Aliran uang haram di Indonesia tahun 2014 diperkirakan mencapai Rp. 227,75 triliun. Di sektor pertambangan totalnya mencapai Rp. 23,89 triliun, terbesar bersumber dari misinvoicing trade. Tingkat aliran uang haram di sektor pertambangan meningkat 102,43% antara 2003-2014 akibat praktik pengemplangan dan penghindaran pajak serta perdagangan ilegal.
Aliran Uang Haram dan Kejahatan Perpajakan Di Sektor Pertambangan
1. Laporan terbaru dari Global Financial Integrity (GFI)
2014 yang berjudul “Illicit Financial Flows from Developing
Countries: 2003 – 2012” menempatkan Indonesia pada urutan
ketujuh dari Negara-negara di dunia dengan aliran uang haram
tertinggi. Laporan tersebut mengestimasi total aliran uang har-
am di Indonesia dari tahun 2003-2012 yang mencapai USD.
187.844 juta (Rp. 1.690 triliun dengan nilai kurs rata-rata Rp.
9.000/USD) atau rata – rata pertahun mencapai USD. 18.784
juta (Rp. 169 triliun). Sementara itu, dengan metode perhitun-
gan yang sama, PWYP Indonesia mencatat dugaan total aliran
uang haram di Indonesia pada Tahun 2014 mencapai Rp. 227,7
triliun. Setara dengan 11,7% dari total APBN–P Tahun 2014.
Tren global menunjukan bahwa negara–negara dengan
SumberdayaAlam (SDA) melimpah justru berkontribusi besar
terhadap aliran uang ilegal. Tiongkok yang perekonomiannya
Sumber: Google.com
ALIRAN UANG HARAM DAN KEJAHATAN PERPAJAKAN
DI SEKTOR PERTAMBANGAN
Temuan Utama
1. Indonesia menduduki posisi ketujuh di antara Negara-
negara berkembang di dunia dalam jumlah aliran uang
haram dengan nilai kumulatif dari tahun 2003-2012
yang mencapai USD. 187.844 juta (Rp. 1.690 triliun
dengan nilai kurs rata-rata Rp. 9.000/USD) atau rata
– rata pertahun mencapai USD. 18.784 juta (Rp. 169
triliun). – Laporan Global Financial Integrity, 2014
2. Perhitungan PWYP Indonesia mencatat dugaan aliran
uang haram di Indonesia pada Tahun 2014 dapat men-
capai Rp. 227,7 triliun. Setara dengan 11,7% dari total
APBN–P Tahun 2014.
3. Aliran uang haram pada sektor pertambangan Tahun
2014 diperkirakan mencapai Rp. 23,89 triliun. Dimana
Rp. 21,33 triliun diperkirakan berasal dari transaksi
ilegal perdagangan (misinvoicing trade) dan Rp.2,56
triliun berasal dari celah aliran uang panas (hot money
narrow).
4. Tax ratio sektor pertambangan di Indonesia pada Tahun
2013 hanya sebesar 9,4%, rendahnya tax ratio tersebut
diindikasi terkait dengan maraknya praktek pengem-
plangan pajak (tax evasion) dan penghindaran pajak
(tax avoidance).
“Aliran uang haram di Indonesia tahun 2014 diperkirakan mencapai Rp. 227,75 triliun.
Di sektor pertambangan totalnya mencapai Rp. 23,89 triliun, terbesar bersumber dari misinvoicing trade”
1
Rekomendasi
1. Perbaikan sistem perpajakan dan transparansi peneri-
maan Negara.
2. Meningkatkan Kepatuhan Pajak serta Penguatan dan
Integrasi Data.
3. Penataan regulasi sektor pertambangan dan perpajakan.
4. Penegakan hukum bagi perusahaan pelaku pengem-
plangan dan penghindaran pajak.
Brief Note
Oktober 2015
2. berkembang pesat dalam dua dekade terakhir dengan SDA yang
melimpah merupakan negara dengan aliran uang ilegal terbesar
di dunia. Begitu juga dengan Rusia, Meksiko dan India yang
juga memiliki SDA yang melimpah, masuk ke dalam lima besar
negara dengan aliran uang ilegal terbesar di dunia (GFI, 2014).
Hal ini juga terjadi di Indonesia. Sektor pertambangan berkon-
tribusi sebesar 10,5 % dari total aliran uang ilegal di Indonesia,
yang diperkirakan sebesar Rp. 23,89 triliun pada tahun 2014.
Celah Mengalirnya Uang Haram
Secara umum aliran uang haram dapat terjadi melalui dua
celah, yaitu melalui aliran celah uang panas (Hot Money Nar-
row) dan melalui celah dari transaksi perdagangan (misinvoicing
trade). Aliran uang panas dapat berasal dari praktek pencucian
uang, korupsi, pengemplangan pajak, dan transaksi ilegal lain-
nya yang melanggar ketentuan regulasi di suatu negara. Sedan-
gkan misinvoicing trade terjadi akibat adanya transaksi ilegal
lintas Negara yang terkait dengan perdagangan barang dan jasa
(Kar & Spancer, 2014).
