1. BAB I
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN NIKAH
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut
bahasa ‘nikah’ diartikan adh-dhamm (berkumpul atau bergabung) dan al ikhtilath (bercampur).
Menurut istilah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan
untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum
syariat Islam. Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak
dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
bukan mahram. Menurut UU No : 1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga
(keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan untuk menikah
adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.
Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi
kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi,
yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan
kesejahteraan hidup berumah tangga. Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang
seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan
keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara
si istri dengan suaminya, kasih-mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua
keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan
tolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan.
Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
Rasulullah SAW bersabda :
وٌ ملَعَ وِمَ وِوَّعِمَ و عَْوََّلعِ وعَِمَمَمَ وِْعمَْمَ وْمَ وْمَمَ و و
عجرمفَعَ وْمَّحمأ مَ و عمرَّمَِعَ و ُّ
ضمغمو أِوَّعِمَ وج وَمزمَمََمَ ومةمٌ ملَِو اْكَّعَ موعلمِمَْو ا عْمَ وعبملِوشَو ا ممرشَمَ ملوَ
ََْْ )(رَاهو اَِخلرىو َو
2. Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka
nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan
barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan
syahwat”. (HR. BUKHORI MUSLIM)
و َشرعلو عقد.و إذاو ََلََتو َاَّضْو َِضهلو إَىو َِض:َهَو َغةو اَضْو َاالَََلعو َََِّو قََهْو ََّلكحتو األشَلر
و
ََضَْو إِلحةو َِئو َِفظو إَّكلحو أَو َزََجو َهَو حقَقةو َيو اََقدو ََلزو َيو اََِ ٌو عَىو اََّحَحو ْْو أيو اََّكلح
Nikah menurut bahasa diartikan dengan Berkumpul menjadi satu. Termasuk dalam hal ini
ucapan seorang Arab “Pepohonan itu saling bernikah(Berkumpul menjadi satu)”.Jika yang
dimaksud si Arab tadi dengan cabangan pepohonan yang satu sama lain saling bercondong
dan berkumpul. Sedangkan menurut syara’, Nikah diartikan dengan “Akad yang
menghalalkan persetubuhan” dengan menggunakan lafadz nikah atau tajwiz. Menurut
pendapat as-Shahih bahwa kata nikah secara hakikat mempunyai makna akad, sedangkan
majaznya adalah “Persetubuhan”
Sunnah menikah bagi orang yang sangat “Butuh bersetubuh” Sekalipun dalam hal ini dia
masih sibuk dengan ibadahnya, dengan catatan ia mampu memikul biaya untuk mahar,
pakaian musim makan minum untuk istrinya yang telah menyerahkan dirinya kepada suami
dan nafkah sehari semalam setiap harinya.
Hukum sunnah menikah tersebut berdasarkan pada beberapa hadits yang tertera dalam kitab
Sunan, dimana sejumlah hadits-hadits tersebut dijelaskan di dalam kitab saya yang berjudul
Ihkamu Ahkamin Nikah. Disamping itu melakukan pernikahan juga dapat menjaga agama
seseorang dan melanggengkan keturunan. Sedangkan orang yang sangat butuh bersetubuh
tetapi tidak mampu memikul biaya di atas maka diutamakan baginya untuk tidak
melaksanakan nikah. Dan ia bisa menanggulangi gejolak syahwatnya dengan cara berpuasa
bukan menggunakan obat.
Setelah ada niat yang kuat untuk melakukan nikah, sebelum melamar, bagi kedua belah pihak
(baik calon mempelai laki-laki dan perempuan) sunnah saling melihat anggota badan masing-
masing selain aurot yang telah ditetapkan di dalam syarat-syarat sahnya shalat. Karena
dengan demikian seorang laki-laki hanya boleh melihat wanita yang bukan budak pada bagian
3. wajahnya saja dengan tujuan melihat kecantikan dan pada kedua telapak tangannya (baik
dalam maupun luar). Hal ini untuk mengetahui kehalusan kulit badannya. Apabila wanita
tersebut seorang budak, maka seluruh bagian tubuhnya boleh dilihat kecuali antara pusat dan
lutut. Sedangkan bagi orang yang tidak mempunyai hasrat bersetubuh dan tidak mampu
menanggung biaya di atas maka hukum nikahnya adalah Makruh. Nikah itu pada dasarnya
dihukumi sunnah, tapi jika ada sebab Nazar, menikah dihukumi wajib.
