SlideShare a Scribd company logo
1 of 80
Download to read offline
1
Kiki Alhadiida
KEPEMIMPINAN
dan
ORGANISASI
2
Posisi Pemimpin: di depan, di tengah, dan di belakang {3-4}
Pemimpin Cabutan {5-7}
Rakyat dan Wakilnya {8}
Pandangan Hidup, Pegangan Hidup, dan Perjuangan Hidup {9-11}
Siapa Gue, Siapa Loe, dan Siapa Aja? {12-14}
Ruang dan Waktu {15}
Pilihan dan Kesempatan {16}
GADGET dan BUDGET {17-21}
POLITISI = Poligami 3 “istri” ? {22-23}
Warna dalam Pesta Demokrasi {24}
GOLCOK, GOLPUT, dan GOLTUS {25-26}
Gaya Sentripetal vs Gaya Sentrifugal (dalam organisasi) {27-29}
Pedagang yang Politikus atau Politikus yang Pedagang?
(Bukan Pengusaha vs Penguasa !) {30-31}
Upah dan Honor {32}
Upah Minimum? {33}
Pendidikan ”Kemaluan” dan Budaya Malu {34-36}
“Curhat” {37}
2 tipe Karyawan {38}
“Jaim” {39}
Pemimpin yang “curhat” vs Selebriti yang “jaim” {40}
K ~ U atau K ~ 1/U {41-43}
Silaturahim, dari high touch ke high tech {44-45}
3 Pandangan Orang tentang sebuah Pesta {46-47}
Pemain (Praktisi) dan Penonton (Pengamat) {48-49}
Posisi dan Kecepatan {50-51}
Menyimpangkan sistem {52}
Cari Muka dan Cari Nama {53-54}
Inkosistensi dalam Berhitung {55-56}
Modus, Modul, Mokat, dan Monek {57-58}
Menjadi “biasa” atau “luar biasa” {59}
Mungkinkah ada kesuksesan di multi bidang? {60-62}
Positive thinking, Zero mind, dan Negative thinking {63-67}
Iklan Rokok dan Kampanye Politik {68-71}
Kehidupan adalah panggung sandiwara sejati {72}
KARAKTER & KONTRIBUSI {73-74}
Berjiwa sosial ≠ “Berilmu sosial”? {75-76}
So(k)sial {77-78}
Alangkah lucunya negeri ini……………… {79-80}
3
Posisi Pemimpin: di depan, di tengah, dan di belakang
Menurut penulis, guru SD merupakan ‘super guru’, karena selain tugas mengajar mereka juga
lebih menjadi pendidik, dan disamping itu mereka mengajarkan banyak pelajaran sekaligus
memegang wali kelas yang bersangkutan. Sebagai ‘guru luar biasa’ guru SD dari kelas I
sampai kelas VI yang penulis alami dan rasakan bagaimana mereka mengajar dan mendidik
begitu tulus. Mereka bukan ‘guru biasa di luar’ yang menyambi dengan profesi lain atau
mengajar di sekolah lain. Saking kagumnya penulis dengan guru-guru SD penulis, hingga
kini penulis masih ingat nama-nama mereka semua. Keenamnya memang memiliki metode
yang berbeda dalam mengajar dan mendidik, tetapi ada satu hal yang semuanya mereka
miliki bersama yakni semangat pengabdian pada profesi yang luar biasa.
Salah satu kesan penulis terhadap guru SD adalah dengan seorang guru kelas VI yang
mengajarkan kepada penulis ketika masih duduk di kelas itu. Beliau mengajarkan tentang
prinsip pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantoro. Penulis sampai hari ini masih
mengingatnya, yakni: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri
Handayani. Ketika itu guru penulis memaparkan artinya (kalau tidak salah): Di depan
memberi contoh, Di tengah memberi semangat, dan Di belakang memberi dorongan. Mohon
dimaklumi kalau artinya kurang atau tidak tepat, karena penulis bukan orang jawa yang juga
tidak mengerti bahasa jawa.
Ternyata, ajaran itu tepat kalau diterapkan pada masalah kepemimpinan. Seorang pemimpin
selayaknya bisa menempatkan diri di depan, di tengah, dan juga di belakang. Pemimpin tidak
harus menampilkan diri terus di muka pengikutnya, terkadang harus berada di tengah
memberi semangat dan mendorong dari belakang supaya pengikutnya dapat maju. Di sinilah
bedanya antara ‘pemimpin’ dan ‘manajer’ dimana seorang manajer selalu dan mesti ada di
depan atau di atas. Karena perannya bersifat formal dan bertidak selalu sesuai aturan dan
peraturan serta menjadikan target sebagai alat paksa untuk mengaktualisasi peran.
Penempatan posisi di depan, di tengah, dan di belakang dapat juga bermakna dengan suatu
pencapaian. Sebagai aktivis sebuah organisasi, bisa saja ketika merintis karir dimulai dari
belakang menjadi anggota, kemudian masuk ke tengah menjadi kepala bidang, dan akhirnya
sampai di depan berada dalam lingkaran badan pengurus harian. Atau merambat melaju
4
semula dari anggota, pengurus cabang, pengurus wilayah, pengurus daerah sampai bercokol
di pengurus pusat.
Posisi tersebut juga dapat berkonotasi sesuai rentang waktu, sehingga dapat dibuat menjadi
kronologi sebagai berikut:
a. Rentang usia 13-20 tahun adalah masa belajar menjadi Aktivis, dan masih berada dalam
aktivis sekolahan.
b. Rentang usia 20-40 tahun adalah masa menjadi Aktivis sesungguhnya (dalam sebuah
organisasi)
c. Rentang usia 40-60 tahun adalah masa menjadi Pemimpin sebuah Organisasai atau
Aktivis dalam banyak Organisasi dan Komunitas.
d. Rentang usia 60-80 tahun adalah masa untuk menjadi Pembina, Pembimbing, atau
Penasehat Fungsionaris organisasi dan tidak lagi berada dalam jajaran manajemen
organisasi serta tidak mempunyai hak untuk mencampuri kebijakan Fungsionaris.
Dalam sebuah organisasi sejatinya ada kaderisasi dan regenerasi, sehingga setiap orang bisa
tampil:
a. di depan (sering berada di muka publik dengan aktivitas berselebritas dan menjadi aktivis
yang sedang naik daun serta sebagai pemeran utama atau tokoh sentral),
b. di tengah (menyiapkan tokoh yang diusung dan memberi kesempatan kader untuk
berkembang serta sebagai pemeran figuran/pembantu), dan
c. di belakang (merasa tahu diri untuk tidak melulu di tengah apalagi di depan dan berlapang
dada mempersilakan kader untuk maju membesarkan organisasi serta berperan layaknya
penulis skenario dan sutradara lepas).
Menurut Andreas Harefa dalam “Menjadi Manusia Pembelajar”, manusia matahari terdiri
dari dengan level yang meningkat dimulai dari manusia pekerja, lalu manusia pemimpin,
yang kemudian manusia guru.
Anda sendiri sudah berada di level manusia jenis manakah?
[31/3/2014]
5
Pemimpin Cabutan
Istilah “cabutan” bermula dari sepak bola kampung, dimana suatu kesebelasan mengambil
(mencabut) pemain dari klub yang lain. Pemain ini dibayar untuk mendukung kesebelasan
yang membayarnya. Jika bayaran terlalu tinggi, bisa saja dibayar dengan kambing, sehingga
muncul istilah “tarkam”, yakni tarik kambing. Tarkam ini juga menjadi semacam piala atau
tropi yang diperebutkan oleh kesebelasan yang bertanding. Ternyata, jual beli pemain hingga
ini terus berlangsung, bahkan dengan nilai transaksi yang sangat besar. Di satu sisi, terlihat
bahwa suatu klub tidak mampu mencetak pemain unggul, karena ketidakberdayaan dalam
kaderisasi atau regenerasi. Atau memang sengaja memberi peluang dengan mempersilakan
pemain asing masuk klub, sebagai faktor pemicu dan pemacu klub meningkatkan kinerjanya
dalam mencapai juara dalam kompetisi, karena sepak bola sudah menjadi ladang bisnis dan
industri olah raga yang harus diperhitungkan nilai profitnya bagi pengelola dan pemilik klub.
Di sisi lain, dengan adanya “jual kaki” tersebut akan menguntungkan bagi pemain untuk
memasang harga kakinya, dan hal ini menjadikan mereka sebagai profesional dengan nilai
bayaran tinggi.
Nah, bagaimana dengan organisasi lainnya seperti organisasi bisnis dan organisasi publik.
Untuk oganisasi bisnis, jelas bahwa seorang direktur atau manajer bisa tidak selamanya
duduk di kursi empuk, karena pemilik akan terus memantau prestasinya dalam meningkatkan
kemajuan perusahaan. Sementara organisasi publik, seperti pemerintahan (negara), propinsi,
kabupaten dan kotamadya, melalui sistem demokrasi dalam mencari pemimpin atau
pengelola organisasi tersebut. Dengan melalui sistem pemilihan langsung, maka sebagai
elemen demokrasi partai politik menjadi sumber tempat lahirnya pemimpin publik. Walaupun
begitu, bakal calon pemimpin juga ada yang tidak berasal dari partai politik (calon
independen), mereka dapat berasal dari kalangan birokrat, LSM, atau profesional.
Ironisnya, partai politik di Indonesia masih belum dewasa dalam membangun demokrasi.
Generasi tua masih tetap bercokol di atas dan syahwat untuk berkuasa masih bertahan di
ubun-ubunnya. Akhirnya, terjadi abai dalam kaderisasi karena generasi mudanya tidak diberi
kesempatan oleh sistem yang ada. Nampak terlihat, seorang ketua umum menjabat sampai
berperiode-periode seolah tidak ada yang patut dan pantas untuk menempati kursi
singgasananya. Atau, seorang sekretaris umum yang terus menjabat walaupun sudah
6
berganti-ganti pimpinannya. Belum lagi, ketakutan dengan perpecahan organisasi
dilakukanlah proses pemilihan dengan cara lobi atau negosiasi yang prosesnya didominasi
sang pendiri. Atau ketergantungan yang berlebihan organisasi pada seseorang, sehingga si
pendiri seolah menjadi pemilik organisasi tersebut layaknya rumah tangganya sendiri,
sedangkan anggota lainnya seumpama pembantunya saja yang gampang ditendang atau
mudah didepak jika terlalu kritis terhadap kebijakannya. Juga, terdapat pengurus partai hanya
menjalankan hal-hal teknis dan menjadi sekedar wayang saja, sedangkan konsep sepenuhnya
diurus oleh dewan pembina, dewan penasehat, atau dewan pertimbangan yang berperan
menjadi dalang. Tidak membakukan sistem pemilihan juga menjadi ciri khas organisasi atau
selalu membuat sistem yang mudah dicari celahnya terutama menjelang proses suksesi.
Akhirnya, yang ada adalah ketidakpuasan sehingga muncul sifat kenakan-kanakannya dengan
tidak dapat menerima keputusan forum. Ujung-ujungnya, membuat organisasi tandingan,
berupa partai baru. Tidak rela orang lain berkuasa, harus dirinya yang maju. Tidak bisa
menerima saudaranya sendiri menjabat, semestinya dirinya yang lebih pantas. Demikian,
yang terjadi dalam perebutan kekuasaan di pentas negeri ini, yang miniaturnya dapat disimak
dalam panggung rumahnya di partai politik.
Tidak adanya kaderiasai akan berakibat pada jangka panjangnya berupa hilangnya regenerasi
atau terputusnya mata rantai sistem organisasi. Sikap mental menjadi pemimpin yang abai
dalam pengabdian, tidak memiliki visi, tidak bisa menjadi “uswatun hasanah”, tidak ada niat
membangun organisasi, akan memperparah kerusakan mental dan dekadensi karakter “anak
bangsa” serta melanggengkan kultur warisan jaman penjajahan.
Mengapa kita tidak belajar dari orang di negeri lain? Sengitnya dalam kampanye tidak
menyisakan dendam yang berkepanjangan. Mereka mengamalkan, jangan tanya apa yang
dapat negara berikan kepadamu, tetapi tanyalah apa yang dapat kau berikan buat negara ini.
Usai masa saling tohok dalam kampanye, saling serang dalam memperebutkan pengaruh,
diakhiri dengan kesediaan bekerja sama membangun pemerintahan yang baru. Sikap lapang
dada ditunjukan dengan mau dipimpin oleh seorang yang pada masa lalu dikategori berada
pada kelas lebih rendah dari strata dirinya. Sebuah contoh yang luar biasa!
Dengan masih terbelenggunya sikap dan karakter sebagian besar anak bangsa negeri ini
dalam memanfaatkan kesempatan membangun negara ini, maka akan membutuhkan waktu
puluhan atau mungkin ratusan tahun lagi untuk menjadi dewasa dalam berdemokrasi, seperti
yang diperlihatkan di negara maju. Akankah pendidikan menjadi jalan tol untuk
7
mempersingkat waktu tersebut? Ataukah, sistem pencarian pimpinan yang harus diubah?
Sulitnya mencari seorang pemimpin dari 240 juta jiwa, bukan karena bakal calonnya yang
tidak ada, tetapi keinginan setiap kelompok (organisasi) untuk menempatkan “orangnya”
yang menimbulkan perseteruan. Persaingan tidak saja pada tokoh individu sebagai figur,
tetapi juga kompetisi antar organisasi pendukung atau partai penyokong yang sarat
kepentingan politis dan ekonomis.
Semoga saja, kesulitan ini tidak menimbulkan hal-hal yang dapat terjadi, seperti di bawah ini:
1. Presiden berasal dari orang impor merk negeri entah berantah.
2. Gubernur outsourching.
3. Bupati kontrak.
4. Walikota titipan.
Masa sih, pemimpin kita dicari dengan mekanisme mencabut? Repot dah, kalau yang jadi
Pemimpin Cabutan.
[29/9/2012]
8
Rakyat dan Wakilnya
Maraknya luapan kebebasan dan euphoria demokratisasi di negara ini membuat orang bukan
saja berani unjuk rasa tetapi juga unjuk gigi. Kalau dulu ketika ditawari malu-malu tetapi
mau, sekarang belum ditawari sudah unjuk mau. Walau kadang tanpa kompetensi dan
kapasitas, yang penting mau, malu sudah tak punya. Hal yang menarik dari setiap
kepemimpinan baik pusat maupun daerah, adalah sang wakil berkeinginan menduduki kursi
yang diwakilinya. Wakil Presiden ingin jadi Presiden, Wakil Gubernur ingin menjadi
Gubernur, Wakil Bupati ingin menjadi Bupati, dan Wakil Walikota ingin menjadi Walikota.
Sedangkan Wakil Rakyat tidak ingin menjadi Rakyat. Mengapa? Sementara kalau dikatakan
rakyat sudah kaya, wakil rakyat sudah mewakilinya. Kalau rakyat sudah makmur, sudah
diwakilinya. Demikian pula, jika dianggap rakyat sudah sejahtera, kan sudah diwakili
kesejahteraannya oleh sang wakil rakyat. Kalau begitu, ada yang salah? Rakyat sendiri yang
sudah memilih wakilnya, maka harus mau “diwakili” apapun yang dimilikinya, terutama
segala urusan yang menguntungkan dan menyenangkan.
[17/3/2012]
9
Pandangan Hidup, Pegangan Hidup, dan Perjuangan Hidup
Berbicara dan membincangkan hidup adalah persoalan yang rumit, luas, tak bertepi juga tak
berujung, apalagi kehidupan ini sendiri. Sederhananya, ya hidup ini disyukuri saja sebagai
sebuah anugrah Allah sekaligus hadiah dan titipan-Nya kepada kita untuk berperan baik
sebagai hamba maupun khalifah. Sementara kehidupan, adalah bagaimana manusia itu sendiri
menjalani hidup itu sendiri dan hal ini harus diperjuangkan. Bukankah nasib suatu kaum
ditentukan oleh kaum itu sendiri? Proporsionalitas antara do’a dan ikhtiar, adalah santapan
setiap saat bagi makhluk spiritualis, sebagai bagian sisi dan karakteristik sosok manusia.
Sebagai urutan kronologis masa pertumbuhan manusia yang dimulai dari masa kanak-kanak,
remaja, dewasa, dan masa tua, maka cara memandang hidup dan problematikanyapun juga
demikain seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan si manusia tersebut. Sebut saja,
ketika masa kanak-kanak dan remaja, idealisme, khayalan, angan-angan, mimpi, dan cita-cita
semua berada di atas ketinggian langit dan bahkan bisa saja berada di alam bawah sadar.
Keterbatasan informasi tentang sesuatu (pengetahuan dan ilmu), ketersekatan atas wawasan,
dan keterbelengguan dari tradisi dan budaya terbelakang dari keluarga dan daerah menjadi
alasan mendasar tidak lengkap dan utuhnya memandang hidup ini. Di usia muda ini, hidup
hanya dijadikan sebagai pandangan saja. Lingkungan yang sebatas rumah (keluarga),
sekolah, dan pergaulan main juga ikut mereduksi dan penyederhanakan hidup dan arti
kehidupan sehingga mereka belum mengetahui bahwa masih ada kehidupan lain di luar
tembok-tembok itu. Makanya, sangat tepat jika seorang yang baru selesai menamatkan
pendidikannya (terutama setingkat sarjana) dikatakan bahwa saat ini bukan akhir dari
perjuangan kalian, tetapi awal dari kehidupan kalian dan bermulanya melihat hidup yang
sesungguhnya.
Masa dewasa dikonotasikan sebagai masa yang stabil secara emosional, pertimbangan
rasional lebih dikedepankan ketika melihat persoalan, dan mampu menyeimbangkan antara
idealita dan realita, serta sikap yang lebih arif dan bijak memandang permasalahan. Sikap
dewasa juga merupakan produk ideal dari sebuah pendidikan, yang intinya dapat bertanggung
jawab, mampu berdiri sendiri, serta dapat membedakan yang benar-salah, baik-buruk, dan
bagus-jelek. Sikap dewasa bukan saja secara individual tetapi juga secara sosial dan spiritual,
10
tidak hanya secara perseorangan tetapi juga dalam kelompok dan organisasi, juga tidak
sebatas dalam satu komunitas melainkan ketika berhadapan dengan komunitas lain yang
berbeda. Ujian kedewasaan adalah, ketika kita mampu menerima perbedaan orang lain.
Insya Allah, dengan ”kedewasaan” inilah maka masa dewasa sebagai masa yang siap dan
mampu memegang kehidupannya. Dari sikap ini tumbuh dan berkembang pengetahuan,
keilmuan, keterampilan, dan keahlian seseorang yang menjadi pegangan hidup serta modal
menjalankan kehidupannya.
Kehidupan dimulai dari usia empat puluh, adalah sebuah ungkapan yang tidak berlebihan.
Walaupun di umur ini setiap manusia mulai melangkah memasuki usia senja, tetapi buat
sebagian orang justru di rentang masa ini telah memasuki kemapanan dalam hidup. Bahkan
ada yang baru memulai berkarya atau memutar perencanaan, beralih profesi, dan menentukan
arah kehidupan yang berbeda dengan periode sebelumnya. Disamping tentunya, juga ada
yang telah menorehkan sejumlah prestasi atas kerja kerasnya di usia mudanya dan kini
tinggal menikmati hasilnya. Di usia tua boleh jadi pensiun dari kepegawaian, tetapi bukan
berarti pensiun dari aktivitas hidup. Kehidupan masih terus berlangsung selama detakan
jantung dan hembusan napas tetap setia. Salah satu sikap dewasa yang bisa diambil ketika
berada di usia tua, adalah sikap bijak. Bijak dalam skala aktivitas hidup sehari-hari yang tidak
banyak lagi mengutamakan beban fisik. Bijak memberi kesempatan dan mengalihkan kepada
generasi berikut supaya mereka dapat berkembang. Bijak menghindari kemudharatan jika
berada dalam lingkungan tertentu dan lebih memilih mundur atau berada di luar sistem demi
kemaslahatan diri dan umat yang lebih besar. Bijak mencari titik kompromi daripada
mempertahankan ego untuk hal-hal yang tidak prinsip dan mendasar. Bijak menentukan arah
dan orientasi hidup yakni antara kebutuhan dunia dengan tujuan akhirat. Membuka kembali
memori masa kecil, jika punya cita-cita ingin masuk surga, maka kesempatan menghitung
kuantitas dan kapasitas amal perbuatan baik dan perbuatan tidak baiknya, yang selanjutnya
mengejar ketertinggalan selama ini mana perintah agama yang belum dilaksanakan.
Jika dalam urusan dunia kita membuat perencanaan, melakukannya dengan ilmu manajemen,
dan mengelolanya dengan mengorganisasi sumber daya sedemikan rupa, apatah berlebihan
untuk urusan akhirat kita juga berbuat demikian? Bukankah perjalanan yang panjang dan jauh
membutuhkan persiapan yang matang dan bekal yang cukup dibanding dengan perjalanan
yang lebih pendek dan dekat? Hal inilah, yang dimaksudkan bahwa di usia tua hidup harus
didesain dan diperjuangkan juga. Perjuangan hidup di masa tua, adalah pengorbanan
11
mengurangi aktivitas dunia yang tidak bernilai ibadah karena niat dan visi awalnya yang
tidak mardhatillah (mencari keridhaan Allah). Sebaliknya, pengorbanan waktu, pikiran,
tenaga, uang, dan nyawa (bila perlu, kelihatannya kita masih pikir-pikir kalau pengorbanan
yang satu ini dan harus diakui ketaatan kita tidak sekaliber para nabi dan rasul) dalam
meningkatkan kualitas ibadah mahdhoh sesuai Al Qur’an dan As-Sunnah serta
memperbanyak kuantitas muamalah dan aktivitas hidup yang berbobot dan bernilai ibadah.
Sosok Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail adalah contoh keteladanan sebuah keluarga
dalam berjuang hidup di dunia dan ikhtiar menggapai akhirat. Perjuangan hidup Nabi Ibrahim
di usia 70 tahun lebih saat itu hendaknya menjadi inspirasi dan motivasi buat kita, sehingga
pantaslah beliau mendapat gelar ”khalilullah” (kekasih Allah). Inginkah kita disematkan
gelar ini juga?
Sebuah gelar yang diperoleh sebagai jebolan dari ”universitas akhirat”, yang kuliahnya di
dunia dengan ujian sidang sarjananya diperingati sampai hari ini sebagai hari raya kurban,
Idul Adha.
[11/11/2012]
12
Siapa Gue, Siapa Loe, dan Siapa Aja?
Berteman pada setiap orang tidak sama. Ada kalanya seseorang memilih teman karena
beberapa kesamaan. Ada yang mengutamakan pertemanan berdasarkan kesamaan hobi,
kesukaaan, atau kesenangan semata. Atau bisa juga karena memiliki tokoh idola yang sama.
Pemilihan pertemanan juga akan berubah seiring dengan bertambahnya usia. Hal yang sama
terjadi juga dalam menentukan cita-cita. Kalau masih anak-anak (waktu sekolah SD) akan
memiklik cita-cita yang sangat ideal seperti seorang tokoh yang dikagumi. Ketika menginjak
remaja awal (sekolah di SMP) akan berubah dengan bertambahnya pengetahuan. Demikian
pula sampai duduk di bangku SMA, akan semakin realistis untuk menentukan cita-cita hidup
nantinya. Di perguruan tinggi akan lebih realistis lagi apa yang akan dikejar dengan cita-cita
tersebut.
Nah, demikian juga dalam menentukan teman, kawan, sejawat dan sahabat. Seiring
bertambahnya usia dan pengalaman hidup, maka pemilihan temanpun berbeda dengan ketika
masa kanak-kanak dahulu. Seseorang bisa saja ketika akan menerima orang lain masuk dalam
pertemanannya atau masuk dalam kehidupannya, akan menempatkan dirinya setinggi
mungkin. Dengan percaya dirinya, dia akan menganggap dirinya memiliki kelas tersendiri.
Siapa Gue, sebuah sifat keakuan yang ditampilkan secara berlebihan. Memandang bahwa
strata kehidupan ini perlu ditampilkan dalam semua situasi dan kondisi serta tidak mengenal
waktu. Bahwa kasta dalam masyarakat tetap ada, berdasarkan sifat-sifat artifisial yang dibuat
oleh manusia itu sendiri. Kasta menurut pendidikan, kasta menurut status sosial, kasta
menurut kekuatan ekonomi, kasta menurut akses politik, dan semua aspek kehidupan
memamg dapat dijadikan kasta.
Setelah mengukur posisinya demikian, adakalanya lebih melihat tampilan dan predikat orang
yang mau masuk dalam kehidupannya. Kepemilikan sumber daya dan latar belakang menjadi
rujukan sebagai ukuran prasyarat diterima tidaknya pertemanan. Siapa loe. Memang kamu
siapa, beraninya mau masuk dalam kehidupanku dan apakah kamu sebanding dengan yang
aku miliki. Di sini unsur keakuan masih ditonjolkan, tetapi lebih membuka diri dengan
memberi kesempatan bagi sang calon teman memaparkan informasi dirinya secara lebih
13
lengkap dan detail. Kedua sikap di atas merupakan warisan sikap feodal dan sisa-sisa tradisi
kerajaan yang mengagungkan status.
Mau menerima apa adanya setiap teman adalah sikap egaliter dan demokratis, tanpa
mempersolakan keturuan, ras, suku, agama, kelompok, atau sekat-sekat apapun itu semua
yang membatasi antar manusia itu sendiri. Karena setiap manusia lahir dalam kedaan bebas,
merdeka dan tanpa status atau predikat. Bayi yang lahir tidak dapat protes dan harus
menerima apa adanya. Dan setiap anak juga tidak bisa memilih sebagai keturunan orang
intelek atau awam, sebagai warisan orang terpandang atau rakyat jelata, atau sebagai
hereditas sebuah keluarga kaya atau miskin. Pandangan mempersoalkan status dan
penggolongan berdasarkan kasta sudah seharusnya terkubur dalam bentuk mummi.
Strukturisasi manusia berlatar belakang keturunan dan atribut predikat yang melekat sudah
semestinya berada dalam ruang meseum yang hanya diketahui sebagai peninggalan sejarah
masa primitif. Kehidupan dan peradaban kini sudah berubah. Oleh karena itu masihkah kita
mengembalikan atau mempertahankan pola-pola kehidupan masa sebelum nenek moyang
kita lahir?
Munculnya beragam komunitas saat ini akibat media jejaring sosial dan pemanfaatan
teknologi komunikasi dan informasi, seyogyanya tidak menyeret dalam ”kelompokisme”,
eksklusif dalam pengelompokan dengan penguatan ideologi dan doktrin, merasa
megalomania dibanding dengan yang lain, sebagai ajang pamer ”kesaktian”, arena narsis
dalam ke-eksis-annya, serta menjadikan sebagai pentas show off ”siapa kami” dan di luar
kami, ”siapa kalian?”. Selayaknya komunitas menghindari ranjau dan menjauhi jebakan di
atas. Lebih menonjolkan manfaat sosial ketimbang pamer identitas, lebih berarti buat
masyarakat sekitar dibanding sekedar pesta senda gurau, dan lebih bermakna upaya
peningkatan karakter anggota daripada memanfaatkan wadah sebagai saluran kepentingan
individu masing-masing, adalah pilihan-pilihan yang strategis dalam berkomunitas.
Berhubungan dan bertautan pertemanan dalam komunitas bisa membuat suatu jejaring teman
dengan spektrum yang sangat luas. Dari yang senang update status dengan saling bercurhat-
ria sampai yang serius menuangkan pemikiran. Dari yang suka membuka memori dan
kenangan masa silam sampai yang hendak membuat program kemajuan. Bahkan bisa saja,
hubungan pertemanan ini tidak saling mengenal dekat. Bisa saja terjadi, teman kita dari yang
”kerjaannya sembahyang dan mengaji” (dikutip dari syair lagu Si Doel Anak Betawi) sampai
yang hanya tukang nongkrong di pangkalan. Dari yang ”doyan” sajadah sampai yang
14
berperilaku haram jadah. Dari yang rajin ikut kumpulan ”Yasin-an” sampai yang masih setia
dengan ”cekekan botol” minuman. Nah, begitu lebar dan luasnya rentang jejaring dalam
komunitas. Walaupun beberapa kesamaan menjadi alasan berkomunitas, tetapi ingat setiap
pribadi adalah berbeda dan unik. Alasan ”privasi” setiap orang tak dapat dihindari, maka
kelonggaran dalam penyatuan kebersaman perlu menjadi bahan pertimbangan membangun
komunitas yang lebih serius (diformalkan) dalam bentuk organisasi.
Jangan sampai berbalikan dengan slogan Perum Pegadaian yang mengatasi masalah tanpa
masalah. Jangan sampai Reuni yang seharusnya ”penyatuan”, kembali bersatu,
mempersatukan, dan membangun kebersamaan, malahan menjadi-jadi perpecahan,
perselisihan, dan pengelompokan hanya karena ego masing-masing alumnus. Membuat
organisasi (berjamaah), yang semestinya menyelesaikan masalah yang tidak dapat
diselesaikan secara perseorangan, masa sih dengan berorganisasi justru kok menambah
masalah pribadi/perseorangan. Kalo begitu boro-boro menyelesaikan masalah bersama.
Masalah pribadi aja tambah dengan berorganisasi. Pinjam kalimat dari Mansyur S, pedangdut
era 1970-2000: ”bukan perpisahan yang kutangisi, tapi pertemuan yang kusesali”. Gimana
dong?
Jadi? Ya, tetap saja berkomunitas. Why not? Namun, terbuka berhubungan dengan orang atau
komunitas lainnya. Apalagi, akan lebih baik memiliki aktivitas yang saling bersinergi dan
berkontribusi membangun kemajuan. Satu komunitas, bisa saja buat siapa saja! Tanpa pilih-
pilih. Siapa Aja, it’s OK ! Ya, kan?
[3/11/2012]
15
Ruang dan Waktu
Teringat ketika mempelajari fisika (modern) pada bab teori relativitas, bahwa semua yang
ada di dunia ini adalah relatif (nisbi). Kenisbian ini karena manusia dibatasi oleh ruang dan
waktu. Dengan keterbatasan ruang (tempat) dan waktu yang tersedia, maka seharusnya setiap
manusia sadar akan eksistensinya selama berada di suatu tempat dan di suatu rentang waktu.
Manusia tidak dapat berada di dua tempat yang berbeda dalam satu waktu. Keterbatasan
terhadap tempat inipun selalu dibatasi oleh waktu. Artinya tidak selamanya manusia itu hidup
berada dalam satu tempat terus menerus. Oleh karena itu, perencanaan dan program menjadi
hal penting kalau berniat memanfaatkan keterbatasan ini secara optimal. Membuat tujuan
aktivitas (hidup) dengan sasaran jangka pendek, menengah dan panjang, adalah langkah awal
mengelola waktu. Mempunyai rencana kerja dan program aktivitas di setiap komunitas
(organisasi) yang menaungi akan menghasilkan kontribusi yang produktif. Maka, kalau masa
hidup seseorang diibaratkan sebuah buku, ada buku yang tebal dan ada yang tipis. Buku juga
bisa tidak berisi catatan apa-apa (hanya kumpulan kertas kosong). Atau buku yang berisi
banyak tulisan dan catatan yang dapat mengubah peradaban umat manusia. Termasuk jenis
buku yang manakah masa hidup kita? Mari, produktifkan setiap detik hidup kita !
[28/1/2012]
16
Pilihan dan Kesempatan
Bagi seorang muslim kepercayaan akan hidup sesudah mati menjadi tolok ukur faktor
keimanan seseorang. Bahwa ada kehidupan setelah di dunia, yakni kehidupan di alam akhirat.
Hidup di dunia bagi seseorang hanya sebatas umur yang dimiliki dan tidak ada yang tahu
kapan kontrak hidupnya dengan Sang Khalik akan berakhir. Demikian juga seseorang juga
tidak akan tahu kapan akhir hidup orang lain. Bahkan dimana manusia mati, dalam peristiwa
apa, dan cara bagaimana jelang maut menghampiri juga tidak dapat diestimasi dan diprediksi.
Sungguh sangat misteri akhir hidup ini. Oleh karena itu, sangat tepat kalau hidup selain
pilihan bagi manusia untuk mau berbuat apa saja asal siap menerima konsekuensinya, hidup
juga adalah kesempatan untuk berbuat melakukan hal yang dipilih tadi. Melakukan hal
terkecil dan sederhana yang dilakukan secara terus-menerus akan lebih berarti ketimbang
hanya memikirkan dan merenungi sebuah rencana besar yang utopis dan bombastis. Mari
pergunakan kebebasan menggunakan pilihan ini dan kesempatan menjalaninya. Hanya
selama hidup bisa memilih dan masih hidup pula memiliki kesempatan untuk berbuat baik
dan benar, tentunya.
[24/3/2012]
17
GADGET dan BUDGET
Gadget dan Budget, dua kata yang hampir mirip dalam pengucapannya. Dua kata yang
berasal dari dua bidang yang berlainan, yakni teknologi dan ekonomi. Istilah pertama baru
kelihatan akrab 5 tahun terakhir ini, sedangkan istilah yang kedua sudah di luar kepala
terutama bagi aktivis organisasi apalagi manajer keuangan.
GADGET
Dari Paseban Technology & Community dalam portal.paseban.com, disebutkan:
Pengertian gadget tidak selalu seputar mobile handset (handphone, smartphone, tablet PC)
saja, tetapi memiliki ruang lingkup yang luas.
Sejarah
Untuk mengetahui pengertian gadget, dapat ditelusuri kembali pada abad 19 di mana asal-
usul dari kata "gadget" pertama kali muncul. Menurut Kamus Inggris Oxford, ada bukti
anekdotal untuk penggunaan gadget sebagai nama tempat untuk menyimpan item teknis yang
mana orang tidak dapat mengingat nama sebenarnya, hal ini berlangsung sejak tahun 1850-
an. Contoh, pada buku Robert Brown, Spunyarn and Spindrift pada tahun 1886 menyebutkan
seorang pelaut pulang dengan membawa clipper teh Cina yang pertama kali dibuat dan
digunakan lalu menyebutnya gadget.
Etimologi dari kata gadget telah lama diperdebatkan. Sebuah cerita beredar luas menyatakan
bahwa kata gadget diciptakan ketika Gaget, Gauthier & Cie, perusahaan di balik penundaan
dari pembangunan Patung Liberty (1886), membuat versi kecil dari monumen tersebut dan
menamakannya setelah perusahaan mereka, namun hal ini bertentangan dengan bukti bahwa
kata itu sudah digunakan sebelumnya di kalangan kelautan, dan fakta bahwa kata itu belum
populer setidaknya di Amerika Serikat, sampai setelah Perang Dunia I.
Sumber lain menyebutkan bahwa kata gadget merupakan penurunan dari gâchette bahasa
Perancis dari alat pemicu yang diterapkan pada berbagai mekanisme alat tembak, atau gagée
yang dalam bahasa Perancis berarti alat kecil atau aksesoris. Penggunaan istilah gadget dalam
bahasa militer melampaui pengertian gadget pada bidang kelautan. Dalam buku Above the
18
Battle tulisan Vivian Drake, yang diterbitkan pada tahun 1918 oleh D. Appleton & Co, New
York dan London yang menjadi memoar seorang pilot di British Royal Flying Corps terdapat
kutipan sebagai berikut: "perasaan bosan kami kadang-kadang hilang dengan gadget baru—
“gadget” adalah istilah slang Flying Corps untuk penemuan baru! beberapa gadget baik,
beberapa menghibur, dan beberapa sangat luar biasa.”
Pada paruh kedua abad 20, istilah gadget diambil sebagai konotasi dari compactness and
mobility. Dalam esai 1965 The Great Gizmo (istilah yang digunakan bergantian dengan
gadget di seluruh esai), kritikus arsitektur dan desain Reyner Banham mendefinisikan
pengertian gadget sebagai berikut:
Kelas karakteristik produk AS—mungkin yang paling berkarakteristik—adalah unit
berukuran kecil dengan kinerja tinggi, dalam kaitannya dengan ukuran dan biaya, yang
berfungsi untuk mengubah keadaan yang sebelumnya tidak bisa dibedakan menjadi kondisi
yang lebih dekat dengan keinginan manusia. Minimum keterampilan diperlukan dalam
instalasi dan penggunaannya, dan ia tidak bergantung pada infrastruktur fisik atau sosial di
luar dirinya, dan ia dapat dipesan dari katalog dan dikirimkan ke pengguna. Sebuah pelayan
atas kebutuhan manusia, perangkat clip-on, gadget portabel, telah mewarnai pemikiran
Amerika dan tindakan yang jauh lebih dalam.
Aplikasi gadget
Dalam industri software, gadget mengacu pada program komputer yang menyediakan
layanan tanpa memerlukan sebuah aplikasi independen yang akan diluncurkan secara
terpisah, melainkan berjalan di lingkungan yang mengelola beberapa gadget. Terdapat
beberapa implementasi berdasarkan teknik pengembangan software yang ada, seperti
JavaScript, form input dan berbagai format gambar. Contoh software semacam ini adalah
Google Desktop, Google Gadgets, Microsoft Gadgets, dan Dashboard software Apple
Widgets.
Penggunaan awal didokumentasikan dari istilah gadget dalam konteks software engineering
pada tahun 1985 oleh para pengembang AmigaOS, sistem operasi dari komputer Amiga.
Istilah ini melambangkan apa yang biasa disebut GUI widget-elemen kontrol pada GUI
(Graphical User Interface). Penamaan ini tetap berlanjut untuk digunakan sejak saat itu.
Secara garis besar, pengertian gadget adalah obyek teknologi seperti perangkat atau alat yang
memiliki fungsi tertentu, dan sering dianggap sebagai hal yang baru. Gadget selalu dianggap
19
sesuatu yang tidak biasa atau sesuatu yang dirancang secara cerdik melebihi objek teknologi
normal yang ada pada saat penciptaannya. Gadget kadang juga disebut sebagai gizmos. [RY]
Sedangkan Wikipedia.com, memberikan definisi sebagai berikut:
A gadget is a smalltechnological object (such as a device or an appliance) that has a
particular function, but is often thought of as a novelty. Gadgets are invariably considered to
be more unusually or cleverly designed than normal technology at the time of their invention.
Gadgets are sometimes also referred to as gizmos.
