2. click here for freelancing tutoring sites
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gagal ginjal kronik
2.1.1. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan
ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis
penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang
dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 1. Batasan penyakit ginjal kronik
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi
ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
(Saputra, 2011)
2.1.2. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis didasarkan atas dua hal yaitu: berdasra
stage (derajat) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar
derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan menggunakan
rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/mnt/1.73 m2) (140 – umur) x berat badan *)
72 x creatinin plasma (mg/dl)
2
3. *) pada perempuan dikalikan 0.85
Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasar Laju filtrasi glomerulus
(LFG)
Stage Deskripsi LFG (ml/menit/1.73 m²)
I Kerusakan ginjal disertai LFG normal
atau meninggi
≥ 90
II Penurunan ringan LFG 60-89
III Penurunan moderat LFG 30-59
IV Penurunan berat LFG 15-29
V Gagal ginjal < 15 atau dialisis
(Pranawa dkk, 2007)
Tabel 3. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non
diabetes
Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
sistemik, obat neoplasma)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada
transplantasi
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
(Suwitra, 2007)
2.1.3. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal
dalam keluarga.
3
4. 2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factors seperti transforming
growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan
4
5. lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai
pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Pada LFG di
bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Suwitra, 2007).
2.1.5. Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom
azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ
seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa,
kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Thomas et al, 2008).
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi
sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan
kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai
hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk
amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan
mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
c. Kelainan mata
5
6. Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome
akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum
jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder.
Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan
paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea
frost
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering
dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk
segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi,
insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.
Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan
gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau
tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).
6
7. g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.
2.1.6. Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran
berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible
factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila
dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin
dan khusus.
1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan
yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia,
etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat
memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum
klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat
penurunan faal ginjal.
2) Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan
menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi
7
8. dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor
pemburuk faal ginjal.
3) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah
cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
4) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
5) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit,
endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor
pemburuk faal ginjal (LFG).
6) Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan
tujuannya, yaitu:
- Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto
polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi
retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto
Urography (MCU).
- Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan
pemeriksaan ultrasonografi (USG) (Suwitra, 2007).
2.1.7. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya
sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai
upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah
penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin
8
9. rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal),
pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok,
peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan.
2.1.8. Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai
dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan
Derajatnya
Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2
) Rencana tatalaksana
1 90 - terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular
2 60-89 - menghambat pemburukan fungsi ginjal
3 30-59 - evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 - persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 - terapi pengganti ginjal
(Suwitra, 2007)
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal
dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
1) Peranan diet rendah protein, tinggi kalori
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka
lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif
nitrogen.
Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Rata-rata
kebutuhan protein sehari pada penderita GGK adalah 20-40gram.
Fungsi dari diet rendah protein akan memperbaiki keluhan mual,
9
10. menurunkan BUN,menghambat progresivitas penurunan faal
ginjal.
Kebutuhan kalori minimal 35 kcal/kgBB/hari. Diet tinggi
kalori mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi yang akan
memperbaiki gejala.
2) Kebutuhan cairan dan garam
Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine. Yaitu
produksi urine 24 jam ditambah 500 ml. Asupan garam
tergantung evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40-120mEq
(920-2760mg). Diet normal mengandung rata-rata 150mEq.
Penimbangan berat badan, pemantauan produksi urin serta
pencatatan keseimbangan cairan akan membantu pengelolaan
keseimbangan cairan dan garam.
3) Kebutuhan elektrolit, mineral, dan asam basa
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
Gangguan keseimbangan elektrolit yang utama adalah
hiperkalemia dan asidosis. Pencegahan meliputi:
a. Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang jeruk,tomat)
serta sayuran berlebih
b. Menghindari pemakaian diuretika K-sparring
Pengobatan hiperkalemia:
- Glukonas calsium iv (10-20ml 10% Ca glukonate)
- Glukosa intravena (25-50ml glukosa 50%)
- Insulin-Dextrose iv dengan dosis actrapid tiap10 gram
glukosa
10
11. - Natrium bikarbonat intravena (25-100ml 8,4% NaHCO3)
- Meningkatkan eksresi kalium : furosemid, k-exchange
resin, dialisis
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger
dan drowsiness. Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya
diberika pada keadaan asidosis berat, sedangkan jika tidak
berat diberikan secara per oral (Pranawa dkk, 2007).
Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik menyebabkan keluhan mual, lemah, air
hunger dan drowsiness, sehingga harus dikoreksi karena
meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan
mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali.
Terapi alkali (sodium bicarbonat) atau NaHCO3 harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20
mEq/L atau pada keadaan asidosis berat, sedangkan jika tidak
berat diberikan secara per oral.
Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan
salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi
pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak.
2) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan
yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
11
12. 3) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
4) Pencegahan pengobatan osteodistrofi renal (ODR)
Termasuk dalam tindakan ini adalah:
a. Pengendalian hiperfosfatemia
1. Pembatasan asupan fosfat, yaitu 600-800mg/hari
2. Pemberian pengikat fosfat. Kalsium karbonat 500-3000 mg
bersama makan dengan keuntungan menambah asupan
kalsium dan juga koreksi hipokalsemia.
b. Suplemen vitamin D3 aktif
1,25 dihidroksi vitamin D3 (kalsitriol) hanya diberikan jika P
normal. Batas pemberian jika Ca x P< 65. Dosis yangd
iberikan adalah 0,25 mikrogram/hari.
c. Paratiroidektomi
Dilakukan jika proses ODR berlanjut
5) Hipertensi
Pembatasan cairan mutlak dilakukan. Target tekanan darah
<130/80mmHg. ACE-I dan ARB diharapkan akan menghambat
progresivitas PGK.
6) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita (Suwitra, 2007).
b. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
12
13. Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Diberikan suplemen alkali. Terapi
alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤
7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L (Suwitra, 2006).
2.1.9. Komplikasi
PGK mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya
sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Tabel 5. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik
Derajat Penjelasan LFG Komplikasi
1
2
3
4
Kerusakan ginjal
dengan LFG normal
Kerusakan ginjal
dengan penurunan
LFG ringan
Penurunan LFG
sedang
Penurunan LFG berat
≥ 90
60-89
30-59
15-29
-
Tekanan darah mulai ↑
Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistenemia
Malnutrisi
Asidosis Metabolik
Cenderung
hiperkalemia
13
14. 5
Gagal ginjal
< 15
DislipIdemia
Gagal jantung
Uremia
(Suwitra, 2007)
2.2. Cardiac liver pada Penyakit Ginjal Kronik
Congestive Heart Failure (CHF)/gagal jantung adalah
ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung (cardiac
output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Kabo,
2011).
Penyebab gagal jantung dapat dibagi menjadi dua:
a) Penyakit pada miokard sendiri:
b) Gangguan mekanik pada miokard:
- Kelebihan beban tekanan (pressure overload): hipertensi, stenosis
aorta, koartasio aorta
- Kelebihan beban volume (volume overload): insufisiensi/mitral,
penyakit jantung bawaan (left to right sign)
- Hambatan pengisian: contrictive pericariditis atau tamponade
(Gray et al, 2009)
Tabel 6. Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA)
Kelas NYHA Keterangan
I
Bila pasien dengan aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan
keletihan, palpitasi, sesak, nyeri, angina
II
Bila pasien dengan aktivitas fisik biasa menyebabkan
kelemahan, palpitasi, sesak, nyeri, angina
III
Bila pasien dengan aktivitas fisik yang lebih ringan dari
biasanya menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, nyeri,
angina
14
15. IV
Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas
apapun dan gejala gagal jantung dapat dialami bahkan saat
istirahat
(Davey, 2005)
Patofisiologi gagal jantung, diawali dengan etiologi di atas yang
kemudian akan terjadi penurunan kontraktilitas ventrikel yang akan diikuti
penuruna curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah
(TD) dan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang
mekanisme kompensasi neurohormonal menyebabkan hipertrofi ventrikel
kiri.