Untuk kehalalan melihat anggota ini (Bagian yang boleh dilihat) harus mempunyai keyakinan
bahwa wanita tersebut tidak berada dalam ikatan nikah atau ‘idah. Serta laki-laki tersebut
mempunyai keyakinan 80% bahwa lamarannya akan diterima. Bagi laki-laki yang tidak dapat
melihat wanita yang akan dilamarnya, disunnahkan mengutus seorang perempuan untuk
melihat calon istrinya lalu menggambarkan kepadanya mengenai wajah dan gambaran
telapaktangannya. Dari bahasa “Melihat” Dikecualikan memegang wanita tersebut, maka
hukumnya haram “Memegang” lantaran tidak ada hajatnya.
B. HUKUM PERNIKAHAN
Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam, secara rinci jumhur ulama menyatakan
hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu:
a. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada kejahatan
(zina). Hukum nikah menjadi wajib bagi sesorang yang memiliki kemampuan biaya nikah,
mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan yang baik dengan istri yang dinikahinya dan
ia mempunyai dugaan kuat akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah.
b. Sunnah, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-lainnya.
c. Makruh, bagi bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah. Nikah makruh bagi sesorang
yang dalam kondisi campuran seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak
dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi penganiayaan istri yang tidak
sampai ke tingkat yakin.
d. Haram Bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya. bagi orang-
orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan perkawinan atau
4. ia yakin perkawinan itu tidak akan memcapai tujuan syara’, sedangkan dia meyakini
perkawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya.
e. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk menikah dan
perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapapun. Seseorang
dalam kondisi normal, artinya memiliki harta, tidak khawatir dirinya melakukan maksiat zina
sekalipun membujang lama dan tidak dikhawatirkan berbuat jahat terhadap istri. Golongan
Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan
bahwa hukum asal nikah adalah mubah, di samping ada yang sunnah, wajib, haram dan yang
makruh.
C. HIKMAH PERNIKAHAN
Faedah yang besar dalam pernikahan adalah untuk menjaga dan memelihara
perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan, apabila
sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh suaminya.
Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau
tidak dengan menikah, tentulah anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan
siapa yang bertanggung jawab atasnya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum,
sebab kalau tidak ada pernikahan, tentu manusia akan akan menurutkan sifat kebinatangan,
dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana, dan permusuhan antara sesamanya,
yang mungkin juga sampai menimbulkan pembunuhan yang dahsyat. Tujuan pernikahan
dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuan
tujuan penting yang berkaitan dengan social, psikologi, dan agama. Selain hal-hal diatas,
diantaranya yang terpenting lainnya adalah sebagai berikut:
1. Memelihara Gen Manusia. Pernikahan sebagai sarana untuk memelihara
keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan regenerasi dari masa ke masa.
Dengan pernikahan inilah manusia akan dapat memakmurkan hidup dan
melaksanakan tugas sebagai khalifah dari Alloh. Mungkin dapat dikatakan bahwa
untuk mencapai hal tersebut dapat melalui syariat, namun cara tersebut dibenci
agama. Demikian itu akan menyebabkan terjadinya penganiayaan, saling
5. menumpahkan darah, dan menyia-nyiakan keturunan sebagaimana yang terjadi pada
binatang.
2. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Di dalamnya terdapat hak-
hak dan kewaiban yang sacral dan religious. Seseorang akan merasa adanya tali
ikatan suci yang membuat tinggi sifat kemanusiannya, yaitu ikatan ruhani dan jiwa
yang membuat ketinggian derajat manusia dan menjadi mulia daripada tingkat
kebinatangan yang hanya menjalin cinta syahwat antara jantan dan betina. Bahkan
hubungan pasangan suami istri sesungguhnya adalah ketenangan jiwa, kasih saying
dan memandang.
