SlideShare a Scribd company logo
1 of 15
Download to read offline
- 0 -
S
- 1 -
The Mythologi of Art Han 2
Local Culture Tradition “Sunda”
Viku Sukesih
Terkisahkan 200 Sebelum Masehi, sebuah suku yang terpisah dari
suku ayah dan keturunannya Bangsa Han2 (Hanzi) Tiongkok). Pemimpin
suku yang terpisah tersebut seorang perempuan adalah anak ke-2 dari
tiga bersaudara. Han merupakan suku petualang (nomaden) yang hobinya
berperang dengan ciri rambut panjang, baik laki-laki maupun perempuan.
Yang membedakannya adalah jika laki-laki maka rambutnya dibiarkan
berurai dan jika perempuan rambutnya berkepang. Laki-laki bisanya
memakan daging hewan sedangkan perempuan memakan buah-buahan,
sayur dan umbi-umbian.
Perpisahan ini diakibatkan terajdinya pertempuran antar suku yang
menerpa kawasan sekitar 200 SM. Saat itu Han dan pasukannya hendak
meproklamirkan kekuasan Han Timur, salah satunya dengan memperluas
jelajah di tanah Sunda.
Sesampainya di sebuah gunung
di pertengahan sunda bersama
pasukannya, tersiar kabar bahwa
suku Bo sebagai suku pendatang
menyerang Han Barat dan sering
mengganggu menjarah dan
menghabiskan buah-buahan. Suku
Bo sejenis suku Kera Api yang
anggotanya perempuan dan
hidupnya selalu di atas pohon
dengan rumah pohon seperti mirip
kera, serta hobinya makan buah-
buahanan. Suku Bo berasal dari
keturunan Xia Ho masih keturunan
Bangsa Tiongkok yang datang dan
berkembang di Bagian Astro India.
Han geram karena buah terutama To’ di Han Barat adalah kesukaan
anak perempuan yang selalu ia puja. Sehingga suku Bo harus diberi
pelajaran karena menciderai perjanjian antara suku.
Akhirnya perluasan Han Timur terpaksa diTunda. Saat hendak
kembali ke Han Barat, Han menyuruh Putri Xocia xie atau Putri Soka sebut
saja namanya Sukesih, agar berdiam diri bersama beberapa emban dan
pornggawanya. Mengingat telah banyak dan kesekian kalinya Sukesih
turut bertempur pada berbagai kawasan barat maupun utara, sedangkan ia
masih berumur 6 tahun.
Saat pertempuran yang lalu Han selalu menggendong anaknya,
mengingat isteri atau ibunya Sukasih telah terbunuh suku lain saat
bertempur dengan suku lainnya. Maka sejak itu Han menjadi pendendam
dan ingin menaklukan seluruh bagian bangsa manapun dengan maksud
untuk balas dendam atas kematian isterinya.
- 2 -
Walaupun demikian Han tidak sebengis itu sampai membunuh para
perempuan suku lain, ia hanya bermaksud menaklukan sebagai unjuk
kekuatan, melakukan perjanjian dan pergi meninggalkan suku yang telah
ditaklukannya agar terjadi kebinekaan antar suku. Karena selain berperang
ia juga menyebarkan ajaran orangtuanya yaitu ajaran Kebaikan.
Kebingungan melanda Han di
satu belahan bumi bagian timur
tepatnya tenggara belum banyak
Han taklukan. Selain karena
kekhawatiran terhadap anaknya,
maka Han menempatkan Sukesih di
kawasan hutan yang ia anggap
aman bersama beberapa emban dan
ponggawa (hulu balang) bermukim di
sebuah Gunung dengan mata air
mengalir deras (Ci) yang di
bawahnya tanah subur (permai)
sebut saja Cipermai. Han berniat
hendak pergi sebentar menyerang
suku Bo dan ia berjanji kepada
Sukesih akan kembali lagi
menjemput setelah menaklukan
Bangsa Bo Ras astro India.
19 Purnama hitungan edaran bulan sudah berlalu, namun saat itu
terjadi banjir bandang hampir di berbagai belahan dunia. Saat Banjir
bandang Sukesih melihat (Ton) air bah meluap dari laut hampir tepat ke
arah pegunungan (Yuan), sebut saja Tonjong. Sehingga Sukesih pun
meninjau dan memang benar-benar beberapa perahu layar kapal pelaut
tanpa awak terlabuh dan tersangkut ke daratan.
Melihat kondisi itu Sukesih bersedih hati khawatir ayahnya tewas
akibat banjir tersebut, karena ia tahu bahwa ayahnya bukanlah Bangsa
lautan tetapi bangsa daratan, Han tidaklah pandai melaut dan tidak bisa
membuat kapal, bahkan sekalipun ingin menyeberang lautan ia harus
membajak kapal bersama pasukannya.
Saat Sukesih di gunung bersama
emban dan ponggawa, kerjaannya
hanyalah berburu mencek dan peucang
(rusa) untuk dimakannya. Namun ia tidak
suka makan babi karena lucu, malahan ia
memeliharanya. Daging yang ia makan
selalu sedap karena direndam dahulu pada
air panas yang keluar dari gunung
ditambah dengan beberapa rempah
sehingga enak. Buatan para emban Selain
daging ia juga sangat menyukai buah-
buahan.
- 3 -
Salah satu buah yang ia suka adalah buah berwarna hijau kecil
berbiji, karena rasanya manis dan masam. Semula ia menemukan buah
tersebut di sembarang tempat, semula ia mencari pohonnya tidak ketemu.
Dan ternyata buah yang ia pungut adalah buah yang dibawa Burung Jalak
Coklat yang biasa di puncak gunung dan ia namai Ran Guah (Rangkah)
karena pelatuknya selalu menghadap ke atas.
Sukesih mengejar burung tersebut maka diketahuilah asal buah dari
pohon mana, ternyata gunung ciperme, itu selain punya mata air panas, eh
ternyata juga punya buah yang airnya (Ce) masam dan manis sebut saja
buah Cereme.
Mengingat ayahnya Han yang tiada kembali pulang, sedangkan ia
telah beranjak dewasa, maka kesedihan pun bertambah hampir setiap hari
ia bersedih. Lalu ia pun bertapa di gunung ciperme dengan cara ber Cie-la
(sila) selama beberapa purnama untuk memperoleh secercah ketenangan
dan pertunjuk Tuhan mengenai keberadaan ayahandanya.
Tempat ia bersemedi yang ia pilih yaitu di depan sebuah lubang
gunung sarang tempat burung Rangkah, kepang rambut diuraikan ke
depan, dan menengadahkan wajah ke langit sambil memandangi bulan.
Saat semedi teringatlah
mengenai buah To untuk ia bakar
agar hati tenang dalam bersemedi
menemukan jawaba tuhan tentang
keberadaan ayahandanya dan tidak
lupan selalu mendoakannya.
Namun suatu waktu saat
bersila dan semedipun belum
selesai, terasa guncangan hebat,
terdengar mengegelegar dan
gunung mengepulkan asap, dan
tanah yang ia tempati saat bersila
pun terlempar bersama dirinya ke
perbukitan, dan tanah yang tempat
bersila ia namakan Gunung Sila.
Sukesih pun tunggang
langgang karena tanah
pegunungan terbelah, api
berhamburan, dan lahar panas pun
mengalir. Ia berlari kencang ke bawah bersama para binatang termasuk
harimau kuning, macan tutul, para burung, badak, landak, gajah, jerapah
termasuk babi hutan dengan menyusuri belahan tanah yang teraliri lahar
deras sebut saja sungai Cideres.
- 4 -
Saat kejadian gunung meletus
terajdilah kekeringan, lambat laun,
para binatang mati kelaparan
sehingga banyak binatang yang
hendak memangsanya. Untunglah
saat gunung berguncang lagi selagi
disungai ia menemukan ruas tulang
gagak besar yang mati, maka
ditikamkanlah ujungnya pada harimau
itu hingga mati. Sejak saat itu tulang
gagak dijadikan senjata (ha) saat
guncangan itu yang dinamai
Haruncang oleh Sukesih dalam
berkelana. Haruncang tidaklah terlalu
runcing, namun dapat dipakai senjata
belati ampuh untuk bela diri, terutama
jika diberi racun.
Haruncang juga sebagai alat memburu peucang, maupun ikan. Ia
juga menemukan beberapa sirip besar ikan Emas yang terbakar mati
akibat lahar panas sebut saja Kurinem, yang ia bawa sebagai alat
mengupas buah-buahan dan diselipkan di atas telinga kanan sebagai
penjepit rambut.
Namun ternyata sungai cideres pasca gunung meletus tak henti
datang lagi-datang lagi lahar panas, sehingga air tercemar dan tidak jernih
untuk diminum. Maka segeralah perkelanaaan berpindah tempat ke
selatan dan sampailah ia ke sebuah sungai yang airnya lebih segar
berbeda dari sungai sebelumnya.
Sukesih beristirahat merebahkan badan setelah hampir seminggu ia
turun gunung menghindari bencana letusan api. Rambut pun kotor dan
acak-acakan tak karuan tak terasa rambutnya semakin panjang sudah
hampir sepenggal mata kaki.
Ia pun menjuraikan
(Menguraikan) rambutnya di
sungai tersebut. Namun saat
mandi di sungai ia
dikagetkan teriakan seorang
manusia, ”Jurai-jurai”, maka
Sukesih segera merendam
tubuhnya dan menyelam
dengan maksud agar tidak
diketahui. Apa daya nafas
tidak kuat dan segera
menyembul ke permukaan.
Ternyata yang teriak itu seorang anak kecil mancing dan mengejar
ular. ”Oray-orayan Luar leor mapay sawah, los ka leuwi di leuwi aya nu
mandi”.Karena takut panjangnya rambut hingga ia memukul kentongan.
Perempuan yang menolong mirip sekali ibunya, sebut saja Nyi Siga.
- 5 -
Nyi Siga segera menolongnya dengan menjulurkan selendang untuk
ditarik agar tidak hanyut disungai. Setelah di tepian sungai diberikanlah
samping dan menyuruh sukesih mengganti baju karena telah lusuh dan
bau biuk (sejenis babi hutan liar) terbakar api bau hewan hutan yang
dikenal dengan daerah Cibiuk.
Perempuan itu memasukan baju lusuh bekas tersebut ke dalam
sebuah wadah Korendang yang terbuat dari pintalan ijuk dan bambu
sebagai suatu wadah yang dibawa untuk dikepitkan di ketiak. Sukesih
dibawa bersama Nyi Siga ke wewengkon sukunya dengan melintasi