Vasokonstriksi dan retensi cairan untuk sementara waktu dapat
meningkatkan TD, sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan
kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak
segera diatasi, peninggian afterload akan meningkatkan regangan dinding
ventrikel melalui hukum Laplace, sedangkan peninggian preload dan
hipertrofi/ dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga
terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi.
Faktor presipitasi
Regangan dinding ventrikel
hukum laplace
15
17. Vasokonstriksi:
Retensi cairan
ANP & BMP
Gambar 1. Patofisiologi gagal jantung
(Kabo, 2011).
Keterangan:
ANP = atrial natriuretik peptide, BNP = brain natriuretik peptide, ADH =
antidiuretik hormon
Akibat bendungan diberbagai organ dan low output, pada penderita
gagal jantung hampir selalu ditemukan:
Tabel 7. Gejala major dan minor
Major Minor
- Paroksismal nokturnal dispnea
- Distensi vena leher
- Ronki paru
- Kardiomegali
- Edema paru akut
- Gallop S3
- Peninggian tekanan vena jugularis
- Refluks hepatojugular
- Edema ekstremitas
- Batuk malam hari
- Dispnea d’effort
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
normal
- Takikardia
17
18. Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2
minor (Panggabean, 2007)
Dengan demikian terapi jantung adalah dengan:
1) Vasodilator: untuk menurunkan after load
Dengan ACE-inhibitor, Angiotensin Receptor Blocker
(ARB), Calcium Channel Blocker (CCB). Biasanya pengobatan
ACE-inhibitor yang short acting seperti kaptopril dosis rendah 3
kali 6.25 mg atau 12.5 perhari, kemudian dosis dinaikkan perlahan.
Jika tampak perbaikan dan hemodinamik stabil, obat golongan
short acting ini dapat diganti dengan golongan long acting seperti
lisinopril atau ramipril.
2) Venodilator dan diuretik: untuk menurunkan pre load
a. Furosemid: dosis awal 40 mg IV secara perlahan, dapat
meringankan edema paru.
b. Nitrat: dengan dosis sangat kecil dapat menyebabkan
venodilatasi sehingga menurunkan preload
c. Morfin: pemberian morfin merupakan pilihan jika pemberian
furosemid dan nitrat belum berhasil. Berfungsi sebagai
venodilatasi, menurunkan tekanan kapiler pulmonalis dan
menghilangkan kecemassan.
3) Inotropik: untuk meningkatkan kontraktilitas miokard
Melalui pemberian digitalis, ibopamin, beta blockers.
Digoksin dapat diberikan 3 kali 1 tablet (0.25 mg) per hari selama
3 hari untuk orang dewasa, kemudian dilanjutkan dengan dosis
maintainance 0. 25 mg untuk umur di bawah 70 tahun dan 0. 125
18
19. mg untuk umur di atas 70 tahun. Pada pasien dengan gagal ginjal,
dapat ditentukan dengan rumus:
14 + creatinin clearance/5 dalam persen.
Jika IV dosisnya 8-12ug/kgBB tiap 6 jam (dosis maksimal 1.5
mg/hari) sampai tampak tanda-tanda perbaikan. Kemudian
dilanjutkan dosis pemeliharaan 0.5 mg/hari
Ibopamin (inopamil) adalah dopamin-like prodrug.
Dosisnya 3 x 100 mg per hari, yang dapat menaikkan cardiac index
sebesar 30%.
Cara pemberian beta blocker adalah “start low go slow”
dengan dosi awal sangat rendah yaitu 1/8 – 1/10 dosis target,
misalnya dosis target carvedilol adalah 25 mg/hari atau bisoprolol
5 mg/hari, maka dimulai dengan 1/8 tablet/hari. Go slow artinya
dosis dinaikkan pelan-pelan dengan supervisi ketat yaitu pada
kondisi pasien membaik, maka setiap 1-2 minggu dosis
ditingkatkan1/8 tablet sampai mencapai dosis target.