3. Nikah sebagai perisai diri manusia. Nikah dapat menjaga diri kemanusiaan dan
menjauhkan dari pelanggaran –pelanggaran yang diharamkan dalam agama. Karena
nikah memperbolehkan masing-masing pasangan melakukan hajat biologisnya
secara halal dan mubah. Pernikahan tidak membahayakan bgi umat, tidak
menimbulkan kerusakan, tidak berpengaruh dalam membentuk sebab-sebab
kebinatangan, tidak menyebabkan tersebarnya kefasikan, dan tidak menerumuskan
para pemuda dalam kebebasan. Alqur’an telah memberikan isyarat sebagai berikut:
َين ِِحفاَسُم َْريَغ َِينن ِ
صْحُم ْمُكِلا َوْمَأِب واُغَتْبَت ْنَأ ْمُكِلََٰذ َءاَر َو اَم ْمُكَل َّل ِحُأ َو
Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-peremaun) yang demikian itu jika kamu berusaha
dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. (QS. An-Nisa’ (4): 24)
4. Melawan Hawa Nafsu. Nikah menyalurkan nafsu manusia menjadi terpelihara,
melakukan maslahat orang lain dan melaksanakan hak-hak istri dan anak-anak dan
mendidik mereka. Nikah juga melatih kesabaran terhadap akhlak istri dengan usaha
yang optimal memperbaiki dan memberikan petunjuk jalan agama. Semua manfat
penikahan diatas tergolong perbuatan yang memiliki keutamaan yang agung.
Tanggung jawab laki-laki tehadap rumah tangganya adalah tanggung jawab
kepemimpinan dan kekuasaan. Istri dan anak-anak adalah keluarga yang dipimpin.
Keutamaan memimpin sangatlah agung. Tidak rasional jika disamakan seseorang
6. yang sibuk mengurus diri sendiri dengan orang yang sibuk mengurus dirinya dan diri
orang lain.
D. RUKUN NIKAH
Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk di dalam substansinya.
Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena tidak ada rukun. Berbeda
dengan syariat, ia tidak masuk ke dalam substansi dan hakikat sesuatu, sekalipun sesuatu itu
tetap ada tanpa syarat, namun ekstensinya tidak diperhitungkan.
1. Calon suami.
Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yaitu mempelai laki-laki dan
mempelai perempuan. Memilih calon suami yang baik merupakan kewajiban bagi wali calon
mempelai wanita. Seorang wanita apabila hendak memilih calon suami hendaknya
mengutamakan agamanya dan akhlaknya yang mulia, sebelum memperhatikan yang lainnya.
Sebagaimana sabda Nabi SAW. :
ومَْمضرمَ وْمَ وْكمٌ ملَامذعا
و
و (و رَاهو اََرَذىَـض ع
مرع وـلدمْمَ مَ و ع
ضرمالعىو اَ وةمَّـَعَ وْكمَ اوََمَفمَ ووالعا وهََعَمزَ وِمقَخ مَ وِمَّـَعد )
“ Bila ada seorang dating melamar, dan kamu senang dengan agama dan akhlaknya, maka
kawinlah dengannya, jika tidak kamu, akan terjadi fitnahdan kerusakan dimuka bumi ini. ( H.R.
Tirmidzi )
Syarat-syarat calon suami menurut ketentuan syari’at Islam adalah : beragama Islam,
jelas bahwa ia laki-laki, atas keinginan dan pilihan sendiri (tidak terkena paksaan), tidak
beristri empat (termasuk istri yang telah dicerai tetapi dalam masa iddah / waktu tunggu),
tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon isteri, tidak mempunyai isteri yang haram
dimadu dengan calon isterinya, mengetahui bahwa calon isteri itu tidak haram baginya dan
tidak sedang berihram haji atau umrah.
2. Calon isteri.
Islam menganjurkan untuk memilih calon istri yang baik ada beberapa kriteria yang
harus diperhatikan seorang laki-laki agar pilihannya sesuai dengan ajaran agama. Adapun
kreteria memilih calon istri yang baik sebagaimana telah digariskan oleh Rasulullah SAW.
dalam hadits sebagai berikut :
7. ملهعَ وملعَـَ و: وٍْمِرعال وةمأرمََو امحكََّ
و
وعَْععو اَدتامذعِ ورفظمَ ملوهعََّعدعَمَملهعـَمَمَعَ مَملهعِ ـلومْمحعَمَ
ومماكدمَ ومتِ ع
ـرمَ
ومسلم البجارى رواه ( )
“Memilih wanita yang hendak dinikahiitu hendaknya mencakup kreteria: karena hartanya,
karena ( kemuliaan) keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka
beruntunglah yang memilih wanita yang beragama; jika tidak, maka binasalah engkau” ( H.R.