sungai besar yang banyak dengan kera hitam (lutung) maka dinamailah
Cilutung. Saat sampai di wewengkon segera Sukesih disembuyikan di
rumahnya karena Nyi Sida sangat mengasihinya maka diberi wewangian
kini dikenal dengan daerah Buniasih.
Sukesih dahulu belum sempat dibuai ibunya karena telah meninggal
saat ia kecil. Keberadaan Nyi Siga membuatnya gembira yang kemudian
ia anggap ibu angkatnya. Nyi Siga sangat ramah, namun kulitnya telah
keriput memutih dan anak kecil yang meneriaki saat di sungai namanya
Athong, karena suka memukul kentongan.
Sepandai apapun bersembunyi, akhirnya penduduk suku ada yang
tahu. Saat itu ia terbiasa bersama Nyi Seda pergi mandi di suatu air
mengalir dari cadas urugan bebatuan, jika air mengalir Ci, air masam Ce,
maka jika air turun Cu sebut saja Cicurug yang airnya turun dari urugan
cadas. Di saat wanci janari (malam menjelang pagi) namun masih gelap,
ia terbiasa mandi bersama ibu angkatnya, agar tiada orang melihat. Saat
mandi sukesih selalu berdendang dan bernyanyi mengiringi jatuhnya air
yang bersuara dindang-dindang.
Namun sekalipun gelap tetaplah ada orang yang selalu melihatnya
setiap pagi, yaitu seorang laki-laki sebut saja Kakek Kawung yang sedang
sakit kulit seperti kudis,corak putih-putih karena terkena lahar dan
melakukan semedi di cadas tersembunyi di sekitar air pemandian
Sukesih. Saat pertapaan seorang kakek sakit itu sebelumnya meminta
obat pada Tuhan agar lekas sembuh, ia pun memperoleh wangsit dalam
semedi akan datangnya seorang perempuan cantik berambut panjang
yang berdendang (menyanyi).
Maka teringatlah wangsit itu, bahwa yang mandi barusan itu adalah
seorang perempuan cantik dan selalu berdendang di saat mandi. Maka
setelah sukesih pergi segeralah ia mandi di curugan bekas Sukesih mandi
dan mengeringkan tubuhnya hingga matahari terbit sambil berdiam diatas
bebatuan. Entah ada mujizat apa benarlah kakek Kawung tersebut
sembuh dan tersiarlah kabar penduduk mengenai curugan air tersebut
manjur hingga disebut pancuran untuk mengobati kulit, hingga diberi
nama Pancurendang.
- 6 -
Dipanggilah Sukesih oleh kepala suku untuk berterima kasih, karena
ternyata kakek Kawung itu adalah seorang kepala suku. Sukesih pun
diantar ponggawa dan diarak keliling kampung bersama ibu angkatnya
segera menemui kepala suku di sebuah gunung batu kecil dengan
karang-karang terjal sebut saja gunung karang.
Oleh Ki Kawung sebagi ucapan terima kasih dibangunkanlah kuil
mandala sebagai tempat tinggal yang ukuran tingginya sepanjang rambut
sukesih diuraikan hingga ke bawah. Para emban pun memberikan untaian
janur kuning terikat untuk dipakai bernama Anggo sebagai suatu pakaian
adat kehormatan saat upacara, juga ia diberi kalung giok air, dan anting
dari kembang cantil dan gelang dengan tiga permata kubikus berwarna
putih.
Pesta pun diadakan dari pagi hingga larut malam dengan berbagai
suguhan berbagai ikan dan udang yang dikeringkan ditali dan dibakar
beruntaian sebut saja Hidangan pindang dengan rusa, peucang, telor,
daging ayam hutan maupun buah-buahan. Makanpun begitu lezat, karena
suku tersebut telah memiliki kemampuan mengolah bumbu-bumbuan dari
tumbuhan
Selain itu telah mengenal astronomi bintang untuk bercocok tanam
terutama bintang Sin (Xien), membuat api dengan batu kaul dan kapuk,
membut kapak perimbas dari pirit, membuat belati dan pisau dari tembaga
batuan sungai, mengenal umbi-umbian, pandai menenun warisan Nabi
Idris dari kapuk, goni, sutera dengan perawnaan tumbuhan dan lainnya,
mengenal tali temali untuk mengikat dengan ijuk maupun sabut kelapa,
dan pandai berhias muka dengan memakai warna-warna alam seperti dari
batuan berwarna yang ada di sungai untuk keperluan upacara, dan pandai
merawat diri dengan pengobatan tumbuh-tumbuhan, serta mengenal
undagi struktur tata kelola bangunan, sebut saja suku tersebut dengan
Suku Sindang sebagai tempat berpindah dan menetap sekaligus
menetapnya Sukesih di daerah tersebut.
- 7 -
” Sekilas tentang suku Sindang, saat Sukesih datang bersama suku Han
mampir di tanah sunda sekitar 200 SM, suku Sindang mungkin telah ada
ratusan tahun sebelumnya yang silam. Bila dilihat dari peradabannya mungkin
sekitar 400 SM di era Meghalitikum yang perkembangan ilmunya telah
mengenal cocok tanam padi, pengecoran dan pembakaran logam (tembaga)
dan mengenal rasi bintang maupun ilmu berperang.
Sindang merupakan bangsa yang mengela patokan arah Rasi Bintang Sin
(arab) Xien dengan adanya anggapan kehidupan dari bintang; meliputi penunjuk
peruntungan dalam memulai sesuatu Rasi Ursa Mayor 7 bintang (arah utara),
untuk bercocok tanam musim rasi Biduk 4 bintang (selatan), penunjuk berburu
binatang Rasi Orion 3 bintang (barat), arah manjala ikan rasi
kalajengking/antares (tenggara, timur). Dan yang sering dijadikan patokan yaitu
bintang kejora (zahra) untuk mengenal cuaca dan iklim.”
Malam pun tiba saat pesta, kepala suku ingin mengenal lebih dalam
agar semua pada tahu kedatangannya dan menyuruh Sukesih untuk
menceritakan segala kehidupannya secara jelas. Sukesih pun bercerita di
depan khalayak ramai hadirin kenduri mengenai perjalanannya tanpa ada
yang ditutup-tupi satupun. Semua pendengar terharu mendengar kisahnya
yang menyedihkan. Akhirnya berita itu pun tersiar pada berbagai suku bah
ibaratnya arti bintang kejora maka daerah itupun dinamai Karang Bentang.
Sebagai penghargaannya atas kesembuhannya Ki Kawung memberi
gelar Endang Sukesih dan juga memberi sebidang tanah pertanian untuk
dimakmurkan (mukti) sebagai bagian dari daerah suku Sindang. Sukesih
menerimanya, namun karena kemuliaan hati diberikannya lagi kepada Nyi
Siga agar sukesih dapat belajar bercocok tanam padi dan palawija.
Tanah pertanian yang diberikan kepada Nyi Siga begitu subur yang
luasnya wilayah hingga wewengkon Cibeureum (Sumedang), dan ia namai
daerah Sigamukti yang lambat laun karena sulitnya lidah lentong (logat)
asal berubahlah menjadi Sidamukti.
Nyi Siga mungkin kita kenal istilah Nyi Siga-Nyisig ialah yang tercatat
pertama kali dalam telisik yang menginang giginya dengan sirih hingga
ludahnya merah (beureum) yang air ludahnya sampai melalui aliran sungai
hingga ke daerah Cibeureum. Selain itu di area Sidamukti ada bukit yang
banyak sekali intan pirit hingga disebut Gunung Panten.
- 8 -
Sukesih pun belajar bercocok tanam padi huma mulai dari benih.
Sampai saat tiba padi pun dipanen, sukesih pun turut serta memanen dan
digeugeus kemudian dijemur di laglek sampai kering dan setelah
mengering dimasukan ke lumbung (leuit). Hingga akhirnya barulah tahu
bahwa selama ini nasi yang ia makan selama bersama Nyi Sida di suku
tersebut ditanam seperti itu.
Karena belum terbiasa memanen akibatnya Sukesih kulitnya gatal-
gatal. Setelah beberapa hari tidak sembuh Sukesih teringat wangsitnya
saat bertapa dahulu, bahwa ia hendak mencari buah To wewangian untuk
bertapa, ia pun meminta izin kepada ibu angkatnya untuk mencari buah
yang ia cari di daerah sekitarnya sebagai obat gatalnya.
Buah itupun tak satupun dijumpai, namun terlihat suatu buah ternyata
mirip buah To sebut saja buah Ho lalu ia coba menggigitnya namun
kerasnya seperti Baja ia namai buah Maja dan tempat ia menemukan
munculnya buah maja disebut Munjul.
Sukesih segera menemui ibunya sambil membawa buah Maja dan
ibunya tertawa terbahak-bahak karena buah itu daunnya biasa digunakan
sebagai teh atau ditumbuk ataupun buahnya dimakan sebagai obat-
obatan. Ni Sida karena amat mengasihi Sukesih, maka ia mencoba
membuat obat dengan mengeringkan buah maja itu sampai keras seperti
kayu, hingga berwarna ungu, lalu dibakar dan tempat pengeringannya itu
dinamai daerah Bungur.
Sukesih diberi batu kaul (api) dan kapuk untuk membakarnya, dan
arangnya yang terbakar atau sempur dikenal dengan kampung Simpur,
arang dioleskan sebagai bedak secara lembut pada kulit dan ternyata
setelah berulang kali terlihat kulit luarnya mulai berangsur sembuh.
- 9 -
Karena khawatir kambuh lagi
maka ia berniat merawat
tubuhnya, namun ia tidak tahu
bagaimana caranya. Maka Ki
Kawung menyuruhnya merawat
tubuhnya agar tidak gatal lagi.
Caranya dengan membakar
buah Maja yang telah kering di
sebuah tempat dan asapnya
harus mengenai seluruh
badannya atau dikenal dengan
ngaleuhang.
Maka ditunjuklah satu tempat
yang biasa sebagai tempat
merebus air nira yang disadap
(curuluk) dari pohon Nira dan
merebus buah nya agar ia masuk
ke dalam rongga pohon dan akar
atau lorong pohon besar.
Untuk ngaleuhang (sauna) Endang Sukesih dengan buah Maja maka
Kakek Kawung mencari pohon Maja besar dan diperolehnya disebelah
utara Karang Bentang. Pohon itu telah besar telah berongga, penuh
janggut dan akar. Kakek Kawung menyuruh Sukesih untuk membakar
buah maja itu dan masuk ke dalam rongga akar pohon maja agar