Dalam bahasa Indonesia, gadget diartikan sebagai Gawai atau acing, sebagai suatu peranti
atau instrumen yang memiliki tujuan dan fungsi praktis spesifik yang berguna yang umumnya
diberikan terhadap sesuatu yang baru. Gawai dianggap dirancang secara berbeda dan lebih
canggih dibandingkan teknologi normal yang ada pada saat penciptaannya.
BUDGET
Budget (Anggaran) adalah suatu rencana yang disusun secara sistematis, yang meliputi
seluruh kegiatan perusahaan yang dinyatakan dalam unit (kesatuan) moneter dan berlaku
untuk jangka waktu (periode) tertentu yang akan datang. (Munandar, 1985).
Budget mempunyai empat unsur, yaitu:
•Rencana
•Meliputi seluruh kegiatan perusahaan
•Dinyatakan dalam unit moneter
•Jangka waktu tertentu yang akan datang
Kegunaan budget:
a. sebagai pedoman kerja
b. sebagai alat pengkoordinasian kerja
c. sebagai alat pengawasan kerja/tolok ukur.
Budget merupakan alat bagi manajemen yang memiliki karakteristik:
o Budget disusun berdasarkan taksiran-taksiran.
o Budget disusun dari berbagai data baik yang controlabel dan non controlabel.
o Efektivitas dan efisiensi budget tergantung dari manusia sebagai pelaksana.
20
Anggaran berkaitan dengan fungsi dasar-dasar manajemen, sehingga anggaran meliputi
fungsi perencanaan, mengarahkan, mengorganisasi dan mengawasi setiap satuan dan bidang-
bidang organisasional didalam badan usaha.
Sementara yang dimaksud cash budget, adalah suatu perencanaan yang menunjukkan
penerimaan dan pengeluaran kas untuk mengetahui kapan akan terjadi surplus dan deficit
untuk suatu periode yang akan datang.
Walaupun nampak bahwa pengertian budget menyangkut organisasi (perusahaan), tidak ada
salahnya juga dan memang sudah terlanjur bahwa budget harus diletakan pada keuangan
pribadi pula. Dan kelihatannnya untuk skala keuangan pribadi lebih tepat pada pengertian
cash budget seperti di atas.
Banyak alasan orang untuk memiliki gadget. Mungkin karena kebutuhan dimana profesi dan
aktivitasnya menuntut ketersediaan perangkat tersebut. Mungkin juga karena mengikuti tren
gaya hidup supaya tidak dikatakan sebagai manusia gaptek. Oleh karena itu untuk memiliki
gadget seseorang dapat memasukannya sebagai kebutuhan sekunder atau tersier. Bahkan bisa
saja sebagai kebutuhan primer. Mana yang prioritas, mendesak, penting, dan harus
didahulukan adalah pilihan yang berbeda pada setiap orang. Bukankah kita pernah
mendengar kisah tentang orang miskin yang lebih mendahulukan membeli rokok ketimbang
membeli beras buat keluarga atau susu untuk anaknya? Penempatan tingkat kebutuhan tiap
orang terhadap gadget tidak sama dan itu hak pribadi masing-masing. Apalagi semangat
memiliki ’alat canggih’ itu termasuk memang kebutuhan atau sekedar keinginan? hanya
Tuhan dan yang bersangkutan yang tahu.
Nah, apa relevansinya antara gadget dengan budget? Tentu saja, ada relevansi yang
signifikan dimana ada budget (anggaran) yang harus disediakan untuk memilki gadget.
Namun, semangat yang menggebu untuk bergaya ’modern’ juga dapat diatasi dengan
membeli secara angsuran jika membeli secara kontan tidak mampu. Banyak fasilitas tersedia
yang memanjakan konsumen untuk berbelanja dengan cara begini ini. Selama nafsu
materialisme dan syahwat hedonisme bersarang dalam tubuh berwujud manusia dan tidak
terbendung atau sulit dikekang selama itu pula konsumen digiring dalam perangkap
marketing sebuah produk. Keunggulan suatu produk yang diluncurkan menjadi penggoda
21
para konsumen untuk memilikinya meskipun dengan berhutang. Bukankah ada moto bagi
yang hobi ngutang, bahwa kalau bisa berhutang mengapa harus membayar kontan? Dan lebih
hebat lagi, hutang adalah tradisi dan budaya orang modern. Gak modern kalau gak punya
utang! Sekarang ini, susah memiliki sesuatu kalau tidak berhutang. Bagaimana?
Memiliki sekarang atau menunda gadget incaran adalah pilihan pribadi tiap orang. Atau
memilih yang sesuai dengan cash budget yang tersedia juga demikian. Pada ujungnya, akan
kembali kepada pola hidup yang dijalani. Boros dan mewah atau hemat dan sederhana? Mau
hidup sesuai kemampuan, di bawah kemampuan, atau di atas kemampuan finansial kita, lagi-
lagi pilihan kita. Apakah kita sudah cerdas secara finansial, kita juga yang paling tahu.
Dalam perencanaan keuangan, kiranya pepatah lama masih memiliki korelasi dengan zaman
sekarang ini: ”jangan lebih besar pasak daripada tiang”, apalagi hanya untuk menikmati
sebuah gadget terbaru yang berujung pada kekacauan cash budget kita sendiri.
[10/2/2013]
22
POLITISI = Poligami 3 “istri” ?
Politisi adalah profesi untuk memperoleh kekuasaan sekaligus sarana pengabdian pada suatu
negara dalam rentang masa pemerintahan. Namun, dalam praktiknya faktor kekuasaan lebih
dominan ketimbang pengabdian, bahkan niat mengabdi sudah tereliminasi sebelum
kekuasaan itu diraih. Memang idealnya, seorang politisi adalah calon menjadi seorang
negarawan. Kedudukan sebagai negarawan mustahil diperoleh tanpa meniti karir lewat
profesi politisi.
Pada dasarnya profesi ini seperti halnya profesi lainnya tergantung “para pemain” atau
“pelaku”nya. Akan tetapi, proses jenjang dan jalur karir di lapangan politik lebih banyak
menggunakan faktor di luar rasionalitas. Sehingga sering dikatakan politik itu artinya
“banyak taktik” (poli=banyak). Atau, politeknik = banyak teknik(nya) politisi?, atau juga
tekniknya berpolitik?
Sebagai politisi yang dekat dengan kekuasaan atau sedang berkuasa dan ini secara historis
sudah banyak diungkap (bukan lagi menurut survey), maka politisi cenderung memiliki 3
“istri”, yakni:
1. Istri pertama, bernama “Tata”.
Sudah menjadi rumus bahwa bergelut dalam partai politik tentu saja adalah mengejar
TAHTA (kekuasaan). Apapun dalih dan idealisme yang diusung oleh partai politik, unsur
untuk berkuasa tetap tidak akan bergeming. Partai politik bisa berlatar belakang agama atau
ideologi tetap saja sebagai elemen demokrasi yang memenangkan suara terbanyak. Bukan
suara terbenar atau suara terbaik. Maka, ketika terjadi hasil yang tidak diinginkan, yang salah
tentu saja demokrasi itu sendiri. Karena, kalau otoriter kesalahan hanya satu orang.
Sedangkan pada demokrasi, adalah kesalahan banyak orang. Kekuasaan, apapun itu otoriter
atau demokrasi telah menjadi barang rebutan dengan nafsu untuk duduk di singgasana,
syahwat berkuasa dan libido berpengaruh seantero jagad raya (bila perlu).
23
2. Istri kedua, bernama “Sita”
Dengan posisi sebagai penguasa, maka menentukan segala aturan dan kebijakan bisa
sekehendak isi perutnya saja. Anggaran dapat diputarbalikan sesuai keinginan. Sehingga,
kursi empuk yang didapat kini sudah membuahkan hasil dengan hidup bergelimang
kemewahan. HARTA telah menjadi pendamping dalam merubah pola kehidupan baru.
Sebagian masih waras dengan “kelebihan” yang dimiliknya, dengan mendirikan perusahaan
yang nota bene juga untuk menguras sumber daya dan kekayaan negara, yang ujungnya
sudah tak jelas lagi statusnya antara penguasa dengan pengusaha. Ya, seperti kedua sisi
keping logam. Sebagian politisi, bingung “membuang” kekayaannya mau dikemanakan,
karena tak habis-habis, bahkan yang diterima lalu belum habis sekarang sudah datang lagi.
Akhirnya, dibuang ke tempat yang tidak semestinya, terperosok, terungkap, terpergok pada
keasyikan menikmati “penyakit laki-laki”, yakni “3 dari anggota molimo”
3. Istri ketiga, bernama “Nita”
Kalau raja-raja zaman bar-bar saja dapat memiliki 40 selir, mengapa tidak pada era digital
sekarang, begitu mungkin pikiran yang terlintas pada sebagian politisi. WANITA, memang
makhluk lemah gemulai di mata laki-laki, tetapi kadang laki-laki tidak mengetahui di balik
kelemahlembutannya tersebut tersimpan kekuatan luar biasa. Diantara kekuatannya, adalah
daya tarik aura dan pesonanya, sehingga laki-laki tidak pernah merasa cukup untuk
menambah koleksinya. Dukungan istri pertama dan kedua, menjadi jalan yang mulus untuk
mendapatkan istri yang ketiga ini. Bahkan, sebagai politisi yang suka mempolitisir peraturan
dan kebijakan, bukan tidak mungkin akan mempolitisir “ayat poligami”, yang seharusnya 1,
2, 3, atau 4, menjadi 1, 2, 3, dan 4. Artinya bisa dijumlahkan semua. Kalau demikian, bisa
cilaka. Naudzubillah.
Kembali bahwa, politisi sebagai profesi juga sebagai individu pelaku pemilik profesi.
Menggeneralisasi atau mereduksi makna akibat perilaku sebagian menjadi atau dari
seluruhnya, adalah hak tersendiri bergantung kapasitas atau kompetensi. Yang jelas profesi
ini bergengsi dan berselebritas.
[21/7/2012]
24
Warna dalam Pesta Demokrasi
Pada perhelatan pesta demokrasi, kembali masalah ‘warna’ menjadi polemik. Karena zaman
orde baru rakyat dibuat buta warna. Hanya boleh melek dan mengenal warna kuning, hijau,
dan merah saja. Warna lain tidak berlaku. Maka sekelompok orang yang melihat ada
ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam ‘arisan nasional’ itu membentuk golongan warna
sendiri, yaitu golongan putih (golput).
Kini, golput kembali mencuat. Sebuah istilah bagi orang yang tidak mau memilih kontestan
dalam Pemilu. Jika golongan yang tidak mau memilih disebut golongan puitih, bagaimana
dengan golongan yang ikut memilih termasuk kader parpol dan politisi itu sediri? Apakah
mereka disebut goltam (golongan hitam), golbu (golongan abu-abu), atau golmam (golongan
mambo)?
Kalau membagi dunia itu dengan terang dan gelap, siang dan malam, dan selalu berpasangan.
Tentu saja, hanya ada dua golongan. Yaitu golongan putih dan golongan hitam. Tapi
masalahnya, konotasi putih itu suci, mulia, bersih, dan tidak ternoda. Sedangkan hitam berarti
kotor, terhina dan ternoda. Kalau para pemilih terutama politisi dimasukan sebagai golongan
hitam, tentu saja tidak mau dan mungkin protes.
Jika para pemilih dan kader partai dimasukan ke dalam golongan abu-abu, bagaimana? Abu-
abu sendiri, adalah tipikal warna yang bermakna moderat, tidak hitam juga tidak putih,
campuran putih-hitam, memiliki sikap bermuka dua dan tidak tegas serta senang mengadu
domba untuk kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri. Nah, para pemilih terutama kader
partai jika dimasukan sebagai golongan abu-abu. Tentu, juga akan menolak jika persepsinya
demikian.
Bila demikian, para pemilih dan kader partai serta politisi masuk ke dalam golongan mambo.
Warna mambo, adalah campuran berbagai warna yang masih bisa dibedakan batas-batas tiap
warna. Masing-masing warna tentunya memiliki arti dan karakter tersendiri.
Anda sendiri, mau masuk ke dalam warna mana nanti di tanggal 9 April 2014?
[6/4/2014]
25
GOLCOK, GOLPUT, dan GOLTUS
Suasana pesta demokrasi yang kerap berlangsung menjadi ukuran bahwa bangsa ini masih
dalam taraf awal belajar berdemokrasi, jika dilihat dari pelaksanaan Pemilu, baik pemilihan
Caleg, Pilpres, ataupun Pilkada. Bagian yang mengurus penyelenggaraannya saja selalu
menampilkan masalah sebelum ajang digelar. Para kontestan atau kandidatnyapun juga
demikian. Apalagi dengan para pemilih yang memiliki latar belakang berbeda dan tingkat
pengetahuan yang tidak sama.
Sejak Pemilu pertama diadakan, 1955 hingga kini negara ini masih mencari identitas tentang
sistem apa yang tepat untuk situasi dan kondisi di sini. Jargon untuk pelaksanaan yang
berazas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia) hanya tinggal jargon. Pelaksanaannya
kadang menjadi TUMPAH (tuntutan memilih partai pemerintah). Bahkan sampai BANJIR
(banyak janji, iming-iming, dan rekayasa). Kelihatannya masih menjadi utopia, negara ini
menyelenggrakan PEMILU yang JURDIL (jujur dan adil) terutama pada PILPRES dan
PILKADA.
Produk yang paling laku sekarang dalam percaturan politik adalah PERUBAHAN. Semua
mengusung perubahan. Memang terjadi perubahan dalam pergantian siapa yang memimpin
masyarakat, bangsa dan rakyat ini, tetapi tidak dalam bagaimana membangun kesejahteraan
dan kemakmuran. Perubahan hanya terjadi pada diri sang tokoh pemimpin dan keluarga serta
kroninya plus begundal-begundal dalam partai pendukungnya, yang bertambah jumlah
kekayaannya atau menjadi orang kaya baru semenjak berkarir menjadi politisi. Tidak cukup
dengan gaji menjadi pejabat pemerintah/negara, maka harus mengejar target upeti melalui
berbagai proyek, baik nyata maupun fiktif.
Sementara bagi rakyat pemilik negeri ini seolah tak hentinya mengharapkan munculnya
pemimpin yang adil, tegas, sederhana, percaya diri, dan penuh pengabdian. Semakin banyak
politisi yang berulah dalam tayangan media, akan menjadikan masyarakat pemilih menjadi
semakin luntur kepercayaannya pada sang tokoh termasuk partai tempatnya “berkandang”.
Kandidat pemimpin publik dan partai politik kontestan pemilu sangat membutuhkan masa
pendukung. Sedangkan masa mengambang jauh lebih besar dari anggota partai dan tidak
26
dapat diprediksi dengan tepat arah dukungan suaranya, sekalipun menggunakan lembaga
survey independen.
Masyarakat yang mempunyai hak pilih pada prinsipnya terbagi dua bagian. Pertama, memilih
sesuai jumlah pilihan yang tersedia. Kedua, memilih untuk tidak memilih salah satu kandidat
atau kontestan. GOLCOK, termasuk kelompok pertama ini. Golongan Colok
Kandidat/Kontestan, memilih salah satu peserta dari sekian peserta yang bersaing dalam
perebutan kursi di Pemilu. Golcok ini, merupakan kelompok terbesar, dan terdiri dari anggota
partai, simpatisan partai, pendukung kandidat, atau warga masyarakat dan warga negara yang
“baik”. Golcok memilih bisa berdasarkan kesamaan ideologis, agama, etnis, atau keterikatan
emosional lainnya. Mereka merasa cocok dengan pilihannya. Atau juga memilih berdasarkan
pertimbangan rasional dan ketertarikan pada programnya si kandidat. Kelompok Golcok
inipun tidak sampai 100% dari penduduk sebuah negara atau wilayah sekalipun
pelaksanaannya di sebuah negara yang disebut paling demokratis sedunia.
GOLPUT, golongan putih. Istilah ini muncul waktu zaman Orde Baru, karena hanya
mengusung 3 partai yang berwarna hijau, kuning, dan merah. Maka, dengan tidak memilih
ketiga warna itu, menyikapinya dengan sebutan Golput, karena kecewa dengan sistem saat
itu. Namun, sekarang ini Golput terjadi bisa karena masalah administrasi, sehingga si pemilih
kehilangan hak pilihnya. Atau memang sengaja si pemilih tidak mau menyalurkan suaranya.
Mungkin juga, karena ada hal-hal yang tidak dapat ditinggalkan ketika hari pencoblosan
berlangsung. Kekecewaan yang tinggi terhadap calon pilihan, dapat saja masuk dalam kriteria
golput. Memilih salah satu tetap bermasalah. Ibarat memakan buah simalakama. Lebih baik
tidak memilih sama sekali, begitu cetus makhluk Golput ini.
Sedangkan GOLTUS, golongan tusuk semua (kandidat/kontestan). Maksudnya, sama dengan
golput, sama-sama tidak mendukung pendulangan suara. Bedanya dengan Golput, Goltus ini
tetap datang ke TPS dan masuk ke dalam bilik suara tetapi memilih semua
kandidat/kontestan, sehingga suaranya dianggap tidak syah (batal/abstain).
Bagaimana dengan Anda? Tentunya, setiap sikap dan langkah yang diambil ditentukan
dengan visi, prinsip hidup, hati nurani, dan tingkat kecerdasan. Apalagi sikap politik
menjelang pesta demokrasi. Semoga tidak salah pilih.
[16/9/2012]
27
Gaya Sentripetal vs Gaya Sentrifugal
(dalam organisasi)
Dalam hukum Newton berlaku, jumlah gaya pada keadaan seimbang sama dengan nol
(=tidak ada gaya sama sekali). Bila sebuah benda memberikan gaya aksi terhadap benda lain,
maka benda tersebut mengalami gaya reaksi dari benda lawannya. Jumlah gaya aksi dan gaya
reaksi sama dengan nol dan arahnya saling berlawanan.
Jika dianalogikan, hal yang demikian juga berlaku pada manusia dalam berorganisasi. Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam organisasi terdapat lingkaran-lingkaran (R=ring), dan juga tak
bisa dinafikan adanya stratifikasi. Lingkaran dengan radius berbeda dan stratifikasi dengan
level strata yang berlainan dapat ditampilkan secara jelas dan vulgar atau samar dan maya.
Lingkar terkecil ada di R-1 (strata teratas pada puncak piramid), dimana dijumpai orang-
orang inti (keluarga, kerabat atau pendiri organisasi). Antara ruang R-1 dengan R-2 dan
seterusnya, terdapat garis pemisah, dimana terjadi “keseimbangan gaya” jika organisasi
dalam keadaan stabil dan mapan. Di garis inilah terdapat gaya sentripental dan gaya
sentrifugal. Memang idealnya harus terjadi keseimbangan terus, antara tarikan gaya
sentripetal ke arah dalam dengan tarikan gaya sentrifugal ke arah luar. Namun, dalam
dinamika perjalanannya tarik menarik itu semakin dahsyat. Tarik ulur sudah biasa terjadi.
Demi reputasi pribadi, nama baik keluarga, prestise kelompok, imej eksistensi organisasi, dan
kepentingan yang lebih besar membuat gaya sentipetal lebih kuat dari gaya sentrifugal.
Sehingga yang terjadi abai terhadap kepentingan bersama, lupa terhadap niat memajukan
organisasi, dan acuh terhadap program mensejahterakan anggota (rakyat). Peran pengurus
yang sejatinya mengurus organisasi menjadi “mengurus” diri, keluarga, dan kroninya.
Seharusnya mengelola kemaslahatan anggota, justru memberi kemudharatan dengan
menguras kekayaaan dan sumber daya organisasi.
Tidak dapat membedakan antara posisi semasa kampanye dengan posisi setelah menjabat,
mengakibatkan paradigma yang ada dalam benak si pemimpin adalah bahwa hanya orang-
orang pendukung, kelompok pengusung pencalonan dirinya dahulu, dan partai yang
menjagokan, serta pebisnis penyandang dana yang turut melincinkan dalam menggolkan ke
kursi singgasana pejabat publik- (negara/pemerintah, propinsi, kotamadya/kabupaten, atau
mungkin juga kecamatan, kelurahan, RW, dan RT)- yang perlu mendapat prioritas dalam
28
segala hal dan harus selalu berada pada VIP class dalam setiap kebijakan, karena mereka
adalah kroni (begundal) setia nan abadi yang harus diberikan imbal hasil (return) sebagai
utang budi (?) atau balas jasa. Nah, dengan demikian bagaimana dengan orang-orang,
kelompok, partai, dan pebisnis yang bukan pendukungnya semasa kampanye? Apakah tetap
diperlakukan secara “adil” seperti memperlakukan para pendukungnya? Atau mereka tetap
dianggap sebagai oposan, pembangkang kebijakan, penghambat pembangunan, perusak
program kerja, atau penggangu kestabilan yang harus selalu dicurigai, disisihkan,
dipinggirkan, ditendang atau dibuang sejauh mungkin dari pusat kekuasaan. Kalau begitu,
bagaimana dengan calon independen (non partai) apakah benar-benar lepas dari kepentingan
“orang lain”? kan juga tidak!
Kiranya, konsep keadilan sangat pas untuk dilekatkan untuk menyeimbangkan gaya
sentripetal dan gaya sentrifugal yang ada. Keadilan bukan sekedar “nama” partai atau
“jargon” dalam kampanye, tetapi benar-benar dipakai dalam praktik kepemimpinan. Jangan
sampai anggota (rakyat) yang peras keringat banting tulang, bercucuran air mata, dan
“berdarah-darah” dalam perjuangan memperoleh kebutuhan mendasar saja (makan) dan
diiming-iming untuk ikut dalam mencoblos dalam proses pemilihan-walaupun tak kenal siapa
yang dipilih dan tak mengerti untuk apa memilih- hanya menjadi “korban politik”, karena
asas manfaat para politisi dalam mengumpulkan suara.
Masa kampanye usai dengan hingar bingarnya dan proses pemilihan berlangsung dengan
segala metode dan sistemnya-terlepas ada unsur kejujuran atau kecurangan-yang jelas naiklah
sang pemimpin ke tampuk kekuasaannya. Hidup dengan penuh kenikmatan dan segala
fasilitas yang serba mewah. Sementara anggota (rakyat) yang “ndeso” tetap hidup dalam
ketidaktahuannya dan keluguannya, kembali menjalani hari-hari kehidupan yang sama
dengan masa sebelum “pesta demokrasi” berlangsung. Tetap dalam serba keterbatasan
tepatnya kekurangan. Bisa jadi dalam kekumuhan, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan,
keterpinggirkan, dan selalu menjadi “objek” kepentingan pencari manfaat.
“Arisan nasional” setiap 5 tahun sekali juga “setali tiga uang”, tak terkecuali dalam pemilihan
anggota legislatif (aleg) baik anggota DPR ataupun DPD. Memang ironis buat Indonesia,
dengan predikat negara muslim terbesar di dunia (maklum bukan mukmin terbanyak?) sangat
sulit mencari pemimpin yang sidik, tabligh, amanah, dan fathanah. Kepemimpinan
Rasulullah, hanya dipakai dalam pangajian dan cukup sebagai bahan diskusi serta berhenti
29
sebatas wacana saja. Sehingga yang terjadi, adalah pemikiran seperti: nilai-nilai keislaman
tidak perlu keluar dari masjid, tidak usah menembus dinding majelis taklim, dan tidak sesuai
zaman dalam kehidupan modern ini yang memerlukan aspek profesional.
Spiritualitas`menghambat kemajuan dan tidak dapat dibumikan. Realitas kehidupan ini
adalah sekularitas yang serba rasionalitas.
Dengan kondisi demikian, sangat sukar merindukan pemimpin negara ini yang merujuk pada
kepemimpinan Rasulullah. Jangan kan sekaliber Khulafaur rasyidin, setingkat di bawah Umar
bin Abdul Aziz atau Shalahudin Al ayyubi saja sulitnya minta ampun kali? mencari sosok di
negeri ini.
Kisah dalam Shirah Nabawiyah, Shirah Sahabah, dan kisah pemimpin islam yang lain
seharusnya menjadi pelajaran dasar dan referensi utama calon pimpinan, agar “kedua gaya”
di atas dapat diseimbangkan atau minimal proporsional sesuai niat dan visi misi awal
sebelum memimpin.
[8/7/2012]
30
Pedagang yang Politikus atau Politikus yang Pedagang?
(Bukan Pengusaha vs Penguasa !)
Para ahli dan praktisi terutama politisi atau ekonom sering mengatakan bahwa politik dan
eknomi adalah ibarat kedua sisi dalam mata uang. Artinya antara politik dan ekonomi saling
bersebelahan dan saling kait mengkait. Dalam artikel ini, penulis menuangkan sedikit uraian
setelah mengamati dan mencermati kondisi kehidupan kita sehari-hari melalui media.
Tingkah laku dan manuver para selebritis dan tokoh nasional yang selayaknya menjadi
panutan masyarakat, jauh dari harapan. Alih-alih dapat melakukan perubahan masyarakat ke
arah yang lebih baik, yang bersangkutan sendiri malah terperosok dalam kubangan yang
dibuatnya sendiri. Mungkin, kebanyakan orang akan pesimis dan apatis dengan perubahan
negeri ini yang diharapkan dari sepak terjang para tokoh dan pemimpin, jika melihat pola
tingkah dan perilakunya. Baik yang menyerupai tingkah laku kucing atau tikus. Kucing
punya sikap malu-malu, tetapi mau. Hipokrit, lain di hati lain di mulut (”munafik”) dan akan
lain lagi di perbuatan. Awalnya, jika di dekat seekor kucing diletakan sepotong ikan dan
ditunggui seolah tidak mau. Sikapnya yang cuek, diem, kalem, adem, ayem, dan cool.
Namun, apa yang terjadi ketika si penunggu tidak ada, langsung ikan diserobot habis tanpa
sisa. Tikus adalah hewan kotor, senang bersembungi, keluar ketika suasana aman, semua
dimakan termasuk sisa-sisa makanan, dan jika tidak ada makanan utamanya apa saja juga
dimakan selama giginya masih mampu untuk menggerogoti. Dengan kemampuan gigi
pengeratnya, tikus bisa makan apa saja, kecuali material yang kekuatan dan kekerasannya
melebihi gigi-giginya. Selama hidupnya, tikus sulit dicari manfaat buat sesamanya apalagi
kelompok lainnya. Hidupnya cenderung egois ketika mendapatkan makanan. Jika mati, tikus
di sembarang tempat dan meninggalkan bau yang mengganggu. Hidup dan matinya membuat
susah makhluk lain.
Orang yang memiliki usaha sendiri disebut sebagai Pengusaha atau Usahawan. Nama
lainnya, ialah Wirausaha, Wiraniaga, Wiraswasta, atau Pebisnis. Mungkin ada juga pendapat
yang membedakannya masing-masing istilah tersebut. Pengusaha dapat berupa Produsen
(industriawan) dan Pedagang atau Saudagar. Sebenarnya, pengertian Pengusaha dengan
Pedagang bisa dalam arti sempit atau arti luas. Arti sempitnya, yakni Pedagang sebagai
bagian dari Pengusaha, sementara arti luasnya disamakan saja antara Pedagang dengan
Pengusaha. Penulis membedakan Pengusaha dengan Pedagang ditinjau dalam jangkauan
31
penentuan Laba Rugi. Menurut penulis, pedagang hanya berputar pada Laba Rugi Ekonomi,
yakni laba rugi jangka pendek. Setiap barang yang dibeli harus bisa dijual. Pengusaha
memiliki sistem Laba Rugi yang bernilai Investasi jangka panjang, yakni selain ada Laba
Rugi Ekonomi, dikenal Laba Rugi SDM, Laba Rugi Teknologi, Laba Rugi Sosial, dan Laba
Rugi Lingkungan.
Sedangkan Politisi adalah orang yang berkarir di bidang politik, berkecimpung di organisasi
publik, melakukan pengabdian kepada masyarakat melalui penentuan kebijakan, dan tentu
saja keinginan menggapai kekuasaan dalam sebuah wilayah tertentu. Penulis sengaja
menggunakan istilah judul di atas sebagai Politikus, dengan maksud membedakan dengan
istilah Politisi. Politikus adalah politisi kotor dan busuk, seperti halnya tubuh, kehidupan, dan
bau tikus. Insya Allah, istilah ini bukan sarkasme.
Dari kehidupan ’pedagang’ yang memiliki asal bisa dibeli dan dapat dijual serta dapat
untung, beres dah ! menjadi politikus yang memang asalnya sudah bernawaitu mencari
tambahan kekayaan untuk memperbesar modal dagangnya, maka bukan mustahil apa saja
dijual yang penting untung. Aset bangsa dilego, sumber daya negeri dikuras, kekayaan negara
dipasarkan. Sebaliknya, yang semula politikus dengan berniat mencari kekayaan (asalnya
belum kaya) atau menambah kekayaan (asalnya sudah kaya tetapi belum cukup), tidak ada
kamus untuk mengabdi untuk tanah air. Setelah modal cukup, maka berdaganglah dengan
jualan demokrasi, revolusi, reformasi, restorasi, perubahan, politik santun, politik bersih,
politik etis, dan segala macam produk yang dipasarkan untuk mengelabui dan membodohi
rakyat. Namun, mereka kurang pintar ternyata rakyat sudah semakin cerdas. Tujuannya sudah
jelas di depan mata dengan pandangan lurus sudah tampak, tetapi yang disajikan ke publik
adalah jalan yang menelikung, membelok, dan berkelok laksana gerakan ular saja.
Belum ada calon pemimpin kita yang merintis pemberdayaan dan kepedulian di masyarakat
sekian lama baru kemudian mencalonkan diri menjadi pemimpin publik, dan ketika menjadi
memimpin tetap dengan kesederhanan dan kesahajaannya. Atau orang kaya (pengusaha) yang
berniat menjadi pemimpin publik hanya tulus dan ikhlas mengabdi membangun negeri tanpa
mencari tambahan kekayaan lagi. Namun, yang ada di negeri ini jalan pintas dan tindakan
instan serta aji mumpung bin rakus. Nihil bicara pengabdian, loyalitas, dedikasi di negeri ini.
Nah, kalau para pemimpin dan tokoh bermental demikian darimana perubahan karakter
bangsa ini dimulai? [3/2/2013]
32
Upah dan Honor
Di bulan pertama tahun 2012 ini kiranya masih aktual kalau bicara kembali berkaitan dengan
upah buruh (pekerja), karena berapa prosen kenaikannya masih menjadi tanda tanya sebelum
nyata diterima. Kalau pekerja dibedakan menjadi 2 bagian, yakni Employee (buruh,
karyawan, pegawai) dan Self Employee (pekerja lepas, profesional), maka yang pertama
bekerja dengan jam kerja dan waktu yang tetap, berada pada jalur struktural, dan terikat oleh
satu perusahaan. Sedangkan yang kedua, bekerja berdasarkan kontrak dengan perusahaan
tertentu dengan waktu terbatas, berada pada jalur fungsional, dan tidak terikat oleh satu
perusahaan. Employee akan mendapat upah sesuai kesepakatan atau perjanjian sebelumnya.
Ketika terjadi masalah dengan perusahaan pemberi kerja, maka ada serikat buruh (serikat
pekerja) yang akan membelanya. Sementara Self Employee lebih tepat dikatakan mendapat
honor, sebagai penghargaan atas jasanya terhadap perusahaan yang telah melakukan kontrak
dengannya. Bila ada masalah dengan perusahaan tersebut, harus berjuang sendiri, karena
tidak ada organisasi pelindungnya. Self Employee rata-rata memiliki latar belakang
pendidikan relatif memadai dengan didukung ketrampilan dan keahlian yang mumpuni pada
bidang spesialisasinya serta memiliki wawasan dalam perencanaan keuangan. Sedangkan
Employee tidak demikian. Ironisnya, dalam praktik posisi keduanya tumpang tindih dan
kadang saling merangkap. Akhirnya, keduanya tetap sebagai “orang bayaran” dari sebuah
perusahaan yang mempekerjakannya dengan bargaining power yang rendah, terutama di level
low management ke bawah.
[8/1/2012]
33
Upah Minimum?
Setiap tahun di bulan Desember, tak terkecuali tahun ini para pekerja terutama kalangan
buruh menanti-nanti harap kenaikan upah minimum yang signifikan sesuai kebutuhan hidup
layak (KHL) yang sesungguhnya di tahun depan. Serikat pekerja (buruh), asosiasi pengusaha
dan dewan pengupahan daerah mencari titik kompromi menentukan besarnya rupiah
minimum dalam bentuk UMR (upah minimum regional) yang berlaku di daerah tertentu
(kotamadya, kabupaten atau propinsi). Sementara di lapangan pekerjaan, perusahaan terbagi
atas beberapa sektor produksi, sehingga masalah upah yang seharusnya juga diukur dengan
jenis industri (komoditas-jasa), ringan-beratnya proses produksi, tingkat bahaya industri,
ragam produk yang dihasilkan, menjadi abai disentuh. Oleh karena itu, selain UMR
seyogyanya perhatian terhadap UMS (upah minimum sektoral) lebih digencarkan lagi.
Pengaturan upah ini lebih ditujukan pada buruh industri (pabrik) yang memang jumlahnya
sangat besar dalam ikut menopang perekonomian nasional.
Sedangankan buruh (kuli) pasar, terminal/stasion, pelabuhan, tani, perkebunan, dan nelayan,
siapa yang peduli? Oleh karena itu sebagai pekerja (buruh, karyawan, atau pegawai)
semestinya memandang rizki bukan hanya diukur dari gaji yang diterima, upah yang dibawa
pulang, honor yang dibayarkan, bonus yang dikonsumsi, atau insentif yang dibelanjakan saja.
Masih banyak sumber rizki di luar profesi yang digeluti. Memanfaatkan hari sabtu dan
minggu atau hari tak bekerja seoptimal mungkin adalah solusi menjemput rizki dari Allah.
Peluang bisa dicari dengan bekerja lain yang paruh waktu, menawarkan jasa dengan
keterampilan yang dimiliki, beternak, bertani atau berniaga membangun bisnis. Apa
salahnya?. Karena kini juga, sedang tren side job, kan? So, hidup tidak lagi dengan upah
minimum saja.
[17/12/2011]
34
Pendidikan ”Kemaluan” dan Budaya Malu
Jangan kaget kalau penulis memakai kata ’kemaluan’ dan bukan untuk bermaksud membahas
hal-hal yang tabu. Justru istilah ’pendidikan kemaluan’ penulis kutip dari pernyataan Bapak
Kelirumologi (ilmu tentang kekeliruan), Jaya Suprana dalam acara Kick Andy, jumat 15
Maret 2013 malam. Memang talkshow tersebut menjadi menu pekanan penulis. Acara yang
menampilkan orang hebat, insan unggul, manusia ’aneh’ atau orang ’gila’ yang membuat
sesuatu tidak biasa dan di luar kebiasaan dengan hasil karya, kreasi, prestasi dan
berkontribusi buat orang banyak. Benar-benar sebuah tayangan yang memotivasi dan
menginspirasi.
Ketika menginjakan kaki di sebuah perguruan tinggi keguruan dan ilmu kependidikan selepas
sekolah menengah atas, dalam benak penulis tersimpan pertanyaan tentang tujuan orang
mengenyam pendidikan. Tentunya, sebelum menjawab tujuan pendidikan harus lebih dahulu
mengetahui apa sebenarnya pendidikan itu sendiri. Dalam kehidupan ini proses tumbuh dan
berkembangnya seseorang banyak dipengaruhi faktor baik individu, keluarga, sekolah, dan
masyarakat atau lingkungannya. Oleh karena itu tujuan yang hakiki dari pendidikan adalah
membentuk kedewasaan seseorang. Pendidikan dapat diperoleh dari keluarga, sekolah dan
masyarakat.
Namun, pengertian pendidikan direduksi dengan menitik beratkan pada sekolah. Sekolah
hanya sekedar sarana proses pendidikan yang dikenal dengan pembelajaran dan salah satu
lingkungan pendidikan itu sendiri. Di sekolah hanya terjadi kegiatan belajar dan mengajar.
Apakah sudah sampai pada aktivitas didik dan mendidik? Walaupun seorang murid, siswa,
santri, atau mahasiswa sering disebut sebagai peserta didik. Bukankah lebih tepatnya, adalah
peserta ajar? Dengan demikian seorang guru, ustaz, atau dosen baru sampai tahap pengajar,
belum sampai pendidik.
Keluaran dari sebuah lembaga pelatihan dimana ada pelatih dan peserta latih, maka usai
pelatihan berlangsung peserta latih disebut sebagai orang terlatih. Dengan penalaran yang
sama, orang yang menjalani pengajaran di sekolah disebut sebagai orang terpelajar. Demikian
juga manusia yang telah mengalami proses pendidikan sebagai manusia terdidik.
35
Seorang pendidik dapat berwujud orang tua, guru, ustaz, dosen, pemimpin atau profesi
apapun. Apalah artinya sebutan profesi atau atribut jabatan jika peran yang ditampilkan
bukan seharusnya tetapi seadanya. Sehingga prasyarat untuk menjadi seorang pendidik tidak
terpenuhi. Salah satu syarat mendasar adalah menjadi teladan, panutan, dan contoh buat
orang yang tengah dididiknya. Seorang bapak yang melarang anaknya merokok, tetapi
memerintahkan anaknya untuk membelikan rokok tersebut, akan mewariskan generasi
perokok walaupun hati kecilnya tidak mengingnkan. Guru yang datang selalu terlambat tidak
akan berhasil mengajarkan kedisiplinan kepada muridnya.
Ada contoh positif sikap disiplin dan mencerdaskan dari orang Barat (penulis ambil dari
film). Ketika memberikan makanan kepada anaknya, seorang ibu mengatakan, ”ini baik
untukmu!” Bukan, ”ini enak buatmu!”. Hal lainnya, seorang anak gadisnya dibatasi keluar
malam sampai jam tertentu. Maka, saat mendekati waktu yang ditentukan oleh ortunya, sang
gadis merasa gusar pulang telat sampai di rumah karena takut terkena sanksi.
Lembaga pendidikan (tepatnya institusi pengajaran) baik sekolah, pesantren, atau perguruan
tinggi adalah tempat terdepan yang selalu menggaungkan idealisme. Jika bidang lain sudah
serba pragmatis dan hilang idealisme, maka harapan ada pada bidang pendidikan. Bila dalam