Bukhari-Muslim ).
Syarat-syarat calon istri yang akan dinikahi adalah :beragama Islam, jelas bahwa ia
serang perempuan, telah mendapat ijin dari walinya, tidak bersuami dan tidak dalammasa
iddah, tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon suami, belum pernah di li’an
(dituduh zina) oleh calon suaminya, jika ia perempuan janda, harus atas kemauan sendiri,
bukan karena dipaksa oleh siapapun, jelas ada orangnya dan tidak sedang ihram haji atau
umrah.
b. Adanya wali (wali perempuan).
Keterangannya adalah sabda Nabi Saw
و
لملِعِ ملوهملحكعَّمَ و،ملهَعَامَمَ وعْذعإ و عرَمغعِ ومتحمكمَّ وٍةمأمرَلو امََُّمأ
“Barang siapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka
pernikahannya batal.” (Riwayat empat orang ahli hadis, kecuali Nasa’i)
ملو رَاهو اِْو َلَةو َو اَدرقَِّىهمْفمَّ وأةرمََو اعجوَمزَ ومالمَ ومةمأرمََو اةمأرمََو اج وَمزَمال
“Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan jangan pula seorang
perempuan menikahkan dirinya sendiri.” (Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni)
c. Adanya 2 orang saksi
Sabda junjungan kita Saw:
و
ٍلمدع وميدعهملش ومَ وٍيعَمَِ ومالعإ موحملكعَّ ومال
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” (Riwayat Ahmad)
d. Dilakukan dengan shighat(akad) tertentu.
Sighat (akad) yaitu perkataan dari pihak perempuan seperti kata wali. tidak sah nikah
kecuali dengan lafadz nikah. Akad yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata
wali, “saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama...” . Boleh juga didahului oleh
8. perkataan dari pihak mempelai , seperti: “Nikahkanlah saya dengan anakmu.” Jawab wali,
“Saya nikahkan engkau dengan anak saya..’ karena maksudnya sama. Perkawinan wajib
dilakukan dengan ijab Qabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan 'aqad nikah (ikatan atau
perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau
kepala yang bisa dipahami. Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau
wakilnya, sedang Qabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
D. SYARAT SAH PERNIKAHAN
Syarat sah nikah adalah yang membuat akad itu patut menimbulkan beberapa hukum.
Jika satu syarat saja tidak ada, maka akadnya rusak.
Adapun syarat dua mempelai ialah :
a. Syarat pengantin pria
Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami
berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:
1) Calon suami beragama islam.
2) Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3) Orangnya diketahui dan tertentu.
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal menikah dengan calon istri.
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal
baginya.
6) Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7) Tidak sedang melakukan ihram.
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat calon pengantin perempuan
Wanita yang Dinikahi Bukan Mahram
Wanita yang dinikahi syaratnya bukan yang diharamkan selamanya seperti ibu dan
saudara perempuan atau haram secara temporal seperti saudara perempuan istri atau bibi
istri dan atau bibi perempuannya. Jika akad nikah tetap diselenggarakan pada wanita-wanita
9. tersebut padahal ia mengetahui keharamannya maka batal akad nikahnya dan akad tersebut
tidak mendapat apa-apa. Jikalau ia tidak mengetahui keharamannya, lalu mereka tahu
dikemudian hari maka bagi mereka wajib berpisah dengan segera. Jika tidak, pengadilan yang
harus memisahkan antara mereka berdua dengan paksa, jika tidak dengan kesadaran sendiri.
Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon istri
berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:
1) Calon suami beragama islam.
2) Terang bahwa ia wanita, bukan Khuntsa.
3) Halal bagi calon suami.
4) Wanita tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam 'iddah.
5) Tidak dipaksa/ikhtiyar.
6) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
Nabi telah memberi petunjuk tentang sifat-sifat perempuan yang baik, yaitu:
1. Yang beragama dan menjalankannya.
2. Keturunan orang yang subur (mempunyai keturunan yang sehat).
3. Yang masih perawan.
Sabda Rasulullah saw. :
وعَْععو اَدتامذعِ ورمفلظمَ و،ملهعََّعدعَمَ ملوهعَلمَمَعَ مَ ملوهعِمْمحعَمَ ملوهعَـلمَعَ و:ٍْمِرمأل وةمأرمََو امحكََّ
Dari Jabir, “Sesungguhnya Nabi saw. Telah bersabda, Sesungguhnya perempuan itu dinikahi
orang karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya, maka pilihlah yang beragama.”
(Riwayat Muslin dan Tirmidzi)
c. Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya
dengan calon suami atau wakilnya. Wali hendaklah seorang lelaki, muslim, baligh, berakal
dan adil, artinya tidak fasik. Karena itu perkawinan tanpa wali dianggap tidak sah. Hal ini
dilandaskan pada hadits Nabi SAW.:
)أنسائى إال الخمسة (رواه.بولى إال نكاح ال
"Tidak ada perkawinan tanpa wali." (HR. Al Khomsah kecuali An Nasaiy)
10. Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad nikah oleh karena itu,tidak semua
orang dapat diterima menjadi saksi atau wali.tetapi hendaklah orang-orang yang memiliki
beberapa sifat sebagai berikut :
Yang dianggap sah menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang
akan diuraikan dibawah ini , karena wali-wali itu memang telah diketahui oleh orang yang ada
pada masa turun ayat: “Janganlah kamu menghalangi mereka menikah.” (Al-Baqarah : 232).
Begitu juga Hadis Ummu Salamah yang telah berkata kepada Rasululloh, “Wali saya tidak
ada seorang pun yang dekat.”
Semua itu tanda bahwa wali-wali itu telah diketahui atau dikenal, yaitu :
a. Bapaknya
b. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)
c. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
d. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
g. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
h. Anak laki-laki pamanya dari pihak bapaknya
i. Hakim
d. Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang, lelaki, muslim, baligh, berakal,
melihat dan mendengar serta mengerti (faham) akan maksud akad nikah. Tetapi menurut
Hanafi dan Hambali, boleh juga saksi itu lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut
Hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil).
Selanjutnya orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.Sebagian besar
ulama berpendapat saksi merupakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu perkawinan (akad
nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat Syafi'i, Hanafi dan Hambali.
1. Bersifat adil
11. Syarat adil pada saksi diperselisihkan di antara fuqaha’. Imam Syafi’i dan Ahmad
berpendapat, adil menjadi syarat sahnya persaksian dalam akad. Untuk mengetahui keadilan,
cukup seorang saksi tidak dikenal sebagai orang fasiq (tidak taat). Ini maksudnya, persaksian
orang yang tidak fasiq diterima, baik keadilannya tampak jelas maupun tidak tampak.
Golongan Syafi’I berpendapat saksi itu harus orang yang adil, sebagaimana tersebut
dalam hadis :’’ Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil’’. Menurut mereka
ini bila perkawinan di saksikan oleh dua orang yang belum di kenal adil tidaknya, maka ada
dua pendapat tetapi menurut Syafi’I kawin dengan saksi-saksi yang belum di kenal adil
tidaknya, hukumnya sah.
2. Laki-laki
Golongan Syafi’I dan Hambali mensyaratkan saksi haruslah laki-laki.Akad nikah
dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah, tetapi golongan Hanafi tidak
mengharuskan syarat ini.Mereka berpendapat bahwa kesaksian dua orang laki-laki atau
seorang laki-laki dan dua perempuan sudah sah.
3. Harus Orang Merdeka
Seorang saksi harus sudah Baligh dan berakal (sudah berumur 15 tahun). Tidak sah
nikah yang dipersaksikan oleh anak kecil dan orang gila. Anak kecil walaupun sudah pandai
(mumayyiz) tidak sah persaksiannya kepaada orang lain karena persaksian itu semacam
penguasaan (perwalian), anak kecil tidak mempunyai penguasaan terhadap dirinya apalagi
orang lain.