Selama dua belas tahun terakhir (2003 – 2014), jumlah al-
iran uang haram di Indonesia semakin meningkat. Tahun 2003,
total aliran uang haram di Indonesia mencapai Rp. 141.82 trili-
un, dan diperkirakan meningkat menjadi Rp. 227.75 triliun pada
tahun 2014. Artinya, selama kurun waktu dua belas tahun tera-
khir terjadi peningkatan sebesar 60.58% atau rata – rata pertahun
sebesar 5,04%. Indonesia termasuk lima negara dengan tingkat
pertumbuhan aliran uang ilegal terbesar di dunia setelah Tiong-
kok, Rusia, India, dan Malaysia.
Gambar 1, Sepuluh Negara dengan Jumlah Aliran Ilegal
Terbesar di Dunia, 2003 – 2012 (USD. Juta)
Khusus untuk sektor pertambangan (migas, mineral dan
batubara/bahan galian), pertumbuhan aliran uang ilegal sangat
fantastis, dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan secara na-
sional. Dalam kurun waktu 2003–2014, tingkat pertumbuhan
aliran uang ilegal di sektor pertambangan diperkirakan menca-
pai 102.43% atau rata – rata setiap tahun terjadi peningkatan
sebesar 8.53%. Tahun 2003, total aliran uang ilegal di sektor
pertambangan ditengarai baru mencapai Rp. 11.80 triliun. Se-
dangkan tahun 2014, meningkat mencapai Rp. 23.89 triliun. Ta-
bel 1 menggambarkan estimasi aliran uang ilegal sektor migas
dan pertambangan serta perbandingannya dengan semua sektor
ekonomi di Indonesia dari Tahun 2003 – 2014.
Faktor yang paling besar mendorong terjadinya aliran uang
haram di sektor pertambangan adalah akibat dari misinvoicing
trade. Misinvoicing trade diduga terjadi karena maraknya tam-
bang–tambang ilegal yang beroperasi (illegal mining) dan ter-
jadinya kasus ekspor komoditi pertambangan yang tidak tercatat
atau haram/ilegal. Tahun 2003, total dari misinvoicing trade
sebesar Rp. 9.30 triliun dan meningkat mencapai Rp. 21.33 trili-
un. Sedangkan terkait HMN, pada tahun 2014 tercatat sebesar
Rp. 2.56 triliun.
Sementara, Kementerian ESDM (2014) juga mencatat terda-
pat potensi kerugian negara sebesar USD. 1,2–1,5 miliar, setara
dengan Rp. 18,3 triliun pertahun yang diakibatkan oleh ekspor
ilegal batubara. Ada sekitar 30 – 40 juta ton batubara yang ke-
luar dari Indonesia melalui perdagangan ilegal. Situasi ini men-
dukung temuan dugaan aliran uang ilegal yang diakibatkan oleh
adanya misinvoicing trade.
Pengemplangan dan Penghindaran Pajak
Sektor Pertambangan
Menurut studi Kar & Spencer (2014), salah satu yang me-
nyebabkan aliran uang ilegal meningkat secara global adalah
akibat dari maraknya praktek pengemplangan pajak (tax eva-
sion) dan penghindaran pajak (tax avoidance). Meskipun OECD
Sumber: Global Financial Integrity, 2015
2
Keterangan: Dihitung dari kontribusi PDB sektor pertambangan (migas dan
minerba) terhadap total aliran uang ilegal
Sumber: PWYP (2015) diolah dari Balance of Payment (BOP) Indonesia dan
Direction of Trade Statistic (DOTS) IMF 2003 - 2014
3. (2013) sudah mengeluarkan Action Plan on Base Erosion and
Profit Shifting (BEPS) yang mengatur mekanisme pencegahan
terhadap pengemplangan pajak dan penghindaran pajak, namun
tetap saja praktek ini marak di lakukan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki per-
soalan dalam mengatasi pengemplangan dan penghindaran pa-
jak. Walaupun Undang-Undang Nomor. 36 tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan telah mengaturnya, tetapi tetap saja terdapat
indikasi kecolongan dalam pelaksanaannya. Banyak perusahaan
yang diduga berkelit baik secara legal, melanggar ketentuan ho-
kum, maupun mencari-cari celah dari kelemahan hukum perpa-
jakan yang ada di Indonesia.