bidang inipun sudah tidak ada, maka jangan berharap ada generasi mendatang yang baik
untuk membangun bangsa dan negara ini.
Celakanya, demi sebuah reputasi pimpinan pengambil kebijakan (pusat dan daerah) memberi
contoh yang tidak mendidik dalam dunia pendidikan. Pembaruan kurikulum asal sekedar
berubah bukan berdasarkan visi pendidikan negara ini mau dikemanakan generasi mudanya,
tetapi lebih kental nuansa politisnya.
Penyelenggara pendidikan menjadikan yayasan sebagai korporat yang mengedepankan
untung rugi secara ekonomi tanpa memandang bahwa lembaga pendidikan adalah usaha
sosial juga. Penghargaan yang rendah kepada pendidik dengan menukar jasa profesinya
dengan kompensasi di bawah UMP (upah buruh), meskipun pendidik bukanlah pekerja.
Kuantitas kelulusan sebuah sekolah menjadi target peringkat sekolah di mata masyarakat,
sehingga abai dalam mengejar kualitas lulusan. Sistem penilaian didikte secara sentralistis
oleh institusi, sehingga menghilangkan otoritas dan hak prerogatif pendidik dalam
36
memutuskan pemberian nilai siswa. Kenaikan atau kelulusan siswa sudah direkayasa sebelum
ujian akhir di selenggarakan.
Pendidikpun juga demikian, jauh dari sifat, karakter, dan profil pendidik yang semestinya.
Semakin tinggi gaji pengajar, honorarium pendidik, tunjangan profesi, apresiasi atas
sertifikasi profesi, dan penghargaan pemerintah bukan semakin mengukuhkan diri pada
idealisme sebagai ’pahlawan tanpa tanda jasa’. Melainkan dengan kerja mendidik yang asal
kejar setoran. Tidak semakin serius, justru sebaliknya semakin santai. Bukannya
meningkatkan kompetensi melalui studi lanjut atau mengembangkan keilmuan dengan
menulis atau meneliti sesuai bidang ahlinya, tetapi terbawa dengan gaya hidup yang semakin
konsumerisme dan memamerkan pola hidup hedonisme.
Ironis, jika dunia pendidikan kita demikian. Quo vadis, dunia sekolahan kita!
Pengambil kebijakan, pengawal sistem pendidikan, dan pendidik menjadi orang yang
bertanggung jawab atas moral, mental, dan sikap masyarakat. Masyarakat yang jauh dari
keluaran sebagai orang terdidik, manusia terpelajar, atau insan intelek akan tampak dengan
hilangnya rasa malu. Sudah tidak malu melanggar lalu lintas. Tidak malu menyerobot antrian.
Tidak malu membuang sampah sembarangan. Tidak malu merokok dalam ruang ber-AC.
Tidak malu atau tanpa malu melakukan hal-hal yang melanggar norma, adat, etika, akhlak,
aturan baik hukum maupun agama, karena sudah dianggap biasa dan tanpa ada yang
menegur, memperingatkan, atau menindak. Dari hal yang kecil saja sudah dibiasakan, maka
hal yang besarpun menjadi kelaziman. Berbuat asusila atau pelecehan seksual dibiarkan, jika
si korban tak berani mengadu dan itupun harus mendatangkan saksi. Korupsi menjadi
pembiasaan, karena tidak ada yang perlu untuk dimalukan dan dianggap sebagai sumber
’rizki’ yang baru. Walaupun, ”malu untuk korupsi, dan tidak perlu malu untuk tidak korupsi”,
kata Bos Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) itu menutup bincangnya dalam acara yang
di-host Andy F. Noya tersebut.
Pendidikan ’kemaluan’ ini yang memfokuskan untuk menjaga rasa malu akan dapat
mendukung konsep pendidikan karakter yang ’sedang naik daun’ gaungnya. Merubah
karakter dan sikap masyarakat hanya bergantung dan berharap pada pendidikan, karena lewat
pendidikan kebiasaan, tradisi, dan pada gilirannya kebudayaan akan berkembang. Semoga
dengan pendidikan ’kemaluan’ dapat terbentuk budaya malu pada diri anak bangsa ini. Insya
Allah. [17/3/2013]
37
“Curhat”
Curhat, adalah mencurahkan (perasaan) hati kepada orang lain. Biasanya dilakukan orang
ketika memiliki persoalan hidup yang tak kunjung selesai solusinya. Dengan maksud
mengurangi beban yang diderita, berceritalah kepada orang ketiga. Melepas unek-unek dan
tekanan batin yang terpendam. Seolah-olah setelah semua hal ditumpahkan selesailah
persoalan tersebut. Curhat semestinya dilakukan dengan orang, waktu, serta situasi dan
kondisi yang tepat. Orang yang tepat diajak curhat, seharusnya orang yang ber-akhlaqul
karimah, berilmu, berwawasan, netral, tak ada pamrih, tulus, tak ada vested interest, dan
bukan jenis “speaker active” atau “whistle blower”. Tumpuan curhat yang tidak tepat bukan
menyelesaikan masalah, bisa jadi menimbulkan masalah baru. Suami istri yang sedang
konflik. Alih-alih kedua belah pihak melakukan “gencatan senjata”, bahkan yang terjadi
“perang dunia” dalam kancah rumah tangga. Karena salah seorang atau keduanya curhat
kepada sang mantan pacar. Adanya WIL dan PIL menjadi pemicu dan pemacu “bom waktu”
yang siap meledak. Kalau begitu, seberapa pentingkah seseorang curhat?
[21/4/2012]
38
2 tipe Karyawan
Curhat selalu ada dalam lingkungan mana saja. Lingkungan rumah atau lingkungan kerja.
Seorang anggota keluarga yang tak menemukan solusi masalah, akan curhat ke tetangganya.
Seorang karyawan yang bermasalah dengan bagian atau pimpinannya, akan curhat ke bagian
lain.
Ada 2 tipe karyawan dalam masalah curhat: Pertama, karyawan yang membawa persoalan
rumah tangganya ke kantor. Kedua, karyawan yang membawa persoalan kantor ke dalam
rumah tangganya. Nah, anda sendiri tipe karyawan yang mana?
[28/4/2012]
39
“Jaim”
Menjaga kebaikan yang ada pada diri memang baik. Namun, kalau menutupi keburukan yang
telah diketahui orang lain apalagi khalayak ramai merupakan sebuah kebohongan. Sekarang
ini kedustaan telah diumbar. Bukan kebenaran yang tampil, tetapi pembenaran yang menjadi
fenomena dengan penuh pesona. Pencitraan diri yang ditonjolakan karena takut kehilangan
pendukung atau penggemar. Takut melakukan kebijakan atau aktivitas yang tak populis.
Sikap inilah yang oleh orang muda dikenal dengan istilah “jaim”. Menjaga image, tidak
mengapa sebenarnya jika memang adanya demikan. Bukan dengan mengingkari apa yang
sudah semestinya harus disampaikan dengan kejujuran dan keterusterangan. Atau
menempatkan sosok pada posisi kelas tertentu yang bukan kelas orang kebanyakan.
Nampaknya, “jaim” sudah menjadi “penyakit” sosial masyarakat modern, sebagai bagian
“jiwa yang sakit”. Bukan sakit jiwa, lho !
[12/5/2012]
40
Pemimpin yang “curhat” vs Selebriti yang “jaim”
Pemimpin adalah orang yang dipercaya mengimami orang lain, memiliki pengaruh kuat atas
orang-orang yang dipimpinnya, menjadi teladan, bekerja lebih dan melayani. Pemimpin juga
berfungsi sebagai motor, aspirator, motivator, dan akomodator. Bagaimana kalau ada
pemimpin dalam sebuah organisasi baik politik, sosial, bisnis, atau profesi yang selalu curhat
kepada orang-orang yang dipimpinnya? Seakan-akan curhat sudah menjadi hobi dan
kebiasaan rutin yang harus dipenuhi. Dilakukan seperti halnya minum obat yang harus teratur
dalam suatu rentang waktu tertentu. Persoalan sepele dan remeh temeh ditanggapi serius.
Tidak memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah dan mengambil skala prioritas solusi
antara problem kelas semut atau gajah. Selalu mengeluh, berkeluh kesah, seolah meminta
simpati dan memohon empati.
Sedangkan ada selebriti yang dirundung banyak masalah, baik rumah tangga, hubungan
sesama profesi atau karirnya, menanggapai masalah dengan tetap pada sifat “jaim” nya.
Persoalan besar ditanggapi dengan guyonan dan kelakar saja. Tidak takut kehilangan
penonton dan penggemarnya. Walaupun masyarakat sudah tahu “kartunya”, tetapi dengan
enteng saja ditanggapi. Karena hal ini menjadi hubungan muatualisme antara sang selebriti
dan pengelola media. Selebritis menjadikan hal ini sebagai bahan promosi sementara media
menjadikannya sebagai berita (konsumsi). Jadi, kalau ada pemimpin yang makanan pokoknya
adalah curhat dapat disebut pemimpin yang cengeng, maka selebriti yang “cemilan”nya sikap
jaimnya itu, disebut……..?
[20/5/2012]
41
K ~ U atau K ~ 1/U
Pernyataan matematika di atas terinspirasi dari pemikiran seorang teman tetapi sebelumnya
penulis (ketika masih muda) sempat menyaksikan sendiri fenomena yang terjadi ketika jauh
berada dari tempat tinggal keluarga bersama sejumlah orang yang telah “berumur”dalam
suatu daerah terpencil dan terisolasi.
Persamaan awal dari sang teman, adalah: K.U = C, tetapi penulis lebih melihat bahwa hal ini
tidak pasti dan tak berlaku umum, hanya kondisional dan temporer, maka hasil modifikasinya
adalah pernyataan di atas.
K = kelakuan, U = umur, dan C = konstanta, sehingga dapat dibaca sebagai: Kelakuan
berbanding lurus dengan Umur atau Kelakukan berbanding terbalik dengan Umur.
Sejatinya, semakin meningkatnya umur maka kelakuan (=perilaku) semakin didasarkan aspek
rasional, konsistensi dalam kestabilan emosional, dan pengambilan kebijakan dengan
berbagai sudut pandang dengan kalkulasi sisi positif dan negatifnya, serta memaksimalkan
harapan umpan balik kebaikan dengan meminimalkan risiko yang terjadi. Apalagi dengan
umur yang bertambah juga diiringi bertambahnya jenjang pendidikan. Pendidikan adalah
metode mencapaian pendewasaan seseorang. Walaupun memang diakui dalam psikologi
pendidikan, seseorang tidak akan pernah mencapai kedewasaan sempurna. Karena seseorang
juga manusia, yang memiliki kekurangan. Inti kedewaaan, menurut teorinya Langeveld,
adalah kemampuan bertanggung jawab. Selain itu dapat berdiri sendiri dan mampu
membedakan yang baik dan benar.
Masalahnya, apakah kondisi psikologis manusia mengalami masa pertumbuhan lalu
mencapai titik optimal (klimaks) kemudian menurun seiring bertambahnya umur (ketika
pikun)? Sering ada ungkapan orang tua akan kembali sikapnya seperti anak-anak, apakah
selalu demikian? Berapa prosen sikap yang bersiklus itu? Kalau begitu, ada benarnya bunyi
tag iklan: Tua adalah pasti, kedewasaan adalah pilihan. Secara biologi, dalam perkembiakan
sel juga ditemukan. Sel mengalami pertumbuhan (bertambah banyak) dan perkembangan
(ukurannya yang membesar).
42
Kejadian yang sering dihadapi, bukan pada kelompok “opik” , orang pikun. Namun, pada
usia produktif dengan selang umur 30-40 tahun. Ketika mereka jauh dari keluarga (istri dan
anak) sikap kekanak-kanakannya muncul saat bersama-sama dengan teman sebayanya
sesama profesi. Bercanda dan berkelakar dengan pola tingkah anak-anak. Apakah ini sebagai
kompensasi akibat kepenatan kerja atau melupakan sementara rasa rindu terhadap keluarga?
Wallahu a’lam.
Ada kalanya kelakuan yang ditampilkan sudah melebihi apa yang ABG lakukan. Kalau para
ABG mungkin dapat dimaklumi, karena mereka belum tahu akibatnya, belum bisa
membedakan pantas tidaknya, dan tidak mengerti perlu tidak nya sebuah perilaku untuk
dikerjakan. Jika orang telah berumur, bahkan sudah tergolong bukan seorang bapak/ibu lagi
tetapi sudah masuk kelompok kakek/nenek tetapi masih melakukan hal yang dilakukan ABG,
bahkan lebih “liar” dan tak tahu malu serta kerap berucap: “peduli amat dengan orang lain”,
bagaimana?
Sejujurnya, reuni (baik pertemuan formal lewat acara maupun sekedar koneksi melalui ICT)
juga memberi kontribusi mengembalikan psikologis kekanakan pada diri setiap orang.
Bertemu teman sebaya, peluk cium mesra, melepas cerita yang terpendam, mencurahkan
yang belum terungkap, saling berfoto-ria, hingga janji ingin bertemu kembali sampai
mengikat dalam komunitas dengan pertemuan rutin. Sekejap lupa dengan umur dan
(mungkin) keluarga sendiri. Terkesima dengan luapan gelombang nostalgia yang serba indah
dan menyenangkan. Hanyut dalam luapan emosional dalam ranah memorial dengan melodi
yang mendayu-dayu memanjakan kondisional setiap personal.
Sebaliknya, tidak sedikit juga orang dengan semakin meningkatnya umur kelakuannya juga
semakin baik. Ibadah sosialnya disejajarkan dengan ibadah individual formal ritualnya.
Menyadari eksistensinya dengan sikap lebih arif dan bijak. Mengorientasikan hidup untuk
akhirat sedangkan kebutuhan akan dunia hanya sekedarnya. Hidup dengan pola tawaddu,
qonaah, dan zuhud lebih diprioritaskan.
Kembali pada diri tiap orang, apakah hidupnya dikuasai 2 jengkal antara kepala dan dada
atau 1 jengkal antara perut dan selangkangan (maaf!). Antara otak (pikiran) dan hati (iman)
yang menjadi panglima. Atau nafsu & syahwat sebagai komandan dengan segala sifat syetan
43
dan tabiat “kebinatangan” yang dituruti. Akhirnya, umur berkorelasi dengan tua, sementara
kelakuan berkorelasi dengan dewasa. Jadi, berbanding lurus atau terbalik?
Semoga dengan datangnya Ramadhan di pekan ini, akan meneguhkan bentuk korelasi
tersebut pada diri masing-masing.
[15/7/2012]
44
Silaturahim, dari high touch ke high tech
Silaturahim adalah berkunjung ke tempat kediaman yang masih ada hubungan keluarga atau
kerabat, bisa juga ke rumah teman, atau anjangsana ke rekan bisnis atau kolega organisasi
(kelompok pengajian, kelompok alumni sekolah/tempat kerja, kelompok profesi, kelompok
komunitas peminatan, atau kelompok daerah asal). Intinya, bertemu setelah sekian lama tak
bertemu atau memang diagendakan secara rutin pertemuan itu. Mengenai benar-benar
silaturahim tanpa ada maksud tertentu, tanpa ada ekses, tanpa ada agenda tersembunyi hanya
yang berkepentingan yang paling mengetahui tentunya. Silaturahim, bisa dilaksanakan
dengan tulus dan lurus sesuai maknanya tergantung sipelakunya. Jika hanya sebagai lipstick
aktivitas tertentu, barang dagangan bisnis, atau komoditas politik dikembalikan kepada sang
oknum yang melakukannya.
Silaturahim sangat dianjurkan untuk mencairkan suasana kebekuan yang bisa terjadi antara
sesama, baik antar anggota keluarga atau antar komponen organisasi maupun antara sesama
anggota masyarakat. Masalah yang tidak dapat diselesaikan secara formalitas, silaturahim
menjadi alternatif jalan keluar solusinya.
Berbagai cara orang melaksanakan silaturahim terutama menjelang Ramadhan apalagi saat
Idul Fitri. Sesuai dengan esensinya, silaturahim seharusnya memang terjadi pertemuan
langsung antar orang per orang, sehingga terjadi sambung rasa dengan sentuhan emosi yang
kental. Pertemuan fisik tidak lagi bisa menyembunyikan sinar mata, air muka, raut wajah,
bahasa dan gerak gerik tubuh. Sekejap egoisme dan selfish hilang seketika. Kedua tatapan
mata beradu pandang yang meneduh tak lagi garang, seolah gelombang transversal yang
merambat dari masing-masing tatapan mengadakan superposisi. Memadu dengan
memperbesar panjang gelombang dengan frekuensi yang semakin kecil pada suatu titik
kontak. Semua yang dipikirkan dan dirasakan tereksplorasi menjalar ke bagian luar tubuh,
dan menuju titik kompromi ketika kedua tangan berjabatan, tubuh berangkulan, dan badan
berpelukan.
Hal inilah yang juga menjadi alasan mengapa begitu menggebunya para perantau untuk
mudik (pulang kampung) menjelang lebaran. Mungkin tradisi ini hanya ada di Indonesia saja
45
yang peristiwanya begitu ramai, meriah, heboh dan gegap gempita (apalagi ketika diekspos
media elektronik). Para pemudik seolah melakukan eksodus besar-besaran dari kota ke desa,
membedol sumber daya, dan mengalirkan nilai ekonomi yang tidak sedikit. Namun, siapa
yang banyak diuntungkan dalam peristiwa mudik ini. Para pemudik, penduduk desa,
perusahaan transportasi, media, telekomunikasi, barang konsumsi atau yang lain? Terlepas itu
semua, yang jelas inilah berkahnya Ramadhan. Dan momen Idul Fitri membuka kesadaran
akan nilai spiritual, disamping nilai sosial, ekonomi, dan budaya (tradisi). Nilai spiritual bagi
setiap pemudik adalah panggilan untuk kembali ke akar, ke asal tempat setiap insan memulai
kehidupan, yakni orang tua dan keluarga. Berkumpul dengan anggota keluarga memberi
kenikmatan yang tak dapat dilukiskan akibat sebelas bulan tak bertemu. Berbagi cerita sambil
mengendurkan saraf dan otot. Menumpahkan segala perasaan yang terpendam dan hanyut
dalam suasana syahdu kekeluargaan dan keakraban. Ditambah lagi dengan kesadaran
memberi dan berbagi (giving and sharing) kepada sesama akan semakin lengkap nuansa
spiritualitas yang terbentuk. Demikian tepat ajaran silaturahim, yang akan memperpanjang
umur dan dimurahkan rizki.
Namun, jarak menjadi kendala untuk bersilaturahim bertemu muka bertatap mata apalagi
sampai untuk berpelukan untuk waktu yang singkat. Oleh karena itu, tahun 1980 sampai
1990-an untuk bersilaturahim ke tempat yang jauh digunakan media jasa kantor pos. Dengan
kartu ucapan Idul Fitri yang bergambar masjid, kaligrafi, atau ketupat melayanglah jutaan
ucapan selamat lebaran itu dari satu tempat ke tempat lainnya. Sehingga kantor pos menjadi
instansi yang paling sibuk menjelang lebaran tiba, karena harus menyortir kartu-kartu ucapan
tersebut. Sampai sekarang penggunaan kartu ucapan masih digunakan, terutama antar instansi
atau instansi dengan rekanannya.
Mulai tahun 2001 setelah penggunaan HP merajalela dan teknologi SMS semakin
berkembang, dimulai pengiriman ucapan “minal ‘aidin wal faidzin dan mohon maaf lahir
batin” melalui teknologi ini. Sekitar tahun 2008 jejaring sosial FB sudah dijadikan sarana
silaturahim idul fitri dan kini ditambah lagi dengan menggunakan BBM.
[26/8/2012]
46
3 Pandangan Orang tentang sebuah Pesta
Sebuah pesta atau perhelatan memilki tujuan tertentu sesuai dengan yang empunya hajat. Ada
kalanya pesta dilakukkan secara berkala atau sebalikya sekali seumur hidup. Namun, apalah
artinya sebuah pesta jika tidak memilki manfaat. Ada pepatah yang mengatakan, tak ada
pesta yang tak berakhir. Pastinya, pesta ada diawali dengan membuka layar sajian beranjak
puncak acara dan diakhiri dengan bongkar panggung.
Ada 3 orang yang memandang setiap pertunjukkan pesta yang sudah digelar. Orang pertama
memandang sebuah pesta dengan memperhatikan gaya tuan rumah, model pakaian yang
dikenakan para hadirin, ulah para pengunjung, dan penampilan dari semua yang datang. Yang
disorot oleh orang pertama ini, adalah melulu tentang orang-orang dari sisi derajat sosial
ekonomi, taksiran harga pakaian dan perhiasan yang dipakai, kedaan ukuran fisik pengunjung
yang semakin makmur seiring membuncitnya perut dan melebarnya lingkar badan, termasuk
peran serta keterlibatan setiap tamu pesta dalam acara-acara yang tidak semua orang bisa
dipaksakan untuk bepartisipasi karena perbedaan persepsi tentang baik, malu, dan pantas.
Juga tidak lepas dari pengamatan terhadap jenis kendaraan yang dibawa dan pasangan pesta
yang mendampingi setiap pengunjung. Orang yang benar-benar menikmati pesta diukur dari
intensitas larutnya dalam semua acara dan mau nimbrung dalam berbagai permainan yang
digelar. Jaim, kosa kata yang sudah tidak ada dalam kamus si penikmat pesta menurut orang
ini.
Orang kedua memandang pesta dari makanan dan minuman yang disajikan. Jenis makanan
serta rasa lezat dan nikmatnya. Bentuk, format, dan pola penyajiannya pun diperhatikan
orang kedua ini. Tidak cukup sampai menjadi pemerhati saja, orang ini juga mencoba
menelaah lebih jauh dengan menilai rasa dan tampilannya. Mengomentari tentang
proporsionalitas bumbu dan penyedap serta hiasan yang membuat sajian enak untuk disantap.
Termasuk juga keserasian antara satu makanan dengan makanan lain atau minumannya
dalam satu bagian hidangan, tidak luput dari pengamatannya.
Orang ketiga melihat pesta dari acara yang diselenggarakan. Orang ini lebih memperhatikan
gerak-gerik orang-orang dengan aktivitasnya dibanding siapa orang-orang itu sendiri.
47
Susunan acara dan pelaksanaan acara menjadi perhatiannya. Mata acara demi mata acara
yang mengalir dalam rangkaian pesta terus disorot relevansinya dengan maksud dan tujuan
pesta. Seolah orang ini ingin menyelidiki kesesuaian antara isi undangan atau promosi pesta
dengan isi dan pelaksanaan acara pesta itu sendiri. Tiap mata acara tidak selalu diikuti,
kecuali yang sesuai dengan pegangannya. Sekali waktu, sebelum pesta usai dan beberapa
acara masih berlangsung ditinggalkannya.
Dari ketiga tipe orang memandang sebuah pesta, penulis menyerahkan pembaca menarik
simpulan tentang karakter ketiga orang tersebut? Atau mungkin Anda sendiri?
[20/2/2014]
48
Pemain (Praktisi) dan Penonton (Pengamat)
Dalam setiap permainan atau pertunjukan antara pemain dan penonton saling memiliki
hubungan mutualisma. Pemain memerlukan penonton agar pertunjukan yang ditampilkannya
dapat memberi sesuatu bagi penonton sebagai perwujudan dari ekspresinya menguasai seni
peran. Sementara penonton juga membutuhkan hiburan, pengetahuan, dan “sesuatu” yang
tidak dijumpai pada lingkungan dan kebiasaan sehari-hari. Penonton membutuhkan hal-hal
“out of the box” sebagai tambahan informasi dari miniatur kehidupan yang ditampilkan di
atas panggung.
Pemain yang memerankan perannya tidak bagus akan ditinggalkan penonton. Tentu saja, jika
kehidupannya hanya tergantung dari penampilannya di atas pentas akan berpengaruh bagi
jalan hidupnya. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas diri dan menjalin hubungan dengan
penonton menjadi syarat jika ingin konsisten dengan profesinya dengan ladang tetap subur
dan dapur selalu ngebul. Sedangkan penonton yang tidak pernah melihat “pemain dalam
pertunjukan” akan hidup berada pada “box” –nya saja, terbelenggu oleh spesialisasi, oleh
keahliannya sendiri, seolah berada dalam katak di bawah tempurung di dalam sumur lagi,
kehidupan yang monoton dan tidak bervariasi, merasa paling benar dalam kelompok dan
komunitasnya, selalu mengagungkan kebenaran sejarah hidupnya, tidak bisa menerima
kebenaran masa kini, dan apa yang dicapai oleh generasi kini dianggap belum seberapa
dibanding apa yang telah dibuat diri, leluhur, keluarga, tokoh historis yang dikagumi, dan
organisasi tempatnya berkecimpung sekalipun sebagai anggota biasa yang tidak aktif.
Para profesi yang menjalani bidangnya secara profesional adalah para praktisi yang didukung
oleh pendidikan, pelatihan, keterampilan, keahlian, dan pengalaman, dan merupakan para
“pemain” di lapangan masing-masing sesuai bidang garapannya. Mulai dari bidang seni,
budaya, olah raga, sosial, politik, pendidikan, perdagangan dan industri membutuhkan para
profesional. Sekarang ini, dunia semakin marak dengan berbagai profesi dan seiring
perkembangan pengetahuan, teknologi, dan informasi telah membuka dan menambah jenis
profesi-profesi baru. Dahulu kegiatan yang hanya dilakukan sebagai kesenangan semata, kini
sudah dapat dijadikan mata pencarian. Hobi menjadi aktivitas profesi. Bahkan kegiatan sosial
yang harus benar-benar untuk tujuan sosial tetap saja dibisniskan dan dijadikan ladang
49
profesi. Mungkin takut kalau ber”sosial”, takut disebut “sok” nanti jadi “sial”, sehingga lebih
baik berbisnis sosial saja. Menjual sosial untuk mendapatkan profit. Aktivitas seni budaya,
olah raga, sosial, dan pendidikan sudah digiring masuk dalam ladang bisnis dan dijadikan
kelompok industri baru. Bukan mustahil semua aspek dan bidang kehidupan (akankah
termasuk “individu” sendiri menjadi komoditas? atau tetap sekedar “pemberi jasa”) akan
menjadi lahan bisnis. Berbahaya sekali kalau individu dijadikan komoditas, yang dapat
“dijual” kan otaknya, tenaganya atau tubuhnya? Atau mungkin organ tubuhnya?
Disamping para profesional sebagai pemain, ada para pengamat yang (bisa) juga sebagai
penonton. Penonton hanya menikmati tingkah laku para pemain. Mengomentari, mengkritik,
memotivasi, mencela, juga sampai menghujat atau memujanya. Penonton seolah lebih pintar
dari pemain, karena bisa membenarkan atau menyalahkan apa yang dilakukan pemain.
Pengamat lebih cerdas dari penonton, karena komentarnya didukung data dan analisis (?)
sehingga kelihatannya lebih profesional. (Nah, pengamat sendiri menjadi profesi). Pengamat
terkadang juga disebut analis, sebenarnya mengingatkan para praktisi agar beraktivitas tetap
dalam koridor etika profesinya, berjalan dalam rel yang sesuai tujuan yang lebih besar
(pembangunan), selalu berkontribusi bagi kehidupan sosial budaya (berperan serta dalam
aktvitas sosial atau budaya), sensitif terhadap isu lingkungan hidup, dan lain-lain. Idealnya
hubungan antara praktisi dengan pengamat, sebagai check and balance. Tidak ada yang lebih
penting, maka jangan terjebak dalam ungkapan: pengamat hanya bisa berbicara dan
menghakimi tanpa isi. Lebih baik praktisi bisa berbuat. Memang, berat mata memandang,
lebih berat bahu memikul. Kini, pengamat sudah menjadi profesi (sebagai praktisi), maka
siapa yang mengamati pengamat?
Terkadang, untuk membahas dan menelaah sebuah masalah dalam profesi (praktisi) tertentu
yang berdampak luas akibat aktivitasnya atau sudah menjadi bahan berita berulang-ulang
dilakukan seminar-seminar. Seminar yang satu dengan yang lainnya bukan mencari solusi
menjelaskan ke masyarakat, sebaliknya menjadi ajang pembenaran untuk saling dukung
mendukung. Seminar laksana “kongres” (kongkow gak beres-beres). Kalau sudah demikian,
perlu menseminarkan seminar?
[22/9/2012]
50
Posisi dan Kecepatan
Perjalanan hidup manusia dalam konsep islam, dimaknai sebagai upaya ibadah (pengertian
makro) mencapai ridha Allah. Sehingga penyair Taufiq Ismail, mengumpakan rentang
kehidupan manusia sebagai “sejadah panjang”. Artinya sepanjang hidup manusia senantiasa
untuk bersujud (beribadah).
Mengendarai kendaraan dalam melaju di jalan (menurut imajinasi penulis) sebagai bentuk
miniatur perjalanan hidup. Di perjalanan ada aturan yang harus ditaati (peraturan lalu lintas)
supaya selamat dan aman dalam perjalanan dan sampai tujuan. Di jalan juga harus
mengetahui irama jalan. Kapan harus menambah kecepatan dan kapan harus mengerem.
Dimana posisi kendaraan yang sesuai dengan kecepatannya, apakah di jalur lambat, cepat,
atau jalur untuk mendahului kendaraan lain. Di sini digunakan istilah “kecepatan” bukan
“laju”. Karena dalam termininologi fisika mekanika, laju (speed) hanya menjelaskan besar
(nilai) nya saja. Alat pengukur laju, kan disebut speedometer. Sedangkan kecepatan
(velocity), selain memiliki besar juga menyangkut arah tempuh. Oleh karena itu, arah
kendaraan juga mesti dicermati, apakah selalu sejajar terus dengan jalan atau paralel dengan
bentuk arah jalan dan tidak membentuk sudut dengan arah panjang jalan yang sedang dilalui.
Dalam mengendarai mobil tidak boleh bertelepon, tetapi memang orang sekarang semakin
“kreatif” bersepeda motor saja bisa sambil ber-SMS-ria. Mengetahui posisi kendaraan sambil
mengatur kecepatan sangat perlu. Pada saat posisi untuk disusul kendaraan lain, maka harus
memberi jalan dengan menepi atau ke pinggir dengan menurunkan kecepatan. Sebaliknya
ketika hendak menyusul, harus memberi sein dan klakson terlebih dahulu dan ketika ada
ruang susul baru menambah kecepatan untuk mendahului kendaraan lain. Bukannya berjalan
seenaknya saja (seolah yang punya “wilayah”) dengan posisi di tengah-tengah/tanggung (tak
menepi juga tak memberi ruang susul) tetapi dengan kecepatan rendah. Sementara ketika mau
membelok, hendaknya menyalakan lampu sein sekitar 50-100 m sebelumnya, yang sering
terjadi 2 atau 3 m sebelumnya atau bahkan tanpa sein nyelonong masuk gang dan lenyap.
Sekali lagi, ada anak muda yang “sangat kreatif” ketika akan membelok, akan
membentangkan kakinya tegak lurus dengan sepeda motornya (kaki difungsikan sebagi
lampu sein). Belum lagi yang hobi menerobos lampu merah atau mengambil jalan orang lain
51
yang berlawanan arah dengan melewati pembatas jalan. Menyalib jalan orang lain bukan
pemandangan asing lagi. Meski begitu masih ada yang ditakuti kalau kedapatan ada petugas
polantas yang nongkrongin, dan itupun sudah ada yang berani menegosiasi atau melobi
petugas untuk masuk menyelip lebih dulu dengan alasan mengejar waktu (tangan kanannya
menunjuk-nunjuk jam tangan yang ada di tangan kirinya coba menyakinkan dirinya sudah
telat).
Semoga saja kehidupan primitif dan cenderung barbar –jauh dari nilai-nilai tradisonal apalagi
modern- yang ditampilkan di jalan raya bukan merupakan pencerminan kehidupan negara ini
yang sesungguhnya.
Nah, perjalanan hidup juga demikian. Kalau dalam melintasi jalan harus mengetahui irama
perjalanan, maka dalam menelusuri kehidupan juga harus memahami melodi kehidupan, jika
jalan memang bentuk representasi kehidupan. Bukan hidup bebas mau berbuat apa saja, tetapi
ada aturan dan peraturan yang dibuat dalam hidup supaya aman dan selamat sampai akhir
tujuan hidup. Mengerti dan memahami posisi kini sedang berada dimana. Apakah menjadi
seorang suami/istri, bapak/ibu, atau sudah menjadi kakek/nenek? Tentunya, ada perbedaan
dalam bersikap. Dalam organisasi, berada pada bottom management, middle management,
atau top management? Ada di jalur struktural atau sekedar fungsional? Akan berbeda cara
memandang persoalan dan mencari solusi. Menjadi tokoh masyarakat atau warga biasa?
Masing-masing diri lebih tahu posisi dan eksistensinya, dan seharusnya sadar akan itu.
Kecepatan dalam aktivitas hidup, dapat dipakai sebagai perubahan posisi yang ingin dicapai
dalam menempuh karir dalam satuan target waktu. Atau pencapaian target yang diraih dalam
rentang waktu. Namun, masalah ini dalam kehidupan nyata terkadang tidak linear, karena
banyak faktor X yang ikut berpengaruh.
Sementara arah hidup senantiasa diarahkan kepada “jalan lurus”, jalan yang diridhai Allah,
jalan yang berada dalam rel Al Qur’an dan As Sunnah.
[30/6/2012]
52
Menyimpangkan sistem
Sebagian orang senang dengan kerja yang teratur dan bersistem. Namun, sebagian lagi tidak
demikian. Bekerja semaunya saja tidak mengikuti sistem yang berlaku. Orang jenis pertama
tidak menjadi persoalan manakala pembuat sistem konsisten dengan sistemnya. Dengan
melakukan pengawasan, sistem akan berjalan sesuai keinginan pembuat sistem. Ketidak
konsistenan pembuat sistem dalam menjalankan sistemnya membuat pengikutnya
menjalankan sistem sesuai dengan seleranya masing-masing. Orang jenis kedua ini bisa
dilahirkan karena organisasi tidak memilki sistem atau ketidakkonsistenan pemimpin dalam
mempertahankan sistemnya. Orang melakukan penyimpangan terhadap sistem, terbagi
menjadi 2 bagian:
a. Sengaja
Dilakukan dengan sengaja, karena sifat asli pelaku yang memang cenderung tidak mau
diatur. Pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai prosedur dan dilakukan dengan mencari
mudahnya saja. Prosedur dipahami dan dimengerti, tetapi tidak mau menjalankannya.
Lain lagi, ada orang yang sangat pengerti prosedur dan dengan kepintarannya itu dia
mengakali sistem yang berlaku. Melakukan pekerjaan di luar prosedur yang berlaku
menjadi kesenangannya dalam mensiasati dengan maksud mencari keuntungan.
Keuntungan yang diperolehnya bisa dalam pemanfaatan waktu yang mana waktu yang
‘dikorupsi’ itu bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain yang memberi keuntungan
pribadinya.
b. Tak sengaja
Penyimpangan terhadap sistem bisa dilakukan oleh orang yang memang tidak
mengerti prosedur meskipun sudah dijelaskan dan diajarkan berulang kali. Atau orang
tersebut mengerti bagaimana prosedur dijalankan, tetapi sifat yang kurang teliti, mudah
lupa, gampang hilap, yang semuanya kurangnya perhatian tehadap tanggung jawab
pekerjaan, sehingga sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya.
[26/6/2014]
53
Cari Muka dan Cari Nama
Ketika mendengar dan bertemu dengan kedua istilah ini kebanyakan orang memiliki
paradigma negatif dan persepsi minor bahwa keduanya berkonotasi ’miring’. Namun, hal itu
tidak dapat disalahkan pada orang perorang. Kadang sebuah kata yang sifatnya netral dan
berarti tunggal berubah memiliki arti positif atau negatif serta menjadi majemuk (bermakna
ganda) bahkan membias, akibat terpakai sebagai sudah biasa (menjadi kebiasaan) dan
ditunjang kepopulerannya oleh media yang menggiring opini publik seolah menjadi sebuah
kebenaran, meskipun semu.. Semoga anda tidak demikian. Insya Allah.
Jika ditelaah sekejap pada ’cari muka’ dan ’cari nama’ akan tampak bahwa kedua istilah
tersebut terdiri dari 2 kata. Cari muka, berarti sedang mencari muka. Maknanya orang yang
kehilangan muka atau belum punya muka, sehingga belum menemukan mukanya sendiri
yang sesuai dengan keinginannya. Dengan pengertian lain, orang yang belum menemukan
jati diri dan kepribadiannya. Belum ketemu personality-nya sendiri.
Sedangkan cari nama, tentu saja orang yang belum menemukan nama atau belum punya
nama yang sesuai hasratnya. Bisa saja dia ingin mengganti nama yang diberikan orang
tuanya, karena merasa kurang keren dan bernuansa kekampungan. Biasanya orang yang
sedang diburu karena melakukan kesalahan akan melakukan hal ini sebelum mencari calon
muka baru. Mencari-cari nama-nama baru yang kemudian melakukan perubahan dan
mengganti muka. Pastinya orang ini tidak unjuk muka kepopuleran lewat facebook setelah
melakukan face off.
Pemimpin yang sedang berkuasa dan sadar bahwa organisasinya harus dilanjutkan oleh
penerusnya, maka akan memikirkan sistem regenerasi dan melakukan proses kaderisasi yang
berkesinambungan. Organisasi boleh tua dan memiliki pengalaman panjang dalam
aktivitasnya dan berperan serta dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, tetapi
jangan lupa organisasi juga perlu tenaga-tenaga yang masih kuat, pikiran yang masih segar,
semangat yang masih bergelora serta idealisme yang tetap menyala dalam bekerja, berkarya,
berkreasi, dan berinovasi. Alih generasi adalah sebuah keniscayaan bagi organisasi yang
tengah menatap masa depannya. Disinilah pentingnya pemimpin menemukan ’muka’ dan
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi
Kepemimpinan dan organisasi