tubuhnya dileuhanng dikepuli asap bakaran buah Maja, rantai dan
daunnya.
- 10 -
Karena khawatir pohon Maja itu tumbang dan mengancam jiwa,
maka ditebanglah setengah (Sabeulah) bagian ke atasnya oleh Kakek
Kawung, dan dibawa oleh salah satu ponggawa yang membutuhkan obat
karena penduduknya sulit tidur yang kini dikenal kampung Sabeulah desa
Simpeureum.
Sukesih amat menyukai tempat sauna
itu dengan pelataran yang indah, ia
ditemani tujuh emban yang membantunya,
di tempat itu juga ia tinggal dan diberi
lesung dan halu agar ia dapat menumbuk
geugeus padi yang dikirim ibunya. Ia juga
diberi peralatan kendi air untuk minumnya
dan sesekali ditengok kakek Kawung untuk
keselamatannya.
Saat membakar Maja untuk
wewangian menggunakan kaul dan kapuk
awal mulanya terbakar namun api padam,
ia pun kebingungan dan terlihatlah sebuah
burung mirip burung merak yang menarik
hati.
Ia pun mengejarnya dan
ditemukanlah sarang burung
tersebut di sebelah barat. Di sarang
tersebut banyak sekali bulu-bulu
dan dikumpulkannya, dianyam dan
menjadi Kipas Buluh untuk
menyalakan kembali api tersebut.
Sukesih amatlah menyukai
tempat itu dengan pelatarannya
yang indah atas kemuliaan Tuhan
ia sebut Kampung Kamulyan yang
sekarang bernama Sukamulya.
Beberapa hari kemudian
akhirnya sembuhlah Sukesih
sebagai sebuah babak baru
kesembuhan, dan banyak orang
sakit sama ingin berobat dengan
cara dileuhang (model sauna aroma
theurapi), hingga yang semula
tempat itu sepi lambat laun menjadi
ramai.
Sehingga dibabaklah suatu periode dalam lingga Jenggala batu
sebagai suatu ukuran jumlah anggota suku setiap windunya yang dikenal
dengan wewengkon Babakan.
- 11 -
Babak baru yang ceritanya berawal saat Sukesih di suatu pagi buta
hendak mandi di Curug, namun tak disangka tampak bayangan hitam
seperti harimau berlari yang seolah-olah ingin mengejar peucang (rusa).
Maka segeralah ia kejar peucang itu daripada nanti dimakan
harimau. Maka segera diabarkanlah ajinya Hau-Hau Karuncang, kamana
lumpatna si peucang (kemana larinya rusa) yang dikenal dengan aji
pangabaran, dengan senjata tulang gagak (Haruncang/karuncang) yang
biasa untuk berburu peucang.
Maka tertikamlah rusa itu dan bayangan harimau hitam itu pun
menghilang begitu saja setelah rusa tertikam. Tak disangka karena gelap
gulita, ternyata yang ia tikam adalah seorang pemuda yang akhirnya
pemuda itu pun terluka dan tersungkur ke kubangan yang dikenal dengan
daerah Kubang. Sukesih mohon maaf sekali dan berurai air mata tanda
menyesal karena salah sasaran, bagaimana ia mengobatinya.
Maka saat itu munculah sosok orang tua yang ternyata masih
saudaranya pemuda itu yang disebut Ki Koda. Ki Koda bersama Sukesih
segera membawa pemuda itu ke tempat teduh di bawah sebuah pohon
janggut yang berair (Caringin) sekitar Curug. Beruntunglah pemuda itu
tidak tewas rahayu dan panjang umur, yang kini dikenal dengan kampung
Rahayu. Sedangkan tempat Ki Koda lambat laun berkembang penduduk
menjadi wewengkon Babakan Koda.
Pemuda tampan itu dirawat Sukesih dengan sabar, namun pemuda
itu belum sembuh benar, sebagai rasa tanggung jawabnya sukesih selalu
mengantarnya ke sungai untuk mandi. Saat mengantar dan menunggu
pemuda mandi, sukesih tertidur dan bermimpi melihat wajahnya dengan
wajah pemuda itu di aliran sungai tersebut amatlah mirip seperti buah
pinang dibelah dua hingga akhirnya menaruh hati.
Karena memang keduanya secara lahiriah memiliki kulit kuning
langsat berbeda dengan penduduk suku asli tersebut yaitu coklat
kehitaman. Saat terbangun alangkah kagetnya karena ia sedang dipangku
pemuda tersebut karena ternyata ia jatuh dari batu ampar saat tidur dan
masuk ke sungai. Sukesih terkagum-kagum melihat perangai wajahnya
yang begitu dekat dan akan kemuliaan hati dan perilaku pemuda itu yang
sopan, hingga sukesih tertarik hati untuk dipinangnya. Maka segeralah
Kakek Kawung mengawinkannya.
Tak lama sukesih pun mengandung, namun belum genap bulan
lahirnya anak, terjadilah pertempuran antar suku yang mewajibkan para
lelaki betrempur, hingga pemuda tersebut turut pergi berperang memimpin
pasukan.
Saat suaminya jauh Sukesih mengidam ingin buah cereme yang
dahulu ia makan, namun belum sempat kesampaian karena suaminya jauh
sedang berperang. Akhirnya segera lahirlah seorang bayi perempuan
kembar yang mirip. Hingga setahun sudah suaminya belum kembali,
karena kerepotan mengurus salah satu putrinya sakit, dan yang sehat
- 12 -
Romlah dititipkan kepada Ni Sida. Salah satu bayi nya (laksmi) yang sakit
tidak kunjung sembuh. Hingga akhirnya ia pun ingat tidak terlaksananya
memakan buah cereme saat ngidam, maka iapun berkelana membawa
bayinya melewati daerah yang dahulu pernah dari arah pegunungan saat
bencana letusan api.
Saat melintasi sungai bayinya kedingininan karena hujan, maka ia
melihat sebuah tiram besar (kerang) yang menganga yang ia sebut
Kamone. Bayi diletakannya di dalam kerang tersebut dan bayipun menjadi
hangat dengan alas kararas daun pisang kering, pelepah pisang
(balagedor/Balagedog).
Untunglah saat itu kakek Kawung
berjumpa datang menyusulnya karena
diberi tahu Ni Sida, dan Sukesih disuruhnya
pulang biarlah dia yang mencarinya ke
gunung.
Tidak tanggung-tanggung kakek
Kawung membawa sekarung banyak buah
cereme sekaligus membawa pohonnya
untuk ditanam sebagai obat dan sebagai
buah kesukaan Sukesih.
Hingga akhirnya banyaklah pohon cereme. Kedua putri kembar Sukesih
pun tumbuh besar menikah dan beranak pinanak dan meneruskan
generasi keturunan hingga sekarang
”Ti Hilir Patirang Ginggi, Ti girang patirang gangga
Ti tengah comerak herang, pangguyugan gajah ngaguling
Gajah ngaguling malawading, bustua bus anom
Isuk orok sore budak, bray sarangenge kembar” (Sumber Kuncen Kabuyutan, Alm)
Sekian &Tunggu Edisi Selanjutnya
Cerita ini hanyalah Do-Ngeng ngaboboDo nu ceNgeng dari
legenda yang ditelusuri dan ditelisik serta diceritakan orang tua
dahulu kepada pengarang. Maka karya ini hanya sebagai
sebuah contoh literasi pengembangan kultur tradisi asal usul
wewengkon yang dikembangkan secara fiktif (tidak nyata)
dalam Struktrur Arupadatu dan Niskala Undagi Visu Devi
Meghalitikum dalam rangka menelusuri jejak Bale Mandala,
Pamujan Tehon Jiwa & Jenggala Batu di Kampung Kamulyan.
Cag ah, Hom pim pah walayahum ….Gambreng.
- 13 -
STATUE : SUKESIH & AMULET
v
Kurinem : Jepit Rambut dari
sisik ikan Besar berwarna putih
biru kuning kelap-kelip
Samoja opat : Bunga Kemboja
beruas 4 kelopak
Cantil : Anting-anting dari buah
cantil emas tiga butir
Panten : Gelang tali dengan
permata 3 buah
Giok: Kalung tali dengan batu
Giok Air
Haruncang: senjati Belati yang
terbuat dari tulang dengan
paruh akar bambu lingkar
Anting-anting dari buah cantil
Lainnya :
Kepang Dua, Sendal Tarumpah,
Samping, dll.
Korendang : Wadah dari
pintalan simpul tali ijuk
segi empat dengan sisi
penyambung bilah
bamboo yang dibawah dan
dikepit di ketiak
perempuan
Buluh : Kipas yang terbuat
dari bulu-bulu burung
yang disusun sebagai
kipas
Komone : Wadah
dari Tiram besar
untuk
menghangatkan bayi,
dengan alasa pelepah
daun pisang kering
- 14 -
Laglek : Sebagai tempat menjemur
padi yang diikat (geugeus) karena
kemuliaannya sehingga tidak dijemur
diatas tanah. Terbuat dari bidang segi
empat kayu/ranting/bambu yang
diikat dengan ijuk. Ditempatkan di
atas batang pohon kering secara
terpusat ditengah. Untuk keseimba-
ngan digunakan Ampal/ Hampal.
Geugeus : rangkaian padi yang diikat
untuk dikeringkan
Leuit : tempat menyimpan padi yang
telah dijemur dan mengering
Ampal : suatu gantungan tali di tiap
sudut Laglek melalui bambu yang
ujungnya digantungi batu diikat oleh
ijuk
Anggo : riasan pakaian
kehormatan saat upacara
adat, terbuat dari janur
kuning yang disusun
dengan diuntai
menggunakan tali dan
dipakaikan
Sungkup : Sebuah topi
yang digunakan saat
upacara adat terbuat dari
Jamur besar yang telah
Kasieup : penutup wajah
seperti topeng dengan
diberi lubang mata, terbuat
dari miang bambu (slokop
awi). Biasa digunakan
untuk mengambil madu
Jepret : bambu satu ruas
yang dibelah tipis-tipis
dengan ruas di atas
sebagai pegangan. Alat ini
digunakan untuk mengusir
madu ataupun binatang
lain mirip sapu lidi
Tulalit : alat musik tiup
dari bamboo tiga ruas
yang bersatu dengan
dilubangi yang bunyinya
berasal dari getaran
solokop yang ditiup
Hindang/Pindang;
hidangan ikan kering/
basah dan diuntai
memanjang dengan tali
untuk dibakar
Endog& Ping Bo/Mo:
Zaman itu perdagangan
harga telur = paha
kerbau/sapi, mahal
karena digunakan
sebagai lem perekat
Jenggala : Batuan bertumpuk yang
sengaja ditumpuk untuk menandai
jumlah ukuran penduduk maupun
wilayah berdasarkan proses windu. Batu
ditumpuk oleh kepala suku setiap
upacara tahunan yang biasa diramaikan
dengan acara kenduri pesta adat

