Pasien wanita berusia 35 tahun didiagnosis spondylitis TB dan akan dilakukan laminektomi. Status fisik dan medis pasien baik untuk operasi. Dilakukan anestesi umum dengan prosedur standar dan pemantauan selama operasi menunjukkan kondisi hemodinamik stabil.
Stroke non hemoragik disebabkan oleh berhentinya aliran darah ke otak tanpa adanya perdarahan. Ini menyebabkan hipoksia dan kerusakan sel otak. Gejala yang muncul bergantung pada bagian otak mana yang terkena, dan dapat bervariasi dari sementara hingga permanen. Penatalaksanaan bertujuan menstabilkan kondisi pasien dengan menjaga saluran napas, tekanan darah, dan melakukan perawatan lainnya.
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai definisi, etiologi, faktor risiko, gejala, dan tindakan yang dilakukan pada pasien stroke non hemoragik. Dokumen tersebut juga menjelaskan masalah-masalah keperawatan yang dihadapi pasien dan intervensi yang dilakukan untuk mengatasinya.
Pasien wanita berusia 51 tahun menjalani hystero-salphingo-oophorectomy bilateral karena mioma uteri dengan status ASA II dan hipertensi. Anestesi spinal dilakukan dengan bupivakain 0,5% 15 mg dan fentanil 25 mcg. Operasi berjalan lancar selama 2 jam 30 menit dengan pemantauan tanda vital dan pemberian cairan sesuai perhitungan.
Stroke non hemoragik disebabkan oleh berhentinya aliran darah ke otak tanpa adanya perdarahan. Ini menyebabkan hipoksia dan kerusakan sel otak. Gejala yang muncul bergantung pada bagian otak mana yang terkena, dan dapat bervariasi dari sementara hingga permanen. Penatalaksanaan bertujuan menstabilkan kondisi pasien dengan menjaga saluran napas, tekanan darah, dan melakukan perawatan lainnya.
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai definisi, etiologi, faktor risiko, gejala, dan tindakan yang dilakukan pada pasien stroke non hemoragik. Dokumen tersebut juga menjelaskan masalah-masalah keperawatan yang dihadapi pasien dan intervensi yang dilakukan untuk mengatasinya.
Pasien wanita berusia 51 tahun menjalani hystero-salphingo-oophorectomy bilateral karena mioma uteri dengan status ASA II dan hipertensi. Anestesi spinal dilakukan dengan bupivakain 0,5% 15 mg dan fentanil 25 mcg. Operasi berjalan lancar selama 2 jam 30 menit dengan pemantauan tanda vital dan pemberian cairan sesuai perhitungan.
Anestesi spinal berhasil dilakukan pada pasien hipertiroid yang melakukan sectio cesarea. Anestesi dilakukan dengan menyuntikkan bupivacaine 20 mg ke dalam ruang subaraknoid pada level L3-L4. Pasien mengalami blok sensori dan motor yang memadai untuk tindakan bedah.
Dokumen tersebut berisi laporan kasus perawatan pasien di ICU dengan diagnosis hernia scrotalis sinistra inkarserata. Pasien mengalami nyeri perut yang semakin parah setelah benjolan di daerah perutnya diurut. Pasien menjalani operasi herniotomi namun usus sudah nekrotik sehingga hanya dilakukan pengembalian usus ke dalam perut dan penjahitan. Pasien kemudian dirawat di ICU dengan pemberian infus, antibiotik, dan analgesik. Nyeri
Laporan kasus ini membahas tentang perawatan An.R yang dirawat di RS PKU Muhammadiyah Surakarta dengan diagnosis DHF (Demam Berdarah Dengue). Pasien mengalami berbagai gangguan seperti nyeri, retensi urine, gangguan nutrisi, gangguan tidur, konstipasi, dan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya. Perawat melakukan berbagai intervensi seperti manajemen nyeri, mempermudah buang air kecil, meningkatkan nutris
Ringkasan dokumen tersebut adalah laporan keperawatan pasien yang menjalani operasi Rhinotomy Lateralis. Laporan tersebut mencakup identitas pasien, data fokus sebelum, selama dan sesudah operasi, serta analisis masalah dan rencana tindakan keperawatan."
1. Klien mengalami gangguan sistem kardiovaskuler berupa gagal jantung kongestif (CHF) dan anemia yang ditandai dengan sesak nafas, nyeri dada, dan lemah. 2. Pemeriksaan menunjukkan tekanan darah 100/80 mmHg, nadi 86x/menit, dan hasil echocardiogram EF 59-70%. 3. Klien diberikan terapi cairan infus, obat jantung, dan suportif serta pemantauan tanda vital untuk meningkatkan fungsi
Dokumen ini membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien laki-laki dengan diagnosis trauma tumpul abdomen yang dirawat di ruang bedah minor. Pasien mengalami nyeri akut dan kesulitan bernafas akibat cedera, serta berisiko infeksi karena luka di abdomen. Intervensi yang diberikan meliputi pemberian oksigen, analgesia, memantau nyeri dan fungsi vital, serta pencegahan infeksi dengan antibiotik.
Pasien laki-laki berusia 57 tahun dirujuk ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada dan jantung berdebar-debar. Pemeriksaan menunjukkan supraventrikular takikardi dengan laju jantung 180 kali/menit dan gangguan fungsi ventrikel kiri. Pasien menerima terapi amiodarone dan obat lainnya yang berhasil menurunkan laju jantung menjadi normal.
Dokumen tersebut membahas tentang pengkajian gawat darurat yang terdiri dari pengkajian primer (ABCD) dan sekunder. Pengkajian primer meliputi penilaian terhadap jalan nafas, pernafasan, peredarah darah, tingkat kesadaran dan paparan. Sedangkan pengkajian sekunder meliputi pengukuran vital sign lengkap dan pemberian tindakan kenyamanan.
Dokumen tersebut membahas tentang pengelolaan pasien dalam keadaan syok. Secara garis besar dibahas tentang definisi syok, gejala klinis, penyebab, prinsip penanganan dengan menghentikan perdarahan dan memperbaiki volume cairan tubuh, serta asuhan keperawatan yang meliputi monitoring respon pasien.
Hipertensi merupakan tekanan darah yang tinggi yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi kesehatan. Dokumen ini menjelaskan definisi, penyebab, gejala, dan penatalaksanaan hipertensi secara umum serta kasus pasien wanita 81 tahun dengan diagnosa hipertensi dan gangguan jantung.
Dokumen ini membahas tentang elektrokardiografi (EKG) dan prosedur perekaman EKG, termasuk tujuan, persyaratan, alat, prosedur penempatan elektrode, dan informasi umum terkait EKG.
Terima kasih atas penjelasan dan koreksinya. Saya mengerti bahwa saya masih perlu belajar lebih banyak lagi tentang istilah-istilah kesehatan. Diskusi ini sangat bermanfaat bagi saya untuk memperbaiki pengetahuan saya.
Dokumen tersebut berisi tentang laporan kasus mola hidatidosa pada seorang pasien bernama Ny. IS berusia 27 tahun. Pasien mengeluh nyeri di bagian perut bawah selama dua minggu sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium didiagnosis mula hidatidosa. Pasien kemudian dilakukan kuretase dan pemantauan pasca operasi.
Laporan kasus ini membahas tentang seorang wanita 24 tahun dengan keluhan hidung tersumbat sejak 4 tahun. Pemeriksaan menemukan adanya polip di kedua lubang hidung, lebih parah di sebelah kiri. Pasien kemudian menjalani operasi untuk mengangkat polip tersebut.
Anestesi spinal berhasil dilakukan pada pasien hipertiroid yang melakukan sectio cesarea. Anestesi dilakukan dengan menyuntikkan bupivacaine 20 mg ke dalam ruang subaraknoid pada level L3-L4. Pasien mengalami blok sensori dan motor yang memadai untuk tindakan bedah.
Dokumen tersebut berisi laporan kasus perawatan pasien di ICU dengan diagnosis hernia scrotalis sinistra inkarserata. Pasien mengalami nyeri perut yang semakin parah setelah benjolan di daerah perutnya diurut. Pasien menjalani operasi herniotomi namun usus sudah nekrotik sehingga hanya dilakukan pengembalian usus ke dalam perut dan penjahitan. Pasien kemudian dirawat di ICU dengan pemberian infus, antibiotik, dan analgesik. Nyeri
Laporan kasus ini membahas tentang perawatan An.R yang dirawat di RS PKU Muhammadiyah Surakarta dengan diagnosis DHF (Demam Berdarah Dengue). Pasien mengalami berbagai gangguan seperti nyeri, retensi urine, gangguan nutrisi, gangguan tidur, konstipasi, dan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya. Perawat melakukan berbagai intervensi seperti manajemen nyeri, mempermudah buang air kecil, meningkatkan nutris
Ringkasan dokumen tersebut adalah laporan keperawatan pasien yang menjalani operasi Rhinotomy Lateralis. Laporan tersebut mencakup identitas pasien, data fokus sebelum, selama dan sesudah operasi, serta analisis masalah dan rencana tindakan keperawatan."
