Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Bagaimana memperlakukan orangtua dengan baik
1. www.rajaebookgratis.com
BAGAIMANA MEMPERLAKUKAN ORANGTUA DENGAN BAIK?
Soal:
Upaya penghancuran keluarga Muslim telah berhasil menghancurkan nilai-nilai agung dan
sakral dalam hubungan anak dan orangtua, yang biasa dikenal dengan birr al-wâlidayn. Lalu,
bagaimana sebenarnya batasan dan bentuk-bentuknya?
Jawab:
Secara literal, birr adalah sebutan untuk semua kebaikan, kebalikan dari ‘aqq (jamaknya
‘uqûq); sedangkan mabrûr adalah sebutan untuk birr yang dilakukan. Misalnya haji mabrûr,
maksudnya adalah haji yang tidak tercemar dengan dosa sekecil apapun, atau perkara yang
diharamkan.
Karena itu, birr al-wâlidayn dapat didefinisikan sebagai: semua bentuk kebaikan untuk
menaati kedua orangtua. Makna “semua bentuk kebaikan untuk menaati keduanya” itu tidak
lain adalah dengan melaksanakan seluruh perintahnya dan tidak pernah membantahnya.
Sebab, dengan membantahnya akan membuat mereka marah, dan kemarahan mereka
menyebabkan kemurkaan Allah. Rasulullah saw. bersabda:
Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan orangtua, kemurkaan Allah juga bergantung pada
kemurkaan orangtua. (HR Ibn Hibban dan al-Hakim).
Karena itu, hukum birr al-walidayn ini adalah wajib; bahkan termasuk di antara bentuk
kewajiban terdepan di antara kewajiban-kewajiban yang lain. Birr al-walidayn ini tentu tidak
akan terwujud kalau tidak disertai dengan akhlak yang baik kepada kedua orangtua. Misalnya,
ketika berbicara dengan mereka tidak mengeraskan suara melebihi suara mereka; tidak
menatap mata, termasuk wajah mereka, tetapi menundukkan muka dan pandangan di
hadapan mereka. Ketika melaksanakan keinginan mereka, harus segera, baik diminta atau
tidak, apalagi jika diminta oleh mereka; termasuk mengupayakan apa saja yang mereka
butuhkan. Jika hendak meninggalkan mereka, tentu tidak akan meninggalkannya, kecuali
sepengetahuan mereka. Sebab, kalau semua itu tidak dilakukan, niscaya mereka akan
gelisah, cemas, dan khawatir.
Birr al-wâlidayn merupakan bentuk ketaatan yang bisa membuat kedua orangtua menjadi
ridha, hatinya tenang dan bergembira. Karena itu, jika seorang anak melaksanakan perintah
orangtuanya, tetapi dengan cara yang tidak membuatnya senang dan puas, maka apa yang
dilakukan anak tersebut belum bisa dianggap birr al-wâlidayn. Inilah yang dipahami oleh
orang Mukmin generasi awal. Bahkan cucu Nabi, al-Hasan, tidak berani makan di tempat yang
sama dengan ibu dan ayahnya, karena khawatir akan mendahului mereka. Uways al-Qarni
pun sanggup menggendong ibunya dalam jarak bermil-mil jauhnya, tidak lain karena
pengabdiannya kepada orangtuanya. Subhânalâh!
Semua itu dilakukan dengan sempurna dan indah oleh generasi salaf shâlih karena mereka
menyadari, bahwa kedua orangtua itu bisa menjadi surga dan neraka bagi mereka.1 Mereka
juga memahami Hadis Rasulullah saw., bahwa dengan birr al-wâlidayn itu umur dan rezeki
mereka di dunia akan ditambah oleh Allah Swt.2 Birr al-wâlidayn itu juga akan bisa menebus
dosa dan kesalahan mereka, bahkan menjadi jaminan mereka masuk surga di akhirat kelak.3
Bentuk-bentuk birr al-wâlidayn itu bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu ketika orangtua kita
masih hidup dan setelah mereka meninggal.
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
2. www.rajaebookgratis.com
Pertama, ketika orangtua masih hidup, birr al-wâlidayn ini harus didahulukan ketimbang
melakukan fardu kifayah. Sebab, birr al-wâlidayn ini hukumnya fardu ‘ain. Karena itu, birr al-wâlidayn
harus didahulukan ketimbang pergi berjihad;4 bahkan harus didahulukan ketimbang
fardu ‘ain yang lain, seperti berhaji5 atau memenuhi hak istri dan anak;6 apalagi terhadap
perkara sunnah ataupun mubah.
