2. Deskripsi Singkat Mata Kuliah
Mata kuliah ini mengkaji tentang konsep bilangan real; himpunan; persamaan dan
pertidaksamaan linear, persamaan kuadrat, trigonometri, matriks, turunan dan integral
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
1. Mampu menerapkan konsep bilangan real dalam penyelesaian permasalahan sehari-hari.
2. Mampu menerapkan konsep himpunan dalam penyelesaian permasalahan sehari-hari.
3. Mampu menganalisis penyelesaian permasalahan sehari-hari dengan menggunakan konsep
persamaan linear.
4. Mampu menganalisis penyelesaian permasalahan sehari-hari dengan menggunakan konsep
pertidaksamaan linear.
5. Mampu menganalisis penyelesaian permasalahan sehari-hari dengan menggunakan konsep
persamaan kuadrat.
6. Mampu menganalisis penyelesaian permasalahan sehari-hari dengan menggunakan konsep
trigonometri.
7. Mampu mengoperasikan data menggunakan konsep matriks.
8. Mampu membuktikan hubungan turunan dan integral.
3. MATERI PERTEMUAN
Kontrak perkuliahan dan Miskonsepsi dalam Matematika 1
Konsep Himpunan, Logika dan Penalaran Dalam Matematika 2-3
Persamaan dan Pertidaksamaan, Fungsi, dan Grafik Fungsi
Linear
4-5
Persamaan, Fungsi, dan Grafik Fungsi kuadrat 6-7
UTS 8
Trigonometri (Sudut, aturan sin, aturan cos, dan jumlah
sudut)
9-11
Matriks 12-13
Turunan dan Integral 14-15
UAS
Rencana Perkuliahan
5. Pengertian Miskonsepsi
Satu masalah pokok yang sangat serius mengenai sulitnya belajar
matematika yaitu miskonsepsi siswa yang telah diperoleh dari pengalaman
siswa sebelumnya mungkin masih tidak cukup,atau siswa tidak
mengingatnya dengan baik.
Dikutip dari Oxford Learner‟s Pocket Dictionary edisi keempat:
“Misconception (about) belief or idea that is not based on correct
information.”
Miskonsepsi mencakup pemahaman atau pemikiran yang tidak
berlandaskan pada informasi yang tepat.
Miskonsepsi adalah kesalahan pemahaman terhadap suatu konsep.
Miskonsepsi matematika perlu diminimalisir karena sebagian besar konsep
matematika saling berkaitan.
Keabsahan suatu informasi merujuk pada sumber yang tepat serta disertai
bukti-bukti yang otentik. Mengubah kerangka kerja siswa merupakan kunci
tercapainya tujuan untuk memperbaiki miskonsepsi matematika
6. Bentuk Miskonsepsi di SD
1. Prakonsepsi
2. Undergeneralization
3. Overgeneralization
4. Modelling Error (Kesalahan Pemodelan)
5. Prototyping Error (Kesalahan Contoh Baku)
6. Process Object Error (Kesalahan mengolah objek)
9. Undergeneralization
Undergeneralization dinyatakan dalam pemahaman yang terbatas dan kemampuan terbatas untuk
menerapkan konsep-konsep. Pemahaman yang terbatas ini, menjelaskan berbagai keadaan
mengenai pengetahuan siswa pada saat seluruh ide-ide matematika berkembang.
Beberapa ujian/tes dapat menggambarkan bagaimana pemahaman yang terbatas tersebut
merusak konsepsi kunci-kunci gagasan matematika.
Sebagai contoh, seorang siswa dengan pemahaman terbatas mengenai bilangan rasional
mungkin tidak beranggapan 6:7 sama dengan 6/7 karena bentuk yang dikembangkan dalam
konteks belajar tentang rasio sedangkan pembelajaran yang terakhir ia pahami yaitu tentang
konteks pembagian (operasi hitung). Seorang siswa mungkin tidak memahami 3/4 sebagai
hubungan keseluruhan-keseluruhan atau sebagian-sebagian, karena siswa memahami rasio
hanya sebagai hubungan bagian-keseluruhan.