1. Klien mengalami gangguan sistem kardiovaskuler berupa gagal jantung kongestif (CHF) dan anemia yang ditandai dengan sesak nafas, nyeri dada, dan lemah. 2. Pemeriksaan menunjukkan tekanan darah 100/80 mmHg, nadi 86x/menit, dan hasil echocardiogram EF 59-70%. 3. Klien diberikan terapi cairan infus, obat jantung, dan suportif serta pemantauan tanda vital untuk meningkatkan fungsi
Dokumen ini membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien laki-laki dengan diagnosis trauma tumpul abdomen yang dirawat di ruang bedah minor. Pasien mengalami nyeri akut dan kesulitan bernafas akibat cedera, serta berisiko infeksi karena luka di abdomen. Intervensi yang diberikan meliputi pemberian oksigen, analgesia, memantau nyeri dan fungsi vital, serta pencegahan infeksi dengan antibiotik.
Pasien laki-laki berusia 57 tahun dirujuk ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada dan jantung berdebar-debar. Pemeriksaan menunjukkan supraventrikular takikardi dengan laju jantung 180 kali/menit dan gangguan fungsi ventrikel kiri. Pasien menerima terapi amiodarone dan obat lainnya yang berhasil menurunkan laju jantung menjadi normal.
Dokumen tersebut membahas tentang pengkajian gawat darurat yang terdiri dari pengkajian primer (ABCD) dan sekunder. Pengkajian primer meliputi penilaian terhadap jalan nafas, pernafasan, peredarah darah, tingkat kesadaran dan paparan. Sedangkan pengkajian sekunder meliputi pengukuran vital sign lengkap dan pemberian tindakan kenyamanan.
Dokumen tersebut membahas tentang pengelolaan pasien dalam keadaan syok. Secara garis besar dibahas tentang definisi syok, gejala klinis, penyebab, prinsip penanganan dengan menghentikan perdarahan dan memperbaiki volume cairan tubuh, serta asuhan keperawatan yang meliputi monitoring respon pasien.
Hipertensi merupakan tekanan darah yang tinggi yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi kesehatan. Dokumen ini menjelaskan definisi, penyebab, gejala, dan penatalaksanaan hipertensi secara umum serta kasus pasien wanita 81 tahun dengan diagnosa hipertensi dan gangguan jantung.
Dokumen ini membahas tentang elektrokardiografi (EKG) dan prosedur perekaman EKG, termasuk tujuan, persyaratan, alat, prosedur penempatan elektrode, dan informasi umum terkait EKG.
Terima kasih atas penjelasan dan koreksinya. Saya mengerti bahwa saya masih perlu belajar lebih banyak lagi tentang istilah-istilah kesehatan. Diskusi ini sangat bermanfaat bagi saya untuk memperbaiki pengetahuan saya.
Dokumen tersebut berisi tentang laporan kasus mola hidatidosa pada seorang pasien bernama Ny. IS berusia 27 tahun. Pasien mengeluh nyeri di bagian perut bawah selama dua minggu sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium didiagnosis mula hidatidosa. Pasien kemudian dilakukan kuretase dan pemantauan pasca operasi.
Laporan kasus ini membahas tentang seorang wanita 24 tahun dengan keluhan hidung tersumbat sejak 4 tahun. Pemeriksaan menemukan adanya polip di kedua lubang hidung, lebih parah di sebelah kiri. Pasien kemudian menjalani operasi untuk mengangkat polip tersebut.
LAPORAN KASUS INDIVIDU ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI minggu ke 2 (1).docxsalmanalfarisi637456
Laporan kasus ini membahas asuhan keperawatan anestesi pada pasien laki-laki berusia 67 tahun dengan diagnosa pyelum renal dextra yang menjalani tindakan pyelolitotomi renal dextra. Laporan ini mencakup pengkajian pre-anestesi, persiapan pasien dan peralatan, tahap intra anestesi serta observasi tanda vital selama operasi.
Dokumen tersebut membahas kasus anestesi epidural pada pasien kehamilan dengan stenosis mitral. Pasien berusia 29 tahun dengan kehamilan 36-37 minggu akan menjalani operasi sectio caesarea. Status fisik pasien baik dengan riwayat mitral stenosis sejak 2010. Tatalaksana anestesi yang direncanakan adalah epidural kontinu.
Dokumen tersebut merupakan laporan kasus seorang pasien laki-laki berumur 59 tahun yang datang dengan keluhan nyeri dada. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, didiagnosis menderita infark miokard akut. Dokumen ini membahas tentang patogenesis gagal jantung serta mekanisme kompensasi yang terjadi setelah penurunan fungsi ventrikel kiri.
Presentasi ca laring dahlia 4 kelompok 17Ulyas Rahim
Pasien laki-laki berusia 76 tahun menjalani operasi laringektomi akibat kanker laring. Pasien mengalami kesulitan bernapas dan menelan serta kelemahan umum yang membatasi aktivitas sehari-hari. Perawat merencanakan tindakan untuk membersihkan saluran napas, memenuhi kebutuhan gizi, meningkatkan kemandirian, dan memfasilitasi komunikasi nonverbal.
Dokumen tersebut merangkum laporan kasus seorang pasien wanita berusia 47 tahun dengan keluhan lemas sisi kanan tubuh. Hasil CT scan kepala menunjukkan adanya infark luas di lobus otak kiri yang diduga disebabkan oleh oklusi arteri otak kiri. Diagnosisnya adalah stroke nonhemoragik."
Pneumonia pada Ny. S menyebabkan berbagai gejala seperti sesak nafas, batuk berdahak, dan lemah. Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda infeksi paru seperti nafas cepat dan bunyi ronki. Hasil laboratorium menunjukkan leukosit tinggi yang mendukung diagnosis pneumonia.
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai laporan kasus seorang pasien wanita berusia 27 tahun dengan keluhan sakit panggul dan tungkai yang dirujuk ke poli RSOB. Pemeriksaan fisik dan laboratorium menemukan anemia dan diagnosis stroke hemoragik. Pasien diberikan terapi obat-obatan dan prognosisnya dinilai kurang baik.
1. Pasien perempuan usia 19 tahun dengan keluhan bengkak seluruh badan dan abdomen serta kaki selama 2 minggu.
2. Pemeriksaan menunjukkan edema anasarka, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia.
3. Diagnosis awal nefrotik sindrom diduga karena nefritis lupus atau glomerulonefritis.
Laporan Pembina Pramuka SD dalam format doc dapat anda jadikan sebagai rujukan dalam membuat laporan. silakan download di sini https://unduhperangkatku.com/contoh-laporan-kegiatan-pramuka-format-word/
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
Materi ini membahas tentang defenisi dan Usia Anak di Indonesia serta hubungannya dengan risiko terpapar kekerasan. Dalam modul ini, akan diuraikan berbagai bentuk kekerasan yang dapat dialami anak-anak, seperti kekerasan fisik, emosional, seksual, dan penelantaran.
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...nasrudienaulia
Dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Talcott Parsons, konsep struktur sosial sangat erat hubungannya dengan kulturalisasi. Struktur sosial merujuk pada pola-pola hubungan sosial yang terorganisir dalam masyarakat, termasuk hierarki, peran, dan institusi yang mengatur interaksi antara individu. Hubungan antara konsep struktur sosial dan kulturalisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pola Interaksi Sosial: Struktur sosial menentukan pola interaksi sosial antara individu dalam masyarakat. Pola-pola ini dipengaruhi oleh norma-norma budaya yang diinternalisasi oleh anggota masyarakat melalui proses sosialisasi. Dengan demikian, struktur sosial dan kulturalisasi saling memengaruhi dalam membentuk cara individu berinteraksi dan berperilaku.
2. Distribusi Kekuasaan dan Otoritas: Struktur sosial menentukan distribusi kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat juga memengaruhi bagaimana kekuasaan dan otoritas didistribusikan dalam struktur sosial. Kulturalisasi memainkan peran dalam melegitimasi sistem kekuasaan yang ada melalui nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
3. Fungsi Sosial: Struktur sosial dan kulturalisasi saling terkait dalam menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya dan norma-norma yang terinternalisasi membentuk dasar bagi pelaksanaan fungsi-fungsi sosial yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat.
Dengan demikian, konsep struktur sosial dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Parsons tidak dapat dipisahkan dari kulturalisasi karena keduanya saling berinteraksi dan saling memengaruhi dalam membentuk pola-pola hubungan sosial, distribusi kekuasaan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat.
