembang. Kalau bodoh untuk akhirat, bisa cilaka. Apakah ketika di padang mahsyar nanti,
setelah di mizan lalu dihisab kita “mencari kambing hitam” dengan melempar kesalahan pada
orang tua dan guru kita? karena cara kita ber-Islam tidak diterima sidang pengadilan akhirat?
Alhamdulillah, mumpung masih hidup sekarang masih ada kesempatan belajar Islam yang
benar sesuai Al Qur’an dan As Sunnah sehingga bisa berIslam sesuai ridha-Nya Allah. Insya
Allah..
[29/7/2012]
25
Jangan sampai bertengkar di dalam masjid?!
Di tingkat internasional, dua negara bertetangga dengan penduduk muslim mayoritas sering
berseteru serta bermusuhan dengan cara mengejek. Salah satu negara tersebut selalu memulai
dengan memukul ’genderang perang’. Seolah menguji si tetangga masih punya nyali dan
harga diri apa tidak. Negara itu berperilaku seperti orang kaya baru yang memiliki
kepongahan dan keserakahan. Laksana orang kaya berkelakuan kampungan. Indikator
kemajuan ekonominya tidak sinergi dengan peningkatan keelokan tabiat dan karakter sebagai
negara maju. Organisasi besar yang beranggotakan negara berpenduduk muslim tidak dapat
bersatu untuk mengatasi penindasan sebuah negara kecil terhadap ’calon negara’, sebuah
negeri dimana terdapat kota suci ketiga umat Islam. Dalam skala lokal, antar kelompok saling
mengklaim otoritas. Jamaah yang berguru dengan jamaah lain dengan guru yang berbeda
saling merasa lebih benar. Perbedaan pengaruh dalam sebuah lingkungan, sudah ada masjid
dan masih bisa menampung jamaah, membangun masjid baru. Dalam ormas islam, terjadi
perebutan kekuasaan kepemimpinan. Apalagi dalam partai politik. Belum lagi dalam sebuah
yayasan yang terdiri dari anggota keluarga sering dijumpai ’perang baratayudha’ dalam
membuat kebijakan dan alih kepemilikan. Demikian contoh kondisi dan fenomena umat
Islam.
Eep Saefulloh Fatah (2000) pernah menyusun daftar kekeliruan politik kalangan Islam, yang
terdiri dari:
1. Senang membuat kerumunan, tidak rajin menggalang barisan.
2. Suka marah, tidak suka melakukan perlawanan.
3. Reaktif, bukan proaktif.
4. Suka terpesona oleh keaktoran, bukan oleh wacana atau isme yang diproduksi/dimiliki
sang aktor.
5. Sibuk berurusan dengan kulit, tidak peka mengurusi isi.
6. Gemar membuat organisasi, kurang mampu membuat jaringan.
7. Cenderung memahami segala sesuatu secara simplistis, kurang suka dengan kerumitan-
kecanggihan padahal inilah adanya segala sesuatu itu.
8. Sering berpikir linear tentang sejarah, kurang suka bersusah-susah memahami sejarah
dengan rumus dialektika atau sinergi.
26
9. Enggan melihat diri sendiri sebagai tumpuan perubahan, sebaliknya cenderung berharap
perubahan dari atas/para pemimpin.
10. Senang membuat program, kurang mampu membuat agenda.
11. Cenderung memahami dan menjalani segala sesuatu secara parsial, tidak secara integral
(kaaffah).
12. Senang bergumul dengan soal-soal jangka pendek, kurang telaten mengurusi agenda
jangka panjang.
13. Terus menerus ”menyerang musuh” di markas besarnya, abai pada prioritas pertama
”menyerang musuh” pada gudang amunisinya.
14. Kerap menjadikan politik sebagai tujuan, bukan politik sebagai alat.
15. Senang mengandalkan dan memobilisasi orang banyak atau massa untuk segala sesuatu,
abai pada fakta bahwa perubahan besar dalam sejarah selalu digarap pertama-tama oleh
creative minority. (Ironisnya, ini justru secara spektakuler dicontohkan oleh Muhammad
beserta lingkaran kecil di seputarnya di Mekkah serta kaum Muhajirin dan Anshar di
Medinah).
16. Senang berpikir bagaimana memakmurkan masjid, kurang giat dan serius berpikir
bagaimana memakmurkan jamaah masjid.
17. Senang menghapalkan tujuan sambil mengabaikan pentingnya metode, tidak berusaha
memahami dengan baik tujuan itu sambil terus mengasah metode.
18. Senang merebut masa depan dengan meninggalkan hari ini atau merebut hari ini tanpa
kerangka masa depan, bukannya merebut masa depan dengan mencoba merebut hari ini.
19. Sangat pandai membongkar dan membongkar, kurang pandai membongkar pasang.
20. Sangat cepat dan gegabah merumuskan musuh baru (dan lama), sangat lamban dan
enggan merangkul kawan baru.
21. Gegap gempita di wilayah ritual, senyap di wilayah politik dan sosial.
22. Selalu ingin cepat meraih hasil, melupakan keharusan untuk bersabar.
23. Senang menawarkan program revolusioner tapi abai membangun infrastruktur revolusi.
24. Selalu berusaha membuat politik sebagai hitam putih, bukannya penuh warna tak
terhingga.
25. Sangat pandai melihat kesalahan pada orang lain, kurang suka melakukan introspeksi.
Sepeninggal Rasulullah, umat Islam sudah mulai kelihatan tercabik dalam perpecahan.
Dimulai dari masa Khualafaur Rasyidin sampai zaman Kekhalifahan dan terus hingga kini,
pemicunya terutama urusan politik. Di bidang pemikiranpun demikian. Dua pola pemikiran
27
fikih yang menjadi cikal bakal bagi terbentuknya mazhab-mazhab fikih adalah kubu
ahlulhadis dan ahlur ra’yi pada abad ke-2 H. Ahlulhadis adalah kelompok yang cenderung
memusatkan perhatiannya kepada sunah. Sedangkan kubu ahlur ra’yi cenderung memandang
syariat dalam takaran rasionalitas.
Dari Bukhori Yusuf (2002), hadist yang diriwayatkan Muawiyah bin Abu Sufyan
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Ketahui bahwa sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian yaitu ahli kitab (yahudi dan nasrani) telah terpecah menjadi 72 millah (baca
agama sempalan) dalam riwayat yang lain dinyatakan golongan. Dan sedangkan agama ini
(Islam) akan terpecah menjadi 73 sempalan 72 berada di neraka dan hanya satu yang masuk
surga yaitu al-jamah.” (HR Abu Dawud, al-Hakim, dan dinyatakan sahih oleh Albani).
Abdullah al-Yafi’i (W:768 H) menulis buku Dzikru madzahib fraq as-sintain wasabin al
Mukholifah lis-sunnah wan al-Mubtadiah, bahwa 72 golongan bercabang dari empat
golongan pokok yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Masing-masing golongan
pokok ini bercabang menjadi 18 golongan.
WAMY (2003) dalam ’Gerakan Keagamaan dan Pemikiran’ menyingkap gerakan keagamaan
dan pemikiran yang ada di dunia yang berjumlah 58 jenis. Gerakan-gerakan tersebut turut
memberikan kontribusi pada perubahan peradaban kemanusiaan universal, baik dalam
konteks bangsa maupun umat. Akibatnya, manusia modern dihadapkan kepada gelombang
arus informasi yang membingungkan dan kontradiktif di berbagai dimensi kehidupannya,
baik di sekitar kebudayaan, idiologi, paham pemikiran, politik, ekonomi, sosial, aliran-aliran
keagamaan, dan filsafat. Sementara kebenaran hakiki hampir tidak tampak.
Seperti yang pernah penulis analogikan bahwa ajaran Islam, yang semestinya berasal dari
satu titik dengan sumber utama al-Quran dan as-Sunah memanjang dari masa Rasulullah
menuju hari akhir berupa garis horisontal yang lurus. Namun, kenyataannya garis itu melebar
membentuk segitiga karena ajaran Islam yang murni telah ditambah dan dikurangi oleh
umatnya sendiri. Kemurniannya menjadi berkurang karena pengaruh kebudayaan Barat dan
Timur, mengalami akulturasi dan sinkretisme dengan budaya dan tradisi lokal.
Di Indonresia sendiri dapat dijumpai dengan beragamnya organisasi massa (ormas) Islam
yang beragam dengan masing-masing memiliki keyakinan, aliran, dan faham. Dalam bidang
politik juga begitu. Sekalipun umat Islam menduduki jumlah mayoritas, tetapi partai politik
28
(parpol) Islam tidak dapat mencapai jumlah suara yang signifikan apalagi pemenang. Karena
suara umat terpecah dan terbagi-bagi dalam beberapa parpol Islam. Sementara sebagian
kalangan umat tidak memiliki ikatan ideologi atau tautan emosional dengan parpol Islam
manapun, sehingga mereka berpikir dalam parpol nasionalis juga ada orang Islam. Bukan
hanya di negara ini, negara lainpun yang mayoritas berpenduduk umat Islam tidak ada parpol
islam tunggal atau hanya ada satu parpol Islam. Banyaknya ormas dan parpol berlabel Islam
atau berideologi Islam, akan menimbulkan masalah dalam penyatuan suatu kebijakan yang
menyangkut kebutuhan umat. Masalah penentuan waktu hari awal Ramadhan, 1 Syawal, dan
10 Dzulhijjah masih ’pekerjaan rumah’ yang belum terselesaikan sampai detik ini. Persoalan
politik dan urusan kekuasaan lebih ruwet lagi. Belum lama berselang tentang
penyelenggaraan pengelolaan zakat, apakah disentralisasai pemerintah lewat BAZ atau
memberi peran masyarakat lewat LAZ membutuhkan energi yang besar untuk
menuntaskannya. Dan yang masih hangat adalah masalah otoritas pemberi sertifikasi dan
label halal pada produk. Baik ormas maupun parpol sudah sigap menyatakan pendapatnya,
baik yang menyerahkan ke lembaga yang sudah terpercaya, pemerintah, kalangan swasta,
atau ormas dapat membuat lembaga sendiri.
Ada Pengurus DKM di sebuah Perumahan/Cluster di bilangan barat Jakarta, berkeinginan
membuat persatuan dan kebersamaan sesama kelompok umat Islam. Mereka membuat jadwal
pengajian atau taklim bergiliran di masjid yang diberi merk Masjid Akhuwah. Misal hari
Senin: NU, selasa: Muhammadiyah, rabu: PKS, kamis: HTI, jumat: Salaf, dan Sabtu: JT. Di
samping ada taklim di masjid juga ada pengajian di rumah ke rumah. Nah, kalau begini
dimana usaha untuk terjadinya ukhuwah? Pengurus DKM tersebut berniat baik tetapi masih
lugu.
Masjid adalah tempat ibadah. Pada prinsipnya semua aktivitas seorang muslim dapat bernilai
ibadah, jika dilakukan dengan ikhlas dan ittiba dengan apa yang Rasuilllah telah lakukan.
Persoalan umat dapat dimusyawarahkan di masjid, karena masjid bukan hanya tempat
pelaksanaan ibadah mahdhah saja. Namun, setiap muslim senantiasa mengetahui adab masjid
ketika berada di dalamnya sekalipun dalam berdiskusi dan berdebat apalagi untuk
menentukan suatu keputusan. Jadi sesama umat Islam janganlah bertengkar atau berkelahi
hanya masalah sependapat atau tidak, setuju atau tidak. Apalagi jika di dalam masjid.
[24/2/2013]
29
Tiga Level Kebenaran
Ilmu berasal dari bahasa arab, yaitu ‘alima – ya’limu – ‘ilman dengan wazan fa’ala – yaf’alu
– fi’lan yang berarti mengerti, memahami benar–benar. Ilmu dalam kamus Bahasa Indonesia
adalah pengetahuan suatu bidang yang disusun secara konsisten menurut metode-metode
tertentu, juga dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu. Ilmu merupakan terjemahan dari kata science (sains) yaitu pengetahuan
yang rasional dan didukung dengan bukti empiris.
Ilmu dan pengetahuan diperoleh sebagai formulasi dari aproksimasi sekaligus sebagai
simplifikasi atas fenomena alam. Ilmu dan pengetahuan dibedakan yang didasarkan pada
tingkatan dalam menangkap kebenaran. Ilmu lebih tinggi dari pengetahuan umumnya, karena
memiliki struktur dalam rasional dan intuitif, sedangkan pengetahuan lebih rendah hanya
didasarkan pada inderawi dan naluri. Persoalan ilmu menyangkut benar-salah. Pengetahuan
yang terdiri dari etika (moral, akhlak) dan estetika (seni), mempersoalkan baik-buruk (etika)
dan bagus-jelek (estetika). Sedangkan agama akan mempersoalkan benar-salah (ilmu) dan
baik-buruk (akhlak, sikap).
Dalam kaitannya memperoleh kebenaran manusia mendasarkan pada berpikir rasioanal dan
pengamatan fenomena alam, sehingga ada golongan rasionalis dan empiris. Sementara
menurut Islam, ada 3 level kebenaran, yakni:
1. Ainul yaqin
Kebenaran yang dialami manusia lewat indera (penglihatan). Sesuatu dikatakan benar kalau
dapat dideteksi dengan panca indera, terutama indera penglihatan. Kebenaran hanya dapat
dibuktikan dengan fakta yang ada.
2. Ilmul yaqin
Kebenaran ini didasarkan pada proses berpikir dan pengamatan terhadap pengalaman.
Kebenaran yang diperoleh dari pengamatan lewat indera dilanjutkan dengan pengolahan
dengan rasio dan direnungkan dengan mendalam secara filosofis. Filafat adalah usaha untuk
mencari kebenaran sehingga mendekati kebenaran yang sesungguhnya.
30
Pada filsafat ilmu terdapat tiga kajian, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi
membahas tentang realitas, yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Realitas
hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif (pandangan materialistik-
sekularistik). Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berarti bahwa aspek-aspek alam yang
bersifat kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu
pengetahuan, dimana jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan
pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya
ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspekpragmatis-materialistis.
Dari Intan Irawati dalam Teori Teori Kebenaran dalam Ilmu Pengetahuan, teori kebenaran
filsafat terdiri dari:
a). Teori Kebenaran Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-
pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di
alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan
benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta.
Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa
adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Keberhasilan
ilmu eksakta yang berdasarkan empirisme dalam mengembangkan teknologi -ketika
berhadapan dengan ”kegagalan ” ilmu-ilmu human dalam menjawab masalah manusia-
membawa dampak buruk terhadap kedudukan dan pengembangan ilmu-ilmu human. Analisis
filsafat tentang kenyataan ini harus ditempatkan secara proporsional, karena merupakan suatu
usaha ilmiah untuk membantu manusia mengungkap misteri kehidupannya secara utuh.
b). Teori Kebenaran Koherensi atau Konsistensi
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren
atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif
dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini
mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan terdiri dari
konsep-konsep yang saling berhubungan dari massa, gaya dan kecepatan dalam fisika.
31
Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga
hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan
adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita
terima dan kita ketahui kebenarannya.
Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi
sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan dan
dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata yang
digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan
pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara
faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh jika
dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh lingkungan.
Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi sifat-sifat manusia dan hubungan-
hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya.
c). Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh
referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori
tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk
kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah
adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah
kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruhnya yang
memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang
tetap atau mutlak.
Manusia dengan segala segi dan kerumitan hidupnya merupakan titik temu berbagai disiplin
ilmu. Hidup manusia seutuhnya merupakan objek paling kaya dan paling padat. Ilmu
pengetahuan seyogyanya bisa melayani keperluan dan keselamatan manusia. Pertanyaan-
pertanyaan manusia mengenai dirinya sendiri, tujuan-tujuannya dan cara-cara
32
pengembangannya ternyata belum dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan yang materialis-
pragmatis tanpa referensi kepada nilai-nilai moralitas.
d). Teori Kebenaran Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas
tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia
mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain
mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa
rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika
rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki
atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu,
Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang
difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan
oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif.
Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat,
pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada
kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan
sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional.
Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang
otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran
ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat
dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
e). Teori Kebenaran Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif
tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut.
Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau
realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh
pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut.
Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma
33
ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan
kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.
Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai
konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi
determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok
menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman
individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial
ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam
hukum tak tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam
memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi
di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains.
Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak
karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi.
Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan
memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan
teori.
Pengalihkesetiaan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang
tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan
relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa
mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas.
Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen,
dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan
pemecahan berbagai masalah.
Dalam ilmu astronomi, keunggulan kuantitatif tabel-tabel Rudolphine dan Keppler
dibandingkan yang hitungan manual Ptolomeus merupakan faktor utama dalam konversi para
astronom kepada Copernicanisme. Dalam fisika modern, teori relativitas umum Einsten
mendapat ejekan karena ruang itu tidak mungkin melengkung. Untuk membuat transisi
kepada alam semesta Einstein, seluruh konsep ruang, waktu, materi, gaya, dan sebagainya
harus diubah dan di reposisi ulang. Hanya orang-orang yang bersama-sama menjalani atau
34
gagal menjalani transformasi akan bisa menemukan dengan tepat apa yang mereka sepakati
dan apa yang tidak.
3. Haqqul yaqin
Kedua kebenaran di atas`merupakan kebenaran nisbi atau kebenaran relatif. Kebenaran yang
ketiga ini merupakan kebenaran dengan level tertinggi dan peringkat teratas. Secara ontologi
dan aksiologi, ini adalah kebenaran mutlak sebagai kebenaran religius yang nilainya
bersumber dari Allah, sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Kebenaran yang turun dari langit dan dibuat tekstualnya dalam bentuk kitab suci Alquran,
didampingi dengan As Sunah yang dibukukan dalam bentuk Hadits. Kebenaran ini bersifat
superrasional dan superindividual, objektif, universal, dan berlaku bagi seluruh umat
manusia. Haqqul yaqin diperoleh karena paduan hidayah dan taufik melalui kombinasi iman
dan ilmu. Alquran sendiri menegaskan sebagai furqon (pembeda) antara yang haq dan yang
bathil.
Kebenaran dalam Islam
Islam adalah satu-satunya agama yang diturunkan dan diridhai Allah SWT untuk umat
manusia.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-
orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah
maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya” (Qs. Ali Imran 19).
“Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (Qs. Ali
Imran 85).
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan bagimu
nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (Qs. Al-Ma`idah 3).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “kebenaran agama secara total” hanya ada pada
Islam, sebagai satu-satunya agama Allah. Yang dimaksud dengan “secara total” adalah
apabila kita menimbang dan menilai satu agama secara totalitas, bukan secara parsial. Hal ini
berarti ¬Islam tidak menafikan “kebenaran parsial” yang terdapat dalam agama-agama lain,
terutama dari aspek muamalah dalam pengertian yang lebih luas, yaitu hubungan antara
sesama manusia dan hubungan antara manusia dengan alam. Ajaran cinta kasih, tolong
35
menolong, solidaritas, persatuan, keadilan, kejujuran, kebersihan, disiplin, menuntut ilmu,
bekerja dengan rajin dan giat, memelihara lingkungan dan lain sebagainya akan kita temukan
tidak hanya dalam ajaran Islam semata, tetapi juga pada ajaran agama-agama lain.
Dalam aspek muamalah ini Islam bersikap fleksibel, semua yang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam dapat diterima sebagai sebuah kebenaran. Dalam perspektif seperti itu kita
menilai kebenaran yang terdapat dalam berbagai macam agama, bukan dalam pengertian
totalitas sebagai agama. [23/12/2012]
36
PAHPI: 3M (membaca, mengaji & mengkaji)
Sejatinya agama adalah aturan. Semua agama mempunyai aturan, sehingga para pemeluk
agama adalah orang yang harus dan mesti hidup dalam aturan (agama yang dianut). Aturan
yang ada di agama berasal dari sumber terpercaya yang diyakini sebagai perintah dan
larangan dari Tuhan. Sumber terpercaya inilah yang disebut sebagai Kitab Suci. Jelasnya,
orang yang taat dalam agama adalah orang yang hidupnya sangat berdasarkan pada prinsip
dan metode ilmiah, karena memegang teguh rujukan yang terpercaya dan referensi yang
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Artinya, seorang yang menjalankan agamanya
dengan benar tidak mensandarkan jawaban atas segala permasalahan dengan pendapat dan
opini, tetapi lebih dulu mencari konteksnya dengan bersandarkan pada dalil yang terdapat
dalam Kitab Suci. Dalil dalam Kitab Suci bersifat dogmatis dan pasif, statis serta bersih dari
kepentingan manusia. Lain halnya, jika jawaban yang keluar dari seorang pemuka agama
(guru) lebih dikedepankan pada dasar pendapat dan opini, maka hal ini tidak murni lagi,
karena cenderung munculnya hawa nafsu dan mengada-ada, serta tidak menutup
kemungkinan masuknya kepentingan pribadi sang tokoh.
Anehnya, ketika masuk dalam sebuah komunitas atau organisasi apalagi perusahaan tempat
mencari nafkah, manusia sangat patuh dan taat terhadap aturan yang ada, aturan yang dibuat
manusia, yakni pimpinan perusahaan atau pemilik perusahaan. Sedangkan aturan Tuhan
dalam agama yang dianut (sesuai KTP) diabaikan begitu saja. Bahkan, konyolnya sudah
melanggar masih mencibir lagi dengan ucapan:” Kalau Tuhan sih enggak ribut, lain dengan
manusia.....” Astaghfirullah. Jika dikatakan ini persoalan belum tebalnya iman yang dimiliki,
pasti ukurannya tidak jelas. Kita coba dengan logika yang paling sederhana saja. Kalau kita
masuk ke dalam ”sesuatu”, maka konsekuensinya kita harus mentaati semua aturan yang ada
di sesuatu itu, kan? Kalau bicara konsekuensi kaitannya dengan tanggung jawab, dan perihal
tanggung jawab relevansinya dengan kedewasaan seseorang. Sehingga dalam Islam, orang
yang sudah terkena hukum syariat adalah salah satunya sudah dianggap dewasa (aqil baligh).
Selain belum akil balig orang yang tidak terkena hukum adalah orang yang tertidur dan tidak
waras (gila). Oleh karena itu, jika ada saudara kita yang masih ”muslim KTP”, tidak perlu
kita suudzon (buruk sangka). Mungkin beliau belum akil balig, sedang tertidur, atau masih
gila. Apalagi beberapa jenis ibadah menyediakan fasilitas rukhshoh (keringanan) yang
37
tentunya dengan alasan-alasan yang syar’i, sehingga tidak ada alasan untuk tidak
menjalankan atau tidak menunaikan ibadah tersebut. Islam membuat aturan & peraturan yang
tidak membebankan umatnya.
Fenomena di atas kita lihat setiap hari pada saudara kita yang seiman dan seagama. Mengapa
demikian? Mereka tidak tahu, belum tahu, atau tidak mau tahu? Pernah penulis tanya pada