More Related Content

More from Mohammad Shafari

More from Mohammad Shafari (20)

LPK-ylbk 2020.pdf
LPK-ylbk 2020.pdfLPK-ylbk 2020.pdf
LPK-ylbk 2020.pdf
 
LPK-ylbk 2019.pdf
LPK-ylbk 2019.pdfLPK-ylbk 2019.pdf
LPK-ylbk 2019.pdf
 
LPK-ylbk 2018.pdf
LPK-ylbk 2018.pdfLPK-ylbk 2018.pdf
LPK-ylbk 2018.pdf
 
SALAGEDANG SKM 2023.pdf
SALAGEDANG SKM 2023.pdfSALAGEDANG SKM 2023.pdf
SALAGEDANG SKM 2023.pdf
 
SUKAHAJI SKM 2023.pdf
SUKAHAJI SKM 2023.pdfSUKAHAJI SKM 2023.pdf
SUKAHAJI SKM 2023.pdf
 
BALIDA SKM PKM 2023.pdf
BALIDA SKM PKM 2023.pdfBALIDA SKM PKM 2023.pdf
BALIDA SKM PKM 2023.pdf
 
SKM UPTD PKM KASOKADEL 2023.pdf
SKM UPTD PKM KASOKADEL 2023.pdfSKM UPTD PKM KASOKADEL 2023.pdf
SKM UPTD PKM KASOKADEL 2023.pdf
 
SKM UPTD PUSKESMAS DTP JATIWANGI 2023.pdf
SKM UPTD PUSKESMAS DTP JATIWANGI 2023.pdfSKM UPTD PUSKESMAS DTP JATIWANGI 2023.pdf
SKM UPTD PUSKESMAS DTP JATIWANGI 2023.pdf
 