More Related Content

Similar to Kepemimpinan dan organisasi

Dicari, pemimpin yang bisa dipercaya 01
Dicari, pemimpin yang bisa dipercaya 01Dicari, pemimpin yang bisa dipercaya 01
Dicari, pemimpin yang bisa dipercaya 01Muhsin Hariyanto
 
Kepemimpinan_Dr._Sarjana_Sigit_Wahyudi.doc
Kepemimpinan_Dr._Sarjana_Sigit_Wahyudi.docKepemimpinan_Dr._Sarjana_Sigit_Wahyudi.doc
Kepemimpinan_Dr._Sarjana_Sigit_Wahyudi.docaslah6
 
Bang pim pertemuan 2 new 2016-2017 1
Bang pim pertemuan 2 new 2016-2017 1Bang pim pertemuan 2 new 2016-2017 1
Bang pim pertemuan 2 new 2016-2017 1Mohamad Noor
 
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatikOperator Warnet Vast Raha
 
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatikOperator Warnet Vast Raha
 
Eksekutifmahasiswa
EksekutifmahasiswaEksekutifmahasiswa
EksekutifmahasiswaNauval Dot
 
Fdokumen.com kepemimpinan dalam-organisasi-568c14f76bfe2
Fdokumen.com kepemimpinan dalam-organisasi-568c14f76bfe2Fdokumen.com kepemimpinan dalam-organisasi-568c14f76bfe2
Fdokumen.com kepemimpinan dalam-organisasi-568c14f76bfe2infosmkn5kotser
 
Makalah model model kepemimpinan
Makalah model model kepemimpinanMakalah model model kepemimpinan
Makalah model model kepemimpinanMJM Networks
 
Kepemimpinan dalam organisasi
Kepemimpinan dalam organisasiKepemimpinan dalam organisasi
Kepemimpinan dalam organisasiXee Yuliani
 
8. Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga
8. Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga8. Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga
8. Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluargarobby chandra
 
1 Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga
1 Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga1 Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga
1 Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluargarobby chandra
 
Kepemimpinan dalam-organisasi
Kepemimpinan dalam-organisasi Kepemimpinan dalam-organisasi
Kepemimpinan dalam-organisasi Joel mabes
 