4) Aldosteron antagonis: untuk mencegah hipertrofi ventrikel kiri
5) Memperbaiki suplai kardiak: untuk suplai energi pada infark
miokard
Dengan Carnitine, Co-enzyme Q10, D-ribose, magnesium,
ARB. Fungsi Co-Q10 selain meningkatkan produksi ATP, bersifat
antioksidan, mengahambat aktivitas platelet. Dosis: 300-600
mg/hari (Kabo, 2011).
2.3. Hipertensi Pada Penyakit Ginjal Kronik
19
20. Hipertensi adalah keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi
140 mmHg sistolik dan/atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang
yang tidak sedang makan obat antihipertensi (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Tabel 8. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan Joint National Committee7
Klasifikasi TD sistolik
(mmHg)
TD diastolik (mmHg)
Normal
Pre-Hipertensi
Hipertensi Stage I
Hipertensi Stage II
<120
120-139
140-159
>160
dan
atau
atau
atau
<80
80-89
90-99
>100
Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) sistem yang berperan
penting dalam memelihara hemodinamik dan hemostasis kardiovaskular.
Sistem RAA dianggap sebagai suatu homeostatic feed back loop di mana
ginjal dapat mengeluarkan renin sebagai respon terhadap rangsangan
seperti tekanan darah rendah, stres simpatetik, berkurangnya volume darah
dan bila keadaan ini normal kembali maka RAA sistem tidak teraktivasi
(Tessi, 2007).
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal
akut maupun penyakit ginjal kronik baik pada kelainan glomerulus
maupun pada kelainan vaskular. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat
dikelompokkan dalam :
1. Pada penyakit glomerulus akut: GN pasca Strepkokus, Nefropati,
Membranosa
2. Pada penyakit vaskular: vaskulitis, skleroderma
3. Pada gagal ginjal kronik: Chronic Kidney Disease stage III-V
4. Penyakit glomerulus kronik: tekanan darah normal tinggi (Tessi, 2007).
20
21. Pada gagal ginjal kronik hipertensi terjadi karena hal-hal sebagai
berikut:
1. Retensi natrium
2. Peningkatan sistem RAA akibat iskemik relatif karena kerusakan
regional
3. Aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal
4. Hiperparatiroid sekunder
5. Pemberian eritropoitin (Tessi, 2007).
Tabel 9. Petunjuk Pemilihan Obat Antihipertensi pada Compelling Indications
Kondisi risiko tinggi
dengan compelling
indications
Obat-obat yang direkomendasikan*
Diuretik β-
Blocker
ACE-I ARB CCB Antagonis
Aldosteron
Gagal Jantung
Post Akut Miokard
Infark
Risiko Tinggi
Penyakit Koroner
Diabetes Melitus
Penyakit Ginjal
Kronik
Pencegahan stroke
berulang
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
-
•
•
• Compelling indications untuk obat antihipertensi didasarkan atas
penelitian-penelitian atau pedoman klinis
*Singkatan Obat: ACE-I, angiotensin converting enzyme inhibitor; ARB,
angiotensin receptor blocker; CCB, calcium channel blocker
(Yusuf, 2008).
Hipertensi sering ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal
kronik, sehingga penatalaksanaan agresif terhadap tekanan darah
21
22. sebaiknya diberikan dalam hal memperlambat penurunan fungsi ginjal dan
mencegah penyakit jantung yang merupakan tujuan terapi pada penyakit
ginjal kronik. Obat antihipertensi sering dibutuhkan 3 macam atau lebih
untuk mencapai target tekanan darah <130/80mmHg. ACE-I atau ARB
mempunyai efek yang baik pada progresivitas penyakit ginjal diabetik atau
nondiabetik. Pada penyakit ginjal lanjut (LFG<30ml/menit 1,73m2
,
kreatinin serum 2,5-3mg/dL), diperlukan peningkatan dosis diuretik loop
dalam kombinasi dengan obat antihipertensi kelas lain (Yogiantoro dkk,
2007).