SKM UPTD PKM PANYINGKIRAN 2023.pdf
SKM UPTD PKM PANYINGKIRAN 2023.pdfSKM UPTD PKM PANYINGKIRAN 2023.pdf
SKM UPTD PKM PANYINGKIRAN 2023.pdf
 
SKM UPTD PKM LOJI 2023.pdf
SKM UPTD PKM LOJI 2023.pdfSKM UPTD PKM LOJI 2023.pdf
SKM UPTD PKM LOJI 2023.pdf
 
SKM UPTD MUNJUL 2023.pdf
SKM UPTD MUNJUL 2023.pdfSKM UPTD MUNJUL 2023.pdf
SKM UPTD MUNJUL 2023.pdf
 
SKM UPTD PKM PANONGAN 2023.pdf
SKM UPTD PKM PANONGAN 2023.pdfSKM UPTD PKM PANONGAN 2023.pdf
SKM UPTD PKM PANONGAN 2023.pdf
 
SKM KADIPATEN.pdf
SKM KADIPATEN.pdfSKM KADIPATEN.pdf
SKM KADIPATEN.pdf
 
SKM UPTD PKM SINDANG 2023.pdf
SKM UPTD PKM SINDANG 2023.pdfSKM UPTD PKM SINDANG 2023.pdf
SKM UPTD PKM SINDANG 2023.pdf
 
SKM UPTD PKM RAJAGALUH 2023.pdf
SKM UPTD PKM RAJAGALUH 2023.pdfSKM UPTD PKM RAJAGALUH 2023.pdf
SKM UPTD PKM RAJAGALUH 2023.pdf
 
SKM PERUMDA AIR MINUM TBJ 2023.pdf
SKM PERUMDA AIR MINUM TBJ 2023.pdfSKM PERUMDA AIR MINUM TBJ 2023.pdf
SKM PERUMDA AIR MINUM TBJ 2023.pdf
 
IKM STAF RS CDR 2023 SMT 1.pdf
IKM STAF RS CDR 2023 SMT 1.pdfIKM STAF RS CDR 2023 SMT 1.pdf
IKM STAF RS CDR 2023 SMT 1.pdf
 
IKM RS CDR 23 SMT 1 FULL.pdf
IKM RS CDR 23 SMT 1 FULL.pdfIKM RS CDR 23 SMT 1 FULL.pdf
IKM RS CDR 23 SMT 1 FULL.pdf
 
SKM UPT PUSKESMAS RAJAGALUH TH 2023.pdf
SKM UPT PUSKESMAS RAJAGALUH TH 2023.pdfSKM UPT PUSKESMAS RAJAGALUH TH 2023.pdf
SKM UPT PUSKESMAS RAJAGALUH TH 2023.pdf
 
IKM RSUD MJL 2023.pdf
IKM RSUD MJL 2023.pdfIKM RSUD MJL 2023.pdf
IKM RSUD MJL 2023.pdf
 