KKTP Kurikulum Merdeka sebagai Panduan dalam kurikulum merdeka
222878561 case-report-spondy-tb
1. Get Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis tujukan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan case report dengan judul
2
2. “ANESTESI PADA SPONDYLITIS TB”. Case report ini disusun sebagai salah satu persyratan
kelulusan kepaniteraan bagan Anestesi di RSUD dr. Slamet Garut.
Berbagai kendala penulis hadapi dalam penyelesaian penulisa case report ini, namun
demikian semuanya tidak terlepas dari adanya bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Hj. Hayati Usman, Sp.An. selaku dosen pemimbing yang telah memberikan
pengarahan dalam penulisan case report ini.
2. Para penata dan perawat anestesi di Bagian Instalasi Bedah Sentral RSU dr.Slamet
Garut.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSU dr.Slamet Garut.
Semoga dengan adanya referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi
semua pihak. Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik serta saran sebagai perbaikan dalam penyusunan yang akan datang.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan menjalani
aplikasi ilmu.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Garut, Januari 2011
3
5. BAB I
STATUS PASIEN
A. RESUME
Seorang wanita berusia 35 tahun datang dengan keluhan tidak dapat menggerakkan kedua
kakinya, terjadi reflex pergerakan spontan pada kedua kakinya, panas pada punggung
menjalar ke kaki. Pasien tersebut didiagnosa sebagai spondilitis TB dan ditangani oleh
bagian bedah orthopedic dan neurologi. Pasien tidak memiliki penyulit untuk dilakukan
tindakan operasi. Dilakukan tindakan laminektomi dengan anestesi umum. keadaaan
hemodinamik pasien pada saat operasi dan pasca operasi dapat dikontrol dengan baik.
B. DATA UMUM
Nama : Ny Yeni Holisah
Umur : 35 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Perum puri cimanganten asri blok D 13 RT 01 RW 08 Tarogong
No. RM : 01356009
MRS : 20 desember 2010
Tgl Operasi : 5 januari 2011
Diagnosa : Myelopati Thorakal 4 e.c. DD/ spondylitis TB, myeloma bone tumor
Tindakan : laminektomi
Operator : Husodo, dr., SpOT
Anestesi : Hj. Hayati Usman, dr., SpAn.
6
6. Asisten : Firman
Bagian : Bedah Orthopedi
C. PEMERIKSAAN PRA BEDAH
1. Anamnesa
Keluhan Utama : Pasien awalnya merasa kesemutan pada kaki dan terasa panas yang
menjalar dari punggung sampai ke kedua kaki. 2 minggu kemudian, pasien terjatuh
dikamar mandi dengan posisi terduduk tetapi setelah terjatuh pasien masih bisa berjalan.
Setelah jatuh pasien merasa sering sesak nafas dan pinggang terasa panas jika duduk
lama. Tiap bulan kondisi pasien menurun, dan lama kelamaan pasien tidak dapat berjalan
dan kedua kaki sering terjadi reflex spontan.
Anamnesa Khusus :
Pada penderita tidak ditemukan riwayat sesak nafas, gangguan menelan, suara serak dan
mengorok saat tidur. Riwayat asma, batuk- batuk lama, merokok disangkal. Aktivitas
sehari-hari terbatas karena tidak bisa menggerakkan dua ekstremitas inferior. Riwayat
hipertensi tidak diketahui oleh penderita. Riwayat nyeri dada, jantung berdebar juga
disangkal.pasien juga tidak memiliki kebiasaan merokok, minum alcohol, memakai obat-
obatan terlarang, dan tidak memakai gigi palsu.
Hasil Konsul neurologi : Kesimpulan : Pasien cukup baik untuk dilakukan operasi.
7
7. Anamnesa tambahan : pasien telah melakukan fisiotherapi 3 bulan sebelum dilakukan operasi,
tetapi tidak ditemukan kemajuan yang berarti (pasien masih belum dapat menggerakkan kedua
kakinya).
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien tidak dapat menggerakan kedua kaki dan kakinya sering reflex sendiri.
Riwayat Penyakit Dahulu
DBD 6 tahun yang lalu
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit tersebut.
Riwayat Alergi
Udang, alergi obat
Riwayat Anastesi Sebelumnya
Tidak ada
Kebiasaan
Tidak merokok, tidak minum minuman keras. Suami pasien merokok.
Riwayat anastesi sebelumnya
Tidak ada
8
8. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan darah : 120/90 mmhg
Nadi : 80 x / menit
Respirasi : 20 x / menit
Suhu : 36,8 celcius
Kepala :
• Mata : konjungtiva anemis
• Sclera : ikterik (-)
• Mallampati score : I
• Buka mulut : > 4 cm
• Tiromental distance : > 6 cm
Leher :
• JVP : tidak meningkat
• Pergerakan dan ekstensi tidak terbatas
Toraks
• paru :
inspeksi : bentuk dan gerak simetris
palpasi : fremitus vocal dan taktil simetris kiri dan kanan
perkusi : terdengar suara sonor dikedua lapang paru
9
9. auskultasi : VBS kanan sama dengan kiri , tidak ada suara tambahan
sepeti ronki dan wheezing
• jantung
bunyi jantung 1 dan II regular , murmur ( - ) , gallop ( - )
Abdomen
Nyeri tekan ( - ) ,nyeri lepas (-) tidak ada pembesaran lien ataupun hepar , tidak
teraba massa ataupun pembesaran.
Ekstremitas
Akral : dingin , cyanosis ( - )
Oedem : tidak ada
Status neurologi
Rangsangan meningens : kk (-)
Saraf otak : pupil bulat isokor
Gerak bola mata : baik ke segala arah
Funduskopi : negative (-)
Motorik : atas 5-5, bawah 2-2
Sensorik : parastesia inferior
Fungsi luhur : baik
Reflex fisiologis : BPR (+), KPR (+)
10
10. Reflex patologis : negative (-)
Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah rutin
Hemoglobin : 9,4 gr / dl
Hematokrit : 34 %
Leukosit : 2300 sel / mm3
Trombosit : 12.000 sel / mm3
Eritrosit : 4, 53 juta / mm3
b. Kimia klinik
Bilirubin total : 0,96 mg/dl
Bilirubin direk : 0,2 mg / dl
AST (SGOT) : 72 UL
ALT (SGPT) : 30 UL
Ureum : 84 mg/dl
Kreatinin : 0,54md/dl
Kolesterol totsl : 126 mg/dl
Kolesterol HDL : 56 mg/dl
Kolesteol LDL : 48 mg/dl
Trigliserida : 108 mg/dl
Glukosa darah puasa : 84 mg/dl
Asam urat : 1,55 mg/dl
11
11. Natrium (Na) : 152 mEq/L
Kalium (K) : 4,4 mEq/L
*dipertebal : tidak normal
Pemeriksaan radiologi
Curvature : baik
Alignment : baik
Corpus : pada thorakal 4 berbentuk seperti baji
Discus : discus antara thorakal 3-4 menyempit
Pedikel : baik
Kesan : spondyloitis TB thorakal 4
12
12. Pemeriksaan penunjang
Tes PPD(Tuberculine Purified Protein Derivative) : positif (+)
Kesimpulan
Pasien wanita berusia 35 tahun dengan keluhan tidak dapat menggerakan kedua kaki dan kakinya
sering reflex sendiri, didiagnosis sebagai spondylisis TB thorakal 4 akan dilakukan tindakan
laminektomi oleh bedah orthopedic. Status fisik pasien II, karena pasien memiliki riwayat
anemia tanpa disertai gangguan aktivitas. Izin tindakan anastesi dan operasi telah dimengerti dan
ditandatangani oleh pasien dan keluarganya .
Informed consent
Izin tindakan anastesi dan operasi telah dimengerti dan ditandatangani oleh pasien dan
keluarganya .
13
13. D. PROSEDUR ANESTESI
Premedikasi
- Puasa dari jam 03.00 pagi
- Premedikasi valium tab 5 gr diminum dengan air 2 sendok.