Hiperurisemia Penyakit Ginjal Kronik
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
asam urat di atas normal. Secara biokimiawi akan terjadi hipersaturasi
yaitu kelarutan asam urat di serum yang melewati ambang
batasnya.Batasan hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam urat di atas
2 standar deviasi hasil laboratorium pada populasi normal. Namun secara
pragmatis dapat digunakan patokan kadar asam urat >7mg% pada laki-
laki, dan >6mg% pada perempuan, berdasarkan berbagai studi
epidemiologi selama ini (Hidayat, 2007).
Penyebab hiperuresemia :
1. Produksi asam urat berlebihan
2. Penurunan ekskresi asam urat
a. Gagal ginjal kronis
b. Dehidrasi
c. Hiperparatiroid
d. Keracunan berilium
22
23. e. Pemakaian obat seperti diuretik, aspirin dosis rendah,
pirazinamid, ethambutol
f. Ketoasidosis
Pengobatan hiperurisemia antara lain adalah:
1. Diet rendah purin
Tabel 10. Bahan-bahan rendah purin dan tinggi purin
Rendah Purin Tinggi Purin
Sereal, beras, roti, putih, sagu, tapioka Daging, jeroan, bebek, daging
awetan, ikan/hewan laut, sarden,
kepiting, kerang, udang
Susu, telur, margarin, mentega, buah,
kacang (dalam jumlah sedikit)
Ragi, bir, minuman alkohol
Kubis, sayur hijau Kedelai, bayam, asparagus, bunga
kol, jamur, emping
Minuman berkarbon
2. Penghambat xantin oksidase: allopurinol dimulai dengan dosis 100
mg per oral sampai mencapai dosis antara 200-300mg/hari, dosis
maksimum 800 mg(dosis disesuaikan dengan fungsi ginjal)
(Soeroso, 2007).
23
24. DAFTAR PUSTAKA
Davey, P. 2005. Gagal Jantung Dalam At A Glance Medicine. Jakarta: Erlanggga
Medical Series. Pp 150-51.
Gray, H.H., Dawkins, K.D., Morga, J.M., Iain, A.S. 2005. Gagal Jantung dalam
Lecture notes kardiologi edisi keempat. Jakarta: EMS Erlangga. Pp 80-97.
Hidayat R. 2009. Gout dan Hiperurisemia. Medicinus.22(2):47-50.
Kabo, P. 2011. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskuler secara
rasional. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pp 181-208.
Panggabean, M.M. 2007. Gagal jantung dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid
1II Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Pp 1501-02.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Hipertensi dalam
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Pp 168-70.
Pranawa, Yogiantoro, M., Irwanadi, C., Santoso, J., Mardiana, N., Thaha, M.,
Widodo, Soewanto. 2007 Penyakit Ginjal Kronik dalam Buku Ajar
Penyakit Dalam. Surabaya. Airlangga University Press. Pp 221-29.
24
25. Saputra, L. 2011. Gagal ginjal kronis dalam intisari ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Binarupa Aksara. Pp 259-62.
Soeroso J, Yuliasih. 2007 .Hiperurisemia dan Gout Artritis dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit
Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press.
Pp 242-5.
Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid
1 Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Pp 570-73.
Tessy, A. 2007. Hipertensi Pada Penyakit Ginjal dalam A.W.Sudoyo,
B.Setyohadi, I.Alwi, M.Simadibrata, S.Setiati, editor, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi 4. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI: Jakarta. Pp 604-6.
Thomas, R., Kanso, A., Sedor, J.R. 2008. Chronic Kidney Disease and Its
Complication. Primary Care Clinics in Office Practice. 35: 329-44.
Yusuf, I. 2008. Hipertensi Sekunder. Medicinus. 21(3): 71-9.
Yogiantoro, M., Pranawa., Irwanadi, C., et al. 2007 .Hipertensi dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah
Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University
Press. Pp 210-7.
25
26. CASE REPORT SEORANG WANITA 70 TAHUN MENDERITA
PENYAKIT GINJAL KRONIK DAN CARDIAC LIVER
26
27. Penguji:
dr. I Wayan Mertha, Sp. PD
Disusun oleh:
Deviani Ayu Laraswati
J5000 80 101
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
27