The mythologi of art culture han 2

  • 2. - 1 - The Mythologi of Art Han 2 Local Culture Tradition “Sunda” Viku Sukesih Terkisahkan 200 Sebelum Masehi, sebuah suku yang terpisah dari suku ayah dan keturunannya Bangsa Han2 (Hanzi) Tiongkok). Pemimpin suku yang terpisah tersebut seorang perempuan adalah anak ke-2 dari tiga bersaudara. Han merupakan suku petualang (nomaden) yang hobinya berperang dengan ciri rambut panjang, baik laki-laki maupun perempuan. Yang membedakannya adalah jika laki-laki maka rambutnya dibiarkan berurai dan jika perempuan rambutnya berkepang. Laki-laki bisanya memakan daging hewan sedangkan perempuan memakan buah-buahan, sayur dan umbi-umbian. Perpisahan ini diakibatkan terajdinya pertempuran antar suku yang menerpa kawasan sekitar 200 SM. Saat itu Han dan pasukannya hendak meproklamirkan kekuasan Han Timur, salah satunya dengan memperluas jelajah di tanah Sunda. Sesampainya di sebuah gunung di pertengahan sunda bersama pasukannya, tersiar kabar bahwa suku Bo sebagai suku pendatang menyerang Han Barat dan sering mengganggu menjarah dan menghabiskan buah-buahan. Suku Bo sejenis suku Kera Api yang anggotanya perempuan dan hidupnya selalu di atas pohon dengan rumah pohon seperti mirip kera, serta hobinya makan buah- buahanan. Suku Bo berasal dari keturunan Xia Ho masih keturunan Bangsa Tiongkok yang datang dan berkembang di Bagian Astro India. Han geram karena buah terutama To’ di Han Barat adalah kesukaan anak perempuan yang selalu ia puja. Sehingga suku Bo harus diberi pelajaran karena menciderai perjanjian antara suku. Akhirnya perluasan Han Timur terpaksa diTunda. Saat hendak kembali ke Han Barat, Han menyuruh Putri Xocia xie atau Putri Soka sebut saja namanya Sukesih, agar berdiam diri bersama beberapa emban dan pornggawanya. Mengingat telah banyak dan kesekian kalinya Sukesih turut bertempur pada berbagai kawasan barat maupun utara, sedangkan ia masih berumur 6 tahun. Saat pertempuran yang lalu Han selalu menggendong anaknya, mengingat isteri atau ibunya Sukasih telah terbunuh suku lain saat bertempur dengan suku lainnya. Maka sejak itu Han menjadi pendendam dan ingin menaklukan seluruh bagian bangsa manapun dengan maksud untuk balas dendam atas kematian isterinya.
  • 3. - 2 - Walaupun demikian Han tidak sebengis itu sampai membunuh para perempuan suku lain, ia hanya bermaksud menaklukan sebagai unjuk kekuatan, melakukan perjanjian dan pergi meninggalkan suku yang telah ditaklukannya agar terjadi kebinekaan antar suku. Karena selain berperang ia juga menyebarkan ajaran orangtuanya yaitu ajaran Kebaikan. Kebingungan melanda Han di satu belahan bumi bagian timur tepatnya tenggara belum banyak Han taklukan. Selain karena kekhawatiran terhadap anaknya, maka Han menempatkan Sukesih di kawasan hutan yang ia anggap aman bersama beberapa emban dan ponggawa (hulu balang) bermukim di sebuah Gunung dengan mata air mengalir deras (Ci) yang di bawahnya tanah subur (permai) sebut saja Cipermai. Han berniat hendak pergi sebentar menyerang suku Bo dan ia berjanji kepada Sukesih akan kembali lagi menjemput setelah menaklukan Bangsa Bo Ras astro India. 19 Purnama hitungan edaran bulan sudah berlalu, namun saat itu terjadi banjir bandang hampir di berbagai belahan dunia. Saat Banjir bandang Sukesih melihat (Ton) air bah meluap dari laut hampir tepat ke arah pegunungan (Yuan), sebut saja Tonjong. Sehingga Sukesih pun meninjau dan memang benar-benar beberapa perahu layar kapal pelaut tanpa awak terlabuh dan tersangkut ke daratan. Melihat kondisi itu Sukesih bersedih hati khawatir ayahnya tewas akibat banjir tersebut, karena ia tahu bahwa ayahnya bukanlah Bangsa lautan tetapi bangsa daratan, Han tidaklah pandai melaut dan tidak bisa membuat kapal, bahkan sekalipun ingin menyeberang lautan ia harus membajak kapal bersama pasukannya. Saat Sukesih di gunung bersama emban dan ponggawa, kerjaannya hanyalah berburu mencek dan peucang (rusa) untuk dimakannya. Namun ia tidak suka makan babi karena lucu, malahan ia memeliharanya. Daging yang ia makan selalu sedap karena direndam dahulu pada air panas yang keluar dari gunung ditambah dengan beberapa rempah sehingga enak. Buatan para emban Selain daging ia juga sangat menyukai buah- buahan.
  • 4. - 3 - Salah satu buah yang ia suka adalah buah berwarna hijau kecil berbiji, karena rasanya manis dan masam. Semula ia menemukan buah tersebut di sembarang tempat, semula ia mencari pohonnya tidak ketemu. Dan ternyata buah yang ia pungut adalah buah yang dibawa Burung Jalak Coklat yang biasa di puncak gunung dan ia namai Ran Guah (Rangkah) karena pelatuknya selalu menghadap ke atas. Sukesih mengejar burung tersebut maka diketahuilah asal buah dari pohon mana, ternyata gunung ciperme, itu selain punya mata air panas, eh ternyata juga punya buah yang airnya (Ce) masam dan manis sebut saja buah Cereme. Mengingat ayahnya Han yang tiada kembali pulang, sedangkan ia telah beranjak dewasa, maka kesedihan pun bertambah hampir setiap hari ia bersedih. Lalu ia pun bertapa di gunung ciperme dengan cara ber Cie-la (sila) selama beberapa purnama untuk memperoleh secercah ketenangan dan pertunjuk Tuhan mengenai keberadaan ayahandanya. Tempat ia bersemedi yang ia pilih yaitu di depan sebuah lubang gunung sarang tempat burung Rangkah, kepang rambut diuraikan ke depan, dan menengadahkan wajah ke langit sambil memandangi bulan. Saat semedi teringatlah mengenai buah To untuk ia bakar agar hati tenang dalam bersemedi menemukan jawaba tuhan tentang keberadaan ayahandanya dan tidak lupan selalu mendoakannya. Namun suatu waktu saat bersila dan semedipun belum selesai, terasa guncangan hebat, terdengar mengegelegar dan gunung mengepulkan asap, dan tanah yang ia tempati saat bersila pun terlempar bersama dirinya ke perbukitan, dan tanah yang tempat bersila ia namakan Gunung Sila. Sukesih pun tunggang langgang karena tanah pegunungan terbelah, api berhamburan, dan lahar panas pun mengalir. Ia berlari kencang ke bawah bersama para binatang termasuk harimau kuning, macan tutul, para burung, badak, landak, gajah, jerapah termasuk babi hutan dengan menyusuri belahan tanah yang teraliri lahar deras sebut saja sungai Cideres.
  • 5. - 4 - Saat kejadian gunung meletus terajdilah kekeringan, lambat laun, para binatang mati kelaparan sehingga banyak binatang yang hendak memangsanya. Untunglah saat gunung berguncang lagi selagi disungai ia menemukan ruas tulang gagak besar yang mati, maka ditikamkanlah ujungnya pada harimau itu hingga mati. Sejak saat itu tulang gagak dijadikan senjata (ha) saat guncangan itu yang dinamai Haruncang oleh Sukesih dalam berkelana. Haruncang tidaklah terlalu runcing, namun dapat dipakai senjata belati ampuh untuk bela diri, terutama jika diberi racun. Haruncang juga sebagai alat memburu peucang, maupun ikan. Ia juga menemukan beberapa sirip besar ikan Emas yang terbakar mati akibat lahar panas sebut saja Kurinem, yang ia bawa sebagai alat mengupas buah-buahan dan diselipkan di atas telinga kanan sebagai penjepit rambut. Namun ternyata sungai cideres pasca gunung meletus tak henti datang lagi-datang lagi lahar panas, sehingga air tercemar dan tidak jernih untuk diminum. Maka segeralah perkelanaaan berpindah tempat ke selatan dan sampailah ia ke sebuah sungai yang airnya lebih segar berbeda dari sungai sebelumnya. Sukesih beristirahat merebahkan badan setelah hampir seminggu ia turun gunung menghindari bencana letusan api. Rambut pun kotor dan acak-acakan tak karuan tak terasa rambutnya semakin panjang sudah hampir sepenggal mata kaki. Ia pun menjuraikan (Menguraikan) rambutnya di sungai tersebut. Namun saat mandi di sungai ia dikagetkan teriakan seorang manusia, ”Jurai-jurai”, maka Sukesih segera merendam tubuhnya dan menyelam dengan maksud agar tidak diketahui. Apa daya nafas tidak kuat dan segera menyembul ke permukaan. Ternyata yang teriak itu seorang anak kecil mancing dan mengejar ular. ”Oray-orayan Luar leor mapay sawah, los ka leuwi di leuwi aya nu mandi”.Karena takut panjangnya rambut hingga ia memukul kentongan. Perempuan yang menolong mirip sekali ibunya, sebut saja Nyi Siga.