mereka dan jawabannya belum waktunya. Belum ada panggilan. Atau belum ada hidayah?
Kan sudah Islam. Oh ya, beruntungnya kita memperoleh Islam karena keturunan, tidak
berjuang keras mendapatkan hidayah layaknya Nabi Ibrahim ketika mencari Tuhan. Namun,
kelemahannya ilmu keislaman kita sangat minim dan malas belajar untuk mendapatkan ilmu.
Kita lebih suka mendengar daripada membaca. Lebih nyaman menonton hiburan daripada
menyimak kajian. Hidup lebih banyak diisi dengan santai ketimbang serius. Kadang kita
kalah jauh dengan saudara kita yang Mualaf. Akhirnya, kita berislam tanpa ilmu. Beragama
dengan mengikuti cara beragama orang lain. Umat tidak bisa membedakan antara perintah
agama dan kebiasaan budaya, antara tradisi dengan syariat, dan antara adat istiadat dengan
ibadah. Beribadah mengikuti apa yang orang banyak lakukan, tanpa menyikapi dengan kritis
darimana sumber dan dalilnya pelaksanaan ibadah itu sendiri. Seolah kebenaran adalah apa
yang dilakukan orang banyak, bukan berdasarkan dalil yang otentik, shahih, rajih, dan valid.
Apa ini virus ajaran demokrasi? Kita lebih percaya ucapan sang Ustaz daripada apa yang
tertulis dalam Alquran dan As Sunah. Kita telan mentah-mentah apa yang terdapat dalam
buku atau kitab tanpa mempertanyakannya apakah sesuai dengan kedua sumber ajaran Islam
tersebut. Pengajian hanya berisikan senda gurau, karena umat lebih suka kalau isinya banyak
kelakar yang nara sumbernya Ustaz yang humoris dan pandai melucu. Taklim cukup ’jiping’
(ngaji kuping) saja dengan mendengar tanpa membuka Alquran, Hadits, atau membuat
catatan. Informasi masuk ke telinga kanan keluar dari telinga kiri, atau masuk telinga
terpantul lagi keluar. Majelis laksana wadah temu kangen saja, melepas kerinduan, sekedar
ngeramein, diisi dengan materi ’yang sudah biasa dan umum’, sehingga tanpa target apakah
setelah keluar dari ruang taklim itu, akidah semakin kuat, akhlak semakin baik, ibadah
semakin rajin, dan atau muamalah semakin bersyariah? Indikator keberhasilan sebuah proses
(jika pengajian rutin adalah proses menuntut ilmu) maka terletak pada pribadi-pribadi
outputnya. Sementara segelintir umat lebih senang menikmati bentuk pengajian Tabligh
Akbar, yang kadang diberi label ”Nada dan Dakwah”, dimana ada ceramah dari Ustaz
kondang dan ada hiburan terutama pertunjukan musik. Setelah pertunjukan usai, umat akan
bingung ketika kembali ke rumah. Karena ’oleh-oleh’ nya gado-gado antara kepuasan dunia
38
dengan bekal akhirat. Mana yang diingat? apalagi untuk diamalkan. Pengajian rutin dan
tabligh akbar sebenarnya saling melengkapi. Ibarat makanan pokok dengan vitaminnya.
Tinggal bagaimana memprogram dan mengemas acara keagamaan itu tetap dalam koridor
yang islami sesuai syariah.
Dengan kondisi umat yang digambarkan di atas, dapat dilihat hasilnya pada tanya jawab umat
dengan nara sumber di media elektronik atau cetak tentang masalah agama. Banyak
pertanyaan yang seharusnya sudah diketahui, karena sejak SD sudah diberikan materi
tersebut. Atau persoalan yang sederhana yang mudah dijumpai pada buku-buku agama yang
sifatnya praktis. Belum lagi dengan melihat kondisi di lapangan kehidupan sehari-hari dalam
pelaksanaan ibadah mahdhah. Inilah fakta bagaimana kualitas umat ditinjau dari penguasaan
ilmu menuju akhirat. Sangat ironis, kalau umat bodoh kuadrat. Bodoh dalam ilmu dunia juga
bodoh dalam ilmu akhirat. Semua ini bukan melulu kesalahan umat sendiri, tetapi juga ada
peranan para pemuka agama, tokoh agama, ustaz, kyai, da’i, mubaligh, atau mungkin
penasihat spiritual. Seyogyanya, jika mengacu pada shirah nabawiyah dan sahabah, maka
memaksimalkan penggunaan masjid sebagai sentra ibadah, tarbiyah, dan dakwah adalah
keniscayaan. Di masjid ada imam yang merangkap sebagai ustaz (guru agama). Masjid yang
semestinya memberi manfaat buat masyarakat sekitar. Namun, umat lebih senang sebatas
membangun fisik masjid semata, tanpa membuat program membangun pemberdayaan umat
di sekitarnya. Umat lebih bersemangat berlomba-lomba membaguskan dan mempercantik
masjid tetapi abai dalam aktivitas kemasjidan. Masjid laksana bangunan indah dan elok yang
tak boleh dijamah dan digunakan, hanya sekedar hiasan dan monumen bersejarah. Ramai
dengan aksesoris tetapi sepi dengan aktivitas ibadah, karena dibuka hanya pada waktu
tertentu dan sering dalam keadaan terkunci pintu ruangnya. Sang ustaz tidak perlu bertakbir
akbar keliling nusantara, sementara masjid di tempat tugasnya tidak terurus dan jamaahnya
terbengkalai. Sekarang ini ustaz lebih ’aktif’ di organisasi massa, lembaga training, atau
partai politik daripada di masjid tempat tinggalnya mengisi taklim. Kurikulum dan program
pengajaran Islam juga tidak sistematis. Misal, akidah yang seharusnya menjadi akar pokok
tidak ditempatkan di awal. Belum lagi, ada paradigma yang telah berurat dan berakar kalau
mempelajari Alquran, Tafsir, dan Hadist harus mengusai ilmu bahasa arab (nahwu dan
sharaf) dahulu. Kapan sampainya kalau demikian? Akhirnya, setiap pengajian hanya mentok
pada kitab-kitab ulama, tidak mengacu lagi pada Alquran dan As Sunah.
39
Membicarakan keilmuan Islam atau ilmu keislaman sangat banyak. Dimulai dari bahasa
Arab, Alquran dan Hadis, Tafsir, sampai Terjemahan. Dari klasifikasi ajaran Islam yang
terdiri dari Akidah, Akhlak, Syariah, Ibadah, dan Muamalah sampai hukum (fikih). Belum
lagi konteksnya dengan masalah kontemporer dengan segala bidang kehidupan (ideologi,
politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya, pendidikan, iptek, dan hankam). Konsekuensi
sebagai umat Islam, adalah mempelajari, memahami, mengamalkan, mendakwahkan, dan
memperjuangkan Islam. Referensi Islam dimulai dengan perintah membaca, sebagai sarana
menuntut ilmu. Dari struktur bahasa Arab, berturut-turut: fi’l madhi, fi’l mudhari, dan fi’l
amr: qoro’ah, yaqro’u, iqro’. Artinya: telah membaca, sedang membaca, bacalah! (perintah).
Jadi, konsekuensinya sebagai umat Islam mau tidak mau, atau suka tidak suka harus
membaca (menuntut ilmu), karena ini adalah perintah. Dan sebagai sarananya adalah
madrasah. Madrasah pertama, ada di rumah Arqam bin Abi Arqam, dengan Ustaznya
Rasulullah sendiri bersama Assabiqunal awwalun (10 orang yang pertama masuk Islam).
Madrasah bisa berbentuk Majelis Taklim. Majelis dari kata: jalasa, yajlisu, ijlis, artinya
duduk. Sedangkan taklim, belajar atau menuntut ilmu. Secara guyonan, taklim = dibentak
orang alim. Murid yang bandel memang harus sering dibentuk Ustaz berilmu (alim) supaya
pinter dan bener. Sehingga majelis taklim adalah tempat menuntut ilmu (belajar) islam sambil
duduk. Duduk lesehan dengan lekar sebagai alas Alquran.
Mempelajari untuk memahami Islam bagi umat tidak ada istilah terlambat selama hayat
dikandung badan, umur masih ada, tubuh masih sehat, kesempatan masih terbuka, dan
semangat harus ada. Sebagai pelajaran membaca Alquran dengan tajwid dan makhraj
(tahsin), dan mungkin berminat pada kharkat (lagu) dan mempelajari bahasa Arab (nahwu
dan sharaf) lebih pas disebut dengan Mengaji. Sedangkan membahas masalah tematik,
dengan membuka Alquran, Tafsir, Terjemahan, dan Hadits (terutama yang berderajat Shahih
atau Hasan, baik yang Mutawatir atau Ahad), disertai membuat catatan dapat disebut sebagai
Mengkaji. Jika mengaji bertujuan mendapat mendalaman keimanan dan pengayaan
spiritualitas, maka mengkaji mendapatkan kedalaman ilmu suatu materi dengan landasan
Alquran dan As Sunah sehingga dapat menjawab tantangan zaman. Selain mengaji dan
mengkaji, aktivitas keilmuan yang paling ringan tetapi sering malas dilakukan adalah
membaca. Membaca bertujuan mengetahui pengantar dari gambaran sebuah materi yang
perlu dikaji. Seperti membaca abstrak dari sebuah karya ilmiah. Membaca, awalnya dapat
mengetahui hal-hal secara meluas tanpa mendalam. Insya Allah, kegemaran membaca akan
menuntun untuk mengaji atau mengkaji. Sehingga, pendalaman, pengayaan, pencerahan, dan
40
pencerdasan ilmu keislaman dalam aktivitas yang dapat disebut sebagai akronim: PAHPI
(Pengajian Alquran Hadits dan Pengkajian Islam). [23/12/2012]
41
Dunia bukan surga, juga bukan neraka
Allah menciptakan makhluk saling berpasangan. Di alam semesta ini, ada siang dan malam.
Pada makhluk hidup, ada jantan dan betina. Begitu juga fenomena alam, panas dan hujan
silih berganti. Bahkan dalam aktivitas manusia dalam kaitannya dengan tanggung jawabnya
kepada Sang Khalik, sebagian bergerak dalam kemaslahatan (amal ma’ruf), tetapi sebagian
bergumul dengan kemunkaran. Ada yang menata, ada pula yang merusak. Ada yang
membersihkan, ada yang mengotori. Dalam hubungan antar manusia ketika berada dalam
kelompok, komunitas, atau organisasi terdapat pemimpin (leader) juga pengikut (follower).
Semua berada dalam keseimbangan (equilibrium), yang saling melengkapi.Inilah Sunatullah.
Demikian pula dengan romantika kehidupan manusia. Senang dan susah, bahagia dan
menderita, suka dan duka, lapang dan sempit, ceria dan galau selalu berganti. Maka ketika
orang dalam keadaan yang menyenangkan seolah hidup dalam kenikmatan surga, sebaliknya
dalam keadaan menderita seolah hidup dalam kesengsaraan neraka. Sesungguhnya, perasaan,
mood, persepsi, emosional, psikis, spiritual masing-masing manusia memiliki kadar dan
karakteristiknya sendiri dan tergantung bagaimana menyikapinya. Sikap menempatkannya
semua kondisi dan suasana tersebut secara proporsional dengan pedoman ilmu yang dimiliki
dan iman yang dipunyai sebagai dasar mencari solusi problematika kehidupan. Kesulitan
hidup bukan terus untuk diratapi. Sebaliknya kesenangan dan kenikmatan hidup juga bukan
untuk lupa diri. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Kehidupan di dunia ini,
bukan di surga yang terus mendapatkan kenikmatan. Juga bukan di neraka, yang terus
mendapat kesengsaraan. Selalu dan silih berganti. Bersiklus dan berperiodik. Berulang dan
berkala. Maka, ketika keharusan istiqomah dalam berikhtiar, mesti dipagari dan disekat
dengan sabar dan syukur. Yang jelas, Allah telah memberikan kehidupan ini, tinggal
bagaimana kita mensyukurinya? [31/3/2012]
42
Meng-Islam-kan ”PGEP” atau Meng-”PGEP”kan Islam?
Sebagai muslim, kita mempunyai 5 kewajiban terhadap Islam, yakni: iman, ilmu, amal,
dakwah, dan jihad. Artinya seorang muslim memiliki kewajiban: beriman terhadap Islam,
Memiliki ilmu dalam ber-Islam, Mengamalkan Islam dalam kehidupan, Mendakwahkan
Islam ke seluruh umat di dunia ini, dan Memperjuangkan Islam.
Mengenai kewajiban yang pertama menyangkut hidayah berupa panggilan ilahiyah dari Sang
Maha, meskipun demikian iman bisa turun naik atau lemah kuat. Oleh karena itu untuk
memperkuatnya diperlukan proses belajar dengan menuntut ilmu keislaman. Sehingga
hidayah yang sesungguhnya merupakan gabungan antara iman dan ilmu dan perpaduan
spiritual dan rasional yang dilakukan dengan ikhtiar yang bersungguh-sungguh. Dengan
begitu orang muslim harus terus menuntut ilmu hingga liang lahat menungguinya.
Sementara untuk kewajiban mengamalkan, mendakwahkan dan memperjuangkan Islam, umat
menggunakan metode atau manhaj yang berbeda-beda tergantung pemikiran, pemahaman,
dan wawasan yang diperolahnya. Secara garis besar, terbagi menjadi 4 sarana dalam
mendakwahkan Islam, yakni pada bidang Pendidikan, Gerakan, Ekonomi, dan Politik, yang
penulis singkat PGEP seperti judul di atas.
1. Pendidikan (Tarbawi)
Bidang ini merupakan cara yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Madrasah pertama di
dunia adalah rumahnya Arqam bin Abi Arqam yang digunakan Rasul untuk mengajar,
mendidik, membina, membimbing, dan mendoktrin assabiqunal awwalun (10 orang yang
pertama masuk Islam). Pendidikan adalah sarana membentuk Sumber Daya Muslim yang
berinsan kamil dan berperan sebagai rahmatan lil alamin. Namun, yang perlu diperhatikan
dalam pendidikan adalah figur pendidik, peran pengelola institusi pendidikan, sistem
pendidikan (kurikulum) serta peserta didiknya. Faktor utama dan pertama dalam pendidikan
adalah pendidik (guru). Kata ’guru’ bisa merupakan singkatan dari kata ’digugu’ dan ’ditiru’.
Memang idealnya sang guru semestinya dapat dicontoh dan ditiru. Belakangan ini sangat
santer pentingnya pendidikan budi luhur dan karakter bagi peserta didik. Bagaimana mau
mendidik karakter peserta didik agar berbudi luhur, kalau pendidiknya sendiri kurang
43
berkarakter dan tidak berbudi luhur? Keteladanan pendidik sangat penting dan vital dalam
dunia pendidikan. Karena pendidik tidaklah sama dengan pengajar atau pelatih. Oleh karena
itu untuk membentuk peserta didik berbudi luhur dan berkarakter, maka calon pendidik harus
dididik lebih dahulu masalah budi luhur dan karakter itu sendiri. Budi luhur dan karakter
adalah bagian dari akhlak. Mungkin itulah alasannya, Rasullullah diutus untuk memperbaiki
akhlak manusia sejagad raya ini.
Selain pendidik, institusi pendidikan yang mengelola sistem kurukulum, proses KBM,
menciptakan budaya lingkungan sekolah, dan membuat atmosfer kehidupan insan penuntut
ilmu, pengaruhnya cukup bahkan sangat signifikan terhadap output proses pendidikan.
Pendidik yang berada di dalam sebuah institusi mau tidak mau harus mengikuti SOP yang
berlaku di institusi tersebut. Banyaknya institusi pendidikan yang bermerek islam di satu sisi
sangat menggembirakan, sebab usaha (terlepas sosial atau bisnis) tersebut mendukung
kegiatan dakwah. Namun, yang harus dikritisi adalah apakah merek hanya menjadi label
tanpa menyentuh sampai isi. Merek islam, tetapi tidak menampakan nilai-nilai keislaman.
Mungkin pengelolanya yang tidak mengerti pola pendidikan islam atau tidak adanya
keinginan menerapkan sistem pendidikan islam yang sebenarnya sudah diketahui.
Sebaliknya, tidak menggunakan nama yang islami, tetapi penerapan pola pendidikannya lebih
”islami” daripada yang berlabel islam. Hal ini si pengelola yang kurang percaya diri dengan
dengan merek islam. Semoga saja, pilihan yang diambil tidak didasari ketakutan kurang laku,
tidak memilki nilai jual, atau kurang diminati pasar. Tidak dimungkiri, pendidikan di negeri
muslim terbesar di dunia ini menjadi bahan komoditas dagang dan peluang bisnis yang
menggiurkan. Pendidikan yang sejatinya adalah usaha sosial, nyatanya menjadi usaha
ekonomi (lembaga bisnis). Ironis, tidak ya?
Nah, bagaimana kaitannya dengan dakwah? Bidang ini insya Allah masih lebih memiliki
idealisme dibanding bidang lainnya. Dakwah bisa dilakukan lewat pendidikan, dan
sebaliknya pendidikan dapat menjadi sarana dakwah. [9/1/2014]
2. Gerakan (Haraqi)
Munculnya sebuah gerakan diawali dengan adanya tokoh panutan yang mempunyai pengikut
setia, patuh, dan loyal. Sang pendiri kadang tidak menginginkan pengaruhnya di-taklid-kan
sedemikian rupa oleh pengikutnya. Bahkan bisa saja sang pendiri tidak mendeklarasikan
bahwa dia pendiri sebuah mazhab, misalnya. Karena ilmu yang dimilikinyalah murid-
44
muridnya menjadi fanatik buta, meskipun beliau (sang imam) sudah mewanti-wanti untuk
tidak mengikuti ajarannya jika memang ada kebenaran yang terungkap kelak. Artinya jika
ada kebenaran yang didasari dalil yang shahih dan rajih melebihi ajarannya, maka tinggalkan
ajarannya tersebut. Namun, apalah artinya bagi pengikut fanatik yang sudah tertutup mata
hati dan terbelenggu otaknya. Boro-boro mau bersikap kritis, mencari bahan referensi di luar
kitab gurunya saja dikatakan sebagai penyimpangan sebagai pengikut setia dan pendukung
guru.
Islam memang memiliki referensi utama, yakni Al Qur’an dan As Sunah. Namun, dalam
memahami keduanya seharusnya menurut pemahaman para shalafus shalih atau para ketiga
generasi terbaik yang pernah ada di muka bumi ini. Yang terjadi sekarang, adalah
pemahaman berdasarkan otaknya, hawa nafsu, dan isme-isme yang diluar islam dijadikan
rujukan dalam penafsiran kedua nash tersebut. Kalau di dalam Al Qur’an ada ayat-ayat
Muhkamat (tersurat, jelas dan terang artinya) dan ayat-ayat Mutasyabihat (tersirat, butuh
penafsiran maknanya) memang demikian. Akan tetapi, saking pintarnya tokoh agama
membuat pernyataan, bahwa ayat Al Qur’an terbagi dalam ayat-ayat tekstual dan kontekstual.
Jika Al Qur’an saja berani ditafsirkan seenaknya saja sesuai isi perut dan tidak didasari oleh
ilmu penunjang dalam penafsiran, apalah artinya dengan Hadist yang memiliki
tingkatan/derajat. Makanya lebih tepat sumber referensi kedua umat adalah As Sunnah.
Yakni, jika diambil dari hadist adalah yang derajatnya shahih.
Oh ya, apa hubungannya antara gerakan dakwah dengan penafsiran atau pemahaman kedua
sumber ajaran islam tersebut?
Adanya tokoh yang bisa disebut guru, ustaz, kyai, murabbi, mualim, habib, dan sejenisnya,
yang memberikan pelajaran agama dengan pemahaman dan metode mendakwahkan islam,
yang akan melahirkan gerakan dakwah. Gerakan dakwah dapat saja dipicu oleh sistem
pengkaderan yang sistematis dari metode dakwah atau metode pembelajarannya. Bisa juga
dengan diterbitkannya buku atau kitab dari sang guru yang menjadi bacaan wajib para
santrinya. Dan yang lebih modern adalah merumuskannya gerakan dakwah dalam sebuah
organisasi. Dimulai masih agak malu-malu dengan label yayasan. Sedikit percaya diri
menjadi organisasi sosial. Mulai ujub dan sedikit merasa megalomania bermetamorfosis
menjadi organisasi massa. Dengan dalih ”islam rahmatan lil alamin” yang memayungi
semua aliran dan paham baik yang lurus maupun yang sesat serta mengadopsi ”saudara satu
45
kakek dari Nabi Ibrahim” (sebut saja: Yahudi dan Nasrani) naik ke panggung politik di
pentas nasional.
Adalah satu hal yang tidak bisa dimungkiri, bahwa di dalam kelompok baik itu organisasi
nonformal, informal, apalagi formal ada ideologi dan dogma. Ideologi dapat berasal dari sang
pendiri atau ajaran tokoh yang diagungkan. Petinggi organisasi setiap periode bisa menjadi
ideolog turunanya. Indoktrinasi aliran dan paham organisasi mengalir lewat proses kaderisasi.
Gerakan dakwah menjadi alat dakwah akan berada di jalur kebenaran kalau dilakukan dengan
mencontoh cara berdakwah Rasul dan Sahabat. Gerakan tetaplah gerakan yang tidak berubah
dari alat menjadi tujuan. Yang nampak menjadi fenomena, adalah gerakan (lebih tepat
organisasi) nya lebih ditonjolkan daripada keislmanannya. Ajaran Islam menjadi subordinat
organisasi (dakwah). Kalau begini, selain Islam ada apa dengan gerakan dakwah?
[10/1/2014]
3. Ekonomi (Iqtishadi)
Masalah kewajiban dakwah dengan mencari nafkah adalah persoalan yang tidak pernah
tuntas untuk ditelaah. Disamping banyaknya pendapat juga menyangkut hati nurani pelaku
dakwah dan praktisi (profesi da’i). Mohon maaf, kalau ada yang tidak setuju kalau penulis
menyebut profesi. Meskipun dakwah adalah kewajiban setiap muslim, tetapi kenyataanya
hanya orang-orang tertentu saja menekuni pekerjaan ini (profesi, sekali lagi mohon maaf).
Penulis membagi tipe muslim dengan profesi dan sebagai da’i, yaitu:
a. Muslim yang hanya menekuni profesi pekerjaannya saja, tanpa berperan
dalam dakwah.
b. Muslim yang pekerjaannya berprofesi sebagai da’i (pendakwah) dan tidak
memiliki pekerjaan lainnya.
c. Muslim yang memiliki profesi pekerjaan, dan menyempatkan diri untuk
berdakwah sebagai penghasilan tambahan.
d. Muslim yang memiliki profesi pekerjaan, dan menyambilkan diri untuk
berdakwah tanpa mau menerima bayaran hasil dakwahnya.
Penulis ingat dalam sebuah training, seorang presenter pernah menyampaikan bahwa dalam
urusan membuat sistem, Yahudi jagonya. Sedangkan dalam dalam hal administrasi, Katolik
paling jumawa. Kalau begitu, Islam bidang apanya ya?
46
Selang sekitar 10 tahun kemudian, seorang Katolik berbincang dengan penulis bahwa dia
pernah mendaftarkan nama baptisnya di sebuah gereja di Jawa Tengah tahun 1970-an. Ketika
dia pindah ke Jakarta, dan beribadah di sebuah gereja. Alangkah tekejutnya, setelah tahu
bahwa nama baptisnya sudah ada di gereja itu. Dia cerita pada penulis, rasa kagumnya
tentang sistem administrasi gereja, walaupun alat komunikasi dan media informasi saat itu
masih terbatas.
Lain lagi, seorang teman kerja memiliki sepupu seorang pastur. Si pastur pernah cerita
kepada teman penulis, bahwa dirinya seperti kyai kondang (dia menyebut nama) kalau di
muslim. Kerjaannya mengunjungi dari satu komunitas umat ke komunitas umat lainnya, dan
dari satu daerah ke daerah di Indonesia. Namun, bedanya dengan ”kyai itu”, kalau dia
mendapat bayaran dari umat, si pastur mendapat bayaran dari gereja. Seluruh hidupnya hanya
berdakwah dan tidak perlu memikirkan sumber nafkah untuk keluarga, karena ditanggung
gereja.
Sekiranya, masjid dengan Pengurus DKM-nya memiliki program dan anggaran untuk da’i,
insya Allah tidak ada ustaz yang merangkap menjadi artis, selebriti, pelawak, politisi,
pebisnis, paranormal, dan profesi lainnya hanya untuk sekedar menambah isi pendaringan
dan upaya dapur istri tetap ngebul. Semoga saja dengan kehadiran BAZ dan LAZ, problem
nasib da’i dapat diperhatikan.
Sekarang ini Islam sedang menjadi sumber mata pencarian dan nafkah. Gencarnya
pencanangan ekonomi syariah lebih khusus bisnis syariah, yang perlu dicermati adalah
mengislamkan bisnis atau membisniskan islam. Kalau memang mau mengislamkan bisnis,
maka contohlah Rasulullah dalam berbisnis. Jika hanya membisniskan islam, tunggulah
kehancurannya. Merek dan label islam dijadikan produk dagangan, bahan promosi, alat
jualan, dan materi marketing.
Yang lebih keren adalah, dakwah di kemas dalam bentuk nyanyian/lagu (religi), puisi,
cerpen/novel, dan sinetron. Pertunjukan musik berpadu dengan dakwah, maka jadilah Nada
dan Dakwah. Materi dakwah disesuaikan dengan kemauan pemilik media, pesan sponsor, dan
pemasang iklan. Penulis ingat ketika seorang ustaz bekerja sama dengan sebuah production
house (PH) untuk membuat ’sinetron islami’ dengan menampilkan para pemeran suami istri
47
adalah pasangan suami istri yang sesungguhnya. Tapi apa yang terjadi kemudian. Idealisme
dicampakan. Komitmen dilupakan. Semua diatur oleh siapa yang memegang uang. Nyatanya,
pesan dakwah selalu dikalahkan oleh faktor ekonomi. Berdakwah tak gentar membela yang
bayar. Seharusnya para pegiat dakwah yang menyambi sebagai pengelola sumber ekonomi
atau masih merasa selalu kurang dengan materi kekayaan, mengingat pesan Khalifah Umar
bin Khattab. Yaitu:”Meletakan harta dalam genggaman tangan, dan jangan memasukkannya
ke dalam hati”. [10/1/2014]
4. Politik (Siyasi)
Ketika bicara politik dalam Islam ada yang tabu dan ada juga yang blak-blakan. Kapan
dimulai politik dalam Islam tidak ada sumber yang bisa dijadikan rujukan. Mungkinkah
Rasul seorang politisi? Jangankan menetapkan Rasul sebagai seorang politisi, sebagai
seorang negarawan saja masih ada yang tidak sependapat. Kapan ada negara saat itu? Dan
apa nama negaranya? Kalaulah pendeklarasian Piagam Madinah menyebut Madinah sebagai
negara kota, dan kini civil society (diterjemahkan menjadi Masyarakat Madani) dimana batas-
batas negaranya? Bukankah rasul hanya seorang Nabi (pemimpin agama)? (titik !)
Memang, ada yang mengkaitkan peristiwa pengangakatan Abu Bakar Ash Shiddiq sudah
terjadi proses politik. Lobi-lobi antara yang mendukung Ali bi Abi Thalib sebagai ahlul baith
(keluarga Nabi) dan yang bukan. Antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Tapi, entahlah
kebenarananya. Walallahu a’lam.
Mengenai negara khilafah saja juga ada terjadi perbedaan pendapat. Apakah khilafah dimulai
saat Khulafaur Rasyidin memimpin umat? Ataukah setelah berkuasanya Dinasti Umayyah
atau Abbasiyah? Atau Khilafah hanya distempelkan pada Dinasti Turki Usmani?
Politik erat kaitannya dengan kepemimpinan sebuah negara. Politik juga beririsan dengan
kekuasaan. Sistem politik yang ada otokrasi dan demokrasi. Umat kehilangan pegangan
dalam menentukan sistem politik. Sebagian mengidealkan kembali ke sistem khilafah.
Mungkin bermimpi seperti di Katolik ada negara khusus agama (Vatikan) dengan Paus-nya
yang menjadi tokoh sentral Katolik sedunia. Jika di Islam, siapa tokoh dan negara mana yang
bisa dipercaya seperti itu dan diterima semua pihak sesama umat?
Sebagian lagi mengadopsi ajaran demokrasi, dengan mengaduk nilai-nilai keislaman menjadi
gado-gado diuleg bersama-sama dengan paham domokrasi ala Barat. Sebagian hanya
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial

More Related Content

What's hot

Fungsi agama bagi kehidupam manusia
Fungsi agama bagi kehidupam manusiaFungsi agama bagi kehidupam manusia
Fungsi agama bagi kehidupam manusiaMas Amam Udink
 
Dasar-dasar Tamadun Islam
Dasar-dasar Tamadun IslamDasar-dasar Tamadun Islam
Dasar-dasar Tamadun Islam
Diana Lee
 
Arah perkaderan hmi
Arah perkaderan hmiArah perkaderan hmi
Arah perkaderan hmi
IBNUTOKAN
 
4. aliran dan dilog peradaban
4. aliran dan dilog peradaban4. aliran dan dilog peradaban
4. aliran dan dilog peradaban
Abdul Aziz
 
kebudayaan islam kel 5
kebudayaan islam kel 5 kebudayaan islam kel 5
kebudayaan islam kel 5
Ggugun Ggunawan
 
Islam dan isu isu kontemporer
Islam dan isu isu kontemporerIslam dan isu isu kontemporer
Islam dan isu isu kontemporerAtika Vania
 
Sekularisme dan Kesannya terhadap masyarakat dan negara
Sekularisme dan Kesannya terhadap masyarakat dan negaraSekularisme dan Kesannya terhadap masyarakat dan negara
Sekularisme dan Kesannya terhadap masyarakat dan negara
Siti Nur Ain
 
Hubungan Etnik Bab 7 Islam Hadhari Dan Hubungan Etnik
Hubungan Etnik Bab 7   Islam Hadhari Dan Hubungan EtnikHubungan Etnik Bab 7   Islam Hadhari Dan Hubungan Etnik
Hubungan Etnik Bab 7 Islam Hadhari Dan Hubungan EtnikWanBK Leo
 
Perbandingan ideologi
Perbandingan ideologiPerbandingan ideologi
Perbandingan ideologiel-hafiy
 
Islam dan-kesejahteraan-sosial arifin-zain(pdf}
Islam dan-kesejahteraan-sosial arifin-zain(pdf}Islam dan-kesejahteraan-sosial arifin-zain(pdf}
Islam dan-kesejahteraan-sosial arifin-zain(pdf}Ufhick Tho Zhoppenk
 
Sejarah Ekonomi Islam -Al maududi
Sejarah Ekonomi Islam -Al maududiSejarah Ekonomi Islam -Al maududi
Sejarah Ekonomi Islam -Al maududi
Mayar_ni
 
Kembali fitrah kembali ke syariah
Kembali fitrah kembali ke syariahKembali fitrah kembali ke syariah
Kembali fitrah kembali ke syariahmohamadnugroho
 
Kelompok 1 : Hakikat Islam dan Karakteristiknya
Kelompok 1 : Hakikat Islam dan KarakteristiknyaKelompok 1 : Hakikat Islam dan Karakteristiknya
Kelompok 1 : Hakikat Islam dan Karakteristiknya
John D. Renner
 
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islam
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islamNilai agama dan adat kepercayaan - agama islam
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islam
Sherly Jewinly
 
(Sadn1013 h) kump 6
(Sadn1013 h) kump 6(Sadn1013 h) kump 6
(Sadn1013 h) kump 6sadn1013
 
Slide pemikiran islam semasa
Slide pemikiran islam semasaSlide pemikiran islam semasa
Slide pemikiran islam semasa
wanhishamudin
 
Pengajian islam (mpw 2143)
Pengajian islam (mpw 2143)Pengajian islam (mpw 2143)
Pengajian islam (mpw 2143)
Kasmiyati Andreas
 
Pemikiran Islam Dalam Pendidikan
Pemikiran Islam Dalam PendidikanPemikiran Islam Dalam Pendidikan
Pemikiran Islam Dalam Pendidikan
wanhishamudin
 

What's hot (20)

Fungsi agama bagi kehidupam manusia
Fungsi agama bagi kehidupam manusiaFungsi agama bagi kehidupam manusia
Fungsi agama bagi kehidupam manusia
 
Dasar-dasar Tamadun Islam
Dasar-dasar Tamadun IslamDasar-dasar Tamadun Islam
Dasar-dasar Tamadun Islam
 
Arah perkaderan hmi
Arah perkaderan hmiArah perkaderan hmi
Arah perkaderan hmi
 
4. aliran dan dilog peradaban
4. aliran dan dilog peradaban4. aliran dan dilog peradaban
4. aliran dan dilog peradaban
 
Kebudayaan islam
Kebudayaan islamKebudayaan islam
Kebudayaan islam
 
kebudayaan islam kel 5
kebudayaan islam kel 5 kebudayaan islam kel 5
kebudayaan islam kel 5
 
Matlamat tamadun islam
Matlamat tamadun islamMatlamat tamadun islam
Matlamat tamadun islam
 
Islam dan isu isu kontemporer
Islam dan isu isu kontemporerIslam dan isu isu kontemporer
Islam dan isu isu kontemporer
 
Sekularisme dan Kesannya terhadap masyarakat dan negara
Sekularisme dan Kesannya terhadap masyarakat dan negaraSekularisme dan Kesannya terhadap masyarakat dan negara
Sekularisme dan Kesannya terhadap masyarakat dan negara
 
Hubungan Etnik Bab 7 Islam Hadhari Dan Hubungan Etnik
Hubungan Etnik Bab 7   Islam Hadhari Dan Hubungan EtnikHubungan Etnik Bab 7   Islam Hadhari Dan Hubungan Etnik
Hubungan Etnik Bab 7 Islam Hadhari Dan Hubungan Etnik
 
Perbandingan ideologi
Perbandingan ideologiPerbandingan ideologi
Perbandingan ideologi
 
Islam dan-kesejahteraan-sosial arifin-zain(pdf}
Islam dan-kesejahteraan-sosial arifin-zain(pdf}Islam dan-kesejahteraan-sosial arifin-zain(pdf}
Islam dan-kesejahteraan-sosial arifin-zain(pdf}
 
Sejarah Ekonomi Islam -Al maududi
Sejarah Ekonomi Islam -Al maududiSejarah Ekonomi Islam -Al maududi
Sejarah Ekonomi Islam -Al maududi
 
Kembali fitrah kembali ke syariah
Kembali fitrah kembali ke syariahKembali fitrah kembali ke syariah
Kembali fitrah kembali ke syariah
 
Kelompok 1 : Hakikat Islam dan Karakteristiknya
Kelompok 1 : Hakikat Islam dan KarakteristiknyaKelompok 1 : Hakikat Islam dan Karakteristiknya
Kelompok 1 : Hakikat Islam dan Karakteristiknya
 
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islam
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islamNilai agama dan adat kepercayaan - agama islam
Nilai agama dan adat kepercayaan - agama islam
 
(Sadn1013 h) kump 6
(Sadn1013 h) kump 6(Sadn1013 h) kump 6
(Sadn1013 h) kump 6
 
Slide pemikiran islam semasa
Slide pemikiran islam semasaSlide pemikiran islam semasa
Slide pemikiran islam semasa
 
Pengajian islam (mpw 2143)
Pengajian islam (mpw 2143)Pengajian islam (mpw 2143)
Pengajian islam (mpw 2143)
 
Pemikiran Islam Dalam Pendidikan
Pemikiran Islam Dalam PendidikanPemikiran Islam Dalam Pendidikan
Pemikiran Islam Dalam Pendidikan
 

Similar to Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial

Tugas etika kehidupan dalam masyarakat
Tugas etika kehidupan dalam masyarakatTugas etika kehidupan dalam masyarakat
Tugas etika kehidupan dalam masyarakat
Haniatur Rohmah
 
kuliah-fpi-071010.ppt
kuliah-fpi-071010.pptkuliah-fpi-071010.ppt
kuliah-fpi-071010.ppt
MuhammadGhufron42
 
Filsafat Pendidikan Islam, Terminologi dan Ruang Lingkupnya.ppt
Filsafat Pendidikan Islam, Terminologi dan Ruang Lingkupnya.pptFilsafat Pendidikan Islam, Terminologi dan Ruang Lingkupnya.ppt
Filsafat Pendidikan Islam, Terminologi dan Ruang Lingkupnya.ppt
premanilmu1
 
Peranan manusia dalam lingkungan perspektif islam
Peranan manusia dalam lingkungan perspektif islamPeranan manusia dalam lingkungan perspektif islam
Peranan manusia dalam lingkungan perspektif islam
Nizar Syamsi
 
Karakteristik Ajaran Islam (1).pptx
Karakteristik Ajaran Islam (1).pptxKarakteristik Ajaran Islam (1).pptx
Karakteristik Ajaran Islam (1).pptx
sophia356221
 
Bab 1 CTU 151
Bab 1 CTU 151Bab 1 CTU 151
Bab 1 CTU 151
Shadina Shah
 
Ndp (baru) dan tantangan globalisasi
Ndp (baru) dan tantangan globalisasiNdp (baru) dan tantangan globalisasi
Ndp (baru) dan tantangan globalisasi
IBNUTOKAN
 
4. aliran dan dilog peradaban
4. aliran dan dilog peradaban4. aliran dan dilog peradaban
4. aliran dan dilog peradaban
Abdul Aziz
 
Kel 2 agama (urgensi tauhid sosial)
Kel 2 agama (urgensi tauhid  sosial)Kel 2 agama (urgensi tauhid  sosial)
Kel 2 agama (urgensi tauhid sosial)desliana_korea
 
JURNAL SONIA SEMBIRING_ISLAMIC WORLDVIEW.docx
JURNAL SONIA SEMBIRING_ISLAMIC WORLDVIEW.docxJURNAL SONIA SEMBIRING_ISLAMIC WORLDVIEW.docx
JURNAL SONIA SEMBIRING_ISLAMIC WORLDVIEW.docx
SoniaSembiring
 
Agama dan masyarakat
Agama dan masyarakatAgama dan masyarakat
Agama dan masyarakat
naufalando
 
Fikrah Mahasiswa Dalam Dakwah
Fikrah Mahasiswa Dalam DakwahFikrah Mahasiswa Dalam Dakwah
Fikrah Mahasiswa Dalam Dakwah
Syed Ahmad Fathi
 
Siyasah Syariyyah Vs Sekularisme Ho
Siyasah Syariyyah Vs Sekularisme HoSiyasah Syariyyah Vs Sekularisme Ho
Siyasah Syariyyah Vs Sekularisme Hodr2200s
 
Siyasah Syariyyah Vs Sekularisme
Siyasah Syariyyah Vs SekularismeSiyasah Syariyyah Vs Sekularisme
Siyasah Syariyyah Vs Sekularismedr2200s
 
kesempurnaan ajaran islam
kesempurnaan ajaran islamkesempurnaan ajaran islam
kesempurnaan ajaran islam
Arib Herzi
 
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullahRadikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
Lovita Ivan Hidayatullah S. Pd.I
 
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Asma'ul Khusna
 
Keluarga mahasiswa garut
Keluarga mahasiswa garutKeluarga mahasiswa garut
Keluarga mahasiswa garut
MAC Co. Ltd.
 