Hasil penelitian Wiko Saputra (Prakarsa, 2014) menunjukan
bahwa ada sekitar Rp. 450 - 480 triliun potensi penerimaan pa-
jak yang tidak bisa ditarik oleh pemerintah akibat dari praktek
– praktek aliran uang ilegal seperti pengemplangan pajak dan
penghindaran pajak. Sektor pertambangan merupakan salah
satu sektor yang sangat besar praktek pengemplangan pajak dan
penghindaran pajaknya. Hal ini bisa dilihat dari data penerimaan
pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
tahun 2013. Hasill pengolahan data penerimaan sektoral men-
unjukan, penerimaan pajak sektor pertambangan dan pengalian
sebesar Rp. 96,9 triliun. Jika di hitung nisbah penerimaan pajak
sektor pertambangan dan pengalian (PPh Badan, PPh Pribadi,
dan PPN Pertambangan) terhadap PDB sektor pertambangan,
didapati tax ratio sektor pertambangan tergolong masih rendah,
yakni hanya sekitar 9,4%.
Gambar 2
Tax ratio menurut Sektor di Indonesia, 2013
Bila dibandingkan dengan sektor lain, tax ratio sektor per-
tambangan dan penggalian berada dibawah rata–rata tax ratio
nasional, padahal rata–rata tax ratio Indonesia tergolong masih
rendah dibandingkan negara lain (lower middle income country).
Artinya, masih terdapat potensi penerimaan pajak yang masih
bisa dioptimalkan dari sektor pertambangan dan penggalian yang
selama ini belum dijadikan sumber bahkan dipungut pajaknya.
Belum optimalnya potensi pajak tersebut antara lain didukung
oleh data hasil Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan
Konrupsi (KPK) terkait masih adanya perusahaan-perusahaan
pertambangan di Indonesia yang tidak patuh dalam memenuhi
ketentuan pembayaran pajak. Misalnya saja, dari 7.834 perusa-
haan yang di data oleh DJP, sebesar 24% nya tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NP-WP), serta ada sekitar 35% yang
tidak menyampaikan Laporan SPT tahunan. Hal ini mengindi-
kasikan masih adanya ketidakpatuhan perusahaan dalam melak-
sanakan kewajiban terkait perpajakan.
Paradoks Negara Kaya dan Tantangan Tata
Kelola Sumber Daya Ekstraktif
Paradoks peningkatan eksploitasi pertambangan dengan
penerimaan negara bisa dilihat dari data Penerimaan Negara Bu-
kan Pajak (PNBP). Tahun 2014, PNBP sektor Mineral dan Batu-
bara (Minerba) tercatat hanya sebesar Rp. 34,2 triliun dibawah
target yang ditetapkan dalam APBN-P 2014 yaitu sebesar Rp.
39 triliun. Namun, KPK (2014) mencatat ada sekitar Rp. 28,5
triliun potensi PNBP di sektor Minerba yang berpotensi hilang
akibat persoalan administratif dan buruknya tata kelola perijinan
dan system kontrol penerimaan Negara di sektor pertambangan
mineral dan batubara.
Selain itu, perekonomian yang tumbuh tanpa adanya system
yang baik dan regulasi yang ditegakkan, akan semakin mencip-
takan jumlah kegiatan ekonomi yang tidak terdata (underground
economy). Hal ini dijelaskan oleh Dev Kar (2013), sebagaimana
Rusia yang mengalami percepatan perekonomian dalam lima ta-
hun terakhir, ternyata diiringi juga oleh kecepatan peningkatan
aktivitas underground economy, sehingga transaksi–transaksi
ilegal masif terjadi.
Carut – marut tata kelola sektor pertambangan di Indonesia
seakan-akan menjadi permasalahan klasik. Penataan regulasi
yang lambat di level pengambil kebijakan, menyebabkan se-
makin menumpuknya persoalan tumpang tindih kewenangan.
Persoalan tata kelola pertambangan seperti tata ruang, mekan-
isme perijinan, serta kepatuhan pajak dan penerimaan negara,
maupun persoalan sosial dan perlindungan lingkungan merupa-
kan tantangan berat yang mewarnai upaya reformasi tata kelola
pertambangan di Indonesia.
Pada aspek regulasi, terdapat persoalan tumpang tindih per-
aturan-terutama terkait perijinan, yang melibatkan Kementerian
ESDM, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta
Pemerintah Daerah. Sehingga, banyak izin – izin pertambangan
yang dikeluarkan justru berada pada kawasan hutan konserva-
si dan hutan lindung-dengan open pit mining, yang jelas-jelas
merupakan area terlarang (no go zone) untuk kegiatan pertam-
bangan. Hal ini semakin diperburuk dengan tidak adanya peta
definitif yang terintegrasi antar sektor, serta ketidaksinkronan
antara peruntukan lahan untuk pertambangan dalam Rencana
Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Akibatnya, terdapat hampir
6 juta hektar lahan pertambangan yang berada di kawasan hutan
konservasi dan hutan lindung. Dan sekitar 4.276 IUP dari total
10.432 IUP yang masih berstatus non Clean and Clear (Non-
CnC), baik dari sisi administrasi, peruntukan lahan, maupun ke-
wajiban pembayaran royalty dan iuran tetap.