Makalah kelompok pengambilankeputusan
Makalah kelompok pengambilankeputusanMakalah kelompok pengambilankeputusan
Makalah kelompok pengambilankeputusanDenny Kodrat
 
Penjelasan tentang Kepemimpinan Dan Perubahan.docx
Penjelasan tentang Kepemimpinan Dan Perubahan.docxPenjelasan tentang Kepemimpinan Dan Perubahan.docx
Penjelasan tentang Kepemimpinan Dan Perubahan.docxJuwita Sari
 

Similar to Kepemimpinan dan organisasi (20)

Koma
KomaKoma
Koma
 
Dicari, pemimpin yang bisa dipercaya 01
Dicari, pemimpin yang bisa dipercaya 01Dicari, pemimpin yang bisa dipercaya 01
Dicari, pemimpin yang bisa dipercaya 01
 
Makalah kepemimpinan
Makalah kepemimpinanMakalah kepemimpinan
Makalah kepemimpinan
 
Makalah kepemimpinan
Makalah kepemimpinanMakalah kepemimpinan
Makalah kepemimpinan
 
Kepemimpinan_Dr._Sarjana_Sigit_Wahyudi.doc
Kepemimpinan_Dr._Sarjana_Sigit_Wahyudi.docKepemimpinan_Dr._Sarjana_Sigit_Wahyudi.doc
Kepemimpinan_Dr._Sarjana_Sigit_Wahyudi.doc
 
Bang pim pertemuan 2 new 2016-2017 1
Bang pim pertemuan 2 new 2016-2017 1Bang pim pertemuan 2 new 2016-2017 1
Bang pim pertemuan 2 new 2016-2017 1
 
Makalah manajemen kepemimpinan (2)
Makalah manajemen kepemimpinan (2)Makalah manajemen kepemimpinan (2)
Makalah manajemen kepemimpinan (2)
 
Makalah manajemen kepemimpinan
Makalah manajemen kepemimpinanMakalah manajemen kepemimpinan
Makalah manajemen kepemimpinan
 
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik
 
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik
65986663 bagaimana-menjadi-pemimpin-karismatik
 
Eksekutifmahasiswa
EksekutifmahasiswaEksekutifmahasiswa
Eksekutifmahasiswa
 
Fdokumen.com kepemimpinan dalam-organisasi-568c14f76bfe2
Fdokumen.com kepemimpinan dalam-organisasi-568c14f76bfe2Fdokumen.com kepemimpinan dalam-organisasi-568c14f76bfe2
Fdokumen.com kepemimpinan dalam-organisasi-568c14f76bfe2
 
Makalah model model kepemimpinan
Makalah model model kepemimpinanMakalah model model kepemimpinan
Makalah model model kepemimpinan
 
Kepemimpinan dalam organisasi
Kepemimpinan dalam organisasiKepemimpinan dalam organisasi
Kepemimpinan dalam organisasi
 
8. Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga
8. Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga8. Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga
8. Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga
 
1 Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga
1 Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga1 Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga
1 Pelatihan Kepemimpinan Dan Keluarga
 
Kepemimpinan dalam-organisasi
Kepemimpinan dalam-organisasi Kepemimpinan dalam-organisasi
Kepemimpinan dalam-organisasi
 
Makalah kelompok pengambilankeputusan
Makalah kelompok pengambilankeputusanMakalah kelompok pengambilankeputusan
Makalah kelompok pengambilankeputusan
 
Penjelasan tentang Kepemimpinan Dan Perubahan.docx
Penjelasan tentang Kepemimpinan Dan Perubahan.docxPenjelasan tentang Kepemimpinan Dan Perubahan.docx
Penjelasan tentang Kepemimpinan Dan Perubahan.docx
 
Dunia Kampus
Dunia KampusDunia Kampus
Dunia Kampus
 

More from Kiki Alhadiida

Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitasIstiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitasKiki Alhadiida
 
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media SosialBunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media SosialKiki Alhadiida
 
Aktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasiAktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasiKiki Alhadiida
 
Kisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahanKisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahanKiki Alhadiida
 
Lambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 JakartaLambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 JakartaKiki Alhadiida
 
Pedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahanPedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahanKiki Alhadiida
 

More from Kiki Alhadiida (9)

Keseimbangan
KeseimbanganKeseimbangan
Keseimbangan
 
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitasIstiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
Istiqomah = komitmen, konsisten, dan kontinuitas
 
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media SosialBunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
Bunga Rampai dalam Jambangan Media Sosial
 
KIR
KIRKIR
KIR
 
Aktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasiAktivis dan organisasi
Aktivis dan organisasi
 
Kisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahanKisah aktivis sekolahan
Kisah aktivis sekolahan
 
We are Activists
We are ActivistsWe are Activists
We are Activists
 
Lambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 JakartaLambang KIR SMA 32 Jakarta
Lambang KIR SMA 32 Jakarta
 
Pedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahanPedoman menjadi aktivis sekolahan
Pedoman menjadi aktivis sekolahan
 