Similar to Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial (20)

Tugas etika kehidupan dalam masyarakat
Tugas etika kehidupan dalam masyarakatTugas etika kehidupan dalam masyarakat
Tugas etika kehidupan dalam masyarakat
 
1111111111
11111111111111111111
1111111111
 
kuliah-fpi-071010.ppt
kuliah-fpi-071010.pptkuliah-fpi-071010.ppt
kuliah-fpi-071010.ppt
 
Filsafat Pendidikan Islam, Terminologi dan Ruang Lingkupnya.ppt
Filsafat Pendidikan Islam, Terminologi dan Ruang Lingkupnya.pptFilsafat Pendidikan Islam, Terminologi dan Ruang Lingkupnya.ppt
Filsafat Pendidikan Islam, Terminologi dan Ruang Lingkupnya.ppt
 
Peranan manusia dalam lingkungan perspektif islam
Peranan manusia dalam lingkungan perspektif islamPeranan manusia dalam lingkungan perspektif islam
Peranan manusia dalam lingkungan perspektif islam
 
Karakteristik Ajaran Islam (1).pptx
Karakteristik Ajaran Islam (1).pptxKarakteristik Ajaran Islam (1).pptx
Karakteristik Ajaran Islam (1).pptx
 
Nota bab-2
Nota bab-2Nota bab-2
Nota bab-2
 
Bab 1 CTU 151
Bab 1 CTU 151Bab 1 CTU 151
Bab 1 CTU 151
 
Ndp (baru) dan tantangan globalisasi
Ndp (baru) dan tantangan globalisasiNdp (baru) dan tantangan globalisasi
Ndp (baru) dan tantangan globalisasi
 
4. aliran dan dilog peradaban
4. aliran dan dilog peradaban4. aliran dan dilog peradaban
4. aliran dan dilog peradaban
 
Kel 2 agama (urgensi tauhid sosial)
Kel 2 agama (urgensi tauhid  sosial)Kel 2 agama (urgensi tauhid  sosial)
Kel 2 agama (urgensi tauhid sosial)
 
JURNAL SONIA SEMBIRING_ISLAMIC WORLDVIEW.docx
JURNAL SONIA SEMBIRING_ISLAMIC WORLDVIEW.docxJURNAL SONIA SEMBIRING_ISLAMIC WORLDVIEW.docx
JURNAL SONIA SEMBIRING_ISLAMIC WORLDVIEW.docx
 
Agama dan masyarakat
Agama dan masyarakatAgama dan masyarakat
Agama dan masyarakat
 
Fikrah Mahasiswa Dalam Dakwah
Fikrah Mahasiswa Dalam DakwahFikrah Mahasiswa Dalam Dakwah
Fikrah Mahasiswa Dalam Dakwah
 
Siyasah Syariyyah Vs Sekularisme Ho
Siyasah Syariyyah Vs Sekularisme HoSiyasah Syariyyah Vs Sekularisme Ho
Siyasah Syariyyah Vs Sekularisme Ho
 
Siyasah Syariyyah Vs Sekularisme
Siyasah Syariyyah Vs SekularismeSiyasah Syariyyah Vs Sekularisme
Siyasah Syariyyah Vs Sekularisme
 
kesempurnaan ajaran islam
kesempurnaan ajaran islamkesempurnaan ajaran islam
kesempurnaan ajaran islam
 
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullahRadikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
Radikalisme Dalam Islam menurut Lovita Ivan HIdayatullah
 
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
Metodologi Studi Islam - Materi IAIN Tulungagung (Mr. Khutbuddin Aibak,M. HI)
 
Keluarga mahasiswa garut
Keluarga mahasiswa garutKeluarga mahasiswa garut
Keluarga mahasiswa garut
 

More from Kiki Alhadiida

PANDUAN MENJADI AKTIVIS KAMPUS.pdf
PANDUAN MENJADI AKTIVIS KAMPUS.pdfPANDUAN MENJADI AKTIVIS KAMPUS.pdf
PANDUAN MENJADI AKTIVIS KAMPUS.pdf
Kiki Alhadiida
 
Keseimbangan
KeseimbanganKeseimbangan
Keseimbangan
Kiki Alhadiida
 
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitasIstiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Kiki Alhadiida
 
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasiKepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kiki Alhadiida
 
KIR
KIRKIR
Koma
KomaKoma
Aktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasiAktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasi
Kiki Alhadiida
 
Kisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahanKisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahan
Kiki Alhadiida
 
We are Activists
We are ActivistsWe are Activists
We are Activists
Kiki Alhadiida
 
Lambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 JakartaLambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 Jakarta
Kiki Alhadiida
 
Pedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahanPedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahanKiki Alhadiida
 

More from Kiki Alhadiida (11)

PANDUAN MENJADI AKTIVIS KAMPUS.pdf
PANDUAN MENJADI AKTIVIS KAMPUS.pdfPANDUAN MENJADI AKTIVIS KAMPUS.pdf
PANDUAN MENJADI AKTIVIS KAMPUS.pdf
 
Keseimbangan
KeseimbanganKeseimbangan
Keseimbangan
 
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitasIstiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
 
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasiKepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
 
KIR
KIRKIR
KIR
 
Koma
KomaKoma
Koma
 
Aktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasiAktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasi
 
Kisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahanKisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahan
 
We are Activists
We are ActivistsWe are Activists
We are Activists
 
Lambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 JakartaLambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 Jakarta
 
Pedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahanPedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahan
 

Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial

  • 1. 1 Kiki Alhadiida “Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial” [Warnasari Tulisan] ISLAM dan UMAT 1. MANUSIA, KHALIFAH ALLAH ATAU HAMBA ALLAH? (Sebuah Renungan terhadap Peran Pribadi Muslim atas Problematika Umat) {2-8} 2. Umat Islam: kuantitas yang menggembirakan dan kualitas yang dipertanyakan? {9-10} 3. Islam-Cina-Indonesia {11-17} 4. ”Islam” dan ”Betawi”, adalah 2 Merek Produk Dagang yang Paling Laku di Bisnis Hiburan {18-21} 5. KETIKA UMAT BERADA DI PERSIMPANGAN JALAN (Implementasi ajaran Islam dalam garis “vertikal & horisontal”) {22-24} 6. Jangan sampai bertengkar di dalam masjid?! {25-28} ILAHIYAH-ILMIAH-AMALIYAH 1. Tiga Level Kebenaran {29-35} 2. PAHPI: 3M (membaca, mengaji & mengkaji) {36-40} 3. Dunia bukan surga, juga bukan neraka {41} 4. Meng-Islam-kan ”PGEP” atau Meng-”PGEP”kan Islam? {42-49} 5. Mendengar + Menonton > Membaca {50-51} 6. Orang “PA” = “Pakar Analisa?” {52-53} SERBA SERBI 1. Ahad, Muharam, dan Hijriah {54-57} 2. Dua Fenomena Ramadhan: Ngabuburit dan Mendadak Dagang {58-59} 3. THR atau TIF saja? {60} 4. Bonus THR untuk Dana Qurban? Tepatkah! {61-62} 5. Lebaran: Ketupat, Halal bihalal, dan Mudik {63-64} 6. ldul Fitri atau Tahun Baru? Apa maknanya bagi Anda? {65-66}
  • 2. 2 MANUSIA, KHALIFAH ALLAH ATAU HAMBA ALLAH? (Sebuah Renungan terhadap Peran Pribadi Muslim atas Problematika Umat) (Sebuah Renungan terhadap Peran Pribadi Muslim atas Problematika Umat). (bagian-1) Bila kita mencermati makhluk ciptaan Allah semua berada dalam ukuran-Nya, adanya keteraturan dan keseimbangan (QS, 54:49). Fenomena seimbang ini berada dalam kerangka simetris bilateral atau simetris multilateral. Keseimbangan dalam pasang-pasangan, bahkan dalam beberapa pasang secara simultan yang saling membentuk keteraturan yang simetris. Mari kita pandang cakrawala, bagaimana teraturnya susunan tata surya kita. Matahari dengan kesembilan planet yang mengelilinginya. Benda-benda langit bergerak dan berputar sesuai dengan poros dan lintasan orbitnya masing-masing, tanpa terjadi saling benturan. Dalam hukum fisika (sunatullah), semua itu berada dalam keadaan, dimana resultan gaya sama dengan nol (prinsip keseimbangan). Sementara di awal adanya kehidupan di muka bumi ini, Allah mengaturnya dengan lebih dulu diciptakannya tumbuh-tumbuhan, lalu hewan-hewan, dan terakhir manusia. Antara satu komponen dengan komponen lainnya dalam sistem kehidupan di bumi, diikat dan dijalin dengan adanya siklus zat dan energi. Sebuah keteraturan dan keseimbangan. Adanya keteraturan dalam waktu, dimana siang hari silih berganti dengan datangnya malam hari. Pada makhluk, Allah menciptakannya berpasang-pasangan, jantan-betina. PERANAN MANUSIA Makhluk Allah yang satu ini termasuk paling sempurna diantara jenis makhluk lainnya (QS, 95:4). Kesempurnaannya meliputi kelebihan dan kekurangan yang melekat padanya. Sangat sulit membuat definisi yang tepat dan komprehensif mengenai makhluk ini. Diperlukan berbagi disiplin ilmu untuk membuka tabir misteri yang ada pada diri manusia. Dalam konteks spiritualitas, ia adalah makhluk Allah. Sebagai pribadi, ia memiliki potensi intelektual, emosional, dengan dukungan fisikal. Dan agar dapat berkiprah di masyarakat lingkungannya, ia menyandang peran makhluk sosial. Manusia dikaruniai akal pikiran dan hawa nafsu. Keduanya mestinya berjalan saling beriring, sehingga dinamika kehidupan terus berlanjut, yang pada gilirannya ilmu, kebudayaan, dan peradaban akan berkembang. Namun, keduanya mesti dikendalikan dengan bahasa hati (nilai
  • 3. 3 keimanan dan ketakwaan), agar pemanfaatan kekayaan alam tidak melampaui batas dan menimbulkan kerusakan di muka bumi ini. Al Qur’an mengajarkan kita, untuk mengejar akhirat dengan tidak melupakan dunia (QS, 28:77). Kita juga diingatkan oleh kalimat, bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kau hidup selamanya dan berusahalah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok hari. Di sini jelas, keseimbangan posisi bahwa manusia tidak harus menjadi malaikat yang meninggalkan sisi keduniawiannya/mengekang kodrat kemanusiaannya. Sebaliknya jangan sampai menjadi homo homini lupus (seperti hewan), dengan menjadikan hawa nafsu sebagai panglima dan mengumbar naluri kebinatangan kemana-mana serta untuk memangsa manusia lain. Atau menjadi robopath (robot bernyawa), sekedar menjalankan apa yang sudah tersistematisasi di lingkungannya, terbelenggu dengan rutinitas, tak ada spontanitas, hilang kreativitas, serba rasionalitas, dan semakin tumbuh sikap individualitas dengan diiringi lenyapnya humanitas sebagai seorang manusia. Oleh karena itu kita perlu melakukan reorientasi terhadap tujuan hidup muslim, yaitu untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Pada saat ini tujuan dan orientasi hidup pribadi muslim kian baur dan bias, karena begitu dahsyatnya intervensi ideologi, budaya, dan sistem ekonomi yang tidak Islami di kehidupan sehari-hari. Mulai dari bangun tidur sampai kembali ke peraduan kita disuguhi hal-hal yang sedikit demi sedikit akan mengubah cara berpikir, gaya hidup, dan kebiasaan kita. Sekian lama kita terlena dan terlelap dengan produk yang kita konsumsi sehari-hari, tanpa sikap kritis mempertanyakan halal atau haram produk tersebut. Kita kurang tanggap terhadap model dan desain pakaian kita dan anak-anak kita, layak atau tidak untuk dikenakan pada pribadi muslim/muslimah, yang senantiasa diwajibkan untuk menutup aurat. Media massa, baik cetak maupun elektronik kita telan mentah-mentah semua informasi yang disajikan, lagi-lagi kita tidak kritis terhadap arti dan makna dibalik sebuah tampilan atau tayangan media tersebut. Apakah umat Islam kini terjangkit budaya EGP (emang gue pikirin), cuek, masa bodoh, atau tidak peduli? Kita tidak mengharapkan demikian. Namun, gejala meresapnya virus tersebut tidak dapat dipungkiri. Bila hal ini tidak kita antisipasi, di masa depan umat hanya bisa bicara tentang kebesaran Islam masa lalu. Islam akan tidak seindah warna aslinya. [14/10/2012]
  • 4. 4 Sekarang saatnya umat Islam kembali ke Islam. Memahami Islam sebagai sistem hidup dan kehidupan, dan Islam bukan sekedar agama dengan kelima rukunnya saja. Rukun Islam harus dijalankan karena kebutuhan, dan diimplementasikan dalam kehidupan. Ajaran Islam mencakup segala bidang dan aspek kehidupan, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertahanan dan keamanan. Kita terlalu banyak takut kalau menjalankan aturan yang Islami. Takut dikatakan fanatik, takut dicap fundamentalis, takut dibilang primordialisme atau sektarianisme. Apalagi sebagian besar umat masih menganggap orang sudah Islam kalau sudah shalat dan berhaji. Pendapat yang ada, urusan akhirat jangan dicampur dengan dunia, dan agama jangan dibawa- bawa dalam masalah dunia. Memang sungguh ironis bahwa pengetahuan dan pemahaman keIslaman kita masih terpotong-potong, parsial, dan tidak integral. Seolah-olah antara hablum minallah tidak terkait dengan hablum minannas. Islam hanya dalam ibadah, muamalah tidak perlu Islam. Sementara Allah menyerukan, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh (QS, 2:208). Maka dari itu mari kita mulai memahami bahwa Islam adalah sistem yang universal dibanding ideologi manapun. Islam hanya satu yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Islam tidak mengenal istilah fundamentalis atau moderat. Tidak ada Islam tradisional atau modernis. Tidak ada yang lebih puritan atau sinkretis. Al Qur’an tidak memisahkan Islam antara politik dan kultural. Ideologi dan faham lokal maupun impor yang tidak Islami tidak bisa diadopsi dan dicampur ke dalam Islam. Islam tidak bisa disandingkan dengan hal-hal yang tidak Islami, yang hanya mendeskreditkan atau mempersempit keuniversalan Islam itu sendiri. Dan hanya ada satu Islam, sebagai satu- satunya agama yang diridhai Allah (QS, 3:19). MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH Manusia diciptakan hanya untuk mengabdi kepada Allah. Segala gerak dan aktivitas hidup pada hakekatnya adalah ibadah, dalam rangka pengabdian kepada Allah (QS, 51:56). Dalam pengertian sempit ibadah yaitu ibadah ritual, seperti yang ada dalam rukun Islam yakni syahadat, shalat, zakat, puasa, dan pergi haji. Dalam konteks ibadah yang sifatnya lebih individual ini manusia bersifat pasif, terikat, dan tidak boleh kreatif. Prinsipnya semua dilarang, kecuali yang diperintahkan/dianjurkan.
  • 5. 5 MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH ALLAH Dengan predikat sebagai khalifah Allah (QS, 2:30), manusia memiliki keleluasaan dan kebebasan dalam mengelola alam semesta ini. Dalam peran ini manusia mesti aktif, bebas, dan diharapkan harus kreatif, karena di lapangan muamalah persoalan akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin banyak dan beragam. Di sinilah, manusia merealisasikan ibadah individualnya menjadi ibadah sosial. Di arena muamalah ini, semua dibolehkan kecuali yang dilarang. HAMBA ALLAH & KHALIFAH ALLAH Ternyata, manusia memiliki dwigelar sekaligus, baik sebagai khalifah Allah maupun hamba Allah. Pengabdian sebagai hamba Allah dalam rangka panggilan tugas sebagai khalifah Allah. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan fungsi masing-masing secara seimbang. [24/10/2012] BIDANG STRATEGIS Islam pernah menikmati zaman keemasan, dan ada prediksi Islam akan bangkit kembali di masa datang. Masalahnya apa kriteria dan tolok ukurnya? Nah, yang terpenting kita harus mengejar segala ketertinggalan yang ada. Terlalu banyak problematika umat yang harus diagendakan. Perekonomian umat yang lemah, tingkat pendidikan yang rendah, kehidupan sosial budaya yang cenderung tidak Islami, gaya hidup yang semakin konsumerisme dan hedonisme, serta kepribadian muslim yang rendah diri dan kurang percaya diri. Sehingga umat tidak bangga dengan status kemuslimannya, dan yang lebih parah lagi, bila malu dengan keIslamannnya sendiri dengan cara menutup identitasnya. Astaghfirullah. Saatnya kini kita harus bangkit. Melakukan evolusi yang dipercepat. Kita bisa mulai dengan bidang strategis yang harus dipegang lebih dulu, yaitu: 1. Pendidikan dan Sumber Daya Manusia Wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca atau belajar. Tujuan hidup sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat diperlukan ilmu. Menuntut ilmu diwajibkan bagi muslim dan muslimah dimulai dari bayi hingga masuk liang kubur. Dan banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menggugah dan menantang kita untuk menyibak tirai penutup keharasiaan alam ini (QS, 88:17-20). Semua ini adalah referensi bagi
  • 6. 6 setiap muslim begitu pentingnya menuntut ilmu/memperhatikan pendidikan dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia. Sesuai tujuan hidup kita, maka tujuan pendidikan adalah bagaimana mendalami IMTAQ (iman & taqwa) dan mengusai IPTEK (ilmu pengetahuan & teknologi), dalam rangka menyiapkan generasi yang benar dan pintar. Maka sarana pendidikan harus berorientasi seperti majelis taklim yang mengajarkan pengajian dan pengkajian untuk mempertebal iman dan mengasah ilmu, sehingga ada keseimbangan antara majelis ilahiyah (zikir) dengan majelis ilmiah (pikir). Bentuk sarana dimulai dari pendidikan yang paling esensial, yaitu pendidikan dalam keluarga, yang kemudian berlanjut di sekolah, madrasah, pondok pesantren, perguruan tinggi, atau pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan masyarakat. Dari sini diharapkan muncul generasi muslim yang memiliki keahlian dalam spesialisasi, berpengetahuan secara generalisasi, dan berwawasan dalam globalisasi. Thinks globally, acts locally. Bila keseimbangan ini terjaga terus, insya Allah memasuki milenium mendatang akan banyak bermunculan ulama intelektual dan intelektual ulama. Disamping para praktisi yang komitmen keIslamannya tinggi, integritas moralnya bagus, dan keprofesionalannya tidak diragukan. 2. Ekonomi Dalam hal jumlah umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, tetapi minoritas dalam penguasaan ekonomi, sehingga miskinnya sebagian besar rakyat Indonesia adalah umat Islam sendiri. Penyakit kemiskinan memang sedang berjangkit, mulai dari miskin harta, miskin ilmu, sampai miskin iman, terutama pengaruh krisis multidimensi sejak 1997 yang lalu. Semoga kini sudah berakhir dan tuntas. Terlepas dari sebab kemiskinan ekonomi (alasan kultural atau struktural), yang jelas ketiga bentuk kemiskinan itu bisa saling berkaitan. Masalah eknomi memang rumit dan pelik, bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah dan berpendidikan kurang. Kebijakan pemerintah dalam keberpihakan pada ekonomi yang melibatkan potensi rakyat banyak sedang dinantikan. Sedangkan bagi kita harus mulai merubah pola pikir dan sikap mental terhadap sistem ekonomi yang kita anut selama ini. Mengapa kita tidak mengacu pada sistem ekonomi Islam, yakni ekonomi syariah yang jelas masalah konsep pemilikan, pemanfaatan, dan distribusi kekayaan. Sekarang tinggal kita mau atau tidak hijrah ke sistem ekonomi syariah. Sementara lembaga keuangan
  • 7. 7 syariah sudah berdiri, seperti bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, dan pasar modal syariah. 3. Informasi Sumber informasi yang benar dan tepat guna akan mencerdaskan umat. Namun, pemegang sumber informasi di era reformasi ikut latah euphoria seperti halnya masyarakat, sehingga informasi yang disajikan terlalu bebas dan membingungkan. Sulit membedakan mana informasi yang benar mana informasi sampah. Tak ada checks and balance. Pemberitaan tidak proporsional dan berimbang. Bahkan beberapa media cetak umum menonjolkan kepentingan kelompok dan menjadi partisan partai politik sekuler. Celakanya, umat senang mengkonsumsinya. Media massa yang ada di Indonesia, baik media elektronik maupun media cetak sedikit yang berpihak pada kepentingan umat. Kalaupun menyajikan informasi umat hanya pada saat tertentu saja dan belum merepresentasikan sebagai media Islam dengan nuansa keIslaman dari segi tayangan dan sajian. Media audio visual (TV) menampilkan unsur Islam baru sekedar kemasan yang membungkus mata acara, belum menyentuh substansi nilai. Sementara media cetak Islam belum banyak diminati. Kadang umat lebih percaya pada media cetak yang menyebarkan sekulerisme dan mendeskreditkan Islam sendiri baik secara samar-samar ataupun transparan. Dalam suasana keterbukaan sekarang ini berita-berita cenderung dan bernuansa sadisme dan pornografi, serta ditambah lagi bermunculan iklan yang menjurus kemusyrikan, perzinahan dan perjudian. Mau dibawa kemana umat kita? Media massa adalah sarana da’wah, dan ini harus dikuasai. Tantangan umat untuk memegang sumber informasi dan melakukan kontrol sosial. Media juga sarana berpolemik dan wadah penyaluran aspirasi. Penerbit muslim harus lebih produktif lagi menerbitkan buku, koran, majalah, atau tabloid. Bagi umat sendiri seyogyanya meningkatkan budaya gemar membaca dan menjadikan media Islam sebagai rujukan utama. Yang lebih penting lagi, sejalan tren perkembangan teknologi pemanfaatn radio, tv, internet menjadi keharusan, agar pelaksanaan da’wah lebih strategis dan efektif. Dan perlu diingat, di era globalisasi sekarang ini, informasi memegang peran sentral. Dibandingkan kekuatan modal dan fisik, kekuatan informasi jauh lebih unggul. Karena itu, siapa yang memegang akses informasi, maka ia akan memenangkan pertarungan.
  • 8. 8 Berdasarkan hal di atas, untuk memegang bidang ini, selain modal dan kontribusi kalangan media massa, juga dibutuhkan dukungan dan partisipasi umat sebagai konsumen informasi. Untuk menyikapi tantangan ke depan, sejak dini diperlukan paradigma yang benar dalam memahami Islam. Setiap muslim hendaknya berusaha mewujudkan, bahwa kita adalah sebaik-baik umat (QS, 3:110). Mari kita menjadi yang terbaik di bidang kita masing-masing. Dan pada akhirnya, Islam sebagai rahmat seluruh alam (QS, 21:107) dapat dinikmati masyarakat dunia ini. [28/10/2012]
  • 9. 9 Umat Islam: kuantitas yang menggembirakan dan kualitas yang dipertanyakan? Kesemarakan berislam telah ditunjukan oleh warganegara ini sejak tahun 90’an, setelah era perang dingin usai. Hancurnya Uni Sovyet membuat Komunisme tidak berdaya untuk terus menjadi musuh bebuyutan Kapitalisme. Meskipun Barat telah kehilangan musuh utamanya, Barat tetap berpegang teguh pada prinsip: ”Menjadi pengikut saya atau musuh saya”. Sehingga seorang penulis Yahudi membuat tesis tentang benturan peradaban (clash civilization) antara Islam sebagai wakil peradaban Timur dan Kristen sebagai wakil peradaban Barat. Singkatnya, Barat dengan komando Amerika menemukan musuh baru, yakni Islam. Seolah tidak bergeming dengan perseteruan di luar negeri, umat di negara muslim terbesar di dunia ini seolah bangun dari tidurnya. Pengajian dan pengkajian kian ramai dikunjungi. Majelis taklim juga semakin banyak jumlahnya. Muslimahpun tidak ketinggalan menyesuiakan diri dengan penampilannya dengan memakai jilbab yang menutup aurat. Meskipun dengan dasar dan alasan yang berbeda. Bisa karena mengerti perintah agama, mengikuti tren modis, formalitas lingkungan kerja, atau sekedar ingin tampil kelihatan lebih cantik, anggun, keibuan, rapi, atau ’baik’ (kelihatan shalehah). Maka mode jilbab yang seharusnya menjadi hijab berbentuk beragam rupa, bahan, dan warna. Sehingga jelas mana jilbab yang syar’i dan mana yang gaul. Hijab dalam jilbab tidak sekedar menutup kepala, tetapi juga menutup dada dengan longgar (tidak ketat agar lekuk tubuh tidak nampak), warna pakaian, dan model tidak mencolok perhatian. Para remaja muslimpun sudah ’PD’ dengan baju koko (takwa?) dan peci bepergian, terutama di hari jumat. Jika pakaian sudah berhijab sebagai kemasan, tinggal bagaimana menghijabkan pergaulan dengan akhlaqul karimah. Muslim dewasa juga memiliki girah dalam menghadiri kajian keislaman, dan menjadi donatur lembaga sosial Islam. Menurut beberapa informasi media, Islam adalah agama yang berkembangnya sangat laju di dunia ini, terutama di dunia Barat. Perkembangan Islam secara signifikan justru setelah terjadi peristiwa 11 September 2001, dimana 2 pesawat Boeing 767 menabrak 2 menara kembar WTC yang terletak di pusat kota New York, AS. Terlepas peristiwa ini adalah teror yang dilakukan oleh muslim garis keras, hasil rekayasa pihak islamphobia untuk menyudutkan umat Islam dan memberi stigma negatif pada umat Islam, atau sebuah kebijakan politik ekonomi tingkat tinggi. Wallahu a’lam. Yang jelas, pasca peristiwa dahsyat
  • 10. 10 ini, semakin banyak non muslim yang belajar Islam dan penasaran terhadap Islam itu sendiri. Kabar menggembirakan dengan bertambahnya kuantitas umat ini, bolehlah disambut dengan nada proporsional bagi kita yang telah lahir sebagai umat Muhammad SAW. Karena informasi orang yang menjadi mualaf lebih terdengar nyaring dibanding dengan informasi muslim yang menjadi murtadin. Semoga saja, jumlah mualaf lebih besar dan jauh lebih besar daripada murtadin. Demikian pula pemberitahuan tentang kuantitas lebih ramai dibanding dengan berita mengenai kualitas pada umat akhir zaman ini. Sederhananya kualitas`umat Islam hanya diukur bagaimana dia menjalani agamanya sesuai perintah Al Qur’an dan As Sunnah. Beribadah dengan ikhlas dan melakukannya dengan ittiba (seperti yang dicontohkan Rasulullah). Menyadari bahwa semua aktivitas di dunia ini bisa bernilai ibadah jika ditujukan untuk mencari keridhaan Allah. Suksesnya di dunia menjadi anak tangga kesuksesan di akhirat kelak.[12/5/2013]
  • 11. 11 Islam-Cina-Indonesia Waktu sekolah di SMP saat mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) ketika guru menanyakan bagaimana hubungan antara Pancasila, UUD 1945, dan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara), penulis menjawabnya dengan santai ya baik-baik saja hubungannya. Kembali saat mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) baik yang Pola 45 jam maupun Pola 100 jam, kembali pertanyaam itu diajukan. Ya, tetap saja jawaban singkatnya baik-baik saja. Kini, sedang digencarnya ditampilkan 4 pilar kehidupana berbangsa dan bernegara yang digagas Mantan Ketua MPR Taufik Kiemas, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Bagaimana hubungan antaranya? Tentu saja, baik-baik pula. Jika Islam, Cina, dan Indonesia, bagaimana hubungannya? Insya Allah, baik-baik saja juga. Islam dan Cina Islam dan Cina, adalah dua hal yang berbeda dan tidak sepadan. Islam adalah agama, sedangkan Cina adalah negara, bangsa, dan budaya. Bagaimana hubungannya? Mengenai hubungan Cina dengan agama Islam, yang paling masyhur adalah tentang: Uthlubul ‘ilma walaw bishshiin [tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina]. Sebagian besar umat Islam yang awam akan mengatakan bahwa kalimat di atas adalah sebuah Hadis. Jikalau Hadis termasuk dalam Hadis Palsu. Lebih tepatnya, hanya ungkapan ulama atau sejenis kata mutiara. [Membongkar Status Hadis dalam Ali Mustafa Yaqub: Hadis Hadis Bermasalah]. Sejarah Cina adalah salah satu sejarah kebudayaan tertua di dunia. Dari penemuan arkeologi dan antropologi, daerah Cina telah didiami oleh manusia purba sejak 1,7 juta tahun yang lalu. Peradaban Cina berawal dari berbagai negara kota di sepanjang lembah Sungai Kuning pada zaman Neolitikum. Zaman peradaban Cina sangat panjang, dimulai dari Zaman Kuno sampai Zaman Modern, dan selama Zaman Kekaisaran tidak kurang 20 Dinasti pernah berkuasa di negeri berjuluk Tirai Bambu ini. Secara historis tercatat, Islam masuk ke Cina pada awal abad ke 7, yakni sekitar tahun 678 Masehi, di masa pemerintahan Dinasti Tang (618-905 M), yang dibawa oleh salah seorang
  • 12. 12 panglima Muslim, Sa’ad bin Abi Waqqash RA, di masa Khalifah Utsman bin Affan RA. Menurut Chen Yuen, dalam A Brief Study of the Introduction of Islam to China, masuknya Islam ke Cina sekitar tahun 30 H atau sekitar 651 M. Ketika itu, Cina diperintah oleh Kaisar Yong Hui (ada pula yang menyebut nama Yung Wei). Data masuknya Islam ke Cina ini dipertegas lagi oleh Ibrahim Tien Ying Ma dalam Muslims in China (Perkembangan Islam di Tiongkok). Buku ini secara lengkap mengupas sejarah perkembangan Islam di Cina sejak awal masuk hingga tahun 1980-an. [kisahislami.com] Ada dua jalur utama penyebaran agama Islam di China, yakni melalui darat atau biasa disebut dengan Jalur Sutera, dan jalan laut melalui pelayaran alias Jalur Lada. Selain utusan Khalifah Utsman, masuknya agama Islam ke China juga dibawa oleh saudagar dari Arab dan Persia. Meski merupakan negara komunis, hingga tahun 2012 lalu China tercatat memiliki tak kurang dari 45.000 masjid. Angka ini diperkirakan masih akan terus bertambah, terutama di kota-kota yang banyak penganut agama Islamnya. Seperti di Xinjiang dan Ningxia, Guilin, dan Zhengzhou, tiga kota lain di China yang menjadi tempat bermukimnya komunitas muslim, yakni di Guilin, Zhengzhou, dan Beijing. [detikNews] Islam-Indonesia Ada banyak teori dan pendapat mengenai masuknya Islam ke bumi Nusantara. Teori jalur emas, Islam masuk ke Indonesia melalui Arab, Persia, dan Gujarat (India). Teori ini terdiri dari 2 teori, yakni teori Persia dan teori Gujarat, yang masing-masing terjadi pada abad ke-13 M. Sementara teori ketiga (teori Mekah), Islam langsung dibawa dari Timur Tengah pada abad ke-7 M. [Republika] Teori lainnya, sekitar abad ke-15 M, imigran Cina Muslim yang sebagian besar berasal dari Guangzhou dan Fujian mendarat di Nusantara. Misi penyebaran Islam dari Cina secara resmi terlihat dari pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Laksamana Cheng Ho (Sam Poo Tay Djien). Walaupun banyak teori yang masing-masing mempunyai dasar, tetapi ada persamaan dari semua teori itu, yakni Islam disebarkan lewat perdagangan dan disampaikan dengan cara damai tanpa kekerasan. Islam masuk ke Indonesia yang sudah memiliki agama lain sebelumnya (Hindu dan Budha) dan kepercayaan primitif (Animisme dan Dinamisme). Islam dibanding dengan agama lain, memiliki karakteristik yang spesifik. Misalnya: penggunaan kata “agama Islam” dengan