Contoh lain, Siswa tidak dapat melakukan operasi hitung pada bilangan yang tidak
diketahui/dirahasiakan, siswa tidak dapat mengenali bagian-bagian tertentu dalam bentuk
umum dan tidak dapat menerapkan bentuk umum untuk kasus tertentu. Sebagai contoh, siswa
tersebut tidak dapat memahami persamaan seperti "2x + 3 = 8 - x" karena "2x + 3" tidak
membentuk "8 - x."
10. Overgeneralization
Kesalahan interpretasi menyebabkan pemahaman yang keliru namun berbeda-beda cara,
seperti pada kasus overgeneralization dan penerapan konsep yang kurang dipahami dan
aturan yang mereka anggap tidak relevan.
Overgeneralization muncul ketika siswa mengerjakan operasi pengurangan bilangan yang
memiliki dua digit dengan cara mengurangi bilangan yang lebih kecil dari bilangan yang
lebih besar (contoh: 32 – 17 = 25).
Pemahaman siswa bahwa perkalian selalu memunculkan hasil yang lebih besar (atau
pembagian selalu memunculkan hasil yang lebih kecil)
Siswa mengabaikan lambang yang mengindikasi bahwa bilangan tersebut merupakan
bilangan desimal, pecahan, persen, atau bilangan negatif. Dengan demikian, 30% dianggap
sebagai 30, bilangan bulat -5 dibaca sebagai 5, atau menghilangkan simbol koma (,) seperti
contoh: 1,2 +3 = 1,5. Hal yang serupa terjadi pada operasi hitung 5 – 9 = 4 dan 1 ÷ 7 = 7 yang
merupakan jenis kesalahan pembatasan perspektif bilangan bulat.
11. Modelling Error (Kesalahan Pemodelan)
Ketika guru mennggunakan tehnik pemodelan sebagai cara untuk menghubungkan
matematika dengan kehidupan sehari-hari, hal ini mewakili penggunaan matematika
yang kontekstual.
Contoh pada kehidupan sehari-hari yaitu saat mendengarkan komentator olahraga
mengucapkan “0,32"detik ketika mengumumkan hasil finish dalam acara olahraga.
Bahasa informal yang digunakan mungkin memaknai “0,32“ sebagai 32 dalam
ratusan. Namun hal ini lebih parah lagi ketika siswa berhadapan dengan desimal yang
panjangnya berbeda, misal “0,5“ dan ”0,32”, siswa akan mengalami miskonsepsi
bahwa 0,5 pasti lebih kecil dari 0,32.
Contoh lain:
12. Prototyping Error (Kesalahan Contoh Baku
Ketika siswa mempelajari suatu hal, siswa cenderung tidak mempelajarinya tidak
secara matematis. Hal ini tampak dari perkembangan pengerjaan dari konsep
yang lebih bersifat baku. Dengan menggunakan contoh baku untuk sebuah
konsep yang kita anggap sebagai tipe contoh satu-satunya.
Dari sebuah eksperimen, siswa mengikuti segala hal yang dipaparkan atau
dikemukakan oleh guru. Mintalah siswa anda membayangkan sebuah segi
empat. Tanynakan seperti apa bentunya? Apakah segi empat itu diletakkan
mendatar dengan sisi panjang yang sejajar horizontal? Apakah tingginya
setengah dari sisi panjang atau justru tingginya tiga kali lebih panjang dari sisi
panjangnya?
Pada kelas tinggi, ditemukan bahwa hanya satu atau dua dari Gambar 3 yang
dianggap sebagai persegi. Berpikir secara baku ini tidak mencakup bujur sangkar
sebagai contoh dari persegi.
13. Prototyping Error (Kesalahan Contoh Baku)
Kesalahan lazim lainnya yaitu dalam membaca skala (lihat gambar 4), siswa
membacanya 2,2 bukan 2,4. Umumnya siswa akan menganggap satu skala sebagai 1,
sehingga sangat jarang siswa yang menganggap satu skala mewakili 2 atau 4 satuan.