Kepemimpinan dan organisasi

  • 2. 2 Posisi Pemimpin: di depan, di tengah, dan di belakang {3-4} Pemimpin Cabutan {5-7} Rakyat dan Wakilnya {8} Pandangan Hidup, Pegangan Hidup, dan Perjuangan Hidup {9-11} Siapa Gue, Siapa Loe, dan Siapa Aja? {12-14} Ruang dan Waktu {15} Pilihan dan Kesempatan {16} GADGET dan BUDGET {17-21} POLITISI = Poligami 3 “istri” ? {22-23} Warna dalam Pesta Demokrasi {24} GOLCOK, GOLPUT, dan GOLTUS {25-26} Gaya Sentripetal vs Gaya Sentrifugal (dalam organisasi) {27-29} Pedagang yang Politikus atau Politikus yang Pedagang? (Bukan Pengusaha vs Penguasa !) {30-31} Upah dan Honor {32} Upah Minimum? {33} Pendidikan ”Kemaluan” dan Budaya Malu {34-36} “Curhat” {37} 2 tipe Karyawan {38} “Jaim” {39} Pemimpin yang “curhat” vs Selebriti yang “jaim” {40} K ~ U atau K ~ 1/U {41-43} Silaturahim, dari high touch ke high tech {44-45} 3 Pandangan Orang tentang sebuah Pesta {46-47} Pemain (Praktisi) dan Penonton (Pengamat) {48-49} Posisi dan Kecepatan {50-51} Menyimpangkan sistem {52} Cari Muka dan Cari Nama {53-54} Inkosistensi dalam Berhitung {55-56} Modus, Modul, Mokat, dan Monek {57-58} Menjadi “biasa” atau “luar biasa” {59} Mungkinkah ada kesuksesan di multi bidang? {60-62} Positive thinking, Zero mind, dan Negative thinking {63-67} Iklan Rokok dan Kampanye Politik {68-71} Kehidupan adalah panggung sandiwara sejati {72} KARAKTER & KONTRIBUSI {73-74} Berjiwa sosial ≠ “Berilmu sosial”? {75-76} So(k)sial {77-78} Alangkah lucunya negeri ini……………… {79-80}
  • 3. 3 Posisi Pemimpin: di depan, di tengah, dan di belakang Menurut penulis, guru SD merupakan ‘super guru’, karena selain tugas mengajar mereka juga lebih menjadi pendidik, dan disamping itu mereka mengajarkan banyak pelajaran sekaligus memegang wali kelas yang bersangkutan. Sebagai ‘guru luar biasa’ guru SD dari kelas I sampai kelas VI yang penulis alami dan rasakan bagaimana mereka mengajar dan mendidik begitu tulus. Mereka bukan ‘guru biasa di luar’ yang menyambi dengan profesi lain atau mengajar di sekolah lain. Saking kagumnya penulis dengan guru-guru SD penulis, hingga kini penulis masih ingat nama-nama mereka semua. Keenamnya memang memiliki metode yang berbeda dalam mengajar dan mendidik, tetapi ada satu hal yang semuanya mereka miliki bersama yakni semangat pengabdian pada profesi yang luar biasa. Salah satu kesan penulis terhadap guru SD adalah dengan seorang guru kelas VI yang mengajarkan kepada penulis ketika masih duduk di kelas itu. Beliau mengajarkan tentang prinsip pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantoro. Penulis sampai hari ini masih mengingatnya, yakni: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Ketika itu guru penulis memaparkan artinya (kalau tidak salah): Di depan memberi contoh, Di tengah memberi semangat, dan Di belakang memberi dorongan. Mohon dimaklumi kalau artinya kurang atau tidak tepat, karena penulis bukan orang jawa yang juga tidak mengerti bahasa jawa. Ternyata, ajaran itu tepat kalau diterapkan pada masalah kepemimpinan. Seorang pemimpin selayaknya bisa menempatkan diri di depan, di tengah, dan juga di belakang. Pemimpin tidak harus menampilkan diri terus di muka pengikutnya, terkadang harus berada di tengah memberi semangat dan mendorong dari belakang supaya pengikutnya dapat maju. Di sinilah bedanya antara ‘pemimpin’ dan ‘manajer’ dimana seorang manajer selalu dan mesti ada di depan atau di atas. Karena perannya bersifat formal dan bertidak selalu sesuai aturan dan peraturan serta menjadikan target sebagai alat paksa untuk mengaktualisasi peran. Penempatan posisi di depan, di tengah, dan di belakang dapat juga bermakna dengan suatu pencapaian. Sebagai aktivis sebuah organisasi, bisa saja ketika merintis karir dimulai dari belakang menjadi anggota, kemudian masuk ke tengah menjadi kepala bidang, dan akhirnya sampai di depan berada dalam lingkaran badan pengurus harian. Atau merambat melaju
  • 4. 4 semula dari anggota, pengurus cabang, pengurus wilayah, pengurus daerah sampai bercokol di pengurus pusat. Posisi tersebut juga dapat berkonotasi sesuai rentang waktu, sehingga dapat dibuat menjadi kronologi sebagai berikut: a. Rentang usia 13-20 tahun adalah masa belajar menjadi Aktivis, dan masih berada dalam aktivis sekolahan. b. Rentang usia 20-40 tahun adalah masa menjadi Aktivis sesungguhnya (dalam sebuah organisasi) c. Rentang usia 40-60 tahun adalah masa menjadi Pemimpin sebuah Organisasai atau Aktivis dalam banyak Organisasi dan Komunitas. d. Rentang usia 60-80 tahun adalah masa untuk menjadi Pembina, Pembimbing, atau Penasehat Fungsionaris organisasi dan tidak lagi berada dalam jajaran manajemen organisasi serta tidak mempunyai hak untuk mencampuri kebijakan Fungsionaris. Dalam sebuah organisasi sejatinya ada kaderisasi dan regenerasi, sehingga setiap orang bisa tampil: a. di depan (sering berada di muka publik dengan aktivitas berselebritas dan menjadi aktivis yang sedang naik daun serta sebagai pemeran utama atau tokoh sentral), b. di tengah (menyiapkan tokoh yang diusung dan memberi kesempatan kader untuk berkembang serta sebagai pemeran figuran/pembantu), dan c. di belakang (merasa tahu diri untuk tidak melulu di tengah apalagi di depan dan berlapang dada mempersilakan kader untuk maju membesarkan organisasi serta berperan layaknya penulis skenario dan sutradara lepas). Menurut Andreas Harefa dalam “Menjadi Manusia Pembelajar”, manusia matahari terdiri dari dengan level yang meningkat dimulai dari manusia pekerja, lalu manusia pemimpin, yang kemudian manusia guru. Anda sendiri sudah berada di level manusia jenis manakah? [31/3/2014]
  • 5. 5 Pemimpin Cabutan Istilah “cabutan” bermula dari sepak bola kampung, dimana suatu kesebelasan mengambil (mencabut) pemain dari klub yang lain. Pemain ini dibayar untuk mendukung kesebelasan yang membayarnya. Jika bayaran terlalu tinggi, bisa saja dibayar dengan kambing, sehingga muncul istilah “tarkam”, yakni tarik kambing. Tarkam ini juga menjadi semacam piala atau tropi yang diperebutkan oleh kesebelasan yang bertanding. Ternyata, jual beli pemain hingga ini terus berlangsung, bahkan dengan nilai transaksi yang sangat besar. Di satu sisi, terlihat bahwa suatu klub tidak mampu mencetak pemain unggul, karena ketidakberdayaan dalam kaderisasi atau regenerasi. Atau memang sengaja memberi peluang dengan mempersilakan pemain asing masuk klub, sebagai faktor pemicu dan pemacu klub meningkatkan kinerjanya dalam mencapai juara dalam kompetisi, karena sepak bola sudah menjadi ladang bisnis dan industri olah raga yang harus diperhitungkan nilai profitnya bagi pengelola dan pemilik klub. Di sisi lain, dengan adanya “jual kaki” tersebut akan menguntungkan bagi pemain untuk memasang harga kakinya, dan hal ini menjadikan mereka sebagai profesional dengan nilai bayaran tinggi. Nah, bagaimana dengan organisasi lainnya seperti organisasi bisnis dan organisasi publik. Untuk oganisasi bisnis, jelas bahwa seorang direktur atau manajer bisa tidak selamanya duduk di kursi empuk, karena pemilik akan terus memantau prestasinya dalam meningkatkan kemajuan perusahaan. Sementara organisasi publik, seperti pemerintahan (negara), propinsi, kabupaten dan kotamadya, melalui sistem demokrasi dalam mencari pemimpin atau pengelola organisasi tersebut. Dengan melalui sistem pemilihan langsung, maka sebagai elemen demokrasi partai politik menjadi sumber tempat lahirnya pemimpin publik. Walaupun begitu, bakal calon pemimpin juga ada yang tidak berasal dari partai politik (calon independen), mereka dapat berasal dari kalangan birokrat, LSM, atau profesional. Ironisnya, partai politik di Indonesia masih belum dewasa dalam membangun demokrasi. Generasi tua masih tetap bercokol di atas dan syahwat untuk berkuasa masih bertahan di ubun-ubunnya. Akhirnya, terjadi abai dalam kaderisasi karena generasi mudanya tidak diberi kesempatan oleh sistem yang ada. Nampak terlihat, seorang ketua umum menjabat sampai berperiode-periode seolah tidak ada yang patut dan pantas untuk menempati kursi singgasananya. Atau, seorang sekretaris umum yang terus menjabat walaupun sudah
  • 6. 6 berganti-ganti pimpinannya. Belum lagi, ketakutan dengan perpecahan organisasi dilakukanlah proses pemilihan dengan cara lobi atau negosiasi yang prosesnya didominasi sang pendiri. Atau ketergantungan yang berlebihan organisasi pada seseorang, sehingga si pendiri seolah menjadi pemilik organisasi tersebut layaknya rumah tangganya sendiri, sedangkan anggota lainnya seumpama pembantunya saja yang gampang ditendang atau mudah didepak jika terlalu kritis terhadap kebijakannya. Juga, terdapat pengurus partai hanya menjalankan hal-hal teknis dan menjadi sekedar wayang saja, sedangkan konsep sepenuhnya diurus oleh dewan pembina, dewan penasehat, atau dewan pertimbangan yang berperan menjadi dalang. Tidak membakukan sistem pemilihan juga menjadi ciri khas organisasi atau selalu membuat sistem yang mudah dicari celahnya terutama menjelang proses suksesi. Akhirnya, yang ada adalah ketidakpuasan sehingga muncul sifat kenakan-kanakannya dengan tidak dapat menerima keputusan forum. Ujung-ujungnya, membuat organisasi tandingan, berupa partai baru. Tidak rela orang lain berkuasa, harus dirinya yang maju. Tidak bisa menerima saudaranya sendiri menjabat, semestinya dirinya yang lebih pantas. Demikian, yang terjadi dalam perebutan kekuasaan di pentas negeri ini, yang miniaturnya dapat disimak dalam panggung rumahnya di partai politik. Tidak adanya kaderiasai akan berakibat pada jangka panjangnya berupa hilangnya regenerasi atau terputusnya mata rantai sistem organisasi. Sikap mental menjadi pemimpin yang abai dalam pengabdian, tidak memiliki visi, tidak bisa menjadi “uswatun hasanah”, tidak ada niat membangun organisasi, akan memperparah kerusakan mental dan dekadensi karakter “anak bangsa” serta melanggengkan kultur warisan jaman penjajahan. Mengapa kita tidak belajar dari orang di negeri lain? Sengitnya dalam kampanye tidak menyisakan dendam yang berkepanjangan. Mereka mengamalkan, jangan tanya apa yang dapat negara berikan kepadamu, tetapi tanyalah apa yang dapat kau berikan buat negara ini. Usai masa saling tohok dalam kampanye, saling serang dalam memperebutkan pengaruh, diakhiri dengan kesediaan bekerja sama membangun pemerintahan yang baru. Sikap lapang dada ditunjukan dengan mau dipimpin oleh seorang yang pada masa lalu dikategori berada pada kelas lebih rendah dari strata dirinya. Sebuah contoh yang luar biasa! Dengan masih terbelenggunya sikap dan karakter sebagian besar anak bangsa negeri ini dalam memanfaatkan kesempatan membangun negara ini, maka akan membutuhkan waktu puluhan atau mungkin ratusan tahun lagi untuk menjadi dewasa dalam berdemokrasi, seperti yang diperlihatkan di negara maju. Akankah pendidikan menjadi jalan tol untuk
  • 7. 7 mempersingkat waktu tersebut? Ataukah, sistem pencarian pimpinan yang harus diubah? Sulitnya mencari seorang pemimpin dari 240 juta jiwa, bukan karena bakal calonnya yang tidak ada, tetapi keinginan setiap kelompok (organisasi) untuk menempatkan “orangnya” yang menimbulkan perseteruan. Persaingan tidak saja pada tokoh individu sebagai figur, tetapi juga kompetisi antar organisasi pendukung atau partai penyokong yang sarat kepentingan politis dan ekonomis. Semoga saja, kesulitan ini tidak menimbulkan hal-hal yang dapat terjadi, seperti di bawah ini: 1. Presiden berasal dari orang impor merk negeri entah berantah. 2. Gubernur outsourching. 3. Bupati kontrak. 4. Walikota titipan. Masa sih, pemimpin kita dicari dengan mekanisme mencabut? Repot dah, kalau yang jadi Pemimpin Cabutan. [29/9/2012]
  • 8. 8 Rakyat dan Wakilnya Maraknya luapan kebebasan dan euphoria demokratisasi di negara ini membuat orang bukan saja berani unjuk rasa tetapi juga unjuk gigi. Kalau dulu ketika ditawari malu-malu tetapi mau, sekarang belum ditawari sudah unjuk mau. Walau kadang tanpa kompetensi dan kapasitas, yang penting mau, malu sudah tak punya. Hal yang menarik dari setiap kepemimpinan baik pusat maupun daerah, adalah sang wakil berkeinginan menduduki kursi yang diwakilinya. Wakil Presiden ingin jadi Presiden, Wakil Gubernur ingin menjadi Gubernur, Wakil Bupati ingin menjadi Bupati, dan Wakil Walikota ingin menjadi Walikota. Sedangkan Wakil Rakyat tidak ingin menjadi Rakyat. Mengapa? Sementara kalau dikatakan rakyat sudah kaya, wakil rakyat sudah mewakilinya. Kalau rakyat sudah makmur, sudah diwakilinya. Demikian pula, jika dianggap rakyat sudah sejahtera, kan sudah diwakili kesejahteraannya oleh sang wakil rakyat. Kalau begitu, ada yang salah? Rakyat sendiri yang sudah memilih wakilnya, maka harus mau “diwakili” apapun yang dimilikinya, terutama segala urusan yang menguntungkan dan menyenangkan. [17/3/2012]
  • 9. 9 Pandangan Hidup, Pegangan Hidup, dan Perjuangan Hidup Berbicara dan membincangkan hidup adalah persoalan yang rumit, luas, tak bertepi juga tak berujung, apalagi kehidupan ini sendiri. Sederhananya, ya hidup ini disyukuri saja sebagai sebuah anugrah Allah sekaligus hadiah dan titipan-Nya kepada kita untuk berperan baik sebagai hamba maupun khalifah. Sementara kehidupan, adalah bagaimana manusia itu sendiri menjalani hidup itu sendiri dan hal ini harus diperjuangkan. Bukankah nasib suatu kaum ditentukan oleh kaum itu sendiri? Proporsionalitas antara do’a dan ikhtiar, adalah santapan setiap saat bagi makhluk spiritualis, sebagai bagian sisi dan karakteristik sosok manusia. Sebagai urutan kronologis masa pertumbuhan manusia yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan masa tua, maka cara memandang hidup dan problematikanyapun juga demikain seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan si manusia tersebut. Sebut saja, ketika masa kanak-kanak dan remaja, idealisme, khayalan, angan-angan, mimpi, dan cita-cita semua berada di atas ketinggian langit dan bahkan bisa saja berada di alam bawah sadar. Keterbatasan informasi tentang sesuatu (pengetahuan dan ilmu), ketersekatan atas wawasan, dan keterbelengguan dari tradisi dan budaya terbelakang dari keluarga dan daerah menjadi alasan mendasar tidak lengkap dan utuhnya memandang hidup ini. Di usia muda ini, hidup hanya dijadikan sebagai pandangan saja. Lingkungan yang sebatas rumah (keluarga), sekolah, dan pergaulan main juga ikut mereduksi dan penyederhanakan hidup dan arti kehidupan sehingga mereka belum mengetahui bahwa masih ada kehidupan lain di luar tembok-tembok itu. Makanya, sangat tepat jika seorang yang baru selesai menamatkan pendidikannya (terutama setingkat sarjana) dikatakan bahwa saat ini bukan akhir dari perjuangan kalian, tetapi awal dari kehidupan kalian dan bermulanya melihat hidup yang sesungguhnya. Masa dewasa dikonotasikan sebagai masa yang stabil secara emosional, pertimbangan rasional lebih dikedepankan ketika melihat persoalan, dan mampu menyeimbangkan antara idealita dan realita, serta sikap yang lebih arif dan bijak memandang permasalahan. Sikap dewasa juga merupakan produk ideal dari sebuah pendidikan, yang intinya dapat bertanggung jawab, mampu berdiri sendiri, serta dapat membedakan yang benar-salah, baik-buruk, dan bagus-jelek. Sikap dewasa bukan saja secara individual tetapi juga secara sosial dan spiritual,
  • 10. 10 tidak hanya secara perseorangan tetapi juga dalam kelompok dan organisasi, juga tidak sebatas dalam satu komunitas melainkan ketika berhadapan dengan komunitas lain yang berbeda. Ujian kedewasaan adalah, ketika kita mampu menerima perbedaan orang lain. Insya Allah, dengan ”kedewasaan” inilah maka masa dewasa sebagai masa yang siap dan mampu memegang kehidupannya. Dari sikap ini tumbuh dan berkembang pengetahuan, keilmuan, keterampilan, dan keahlian seseorang yang menjadi pegangan hidup serta modal menjalankan kehidupannya. Kehidupan dimulai dari usia empat puluh, adalah sebuah ungkapan yang tidak berlebihan. Walaupun di umur ini setiap manusia mulai melangkah memasuki usia senja, tetapi buat sebagian orang justru di rentang masa ini telah memasuki kemapanan dalam hidup. Bahkan ada yang baru memulai berkarya atau memutar perencanaan, beralih profesi, dan menentukan arah kehidupan yang berbeda dengan periode sebelumnya. Disamping tentunya, juga ada yang telah menorehkan sejumlah prestasi atas kerja kerasnya di usia mudanya dan kini tinggal menikmati hasilnya. Di usia tua boleh jadi pensiun dari kepegawaian, tetapi bukan berarti pensiun dari aktivitas hidup. Kehidupan masih terus berlangsung selama detakan jantung dan hembusan napas tetap setia. Salah satu sikap dewasa yang bisa diambil ketika berada di usia tua, adalah sikap bijak. Bijak dalam skala aktivitas hidup sehari-hari yang tidak banyak lagi mengutamakan beban fisik. Bijak memberi kesempatan dan mengalihkan kepada generasi berikut supaya mereka dapat berkembang. Bijak menghindari kemudharatan jika berada dalam lingkungan tertentu dan lebih memilih mundur atau berada di luar sistem demi kemaslahatan diri dan umat yang lebih besar. Bijak mencari titik kompromi daripada mempertahankan ego untuk hal-hal yang tidak prinsip dan mendasar. Bijak menentukan arah dan orientasi hidup yakni antara kebutuhan dunia dengan tujuan akhirat. Membuka kembali memori masa kecil, jika punya cita-cita ingin masuk surga, maka kesempatan menghitung kuantitas dan kapasitas amal perbuatan baik dan perbuatan tidak baiknya, yang selanjutnya mengejar ketertinggalan selama ini mana perintah agama yang belum dilaksanakan. Jika dalam urusan dunia kita membuat perencanaan, melakukannya dengan ilmu manajemen, dan mengelolanya dengan mengorganisasi sumber daya sedemikan rupa, apatah berlebihan untuk urusan akhirat kita juga berbuat demikian? Bukankah perjalanan yang panjang dan jauh membutuhkan persiapan yang matang dan bekal yang cukup dibanding dengan perjalanan yang lebih pendek dan dekat? Hal inilah, yang dimaksudkan bahwa di usia tua hidup harus didesain dan diperjuangkan juga. Perjuangan hidup di masa tua, adalah pengorbanan
  • 11. 11 mengurangi aktivitas dunia yang tidak bernilai ibadah karena niat dan visi awalnya yang tidak mardhatillah (mencari keridhaan Allah). Sebaliknya, pengorbanan waktu, pikiran, tenaga, uang, dan nyawa (bila perlu, kelihatannya kita masih pikir-pikir kalau pengorbanan yang satu ini dan harus diakui ketaatan kita tidak sekaliber para nabi dan rasul) dalam meningkatkan kualitas ibadah mahdhoh sesuai Al Qur’an dan As-Sunnah serta memperbanyak kuantitas muamalah dan aktivitas hidup yang berbobot dan bernilai ibadah. Sosok Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail adalah contoh keteladanan sebuah keluarga dalam berjuang hidup di dunia dan ikhtiar menggapai akhirat. Perjuangan hidup Nabi Ibrahim di usia 70 tahun lebih saat itu hendaknya menjadi inspirasi dan motivasi buat kita, sehingga pantaslah beliau mendapat gelar ”khalilullah” (kekasih Allah). Inginkah kita disematkan gelar ini juga? Sebuah gelar yang diperoleh sebagai jebolan dari ”universitas akhirat”, yang kuliahnya di dunia dengan ujian sidang sarjananya diperingati sampai hari ini sebagai hari raya kurban, Idul Adha. [11/11/2012]
  • 12. 12 Siapa Gue, Siapa Loe, dan Siapa Aja? Berteman pada setiap orang tidak sama. Ada kalanya seseorang memilih teman karena beberapa kesamaan. Ada yang mengutamakan pertemanan berdasarkan kesamaan hobi, kesukaaan, atau kesenangan semata. Atau bisa juga karena memiliki tokoh idola yang sama. Pemilihan pertemanan juga akan berubah seiring dengan bertambahnya usia. Hal yang sama terjadi juga dalam menentukan cita-cita. Kalau masih anak-anak (waktu sekolah SD) akan memiklik cita-cita yang sangat ideal seperti seorang tokoh yang dikagumi. Ketika menginjak remaja awal (sekolah di SMP) akan berubah dengan bertambahnya pengetahuan. Demikian pula sampai duduk di bangku SMA, akan semakin realistis untuk menentukan cita-cita hidup nantinya. Di perguruan tinggi akan lebih realistis lagi apa yang akan dikejar dengan cita-cita tersebut. Nah, demikian juga dalam menentukan teman, kawan, sejawat dan sahabat. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman hidup, maka pemilihan temanpun berbeda dengan ketika masa kanak-kanak dahulu. Seseorang bisa saja ketika akan menerima orang lain masuk dalam pertemanannya atau masuk dalam kehidupannya, akan menempatkan dirinya setinggi mungkin. Dengan percaya dirinya, dia akan menganggap dirinya memiliki kelas tersendiri. Siapa Gue, sebuah sifat keakuan yang ditampilkan secara berlebihan. Memandang bahwa strata kehidupan ini perlu ditampilkan dalam semua situasi dan kondisi serta tidak mengenal waktu. Bahwa kasta dalam masyarakat tetap ada, berdasarkan sifat-sifat artifisial yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Kasta menurut pendidikan, kasta menurut status sosial, kasta menurut kekuatan ekonomi, kasta menurut akses politik, dan semua aspek kehidupan memamg dapat dijadikan kasta. Setelah mengukur posisinya demikian, adakalanya lebih melihat tampilan dan predikat orang yang mau masuk dalam kehidupannya. Kepemilikan sumber daya dan latar belakang menjadi rujukan sebagai ukuran prasyarat diterima tidaknya pertemanan. Siapa loe. Memang kamu siapa, beraninya mau masuk dalam kehidupanku dan apakah kamu sebanding dengan yang aku miliki. Di sini unsur keakuan masih ditonjolkan, tetapi lebih membuka diri dengan memberi kesempatan bagi sang calon teman memaparkan informasi dirinya secara lebih
  • 13. 13 lengkap dan detail. Kedua sikap di atas merupakan warisan sikap feodal dan sisa-sisa tradisi kerajaan yang mengagungkan status. Mau menerima apa adanya setiap teman adalah sikap egaliter dan demokratis, tanpa mempersolakan keturuan, ras, suku, agama, kelompok, atau sekat-sekat apapun itu semua yang membatasi antar manusia itu sendiri. Karena setiap manusia lahir dalam kedaan bebas, merdeka dan tanpa status atau predikat. Bayi yang lahir tidak dapat protes dan harus menerima apa adanya. Dan setiap anak juga tidak bisa memilih sebagai keturunan orang intelek atau awam, sebagai warisan orang terpandang atau rakyat jelata, atau sebagai hereditas sebuah keluarga kaya atau miskin. Pandangan mempersoalkan status dan penggolongan berdasarkan kasta sudah seharusnya terkubur dalam bentuk mummi. Strukturisasi manusia berlatar belakang keturunan dan atribut predikat yang melekat sudah semestinya berada dalam ruang meseum yang hanya diketahui sebagai peninggalan sejarah masa primitif. Kehidupan dan peradaban kini sudah berubah. Oleh karena itu masihkah kita mengembalikan atau mempertahankan pola-pola kehidupan masa sebelum nenek moyang kita lahir? Munculnya beragam komunitas saat ini akibat media jejaring sosial dan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi, seyogyanya tidak menyeret dalam ”kelompokisme”, eksklusif dalam pengelompokan dengan penguatan ideologi dan doktrin, merasa megalomania dibanding dengan yang lain, sebagai ajang pamer ”kesaktian”, arena narsis dalam ke-eksis-annya, serta menjadikan sebagai pentas show off ”siapa kami” dan di luar kami, ”siapa kalian?”. Selayaknya komunitas menghindari ranjau dan menjauhi jebakan di atas. Lebih menonjolkan manfaat sosial ketimbang pamer identitas, lebih berarti buat masyarakat sekitar dibanding sekedar pesta senda gurau, dan lebih bermakna upaya peningkatan karakter anggota daripada memanfaatkan wadah sebagai saluran kepentingan individu masing-masing, adalah pilihan-pilihan yang strategis dalam berkomunitas. Berhubungan dan bertautan pertemanan dalam komunitas bisa membuat suatu jejaring teman dengan spektrum yang sangat luas. Dari yang senang update status dengan saling bercurhat- ria sampai yang serius menuangkan pemikiran. Dari yang suka membuka memori dan kenangan masa silam sampai yang hendak membuat program kemajuan. Bahkan bisa saja, hubungan pertemanan ini tidak saling mengenal dekat. Bisa saja terjadi, teman kita dari yang ”kerjaannya sembahyang dan mengaji” (dikutip dari syair lagu Si Doel Anak Betawi) sampai yang hanya tukang nongkrong di pangkalan. Dari yang ”doyan” sajadah sampai yang
  • 14. 14 berperilaku haram jadah. Dari yang rajin ikut kumpulan ”Yasin-an” sampai yang masih setia dengan ”cekekan botol” minuman. Nah, begitu lebar dan luasnya rentang jejaring dalam komunitas. Walaupun beberapa kesamaan menjadi alasan berkomunitas, tetapi ingat setiap pribadi adalah berbeda dan unik. Alasan ”privasi” setiap orang tak dapat dihindari, maka kelonggaran dalam penyatuan kebersaman perlu menjadi bahan pertimbangan membangun komunitas yang lebih serius (diformalkan) dalam bentuk organisasi. Jangan sampai berbalikan dengan slogan Perum Pegadaian yang mengatasi masalah tanpa masalah. Jangan sampai Reuni yang seharusnya ”penyatuan”, kembali bersatu, mempersatukan, dan membangun kebersamaan, malahan menjadi-jadi perpecahan, perselisihan, dan pengelompokan hanya karena ego masing-masing alumnus. Membuat organisasi (berjamaah), yang semestinya menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan secara perseorangan, masa sih dengan berorganisasi justru kok menambah masalah pribadi/perseorangan. Kalo begitu boro-boro menyelesaikan masalah bersama. Masalah pribadi aja tambah dengan berorganisasi. Pinjam kalimat dari Mansyur S, pedangdut era 1970-2000: ”bukan perpisahan yang kutangisi, tapi pertemuan yang kusesali”. Gimana dong? Jadi? Ya, tetap saja berkomunitas. Why not? Namun, terbuka berhubungan dengan orang atau komunitas lainnya. Apalagi, akan lebih baik memiliki aktivitas yang saling bersinergi dan berkontribusi membangun kemajuan. Satu komunitas, bisa saja buat siapa saja! Tanpa pilih- pilih. Siapa Aja, it’s OK ! Ya, kan? [3/11/2012]
  • 15. 15 Ruang dan Waktu Teringat ketika mempelajari fisika (modern) pada bab teori relativitas, bahwa semua yang ada di dunia ini adalah relatif (nisbi). Kenisbian ini karena manusia dibatasi oleh ruang dan waktu. Dengan keterbatasan ruang (tempat) dan waktu yang tersedia, maka seharusnya setiap manusia sadar akan eksistensinya selama berada di suatu tempat dan di suatu rentang waktu. Manusia tidak dapat berada di dua tempat yang berbeda dalam satu waktu. Keterbatasan terhadap tempat inipun selalu dibatasi oleh waktu. Artinya tidak selamanya manusia itu hidup berada dalam satu tempat terus menerus. Oleh karena itu, perencanaan dan program menjadi hal penting kalau berniat memanfaatkan keterbatasan ini secara optimal. Membuat tujuan aktivitas (hidup) dengan sasaran jangka pendek, menengah dan panjang, adalah langkah awal mengelola waktu. Mempunyai rencana kerja dan program aktivitas di setiap komunitas (organisasi) yang menaungi akan menghasilkan kontribusi yang produktif. Maka, kalau masa hidup seseorang diibaratkan sebuah buku, ada buku yang tebal dan ada yang tipis. Buku juga bisa tidak berisi catatan apa-apa (hanya kumpulan kertas kosong). Atau buku yang berisi banyak tulisan dan catatan yang dapat mengubah peradaban umat manusia. Termasuk jenis buku yang manakah masa hidup kita? Mari, produktifkan setiap detik hidup kita ! [28/1/2012]
  • 16. 16 Pilihan dan Kesempatan Bagi seorang muslim kepercayaan akan hidup sesudah mati menjadi tolok ukur faktor keimanan seseorang. Bahwa ada kehidupan setelah di dunia, yakni kehidupan di alam akhirat. Hidup di dunia bagi seseorang hanya sebatas umur yang dimiliki dan tidak ada yang tahu kapan kontrak hidupnya dengan Sang Khalik akan berakhir. Demikian juga seseorang juga tidak akan tahu kapan akhir hidup orang lain. Bahkan dimana manusia mati, dalam peristiwa apa, dan cara bagaimana jelang maut menghampiri juga tidak dapat diestimasi dan diprediksi. Sungguh sangat misteri akhir hidup ini. Oleh karena itu, sangat tepat kalau hidup selain pilihan bagi manusia untuk mau berbuat apa saja asal siap menerima konsekuensinya, hidup juga adalah kesempatan untuk berbuat melakukan hal yang dipilih tadi. Melakukan hal terkecil dan sederhana yang dilakukan secara terus-menerus akan lebih berarti ketimbang hanya memikirkan dan merenungi sebuah rencana besar yang utopis dan bombastis. Mari pergunakan kebebasan menggunakan pilihan ini dan kesempatan menjalaninya. Hanya selama hidup bisa memilih dan masih hidup pula memiliki kesempatan untuk berbuat baik dan benar, tentunya. [24/3/2012]
  • 17. 17 GADGET dan BUDGET Gadget dan Budget, dua kata yang hampir mirip dalam pengucapannya. Dua kata yang berasal dari dua bidang yang berlainan, yakni teknologi dan ekonomi. Istilah pertama baru kelihatan akrab 5 tahun terakhir ini, sedangkan istilah yang kedua sudah di luar kepala terutama bagi aktivis organisasi apalagi manajer keuangan. GADGET Dari Paseban Technology & Community dalam portal.paseban.com, disebutkan: Pengertian gadget tidak selalu seputar mobile handset (handphone, smartphone, tablet PC) saja, tetapi memiliki ruang lingkup yang luas. Sejarah Untuk mengetahui pengertian gadget, dapat ditelusuri kembali pada abad 19 di mana asal- usul dari kata "gadget" pertama kali muncul. Menurut Kamus Inggris Oxford, ada bukti anekdotal untuk penggunaan gadget sebagai nama tempat untuk menyimpan item teknis yang mana orang tidak dapat mengingat nama sebenarnya, hal ini berlangsung sejak tahun 1850- an. Contoh, pada buku Robert Brown, Spunyarn and Spindrift pada tahun 1886 menyebutkan seorang pelaut pulang dengan membawa clipper teh Cina yang pertama kali dibuat dan digunakan lalu menyebutnya gadget. Etimologi dari kata gadget telah lama diperdebatkan. Sebuah cerita beredar luas menyatakan bahwa kata gadget diciptakan ketika Gaget, Gauthier & Cie, perusahaan di balik penundaan dari pembangunan Patung Liberty (1886), membuat versi kecil dari monumen tersebut dan menamakannya setelah perusahaan mereka, namun hal ini bertentangan dengan bukti bahwa kata itu sudah digunakan sebelumnya di kalangan kelautan, dan fakta bahwa kata itu belum populer setidaknya di Amerika Serikat, sampai setelah Perang Dunia I. Sumber lain menyebutkan bahwa kata gadget merupakan penurunan dari gâchette bahasa Perancis dari alat pemicu yang diterapkan pada berbagai mekanisme alat tembak, atau gagée yang dalam bahasa Perancis berarti alat kecil atau aksesoris. Penggunaan istilah gadget dalam bahasa militer melampaui pengertian gadget pada bidang kelautan. Dalam buku Above the
  • 18. 18 Battle tulisan Vivian Drake, yang diterbitkan pada tahun 1918 oleh D. Appleton & Co, New York dan London yang menjadi memoar seorang pilot di British Royal Flying Corps terdapat kutipan sebagai berikut: "perasaan bosan kami kadang-kadang hilang dengan gadget baru— “gadget” adalah istilah slang Flying Corps untuk penemuan baru! beberapa gadget baik, beberapa menghibur, dan beberapa sangat luar biasa.” Pada paruh kedua abad 20, istilah gadget diambil sebagai konotasi dari compactness and mobility. Dalam esai 1965 The Great Gizmo (istilah yang digunakan bergantian dengan gadget di seluruh esai), kritikus arsitektur dan desain Reyner Banham mendefinisikan pengertian gadget sebagai berikut: Kelas karakteristik produk AS—mungkin yang paling berkarakteristik—adalah unit berukuran kecil dengan kinerja tinggi, dalam kaitannya dengan ukuran dan biaya, yang berfungsi untuk mengubah keadaan yang sebelumnya tidak bisa dibedakan menjadi kondisi yang lebih dekat dengan keinginan manusia. Minimum keterampilan diperlukan dalam instalasi dan penggunaannya, dan ia tidak bergantung pada infrastruktur fisik atau sosial di luar dirinya, dan ia dapat dipesan dari katalog dan dikirimkan ke pengguna. Sebuah pelayan atas kebutuhan manusia, perangkat clip-on, gadget portabel, telah mewarnai pemikiran Amerika dan tindakan yang jauh lebih dalam. Aplikasi gadget Dalam industri software, gadget mengacu pada program komputer yang menyediakan layanan tanpa memerlukan sebuah aplikasi independen yang akan diluncurkan secara terpisah, melainkan berjalan di lingkungan yang mengelola beberapa gadget. Terdapat beberapa implementasi berdasarkan teknik pengembangan software yang ada, seperti JavaScript, form input dan berbagai format gambar. Contoh software semacam ini adalah Google Desktop, Google Gadgets, Microsoft Gadgets, dan Dashboard software Apple Widgets. Penggunaan awal didokumentasikan dari istilah gadget dalam konteks software engineering pada tahun 1985 oleh para pengembang AmigaOS, sistem operasi dari komputer Amiga. Istilah ini melambangkan apa yang biasa disebut GUI widget-elemen kontrol pada GUI (Graphical User Interface). Penamaan ini tetap berlanjut untuk digunakan sejak saat itu. Secara garis besar, pengertian gadget adalah obyek teknologi seperti perangkat atau alat yang memiliki fungsi tertentu, dan sering dianggap sebagai hal yang baru. Gadget selalu dianggap