- Evaluasi di ok
- Informed consent
Anestesi Umum
1. Persiapan pra Anestesi
Persiapan Alat :
• S ( scope ) : stethoscope dan laryngoscope
• T ( tube ) : Pipa trakea no 6, 5 : 7 : dan 7, 5
• A ( airway ) : pipa mulut faring (/ orofaringeal airway )
• T ( tape ) : plester
• I ( Introducer ) : stylet C
• C ( conector ) : penyambung antara pipa dan peralatan
• S ( suction ) : Penghisap
• Tensi meter dan monitor EKG
• Tabung gas N2O dan O2 terisi dan terbuka
• Spuit 10 ml kosong
Persiapan Obat
14
14. • Fentanil : 50 mcg
• Propofol : 100 mg
• Farelax : 30 mg
• Propofol : 50 mg
• Ranitidin : 1 mg
• Farelax : 10 mg
• Kalnex : 500 mg
• Isofluran : 2 liter
Pasien dipasang monitor :
Tensi : 120/90 mmHg HR : 80 x/mnt SpO2 : 98 % dengan udara bebas
2. Induksi anestesi
Induksi : sempurna
Pengaturan nafas : assist dan control
Teknik : closed
Ventilator:
- tidal volume : 375ml
- frekuensi nafas : 14
- I : E ratio : 1 : 2
Setelah preoksigenisasi dgn O2 100%. Pasien diberikan obar anestesi dengan urutan
sebagai beriukut :
15
15. 1. Fentanil : 50 mcg
2. Propofol : 100 mg
3. Farelax : 30 mg
4. Propofol : 50 mg
Pasien selama anestesi diberikan cairan :
1. Ringer Laktat 500ml
2. Ringer Laktat 500ml
3. Ringer Laktat 500ml
4. Widahes 500ml
5. transfuse darah gol A 250 ml
Intubasi : telah dilakukan secara oral menggunakansingle lumen spiral ETT tube no
7 dengan balon dan tidak terdapat kesulitan saat intubasi. Posisi pasien
prone.
Saat dan pasca intubasi :
Tensi : 110/57 mmHg
HR : 97 x/mnt
SpO2 : 99-100%
Rumatan : N2O ( 2 liter / menit ) + O2 ( 2 liter / menit ) + isofluran 2 vol %
- Ranitidin : 1 mg
- Farelax : 10 mg
- Kalnex : 500 mg
16
16. Respirasi : pada awalnya pasien belum bernapas spontan , sehingga
menggunakan ventilator dengan tidal volume 375 ml , RR 14 x / menit
Posisi : prone
E. MONITORING
Monitoring selama operasi ( 3 jam 30 Menit )
• Tekanan darah : Tertinggi 130 / 54 mmHg
Terendah 101 / 56 mmHg
• Nadi : Tertinggi 134 x / menit
Terendah 65 x / menit
• Saturasi oksigen : 99 %
17
17. PERHITUNGAN RENCANA PEMBERIAN CAIRAN :
BB 65 kg
Puasa 9 jam
Lama operasi 3,5 jam
Perdarahan 1500cc
Cairan yang sudah diberikan 3 RL,1 widahes, 1 transfusi darah
EBV = 70 x 65 kg = 4550 cc
Perdarahan : 1500/4500 x 100% = 32,96% (perdarahan berat)
Kebutuhan cairan maintenance untuk pasien dengan berat badan 65 kg
4 cc x 10 = 40
2 cc x 10 = 20
1 cc x 45 = 45
+
= 105 mL per jam
Pasien telah puasa 9 jam, maka deficit cairan :
9 x 105 = 945 ml
Stress operasi besar : 6 cc x 65kg = 390
390 x 3,5jam (lama operasi) = 1365 cc
Total cairan yang dibutuhkan : puasa + stress operasi besar
= 945 cc + 1365 cc
= 2310 cc
18
18. Cairan yang diberikan : 3 kolf kristaloid (RL) = 1500cc
1 kolf koloid = 500cc
1 kolf darah = 150cc
Cairan sisa : perdarahan – koloid - darah
= 1500 -500 –150
= 850 cc
850 cc x 3 = 2550 cc
Kebutuhan operasi: total cairan yg dibutuhkan + cairan sisa
= 2310 + 2550
= 4860 cc
RL 3 kolf -> 4860 – 1500
= 3360 cc
Cairan post operasi : (24 jam + (puasa + lama operasi)) x maintanance
24 – (9+3,5) x 105
= 24 – 12,5 x 105
= 11,5 x 105
= 1207,5cc
Kebutuhan cairan post operasi : cairan sisa + cairan post operasi / sisa waktu
= 3360 + 1207,5 x ¼ = 99 gtt/menit
11,5
Instruksi post operasi dalam 24 jam:
- O2 3 liter/menit dalam 6 jam post operasi
- Transfuse darah bila Hb post operasi sama dengan atau kurang dari 8 g%
19
19. - Infuse kristaloid (RL) : dextrose = 2:1, 99 gtt/menit
KEADAAN PASCA BEDAH
Pasien masuk recovery room dengan keadaan :
Keadaan umum : delirium
Tekanan darah : 107/69 mmHg (tekanan darah yang terbaca di monitor sebelum
masuk RR)
Nadi : 130 kali/menit
Respirasi : 16 kali/menit
Dan dipasang O2 3 liter/menit.
Pasien diobservasi selama 90 menit kemudian pindah ruangan. Selama observasi tidak
ditemukan komplikasi mual muntah. Dengan analgetik ketorolac dan tramadol pasien tampak
tenang tak tampak kesakitan.
Aldrette score 30 menit pertama total 7, 45 menit kedua total 8, Aldrette score total 9 didapatkan
kurang lebih 90 menit setelah observasi di RR.
Tidak didapat adanya Diuresis selama 3 ½ jam.
BAB II
PERMASALAHAN
20
20. I. Pendahuluan
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s
disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang
banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya
dikarenakan penyakit ini. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun
1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura
tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga
ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut
menjadi jelas. Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang
dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5 tahun. Saat ini
dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan
sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih seringterkena dibandingkan anak-anak.
Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya
memberikan hasil yang baik, namun pada kasus – kasus tertentu diperlukan tindakan operatif
serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun setelah penderita
menjalani tindakan operatif.
II. Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan
dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di
negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas
utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan
kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah
21
21. berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu
30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini
mengalami peningkatan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan
tahap lanjut infeksi HIV. Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan
pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit ini.
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa,
dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-
anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini mengalami perubahan dan terlihat
dengan adanya penurunan insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong.
Pada kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang
lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang
mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang
cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh
kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang
(kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di
kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal
bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering
terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum,
lalu dikuti dengan area servikal dan sacral. Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien
dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan
penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi
lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini berhubungan dengan
22
22. insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama
dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini.
III. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling
sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies
Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti
Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle
baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV).
Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-
motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan
teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media
egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik
Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.
IV. Patogenesa
Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan
enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri tidak
dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu.
Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga
akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang
dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif. Virulensi basil tuberkulosa dan
kemampuan mekanisme pertahanan host akan menentukan perjalanan penyakit. Pasien dengan
23
23. infeksi berat mempunyai progresi yang cepat: demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat
terjadi dalam hitungan hari. Respon seluler dan kandungan protein dalam cairan serebrospinal
akan tampak meningkat, tetapi basil tuberkulosa sendiri jarang dapat diisolasi. Pasien dengan
infeksi bakteri yang kurang virulen akan menunjukkan perjalanan penyakit yang lebih lambat
progresifitasnya, jarang menimbulkan meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi
dan terorganisasi.
Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa tergantung dari:
1. Usia dan jenis kelamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga masa pubertas.
Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah. Hingga usia 2
tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan
meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara hematogen. Setelah usia 1 tahun dan
sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena penyakit tuberkulosa milier atau
meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa seperti infeksi ke nodus
limfatikus, tulang atau sendi.
Sebelum pubertas, lesi primer di paru merupakan lesi yang berada di area lokal,
walaupun kavitas seperti pada orang dewasa dapat juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di
Afrika dan Asia, terutama perempuan usia 10-14 tahun.
Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam mencegah penyebaran
secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah penyebaran penyakit di paru-paru.
Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita
cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat
24
24. kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia
40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan resistensi terhadap
penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan tubuh.
Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia meningkatkan resiko
terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan pemukiman yang padat
dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi, sehingga akan menurunkan
daya tahan tubuh.
6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika asli,
mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.
V. Patologi
25
25. Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau
penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus
tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus
infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah
berasal dari system pulmoner dan genitourinarius. Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa
tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran
terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui
arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan,
yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau
melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak
vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini
diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan
tiga atau lebih vertebra.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk
spondilitis:
(1) Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum
longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat
menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
(2) Sentral
26
26. Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai
tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini
dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat
terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio
torakal.
(3) Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya.
Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari
sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang
ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena
adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
(4) Bentuk atipikal :
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat iidentifikasikan.
Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan
granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di
pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi
intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui
tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%. Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang
cancellous dari vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi
ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua
atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal
anterior atau secara langsung melewati diskusintervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus
27
27. yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi
ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.
Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada
saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous
sequestra, terutama di regio torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten
terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi
paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya
corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena
perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan
timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan
menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga
kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung syaraf posterior
tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi
posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila
sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah
meluas.
Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di
area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar
dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di
bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena
sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular. Dengan adanya peningkatan
28
28. sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulangviga akan menumpuk menimbulkan bentuk
deformitas rongga dada berupa barrel chest.
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan
kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami
osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps.
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya
korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang nekrotik serta
sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Cold abcess ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi
sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi
aslinya.
Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat
paha dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum longitudinal menghambat jalannya
abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada
atau sedikit dibawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi
ruptur ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai
‘sarang burung’. Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding dada anterior 8 di area
parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian
tepi leher. Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien
dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang
(kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa)
tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous
29
29. arachnoiditis). Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang
dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis
(setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi
medula spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya
terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi
berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.
VI. Pott’s Paraplegia
Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott’s paraplegia menjadi:
(1) Early onset paresis
Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit
(2) Late onset paresis
Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit.
Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi tiga tipe:
(1) Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut
Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan dengan
penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).
(2) Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen bahkan
walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.
30
30. Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh
karena :
(a) Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater
Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya abses, material
perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau dislokasi patologis vertebra.
Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat gerak bawah dengan spastisitas yang
bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot involunter dan reflek withdrawal.
(b) Invasi duramater oleh tuberkulosa
Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa. Secara klinis
pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot involunter dan reflek
withdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya kerusakan korda
spinalis. Secara umum dapat terjadi inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris dan
paraplegia.
(3) Type III / yang berjalan kronis
Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat membaik. Bisa
terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, fibrosis meningen dan adanya
jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke
anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah yang
mensuplai corda spinalis).
Klasifikasi untuk penyebab Pott’s paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh Hodgson menjadi:
31
31. I. Penyebab ekstrinsik :
(1) Pada penyakit yang aktif
a. abses (cairan atau perkijuan)
b. jaringan granulasi
c. sekuester tulang dan diskus
d. subluksasi patologis
e. dislokasi vertebra
(2) Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan
a. transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis
b. fibrosis duramater
II. Penyebab intrinsik :
Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan meningen dan corda
spinalis.
III. Penyebab yang jarang :
(1) Trombosis corda spinalis yang infektif
(2) Spinal tumor syndrome
32
32. VII. Penegakkan Diagnosa
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor.
Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat. Durasi gejala-
gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun;
sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
Anamnesa dan inspeksi :
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam yang
berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia. Pada pasien anak-
anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak
jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka
demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan
terlihat dengan jelas.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri dada.
Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan,
dan pembesaran hati dan limpa.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi
yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan atau nyeri yang
menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan
intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian
perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan
menahan punggungnya menjadi kaku.
33
33. 4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek, karena
mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,
mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu
tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris
sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan
rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi
leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga
akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi
medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis.
Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab
kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan
karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.
6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik ia
menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu
dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku.
Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga
dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke
bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas
atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai
permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi
34
34. fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya
kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang),
skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi pada
kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada
infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak
bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan
motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut seperti pada
infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa
hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.
Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa
sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba
panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di
belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar
dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas
pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
Perkusi :
35
35. 1. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae yang
terkena, sering tampak tenderness.
Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
1.2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD) positif.
Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh
mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan.
Hasil yang negatif tampak pada 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan
pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau
disertai penyakit lain)
1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas
lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-paru yang aktif)
1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.
1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid,
paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan
peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa). Normalnya
cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan
36
36. serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan
tampak:
_ Xantokrom
_ Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
_ Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya bisa
berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik.
_ Kandungan protein meningkat.
_ Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat mendukung
diagnosis, ulangi pemeriksaan.
_ Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal akan menunjukkan
genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan bertahap kandungan protein
menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering diikuti dengan kejadian paralisis.
Pemberian steroid akan mencegah timbulnya hal ini.
Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 1-
4g/100ml.
_ Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang absolut
tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.
2. Radiologis:
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
37
37. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di
paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di
tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.
Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior corpus
vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus
intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk scalloping
karena penyebaran infeksi dari area subligamentous. Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan
pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus spinosus.
Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformitas scoliosis
(jarang)
Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah lama
akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra
yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan
nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di
bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada
kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena
penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.
Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.
38
38. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas
akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau
tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah
penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).
3. Computed Tomography – Scan (CT)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat
pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan
CT Scan.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang
bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk :
_ Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau operatif.
_ Membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses.
5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal mungkin diperlukan
pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan histologi yang baik
(untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada 50% kasus).
6. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral yang
diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian
dapat diinokulasi di dalam guinea babi.
39
39. VIII. Komplikasi
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural
sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis
(contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda
spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika
cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan
mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan
corda spinalis.
2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.
IX. Diagnosa Banding
1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).
Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto roentgen menunjukkan adanya infeksi
piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih
menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid).
Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium.
3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma, aneurysma
bone cyst dan Ewing’s sarcoma). Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus
vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap
dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus
sementara untuk tumor tampak suatu lesi yangberbatas jelas.
40
40. 4. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya
penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak
terbentuk abses paraspinal.
X. Manajemen terapi
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa
terbagi menjadi :
A. TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh
kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat secara
signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi
dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang memuaskan.
Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang belum berkembang secara ekonomi
41
41. manajemen terapi ini merupakan suatu pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri
tidak harus menunda pemberian terapi.
Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan yang
ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberculosa
memakan waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar sehingga
situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa bukti
konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat antituberculosa
juga merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostic.
Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi :
(1) Resistensi primer
Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang sebelumnya
belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu obat baik itu SM ataupun
INH. Jarang terjadi resistensi terhadap RMP atau EMB. Regimen dengan dua obat yang biasa
diberikan tidak dapat dijalankan pada kasus ini.
(2) Resistensi sekunder
Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi yang awalnya
masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut. The Medical Research Council telah
menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang
adalah kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 – 9 bulan.
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau terbatas tanpa
disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama 6-12 bulan atau hingga foto
42
42. rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi
ini adalah masalah kepatuhan pasien.
Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang kontroversial.
Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi,
sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan
dapat mengalami resistensi sekunder.
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP),
pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).
Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide,
cycloserine, kanamycin dan capreomycin.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:
Isoniazid (INH)
_ Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
_ Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
_ Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
_ Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
_ Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien berusia lanjut usia,
peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat reversibel dengan
pemberian suplemen piridoksin).
43
43. _ Relatif aman untuk kehamilan
_ Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
Rifampin (RMP)
_ Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari basil, baik di intra
ataupun ekstraseluler.
_ Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti pada
nekrosis perkijuan).
_ Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk sediaan oral
dan intravena.
_ Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
_ Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus gastrointestinal, cholestatic
jaundice, trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat
bila dikombinasi dengan INH.
_ Relatif aman untuk kehamilan
_ Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.
Pyrazinamide (PZA)
_ Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat asam dan
paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkijuan.
_ Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
44
44. _ Efek samping :
1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan dalam jangka
yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak.
Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
_ Dosis : 15-30mg/kg/hari
Ethambutol (EMB)
_ Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
_ Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
_ Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta warna,
berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.
_ Relatif aman untuk kehamilan
_ Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
_ Dosis : 15-25 mg/kg/hari
Streptomycin (STM)
_ Bersifat bakterisidal
_ Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga dipergunakan untuk
melengkapi pemberian PZA.
45
45. _ Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
_ Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo (terutama sering
mengenai pasien lanjut usia)
_ Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
_ Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari
Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih kontroversial. Obat ini
membantu pasien yang terancam mengalami spinal block disamping mengurangi oedema
jaringan.
Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis,
radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning frame /
plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi.
Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia
keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior, atau bila
terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan.
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya
dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini
ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut.
Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang
46
46. dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan
berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan
meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah,
Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya
destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi
dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi
dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral
dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi
salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak
penderita diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster
shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah baring untuk mencegah
timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah
harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini
maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan
oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan dekompresi.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus menjalani
kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak
didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat
tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita
yang jelek, gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.
47
47. B. TERAPI OPERATIF
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami
perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja. Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien
yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan
neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat
antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon
yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul
untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang
terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat.
Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila :
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau kifosis
berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren
Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi (Hodgson)
akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi:
48
48. A. Indikasi absolut
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila timbul tanda
dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi kelemahan motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi konservatif
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah diberi terapi
konservatif
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah baring dan
immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya nekrosis
karena tekanan pada kulit.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar yang tidak
biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena trombosis
vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya sensibilitas secara
lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi segera
tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)
B. Indikasi relatif
1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena
49
49. kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau
kompresi syaraf
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
C. Indikasi yang jarang
1. Posterior spinal disease
2. Spinal tumor syndrome
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina
Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui pendektan dari
arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di anterior maka operasi dilakukan
melalui pendekatan arah anterior dan anterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka
dilakukan operasi dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan menggunakan
pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur yang dilakukan
hampir di setiap pusat kesehatan.
Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa tetaplah
penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomendasikan.
Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu sebelum fokus tuberkulosa
50
50. dieradikasi secara langsung dengan pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang
mengandung tulang mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang
ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan langsung secara
radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang
dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat
destruksi dua atau lebih korpus vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior
atau konsolidasi tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.
Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi tambahan dan bracing
merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang tidak mempunyai
perlengkapan untuk operasi spinal anterior. Terapi operatif juga biasanya selain tetap disertai
pemberian kemoterapi, dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan
selanjutnya menggunakan spinal bracing.
Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu periode tirah baring
diikuti dengan sokongan eksternal dalam TLSO direkomendasikan hingga fusi menjadi
berkonsolidasi. Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu.
Pada pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan jika ukuran
lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi dan lesinya bersifat soliter.
Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai prosedur utama
terapi Pott’s paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan elemen neural posterior akan
mengangkat satu-satunya struktur penunjang yang tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior.
Laminektomi hanya diindikasikan pada pasien dengan paraplegia karena penyakit di laminar
51
51. atau keterlibatan corda spinalis atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi anterior dan
fusi, serta mielografi menunjukkan adanya sumbatan.
XI. Pencegahan
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium bovis
yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi immunitas,
meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini
bersifat aman tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial.
Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anak-anaknya
cukup gizi, BCG telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun
setelah pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan tipe
percobaan yang sama di Amerika dan India telah gagal menunjukkan keuntungan pemberian
BCG. Sejumlah kecil penelitian pada bayi di negara miskin menunjukkan adanya efek proteksi
terutama terhadap kondisi tuberkulosa milier dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The
Joint Tuberculosis Committee merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji
tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi immigran di Inggris.
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap
menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada negara-negara
dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti pada AIDS aktif).
Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang
lebih besar dan dewasa.
Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya
anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai sedikit
52
52. efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di
kelompok orang dewasa maka yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh
pasien dengan sputum berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah
menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat
sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi.
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari
selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi tuberkulosa.
XII. Prognosa
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi
kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologist serta terapi yang diberikan.
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya
kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen
terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat ini
dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
53
53. Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara signifikan,
tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologist atau kegagalan pernafasan dan
jantung karena keterbatasan fungsi paru.
Rajasekaran dan Soundarapandian dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
nyata antara sudut akhir deformitas dan jumlah hilangnya corpus vertebra. Untuk
memprediksikan sudut deformitas yang mungkin timbul peneliti menggunakan rumus :
Y = a + bX
dengan keterangan :
Y = sudut akhir dari deformitas
X = jumlah hilangnya corpus vertebrae
a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.
Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90% pada pasien yang
tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini berlebihan, maka operasi sedini mungkin harus
dipertimbangkan.
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa
operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya operasi
dini.
e. Usia
54
54. Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa
f. Fusi
Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen spondilitis
tuberkulosa.
XIII. RANGKUMAN
Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah berkurang pada
beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan kesehatan dan
perkembangan regimen kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus menjadi suatu masalah
kesehatan di negara-negara yang belum dan sedang berkembang dimana diagnosis dan terapi
tuberkulosa sistemik mungkin dapat tertunda.
Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan tetapi
morbiditas yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat
dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang
baik antara pasien, keluarga dan tim kesehatan.
55
55. BAB III
PEMBAHASAN
ANESTESI PADA OPERASI SPONDILITIS TUBERKULOSA
Anestesi pada operasi tulang belakang
Pengantar
Penyajian pada pasien untuk prosedur bedah tulang belakang adalah beragam. Populasi
menjalani berbagai prosedur operasi dan menyajikan beragam tantangan bagi ahli anestesi.
Dalam pengelolaan anestesi tergantung pada bagian operasi, patologi tulang belakang,
pendekatan pada bagian bedah maupun ahli anestesi untuk pengalaman & keahlian.
Indikasi umum Bedah Spinal
Salah satu pekerjaan yang paling sulit bagi seorang ahli bedah tulang belakang adalah
memutuskan saat bedah dengan intervensi yang tepat. Ada lima alasan dasar untuk menawarkan
pembedahan untuk pasien dengan gangguan tulang belakang.
• • Neurologis disfungsi (kompresi)
• • Struktural ketidakstabilan (perpindahan abnormal)
• • Lesi patologis (seperti tumor atau infeksi)
• • Deformitas (abnormal alignment)
• • Sakit (tulang belakang / discogenic / facetogenic)
56
56. Menempatkan pasien dalam satu atau lebih dari kategori-kategori ini memungkinkan untuk
mengambil tindakan bedah tulang belakang. Secara umum, pengobatan harus nonoperative
Prosedur Bedah
1. 1. Prosedur konvensional terbuka
2. 2. Microdiscectomy dapat dilakukan untuk dekompresi akar saraf yang terkena
3. 3. Endoskopi pada pembedahan tulang belakan. Untuk waktu yang lama, akan tidak
menguntungkan dari segi bedah Minimum
Pada pasien ini, tujuan bedah dapat dicapai dengan memasang penurunan volume melalui
jet ventilasi atau ventilasi tradisional dengan sementara. Penurunan volume tidal selama titik
kritis dalam prosedur. Potensi komplikasi dari suatu thoracoscopy dapat menyebabkan beberapa
kelainan seperti neuralgia interkostal, atelektasis, pneumotoraks, hemothorax, chylothorax,
pneumonia, infeksi, dan banyak lagi. Terkait komplikasi diatas dapat menyebabkan epidural
kehilangan banyak darah.
Untuk melakukan anestesi pada laparoskopi memerlukan pertimbangan prosedur yang
digunakan untuk menangani penyakit pada tulang spinal. Selain itu, bifurkasi dari venacava dan
aorta terjadi di daeerah lumbal 4-5.
Alasan yang paling utama untuk melakukan operasit erbuka adalah perdarahan yang
banyak dari vena cava maupun segmen vena yang cedera.
57
57. Sedangkan pengalaman yang kurang cukup untuk pendekatan endoskopi pada tulang
belakang dengan data awal menunjukkan endoskopi yang menawarkan keuntungan untuk
prosedur tertentu.
Komplikasi yang paling mungkin pada penggunaan teknik retroperitoneal dalam operasi
endoskopi adalah neuralgia pada regio femur, hematom pada regio psoas dan “Coincidental”
lumbar sympathectomy. Penggunaan endoskopi memungkinkan prosedur pembedahan yang akan
dilakukan melalui insisi kecil yang dapat mengurangi nyeri pasca operasi, memfasilitasi waktu
pemulihan, dapat segera kembali bekerja, dan mengurangi biaya perawatan medis
4. 4. Bedah tulang belakang menggunakan neuronavigation intraoperative dalam kombinasi
dengan intraoperatif yang bermanfaat untuk pasien. Problems Masalah yang ditemui selama
operasi adalah posisi pasien, akses gerak pasien terbatas pada kebutuhan monitoring yang
memadai.
5.5 Pemanfaatan intraoperatif selama prosedur MRI tulang belakang baru-baru ini dilaporkan
dengan keuntungan yang meningkatan lokalisasi patologi dan disarankan untuk mengakses
kemampuan untuk koreksi bedah
Teknik anestesi
Endotrakeal dengan Anestesi umum (Geta) disukai untuk semua operasi tulang
belakang, baik spinal dan anestesi epidural telah berhasil digunakan untuk eksisi lumbar disk
sederhana. Menunjukkan bahwa anestesi pada tulang belakang tidak menyebabkan kehilangan
darah yang berlebihan serta nyeri pasca operasi juga kecil dan kecil kemungkinan dapat
menyebabkan trombosis pada vena dalam.
58
58. Dengan pemilihan pasien yang tepat, tingkat kegagalan pada GETA jarang terjadi.
Meskipun jarang digunakan, namun operasi pada tulang belakang dapat dilakukan dengan
menggunakan anestesi lokal
Anestesi Pertimbangan
Evaluasi preoperative dan pengelolaan pasien untuk operasi tulang belakang harus
memperhitungkan kondisi medis serta prosedur bedah termasuk durasi dan pendekatan bedah.
Beberapa faktor yang perlu dievaluasi adalah
1. 1. Airway Evaluasi: Ini harus mencakup klasifikasi Mallampatti
2. 2. Evaluasi Paru
3. 3. Evaluasi Jantung
4. 4. Neurologis Evaluasi: Hal ini tidak terlalu biasa bahwa pasien menderita sakit tulang
belakang yang mungkin hadir dengan berbagai kelas defisit neurologis mulai dari kelemahan dan
atrofi kelompok otot tertentu untuk paraplegia dan quadriplegia.