Oleh karena itu siswa cenderung menyalahartikan. Pada kasus seperti ini, siswa
harus mencoba mengukur dengan skala berbeda, sehingga mereka mengetahui
kesalahan mereka dan menghitung ulang dengan cara mencoba dan mengubah
basisnya.
14. Prototyping Error (Kesalahan Contoh Baku)
Kesalahan contoh baku juga ditemukan dalam konsep bangun datar dan
bangun ruang pada permasalahan pencerminan atau transformasi, yang terjadi
ketika siswa menggunakan contoh baku pencerminan (atau titik pusat pada sumbu
putar). Pada contoh baku biasanya menggunakan cermin sejajar sumbu vertikal atau
horizontal, dan jika disajikan cermin dalam posisi diagonal maka bayangan dalam
cermin bukan merupakan hasil pencerminannya.
15. Process Object Error (Kesalahan mengolah objek)
Masalah siswa yang paling awal dijumpai ketika mengenal bilangan, yaitu saat
siswa menjawab pertanyaan misalnya „ada berapa banyak kancing?" yang diajukan
oleh guru, jawabannya yaitu bilangan terakhir yang diucapkan saat siswa
membilang banyaknya kancing yang disediakan oleh guru, seperti 1, 2, 3, 4,….8.
Ketika ditanya kembali „ada berapa banyak kancing?" siswa mungkin berpikir untuk
menjumlahkan kancing yang disediakan oleh guru. Dengan demikian, kata kunci
„ada berapa banyak….." merupakan petunjuk untuk menjumlahkan. Namun proses
menjumlahkan ini belum disadari sebagai bentuk objek yang terdiri dari 8 kancing.
Kebanyakan hasilnya diperoleh dengan cara membilang sejumlah kancing tersebut.
Belajar matematika melibatkan banyak pengolahan antar objek dan kesalahan
pada pembelajaran seringkali dianggap sebagai kesalahan siswa saat menyelesaikan
pengolahan objek „pemisalan". Siswa menganggap bahwa 548 menupakan jawaban
dari penjumlahan µ – 1452 = 2000. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa
terhadap soal tidak memadai, terutama pada simbol sama dengan (=). Siswa
pertama-tama memahami tanda sama dengan, sebagai instruksi untuk
menghasilkan bilangan melalui proses aritmatik, contoh: 3 + 5 = ? Proses yang
terjadi saat siswa melihat tanda sama dengan, yaitu memproses 3 ditambahkan
dengan 5 menghasilkan 8. Lambang sama dengan seharusnya dimaknai sebagai
„setara dengan" atau „adalah sama dengan". Sehingga 8 setara dengan 3 ditambah 5.
16. Pada konteks pengukuran panjang, siswa mungkin kesulitan mengidentifikasi
hubungan antara label bilangan dengan cara mengukur yang digunakan. Dengan
demikian, label 5 pada penggaris menunjukkan adanya 5 unit panjang (misal,
sentimeter) yang diukur mencapai label 5, jika diukur dari label nol pada penggaris.
Jelaskan pada siswa bahwa 5 unit tersebut adalah interval diantara angka-angka
pada penggaris yang sebenarnya terdapat enam angka yaitu: 0, 1, 2, 3, 4, 5.
Penjelasan tentang hubungan interval ini mungkin dapat menjelaskan banyaknya
kesalahan dalam operasi hitung meskipun masih menggunakan proses penjumlahan
pada garis bilangan. Siswa mungkin menjawab 18 – 14 = 15 dengan cara
menghitung mundur angka 18, 17, 16, 15, atau menghitung pada garis bilangan
tanpa melihat interval diantara bilangan tersebut.
Process Object Error (Kesalahan mengolah objek)
17. Aktivitas
Carilah contoh miskonsepsi pembelajaran matematika di
SD lainnya (minimal 3 miskonsepsi) beserta cara mengatasi
miskonsepsi tersebut dengan benar!