  • 19. 19 sesuatu yang tidak biasa atau sesuatu yang dirancang secara cerdik melebihi objek teknologi normal yang ada pada saat penciptaannya. Gadget kadang juga disebut sebagai gizmos. [RY] Sedangkan Wikipedia.com, memberikan definisi sebagai berikut: A gadget is a smalltechnological object (such as a device or an appliance) that has a particular function, but is often thought of as a novelty. Gadgets are invariably considered to be more unusually or cleverly designed than normal technology at the time of their invention. Gadgets are sometimes also referred to as gizmos. Dalam bahasa Indonesia, gadget diartikan sebagai Gawai atau acing, sebagai suatu peranti atau instrumen yang memiliki tujuan dan fungsi praktis spesifik yang berguna yang umumnya diberikan terhadap sesuatu yang baru. Gawai dianggap dirancang secara berbeda dan lebih canggih dibandingkan teknologi normal yang ada pada saat penciptaannya. BUDGET Budget (Anggaran) adalah suatu rencana yang disusun secara sistematis, yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan yang dinyatakan dalam unit (kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka waktu (periode) tertentu yang akan datang. (Munandar, 1985). Budget mempunyai empat unsur, yaitu: •Rencana •Meliputi seluruh kegiatan perusahaan •Dinyatakan dalam unit moneter •Jangka waktu tertentu yang akan datang Kegunaan budget: a. sebagai pedoman kerja b. sebagai alat pengkoordinasian kerja c. sebagai alat pengawasan kerja/tolok ukur. Budget merupakan alat bagi manajemen yang memiliki karakteristik: o Budget disusun berdasarkan taksiran-taksiran. o Budget disusun dari berbagai data baik yang controlabel dan non controlabel. o Efektivitas dan efisiensi budget tergantung dari manusia sebagai pelaksana.
  • 20. 20 Anggaran berkaitan dengan fungsi dasar-dasar manajemen, sehingga anggaran meliputi fungsi perencanaan, mengarahkan, mengorganisasi dan mengawasi setiap satuan dan bidang- bidang organisasional didalam badan usaha. Sementara yang dimaksud cash budget, adalah suatu perencanaan yang menunjukkan penerimaan dan pengeluaran kas untuk mengetahui kapan akan terjadi surplus dan deficit untuk suatu periode yang akan datang. Walaupun nampak bahwa pengertian budget menyangkut organisasi (perusahaan), tidak ada salahnya juga dan memang sudah terlanjur bahwa budget harus diletakan pada keuangan pribadi pula. Dan kelihatannnya untuk skala keuangan pribadi lebih tepat pada pengertian cash budget seperti di atas. Banyak alasan orang untuk memiliki gadget. Mungkin karena kebutuhan dimana profesi dan aktivitasnya menuntut ketersediaan perangkat tersebut. Mungkin juga karena mengikuti tren gaya hidup supaya tidak dikatakan sebagai manusia gaptek. Oleh karena itu untuk memiliki gadget seseorang dapat memasukannya sebagai kebutuhan sekunder atau tersier. Bahkan bisa saja sebagai kebutuhan primer. Mana yang prioritas, mendesak, penting, dan harus didahulukan adalah pilihan yang berbeda pada setiap orang. Bukankah kita pernah mendengar kisah tentang orang miskin yang lebih mendahulukan membeli rokok ketimbang membeli beras buat keluarga atau susu untuk anaknya? Penempatan tingkat kebutuhan tiap orang terhadap gadget tidak sama dan itu hak pribadi masing-masing. Apalagi semangat memiliki ’alat canggih’ itu termasuk memang kebutuhan atau sekedar keinginan? hanya Tuhan dan yang bersangkutan yang tahu. Nah, apa relevansinya antara gadget dengan budget? Tentu saja, ada relevansi yang signifikan dimana ada budget (anggaran) yang harus disediakan untuk memilki gadget. Namun, semangat yang menggebu untuk bergaya ’modern’ juga dapat diatasi dengan membeli secara angsuran jika membeli secara kontan tidak mampu. Banyak fasilitas tersedia yang memanjakan konsumen untuk berbelanja dengan cara begini ini. Selama nafsu materialisme dan syahwat hedonisme bersarang dalam tubuh berwujud manusia dan tidak terbendung atau sulit dikekang selama itu pula konsumen digiring dalam perangkap marketing sebuah produk. Keunggulan suatu produk yang diluncurkan menjadi penggoda
  • 21. 21 para konsumen untuk memilikinya meskipun dengan berhutang. Bukankah ada moto bagi yang hobi ngutang, bahwa kalau bisa berhutang mengapa harus membayar kontan? Dan lebih hebat lagi, hutang adalah tradisi dan budaya orang modern. Gak modern kalau gak punya utang! Sekarang ini, susah memiliki sesuatu kalau tidak berhutang. Bagaimana? Memiliki sekarang atau menunda gadget incaran adalah pilihan pribadi tiap orang. Atau memilih yang sesuai dengan cash budget yang tersedia juga demikian. Pada ujungnya, akan kembali kepada pola hidup yang dijalani. Boros dan mewah atau hemat dan sederhana? Mau hidup sesuai kemampuan, di bawah kemampuan, atau di atas kemampuan finansial kita, lagi- lagi pilihan kita. Apakah kita sudah cerdas secara finansial, kita juga yang paling tahu. Dalam perencanaan keuangan, kiranya pepatah lama masih memiliki korelasi dengan zaman sekarang ini: ”jangan lebih besar pasak daripada tiang”, apalagi hanya untuk menikmati sebuah gadget terbaru yang berujung pada kekacauan cash budget kita sendiri. [10/2/2013]
  • 22. 22 POLITISI = Poligami 3 “istri” ? Politisi adalah profesi untuk memperoleh kekuasaan sekaligus sarana pengabdian pada suatu negara dalam rentang masa pemerintahan. Namun, dalam praktiknya faktor kekuasaan lebih dominan ketimbang pengabdian, bahkan niat mengabdi sudah tereliminasi sebelum kekuasaan itu diraih. Memang idealnya, seorang politisi adalah calon menjadi seorang negarawan. Kedudukan sebagai negarawan mustahil diperoleh tanpa meniti karir lewat profesi politisi. Pada dasarnya profesi ini seperti halnya profesi lainnya tergantung “para pemain” atau “pelaku”nya. Akan tetapi, proses jenjang dan jalur karir di lapangan politik lebih banyak menggunakan faktor di luar rasionalitas. Sehingga sering dikatakan politik itu artinya “banyak taktik” (poli=banyak). Atau, politeknik = banyak teknik(nya) politisi?, atau juga tekniknya berpolitik? Sebagai politisi yang dekat dengan kekuasaan atau sedang berkuasa dan ini secara historis sudah banyak diungkap (bukan lagi menurut survey), maka politisi cenderung memiliki 3 “istri”, yakni: 1. Istri pertama, bernama “Tata”. Sudah menjadi rumus bahwa bergelut dalam partai politik tentu saja adalah mengejar TAHTA (kekuasaan). Apapun dalih dan idealisme yang diusung oleh partai politik, unsur untuk berkuasa tetap tidak akan bergeming. Partai politik bisa berlatar belakang agama atau ideologi tetap saja sebagai elemen demokrasi yang memenangkan suara terbanyak. Bukan suara terbenar atau suara terbaik. Maka, ketika terjadi hasil yang tidak diinginkan, yang salah tentu saja demokrasi itu sendiri. Karena, kalau otoriter kesalahan hanya satu orang. Sedangkan pada demokrasi, adalah kesalahan banyak orang. Kekuasaan, apapun itu otoriter atau demokrasi telah menjadi barang rebutan dengan nafsu untuk duduk di singgasana, syahwat berkuasa dan libido berpengaruh seantero jagad raya (bila perlu).
  • 23. 23 2. Istri kedua, bernama “Sita” Dengan posisi sebagai penguasa, maka menentukan segala aturan dan kebijakan bisa sekehendak isi perutnya saja. Anggaran dapat diputarbalikan sesuai keinginan. Sehingga, kursi empuk yang didapat kini sudah membuahkan hasil dengan hidup bergelimang kemewahan. HARTA telah menjadi pendamping dalam merubah pola kehidupan baru. Sebagian masih waras dengan “kelebihan” yang dimiliknya, dengan mendirikan perusahaan yang nota bene juga untuk menguras sumber daya dan kekayaan negara, yang ujungnya sudah tak jelas lagi statusnya antara penguasa dengan pengusaha. Ya, seperti kedua sisi keping logam. Sebagian politisi, bingung “membuang” kekayaannya mau dikemanakan, karena tak habis-habis, bahkan yang diterima lalu belum habis sekarang sudah datang lagi. Akhirnya, dibuang ke tempat yang tidak semestinya, terperosok, terungkap, terpergok pada keasyikan menikmati “penyakit laki-laki”, yakni “3 dari anggota molimo” 3. Istri ketiga, bernama “Nita” Kalau raja-raja zaman bar-bar saja dapat memiliki 40 selir, mengapa tidak pada era digital sekarang, begitu mungkin pikiran yang terlintas pada sebagian politisi. WANITA, memang makhluk lemah gemulai di mata laki-laki, tetapi kadang laki-laki tidak mengetahui di balik kelemahlembutannya tersebut tersimpan kekuatan luar biasa. Diantara kekuatannya, adalah daya tarik aura dan pesonanya, sehingga laki-laki tidak pernah merasa cukup untuk menambah koleksinya. Dukungan istri pertama dan kedua, menjadi jalan yang mulus untuk mendapatkan istri yang ketiga ini. Bahkan, sebagai politisi yang suka mempolitisir peraturan dan kebijakan, bukan tidak mungkin akan mempolitisir “ayat poligami”, yang seharusnya 1, 2, 3, atau 4, menjadi 1, 2, 3, dan 4. Artinya bisa dijumlahkan semua. Kalau demikian, bisa cilaka. Naudzubillah. Kembali bahwa, politisi sebagai profesi juga sebagai individu pelaku pemilik profesi. Menggeneralisasi atau mereduksi makna akibat perilaku sebagian menjadi atau dari seluruhnya, adalah hak tersendiri bergantung kapasitas atau kompetensi. Yang jelas profesi ini bergengsi dan berselebritas. [21/7/2012]
  • 24. 24 Warna dalam Pesta Demokrasi Pada perhelatan pesta demokrasi, kembali masalah ‘warna’ menjadi polemik. Karena zaman orde baru rakyat dibuat buta warna. Hanya boleh melek dan mengenal warna kuning, hijau, dan merah saja. Warna lain tidak berlaku. Maka sekelompok orang yang melihat ada ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam ‘arisan nasional’ itu membentuk golongan warna sendiri, yaitu golongan putih (golput). Kini, golput kembali mencuat. Sebuah istilah bagi orang yang tidak mau memilih kontestan dalam Pemilu. Jika golongan yang tidak mau memilih disebut golongan puitih, bagaimana dengan golongan yang ikut memilih termasuk kader parpol dan politisi itu sediri? Apakah mereka disebut goltam (golongan hitam), golbu (golongan abu-abu), atau golmam (golongan mambo)? Kalau membagi dunia itu dengan terang dan gelap, siang dan malam, dan selalu berpasangan. Tentu saja, hanya ada dua golongan. Yaitu golongan putih dan golongan hitam. Tapi masalahnya, konotasi putih itu suci, mulia, bersih, dan tidak ternoda. Sedangkan hitam berarti kotor, terhina dan ternoda. Kalau para pemilih terutama politisi dimasukan sebagai golongan hitam, tentu saja tidak mau dan mungkin protes. Jika para pemilih dan kader partai dimasukan ke dalam golongan abu-abu, bagaimana? Abu- abu sendiri, adalah tipikal warna yang bermakna moderat, tidak hitam juga tidak putih, campuran putih-hitam, memiliki sikap bermuka dua dan tidak tegas serta senang mengadu domba untuk kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri. Nah, para pemilih terutama kader partai jika dimasukan sebagai golongan abu-abu. Tentu, juga akan menolak jika persepsinya demikian. Bila demikian, para pemilih dan kader partai serta politisi masuk ke dalam golongan mambo. Warna mambo, adalah campuran berbagai warna yang masih bisa dibedakan batas-batas tiap warna. Masing-masing warna tentunya memiliki arti dan karakter tersendiri. Anda sendiri, mau masuk ke dalam warna mana nanti di tanggal 9 April 2014? [6/4/2014]
  • 25. 25 GOLCOK, GOLPUT, dan GOLTUS Suasana pesta demokrasi yang kerap berlangsung menjadi ukuran bahwa bangsa ini masih dalam taraf awal belajar berdemokrasi, jika dilihat dari pelaksanaan Pemilu, baik pemilihan Caleg, Pilpres, ataupun Pilkada. Bagian yang mengurus penyelenggaraannya saja selalu menampilkan masalah sebelum ajang digelar. Para kontestan atau kandidatnyapun juga demikian. Apalagi dengan para pemilih yang memiliki latar belakang berbeda dan tingkat pengetahuan yang tidak sama. Sejak Pemilu pertama diadakan, 1955 hingga kini negara ini masih mencari identitas tentang sistem apa yang tepat untuk situasi dan kondisi di sini. Jargon untuk pelaksanaan yang berazas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia) hanya tinggal jargon. Pelaksanaannya kadang menjadi TUMPAH (tuntutan memilih partai pemerintah). Bahkan sampai BANJIR (banyak janji, iming-iming, dan rekayasa). Kelihatannya masih menjadi utopia, negara ini menyelenggrakan PEMILU yang JURDIL (jujur dan adil) terutama pada PILPRES dan PILKADA. Produk yang paling laku sekarang dalam percaturan politik adalah PERUBAHAN. Semua mengusung perubahan. Memang terjadi perubahan dalam pergantian siapa yang memimpin masyarakat, bangsa dan rakyat ini, tetapi tidak dalam bagaimana membangun kesejahteraan dan kemakmuran. Perubahan hanya terjadi pada diri sang tokoh pemimpin dan keluarga serta kroninya plus begundal-begundal dalam partai pendukungnya, yang bertambah jumlah kekayaannya atau menjadi orang kaya baru semenjak berkarir menjadi politisi. Tidak cukup dengan gaji menjadi pejabat pemerintah/negara, maka harus mengejar target upeti melalui berbagai proyek, baik nyata maupun fiktif. Sementara bagi rakyat pemilik negeri ini seolah tak hentinya mengharapkan munculnya pemimpin yang adil, tegas, sederhana, percaya diri, dan penuh pengabdian. Semakin banyak politisi yang berulah dalam tayangan media, akan menjadikan masyarakat pemilih menjadi semakin luntur kepercayaannya pada sang tokoh termasuk partai tempatnya “berkandang”. Kandidat pemimpin publik dan partai politik kontestan pemilu sangat membutuhkan masa pendukung. Sedangkan masa mengambang jauh lebih besar dari anggota partai dan tidak
  • 26. 26 dapat diprediksi dengan tepat arah dukungan suaranya, sekalipun menggunakan lembaga survey independen. Masyarakat yang mempunyai hak pilih pada prinsipnya terbagi dua bagian. Pertama, memilih sesuai jumlah pilihan yang tersedia. Kedua, memilih untuk tidak memilih salah satu kandidat atau kontestan. GOLCOK, termasuk kelompok pertama ini. Golongan Colok Kandidat/Kontestan, memilih salah satu peserta dari sekian peserta yang bersaing dalam perebutan kursi di Pemilu. Golcok ini, merupakan kelompok terbesar, dan terdiri dari anggota partai, simpatisan partai, pendukung kandidat, atau warga masyarakat dan warga negara yang “baik”. Golcok memilih bisa berdasarkan kesamaan ideologis, agama, etnis, atau keterikatan emosional lainnya. Mereka merasa cocok dengan pilihannya. Atau juga memilih berdasarkan pertimbangan rasional dan ketertarikan pada programnya si kandidat. Kelompok Golcok inipun tidak sampai 100% dari penduduk sebuah negara atau wilayah sekalipun pelaksanaannya di sebuah negara yang disebut paling demokratis sedunia. GOLPUT, golongan putih. Istilah ini muncul waktu zaman Orde Baru, karena hanya mengusung 3 partai yang berwarna hijau, kuning, dan merah. Maka, dengan tidak memilih ketiga warna itu, menyikapinya dengan sebutan Golput, karena kecewa dengan sistem saat itu. Namun, sekarang ini Golput terjadi bisa karena masalah administrasi, sehingga si pemilih kehilangan hak pilihnya. Atau memang sengaja si pemilih tidak mau menyalurkan suaranya. Mungkin juga, karena ada hal-hal yang tidak dapat ditinggalkan ketika hari pencoblosan berlangsung. Kekecewaan yang tinggi terhadap calon pilihan, dapat saja masuk dalam kriteria golput. Memilih salah satu tetap bermasalah. Ibarat memakan buah simalakama. Lebih baik tidak memilih sama sekali, begitu cetus makhluk Golput ini. Sedangkan GOLTUS, golongan tusuk semua (kandidat/kontestan). Maksudnya, sama dengan golput, sama-sama tidak mendukung pendulangan suara. Bedanya dengan Golput, Goltus ini tetap datang ke TPS dan masuk ke dalam bilik suara tetapi memilih semua kandidat/kontestan, sehingga suaranya dianggap tidak syah (batal/abstain). Bagaimana dengan Anda? Tentunya, setiap sikap dan langkah yang diambil ditentukan dengan visi, prinsip hidup, hati nurani, dan tingkat kecerdasan. Apalagi sikap politik menjelang pesta demokrasi. Semoga tidak salah pilih. [16/9/2012]
  • 27. 27 Gaya Sentripetal vs Gaya Sentrifugal (dalam organisasi) Dalam hukum Newton berlaku, jumlah gaya pada keadaan seimbang sama dengan nol (=tidak ada gaya sama sekali). Bila sebuah benda memberikan gaya aksi terhadap benda lain, maka benda tersebut mengalami gaya reaksi dari benda lawannya. Jumlah gaya aksi dan gaya reaksi sama dengan nol dan arahnya saling berlawanan. Jika dianalogikan, hal yang demikian juga berlaku pada manusia dalam berorganisasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam organisasi terdapat lingkaran-lingkaran (R=ring), dan juga tak bisa dinafikan adanya stratifikasi. Lingkaran dengan radius berbeda dan stratifikasi dengan level strata yang berlainan dapat ditampilkan secara jelas dan vulgar atau samar dan maya. Lingkar terkecil ada di R-1 (strata teratas pada puncak piramid), dimana dijumpai orang- orang inti (keluarga, kerabat atau pendiri organisasi). Antara ruang R-1 dengan R-2 dan seterusnya, terdapat garis pemisah, dimana terjadi “keseimbangan gaya” jika organisasi dalam keadaan stabil dan mapan. Di garis inilah terdapat gaya sentripental dan gaya sentrifugal. Memang idealnya harus terjadi keseimbangan terus, antara tarikan gaya sentripetal ke arah dalam dengan tarikan gaya sentrifugal ke arah luar. Namun, dalam dinamika perjalanannya tarik menarik itu semakin dahsyat. Tarik ulur sudah biasa terjadi. Demi reputasi pribadi, nama baik keluarga, prestise kelompok, imej eksistensi organisasi, dan kepentingan yang lebih besar membuat gaya sentipetal lebih kuat dari gaya sentrifugal. Sehingga yang terjadi abai terhadap kepentingan bersama, lupa terhadap niat memajukan organisasi, dan acuh terhadap program mensejahterakan anggota (rakyat). Peran pengurus yang sejatinya mengurus organisasi menjadi “mengurus” diri, keluarga, dan kroninya. Seharusnya mengelola kemaslahatan anggota, justru memberi kemudharatan dengan menguras kekayaaan dan sumber daya organisasi. Tidak dapat membedakan antara posisi semasa kampanye dengan posisi setelah menjabat, mengakibatkan paradigma yang ada dalam benak si pemimpin adalah bahwa hanya orang- orang pendukung, kelompok pengusung pencalonan dirinya dahulu, dan partai yang menjagokan, serta pebisnis penyandang dana yang turut melincinkan dalam menggolkan ke kursi singgasana pejabat publik- (negara/pemerintah, propinsi, kotamadya/kabupaten, atau mungkin juga kecamatan, kelurahan, RW, dan RT)- yang perlu mendapat prioritas dalam
  • 28. 28 segala hal dan harus selalu berada pada VIP class dalam setiap kebijakan, karena mereka adalah kroni (begundal) setia nan abadi yang harus diberikan imbal hasil (return) sebagai utang budi (?) atau balas jasa. Nah, dengan demikian bagaimana dengan orang-orang, kelompok, partai, dan pebisnis yang bukan pendukungnya semasa kampanye? Apakah tetap diperlakukan secara “adil” seperti memperlakukan para pendukungnya? Atau mereka tetap dianggap sebagai oposan, pembangkang kebijakan, penghambat pembangunan, perusak program kerja, atau penggangu kestabilan yang harus selalu dicurigai, disisihkan, dipinggirkan, ditendang atau dibuang sejauh mungkin dari pusat kekuasaan. Kalau begitu, bagaimana dengan calon independen (non partai) apakah benar-benar lepas dari kepentingan “orang lain”? kan juga tidak! Kiranya, konsep keadilan sangat pas untuk dilekatkan untuk menyeimbangkan gaya sentripetal dan gaya sentrifugal yang ada. Keadilan bukan sekedar “nama” partai atau “jargon” dalam kampanye, tetapi benar-benar dipakai dalam praktik kepemimpinan. Jangan sampai anggota (rakyat) yang peras keringat banting tulang, bercucuran air mata, dan “berdarah-darah” dalam perjuangan memperoleh kebutuhan mendasar saja (makan) dan diiming-iming untuk ikut dalam mencoblos dalam proses pemilihan-walaupun tak kenal siapa yang dipilih dan tak mengerti untuk apa memilih- hanya menjadi “korban politik”, karena asas manfaat para politisi dalam mengumpulkan suara. Masa kampanye usai dengan hingar bingarnya dan proses pemilihan berlangsung dengan segala metode dan sistemnya-terlepas ada unsur kejujuran atau kecurangan-yang jelas naiklah sang pemimpin ke tampuk kekuasaannya. Hidup dengan penuh kenikmatan dan segala fasilitas yang serba mewah. Sementara anggota (rakyat) yang “ndeso” tetap hidup dalam ketidaktahuannya dan keluguannya, kembali menjalani hari-hari kehidupan yang sama dengan masa sebelum “pesta demokrasi” berlangsung. Tetap dalam serba keterbatasan tepatnya kekurangan. Bisa jadi dalam kekumuhan, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, keterpinggirkan, dan selalu menjadi “objek” kepentingan pencari manfaat. “Arisan nasional” setiap 5 tahun sekali juga “setali tiga uang”, tak terkecuali dalam pemilihan anggota legislatif (aleg) baik anggota DPR ataupun DPD. Memang ironis buat Indonesia, dengan predikat negara muslim terbesar di dunia (maklum bukan mukmin terbanyak?) sangat sulit mencari pemimpin yang sidik, tabligh, amanah, dan fathanah. Kepemimpinan Rasulullah, hanya dipakai dalam pangajian dan cukup sebagai bahan diskusi serta berhenti
  • 29. 29 sebatas wacana saja. Sehingga yang terjadi, adalah pemikiran seperti: nilai-nilai keislaman tidak perlu keluar dari masjid, tidak usah menembus dinding majelis taklim, dan tidak sesuai zaman dalam kehidupan modern ini yang memerlukan aspek profesional. Spiritualitas`menghambat kemajuan dan tidak dapat dibumikan. Realitas kehidupan ini adalah sekularitas yang serba rasionalitas. Dengan kondisi demikian, sangat sukar merindukan pemimpin negara ini yang merujuk pada kepemimpinan Rasulullah. Jangan kan sekaliber Khulafaur rasyidin, setingkat di bawah Umar bin Abdul Aziz atau Shalahudin Al ayyubi saja sulitnya minta ampun kali? mencari sosok di negeri ini. Kisah dalam Shirah Nabawiyah, Shirah Sahabah, dan kisah pemimpin islam yang lain seharusnya menjadi pelajaran dasar dan referensi utama calon pimpinan, agar “kedua gaya” di atas dapat diseimbangkan atau minimal proporsional sesuai niat dan visi misi awal sebelum memimpin. [8/7/2012]
  • 30. 30 Pedagang yang Politikus atau Politikus yang Pedagang? (Bukan Pengusaha vs Penguasa !) Para ahli dan praktisi terutama politisi atau ekonom sering mengatakan bahwa politik dan eknomi adalah ibarat kedua sisi dalam mata uang. Artinya antara politik dan ekonomi saling bersebelahan dan saling kait mengkait. Dalam artikel ini, penulis menuangkan sedikit uraian setelah mengamati dan mencermati kondisi kehidupan kita sehari-hari melalui media. Tingkah laku dan manuver para selebritis dan tokoh nasional yang selayaknya menjadi panutan masyarakat, jauh dari harapan. Alih-alih dapat melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik, yang bersangkutan sendiri malah terperosok dalam kubangan yang dibuatnya sendiri. Mungkin, kebanyakan orang akan pesimis dan apatis dengan perubahan negeri ini yang diharapkan dari sepak terjang para tokoh dan pemimpin, jika melihat pola tingkah dan perilakunya. Baik yang menyerupai tingkah laku kucing atau tikus. Kucing punya sikap malu-malu, tetapi mau. Hipokrit, lain di hati lain di mulut (”munafik”) dan akan lain lagi di perbuatan. Awalnya, jika di dekat seekor kucing diletakan sepotong ikan dan ditunggui seolah tidak mau. Sikapnya yang cuek, diem, kalem, adem, ayem, dan cool. Namun, apa yang terjadi ketika si penunggu tidak ada, langsung ikan diserobot habis tanpa sisa. Tikus adalah hewan kotor, senang bersembungi, keluar ketika suasana aman, semua dimakan termasuk sisa-sisa makanan, dan jika tidak ada makanan utamanya apa saja juga dimakan selama giginya masih mampu untuk menggerogoti. Dengan kemampuan gigi pengeratnya, tikus bisa makan apa saja, kecuali material yang kekuatan dan kekerasannya melebihi gigi-giginya. Selama hidupnya, tikus sulit dicari manfaat buat sesamanya apalagi kelompok lainnya. Hidupnya cenderung egois ketika mendapatkan makanan. Jika mati, tikus di sembarang tempat dan meninggalkan bau yang mengganggu. Hidup dan matinya membuat susah makhluk lain. Orang yang memiliki usaha sendiri disebut sebagai Pengusaha atau Usahawan. Nama lainnya, ialah Wirausaha, Wiraniaga, Wiraswasta, atau Pebisnis. Mungkin ada juga pendapat yang membedakannya masing-masing istilah tersebut. Pengusaha dapat berupa Produsen (industriawan) dan Pedagang atau Saudagar. Sebenarnya, pengertian Pengusaha dengan Pedagang bisa dalam arti sempit atau arti luas. Arti sempitnya, yakni Pedagang sebagai bagian dari Pengusaha, sementara arti luasnya disamakan saja antara Pedagang dengan Pengusaha. Penulis membedakan Pengusaha dengan Pedagang ditinjau dalam jangkauan
  • 31. 31 penentuan Laba Rugi. Menurut penulis, pedagang hanya berputar pada Laba Rugi Ekonomi, yakni laba rugi jangka pendek. Setiap barang yang dibeli harus bisa dijual. Pengusaha memiliki sistem Laba Rugi yang bernilai Investasi jangka panjang, yakni selain ada Laba Rugi Ekonomi, dikenal Laba Rugi SDM, Laba Rugi Teknologi, Laba Rugi Sosial, dan Laba Rugi Lingkungan. Sedangkan Politisi adalah orang yang berkarir di bidang politik, berkecimpung di organisasi publik, melakukan pengabdian kepada masyarakat melalui penentuan kebijakan, dan tentu saja keinginan menggapai kekuasaan dalam sebuah wilayah tertentu. Penulis sengaja menggunakan istilah judul di atas sebagai Politikus, dengan maksud membedakan dengan istilah Politisi. Politikus adalah politisi kotor dan busuk, seperti halnya tubuh, kehidupan, dan bau tikus. Insya Allah, istilah ini bukan sarkasme. Dari kehidupan ’pedagang’ yang memiliki asal bisa dibeli dan dapat dijual serta dapat untung, beres dah ! menjadi politikus yang memang asalnya sudah bernawaitu mencari tambahan kekayaan untuk memperbesar modal dagangnya, maka bukan mustahil apa saja dijual yang penting untung. Aset bangsa dilego, sumber daya negeri dikuras, kekayaan negara dipasarkan. Sebaliknya, yang semula politikus dengan berniat mencari kekayaan (asalnya belum kaya) atau menambah kekayaan (asalnya sudah kaya tetapi belum cukup), tidak ada kamus untuk mengabdi untuk tanah air. Setelah modal cukup, maka berdaganglah dengan jualan demokrasi, revolusi, reformasi, restorasi, perubahan, politik santun, politik bersih, politik etis, dan segala macam produk yang dipasarkan untuk mengelabui dan membodohi rakyat. Namun, mereka kurang pintar ternyata rakyat sudah semakin cerdas. Tujuannya sudah jelas di depan mata dengan pandangan lurus sudah tampak, tetapi yang disajikan ke publik adalah jalan yang menelikung, membelok, dan berkelok laksana gerakan ular saja. Belum ada calon pemimpin kita yang merintis pemberdayaan dan kepedulian di masyarakat sekian lama baru kemudian mencalonkan diri menjadi pemimpin publik, dan ketika menjadi memimpin tetap dengan kesederhanan dan kesahajaannya. Atau orang kaya (pengusaha) yang berniat menjadi pemimpin publik hanya tulus dan ikhlas mengabdi membangun negeri tanpa mencari tambahan kekayaan lagi. Namun, yang ada di negeri ini jalan pintas dan tindakan instan serta aji mumpung bin rakus. Nihil bicara pengabdian, loyalitas, dedikasi di negeri ini. Nah, kalau para pemimpin dan tokoh bermental demikian darimana perubahan karakter bangsa ini dimulai? [3/2/2013]
  • 32. 32 Upah dan Honor Di bulan pertama tahun 2012 ini kiranya masih aktual kalau bicara kembali berkaitan dengan upah buruh (pekerja), karena berapa prosen kenaikannya masih menjadi tanda tanya sebelum nyata diterima. Kalau pekerja dibedakan menjadi 2 bagian, yakni Employee (buruh, karyawan, pegawai) dan Self Employee (pekerja lepas, profesional), maka yang pertama bekerja dengan jam kerja dan waktu yang tetap, berada pada jalur struktural, dan terikat oleh satu perusahaan. Sedangkan yang kedua, bekerja berdasarkan kontrak dengan perusahaan tertentu dengan waktu terbatas, berada pada jalur fungsional, dan tidak terikat oleh satu perusahaan. Employee akan mendapat upah sesuai kesepakatan atau perjanjian sebelumnya. Ketika terjadi masalah dengan perusahaan pemberi kerja, maka ada serikat buruh (serikat pekerja) yang akan membelanya. Sementara Self Employee lebih tepat dikatakan mendapat honor, sebagai penghargaan atas jasanya terhadap perusahaan yang telah melakukan kontrak dengannya. Bila ada masalah dengan perusahaan tersebut, harus berjuang sendiri, karena tidak ada organisasi pelindungnya. Self Employee rata-rata memiliki latar belakang pendidikan relatif memadai dengan didukung ketrampilan dan keahlian yang mumpuni pada bidang spesialisasinya serta memiliki wawasan dalam perencanaan keuangan. Sedangkan Employee tidak demikian. Ironisnya, dalam praktik posisi keduanya tumpang tindih dan kadang saling merangkap. Akhirnya, keduanya tetap sebagai “orang bayaran” dari sebuah perusahaan yang mempekerjakannya dengan bargaining power yang rendah, terutama di level low management ke bawah. [8/1/2012]
  • 33. 33 Upah Minimum? Setiap tahun di bulan Desember, tak terkecuali tahun ini para pekerja terutama kalangan buruh menanti-nanti harap kenaikan upah minimum yang signifikan sesuai kebutuhan hidup layak (KHL) yang sesungguhnya di tahun depan. Serikat pekerja (buruh), asosiasi pengusaha dan dewan pengupahan daerah mencari titik kompromi menentukan besarnya rupiah minimum dalam bentuk UMR (upah minimum regional) yang berlaku di daerah tertentu (kotamadya, kabupaten atau propinsi). Sementara di lapangan pekerjaan, perusahaan terbagi atas beberapa sektor produksi, sehingga masalah upah yang seharusnya juga diukur dengan jenis industri (komoditas-jasa), ringan-beratnya proses produksi, tingkat bahaya industri, ragam produk yang dihasilkan, menjadi abai disentuh. Oleh karena itu, selain UMR seyogyanya perhatian terhadap UMS (upah minimum sektoral) lebih digencarkan lagi. Pengaturan upah ini lebih ditujukan pada buruh industri (pabrik) yang memang jumlahnya sangat besar dalam ikut menopang perekonomian nasional. Sedangankan buruh (kuli) pasar, terminal/stasion, pelabuhan, tani, perkebunan, dan nelayan, siapa yang peduli? Oleh karena itu sebagai pekerja (buruh, karyawan, atau pegawai) semestinya memandang rizki bukan hanya diukur dari gaji yang diterima, upah yang dibawa pulang, honor yang dibayarkan, bonus yang dikonsumsi, atau insentif yang dibelanjakan saja. Masih banyak sumber rizki di luar profesi yang digeluti. Memanfaatkan hari sabtu dan minggu atau hari tak bekerja seoptimal mungkin adalah solusi menjemput rizki dari Allah. Peluang bisa dicari dengan bekerja lain yang paruh waktu, menawarkan jasa dengan keterampilan yang dimiliki, beternak, bertani atau berniaga membangun bisnis. Apa salahnya?. Karena kini juga, sedang tren side job, kan? So, hidup tidak lagi dengan upah minimum saja. [17/12/2011]
  • 34. 34 Pendidikan ”Kemaluan” dan Budaya Malu Jangan kaget kalau penulis memakai kata ’kemaluan’ dan bukan untuk bermaksud membahas hal-hal yang tabu. Justru istilah ’pendidikan kemaluan’ penulis kutip dari pernyataan Bapak Kelirumologi (ilmu tentang kekeliruan), Jaya Suprana dalam acara Kick Andy, jumat 15 Maret 2013 malam. Memang talkshow tersebut menjadi menu pekanan penulis. Acara yang menampilkan orang hebat, insan unggul, manusia ’aneh’ atau orang ’gila’ yang membuat sesuatu tidak biasa dan di luar kebiasaan dengan hasil karya, kreasi, prestasi dan berkontribusi buat orang banyak. Benar-benar sebuah tayangan yang memotivasi dan menginspirasi. Ketika menginjakan kaki di sebuah perguruan tinggi keguruan dan ilmu kependidikan selepas sekolah menengah atas, dalam benak penulis tersimpan pertanyaan tentang tujuan orang mengenyam pendidikan. Tentunya, sebelum menjawab tujuan pendidikan harus lebih dahulu mengetahui apa sebenarnya pendidikan itu sendiri. Dalam kehidupan ini proses tumbuh dan berkembangnya seseorang banyak dipengaruhi faktor baik individu, keluarga, sekolah, dan masyarakat atau lingkungannya. Oleh karena itu tujuan yang hakiki dari pendidikan adalah membentuk kedewasaan seseorang. Pendidikan dapat diperoleh dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Namun, pengertian pendidikan direduksi dengan menitik beratkan pada sekolah. Sekolah hanya sekedar sarana proses pendidikan yang dikenal dengan pembelajaran dan salah satu lingkungan pendidikan itu sendiri. Di sekolah hanya terjadi kegiatan belajar dan mengajar. Apakah sudah sampai pada aktivitas didik dan mendidik? Walaupun seorang murid, siswa, santri, atau mahasiswa sering disebut sebagai peserta didik. Bukankah lebih tepatnya, adalah peserta ajar? Dengan demikian seorang guru, ustaz, atau dosen baru sampai tahap pengajar, belum sampai pendidik. Keluaran dari sebuah lembaga pelatihan dimana ada pelatih dan peserta latih, maka usai pelatihan berlangsung peserta latih disebut sebagai orang terlatih. Dengan penalaran yang sama, orang yang menjalani pengajaran di sekolah disebut sebagai orang terpelajar. Demikian juga manusia yang telah mengalami proses pendidikan sebagai manusia terdidik.
  • 35. 35 Seorang pendidik dapat berwujud orang tua, guru, ustaz, dosen, pemimpin atau profesi apapun. Apalah artinya sebutan profesi atau atribut jabatan jika peran yang ditampilkan bukan seharusnya tetapi seadanya. Sehingga prasyarat untuk menjadi seorang pendidik tidak terpenuhi. Salah satu syarat mendasar adalah menjadi teladan, panutan, dan contoh buat orang yang tengah dididiknya. Seorang bapak yang melarang anaknya merokok, tetapi memerintahkan anaknya untuk membelikan rokok tersebut, akan mewariskan generasi perokok walaupun hati kecilnya tidak mengingnkan. Guru yang datang selalu terlambat tidak akan berhasil mengajarkan kedisiplinan kepada muridnya. Ada contoh positif sikap disiplin dan mencerdaskan dari orang Barat (penulis ambil dari film). Ketika memberikan makanan kepada anaknya, seorang ibu mengatakan, ”ini baik untukmu!” Bukan, ”ini enak buatmu!”. Hal lainnya, seorang anak gadisnya dibatasi keluar malam sampai jam tertentu. Maka, saat mendekati waktu yang ditentukan oleh ortunya, sang gadis merasa gusar pulang telat sampai di rumah karena takut terkena sanksi. Lembaga pendidikan (tepatnya institusi pengajaran) baik sekolah, pesantren, atau perguruan tinggi adalah tempat terdepan yang selalu menggaungkan idealisme. Jika bidang lain sudah serba pragmatis dan hilang idealisme, maka harapan ada pada bidang pendidikan. Bila dalam bidang inipun sudah tidak ada, maka jangan berharap ada generasi mendatang yang baik untuk membangun bangsa dan negara ini. Celakanya, demi sebuah reputasi pimpinan pengambil kebijakan (pusat dan daerah) memberi contoh yang tidak mendidik dalam dunia pendidikan. Pembaruan kurikulum asal sekedar berubah bukan berdasarkan visi pendidikan negara ini mau dikemanakan generasi mudanya, tetapi lebih kental nuansa politisnya. Penyelenggara pendidikan menjadikan yayasan sebagai korporat yang mengedepankan untung rugi secara ekonomi tanpa memandang bahwa lembaga pendidikan adalah usaha sosial juga. Penghargaan yang rendah kepada pendidik dengan menukar jasa profesinya dengan kompensasi di bawah UMP (upah buruh), meskipun pendidik bukanlah pekerja. Kuantitas kelulusan sebuah sekolah menjadi target peringkat sekolah di mata masyarakat, sehingga abai dalam mengejar kualitas lulusan. Sistem penilaian didikte secara sentralistis oleh institusi, sehingga menghilangkan otoritas dan hak prerogatif pendidik dalam