  • 13. 13 “dienul Islam” yang mempunyai arti dan makna yang berbeda. Islam sebagai agama wahyu/langit revealed religion), bukan agama budaya (natural religion). Lebih lanjut, Islam bisa dikaji dalam “Islamologi” dan “Islamisme”. Seorang Muslim menjalankan Islam hanya sekedar “religiusitas” nya saja atau sampai “spiritualitas”nya. Meskipun sering digabungkan antara kata “rohani” dan “Islam”, menjadi “Kerohanian Islam” atau lebih kerennya menjadi “Spiritual Islam” (kata: spirit = ruh/roh), akan tetapi dalam praktik keberagamaan tidak mudah merealisasikannya. Dengan kondisi Indonesia yang demikian, maka Islam masuk mengalami akulturasi dan sinkretisme. Cara penyampaian (dakwah?) menggunakan metode yang mengadopsi agama dan kepercayaan bukan Islam. Alasannya supaya mudah diterima umat lain. Namun, anehnya sampai sekian abad berlangsung argumentasi itu tetap dipakai. Kalaulah saat itu dianggap darurat, seyogyanya tidak dilakukan turun temurun. Mochtar Lubis dalam bukunya berjudul Manusia Indonesia yang terbit sekitar tahun 1977/1978, memberikan penilaian tentang sifat- sifat negatif manusia Indonesia. 1. Hipokrit alias Munafik: 2. Segan dan Enggan Bertanggung Jawab 3. Berjiwa Feodal 4. Percaya Takhayul 5. Artistik 6. Watak yang Lemah 7. Tidak Hemat 7. Lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa 9. Manusia Indonesia Tukang Menggerutu/ Berani Berbicara di Belakang 10. Cepat Cemburu dan Dengki: 11. Manusia Yang Sok 12. Manusia Tukang Tiru atau Plagiat Penulis bukan bermaksud mempopulerkan sifat jelek, tetapi mencoba mengkaitkan sifat yang ada pada diri orang Indonesia dengan bagaimana orang Indonesia itu ber-Islam. Meskipun sifat positif menerima Islam dan menjadikan Islam lebih terbuka, fleksibel, ramah, toleran, dan moderat cukup diacungkan jempol di dunia internasional. Sehingga, [kata media] Islam
  • 14. 14 di Indonesia bisa dijadikan contoh bagi negara lain yang agama Islamnya minoritas, untuk belajar Islam di Indonesia bukan di Timur Tengah. Dari sifat-sifat manusia Indonesia dapat dilihat cara menjadikan Islam sebagai status, agama, pedoman hidup, atau jalan menuju akhirat. Ajaran Islam yang diterima setiap orang juga tidak sama. Ada orang tua yang memberikan didikan pertama tentang Islam. Kemudian lewat Pengajian. Ditambah lagi pada palajaran di Sekolah. Atau langsung masuk Pesantren. Wawasan Islam bisa diperoleh lewat Kajian keislaman. Dengan begitu karakteristik orang Indonesia dalam beragama Islam menjadi beragam dan dapat dibagi menjadi: 1. Beragama Islam sesuai dengan apa yang diajarkan dari Orang Tua. 2. Beragama Islam sesuai dengan apa yang sudah menjadi kebiasaan, adat istiadat, tradisi, paham, aliran, dan budaya setempat. 3. Beragama Islam sesuai dengan pemahaman yang ada pada Al Qur’an dan As Sunah secara murni dan konsekuen. 4. Beragama Islam dengan mencampuraduk ajaran Islam dari Al Qur’an dan Hadits dengan mengadopsi paham dan aliran yang tidak Islami. 5. Beragama Islam tidak integral, tetapi parsial pada bidang tertentu saja. 6. Beragama Islam dengan paham dan aliran yang bukan Islam. 7. Mengaku beragama Islam, tetapi menciptakan “agama baru” 8. Mengaku beragama Islam, tetapi tidak ber-aqidah Islam. Dengan beraneka macam pemahaman, maka munculnya ormas yang berwarna-warni di Indonesia yang masing-masing paling mengaku menjalankan agama Islam dengan benar. Sebenarnya di Indonesia ini cukup hanya ada 4 jenis ormas Islam, yaitu: a. Ormas Islam yang khusus menangani Amar ma’ruf b. Ormas Islam yang khusus menangani Nahi munkar c. Ormas Islam yang khusus mengurus Orang Hidup d. Ormas Islam yang khusus mengurus Orang Mati Nah, jika begitu akan jelas jobdesk-nya dan tidak saling tumpang tindih bidang garapannya. Cina-Indonesia (tepatnya: Tionghoa-Indonesia) Menurut von Hiene Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia, secara teoritis, berasal dari tempat yang sekarang bernama Provinsi Yunnan di Republik Rakyat Cina, melalui migrasi
  • 15. 15 ribuan tahun lalu. Penduduk asli Kepulauan Indonesia saat itu yaitu ras Austromelanesoid tergusur oleh keberadaan nenek moyang bangsa Indonesia saat ini dan terdesak ke Irian. Berdasarkan waktu kedatangannya, para imigran tersebut dibagi dua: 1. Proto Melayu Orang-orang Proto Melayu datang dari Yunnan sekitar tahun 2000 SM. Mereka datang melalui dua jalur: a. Jalur pertama dari Filipina menyebar ke Sulawesi dan Papua. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Toraja. Mereka membawa kebudayaan kapak lonjong. b. Jalur kedua dari Indocina melewati Semenanjung Malaya ke Sumatera, lalu menyebar ke Kalimantan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Batak, dayak, dan Sasak (Lombok). 2. deutero Melayu Orang-orang deutero Melayu datang dari daerah Teluk Tonkin (Vietnam Utara) sekitar tahun 500 SM. Peradaban mereka lebih maju dari orang-orang Proto Melayu, yaitu kebudayaan dong Son yang ditemui di Vietnam. Mereka menempati pesisir-pesisir dan mendesak orang-orang Proto Melayu ke pedalaman. Mereka ini antara lain menjadi nenek moyang suku Jawa, Minang, dan Bugis. Semua yang disebutkan di atas, penduduk "asli" Indonesia, nenek moyang bangsa "pribumi" Indonesia yang sekarang, berasal dari Cina. Namun mereka tetaplah nenek moyang bangsa Indonesia. Yang membedakan hanyalah waktu kedatangan, entah itu 2000 SM, 500 SM, atau 1000an M. Menurut BPS tahun 2010 terdapat 300 kelompok etnik atau 1.340 suku bangsa di Indonesia. Suku bangsa asli (pribumi) yang termasuk 7 terbesar adalah: Jawa, Sunda, Melayu, Madura, Batak, Minangkabau, dan Betawi. Sedangkan sebagai suku bangsa asal pendatang/imigran, yaitu Tionghoa-Indonesia (3.7%) dan Arab-Indonesia (2,4%) [sensus 2000] Dari Wikipedia, tentang Penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa: Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
  • 16. 16 Sekitar akhir abad ke-19 diambilah jalan tengah penggunaan istilah Tiongkok yang diambil dari terjemahan Chung Kuo. Pada tahun 1901, didirikan organisasi Tiong Hoa Hwee Kwan yang dipengaruhi oleh gerakan pembaruan di daratan Tiongkok. Organisasi ini dipimpin oleh Kang Yu Wei, Liang Chi Chao, dan Phoa Keng Hek di Jakarta. Organisasi ini bertujuan mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Kong Hu Cu dan mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa. Penggunaan kata Tionghoa juga terpengaruh gerakan Sun Yat-sen untuk meruntuhkan dinasti Ching dan menggantinya dengan "Chung Hwa Ming Kuo" atau "Republik Tiongkok". Sejak saat itu, mereka menyebut diri mereka dengan istilah Tionghoa, yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin Chung Hwa, dan menolak disebut Cina. Pada tahun 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa "berhutang budi" kepada masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan pemimpin pergerakan tersebut. Sepakat mengganti sebutan Cina dengan Tionghoa. Koran Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan Hindia-Belanda menjadi Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman. Dalam teks penjelasan UUD 1945 kata yang digunakan adalah Tionghoa, bukan Cina. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno, digantikan rezim Orde Baru. Selama Orde Baru berkuasa etnis ini dikebiri kebebasannya terutama di bidang politik, dan diberi kelonggaran luar biasa dan bahkan digandeng dalam memainkan dan menikmati kue ekonomi bangsa ini. Pada jaman pemerintahan Soeharto ini, orang Tionghoa di Indonesia diharuskan mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yg sangat pedih karena mereka menjadi kehilangan marga dan nama keluarga mereka. Segala tradisi yg berbau Cina diharamkan, dan bahasa Mandarin pun dilarang karena mereka dituduh menyebarkan paham komunis. Setelah reformasi, pada masa pemerintahannya, Gus Dur mencabut larangan bagi orang Tionghoa untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kran hubungan dibuka di era ini, dengan menjadikan Kong Hu Cu sebagai agama resmi keenam di negara ini. Kemudian pada Presiden Megawati, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Sejak itu etnis ini terus menunjukkan eksistensi yang semakin nampak dan partisipasinya di sektor publik semakin percaya diri, memberi warna pada seni dan budaya Indonesia, dan mengisi dunia seminan,
  • 17. 17 artis sinetron, musisi, bintang iklan dalam profil pesohor yang berunjuk kebolehan tampil di panggung media kotak kaca. Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan undang2 no 12 th 2006 yg menghapus segala perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Dan pada tahun 2007, SBY meresmikan istilah "Tionghoa" sebagai nama bagi penduduk keturunan Cina di Indonesia. Ruang yang semakin terbuka terus dimanfaatkan etnis Tionghoa untuk ikut berpartisipasi di dunia politik dengan menjadi anggota legislatif atau kepala daerah. Kekuatan etnis ini ada pada kedekatan dengan penguasa, modal besar atau kuatnya jaringan dagang [Ong Hok Ham]. Setelah ketua umum partai memberi tempat sebagai wakilnya, dan sedang melaju untuk mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden, maka tinggal menghitung waktu saja seorang dari etnis ini akan menduduki singgasana pemimpin pemerintahan negara ini. Dan memang tidak ada yang salah. Semua warganegara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam demokrasi. Islam-Cina-Indonesia secara budaya saling mendukung dan melengkapi membentuk budaya nasional Indonesia. Islam dan Cina memang memberi warna baik pada budaya nasional secara keseluruhan atau memoles kultur lokal kedaerahan. Sebagai misal, pada pesta perkawinan adat Betawi jelas sekali pengaruh Arabnya pada pakaian mempelai pria, sementara pengaruh Cina tampak pada pakaian mempelai wanita. Namun, penggunaan petasan atau mercon, jelas bukan budaya Arab melainkan bawaan dari Cina. [31/1/2014]
  • 18. 18 ”Islam” dan ”Betawi”, adalah 2 Merek Produk Dagang yang Paling Laku di Bisnis Hiburan ”Islam” sebagai pondasi hidup atau barang dagangan? Beberapa media mengabarkan Islam merupakan agama yang tingkat pertumbuhannaya sangat cepat di benua Eropa dan Amerika Utara. Girah beragama umat di negeri ini juga semakin nampak. Tidak malu menampilkan identitas keislamannya. Hampir semua aktivitas dikemas dalam warna islamnya. Geliat ekonomi Islampun semakin semarak dengan hadirnya Bank Syariah, yang diikuti dengan Asuransi Syariah, Reksadana Syariah, dan Pasar Modal Syariah. Bahkan di sektor lain juga tidak mau ketinggalan. Muncul MLM Syariah, Hotel Syariah, dan Wisata Syariah. Entahlah, apa lagi yang di-Syariah-kan? Semoga saja sesuai dengan hukum syariah yang sesungguhnya. Bukan sekedar kulit, tetapi juga isinya. Di bidang pangan juga demikian, dengan menggencarnya kebutuhan akan produk halal. Kepastian produk yang bersertifikat atau berlabel halal menjadi kebutuhan umat. Sandang sudah lebih dahulu berorientasi ke model busana muslim, terutama busana muslimah yang berbentuk jilbab atau hijab. Para profesi perancang busana berputar haluan dan berkiblat ke fashion jilbab. Apalagi perancang pemula yang memanfaatkan situasi yang tengah trend ini. Kemudian bermunculah komunitas perempuan muda yang berhijab, dan diikuti oleh ibu-ibu rumah tangga. Nah, terlepas berjilbabnya karena alasan perintah agama (syar’i), modis, formalitas, gaul, atau mengikuti trend? Tidak dibahas di mari. Penayangan acara iklan, sinetron, talk show, atau entertainment lainnya dengan bintang iklan, tokoh/pemeran, host, atau pengisi acara yang menggunakan busana muslimah secara tidak langsung juga menjadi bagian ajang promosi produk. ”Betawi” dan image minor-nya? Di samping ”Islam” yang sedang dijual dalam bentuk kemasan hiburan, ”Betawi” juga demikian. Unsur Betawi ditampakan dalam bentuk dialog dan tradisi. Hampir semua stasiun TV swasta menayangkan sinetron yang berlatar belakang etnis Betawi yang dipadu dengan nuansa keislamannya.
  • 19. 19 Penulis teringat ketika masih duduk di bangku SMA yang ketika itu saat mengisi formulir PMDK. Ibu Wali Kelas sempat menyampaikan sesuatu yang penulis tidak menduga sama sekali. ”Ki, kamu setelah lulus paling seperti orang Betawi kebanyakan. Setelah lulus, kawin dan buka warung. Nanti warungnya bini kamu yang nungguin, dan kamu kerjaannya tidur seharian”. Seperti palu godam menghantam muka penulis saat itu. Namun, untungnya teman- teman sekelas tidak ada yang tertawa, tersenyum atau berubah mimik. Karena sedang seriusnya mengisi form atau memang ucapan itu dianggap sekedar canda. Seketika itu juga penulis, menjawab dengan lantang: ”Bu, lihat nanti ! Saya tidak seperti orang Betawi kebanyakan.” Dalam hati penulis setelah kejadian itu, kawin? Enggaklah! Nganggur?, Ogah ah! Kerja? Hayo! , Kuliah? Harus!, Aktivis? , Jalani terus! Penulis memang menyadari bukan dari keluarga berkecukupan apalagi berlebihan. Orang tua hanya pedagang kaki lima dengan anak sejumlah warna pelangi. Penulis sendiri anak sulung. Dengan perkataan Sang Wali Kelas itu, penulis sendiri tidak bisa memahami. Apakah mendeskreditkan atau menantang? Memang saat itu penulis butuh motivator dan konsultan pendidikan, tetapi tidak ada. Sampai tiga tahun kemudian Ibu Guru tersebut juga hadir dalam Reuni Kelas yang diadakan di Sekolah, dan penulis sudah duduk di salah satu PTN di Indonesia, maksud ”perkataan” itu tidak ada klarifikasinya, bahkan sampai kini. Akan tetapi penulis berbaik sangka, bahwa itu adalah cara mendidik dengan mem-pressure. Orang di- pressure, semakin tertekan atau melawan balik. Orang Betawi dimata suku bangsa lainnya di Indonesia yang menjadi kaum pendatang tidak dipandang dengan baik, tidak adil dalam membandingkan, dan tidak proporsional dalam menilai. Penilaian sangat menggeneralisir kasus yang diangkat menjadi sebuah masalah. Ibarat nila setitik rusak susu sebelanga. Bahwa orang Betawi itu malas, tidak bersekolah, kerjaannya nongrong, tukang kawin, nungguin warisan orang tua, dan sejumlah nada minor lain yang bisa-bisa saja disematkan. Membandingkan orang Betawi sebagai sebuah etnis dengan suku lain yang merantau di Jakarta tidak adil. Jakarta hanya sebuah propinsi sekaligus sebuah kota tidak sebanding dengan sebuah suku yang besar dalam sebuah propinsi yang memiliki banyak kota. Kaum pribumi dibandingkan dengan kaum perantau tidak pas. Ketika penulis berwisata di sebuah kota terkenal di Jawa, pemandu wisata menceritakan bahwa
  • 20. 20 warga kota ini merasa sudah puas dengan keadaannya (hanya tidak dikatakan malas), tetapi yang membangun kota ini adalah para perantaunya yang kembali pulang. ”Betawi” sebagai barang dagangan yang menasional Salah satu kelebihan bahasa atau dialek Betawi dibanding dengan bahasa daerah lain, adalah banyak kesamaannya dengan bahasa Indonesia. Logat yang mudah ditiru oleh suku atau etnis lain. Perantau yang pulang kampung ada yang merasa bangga karena sudah bisa melafalkan cengkok logat Betawi ketika pulang ke kampungnya. Pelesetan ”betawi” adalah betah di wilayah. Hanya ngendon di kampung dan jago kandang. Semua rumor itu tidak sepenuhnya benar. Azis Khaifa (2009) dalam ”Dari Betawi untuk Indonesia” mengutip penelitian Leo Suryadinata yang diterbitkan LP3ES (2000) menyebutkan: etnis Betawi merupakan etnis terbesar ketujuh di Indonesia, rata-rata angka pertumbuhan 2,34% pertahun, dan etnis Betawi ada di semua propinsi di Indonesia dengan jumlah yang signifikan. Mahbub Djunaedi, tokoh asli Betawi yang menerjemahkan buku Michael Hart: ”100 Tokoh Berpengaruh di Dunia” mengemukakan: ”Betawi adalah....Betawi.....Ia berdiam di Jakarta dan seputarnya. Ia orang kebanyakan. Ia bukan berasal dari dasar laut atau puncak gunung. Ia punya satu kepala dan dua kaki. Ia termasuk kesatuan etnis Melayu. Ia bersih dari feodalisme. Ia tak merasa lebih, juga tak merasa kurang. Ia demokratis dan terbuka. Ia merasa berasal dari kaum Betawi pimpinan Husni Thamrin. Ia merasa pendukung Bung Karno ketika Rapat IKADA tanggal 15 September 1945. Ia republican tulen. Dalam banyak hal mereka merasa tergusur dan kececeran dalam persaingan metropolitan. Dalam banyak hal tidak cerewet walau pemerintah daerahnya dipegang orang kampung lain” Sementara mantan Presiden Soeharto (1991) pernah menyatakan bahwa: ”Masyarakat Betawi merupakan masyarakat ini kota Jakarta.” Sedangkan Prof. Dr. Nurchlish Madjid berpendapat: ”Masyarakat Betawi telah terlatih untuk berbeda, toleran, egaliter dan terbuka, inilah mungkin salah satu pertimbangan mengapa Presiden Sukarno memilih Ibukota Negara di Jakarta.” Perubahan Jayakarta menjadi Jakarta, dan Batavia menjadi Betawi, adalah catatan sejarah perkembangan wilayah dengan etnis yang memiliki 111 organisasi massa ini. Sejatinya,
  • 21. 21 Jakarta dan Betawi tidak bisa dipisahkan, sekalipun sebagian warga Betawi berada di pinggir Jakarta menempati Bogor, Tangerang dan Bekasi. Walaupun demikian, memang sudah ada etnis Betawi yang sejak dulu sudah menempati beberapa tempat di wilayah penyangga Ibu Kota tersebut dengan sebaran yang tidak merata. Dengan kata lain, etnis Betawi lebih luas dari Jakarta itu sendiri. Alwi Shahab (2014) menuturkan: ”Dalam hal kerukunan dan hidup dalam keragaman, warga Betawi bisa dibilang sudah amat berpengalaman. Orang dengan latar belakang bangsa, bahasa, kebudayaan, warna kulit, dan keyakinan agama yang berbeda sejak berabad-abad lalu sudah bertemu di sini. Karena itulah, sejak dulu bagi orang Betawi tidak aneh hidup dan bergaul dengan para pendatang. Kawin campur pun bukan masalah bagi suku Betawi, selama mereka satu keyakinan.” Sejarawah dan Budayawan Betawi Ridwan Saidi menyebut Betawi adalah etnis paling matang menerima gagasan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi satu). Tokoh Betawi, H. Irwan Syafe’ie, menurutnya warga Betawi tidak iri hati terhadap pendatang yang sukses. Di kawasan elit terdapat rumah-rumah mewah, sedangkan orang Betawi tinggal di lorong- lorong jalan yang sempit dan kumuh. Di tempat-tempat ini warga Betawi tidak ketinggalan rasa humornya. Dengan modal dasar demikian pantaslah etnis Betawi dapat naik ke panggung nasional untuk diterima sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang ikut membentuk identitas dan jati diri bangsa. Lewat tayangan sinetron budaya dan bahasa Betawi dipopulerkan, menjadi produk yang diperdagangkan. Jika ”Islam” dijadikan merek dagangan bernama hiburan, maka siapa yang dapat meraup keuntungannya? Apakah esensi ajaran Islam yang ditampilkan dalam peran dan dialog bisa membuat tontonan sekaligus tuntunan? Demikian pula halnya, dengan produk ”Betawi.” Namun, jika memang sekedar dagangan, tentu saja yang mendapat untung si pedagang itu sendiri. Bisa umat Islam bisa juga tidak. Bisa orang Betawi bisa juga bukan. [18/1/2014]
  • 22. 22 KETIKA UMAT BERADA DI PERSIMPANGAN JALAN (Implementasi ajaran Islam dalam garis “vertikal & horisontal”) Jika dimisalkan turunnya wahyu dari Allah Swt melalui malaikat Jibril menuju Nabi Muhammad Saw berupa garis tegak (vertikal), maka implementasi wahyu tersebut (berupa ajaran Islam) yang dituntun oleh Rasulullah untuk umat seluruh dunia ini dapat dikatakan sebagai garis mendatar (horisontal). Garis horisontal tersebut berpangkal dari Rasulullah membentang lurus menuju setiap umat yang mendapat hidayah sebagai titik-titiknya hingga sampai akhir kehidupan (kiamat) pada ujung garis. Sampai pada 3 generasi terbaik – era sahabat, tabiin, tabiit tabiin – yang pernah ada di muka bumi ini dan diakui oleh penduduk langit, garis horisontal ini masih bertahan dengan rel dan koridornya pada Al Qur’an dan As sunnah. Namun, dalam penelusurannya garis itu tidak lurus terus bahkan garis tersebut pecah menjadi 2 bagian melebar ke kanan dan ke kiri, laksana membentuk bidang segitiga. Pelebaran ke kanan, dapat dikatakan “Islam plus”, dimana ajaran Islam ditambah-tambah dengan yang tidak ada dasarnya pada Al Qur’an dan As Sunnah, dan sudah sedemikian rupa diyakini dan diibadahi oleh umatnya sebagai ajaran Islam. Umat semakin “kreatif’ beribadah dengan melebih-lebihkan apa yang tidak diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Ajaran Islam dipadukan dengan budaya lokal, tradisi setempat, pemikiran di luar Islam, dan segala macama aliran, faham dan isme-isme, yang berdalih agar menambah khazanah cakrawala Islam itu sendiri. Islam juga disandingkan dengan istilah-istilah, yang terkadang tidak pantas dan hanya mengkotak-kotakan umat dan membingungkan umat (yang awam). Muncul istilah Islam moderat sebagai lawan dari Islam fundamentalis, Islam toleran lawan Islam radikal, Islam historis lawan Islam normatif, Islam pluralis lawan Islam ekstrim, Islam kultural lawan Islam politik, Islam modernis lawan Islam tradisionalis, dan Islam sinkretis lawan Islam puritan, serta yang paling aktual dan masih hangat membenturkan pengertian “Islamis” dengan Islam “rahmatan lil alamin”. Konyolnya, dari kalangan internal umat sendiri juga mengekor hasil sinisme dan sentimen media barat, dengan ikut menempatkan saudaranya sendiri sebagai “kaum Islamis” yang tidak sefaham, sealiran, atau sepemikiran dengannnya. Dan, muaranya muncul “agama baru”, yakni “agama sepilis” yaitu sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, yang ironisnya
  • 23. 23 digaungkan oleh “cendekiawan muslim” yang lulusan universitas barat. Mereka menjadi produk dan corong barat, yang tak bedanya dengan orientalis yang suka menyerang Islam. Bedanya, “saudara kita” ini ikut menggerogoti bangunan Islam dari dalam, kalau orientalis dari luar. Maklum selama dididik telah mengalami brainwashing dari para profesornya. Sedangkan pelebaran ke kiri, sebagai “Islam minus”, dimana ajaran Islam dikurang-kurangi, direduksi dan mengalami pendeskreditan karena kepentingan dan hawa nafsu. Ajaran Islam yang tidak mendukung kepentingan ditinggalkan, dibuang jauh-jauh, dipendam dan dikubur dalam-dalam. Sunah Rasul menjadi asing bagi umatnya sendiri, karena memang sudah tidak diajarkan lagi. Umat juga lebih percaya kepada kitab-kitab ulama daripada Al Qur’an dan lebih taat pada ucapan guru, ustaz, kyai, atau yang “disembah” daripada As Sunnah yang tertulis pada kitab Hadist. Ajaran Islam yang memadukan hubungan vertikal (hablum minallah) dan hubungan horisontal (hablum minannas), diterapkan hanya salah satunya saja. Umat yang rajin dengan ibadah individual abai dengan ibadah sosial. Sebaliknya, sebagian mengganggap cukup berbuat baik saja kepada sesama manusia, tidak perlu menjalankan ibadah ritual nanti terserah Tuhan saja yang menilai. Ibadah yang dijalankan terkadang bertolak belakang dengan akhlak yang ditampilkan, karena ibadahnya hanya seputar ritualitas dan sekitar formalitas saja, tanpa esensi dan substansi. Kemalasan membaca menjadi pendukung dari usaha meminimalisasi ajaran Islam ini. Umat tidak dapat membedakan antara iman dan kafir, tauhid dan syirik, haq dan bathil, ibadah dan maksiat, sunnah dan bid’ah, serta ittiba’ dan taqlid. Juga telah bercampur atau tertukar antara persoalan agama dan budaya, antara tradisi dengan syariat, dan antara adat istiadat dengan ibadah. Ditambah lagi dengan kefanatikan umat pada figur seorang tokoh atau guru, akan menjadikannya sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Tidak adanya tradisi sharing, budaya kritik, dan dialog akan semakin mengukuhkan monopoli kebenaran. Sehingga tidak perlu heran kalau sering muncul ajaran sesat. Kebodohan umat dimanfaatkan “sang guru” yang punya kepentingan dan tujuan tertentu. Akhirnya umat sudah jauh dari Islam itu sendiri. Nah, masalahnya apakah kita menjadi “agen” yang memberikan kontribusi dengan memperlebar bidang segitiga tadi, baik ke kanan ataupun ke kiri sehingga semakin mendekati kiamat segitiga itu semakin membentuk segitiga sama kaki yang sangat tumpul? Atau