Abu Hanifah dan Syafi’I mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus orang-orang
yang merdeka, tetapi Ahmad juga mengharuskan syarat ini.Dia berpendapat akad nikah yang
di saksikan dua orang budak, hukumnya sah sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam
masalah-masalah lain, dan karena dalam al Qur’an maupun hadist tidak ada keterangan yang
menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah,
kesaksiannya tidak boleh di tolak.
4. Harus Orang Islam
12. Orang yang tidak beragama islam tidak sah menjdi wali atau saksi. Apabila masing-
masing dari suami istri beragama islam, tidak sah pernikahannya jika para saksi bukan dari
kalangan orang muslim karena kehadiran mereka tidak bermakna penghormatan terhadap
kedua pengantin yang muslim. Persaksian adaah semacam perwalian (penguasaan), tidak
ada penguasaan non muslim terhadap muslim.
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam
perkawinan bilamana pasangannya terdiri dari laki-laki dan perempuan muslim,apakah
saksinya harus beragama islam? juga mereka berbeda pendapat jika yang laki-lakinya
beragama islam, apakah yang menjadi saksi boleh orang yang bukan islam? Menurut Ahmad,
Syafi’I dan Muhammad bin Al-Hasan perkawinannya tidak sah, jika saksi-saksinya bukan
islam, karena yang kawin adalah orang islam, sedang kesaksian bukan orang islam terhadap
orang islam tidak dapat di terima. Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf berpendapat bila
perkawinan itu antara laki-laki muslim dan perempuan ahli Kitab maka kesaksian dua orang
Ahli Kitab boleh di terima. Dan pendapat ini di ikuti oleh undang-undang perkawinan mesir.
5. Jumlah saksi
Tidak sah akad nikah disaksikan seorang laki-laki atau seorang laki-laki satu dan
perempuan satu dan tidak sah pula akad disaksikan banyak orang perempuan kecuali di suatu
daerah yang khusus dihuni kaum wanita. Jumlah saksi minimal dua orang laki-laki atau satu
orang laki-laki dan dua orang perempuan, sehingga dalam akad yang disunnahkan adalah
adanya persaksian.
e. Syarat-syarat ijab qabul
Shighat akad memberi makna untuk selamanya. Artinya, tidak ada kata yang
menunjukkan pembatasan waktu dalam pernikahan, baik dinyatakan maupun tidak
dinyatakan, baik dalam masa yang lama maupun pada waktu yang pendek. Pernikahan yang
dibatasi dengan waktu adalah fasid (rusak), karena tidak bertujuan sebagaimana yang
dimaksud pernikahan syar’i, yakni pergaulan yang abadi, memperoleh keturunan dan
pendidikannya. Ia bermaksud dalam pernikahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan
sementara, masa pernikahan habis karena kebutuhannya telah habis, Misalnya, seorang laki-
13. laki berkata kepada seorang perempuan: “Aku nikahi engkau selama aku tinggal di negeri ini”.
Inilah yang disebut dengan nikah mut’ah.
Ijab dan Qabul merupakan syarat perkawinan Ijab Qabul ini dilakukan di dalam satu
majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan Qabul yang merusak kesatuan
akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan kabul dapat didengar dengan baik
oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang
terjemahannya adalah dari keduanya yaitu kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu
terdapat di dalam Sunnah dan Kitabullah. Demikian Asy-Syafi'i dan Hambali. Sedang Hanafi
membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari Al-Qur'an, misalnya menggunakan majaz
yang biasa digunakan dalam bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan. Akad nikah
itu wajib dihindari oleh dua orang saksi lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat (tidak buta),
mendengar (tidak tuli) dan mengerti tentang maksud akad nikah, dan juga adil. Saksi
merupakan syarat sah perkawinan.
Untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kedua belah pihak harus tamyiz
Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan belum tamyiz ( membedakan benar
dan salah), maka pernikahannya tidak sah.
2. Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh di
selingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat di anggap ada penyelingan yang
menghalangi peristiwa ijab dan qobul.
Tetapi dalam ijab dan qobul tak ada syarat harus langsung.Bilamana majlisnya
berjalan lama dan antara ijab dan qobul ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi
upacara ijab qobul, maka di anggap satu majlis.Sama dengan ini pendapat golongan hanafi
dan hambali.
4. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari
ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas.