  • 6. - 5 - Nyi Siga segera menolongnya dengan menjulurkan selendang untuk ditarik agar tidak hanyut disungai. Setelah di tepian sungai diberikanlah samping dan menyuruh sukesih mengganti baju karena telah lusuh dan bau biuk (sejenis babi hutan liar) terbakar api bau hewan hutan yang dikenal dengan daerah Cibiuk. Perempuan itu memasukan baju lusuh bekas tersebut ke dalam sebuah wadah Korendang yang terbuat dari pintalan ijuk dan bambu sebagai suatu wadah yang dibawa untuk dikepitkan di ketiak. Sukesih dibawa bersama Nyi Siga ke wewengkon sukunya dengan melintasi sungai besar yang banyak dengan kera hitam (lutung) maka dinamailah Cilutung. Saat sampai di wewengkon segera Sukesih disembuyikan di rumahnya karena Nyi Sida sangat mengasihinya maka diberi wewangian kini dikenal dengan daerah Buniasih. Sukesih dahulu belum sempat dibuai ibunya karena telah meninggal saat ia kecil. Keberadaan Nyi Siga membuatnya gembira yang kemudian ia anggap ibu angkatnya. Nyi Siga sangat ramah, namun kulitnya telah keriput memutih dan anak kecil yang meneriaki saat di sungai namanya Athong, karena suka memukul kentongan. Sepandai apapun bersembunyi, akhirnya penduduk suku ada yang tahu. Saat itu ia terbiasa bersama Nyi Seda pergi mandi di suatu air mengalir dari cadas urugan bebatuan, jika air mengalir Ci, air masam Ce, maka jika air turun Cu sebut saja Cicurug yang airnya turun dari urugan cadas. Di saat wanci janari (malam menjelang pagi) namun masih gelap, ia terbiasa mandi bersama ibu angkatnya, agar tiada orang melihat. Saat mandi sukesih selalu berdendang dan bernyanyi mengiringi jatuhnya air yang bersuara dindang-dindang. Namun sekalipun gelap tetaplah ada orang yang selalu melihatnya setiap pagi, yaitu seorang laki-laki sebut saja Kakek Kawung yang sedang sakit kulit seperti kudis,corak putih-putih karena terkena lahar dan melakukan semedi di cadas tersembunyi di sekitar air pemandian Sukesih. Saat pertapaan seorang kakek sakit itu sebelumnya meminta obat pada Tuhan agar lekas sembuh, ia pun memperoleh wangsit dalam semedi akan datangnya seorang perempuan cantik berambut panjang yang berdendang (menyanyi). Maka teringatlah wangsit itu, bahwa yang mandi barusan itu adalah seorang perempuan cantik dan selalu berdendang di saat mandi. Maka setelah sukesih pergi segeralah ia mandi di curugan bekas Sukesih mandi dan mengeringkan tubuhnya hingga matahari terbit sambil berdiam diatas bebatuan. Entah ada mujizat apa benarlah kakek Kawung tersebut sembuh dan tersiarlah kabar penduduk mengenai curugan air tersebut manjur hingga disebut pancuran untuk mengobati kulit, hingga diberi nama Pancurendang.
  • 7. - 6 - Dipanggilah Sukesih oleh kepala suku untuk berterima kasih, karena ternyata kakek Kawung itu adalah seorang kepala suku. Sukesih pun diantar ponggawa dan diarak keliling kampung bersama ibu angkatnya segera menemui kepala suku di sebuah gunung batu kecil dengan karang-karang terjal sebut saja gunung karang. Oleh Ki Kawung sebagi ucapan terima kasih dibangunkanlah kuil mandala sebagai tempat tinggal yang ukuran tingginya sepanjang rambut sukesih diuraikan hingga ke bawah. Para emban pun memberikan untaian janur kuning terikat untuk dipakai bernama Anggo sebagai suatu pakaian adat kehormatan saat upacara, juga ia diberi kalung giok air, dan anting dari kembang cantil dan gelang dengan tiga permata kubikus berwarna putih. Pesta pun diadakan dari pagi hingga larut malam dengan berbagai suguhan berbagai ikan dan udang yang dikeringkan ditali dan dibakar beruntaian sebut saja Hidangan pindang dengan rusa, peucang, telor, daging ayam hutan maupun buah-buahan. Makanpun begitu lezat, karena suku tersebut telah memiliki kemampuan mengolah bumbu-bumbuan dari tumbuhan Selain itu telah mengenal astronomi bintang untuk bercocok tanam terutama bintang Sin (Xien), membuat api dengan batu kaul dan kapuk, membut kapak perimbas dari pirit, membuat belati dan pisau dari tembaga batuan sungai, mengenal umbi-umbian, pandai menenun warisan Nabi Idris dari kapuk, goni, sutera dengan perawnaan tumbuhan dan lainnya, mengenal tali temali untuk mengikat dengan ijuk maupun sabut kelapa, dan pandai berhias muka dengan memakai warna-warna alam seperti dari batuan berwarna yang ada di sungai untuk keperluan upacara, dan pandai merawat diri dengan pengobatan tumbuh-tumbuhan, serta mengenal undagi struktur tata kelola bangunan, sebut saja suku tersebut dengan Suku Sindang sebagai tempat berpindah dan menetap sekaligus menetapnya Sukesih di daerah tersebut.
  • 8. - 7 - ” Sekilas tentang suku Sindang, saat Sukesih datang bersama suku Han mampir di tanah sunda sekitar 200 SM, suku Sindang mungkin telah ada ratusan tahun sebelumnya yang silam. Bila dilihat dari peradabannya mungkin sekitar 400 SM di era Meghalitikum yang perkembangan ilmunya telah mengenal cocok tanam padi, pengecoran dan pembakaran logam (tembaga) dan mengenal rasi bintang maupun ilmu berperang. Sindang merupakan bangsa yang mengela patokan arah Rasi Bintang Sin (arab) Xien dengan adanya anggapan kehidupan dari bintang; meliputi penunjuk peruntungan dalam memulai sesuatu Rasi Ursa Mayor 7 bintang (arah utara), untuk bercocok tanam musim rasi Biduk 4 bintang (selatan), penunjuk berburu binatang Rasi Orion 3 bintang (barat), arah manjala ikan rasi kalajengking/antares (tenggara, timur). Dan yang sering dijadikan patokan yaitu bintang kejora (zahra) untuk mengenal cuaca dan iklim.” Malam pun tiba saat pesta, kepala suku ingin mengenal lebih dalam agar semua pada tahu kedatangannya dan menyuruh Sukesih untuk menceritakan segala kehidupannya secara jelas. Sukesih pun bercerita di depan khalayak ramai hadirin kenduri mengenai perjalanannya tanpa ada yang ditutup-tupi satupun. Semua pendengar terharu mendengar kisahnya yang menyedihkan. Akhirnya berita itu pun tersiar pada berbagai suku bah ibaratnya arti bintang kejora maka daerah itupun dinamai Karang Bentang. Sebagai penghargaannya atas kesembuhannya Ki Kawung memberi gelar Endang Sukesih dan juga memberi sebidang tanah pertanian untuk dimakmurkan (mukti) sebagai bagian dari daerah suku Sindang. Sukesih menerimanya, namun karena kemuliaan hati diberikannya lagi kepada Nyi Siga agar sukesih dapat belajar bercocok tanam padi dan palawija. Tanah pertanian yang diberikan kepada Nyi Siga begitu subur yang luasnya wilayah hingga wewengkon Cibeureum (Sumedang), dan ia namai daerah Sigamukti yang lambat laun karena sulitnya lidah lentong (logat) asal berubahlah menjadi Sidamukti. Nyi Siga mungkin kita kenal istilah Nyi Siga-Nyisig ialah yang tercatat pertama kali dalam telisik yang menginang giginya dengan sirih hingga ludahnya merah (beureum) yang air ludahnya sampai melalui aliran sungai hingga ke daerah Cibeureum. Selain itu di area Sidamukti ada bukit yang banyak sekali intan pirit hingga disebut Gunung Panten.
  • 9. - 8 - Sukesih pun belajar bercocok tanam padi huma mulai dari benih. Sampai saat tiba padi pun dipanen, sukesih pun turut serta memanen dan digeugeus kemudian dijemur di laglek sampai kering dan setelah mengering dimasukan ke lumbung (leuit). Hingga akhirnya barulah tahu bahwa selama ini nasi yang ia makan selama bersama Nyi Sida di suku tersebut ditanam seperti itu. Karena belum terbiasa memanen akibatnya Sukesih kulitnya gatal- gatal. Setelah beberapa hari tidak sembuh Sukesih teringat wangsitnya saat bertapa dahulu, bahwa ia hendak mencari buah To wewangian untuk bertapa, ia pun meminta izin kepada ibu angkatnya untuk mencari buah yang ia cari di daerah sekitarnya sebagai obat gatalnya. Buah itupun tak satupun dijumpai, namun terlihat suatu buah ternyata mirip buah To sebut saja buah Ho lalu ia coba menggigitnya namun kerasnya seperti Baja ia namai buah Maja dan tempat ia menemukan munculnya buah maja disebut Munjul. Sukesih segera menemui ibunya sambil membawa buah Maja dan ibunya tertawa terbahak-bahak karena buah itu daunnya biasa digunakan sebagai teh atau ditumbuk ataupun buahnya dimakan sebagai obat- obatan. Ni Sida karena amat mengasihi Sukesih, maka ia mencoba membuat obat dengan mengeringkan buah maja itu sampai keras seperti kayu, hingga berwarna ungu, lalu dibakar dan tempat pengeringannya itu dinamai daerah Bungur. Sukesih diberi batu kaul (api) dan kapuk untuk membakarnya, dan arangnya yang terbakar atau sempur dikenal dengan kampung Simpur, arang dioleskan sebagai bedak secara lembut pada kulit dan ternyata setelah berulang kali terlihat kulit luarnya mulai berangsur sembuh.
  • 10. - 9 - Karena khawatir kambuh lagi maka ia berniat merawat tubuhnya, namun ia tidak tahu bagaimana caranya. Maka Ki Kawung menyuruhnya merawat tubuhnya agar tidak gatal lagi. Caranya dengan membakar buah Maja yang telah kering di sebuah tempat dan asapnya harus mengenai seluruh badannya atau dikenal dengan ngaleuhang. Maka ditunjuklah satu tempat yang biasa sebagai tempat merebus air nira yang disadap (curuluk) dari pohon Nira dan merebus buah nya agar ia masuk ke dalam rongga pohon dan akar atau lorong pohon besar. Untuk ngaleuhang (sauna) Endang Sukesih dengan buah Maja maka Kakek Kawung mencari pohon Maja besar dan diperolehnya disebelah utara Karang Bentang. Pohon itu telah besar telah berongga, penuh janggut dan akar. Kakek Kawung menyuruh Sukesih untuk membakar buah maja itu dan masuk ke dalam rongga akar pohon maja agar tubuhnya dileuhanng dikepuli asap bakaran buah Maja, rantai dan daunnya.