  • 36. 36 memutuskan pemberian nilai siswa. Kenaikan atau kelulusan siswa sudah direkayasa sebelum ujian akhir di selenggarakan. Pendidikpun juga demikian, jauh dari sifat, karakter, dan profil pendidik yang semestinya. Semakin tinggi gaji pengajar, honorarium pendidik, tunjangan profesi, apresiasi atas sertifikasi profesi, dan penghargaan pemerintah bukan semakin mengukuhkan diri pada idealisme sebagai ’pahlawan tanpa tanda jasa’. Melainkan dengan kerja mendidik yang asal kejar setoran. Tidak semakin serius, justru sebaliknya semakin santai. Bukannya meningkatkan kompetensi melalui studi lanjut atau mengembangkan keilmuan dengan menulis atau meneliti sesuai bidang ahlinya, tetapi terbawa dengan gaya hidup yang semakin konsumerisme dan memamerkan pola hidup hedonisme. Ironis, jika dunia pendidikan kita demikian. Quo vadis, dunia sekolahan kita! Pengambil kebijakan, pengawal sistem pendidikan, dan pendidik menjadi orang yang bertanggung jawab atas moral, mental, dan sikap masyarakat. Masyarakat yang jauh dari keluaran sebagai orang terdidik, manusia terpelajar, atau insan intelek akan tampak dengan hilangnya rasa malu. Sudah tidak malu melanggar lalu lintas. Tidak malu menyerobot antrian. Tidak malu membuang sampah sembarangan. Tidak malu merokok dalam ruang ber-AC. Tidak malu atau tanpa malu melakukan hal-hal yang melanggar norma, adat, etika, akhlak, aturan baik hukum maupun agama, karena sudah dianggap biasa dan tanpa ada yang menegur, memperingatkan, atau menindak. Dari hal yang kecil saja sudah dibiasakan, maka hal yang besarpun menjadi kelaziman. Berbuat asusila atau pelecehan seksual dibiarkan, jika si korban tak berani mengadu dan itupun harus mendatangkan saksi. Korupsi menjadi pembiasaan, karena tidak ada yang perlu untuk dimalukan dan dianggap sebagai sumber ’rizki’ yang baru. Walaupun, ”malu untuk korupsi, dan tidak perlu malu untuk tidak korupsi”, kata Bos Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) itu menutup bincangnya dalam acara yang di-host Andy F. Noya tersebut. Pendidikan ’kemaluan’ ini yang memfokuskan untuk menjaga rasa malu akan dapat mendukung konsep pendidikan karakter yang ’sedang naik daun’ gaungnya. Merubah karakter dan sikap masyarakat hanya bergantung dan berharap pada pendidikan, karena lewat pendidikan kebiasaan, tradisi, dan pada gilirannya kebudayaan akan berkembang. Semoga dengan pendidikan ’kemaluan’ dapat terbentuk budaya malu pada diri anak bangsa ini. Insya Allah. [17/3/2013]
  • 37. 37 “Curhat” Curhat, adalah mencurahkan (perasaan) hati kepada orang lain. Biasanya dilakukan orang ketika memiliki persoalan hidup yang tak kunjung selesai solusinya. Dengan maksud mengurangi beban yang diderita, berceritalah kepada orang ketiga. Melepas unek-unek dan tekanan batin yang terpendam. Seolah-olah setelah semua hal ditumpahkan selesailah persoalan tersebut. Curhat semestinya dilakukan dengan orang, waktu, serta situasi dan kondisi yang tepat. Orang yang tepat diajak curhat, seharusnya orang yang ber-akhlaqul karimah, berilmu, berwawasan, netral, tak ada pamrih, tulus, tak ada vested interest, dan bukan jenis “speaker active” atau “whistle blower”. Tumpuan curhat yang tidak tepat bukan menyelesaikan masalah, bisa jadi menimbulkan masalah baru. Suami istri yang sedang konflik. Alih-alih kedua belah pihak melakukan “gencatan senjata”, bahkan yang terjadi “perang dunia” dalam kancah rumah tangga. Karena salah seorang atau keduanya curhat kepada sang mantan pacar. Adanya WIL dan PIL menjadi pemicu dan pemacu “bom waktu” yang siap meledak. Kalau begitu, seberapa pentingkah seseorang curhat? [21/4/2012]
  • 38. 38 2 tipe Karyawan Curhat selalu ada dalam lingkungan mana saja. Lingkungan rumah atau lingkungan kerja. Seorang anggota keluarga yang tak menemukan solusi masalah, akan curhat ke tetangganya. Seorang karyawan yang bermasalah dengan bagian atau pimpinannya, akan curhat ke bagian lain. Ada 2 tipe karyawan dalam masalah curhat: Pertama, karyawan yang membawa persoalan rumah tangganya ke kantor. Kedua, karyawan yang membawa persoalan kantor ke dalam rumah tangganya. Nah, anda sendiri tipe karyawan yang mana? [28/4/2012]
  • 39. 39 “Jaim” Menjaga kebaikan yang ada pada diri memang baik. Namun, kalau menutupi keburukan yang telah diketahui orang lain apalagi khalayak ramai merupakan sebuah kebohongan. Sekarang ini kedustaan telah diumbar. Bukan kebenaran yang tampil, tetapi pembenaran yang menjadi fenomena dengan penuh pesona. Pencitraan diri yang ditonjolakan karena takut kehilangan pendukung atau penggemar. Takut melakukan kebijakan atau aktivitas yang tak populis. Sikap inilah yang oleh orang muda dikenal dengan istilah “jaim”. Menjaga image, tidak mengapa sebenarnya jika memang adanya demikan. Bukan dengan mengingkari apa yang sudah semestinya harus disampaikan dengan kejujuran dan keterusterangan. Atau menempatkan sosok pada posisi kelas tertentu yang bukan kelas orang kebanyakan. Nampaknya, “jaim” sudah menjadi “penyakit” sosial masyarakat modern, sebagai bagian “jiwa yang sakit”. Bukan sakit jiwa, lho ! [12/5/2012]
  • 40. 40 Pemimpin yang “curhat” vs Selebriti yang “jaim” Pemimpin adalah orang yang dipercaya mengimami orang lain, memiliki pengaruh kuat atas orang-orang yang dipimpinnya, menjadi teladan, bekerja lebih dan melayani. Pemimpin juga berfungsi sebagai motor, aspirator, motivator, dan akomodator. Bagaimana kalau ada pemimpin dalam sebuah organisasi baik politik, sosial, bisnis, atau profesi yang selalu curhat kepada orang-orang yang dipimpinnya? Seakan-akan curhat sudah menjadi hobi dan kebiasaan rutin yang harus dipenuhi. Dilakukan seperti halnya minum obat yang harus teratur dalam suatu rentang waktu tertentu. Persoalan sepele dan remeh temeh ditanggapi serius. Tidak memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah dan mengambil skala prioritas solusi antara problem kelas semut atau gajah. Selalu mengeluh, berkeluh kesah, seolah meminta simpati dan memohon empati. Sedangkan ada selebriti yang dirundung banyak masalah, baik rumah tangga, hubungan sesama profesi atau karirnya, menanggapai masalah dengan tetap pada sifat “jaim” nya. Persoalan besar ditanggapi dengan guyonan dan kelakar saja. Tidak takut kehilangan penonton dan penggemarnya. Walaupun masyarakat sudah tahu “kartunya”, tetapi dengan enteng saja ditanggapi. Karena hal ini menjadi hubungan muatualisme antara sang selebriti dan pengelola media. Selebritis menjadikan hal ini sebagai bahan promosi sementara media menjadikannya sebagai berita (konsumsi). Jadi, kalau ada pemimpin yang makanan pokoknya adalah curhat dapat disebut pemimpin yang cengeng, maka selebriti yang “cemilan”nya sikap jaimnya itu, disebut……..? [20/5/2012]
  • 41. 41 K ~ U atau K ~ 1/U Pernyataan matematika di atas terinspirasi dari pemikiran seorang teman tetapi sebelumnya penulis (ketika masih muda) sempat menyaksikan sendiri fenomena yang terjadi ketika jauh berada dari tempat tinggal keluarga bersama sejumlah orang yang telah “berumur”dalam suatu daerah terpencil dan terisolasi. Persamaan awal dari sang teman, adalah: K.U = C, tetapi penulis lebih melihat bahwa hal ini tidak pasti dan tak berlaku umum, hanya kondisional dan temporer, maka hasil modifikasinya adalah pernyataan di atas. K = kelakuan, U = umur, dan C = konstanta, sehingga dapat dibaca sebagai: Kelakuan berbanding lurus dengan Umur atau Kelakukan berbanding terbalik dengan Umur. Sejatinya, semakin meningkatnya umur maka kelakuan (=perilaku) semakin didasarkan aspek rasional, konsistensi dalam kestabilan emosional, dan pengambilan kebijakan dengan berbagai sudut pandang dengan kalkulasi sisi positif dan negatifnya, serta memaksimalkan harapan umpan balik kebaikan dengan meminimalkan risiko yang terjadi. Apalagi dengan umur yang bertambah juga diiringi bertambahnya jenjang pendidikan. Pendidikan adalah metode mencapaian pendewasaan seseorang. Walaupun memang diakui dalam psikologi pendidikan, seseorang tidak akan pernah mencapai kedewasaan sempurna. Karena seseorang juga manusia, yang memiliki kekurangan. Inti kedewaaan, menurut teorinya Langeveld, adalah kemampuan bertanggung jawab. Selain itu dapat berdiri sendiri dan mampu membedakan yang baik dan benar. Masalahnya, apakah kondisi psikologis manusia mengalami masa pertumbuhan lalu mencapai titik optimal (klimaks) kemudian menurun seiring bertambahnya umur (ketika pikun)? Sering ada ungkapan orang tua akan kembali sikapnya seperti anak-anak, apakah selalu demikian? Berapa prosen sikap yang bersiklus itu? Kalau begitu, ada benarnya bunyi tag iklan: Tua adalah pasti, kedewasaan adalah pilihan. Secara biologi, dalam perkembiakan sel juga ditemukan. Sel mengalami pertumbuhan (bertambah banyak) dan perkembangan (ukurannya yang membesar).
  • 42. 42 Kejadian yang sering dihadapi, bukan pada kelompok “opik” , orang pikun. Namun, pada usia produktif dengan selang umur 30-40 tahun. Ketika mereka jauh dari keluarga (istri dan anak) sikap kekanak-kanakannya muncul saat bersama-sama dengan teman sebayanya sesama profesi. Bercanda dan berkelakar dengan pola tingkah anak-anak. Apakah ini sebagai kompensasi akibat kepenatan kerja atau melupakan sementara rasa rindu terhadap keluarga? Wallahu a’lam. Ada kalanya kelakuan yang ditampilkan sudah melebihi apa yang ABG lakukan. Kalau para ABG mungkin dapat dimaklumi, karena mereka belum tahu akibatnya, belum bisa membedakan pantas tidaknya, dan tidak mengerti perlu tidak nya sebuah perilaku untuk dikerjakan. Jika orang telah berumur, bahkan sudah tergolong bukan seorang bapak/ibu lagi tetapi sudah masuk kelompok kakek/nenek tetapi masih melakukan hal yang dilakukan ABG, bahkan lebih “liar” dan tak tahu malu serta kerap berucap: “peduli amat dengan orang lain”, bagaimana? Sejujurnya, reuni (baik pertemuan formal lewat acara maupun sekedar koneksi melalui ICT) juga memberi kontribusi mengembalikan psikologis kekanakan pada diri setiap orang. Bertemu teman sebaya, peluk cium mesra, melepas cerita yang terpendam, mencurahkan yang belum terungkap, saling berfoto-ria, hingga janji ingin bertemu kembali sampai mengikat dalam komunitas dengan pertemuan rutin. Sekejap lupa dengan umur dan (mungkin) keluarga sendiri. Terkesima dengan luapan gelombang nostalgia yang serba indah dan menyenangkan. Hanyut dalam luapan emosional dalam ranah memorial dengan melodi yang mendayu-dayu memanjakan kondisional setiap personal. Sebaliknya, tidak sedikit juga orang dengan semakin meningkatnya umur kelakuannya juga semakin baik. Ibadah sosialnya disejajarkan dengan ibadah individual formal ritualnya. Menyadari eksistensinya dengan sikap lebih arif dan bijak. Mengorientasikan hidup untuk akhirat sedangkan kebutuhan akan dunia hanya sekedarnya. Hidup dengan pola tawaddu, qonaah, dan zuhud lebih diprioritaskan. Kembali pada diri tiap orang, apakah hidupnya dikuasai 2 jengkal antara kepala dan dada atau 1 jengkal antara perut dan selangkangan (maaf!). Antara otak (pikiran) dan hati (iman) yang menjadi panglima. Atau nafsu & syahwat sebagai komandan dengan segala sifat syetan
  • 43. 43 dan tabiat “kebinatangan” yang dituruti. Akhirnya, umur berkorelasi dengan tua, sementara kelakuan berkorelasi dengan dewasa. Jadi, berbanding lurus atau terbalik? Semoga dengan datangnya Ramadhan di pekan ini, akan meneguhkan bentuk korelasi tersebut pada diri masing-masing. [15/7/2012]
  • 44. 44 Silaturahim, dari high touch ke high tech Silaturahim adalah berkunjung ke tempat kediaman yang masih ada hubungan keluarga atau kerabat, bisa juga ke rumah teman, atau anjangsana ke rekan bisnis atau kolega organisasi (kelompok pengajian, kelompok alumni sekolah/tempat kerja, kelompok profesi, kelompok komunitas peminatan, atau kelompok daerah asal). Intinya, bertemu setelah sekian lama tak bertemu atau memang diagendakan secara rutin pertemuan itu. Mengenai benar-benar silaturahim tanpa ada maksud tertentu, tanpa ada ekses, tanpa ada agenda tersembunyi hanya yang berkepentingan yang paling mengetahui tentunya. Silaturahim, bisa dilaksanakan dengan tulus dan lurus sesuai maknanya tergantung sipelakunya. Jika hanya sebagai lipstick aktivitas tertentu, barang dagangan bisnis, atau komoditas politik dikembalikan kepada sang oknum yang melakukannya. Silaturahim sangat dianjurkan untuk mencairkan suasana kebekuan yang bisa terjadi antara sesama, baik antar anggota keluarga atau antar komponen organisasi maupun antara sesama anggota masyarakat. Masalah yang tidak dapat diselesaikan secara formalitas, silaturahim menjadi alternatif jalan keluar solusinya. Berbagai cara orang melaksanakan silaturahim terutama menjelang Ramadhan apalagi saat Idul Fitri. Sesuai dengan esensinya, silaturahim seharusnya memang terjadi pertemuan langsung antar orang per orang, sehingga terjadi sambung rasa dengan sentuhan emosi yang kental. Pertemuan fisik tidak lagi bisa menyembunyikan sinar mata, air muka, raut wajah, bahasa dan gerak gerik tubuh. Sekejap egoisme dan selfish hilang seketika. Kedua tatapan mata beradu pandang yang meneduh tak lagi garang, seolah gelombang transversal yang merambat dari masing-masing tatapan mengadakan superposisi. Memadu dengan memperbesar panjang gelombang dengan frekuensi yang semakin kecil pada suatu titik kontak. Semua yang dipikirkan dan dirasakan tereksplorasi menjalar ke bagian luar tubuh, dan menuju titik kompromi ketika kedua tangan berjabatan, tubuh berangkulan, dan badan berpelukan. Hal inilah yang juga menjadi alasan mengapa begitu menggebunya para perantau untuk mudik (pulang kampung) menjelang lebaran. Mungkin tradisi ini hanya ada di Indonesia saja
  • 45. 45 yang peristiwanya begitu ramai, meriah, heboh dan gegap gempita (apalagi ketika diekspos media elektronik). Para pemudik seolah melakukan eksodus besar-besaran dari kota ke desa, membedol sumber daya, dan mengalirkan nilai ekonomi yang tidak sedikit. Namun, siapa yang banyak diuntungkan dalam peristiwa mudik ini. Para pemudik, penduduk desa, perusahaan transportasi, media, telekomunikasi, barang konsumsi atau yang lain? Terlepas itu semua, yang jelas inilah berkahnya Ramadhan. Dan momen Idul Fitri membuka kesadaran akan nilai spiritual, disamping nilai sosial, ekonomi, dan budaya (tradisi). Nilai spiritual bagi setiap pemudik adalah panggilan untuk kembali ke akar, ke asal tempat setiap insan memulai kehidupan, yakni orang tua dan keluarga. Berkumpul dengan anggota keluarga memberi kenikmatan yang tak dapat dilukiskan akibat sebelas bulan tak bertemu. Berbagi cerita sambil mengendurkan saraf dan otot. Menumpahkan segala perasaan yang terpendam dan hanyut dalam suasana syahdu kekeluargaan dan keakraban. Ditambah lagi dengan kesadaran memberi dan berbagi (giving and sharing) kepada sesama akan semakin lengkap nuansa spiritualitas yang terbentuk. Demikian tepat ajaran silaturahim, yang akan memperpanjang umur dan dimurahkan rizki. Namun, jarak menjadi kendala untuk bersilaturahim bertemu muka bertatap mata apalagi sampai untuk berpelukan untuk waktu yang singkat. Oleh karena itu, tahun 1980 sampai 1990-an untuk bersilaturahim ke tempat yang jauh digunakan media jasa kantor pos. Dengan kartu ucapan Idul Fitri yang bergambar masjid, kaligrafi, atau ketupat melayanglah jutaan ucapan selamat lebaran itu dari satu tempat ke tempat lainnya. Sehingga kantor pos menjadi instansi yang paling sibuk menjelang lebaran tiba, karena harus menyortir kartu-kartu ucapan tersebut. Sampai sekarang penggunaan kartu ucapan masih digunakan, terutama antar instansi atau instansi dengan rekanannya. Mulai tahun 2001 setelah penggunaan HP merajalela dan teknologi SMS semakin berkembang, dimulai pengiriman ucapan “minal ‘aidin wal faidzin dan mohon maaf lahir batin” melalui teknologi ini. Sekitar tahun 2008 jejaring sosial FB sudah dijadikan sarana silaturahim idul fitri dan kini ditambah lagi dengan menggunakan BBM. [26/8/2012]
  • 46. 46 3 Pandangan Orang tentang sebuah Pesta Sebuah pesta atau perhelatan memilki tujuan tertentu sesuai dengan yang empunya hajat. Ada kalanya pesta dilakukkan secara berkala atau sebalikya sekali seumur hidup. Namun, apalah artinya sebuah pesta jika tidak memilki manfaat. Ada pepatah yang mengatakan, tak ada pesta yang tak berakhir. Pastinya, pesta ada diawali dengan membuka layar sajian beranjak puncak acara dan diakhiri dengan bongkar panggung. Ada 3 orang yang memandang setiap pertunjukkan pesta yang sudah digelar. Orang pertama memandang sebuah pesta dengan memperhatikan gaya tuan rumah, model pakaian yang dikenakan para hadirin, ulah para pengunjung, dan penampilan dari semua yang datang. Yang disorot oleh orang pertama ini, adalah melulu tentang orang-orang dari sisi derajat sosial ekonomi, taksiran harga pakaian dan perhiasan yang dipakai, kedaan ukuran fisik pengunjung yang semakin makmur seiring membuncitnya perut dan melebarnya lingkar badan, termasuk peran serta keterlibatan setiap tamu pesta dalam acara-acara yang tidak semua orang bisa dipaksakan untuk bepartisipasi karena perbedaan persepsi tentang baik, malu, dan pantas. Juga tidak lepas dari pengamatan terhadap jenis kendaraan yang dibawa dan pasangan pesta yang mendampingi setiap pengunjung. Orang yang benar-benar menikmati pesta diukur dari intensitas larutnya dalam semua acara dan mau nimbrung dalam berbagai permainan yang digelar. Jaim, kosa kata yang sudah tidak ada dalam kamus si penikmat pesta menurut orang ini. Orang kedua memandang pesta dari makanan dan minuman yang disajikan. Jenis makanan serta rasa lezat dan nikmatnya. Bentuk, format, dan pola penyajiannya pun diperhatikan orang kedua ini. Tidak cukup sampai menjadi pemerhati saja, orang ini juga mencoba menelaah lebih jauh dengan menilai rasa dan tampilannya. Mengomentari tentang proporsionalitas bumbu dan penyedap serta hiasan yang membuat sajian enak untuk disantap. Termasuk juga keserasian antara satu makanan dengan makanan lain atau minumannya dalam satu bagian hidangan, tidak luput dari pengamatannya. Orang ketiga melihat pesta dari acara yang diselenggarakan. Orang ini lebih memperhatikan gerak-gerik orang-orang dengan aktivitasnya dibanding siapa orang-orang itu sendiri.
  • 47. 47 Susunan acara dan pelaksanaan acara menjadi perhatiannya. Mata acara demi mata acara yang mengalir dalam rangkaian pesta terus disorot relevansinya dengan maksud dan tujuan pesta. Seolah orang ini ingin menyelidiki kesesuaian antara isi undangan atau promosi pesta dengan isi dan pelaksanaan acara pesta itu sendiri. Tiap mata acara tidak selalu diikuti, kecuali yang sesuai dengan pegangannya. Sekali waktu, sebelum pesta usai dan beberapa acara masih berlangsung ditinggalkannya. Dari ketiga tipe orang memandang sebuah pesta, penulis menyerahkan pembaca menarik simpulan tentang karakter ketiga orang tersebut? Atau mungkin Anda sendiri? [20/2/2014]
  • 48. 48 Pemain (Praktisi) dan Penonton (Pengamat) Dalam setiap permainan atau pertunjukan antara pemain dan penonton saling memiliki hubungan mutualisma. Pemain memerlukan penonton agar pertunjukan yang ditampilkannya dapat memberi sesuatu bagi penonton sebagai perwujudan dari ekspresinya menguasai seni peran. Sementara penonton juga membutuhkan hiburan, pengetahuan, dan “sesuatu” yang tidak dijumpai pada lingkungan dan kebiasaan sehari-hari. Penonton membutuhkan hal-hal “out of the box” sebagai tambahan informasi dari miniatur kehidupan yang ditampilkan di atas panggung. Pemain yang memerankan perannya tidak bagus akan ditinggalkan penonton. Tentu saja, jika kehidupannya hanya tergantung dari penampilannya di atas pentas akan berpengaruh bagi jalan hidupnya. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas diri dan menjalin hubungan dengan penonton menjadi syarat jika ingin konsisten dengan profesinya dengan ladang tetap subur dan dapur selalu ngebul. Sedangkan penonton yang tidak pernah melihat “pemain dalam pertunjukan” akan hidup berada pada “box” –nya saja, terbelenggu oleh spesialisasi, oleh keahliannya sendiri, seolah berada dalam katak di bawah tempurung di dalam sumur lagi, kehidupan yang monoton dan tidak bervariasi, merasa paling benar dalam kelompok dan komunitasnya, selalu mengagungkan kebenaran sejarah hidupnya, tidak bisa menerima kebenaran masa kini, dan apa yang dicapai oleh generasi kini dianggap belum seberapa dibanding apa yang telah dibuat diri, leluhur, keluarga, tokoh historis yang dikagumi, dan organisasi tempatnya berkecimpung sekalipun sebagai anggota biasa yang tidak aktif. Para profesi yang menjalani bidangnya secara profesional adalah para praktisi yang didukung oleh pendidikan, pelatihan, keterampilan, keahlian, dan pengalaman, dan merupakan para “pemain” di lapangan masing-masing sesuai bidang garapannya. Mulai dari bidang seni, budaya, olah raga, sosial, politik, pendidikan, perdagangan dan industri membutuhkan para profesional. Sekarang ini, dunia semakin marak dengan berbagai profesi dan seiring perkembangan pengetahuan, teknologi, dan informasi telah membuka dan menambah jenis profesi-profesi baru. Dahulu kegiatan yang hanya dilakukan sebagai kesenangan semata, kini sudah dapat dijadikan mata pencarian. Hobi menjadi aktivitas profesi. Bahkan kegiatan sosial yang harus benar-benar untuk tujuan sosial tetap saja dibisniskan dan dijadikan ladang
  • 49. 49 profesi. Mungkin takut kalau ber”sosial”, takut disebut “sok” nanti jadi “sial”, sehingga lebih baik berbisnis sosial saja. Menjual sosial untuk mendapatkan profit. Aktivitas seni budaya, olah raga, sosial, dan pendidikan sudah digiring masuk dalam ladang bisnis dan dijadikan kelompok industri baru. Bukan mustahil semua aspek dan bidang kehidupan (akankah termasuk “individu” sendiri menjadi komoditas? atau tetap sekedar “pemberi jasa”) akan menjadi lahan bisnis. Berbahaya sekali kalau individu dijadikan komoditas, yang dapat “dijual” kan otaknya, tenaganya atau tubuhnya? Atau mungkin organ tubuhnya? Disamping para profesional sebagai pemain, ada para pengamat yang (bisa) juga sebagai penonton. Penonton hanya menikmati tingkah laku para pemain. Mengomentari, mengkritik, memotivasi, mencela, juga sampai menghujat atau memujanya. Penonton seolah lebih pintar dari pemain, karena bisa membenarkan atau menyalahkan apa yang dilakukan pemain. Pengamat lebih cerdas dari penonton, karena komentarnya didukung data dan analisis (?) sehingga kelihatannya lebih profesional. (Nah, pengamat sendiri menjadi profesi). Pengamat terkadang juga disebut analis, sebenarnya mengingatkan para praktisi agar beraktivitas tetap dalam koridor etika profesinya, berjalan dalam rel yang sesuai tujuan yang lebih besar (pembangunan), selalu berkontribusi bagi kehidupan sosial budaya (berperan serta dalam aktvitas sosial atau budaya), sensitif terhadap isu lingkungan hidup, dan lain-lain. Idealnya hubungan antara praktisi dengan pengamat, sebagai check and balance. Tidak ada yang lebih penting, maka jangan terjebak dalam ungkapan: pengamat hanya bisa berbicara dan menghakimi tanpa isi. Lebih baik praktisi bisa berbuat. Memang, berat mata memandang, lebih berat bahu memikul. Kini, pengamat sudah menjadi profesi (sebagai praktisi), maka siapa yang mengamati pengamat? Terkadang, untuk membahas dan menelaah sebuah masalah dalam profesi (praktisi) tertentu yang berdampak luas akibat aktivitasnya atau sudah menjadi bahan berita berulang-ulang dilakukan seminar-seminar. Seminar yang satu dengan yang lainnya bukan mencari solusi menjelaskan ke masyarakat, sebaliknya menjadi ajang pembenaran untuk saling dukung mendukung. Seminar laksana “kongres” (kongkow gak beres-beres). Kalau sudah demikian, perlu menseminarkan seminar? [22/9/2012]
  • 50. 50 Posisi dan Kecepatan Perjalanan hidup manusia dalam konsep islam, dimaknai sebagai upaya ibadah (pengertian makro) mencapai ridha Allah. Sehingga penyair Taufiq Ismail, mengumpakan rentang kehidupan manusia sebagai “sejadah panjang”. Artinya sepanjang hidup manusia senantiasa untuk bersujud (beribadah). Mengendarai kendaraan dalam melaju di jalan (menurut imajinasi penulis) sebagai bentuk miniatur perjalanan hidup. Di perjalanan ada aturan yang harus ditaati (peraturan lalu lintas) supaya selamat dan aman dalam perjalanan dan sampai tujuan. Di jalan juga harus mengetahui irama jalan. Kapan harus menambah kecepatan dan kapan harus mengerem. Dimana posisi kendaraan yang sesuai dengan kecepatannya, apakah di jalur lambat, cepat, atau jalur untuk mendahului kendaraan lain. Di sini digunakan istilah “kecepatan” bukan “laju”. Karena dalam termininologi fisika mekanika, laju (speed) hanya menjelaskan besar (nilai) nya saja. Alat pengukur laju, kan disebut speedometer. Sedangkan kecepatan (velocity), selain memiliki besar juga menyangkut arah tempuh. Oleh karena itu, arah kendaraan juga mesti dicermati, apakah selalu sejajar terus dengan jalan atau paralel dengan bentuk arah jalan dan tidak membentuk sudut dengan arah panjang jalan yang sedang dilalui. Dalam mengendarai mobil tidak boleh bertelepon, tetapi memang orang sekarang semakin “kreatif” bersepeda motor saja bisa sambil ber-SMS-ria. Mengetahui posisi kendaraan sambil mengatur kecepatan sangat perlu. Pada saat posisi untuk disusul kendaraan lain, maka harus memberi jalan dengan menepi atau ke pinggir dengan menurunkan kecepatan. Sebaliknya ketika hendak menyusul, harus memberi sein dan klakson terlebih dahulu dan ketika ada ruang susul baru menambah kecepatan untuk mendahului kendaraan lain. Bukannya berjalan seenaknya saja (seolah yang punya “wilayah”) dengan posisi di tengah-tengah/tanggung (tak menepi juga tak memberi ruang susul) tetapi dengan kecepatan rendah. Sementara ketika mau membelok, hendaknya menyalakan lampu sein sekitar 50-100 m sebelumnya, yang sering terjadi 2 atau 3 m sebelumnya atau bahkan tanpa sein nyelonong masuk gang dan lenyap. Sekali lagi, ada anak muda yang “sangat kreatif” ketika akan membelok, akan membentangkan kakinya tegak lurus dengan sepeda motornya (kaki difungsikan sebagi lampu sein). Belum lagi yang hobi menerobos lampu merah atau mengambil jalan orang lain
  • 51. 51 yang berlawanan arah dengan melewati pembatas jalan. Menyalib jalan orang lain bukan pemandangan asing lagi. Meski begitu masih ada yang ditakuti kalau kedapatan ada petugas polantas yang nongkrongin, dan itupun sudah ada yang berani menegosiasi atau melobi petugas untuk masuk menyelip lebih dulu dengan alasan mengejar waktu (tangan kanannya menunjuk-nunjuk jam tangan yang ada di tangan kirinya coba menyakinkan dirinya sudah telat). Semoga saja kehidupan primitif dan cenderung barbar –jauh dari nilai-nilai tradisonal apalagi modern- yang ditampilkan di jalan raya bukan merupakan pencerminan kehidupan negara ini yang sesungguhnya. Nah, perjalanan hidup juga demikian. Kalau dalam melintasi jalan harus mengetahui irama perjalanan, maka dalam menelusuri kehidupan juga harus memahami melodi kehidupan, jika jalan memang bentuk representasi kehidupan. Bukan hidup bebas mau berbuat apa saja, tetapi ada aturan dan peraturan yang dibuat dalam hidup supaya aman dan selamat sampai akhir tujuan hidup. Mengerti dan memahami posisi kini sedang berada dimana. Apakah menjadi seorang suami/istri, bapak/ibu, atau sudah menjadi kakek/nenek? Tentunya, ada perbedaan dalam bersikap. Dalam organisasi, berada pada bottom management, middle management, atau top management? Ada di jalur struktural atau sekedar fungsional? Akan berbeda cara memandang persoalan dan mencari solusi. Menjadi tokoh masyarakat atau warga biasa? Masing-masing diri lebih tahu posisi dan eksistensinya, dan seharusnya sadar akan itu. Kecepatan dalam aktivitas hidup, dapat dipakai sebagai perubahan posisi yang ingin dicapai dalam menempuh karir dalam satuan target waktu. Atau pencapaian target yang diraih dalam rentang waktu. Namun, masalah ini dalam kehidupan nyata terkadang tidak linear, karena banyak faktor X yang ikut berpengaruh. Sementara arah hidup senantiasa diarahkan kepada “jalan lurus”, jalan yang diridhai Allah, jalan yang berada dalam rel Al Qur’an dan As Sunnah. [30/6/2012]
  • 52. 52 Menyimpangkan sistem Sebagian orang senang dengan kerja yang teratur dan bersistem. Namun, sebagian lagi tidak demikian. Bekerja semaunya saja tidak mengikuti sistem yang berlaku. Orang jenis pertama tidak menjadi persoalan manakala pembuat sistem konsisten dengan sistemnya. Dengan melakukan pengawasan, sistem akan berjalan sesuai keinginan pembuat sistem. Ketidak konsistenan pembuat sistem dalam menjalankan sistemnya membuat pengikutnya menjalankan sistem sesuai dengan seleranya masing-masing. Orang jenis kedua ini bisa dilahirkan karena organisasi tidak memilki sistem atau ketidakkonsistenan pemimpin dalam mempertahankan sistemnya. Orang melakukan penyimpangan terhadap sistem, terbagi menjadi 2 bagian: a. Sengaja Dilakukan dengan sengaja, karena sifat asli pelaku yang memang cenderung tidak mau diatur. Pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai prosedur dan dilakukan dengan mencari mudahnya saja. Prosedur dipahami dan dimengerti, tetapi tidak mau menjalankannya. Lain lagi, ada orang yang sangat pengerti prosedur dan dengan kepintarannya itu dia mengakali sistem yang berlaku. Melakukan pekerjaan di luar prosedur yang berlaku menjadi kesenangannya dalam mensiasati dengan maksud mencari keuntungan. Keuntungan yang diperolehnya bisa dalam pemanfaatan waktu yang mana waktu yang ‘dikorupsi’ itu bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain yang memberi keuntungan pribadinya. b. Tak sengaja Penyimpangan terhadap sistem bisa dilakukan oleh orang yang memang tidak mengerti prosedur meskipun sudah dijelaskan dan diajarkan berulang kali. Atau orang tersebut mengerti bagaimana prosedur dijalankan, tetapi sifat yang kurang teliti, mudah lupa, gampang hilap, yang semuanya kurangnya perhatian tehadap tanggung jawab pekerjaan, sehingga sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya. [26/6/2014]
  • 53. 53 Cari Muka dan Cari Nama Ketika mendengar dan bertemu dengan kedua istilah ini kebanyakan orang memiliki paradigma negatif dan persepsi minor bahwa keduanya berkonotasi ’miring’. Namun, hal itu tidak dapat disalahkan pada orang perorang. Kadang sebuah kata yang sifatnya netral dan berarti tunggal berubah memiliki arti positif atau negatif serta menjadi majemuk (bermakna ganda) bahkan membias, akibat terpakai sebagai sudah biasa (menjadi kebiasaan) dan ditunjang kepopulerannya oleh media yang menggiring opini publik seolah menjadi sebuah kebenaran, meskipun semu.. Semoga anda tidak demikian. Insya Allah. Jika ditelaah sekejap pada ’cari muka’ dan ’cari nama’ akan tampak bahwa kedua istilah tersebut terdiri dari 2 kata. Cari muka, berarti sedang mencari muka. Maknanya orang yang kehilangan muka atau belum punya muka, sehingga belum menemukan mukanya sendiri yang sesuai dengan keinginannya. Dengan pengertian lain, orang yang belum menemukan jati diri dan kepribadiannya. Belum ketemu personality-nya sendiri. Sedangkan cari nama, tentu saja orang yang belum menemukan nama atau belum punya nama yang sesuai hasratnya. Bisa saja dia ingin mengganti nama yang diberikan orang tuanya, karena merasa kurang keren dan bernuansa kekampungan. Biasanya orang yang sedang diburu karena melakukan kesalahan akan melakukan hal ini sebelum mencari calon muka baru. Mencari-cari nama-nama baru yang kemudian melakukan perubahan dan mengganti muka. Pastinya orang ini tidak unjuk muka kepopuleran lewat facebook setelah melakukan face off. Pemimpin yang sedang berkuasa dan sadar bahwa organisasinya harus dilanjutkan oleh penerusnya, maka akan memikirkan sistem regenerasi dan melakukan proses kaderisasi yang berkesinambungan. Organisasi boleh tua dan memiliki pengalaman panjang dalam aktivitasnya dan berperan serta dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, tetapi jangan lupa organisasi juga perlu tenaga-tenaga yang masih kuat, pikiran yang masih segar, semangat yang masih bergelora serta idealisme yang tetap menyala dalam bekerja, berkarya, berkreasi, dan berinovasi. Alih generasi adalah sebuah keniscayaan bagi organisasi yang tengah menatap masa depannya. Disinilah pentingnya pemimpin menemukan ’muka’ dan