  • 24. 24 menjadi pribadi muslim yang tetap istiqomah dengan Al Qur’an dan As Sunnah, dengan memperkecil segitiga itu menjadi lebih lancip dan bervisi mengembalikannya ke bentuk semula sebagai sebuah garis lurus? Tentunya, kembali pada pribadi masing-masing. Jelasnya, beragama perlu ilmu. Minimal untuk berIslam harus melakukan 3M (membaca, mengaji, dan mengkaji). Memang orang tua kita menjadi mediator menurunnya hidayah Islam sampai ke kita. Akan tetapi, keharusan belajar Islam (menuntut ilmu) tetap menjadi kewajiban setiap pribadi muslim, agar menjadi muslim yang berkualitas. Menjadi muslim yang tidak bodoh di dunia juga tidak bodoh untuk akhirat. Bodoh di dunia akan tertinggal dengan kemajuan zaman dan peradaban yang berkembang. Kalau bodoh untuk akhirat, bisa cilaka. Apakah ketika di padang mahsyar nanti, setelah di mizan lalu dihisab kita “mencari kambing hitam” dengan melempar kesalahan pada orang tua dan guru kita? karena cara kita ber-Islam tidak diterima sidang pengadilan akhirat? Alhamdulillah, mumpung masih hidup sekarang masih ada kesempatan belajar Islam yang benar sesuai Al Qur’an dan As Sunnah sehingga bisa berIslam sesuai ridha-Nya Allah. Insya Allah.. [29/7/2012]
  • 25. 25 Jangan sampai bertengkar di dalam masjid?! Di tingkat internasional, dua negara bertetangga dengan penduduk muslim mayoritas sering berseteru serta bermusuhan dengan cara mengejek. Salah satu negara tersebut selalu memulai dengan memukul ’genderang perang’. Seolah menguji si tetangga masih punya nyali dan harga diri apa tidak. Negara itu berperilaku seperti orang kaya baru yang memiliki kepongahan dan keserakahan. Laksana orang kaya berkelakuan kampungan. Indikator kemajuan ekonominya tidak sinergi dengan peningkatan keelokan tabiat dan karakter sebagai negara maju. Organisasi besar yang beranggotakan negara berpenduduk muslim tidak dapat bersatu untuk mengatasi penindasan sebuah negara kecil terhadap ’calon negara’, sebuah negeri dimana terdapat kota suci ketiga umat Islam. Dalam skala lokal, antar kelompok saling mengklaim otoritas. Jamaah yang berguru dengan jamaah lain dengan guru yang berbeda saling merasa lebih benar. Perbedaan pengaruh dalam sebuah lingkungan, sudah ada masjid dan masih bisa menampung jamaah, membangun masjid baru. Dalam ormas islam, terjadi perebutan kekuasaan kepemimpinan. Apalagi dalam partai politik. Belum lagi dalam sebuah yayasan yang terdiri dari anggota keluarga sering dijumpai ’perang baratayudha’ dalam membuat kebijakan dan alih kepemilikan. Demikian contoh kondisi dan fenomena umat Islam. Eep Saefulloh Fatah (2000) pernah menyusun daftar kekeliruan politik kalangan Islam, yang terdiri dari: 1. Senang membuat kerumunan, tidak rajin menggalang barisan. 2. Suka marah, tidak suka melakukan perlawanan. 3. Reaktif, bukan proaktif. 4. Suka terpesona oleh keaktoran, bukan oleh wacana atau isme yang diproduksi/dimiliki sang aktor. 5. Sibuk berurusan dengan kulit, tidak peka mengurusi isi. 6. Gemar membuat organisasi, kurang mampu membuat jaringan. 7. Cenderung memahami segala sesuatu secara simplistis, kurang suka dengan kerumitan- kecanggihan padahal inilah adanya segala sesuatu itu. 8. Sering berpikir linear tentang sejarah, kurang suka bersusah-susah memahami sejarah dengan rumus dialektika atau sinergi.
  • 26. 26 9. Enggan melihat diri sendiri sebagai tumpuan perubahan, sebaliknya cenderung berharap perubahan dari atas/para pemimpin. 10. Senang membuat program, kurang mampu membuat agenda. 11. Cenderung memahami dan menjalani segala sesuatu secara parsial, tidak secara integral (kaaffah). 12. Senang bergumul dengan soal-soal jangka pendek, kurang telaten mengurusi agenda jangka panjang. 13. Terus menerus ”menyerang musuh” di markas besarnya, abai pada prioritas pertama ”menyerang musuh” pada gudang amunisinya. 14. Kerap menjadikan politik sebagai tujuan, bukan politik sebagai alat. 15. Senang mengandalkan dan memobilisasi orang banyak atau massa untuk segala sesuatu, abai pada fakta bahwa perubahan besar dalam sejarah selalu digarap pertama-tama oleh creative minority. (Ironisnya, ini justru secara spektakuler dicontohkan oleh Muhammad beserta lingkaran kecil di seputarnya di Mekkah serta kaum Muhajirin dan Anshar di Medinah). 16. Senang berpikir bagaimana memakmurkan masjid, kurang giat dan serius berpikir bagaimana memakmurkan jamaah masjid. 17. Senang menghapalkan tujuan sambil mengabaikan pentingnya metode, tidak berusaha memahami dengan baik tujuan itu sambil terus mengasah metode. 18. Senang merebut masa depan dengan meninggalkan hari ini atau merebut hari ini tanpa kerangka masa depan, bukannya merebut masa depan dengan mencoba merebut hari ini. 19. Sangat pandai membongkar dan membongkar, kurang pandai membongkar pasang. 20. Sangat cepat dan gegabah merumuskan musuh baru (dan lama), sangat lamban dan enggan merangkul kawan baru. 21. Gegap gempita di wilayah ritual, senyap di wilayah politik dan sosial. 22. Selalu ingin cepat meraih hasil, melupakan keharusan untuk bersabar. 23. Senang menawarkan program revolusioner tapi abai membangun infrastruktur revolusi. 24. Selalu berusaha membuat politik sebagai hitam putih, bukannya penuh warna tak terhingga. 25. Sangat pandai melihat kesalahan pada orang lain, kurang suka melakukan introspeksi. Sepeninggal Rasulullah, umat Islam sudah mulai kelihatan tercabik dalam perpecahan. Dimulai dari masa Khualafaur Rasyidin sampai zaman Kekhalifahan dan terus hingga kini, pemicunya terutama urusan politik. Di bidang pemikiranpun demikian. Dua pola pemikiran
  • 27. 27 fikih yang menjadi cikal bakal bagi terbentuknya mazhab-mazhab fikih adalah kubu ahlulhadis dan ahlur ra’yi pada abad ke-2 H. Ahlulhadis adalah kelompok yang cenderung memusatkan perhatiannya kepada sunah. Sedangkan kubu ahlur ra’yi cenderung memandang syariat dalam takaran rasionalitas. Dari Bukhori Yusuf (2002), hadist yang diriwayatkan Muawiyah bin Abu Sufyan meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Ketahui bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian yaitu ahli kitab (yahudi dan nasrani) telah terpecah menjadi 72 millah (baca agama sempalan) dalam riwayat yang lain dinyatakan golongan. Dan sedangkan agama ini (Islam) akan terpecah menjadi 73 sempalan 72 berada di neraka dan hanya satu yang masuk surga yaitu al-jamah.” (HR Abu Dawud, al-Hakim, dan dinyatakan sahih oleh Albani). Abdullah al-Yafi’i (W:768 H) menulis buku Dzikru madzahib fraq as-sintain wasabin al Mukholifah lis-sunnah wan al-Mubtadiah, bahwa 72 golongan bercabang dari empat golongan pokok yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Masing-masing golongan pokok ini bercabang menjadi 18 golongan. WAMY (2003) dalam ’Gerakan Keagamaan dan Pemikiran’ menyingkap gerakan keagamaan dan pemikiran yang ada di dunia yang berjumlah 58 jenis. Gerakan-gerakan tersebut turut memberikan kontribusi pada perubahan peradaban kemanusiaan universal, baik dalam konteks bangsa maupun umat. Akibatnya, manusia modern dihadapkan kepada gelombang arus informasi yang membingungkan dan kontradiktif di berbagai dimensi kehidupannya, baik di sekitar kebudayaan, idiologi, paham pemikiran, politik, ekonomi, sosial, aliran-aliran keagamaan, dan filsafat. Sementara kebenaran hakiki hampir tidak tampak. Seperti yang pernah penulis analogikan bahwa ajaran Islam, yang semestinya berasal dari satu titik dengan sumber utama al-Quran dan as-Sunah memanjang dari masa Rasulullah menuju hari akhir berupa garis horisontal yang lurus. Namun, kenyataannya garis itu melebar membentuk segitiga karena ajaran Islam yang murni telah ditambah dan dikurangi oleh umatnya sendiri. Kemurniannya menjadi berkurang karena pengaruh kebudayaan Barat dan Timur, mengalami akulturasi dan sinkretisme dengan budaya dan tradisi lokal. Di Indonresia sendiri dapat dijumpai dengan beragamnya organisasi massa (ormas) Islam yang beragam dengan masing-masing memiliki keyakinan, aliran, dan faham. Dalam bidang politik juga begitu. Sekalipun umat Islam menduduki jumlah mayoritas, tetapi partai politik
  • 28. 28 (parpol) Islam tidak dapat mencapai jumlah suara yang signifikan apalagi pemenang. Karena suara umat terpecah dan terbagi-bagi dalam beberapa parpol Islam. Sementara sebagian kalangan umat tidak memiliki ikatan ideologi atau tautan emosional dengan parpol Islam manapun, sehingga mereka berpikir dalam parpol nasionalis juga ada orang Islam. Bukan hanya di negara ini, negara lainpun yang mayoritas berpenduduk umat Islam tidak ada parpol islam tunggal atau hanya ada satu parpol Islam. Banyaknya ormas dan parpol berlabel Islam atau berideologi Islam, akan menimbulkan masalah dalam penyatuan suatu kebijakan yang menyangkut kebutuhan umat. Masalah penentuan waktu hari awal Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah masih ’pekerjaan rumah’ yang belum terselesaikan sampai detik ini. Persoalan politik dan urusan kekuasaan lebih ruwet lagi. Belum lama berselang tentang penyelenggaraan pengelolaan zakat, apakah disentralisasai pemerintah lewat BAZ atau memberi peran masyarakat lewat LAZ membutuhkan energi yang besar untuk menuntaskannya. Dan yang masih hangat adalah masalah otoritas pemberi sertifikasi dan label halal pada produk. Baik ormas maupun parpol sudah sigap menyatakan pendapatnya, baik yang menyerahkan ke lembaga yang sudah terpercaya, pemerintah, kalangan swasta, atau ormas dapat membuat lembaga sendiri. Ada Pengurus DKM di sebuah Perumahan/Cluster di bilangan barat Jakarta, berkeinginan membuat persatuan dan kebersamaan sesama kelompok umat Islam. Mereka membuat jadwal pengajian atau taklim bergiliran di masjid yang diberi merk Masjid Akhuwah. Misal hari Senin: NU, selasa: Muhammadiyah, rabu: PKS, kamis: HTI, jumat: Salaf, dan Sabtu: JT. Di samping ada taklim di masjid juga ada pengajian di rumah ke rumah. Nah, kalau begini dimana usaha untuk terjadinya ukhuwah? Pengurus DKM tersebut berniat baik tetapi masih lugu. Masjid adalah tempat ibadah. Pada prinsipnya semua aktivitas seorang muslim dapat bernilai ibadah, jika dilakukan dengan ikhlas dan ittiba dengan apa yang Rasuilllah telah lakukan. Persoalan umat dapat dimusyawarahkan di masjid, karena masjid bukan hanya tempat pelaksanaan ibadah mahdhah saja. Namun, setiap muslim senantiasa mengetahui adab masjid ketika berada di dalamnya sekalipun dalam berdiskusi dan berdebat apalagi untuk menentukan suatu keputusan. Jadi sesama umat Islam janganlah bertengkar atau berkelahi hanya masalah sependapat atau tidak, setuju atau tidak. Apalagi jika di dalam masjid. [24/2/2013]
  • 29. 29 Tiga Level Kebenaran Ilmu berasal dari bahasa arab, yaitu ‘alima – ya’limu – ‘ilman dengan wazan fa’ala – yaf’alu – fi’lan yang berarti mengerti, memahami benar–benar. Ilmu dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan suatu bidang yang disusun secara konsisten menurut metode-metode tertentu, juga dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Ilmu merupakan terjemahan dari kata science (sains) yaitu pengetahuan yang rasional dan didukung dengan bukti empiris. Ilmu dan pengetahuan diperoleh sebagai formulasi dari aproksimasi sekaligus sebagai simplifikasi atas fenomena alam. Ilmu dan pengetahuan dibedakan yang didasarkan pada tingkatan dalam menangkap kebenaran. Ilmu lebih tinggi dari pengetahuan umumnya, karena memiliki struktur dalam rasional dan intuitif, sedangkan pengetahuan lebih rendah hanya didasarkan pada inderawi dan naluri. Persoalan ilmu menyangkut benar-salah. Pengetahuan yang terdiri dari etika (moral, akhlak) dan estetika (seni), mempersoalkan baik-buruk (etika) dan bagus-jelek (estetika). Sedangkan agama akan mempersoalkan benar-salah (ilmu) dan baik-buruk (akhlak, sikap). Dalam kaitannya memperoleh kebenaran manusia mendasarkan pada berpikir rasioanal dan pengamatan fenomena alam, sehingga ada golongan rasionalis dan empiris. Sementara menurut Islam, ada 3 level kebenaran, yakni: 1. Ainul yaqin Kebenaran yang dialami manusia lewat indera (penglihatan). Sesuatu dikatakan benar kalau dapat dideteksi dengan panca indera, terutama indera penglihatan. Kebenaran hanya dapat dibuktikan dengan fakta yang ada. 2. Ilmul yaqin Kebenaran ini didasarkan pada proses berpikir dan pengamatan terhadap pengalaman. Kebenaran yang diperoleh dari pengamatan lewat indera dilanjutkan dengan pengolahan dengan rasio dan direnungkan dengan mendalam secara filosofis. Filafat adalah usaha untuk mencari kebenaran sehingga mendekati kebenaran yang sesungguhnya.
  • 30. 30 Pada filsafat ilmu terdapat tiga kajian, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi membahas tentang realitas, yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif (pandangan materialistik- sekularistik). Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berarti bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan, dimana jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspekpragmatis-materialistis. Dari Intan Irawati dalam Teori Teori Kebenaran dalam Ilmu Pengetahuan, teori kebenaran filsafat terdiri dari: a). Teori Kebenaran Korespondensi Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan- pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Keberhasilan ilmu eksakta yang berdasarkan empirisme dalam mengembangkan teknologi -ketika berhadapan dengan ”kegagalan ” ilmu-ilmu human dalam menjawab masalah manusia- membawa dampak buruk terhadap kedudukan dan pengembangan ilmu-ilmu human. Analisis filsafat tentang kenyataan ini harus ditempatkan secara proporsional, karena merupakan suatu usaha ilmiah untuk membantu manusia mengungkap misteri kehidupannya secara utuh. b). Teori Kebenaran Koherensi atau Konsistensi Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan terdiri dari konsep-konsep yang saling berhubungan dari massa, gaya dan kecepatan dalam fisika.
  • 31. 31 Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya. Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh lingkungan. Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi sifat-sifat manusia dan hubungan- hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya. c). Teori Kebenaran Pragmatis Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Manusia dengan segala segi dan kerumitan hidupnya merupakan titik temu berbagai disiplin ilmu. Hidup manusia seutuhnya merupakan objek paling kaya dan paling padat. Ilmu pengetahuan seyogyanya bisa melayani keperluan dan keselamatan manusia. Pertanyaan- pertanyaan manusia mengenai dirinya sendiri, tujuan-tujuannya dan cara-cara
  • 32. 32 pengembangannya ternyata belum dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan yang materialis- pragmatis tanpa referensi kepada nilai-nilai moralitas. d). Teori Kebenaran Performatif Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris. Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran. e). Teori Kebenaran Konsensus Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma
  • 33. 33 ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis. Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori. Pengalihkesetiaan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah. Dalam ilmu astronomi, keunggulan kuantitatif tabel-tabel Rudolphine dan Keppler dibandingkan yang hitungan manual Ptolomeus merupakan faktor utama dalam konversi para astronom kepada Copernicanisme. Dalam fisika modern, teori relativitas umum Einsten mendapat ejekan karena ruang itu tidak mungkin melengkung. Untuk membuat transisi kepada alam semesta Einstein, seluruh konsep ruang, waktu, materi, gaya, dan sebagainya harus diubah dan di reposisi ulang. Hanya orang-orang yang bersama-sama menjalani atau
  • 34. 34 gagal menjalani transformasi akan bisa menemukan dengan tepat apa yang mereka sepakati dan apa yang tidak. 3. Haqqul yaqin Kedua kebenaran di atas`merupakan kebenaran nisbi atau kebenaran relatif. Kebenaran yang ketiga ini merupakan kebenaran dengan level tertinggi dan peringkat teratas. Secara ontologi dan aksiologi, ini adalah kebenaran mutlak sebagai kebenaran religius yang nilainya bersumber dari Allah, sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Kebenaran yang turun dari langit dan dibuat tekstualnya dalam bentuk kitab suci Alquran, didampingi dengan As Sunah yang dibukukan dalam bentuk Hadits. Kebenaran ini bersifat superrasional dan superindividual, objektif, universal, dan berlaku bagi seluruh umat manusia. Haqqul yaqin diperoleh karena paduan hidayah dan taufik melalui kombinasi iman dan ilmu. Alquran sendiri menegaskan sebagai furqon (pembeda) antara yang haq dan yang bathil. Kebenaran dalam Islam Islam adalah satu-satunya agama yang diturunkan dan diridhai Allah SWT untuk umat manusia. “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang- orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya” (Qs. Ali Imran 19). “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (Qs. Ali Imran 85). “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (Qs. Al-Ma`idah 3). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “kebenaran agama secara total” hanya ada pada Islam, sebagai satu-satunya agama Allah. Yang dimaksud dengan “secara total” adalah apabila kita menimbang dan menilai satu agama secara totalitas, bukan secara parsial. Hal ini berarti ¬Islam tidak menafikan “kebenaran parsial” yang terdapat dalam agama-agama lain, terutama dari aspek muamalah dalam pengertian yang lebih luas, yaitu hubungan antara sesama manusia dan hubungan antara manusia dengan alam. Ajaran cinta kasih, tolong
  • 35. 35 menolong, solidaritas, persatuan, keadilan, kejujuran, kebersihan, disiplin, menuntut ilmu, bekerja dengan rajin dan giat, memelihara lingkungan dan lain sebagainya akan kita temukan tidak hanya dalam ajaran Islam semata, tetapi juga pada ajaran agama-agama lain. Dalam aspek muamalah ini Islam bersikap fleksibel, semua yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dapat diterima sebagai sebuah kebenaran. Dalam perspektif seperti itu kita menilai kebenaran yang terdapat dalam berbagai macam agama, bukan dalam pengertian totalitas sebagai agama. [23/12/2012]
  • 36. 36 PAHPI: 3M (membaca, mengaji & mengkaji) Sejatinya agama adalah aturan. Semua agama mempunyai aturan, sehingga para pemeluk agama adalah orang yang harus dan mesti hidup dalam aturan (agama yang dianut). Aturan yang ada di agama berasal dari sumber terpercaya yang diyakini sebagai perintah dan larangan dari Tuhan. Sumber terpercaya inilah yang disebut sebagai Kitab Suci. Jelasnya, orang yang taat dalam agama adalah orang yang hidupnya sangat berdasarkan pada prinsip dan metode ilmiah, karena memegang teguh rujukan yang terpercaya dan referensi yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Artinya, seorang yang menjalankan agamanya dengan benar tidak mensandarkan jawaban atas segala permasalahan dengan pendapat dan opini, tetapi lebih dulu mencari konteksnya dengan bersandarkan pada dalil yang terdapat dalam Kitab Suci. Dalil dalam Kitab Suci bersifat dogmatis dan pasif, statis serta bersih dari kepentingan manusia. Lain halnya, jika jawaban yang keluar dari seorang pemuka agama (guru) lebih dikedepankan pada dasar pendapat dan opini, maka hal ini tidak murni lagi, karena cenderung munculnya hawa nafsu dan mengada-ada, serta tidak menutup kemungkinan masuknya kepentingan pribadi sang tokoh. Anehnya, ketika masuk dalam sebuah komunitas atau organisasi apalagi perusahaan tempat mencari nafkah, manusia sangat patuh dan taat terhadap aturan yang ada, aturan yang dibuat manusia, yakni pimpinan perusahaan atau pemilik perusahaan. Sedangkan aturan Tuhan dalam agama yang dianut (sesuai KTP) diabaikan begitu saja. Bahkan, konyolnya sudah melanggar masih mencibir lagi dengan ucapan:” Kalau Tuhan sih enggak ribut, lain dengan manusia.....” Astaghfirullah. Jika dikatakan ini persoalan belum tebalnya iman yang dimiliki, pasti ukurannya tidak jelas. Kita coba dengan logika yang paling sederhana saja. Kalau kita masuk ke dalam ”sesuatu”, maka konsekuensinya kita harus mentaati semua aturan yang ada di sesuatu itu, kan? Kalau bicara konsekuensi kaitannya dengan tanggung jawab, dan perihal tanggung jawab relevansinya dengan kedewasaan seseorang. Sehingga dalam Islam, orang yang sudah terkena hukum syariat adalah salah satunya sudah dianggap dewasa (aqil baligh). Selain belum akil balig orang yang tidak terkena hukum adalah orang yang tertidur dan tidak waras (gila). Oleh karena itu, jika ada saudara kita yang masih ”muslim KTP”, tidak perlu kita suudzon (buruk sangka). Mungkin beliau belum akil balig, sedang tertidur, atau masih gila. Apalagi beberapa jenis ibadah menyediakan fasilitas rukhshoh (keringanan) yang