Magnetic resonance imaging (MRI) telah menggantikan mielografi sebagai tes diagnosis yang
utama karena MRI dapat membedakan tumor yang berasal dari kista. . Darurat CAT scan sangat
berguna dalam menilai pasien dengan cedera leher akut dan kecurigaan patah tulang servikal
namun terkadang bahkan leher X-Ray (AP dan photo lateral) sangat membantu bila alat
disebutkan diatas tidak tersedia.
59
59. 5. 5. Evaluasi hematologi: Banyak pasien dengan patologi tulang belakang. telah mengkonsumsi
beberapa NSAID untuk menghilangkan rasa sakit. Jadi koagulasi yang tepat harus segera
diberikan dan NSAID harus dihentikan setidaknya 10 hari sebelum oprasi dilakukan.
Pertimbangan Anestesi
A. evaluasi preoperative dan pengelolaan pasien untuk operasi tulang belakang harus
memperhitungkan kondisi medis serta Prosedur bedah termasuk durasi dan pendekatan
bedah.
faktor yang perlu dievaluasi adalah
1. 1. Airway Evaluation: Ini harus mencakup klasifikasi Mallampatti, berbagai
prediktor intubasi sulit dan jangkauan gerak dari leher dengan perhatian yang diberikan selama
manipulasi.
2. 2. Pulmonary Evaluation: Penderita beresiko disfungsi paru selama pembedahan tulang
belakang termasuk orang yang menjalani bedah korektif (misalnya Scoliosis), usia tua (pasien
dengan penyakit degeneratif tulang belakang), penderita dari fraktur akut tulang belakang leher
(C-tulang belakang) dan pasien yang membutuhkan anestesi khusus seperti teknik ventilasi paru-
paru.Tergantung pada situasi dan jenis prosedur, pasien dikenakan untuk menguji klinis dan
berbagai tes laboratorium mulai fungsi paru, rontgen dada, dll.
60
60. 3. 3. Cardiac Evaluation: fungsi Cardiac dapat dikompromikan oleh kondisi medis, gangguan
arthritis rheumatoid dan cedera leher rahim tinggi. Pasien dengan cedera tulang Cervikal dan
tulang belakang terkait trauma mungkin menunjukkan vasodilatasi mendalam dengan bradikardi
karena hilangnya nada simpatik Umumnya Kondisi ini diperlakukan secara efektif dengan cairan
intravena dan atropin.
4. 4. Neurologic Evaluation: Hal ini tidak biasa pada pasien yang menderita
tulang belakang patologi ,mungkin hadir dengan berbagai kelas defisit neurologis mulai dari
kelemahan dan atrofi kelompok otot khusus untuk paraplegia dan quadriplegia. Pemeriksaan
neurologis menyeluruh dan dokumentasi seksama sudah ada sebelumnya. disfungsi mungkin
mendikte teknik intubasi dan pilihan anestesi agen. the Magnetic resonance imaging (MRI) telah
menggantikan mielografi sebagai uji diagnostik primer karena membedakan disk dari kista.
injury Darurat CAT scan sangat berharga dalam menilai pasien dengan cedera leher akut dan
patah serviks yang dicurigai tetapi beberapa waktu bahkan leher X-Ray (AP dan lateral view)
adalah bantuan besar di mana investigasi canggih di atas tidak tersedia.
5. 5. Hematological Evaluation: Banyak pasien dengan patologi tulang belakang telah
mengambil beberapa NSAID untuk menghilangkan rasa sakit. Jadi profil koagulasi yang tepat
harus dipesan dan NSAID harus dihentikan setidaknya 10 hari lagi sebelum operasi elektif.
Anestesi untuk Bedah Spinal
A.Premedikasi: Tergantung pada stabilitas hemodinamik dan status neurologis pasien
B. Pemantauan
1. 1. Standard Monitoring: Seperti yang ditetapkan oleh American Society dari
61
61. Ahli anestesi (ECG, NIBP, Pulse oksimetri, Capnometry, Temperature).
2. 2. Special Monitoring: tekanan darah invasif, tekanan vena sentral, urin output dimonitor pada
pasien yang menjalani prosedur yang panjang yang memiliki potensi untuk perubahan volume
besar, risiko emboli udara vena dan pasien yang memiliki riwayat kesehatan yang rumit,
ketidakstabilan (shock tulang belakang) atau dalam prosedur dimana anestesi
teknik yang direncanakan seperti hipotensi disengaja, endoskopi operasi. Penempatan kateter
Swan Ganz mungkin diperlukan untuk pasien dengan penyakit jantung atau pernafasan berat.
3. 3. pemantauan spesifik: pemantauan neurologis yang diperlukan selama operasi yang dapat
mengganggu integritas tulang belakang Pasien menjalani prosedur seperti fusi tulang belakang
dan penghapusan tumor sumsum tulang belakang dan lesi vaskuler lebih beresiko metode dasar
yang digunakan untuk menilai fungsi spinal atau akar saraf berpotensi menimbulkan cedera
somatosensori (SSEP) kondisi pasien tertentu seperti degenerasi neuromuskuler dapat membuat
SSEP mungkin untuk memperoleh dan tulang belakang cedera anterior terisolasi mungkin tidak
terdeteksi dengan SSEP. pemantauan SSEP selama perbaikan scoliosis dianggap sebagai teknik
oleh masyarakat. penelitian skoliosis dan dirasakan menimbulkan risiko yang lebih rendah
padaintraoperatif cedera neurologis
Pemantauan SSEP prosedur tulang belakang lainnya bagi pasien merasa berada pada
risiko tinggi untuk cedera neurologis dirasakan oleh beberapa orang untuk mengurangi risiko
cedera neurologis namun tidak digunakan secara konsisten di semua pusat. Dalam satu
perubahan pusat SSEP terjadi pada 2 - 10% dari pasien dipantau selama operasi tulang belakang
yang mengarah ke intervensi dalam 50 -80% dari pasien dengan perubahan SSEP. Insiden
tertinggi terjadi perubahan selama tumor tulang belakang reseksi dan tingkat intervensi tertinggi
62
62. selama perbaikan scoliosis. pemantauan studi retrospektif SSEP ditemukan memiliki sensitivitas
57% dan spesifisitas 95% dengan tingkat negatif palsu 1,1% Seperti pengalaman meningkat
dengan membangkitkan potensi motor mereka terbukti efektif untuk operasi tulang belakang
berisiko tinggi kadang-kadang mendeteksi cedera motor terisolasi melalui pemantauan SSEP
normal.
EMGs yang semakin banyak digunakan untuk memantau cedera saraf bisa jadi EMGs
yang semakin banyak perlengkapan untuk memantau cedera dengan relaksasi otot lengkap
neuro. Artikel Baru Lengkap neuro , muscle relaksasi dipantau dengan stimulator saraf tepi dapat
digunakan untuk memberikan rangsangan .
C. Positioning:
Masalah Utama selama Tulang belakang adalah Pemeliharaan Aktivas lain. Permasalahan
dasar selama operasi adalah efek terhadap kardiovaskular yang berkaitan dengan posisi pesien
selama operasi. Periode ini mungkin merupakan tegangan untuk integritas peredaran darah,
sangat sulit untuk mencegah pemantauan hampir total "blackout" . Pasien dibius diputar dari
telentang ke posisi rawan adalah posisi yang paling sering digunakan dalam operasi tulang
belakang.
Masalah
Perhatian khusus harus difokuskan pada posisi. Leher, lengan dan mata untuk melindungi
daerah sensitif tekanan. Pasien yang memiliki pendekatan lateral tulang belakang dapat diletakan
dalam posisi dekubitus (Jika tidak terlentang) dan memerlukan tingkat kepekaan tinggi untuk
posisi. Terlepas dari seberapa baik pasien diposisikan pada awal prosedur . Penggunaan posisi
duduk dapat memfasilitasi visi bedah yang baik dengan eliminasi penyatuan darah dalam bidang
63
63. operasi. Posisi buruk terkait komplikasi termasuk embolisms Udara vena. Posisi merugikan
perubahan hemodinamik dan cedera posisi saraf terkait.
D. Induksi:
Setiap teknik standar yang dapat diterima, mempertimbangkan menggunakan kawat
tabung diperkuat untuk menghindari uji puntir tube dan oklusi sementara tuning pasien dari
terlentang ke posisi rawan. Hal ini juga memungkinkan pita maksimal untuk menghapusnya dari
lapangan bedah dan kompresi mencegah dari "retraktor Dingman" selama prosedur pembedahan
serviks. Karena perawatan harus diberikan untuk menstabilkan leher selama intubasi endotrakeal.