Sumber: PWYP 2015 (diolah dari DJP, 2014)
3
4. Kar, Dev & Joseph Spencer (2014). Illicit Financial Flows from Developing Countries: 2003 – 2012.
Washington DC: Global Financial Integrity.
KPK (2015). Awasi Sektor Pertambangan, KPK Perbaiki Tata Kelola. Press Release KPK.
Kar, Dev (2013). Brazil: Capital Flight, Illicit Flows and Macroeconomic Crises, 1960 – 2011. Wash-
ington DC: Global Financial Integrity.
Kar, Dev (2013). Russia: Illicit Financial Flows and the Underground Economy. Washington DC:
Global Financial Integrity.
Saputra, Wiko (2014). Studi Tax Gap di Indonesia, 2008 – 2012. Jakarta: Perkumpulan Prakarsa.
4
1. Perbaikan sistem perpajakan dan transparansi penerimaan Negara
Perbaikan sistem perpajakan didorong melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penguatan
institusi perpajakan, agar dapat bekerja dengan optimal dalam meningkatkan penerimaan Negara dan melakukan
pengendalian serta kontrol dan monitoring di bidang perpajakan. Transparansi penerimaan Negara antara lain
didorong melalui transparansi produksi, penjualan serta ekspor hasil pertambangan, termasuk memastikan adanya
proses monitoring dan validasi perhitungan pajak dan penerimaan negaranya. Perbaikan system perpajakan dan
transparansi penerimaan Negara penting untuk mencegah terjadinya pengemplangan dan penghindaran pajak,
serta mencegah terjadinya praktek illegal eksport yang mengakibatkan marak terjadinya misinvoicing trade.
2. Meningkatkan kepatuhan pajak serta penguatan dan integrasi data
Mendorong kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan ketentuan perpajakan dilakukan sejak pertama kali
proses perijinan tambang akan dilakukan, dengan melakukan penegakan hukum bagi yang melakukan pelang-
garan, misalnya memberi sanksi bagi perusahaan yang tidak memiliki NPWP. Kepatuhan pajak juga didorong
melalui peningkatan kinerja pengawasan dan pengendalian internal, serta penguatan kapasitas peradilan pajak
untuk memutus perkara perpajakan secara adil. Integrasi dan penguatan data merupakan prasyarat mutlak dalam
mengoptimalkan penerimaan pajak. Termasuk peran open data dan big data penting untuk mencegah terjadinya
kebocoran pajak.
3. Penataan regulasi sektor pertambangan dan perpajakan
Penataan regulasi dan penegakan hukum diperlukan untuk melakukan perbaikan tata kelola agar tidak terjadi
tumpang tindih peraturan, adanya pembagian kewenangan yang jelas, serta proses insentif dan disinsentif dari
penataan system perpajakan dan tata kelola pertambangan. Masuknya agenda revisi UU Migas dan UU Mineral
dan Batubara merupakan momentum tepat untuk pengoptimalan proses penataan perijinan. Termasuk mengop-
timalkan proses penertiban ijin-ijin sektor sumber daya alam yang saat ini sedang digalakkan oleh Pemerintah.
Penegakan hukum diperlukan untuk menjerat pelaku kejahatan perpajakan serta menciptakan rasa keadilan bagi
publik.
4. Penegakan hukum bagi perusahaan pelaku pengemplangan dan penghindaran pajak
Mangkraknya kasus pengemplangan dan penghindaran pajak yang seharusnya diproses oleh Dirjen Pajak
merupakan salah satu indikasi macetnya proses penegakan hukum. Melalui peningkatan kapasitas dan penguatan
institusi pengadilan pajak, penegakan hukum perpajakan harapanya dapat memberi efek jera bagi pelaku keja-
hatan perpajakan. Terdapat banyak potensi kasus perpajakan uang menunggu untuk ditegakkan ketentuan secara
hukum, seperti perusahaan yang tidak memiliki NPWP, perusahaan yang menunggak dan tidak membayar pajak,
serta modul-modus penghindaran pajak lainnya. Melalui penegakan hukuk, harapannya target penerimaan pajak
dapat tercapai, sekaligus juga menciptakan rasa keadilan publik bagi tegaknya proses hukum dari perpajakan.
Dipersiapkan oleh :
Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Ekonomi PWYP Indonesia
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia
Referensi
Rekomendasi Kebijakan
Secretariat:
Jl. Tebet Utara IIc No. 22B, Jakarta Selatan 12810
T/F. 021 – 8355560 |
Email: sekretariat@pwyp-indonesia.org