  • 37. 37 tentunya dengan alasan-alasan yang syar’i, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menjalankan atau tidak menunaikan ibadah tersebut. Islam membuat aturan & peraturan yang tidak membebankan umatnya. Fenomena di atas kita lihat setiap hari pada saudara kita yang seiman dan seagama. Mengapa demikian? Mereka tidak tahu, belum tahu, atau tidak mau tahu? Pernah penulis tanya pada mereka dan jawabannya belum waktunya. Belum ada panggilan. Atau belum ada hidayah? Kan sudah Islam. Oh ya, beruntungnya kita memperoleh Islam karena keturunan, tidak berjuang keras mendapatkan hidayah layaknya Nabi Ibrahim ketika mencari Tuhan. Namun, kelemahannya ilmu keislaman kita sangat minim dan malas belajar untuk mendapatkan ilmu. Kita lebih suka mendengar daripada membaca. Lebih nyaman menonton hiburan daripada menyimak kajian. Hidup lebih banyak diisi dengan santai ketimbang serius. Kadang kita kalah jauh dengan saudara kita yang Mualaf. Akhirnya, kita berislam tanpa ilmu. Beragama dengan mengikuti cara beragama orang lain. Umat tidak bisa membedakan antara perintah agama dan kebiasaan budaya, antara tradisi dengan syariat, dan antara adat istiadat dengan ibadah. Beribadah mengikuti apa yang orang banyak lakukan, tanpa menyikapi dengan kritis darimana sumber dan dalilnya pelaksanaan ibadah itu sendiri. Seolah kebenaran adalah apa yang dilakukan orang banyak, bukan berdasarkan dalil yang otentik, shahih, rajih, dan valid. Apa ini virus ajaran demokrasi? Kita lebih percaya ucapan sang Ustaz daripada apa yang tertulis dalam Alquran dan As Sunah. Kita telan mentah-mentah apa yang terdapat dalam buku atau kitab tanpa mempertanyakannya apakah sesuai dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut. Pengajian hanya berisikan senda gurau, karena umat lebih suka kalau isinya banyak kelakar yang nara sumbernya Ustaz yang humoris dan pandai melucu. Taklim cukup ’jiping’ (ngaji kuping) saja dengan mendengar tanpa membuka Alquran, Hadits, atau membuat catatan. Informasi masuk ke telinga kanan keluar dari telinga kiri, atau masuk telinga terpantul lagi keluar. Majelis laksana wadah temu kangen saja, melepas kerinduan, sekedar ngeramein, diisi dengan materi ’yang sudah biasa dan umum’, sehingga tanpa target apakah setelah keluar dari ruang taklim itu, akidah semakin kuat, akhlak semakin baik, ibadah semakin rajin, dan atau muamalah semakin bersyariah? Indikator keberhasilan sebuah proses (jika pengajian rutin adalah proses menuntut ilmu) maka terletak pada pribadi-pribadi outputnya. Sementara segelintir umat lebih senang menikmati bentuk pengajian Tabligh Akbar, yang kadang diberi label ”Nada dan Dakwah”, dimana ada ceramah dari Ustaz kondang dan ada hiburan terutama pertunjukan musik. Setelah pertunjukan usai, umat akan bingung ketika kembali ke rumah. Karena ’oleh-oleh’ nya gado-gado antara kepuasan dunia
  • 38. 38 dengan bekal akhirat. Mana yang diingat? apalagi untuk diamalkan. Pengajian rutin dan tabligh akbar sebenarnya saling melengkapi. Ibarat makanan pokok dengan vitaminnya. Tinggal bagaimana memprogram dan mengemas acara keagamaan itu tetap dalam koridor yang islami sesuai syariah. Dengan kondisi umat yang digambarkan di atas, dapat dilihat hasilnya pada tanya jawab umat dengan nara sumber di media elektronik atau cetak tentang masalah agama. Banyak pertanyaan yang seharusnya sudah diketahui, karena sejak SD sudah diberikan materi tersebut. Atau persoalan yang sederhana yang mudah dijumpai pada buku-buku agama yang sifatnya praktis. Belum lagi dengan melihat kondisi di lapangan kehidupan sehari-hari dalam pelaksanaan ibadah mahdhah. Inilah fakta bagaimana kualitas umat ditinjau dari penguasaan ilmu menuju akhirat. Sangat ironis, kalau umat bodoh kuadrat. Bodoh dalam ilmu dunia juga bodoh dalam ilmu akhirat. Semua ini bukan melulu kesalahan umat sendiri, tetapi juga ada peranan para pemuka agama, tokoh agama, ustaz, kyai, da’i, mubaligh, atau mungkin penasihat spiritual. Seyogyanya, jika mengacu pada shirah nabawiyah dan sahabah, maka memaksimalkan penggunaan masjid sebagai sentra ibadah, tarbiyah, dan dakwah adalah keniscayaan. Di masjid ada imam yang merangkap sebagai ustaz (guru agama). Masjid yang semestinya memberi manfaat buat masyarakat sekitar. Namun, umat lebih senang sebatas membangun fisik masjid semata, tanpa membuat program membangun pemberdayaan umat di sekitarnya. Umat lebih bersemangat berlomba-lomba membaguskan dan mempercantik masjid tetapi abai dalam aktivitas kemasjidan. Masjid laksana bangunan indah dan elok yang tak boleh dijamah dan digunakan, hanya sekedar hiasan dan monumen bersejarah. Ramai dengan aksesoris tetapi sepi dengan aktivitas ibadah, karena dibuka hanya pada waktu tertentu dan sering dalam keadaan terkunci pintu ruangnya. Sang ustaz tidak perlu bertakbir akbar keliling nusantara, sementara masjid di tempat tugasnya tidak terurus dan jamaahnya terbengkalai. Sekarang ini ustaz lebih ’aktif’ di organisasi massa, lembaga training, atau partai politik daripada di masjid tempat tinggalnya mengisi taklim. Kurikulum dan program pengajaran Islam juga tidak sistematis. Misal, akidah yang seharusnya menjadi akar pokok tidak ditempatkan di awal. Belum lagi, ada paradigma yang telah berurat dan berakar kalau mempelajari Alquran, Tafsir, dan Hadist harus mengusai ilmu bahasa arab (nahwu dan sharaf) dahulu. Kapan sampainya kalau demikian? Akhirnya, setiap pengajian hanya mentok pada kitab-kitab ulama, tidak mengacu lagi pada Alquran dan As Sunah.
  • 39. 39 Membicarakan keilmuan Islam atau ilmu keislaman sangat banyak. Dimulai dari bahasa Arab, Alquran dan Hadis, Tafsir, sampai Terjemahan. Dari klasifikasi ajaran Islam yang terdiri dari Akidah, Akhlak, Syariah, Ibadah, dan Muamalah sampai hukum (fikih). Belum lagi konteksnya dengan masalah kontemporer dengan segala bidang kehidupan (ideologi, politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya, pendidikan, iptek, dan hankam). Konsekuensi sebagai umat Islam, adalah mempelajari, memahami, mengamalkan, mendakwahkan, dan memperjuangkan Islam. Referensi Islam dimulai dengan perintah membaca, sebagai sarana menuntut ilmu. Dari struktur bahasa Arab, berturut-turut: fi’l madhi, fi’l mudhari, dan fi’l amr: qoro’ah, yaqro’u, iqro’. Artinya: telah membaca, sedang membaca, bacalah! (perintah). Jadi, konsekuensinya sebagai umat Islam mau tidak mau, atau suka tidak suka harus membaca (menuntut ilmu), karena ini adalah perintah. Dan sebagai sarananya adalah madrasah. Madrasah pertama, ada di rumah Arqam bin Abi Arqam, dengan Ustaznya Rasulullah sendiri bersama Assabiqunal awwalun (10 orang yang pertama masuk Islam). Madrasah bisa berbentuk Majelis Taklim. Majelis dari kata: jalasa, yajlisu, ijlis, artinya duduk. Sedangkan taklim, belajar atau menuntut ilmu. Secara guyonan, taklim = dibentak orang alim. Murid yang bandel memang harus sering dibentuk Ustaz berilmu (alim) supaya pinter dan bener. Sehingga majelis taklim adalah tempat menuntut ilmu (belajar) islam sambil duduk. Duduk lesehan dengan lekar sebagai alas Alquran. Mempelajari untuk memahami Islam bagi umat tidak ada istilah terlambat selama hayat dikandung badan, umur masih ada, tubuh masih sehat, kesempatan masih terbuka, dan semangat harus ada. Sebagai pelajaran membaca Alquran dengan tajwid dan makhraj (tahsin), dan mungkin berminat pada kharkat (lagu) dan mempelajari bahasa Arab (nahwu dan sharaf) lebih pas disebut dengan Mengaji. Sedangkan membahas masalah tematik, dengan membuka Alquran, Tafsir, Terjemahan, dan Hadits (terutama yang berderajat Shahih atau Hasan, baik yang Mutawatir atau Ahad), disertai membuat catatan dapat disebut sebagai Mengkaji. Jika mengaji bertujuan mendapat mendalaman keimanan dan pengayaan spiritualitas, maka mengkaji mendapatkan kedalaman ilmu suatu materi dengan landasan Alquran dan As Sunah sehingga dapat menjawab tantangan zaman. Selain mengaji dan mengkaji, aktivitas keilmuan yang paling ringan tetapi sering malas dilakukan adalah membaca. Membaca bertujuan mengetahui pengantar dari gambaran sebuah materi yang perlu dikaji. Seperti membaca abstrak dari sebuah karya ilmiah. Membaca, awalnya dapat mengetahui hal-hal secara meluas tanpa mendalam. Insya Allah, kegemaran membaca akan menuntun untuk mengaji atau mengkaji. Sehingga, pendalaman, pengayaan, pencerahan, dan
  • 40. 40 pencerdasan ilmu keislaman dalam aktivitas yang dapat disebut sebagai akronim: PAHPI (Pengajian Alquran Hadits dan Pengkajian Islam). [23/12/2012]
  • 41. 41 Dunia bukan surga, juga bukan neraka Allah menciptakan makhluk saling berpasangan. Di alam semesta ini, ada siang dan malam. Pada makhluk hidup, ada jantan dan betina. Begitu juga fenomena alam, panas dan hujan silih berganti. Bahkan dalam aktivitas manusia dalam kaitannya dengan tanggung jawabnya kepada Sang Khalik, sebagian bergerak dalam kemaslahatan (amal ma’ruf), tetapi sebagian bergumul dengan kemunkaran. Ada yang menata, ada pula yang merusak. Ada yang membersihkan, ada yang mengotori. Dalam hubungan antar manusia ketika berada dalam kelompok, komunitas, atau organisasi terdapat pemimpin (leader) juga pengikut (follower). Semua berada dalam keseimbangan (equilibrium), yang saling melengkapi.Inilah Sunatullah. Demikian pula dengan romantika kehidupan manusia. Senang dan susah, bahagia dan menderita, suka dan duka, lapang dan sempit, ceria dan galau selalu berganti. Maka ketika orang dalam keadaan yang menyenangkan seolah hidup dalam kenikmatan surga, sebaliknya dalam keadaan menderita seolah hidup dalam kesengsaraan neraka. Sesungguhnya, perasaan, mood, persepsi, emosional, psikis, spiritual masing-masing manusia memiliki kadar dan karakteristiknya sendiri dan tergantung bagaimana menyikapinya. Sikap menempatkannya semua kondisi dan suasana tersebut secara proporsional dengan pedoman ilmu yang dimiliki dan iman yang dipunyai sebagai dasar mencari solusi problematika kehidupan. Kesulitan hidup bukan terus untuk diratapi. Sebaliknya kesenangan dan kenikmatan hidup juga bukan untuk lupa diri. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Kehidupan di dunia ini, bukan di surga yang terus mendapatkan kenikmatan. Juga bukan di neraka, yang terus mendapat kesengsaraan. Selalu dan silih berganti. Bersiklus dan berperiodik. Berulang dan berkala. Maka, ketika keharusan istiqomah dalam berikhtiar, mesti dipagari dan disekat dengan sabar dan syukur. Yang jelas, Allah telah memberikan kehidupan ini, tinggal bagaimana kita mensyukurinya? [31/3/2012]
  • 42. 42 Meng-Islam-kan ”PGEP” atau Meng-”PGEP”kan Islam? Sebagai muslim, kita mempunyai 5 kewajiban terhadap Islam, yakni: iman, ilmu, amal, dakwah, dan jihad. Artinya seorang muslim memiliki kewajiban: beriman terhadap Islam, Memiliki ilmu dalam ber-Islam, Mengamalkan Islam dalam kehidupan, Mendakwahkan Islam ke seluruh umat di dunia ini, dan Memperjuangkan Islam. Mengenai kewajiban yang pertama menyangkut hidayah berupa panggilan ilahiyah dari Sang Maha, meskipun demikian iman bisa turun naik atau lemah kuat. Oleh karena itu untuk memperkuatnya diperlukan proses belajar dengan menuntut ilmu keislaman. Sehingga hidayah yang sesungguhnya merupakan gabungan antara iman dan ilmu dan perpaduan spiritual dan rasional yang dilakukan dengan ikhtiar yang bersungguh-sungguh. Dengan begitu orang muslim harus terus menuntut ilmu hingga liang lahat menungguinya. Sementara untuk kewajiban mengamalkan, mendakwahkan dan memperjuangkan Islam, umat menggunakan metode atau manhaj yang berbeda-beda tergantung pemikiran, pemahaman, dan wawasan yang diperolahnya. Secara garis besar, terbagi menjadi 4 sarana dalam mendakwahkan Islam, yakni pada bidang Pendidikan, Gerakan, Ekonomi, dan Politik, yang penulis singkat PGEP seperti judul di atas. 1. Pendidikan (Tarbawi) Bidang ini merupakan cara yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Madrasah pertama di dunia adalah rumahnya Arqam bin Abi Arqam yang digunakan Rasul untuk mengajar, mendidik, membina, membimbing, dan mendoktrin assabiqunal awwalun (10 orang yang pertama masuk Islam). Pendidikan adalah sarana membentuk Sumber Daya Muslim yang berinsan kamil dan berperan sebagai rahmatan lil alamin. Namun, yang perlu diperhatikan dalam pendidikan adalah figur pendidik, peran pengelola institusi pendidikan, sistem pendidikan (kurikulum) serta peserta didiknya. Faktor utama dan pertama dalam pendidikan adalah pendidik (guru). Kata ’guru’ bisa merupakan singkatan dari kata ’digugu’ dan ’ditiru’. Memang idealnya sang guru semestinya dapat dicontoh dan ditiru. Belakangan ini sangat santer pentingnya pendidikan budi luhur dan karakter bagi peserta didik. Bagaimana mau mendidik karakter peserta didik agar berbudi luhur, kalau pendidiknya sendiri kurang
  • 43. 43 berkarakter dan tidak berbudi luhur? Keteladanan pendidik sangat penting dan vital dalam dunia pendidikan. Karena pendidik tidaklah sama dengan pengajar atau pelatih. Oleh karena itu untuk membentuk peserta didik berbudi luhur dan berkarakter, maka calon pendidik harus dididik lebih dahulu masalah budi luhur dan karakter itu sendiri. Budi luhur dan karakter adalah bagian dari akhlak. Mungkin itulah alasannya, Rasullullah diutus untuk memperbaiki akhlak manusia sejagad raya ini. Selain pendidik, institusi pendidikan yang mengelola sistem kurukulum, proses KBM, menciptakan budaya lingkungan sekolah, dan membuat atmosfer kehidupan insan penuntut ilmu, pengaruhnya cukup bahkan sangat signifikan terhadap output proses pendidikan. Pendidik yang berada di dalam sebuah institusi mau tidak mau harus mengikuti SOP yang berlaku di institusi tersebut. Banyaknya institusi pendidikan yang bermerek islam di satu sisi sangat menggembirakan, sebab usaha (terlepas sosial atau bisnis) tersebut mendukung kegiatan dakwah. Namun, yang harus dikritisi adalah apakah merek hanya menjadi label tanpa menyentuh sampai isi. Merek islam, tetapi tidak menampakan nilai-nilai keislaman. Mungkin pengelolanya yang tidak mengerti pola pendidikan islam atau tidak adanya keinginan menerapkan sistem pendidikan islam yang sebenarnya sudah diketahui. Sebaliknya, tidak menggunakan nama yang islami, tetapi penerapan pola pendidikannya lebih ”islami” daripada yang berlabel islam. Hal ini si pengelola yang kurang percaya diri dengan dengan merek islam. Semoga saja, pilihan yang diambil tidak didasari ketakutan kurang laku, tidak memilki nilai jual, atau kurang diminati pasar. Tidak dimungkiri, pendidikan di negeri muslim terbesar di dunia ini menjadi bahan komoditas dagang dan peluang bisnis yang menggiurkan. Pendidikan yang sejatinya adalah usaha sosial, nyatanya menjadi usaha ekonomi (lembaga bisnis). Ironis, tidak ya? Nah, bagaimana kaitannya dengan dakwah? Bidang ini insya Allah masih lebih memiliki idealisme dibanding bidang lainnya. Dakwah bisa dilakukan lewat pendidikan, dan sebaliknya pendidikan dapat menjadi sarana dakwah. [9/1/2014] 2. Gerakan (Haraqi) Munculnya sebuah gerakan diawali dengan adanya tokoh panutan yang mempunyai pengikut setia, patuh, dan loyal. Sang pendiri kadang tidak menginginkan pengaruhnya di-taklid-kan sedemikian rupa oleh pengikutnya. Bahkan bisa saja sang pendiri tidak mendeklarasikan bahwa dia pendiri sebuah mazhab, misalnya. Karena ilmu yang dimilikinyalah murid-
  • 44. 44 muridnya menjadi fanatik buta, meskipun beliau (sang imam) sudah mewanti-wanti untuk tidak mengikuti ajarannya jika memang ada kebenaran yang terungkap kelak. Artinya jika ada kebenaran yang didasari dalil yang shahih dan rajih melebihi ajarannya, maka tinggalkan ajarannya tersebut. Namun, apalah artinya bagi pengikut fanatik yang sudah tertutup mata hati dan terbelenggu otaknya. Boro-boro mau bersikap kritis, mencari bahan referensi di luar kitab gurunya saja dikatakan sebagai penyimpangan sebagai pengikut setia dan pendukung guru. Islam memang memiliki referensi utama, yakni Al Qur’an dan As Sunah. Namun, dalam memahami keduanya seharusnya menurut pemahaman para shalafus shalih atau para ketiga generasi terbaik yang pernah ada di muka bumi ini. Yang terjadi sekarang, adalah pemahaman berdasarkan otaknya, hawa nafsu, dan isme-isme yang diluar islam dijadikan rujukan dalam penafsiran kedua nash tersebut. Kalau di dalam Al Qur’an ada ayat-ayat Muhkamat (tersurat, jelas dan terang artinya) dan ayat-ayat Mutasyabihat (tersirat, butuh penafsiran maknanya) memang demikian. Akan tetapi, saking pintarnya tokoh agama membuat pernyataan, bahwa ayat Al Qur’an terbagi dalam ayat-ayat tekstual dan kontekstual. Jika Al Qur’an saja berani ditafsirkan seenaknya saja sesuai isi perut dan tidak didasari oleh ilmu penunjang dalam penafsiran, apalah artinya dengan Hadist yang memiliki tingkatan/derajat. Makanya lebih tepat sumber referensi kedua umat adalah As Sunnah. Yakni, jika diambil dari hadist adalah yang derajatnya shahih. Oh ya, apa hubungannya antara gerakan dakwah dengan penafsiran atau pemahaman kedua sumber ajaran islam tersebut? Adanya tokoh yang bisa disebut guru, ustaz, kyai, murabbi, mualim, habib, dan sejenisnya, yang memberikan pelajaran agama dengan pemahaman dan metode mendakwahkan islam, yang akan melahirkan gerakan dakwah. Gerakan dakwah dapat saja dipicu oleh sistem pengkaderan yang sistematis dari metode dakwah atau metode pembelajarannya. Bisa juga dengan diterbitkannya buku atau kitab dari sang guru yang menjadi bacaan wajib para santrinya. Dan yang lebih modern adalah merumuskannya gerakan dakwah dalam sebuah organisasi. Dimulai masih agak malu-malu dengan label yayasan. Sedikit percaya diri menjadi organisasi sosial. Mulai ujub dan sedikit merasa megalomania bermetamorfosis menjadi organisasi massa. Dengan dalih ”islam rahmatan lil alamin” yang memayungi semua aliran dan paham baik yang lurus maupun yang sesat serta mengadopsi ”saudara satu
  • 45. 45 kakek dari Nabi Ibrahim” (sebut saja: Yahudi dan Nasrani) naik ke panggung politik di pentas nasional. Adalah satu hal yang tidak bisa dimungkiri, bahwa di dalam kelompok baik itu organisasi nonformal, informal, apalagi formal ada ideologi dan dogma. Ideologi dapat berasal dari sang pendiri atau ajaran tokoh yang diagungkan. Petinggi organisasi setiap periode bisa menjadi ideolog turunanya. Indoktrinasi aliran dan paham organisasi mengalir lewat proses kaderisasi. Gerakan dakwah menjadi alat dakwah akan berada di jalur kebenaran kalau dilakukan dengan mencontoh cara berdakwah Rasul dan Sahabat. Gerakan tetaplah gerakan yang tidak berubah dari alat menjadi tujuan. Yang nampak menjadi fenomena, adalah gerakan (lebih tepat organisasi) nya lebih ditonjolkan daripada keislmanannya. Ajaran Islam menjadi subordinat organisasi (dakwah). Kalau begini, selain Islam ada apa dengan gerakan dakwah? [10/1/2014] 3. Ekonomi (Iqtishadi) Masalah kewajiban dakwah dengan mencari nafkah adalah persoalan yang tidak pernah tuntas untuk ditelaah. Disamping banyaknya pendapat juga menyangkut hati nurani pelaku dakwah dan praktisi (profesi da’i). Mohon maaf, kalau ada yang tidak setuju kalau penulis menyebut profesi. Meskipun dakwah adalah kewajiban setiap muslim, tetapi kenyataanya hanya orang-orang tertentu saja menekuni pekerjaan ini (profesi, sekali lagi mohon maaf). Penulis membagi tipe muslim dengan profesi dan sebagai da’i, yaitu: a. Muslim yang hanya menekuni profesi pekerjaannya saja, tanpa berperan dalam dakwah. b. Muslim yang pekerjaannya berprofesi sebagai da’i (pendakwah) dan tidak memiliki pekerjaan lainnya. c. Muslim yang memiliki profesi pekerjaan, dan menyempatkan diri untuk berdakwah sebagai penghasilan tambahan. d. Muslim yang memiliki profesi pekerjaan, dan menyambilkan diri untuk berdakwah tanpa mau menerima bayaran hasil dakwahnya. Penulis ingat dalam sebuah training, seorang presenter pernah menyampaikan bahwa dalam urusan membuat sistem, Yahudi jagonya. Sedangkan dalam dalam hal administrasi, Katolik paling jumawa. Kalau begitu, Islam bidang apanya ya?
  • 46. 46 Selang sekitar 10 tahun kemudian, seorang Katolik berbincang dengan penulis bahwa dia pernah mendaftarkan nama baptisnya di sebuah gereja di Jawa Tengah tahun 1970-an. Ketika dia pindah ke Jakarta, dan beribadah di sebuah gereja. Alangkah tekejutnya, setelah tahu bahwa nama baptisnya sudah ada di gereja itu. Dia cerita pada penulis, rasa kagumnya tentang sistem administrasi gereja, walaupun alat komunikasi dan media informasi saat itu masih terbatas. Lain lagi, seorang teman kerja memiliki sepupu seorang pastur. Si pastur pernah cerita kepada teman penulis, bahwa dirinya seperti kyai kondang (dia menyebut nama) kalau di muslim. Kerjaannya mengunjungi dari satu komunitas umat ke komunitas umat lainnya, dan dari satu daerah ke daerah di Indonesia. Namun, bedanya dengan ”kyai itu”, kalau dia mendapat bayaran dari umat, si pastur mendapat bayaran dari gereja. Seluruh hidupnya hanya berdakwah dan tidak perlu memikirkan sumber nafkah untuk keluarga, karena ditanggung gereja. Sekiranya, masjid dengan Pengurus DKM-nya memiliki program dan anggaran untuk da’i, insya Allah tidak ada ustaz yang merangkap menjadi artis, selebriti, pelawak, politisi, pebisnis, paranormal, dan profesi lainnya hanya untuk sekedar menambah isi pendaringan dan upaya dapur istri tetap ngebul. Semoga saja dengan kehadiran BAZ dan LAZ, problem nasib da’i dapat diperhatikan. Sekarang ini Islam sedang menjadi sumber mata pencarian dan nafkah. Gencarnya pencanangan ekonomi syariah lebih khusus bisnis syariah, yang perlu dicermati adalah mengislamkan bisnis atau membisniskan islam. Kalau memang mau mengislamkan bisnis, maka contohlah Rasulullah dalam berbisnis. Jika hanya membisniskan islam, tunggulah kehancurannya. Merek dan label islam dijadikan produk dagangan, bahan promosi, alat jualan, dan materi marketing. Yang lebih keren adalah, dakwah di kemas dalam bentuk nyanyian/lagu (religi), puisi, cerpen/novel, dan sinetron. Pertunjukan musik berpadu dengan dakwah, maka jadilah Nada dan Dakwah. Materi dakwah disesuaikan dengan kemauan pemilik media, pesan sponsor, dan pemasang iklan. Penulis ingat ketika seorang ustaz bekerja sama dengan sebuah production house (PH) untuk membuat ’sinetron islami’ dengan menampilkan para pemeran suami istri
  • 47. 47 adalah pasangan suami istri yang sesungguhnya. Tapi apa yang terjadi kemudian. Idealisme dicampakan. Komitmen dilupakan. Semua diatur oleh siapa yang memegang uang. Nyatanya, pesan dakwah selalu dikalahkan oleh faktor ekonomi. Berdakwah tak gentar membela yang bayar. Seharusnya para pegiat dakwah yang menyambi sebagai pengelola sumber ekonomi atau masih merasa selalu kurang dengan materi kekayaan, mengingat pesan Khalifah Umar bin Khattab. Yaitu:”Meletakan harta dalam genggaman tangan, dan jangan memasukkannya ke dalam hati”. [10/1/2014] 4. Politik (Siyasi) Ketika bicara politik dalam Islam ada yang tabu dan ada juga yang blak-blakan. Kapan dimulai politik dalam Islam tidak ada sumber yang bisa dijadikan rujukan. Mungkinkah Rasul seorang politisi? Jangankan menetapkan Rasul sebagai seorang politisi, sebagai seorang negarawan saja masih ada yang tidak sependapat. Kapan ada negara saat itu? Dan apa nama negaranya? Kalaulah pendeklarasian Piagam Madinah menyebut Madinah sebagai negara kota, dan kini civil society (diterjemahkan menjadi Masyarakat Madani) dimana batas- batas negaranya? Bukankah rasul hanya seorang Nabi (pemimpin agama)? (titik !) Memang, ada yang mengkaitkan peristiwa pengangakatan Abu Bakar Ash Shiddiq sudah terjadi proses politik. Lobi-lobi antara yang mendukung Ali bi Abi Thalib sebagai ahlul baith (keluarga Nabi) dan yang bukan. Antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Tapi, entahlah kebenarananya. Walallahu a’lam. Mengenai negara khilafah saja juga ada terjadi perbedaan pendapat. Apakah khilafah dimulai saat Khulafaur Rasyidin memimpin umat? Ataukah setelah berkuasanya Dinasti Umayyah atau Abbasiyah? Atau Khilafah hanya distempelkan pada Dinasti Turki Usmani? Politik erat kaitannya dengan kepemimpinan sebuah negara. Politik juga beririsan dengan kekuasaan. Sistem politik yang ada otokrasi dan demokrasi. Umat kehilangan pegangan dalam menentukan sistem politik. Sebagian mengidealkan kembali ke sistem khilafah. Mungkin bermimpi seperti di Katolik ada negara khusus agama (Vatikan) dengan Paus-nya yang menjadi tokoh sentral Katolik sedunia. Jika di Islam, siapa tokoh dan negara mana yang bisa dipercaya seperti itu dan diterima semua pihak sesama umat? Sebagian lagi mengadopsi ajaran demokrasi, dengan mengaduk nilai-nilai keislaman menjadi gado-gado diuleg bersama-sama dengan paham domokrasi ala Barat. Sebagian hanya