E. Manajemen Airway:
Pasien yang menjalani prosedur tulang belakang leher memerlukan pertimbangan khusus
untuk manajemen jalan nafas. Penyakit tulang belakang memiliki insiden tinggi intubasi sulit.
studi tentang pasien yang menjalani prosedur elektif tulang belakang leher ditemukan memiliki
grade 3 atau 4 visualisasi glotis (katup Nafas Pemandangan Saja atau tidak dapat melihat
epiglotis) pada laringoskopi langsung.
Dalam kehadiran tulang belakang yang tidak stabil berbagai teknik intubasi di tangan
berpengalaman secara konsisten telah terbukti aman dan tidak berhubungan dengan peningkatan
risiko cedera neurologis. Tapi sampai sekarang tidak ada teknik tunggal telah terbukti unggul.
Hasil studi gerak serviks dan karakteristik yang berbeda manuver intubasi menunjukkan
keuntungan potensial dengan bronkoskopi serat optik, penggunaan laringoskop Bullard,
penggunaan panduan intubasi, dan penggunaan Bullard penggunaan laringoskop inline.
64
64. alat intubasi.
Baik terjaga dan intubasi digunakan secara aman dan studi tidak dapat menunjukkan
keselamatan satu di atas perlengkapan Secara aman dan studi regular. Awake Intubasi
menawarkan beberapa keuntungan termasuk pemeliharaan otot normal yang telah diusulkan.
Kolom tulang belakang, dan kemampuan untuk melakukan pemeriksaan neurologis berikut
intubasi (dan positioning jika diindikasikan).
Namun intubasi terjaga selalu memerlukan seorang pasien kooperatif dan terjaga bisa
sangat stress dalam perencanaan pengelolaan jalan nafas pasien operasi tulang belakang.
Kesadaran akan risiko cedera tulang belakang dengan laringoskopi. Artikel Baru belakang,
mengakui kemungkinan peningkatan menemui kesulitan jalan napas, dan perhatian untuk
meminimalkan gerakan tulang belakang-C adalah lebih penting untuk kesuksesan daripada untuk
kesuksesan suatu teknik tertentu pada pasien dengan tulang belakang yang tidak stabil yang
diakui. Kerusakan neurologis dengan intubasi adalah sekitar 10%.
Pasien yang menjalani berbagai tingkatan anterior C-duri prosedur mungkin beresiko
pada leher pasca operasi dan edema saluran napas yang menyebabkan saluran napas kompromi.
Berbagai
prediktor untuk hal ini adalah waktu operasi yang lebih.
F.Pemeliharaan:
Teknik Opioid neuromuscular blocking agent dan dosis rendah neuromuskuler .
Dosis pemeliharaan anestesi diubah karena pada pasien dengan cedera tulang belakang dan
defisit neurologis dapat menyebabkan pengurangan kerja otot, peningkatan volume distribusi,
65
65. dan menurunkan serum albumin. Pasien yang berisiko tinggi untuk cedera neurologis harus
dikelola dengan baik, yaitu pemeliharaan darah sistemik dengan tekanan 10-20% dari nilai pra
operasi. Hal ini paling sering digunakan pada pasien dengan kelainan anatomi tulang belakang
pada daerah leher dan atau kelainan neurologis preoperative.
Pemantauan neurologis pasien selama operasi dapat mencegah cedera terkait posisi. Hal
ini paling sering digunakan pada pasien dengan ketidakstabilan tulang belakang atau kompromi
anatomis dari kanal tulang belakang seperti pada stenosis serviks berat dengan myelopathy.
Jenis, durasi, dan tingkat operasi menentukan kebutuhan dan penggantian cairan. Cairan
yang mengandung dekstrosa harus dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemia saat
terjadi iskemik saraf tulang belakang dan akhirnya memperburuk hasil bedah saraf.
G. Manajemen
Pengaturan transfusi selama operasi tulang belakang telah berubah selama dekade
terakhir. Prosedur bedah yang melibatkan kerja yang signifikan tulang pada berbagai tingkat
mungkin terkait dengan besarnya kekurangan darah intraoperatif sehingga membutuhkan lebih
banyak transfusi darah dan produk darah. Strategi yang dapat mengurangi atau menghilangkan
risiko transfusi alogenik, yaitu preoperative autologous donation (PAD), akut normovolemic
hemodilusi (ANH), penyelamatan sel perioperatif teknik (PCS), hipotensi, dan intervensi
farmakologis.
Masing-masing telah terbukti sama efektifnya untuk mengurangi kebutuhan transfusi
darah homolog secara rutin tanpa menggunakan produk-produk darah autologous. Tetapi ketika
strategi kombinasi digunakan ditemukan bahwa kombinasi strategi penurunan jumlah tidak
66
66. hanya sel darah merah alogenik ditransfusikan, tetapi juga produk-produk darah lainnya pada
pasien yang menjalani operasi rekonstruksi tulang belakang.
H. Ekstubasi
Waktu dari ekstubasi adalah suatu pertimbangan penting, yaitu didasarkan pada banyak
faktor seperti kompleksitas dan luasnya operasi, waktu operasi, kondisi pasien selama sakit,
kehilangan darah / transfusi, dan komplikasi yang terjadi selama atau segera setelah operasi.
Beberapa pasien mungkin memerlukan perawatan pasca operasi dalam pengaturan perawatan
intensif. Jika ada pertanyaan tentang kecukupan napas setelah penghapusan ETT, pendekatan
konservatif untuk ekstubasi harus digunakan.
Dalam beberapa kasus, merupakan tindakan yang baik untuk meninggalkan ETT di
tempat dan memberi semprotan lidokain 4%, 4ml ke trakea untuk mencegah atau meminimalkan
batuk atau bucking di ETT selama sekitar 15-30 menit. Harus juga mempertimbangkan untuk
memasukkan pertukaran kateter saluran udara (AEC) melalui selang ETT sebelum
melepaskannya. AEC ini akan memberikan saluran untuk segera reintegrasi dari ETT jika
obstruksi jalan napas dari awal atau tertunda, bengkak, perdarahan, atau pembentukan
hematoma.
I. Perawatan pascaoperasi
Perawatan pascaoperasi individual untuk setiap pasien, status preoperative, prosedur
bedah, komplikasi intraoperatif, dan toleransi sakit harus dipertimbangkan dalam perencanaan
pasca operasi. Sebagian besar operasi tulang belakang menyakitkan dan pemberian analgesia
pasca operasi adalah penting. Obat anestesi dan opioid lokal dapat diberikan ke dalam ruang
67
67. epidural sebelum selesai operasi. Dapat juga dikombinasikan dengan analgesik oral atau per
rectal.
Komplikasi Pasca Operasi
Pada tahap pasca operasi awal, komplikasi dari operasi tulang belakang yaitu defisit
volume cairan, cedera neurologis atau defisit, dural air mata dengan otak kebocoran cairan tulang
belakang, anemia, retensi urin, ileus, atelektasis / pneumonia, dan trombosis vena.
Komplikasi prosedur khusus yaitu edema serviks anterior termasuk disfagia, suara serak,
dan obstruksi saluran napas.
Komplikasi dari prosedur pembedahan tulang belakang termasuk kerusakan kulit, infeksi
tulang belakang (setelah prosedur decompressive pinggang lebar tidak
disertai dengan fusi), pseudoarthrosis, fibrosis epidural, sindrom transisi dan lebih jarang,
arachnoiditis.
Perioperative ischemic optic neuropathy (POION) atau neuropati optik iskemik adalah
penyebab paling umum kehilangan penglihatan pasca operasi. Lainnya kurang umum penyebab
kehilangan penglihatan pasca operasi termasuk arteri retina pusat atau oklusi vena dan infark
lobus oksipital. Sementara abrasi kornea mata adalah cedera yang paling umum setelah
pembedahan tulang belakang, jarang menyebabkan masalah penglihatan permanen. POION
jarang terjadi (kejadian 0,028%) tapi berpotensi merusak.
Anemia, hipotensi, durasi lama operasi dan hidrasi intraoperatif mungkin merupakan
faktor risiko untuk kondisi ini. Semua pasien yang menjalani operasi tulang belakang harus
68
68. diberitahu mengenai risiko ini, dan setiap usaha pencegahan harus dilakukan selama operasi
untuk mempertahankan hemoglobin dan tekanan arteri stabil.
69
69. DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP, Clinical Anesthesiology, 3rd
ed, Pasadena
: Lange Medical Books/McGraw Hili ; 2002 : 342-47.
2. Latief,Said A, dkk (2001) : Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Universita Indonesia, Jakarta.
3. Duke, J. Anesthesia Secrets 2nd
Ed. Hanley & Belfus Inc. Philadelphia : 2000.
4. www.brit-oxford.com
70