Namun demikian, meski sedemikian besar keharusan taat kepada mereka, tetap tidak boleh
menaati keduanya dalam perkara maksiat; meskipun pada saat yang sama tetap wajib
bersikap baik kepada mereka.7
Jika mereka masih hidup maka kita wajib melayani dan merawat mereka.8 Apabila keduanya
memberikan perintah yang berbeda, perintah ibulah yang harus didahulukan. Setelah itu, baru
perintah ayah.9 Kalau mereka mempunyai tanggungan, kita wajib membebaskan tanggungan
mereka.10 Begitu juga ketika mereka mempunyai nadzar, kita pun berkewajiban untuk
menunaikannya.11 Jika mereka akhirnya tidak berkesempatan naik haji, kita pun harus
menghajikan mereka.12 Bukan hanya itu, Rasulullah saw. juga mengajari kita, sebagaimana
dituturkan Abdullah bin Amr, dengan sabdanya:
Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah).
Hubungan anak dan kedua orangtuanya juga harus senantiasa dibalut dengan doa;13 anak
harus senantiasa mendoakan kedua orangtuanya, dan orangtua juga harus senantiasa
mendoakan anak-anaknya. Menjadi kebanggaan orangtua jika seorang anak menisbatkan
namanya kepada orangtuanya, apalagi jika anaknya berhasil dan menjadi tokoh ternama. Itu
akan menjadi kebanggaan dan sanjungan bagi orangtuanya. Karena itu, tidak boleh seorang
anak menisbatkan namanya kepada orang lain, selain kepada orangtuanya.14 Pada saat yang
sama, anak pun tidak boleh mencemooh, atau mengolok-olok kedua orangtuanya;15
betapapun bodoh dan kesalahan mereka.
Jika berjauhan dengan mereka, kita pun wajib menyambung silaturahmi dengan mereka, baik
dengan menelpon mereka, mengirim surat kepada mereka, ataupun yang lainnya. Semua itu
tidak lain untuk menjaga ketenangan hati mereka. Inilah bentuk-bentuk ketaatan kepada
kedua orangtua selama mereka masih hidup.
Kedua, jika salah seorang di antara mereka, ataupun keduanya telah meninggal dunia, maka
Islam telah mengajarkan bentuk-bentuk ketaatan tersebut, antara lain:
1. Menunaikan wasiat dan memenuhi janji mereka;
2. Mendoakan dan memintakan ampunan untuk mereka;
3. Menyambung hubungan dengan mereka, antara lain, dengan menyambung hubungan
mereka dengan teman-teman mereka;
4. Bersedekah atas nama mereka dan untuk mereka;
5. Menunaikan ibadah haji atas nama dan untuk mereka;
6. Bergegas melakukan amal salih, sebagai anak salih yang pahalanya akan terus mengalir
untuk mereka;
7. Menziarahi pusara mereka;
8. Tidak mencela dan mengungkit-ungkit keburukan mereka.
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
3. www.rajaebookgratis.com
Inilah gambaran dan bentuk-bentuk ketaatan pada kedua orangtua yang harus dibangun
dalam kehidupan keluarga Muslim. Dengan kehidupan seperti ini, mereka bukan saja akan
menjadi keluarga yang tenang dan tenteram (sakînah) serta penuh kasih sayang (mawaddah
wa rahmah), tetapi sekaligus akan menjadi keluarga yang tangguh, yang mampu
menghasilkan gerenasi terbaik sebagaimana yang pernah dilahirkan para sahabat Rasulullah
saw. Pada saat yang sama, mereka pun akan menjadi tim yang tanggung dalam mengemban
dakwah. Wallâhu Rabb al-Musta‘ân, wa ilayhi at-takilân. d
Catatan Kaki:
1. HR Ibn Majah dari Abu Umamah.
2. HR Ahmad dari Anas; HR al-Hakim dari Muadz bin Anas.
3. HR Ahmad dan al-Hakim.
4. HR al-Hakim, al-Mustadrak, II/104.
5. HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
6. HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibn Umar; HR al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar.
7. HR Ahmad dan QS al-Ankabut: 08.
8. HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
9. Muhammad Nur, Manhaj at-Tarbiyyah an-Nabawiyyah li at-Thifl ma’a Namâdzuj at-
Tathbîqiyyah min Hayâh as-Salaf as-Shâlih, hlm. 162.
10. HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibn Majah.
11. HR Ibn Huzaymah dari Abu Hurairah.
12. HR Ibn Huzaymah dari Ibn Abbas.
13. HR Ahmad dan al-Bukhari dari Abu Hurairah.
14. HR al-Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqqash.
15. HR Abdurrazzaq dalam Mushannaf, XI/138.
Untuk mengakomodasi keinginan sebagian pembaca al-wa’ie, redaksi menerima pertanyaan-pertanyaan
seputar Islam yang perlu dijawab. Karena keterbatasan ruangan, hanya
pertanyaan-pertanyaan yang dianggap penting dan urgen yang akan dibahas dalam rubrik ini.
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com