  • 11. - 10 - Karena khawatir pohon Maja itu tumbang dan mengancam jiwa, maka ditebanglah setengah (Sabeulah) bagian ke atasnya oleh Kakek Kawung, dan dibawa oleh salah satu ponggawa yang membutuhkan obat karena penduduknya sulit tidur yang kini dikenal kampung Sabeulah desa Simpeureum. Sukesih amat menyukai tempat sauna itu dengan pelataran yang indah, ia ditemani tujuh emban yang membantunya, di tempat itu juga ia tinggal dan diberi lesung dan halu agar ia dapat menumbuk geugeus padi yang dikirim ibunya. Ia juga diberi peralatan kendi air untuk minumnya dan sesekali ditengok kakek Kawung untuk keselamatannya. Saat membakar Maja untuk wewangian menggunakan kaul dan kapuk awal mulanya terbakar namun api padam, ia pun kebingungan dan terlihatlah sebuah burung mirip burung merak yang menarik hati. Ia pun mengejarnya dan ditemukanlah sarang burung tersebut di sebelah barat. Di sarang tersebut banyak sekali bulu-bulu dan dikumpulkannya, dianyam dan menjadi Kipas Buluh untuk menyalakan kembali api tersebut. Sukesih amatlah menyukai tempat itu dengan pelatarannya yang indah atas kemuliaan Tuhan ia sebut Kampung Kamulyan yang sekarang bernama Sukamulya. Beberapa hari kemudian akhirnya sembuhlah Sukesih sebagai sebuah babak baru kesembuhan, dan banyak orang sakit sama ingin berobat dengan cara dileuhang (model sauna aroma theurapi), hingga yang semula tempat itu sepi lambat laun menjadi ramai. Sehingga dibabaklah suatu periode dalam lingga Jenggala batu sebagai suatu ukuran jumlah anggota suku setiap windunya yang dikenal dengan wewengkon Babakan.
  • 12. - 11 - Babak baru yang ceritanya berawal saat Sukesih di suatu pagi buta hendak mandi di Curug, namun tak disangka tampak bayangan hitam seperti harimau berlari yang seolah-olah ingin mengejar peucang (rusa). Maka segeralah ia kejar peucang itu daripada nanti dimakan harimau. Maka segera diabarkanlah ajinya Hau-Hau Karuncang, kamana lumpatna si peucang (kemana larinya rusa) yang dikenal dengan aji pangabaran, dengan senjata tulang gagak (Haruncang/karuncang) yang biasa untuk berburu peucang. Maka tertikamlah rusa itu dan bayangan harimau hitam itu pun menghilang begitu saja setelah rusa tertikam. Tak disangka karena gelap gulita, ternyata yang ia tikam adalah seorang pemuda yang akhirnya pemuda itu pun terluka dan tersungkur ke kubangan yang dikenal dengan daerah Kubang. Sukesih mohon maaf sekali dan berurai air mata tanda menyesal karena salah sasaran, bagaimana ia mengobatinya. Maka saat itu munculah sosok orang tua yang ternyata masih saudaranya pemuda itu yang disebut Ki Koda. Ki Koda bersama Sukesih segera membawa pemuda itu ke tempat teduh di bawah sebuah pohon janggut yang berair (Caringin) sekitar Curug. Beruntunglah pemuda itu tidak tewas rahayu dan panjang umur, yang kini dikenal dengan kampung Rahayu. Sedangkan tempat Ki Koda lambat laun berkembang penduduk menjadi wewengkon Babakan Koda. Pemuda tampan itu dirawat Sukesih dengan sabar, namun pemuda itu belum sembuh benar, sebagai rasa tanggung jawabnya sukesih selalu mengantarnya ke sungai untuk mandi. Saat mengantar dan menunggu pemuda mandi, sukesih tertidur dan bermimpi melihat wajahnya dengan wajah pemuda itu di aliran sungai tersebut amatlah mirip seperti buah pinang dibelah dua hingga akhirnya menaruh hati. Karena memang keduanya secara lahiriah memiliki kulit kuning langsat berbeda dengan penduduk suku asli tersebut yaitu coklat kehitaman. Saat terbangun alangkah kagetnya karena ia sedang dipangku pemuda tersebut karena ternyata ia jatuh dari batu ampar saat tidur dan masuk ke sungai. Sukesih terkagum-kagum melihat perangai wajahnya yang begitu dekat dan akan kemuliaan hati dan perilaku pemuda itu yang sopan, hingga sukesih tertarik hati untuk dipinangnya. Maka segeralah Kakek Kawung mengawinkannya. Tak lama sukesih pun mengandung, namun belum genap bulan lahirnya anak, terjadilah pertempuran antar suku yang mewajibkan para lelaki betrempur, hingga pemuda tersebut turut pergi berperang memimpin pasukan. Saat suaminya jauh Sukesih mengidam ingin buah cereme yang dahulu ia makan, namun belum sempat kesampaian karena suaminya jauh sedang berperang. Akhirnya segera lahirlah seorang bayi perempuan kembar yang mirip. Hingga setahun sudah suaminya belum kembali, karena kerepotan mengurus salah satu putrinya sakit, dan yang sehat
  • 13. - 12 - Romlah dititipkan kepada Ni Sida. Salah satu bayi nya (laksmi) yang sakit tidak kunjung sembuh. Hingga akhirnya ia pun ingat tidak terlaksananya memakan buah cereme saat ngidam, maka iapun berkelana membawa bayinya melewati daerah yang dahulu pernah dari arah pegunungan saat bencana letusan api. Saat melintasi sungai bayinya kedingininan karena hujan, maka ia melihat sebuah tiram besar (kerang) yang menganga yang ia sebut Kamone. Bayi diletakannya di dalam kerang tersebut dan bayipun menjadi hangat dengan alas kararas daun pisang kering, pelepah pisang (balagedor/Balagedog). Untunglah saat itu kakek Kawung berjumpa datang menyusulnya karena diberi tahu Ni Sida, dan Sukesih disuruhnya pulang biarlah dia yang mencarinya ke gunung. Tidak tanggung-tanggung kakek Kawung membawa sekarung banyak buah cereme sekaligus membawa pohonnya untuk ditanam sebagai obat dan sebagai buah kesukaan Sukesih. Hingga akhirnya banyaklah pohon cereme. Kedua putri kembar Sukesih pun tumbuh besar menikah dan beranak pinanak dan meneruskan generasi keturunan hingga sekarang ”Ti Hilir Patirang Ginggi, Ti girang patirang gangga Ti tengah comerak herang, pangguyugan gajah ngaguling Gajah ngaguling malawading, bustua bus anom Isuk orok sore budak, bray sarangenge kembar” (Sumber Kuncen Kabuyutan, Alm) Sekian &Tunggu Edisi Selanjutnya Cerita ini hanyalah Do-Ngeng ngaboboDo nu ceNgeng dari legenda yang ditelusuri dan ditelisik serta diceritakan orang tua dahulu kepada pengarang. Maka karya ini hanya sebagai sebuah contoh literasi pengembangan kultur tradisi asal usul wewengkon yang dikembangkan secara fiktif (tidak nyata) dalam Struktrur Arupadatu dan Niskala Undagi Visu Devi Meghalitikum dalam rangka menelusuri jejak Bale Mandala, Pamujan Tehon Jiwa & Jenggala Batu di Kampung Kamulyan. Cag ah, Hom pim pah walayahum ….Gambreng.
  • 14. - 13 - STATUE : SUKESIH & AMULET v Kurinem : Jepit Rambut dari sisik ikan Besar berwarna putih biru kuning kelap-kelip Samoja opat : Bunga Kemboja beruas 4 kelopak Cantil : Anting-anting dari buah cantil emas tiga butir Panten : Gelang tali dengan permata 3 buah Giok: Kalung tali dengan batu Giok Air Haruncang: senjati Belati yang terbuat dari tulang dengan paruh akar bambu lingkar Anting-anting dari buah cantil Lainnya : Kepang Dua, Sendal Tarumpah, Samping, dll. Korendang : Wadah dari pintalan simpul tali ijuk segi empat dengan sisi penyambung bilah bamboo yang dibawah dan dikepit di ketiak perempuan Buluh : Kipas yang terbuat dari bulu-bulu burung yang disusun sebagai kipas Komone : Wadah dari Tiram besar untuk menghangatkan bayi, dengan alasa pelepah daun pisang kering
  • 15. - 14 - Laglek : Sebagai tempat menjemur padi yang diikat (geugeus) karena kemuliaannya sehingga tidak dijemur diatas tanah. Terbuat dari bidang segi empat kayu/ranting/bambu yang diikat dengan ijuk. Ditempatkan di atas batang pohon kering secara terpusat ditengah. Untuk keseimba- ngan digunakan Ampal/ Hampal. Geugeus : rangkaian padi yang diikat untuk dikeringkan Leuit : tempat menyimpan padi yang telah dijemur dan mengering Ampal : suatu gantungan tali di tiap sudut Laglek melalui bambu yang ujungnya digantungi batu diikat oleh ijuk Anggo : riasan pakaian kehormatan saat upacara adat, terbuat dari janur kuning yang disusun dengan diuntai menggunakan tali dan dipakaikan Sungkup : Sebuah topi yang digunakan saat upacara adat terbuat dari Jamur besar yang telah Kasieup : penutup wajah seperti topeng dengan diberi lubang mata, terbuat dari miang bambu (slokop awi). Biasa digunakan untuk mengambil madu Jepret : bambu satu ruas yang dibelah tipis-tipis dengan ruas di atas sebagai pegangan. Alat ini digunakan untuk mengusir madu ataupun binatang lain mirip sapu lidi Tulalit : alat musik tiup dari bamboo tiga ruas yang bersatu dengan dilubangi yang bunyinya berasal dari getaran solokop yang ditiup Hindang/Pindang; hidangan ikan kering/ basah dan diuntai memanjang dengan tali untuk dibakar Endog& Ping Bo/Mo: Zaman itu perdagangan harga telur = paha kerbau/sapi, mahal karena digunakan sebagai lem perekat Jenggala : Batuan bertumpuk yang sengaja ditumpuk untuk menandai jumlah ukuran penduduk maupun wilayah berdasarkan proses windu. Batu ditumpuk oleh kepala suku setiap upacara tahunan yang biasa diramaikan dengan acara kenduri pesta adat