14. Jika pengijab mengatakan: aku kawinkan kamu dengan anak perempuanku anu,
dengan mahar Rp 100 umpamanya, lalu qabul menyebut : aku menerima nikahnya
dengan Rp 200 maka nikahnya sah, sebab qabulnya memuat hal yang lebih baik (
lebih tinggi nilainya) dari yang di nyatakan pengijab.
Akad pernikahan adalah di antara semua akad dan transaksi yang mengharuskan saksi
menurut jumhur fuqaha’, hukumnya sah menurut syara’. Akad dan transaksi selain nikah,
persaksiannya sunnah menurut pendapat mayoritas fuqaha’. Perintah mendatangkan saksi
dalam jual beli hukumnya sunnah sebagaimana firman-Nya:
“Dan persaksikanlah ketika engkau berjual-beli.” (QS. Al-Baqarah (2) : 282)
Adapun tujuan persaksian adalah memelihara ingatan yang benar karena khawatir lupa.
Sedangkan persaksian dalam pernikahan hukumnya wajib karena beberapa alasan, di
antaranya yang paling penting adalah sebagai berikut:
a. Akad nikah menempati kedudukan yang agung dalam Islam dan dalam aturan
masyarakat untuk mengatur maslahat dunia dan agama. Oleh karena itu, patut
ditampakkan disiarkan, dan dipersaksikan khalayak ramai sebagai kehormatan
dan mengangkat derajatnya.
b. Persaksian mencegah tersiarnya isu yang tidak baik dan untuk memperjelas
perbedaan antara halal dan haram sehingga tidak ada tempat untuk
mengingkari pernikahannya.
c. Pernikahan berkaitan dengan banyak hukum yang pengaruhnya langgeng
sepanjang zaman seperti menetapkan keturunan, haramnya mertua, dan harta
warisan.
Kata-kata dalam ijab dan qabul
Di dalam melakukan ijab qabul haruslah di pergunakan kata-kata yang dapat di pahami
oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah sebagai menyatakan kemauan yang
timbul dari kedua belah pihakuntuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang
15. samara tau kabur. Jika kata-kata dalam ijab dan qabul dapat dig anti dengan kata-kata kiasan,
maka sahlah hukumnya, seperti halnya dengan menyatakan cerai dengan kata-kata kiasan.
Ijab qabul Bukan dengan Bahasa Arab
Para ahli fiqih sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa selain arab, asalkan
memang pihak-pihak yang berakat baik semua atau salah satunya tidak tahu bahasa arab.
Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak paham pahasa arab dan bisa
melaksanakan ijab qbulnya dengan bahasa ini.
Ibnu Qudamah dalam kitab mughni mengatakan bagi orang yang mampu mempergunakan
bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah menggunakan selain bahasa arab. Demikian salah
satu pendapat dari imam syafi’i.menurut imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah
menggunakan kata-kata tertentu yang di gunakan ijab qobul sebagaimana juga dalam bahasa
Arab
Ijab qabulnya Orang Bisu
Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat di mengerti, sebagaimana
halnya akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena isyarat itu mempunyai
makna yang dapat di mengerti. Tetapi kalau salah satu pihaknya tidak memahami isyaratnya,
ijab qabulnya tidak sah,sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang yang
bersangkutan itu saja.
Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)
Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi tetap mau melanjutkan
aqad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada pihak lainnya
meminta di akadnikahkan, dan pihak yang lain ini jika memang mau menerima hendaklah ia
menghadirkan para saksi dan membacakan isi suratnya kepada mereka atau menunjukkan
wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan kepada mereka di dalam majlisnya bahwa
akad nikahnya telah di terimanya. Dengan demikian qabulnya di anggap masih dalam satu
majlis.
E. WANITA-WANITA YANG DIHARAMKAN (MUHARAMAT)/ MAHRAM
Mahram adalah Orang yang tidak halal dinikahi ada 14 macam:
16. Tujuh orang dari pihak keturunan
1. Ibu dan Ibunya (nenek),ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas.
2. Anak dan cucu, dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak, atau seibu saja.
4. Saudara perempuan dari Bapak.
5. Saudara perempuan dari Ibu.
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya.
7. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya.
Dua orang dari sebab menyusu
1. Ibu yang menyusuinya
2. Saudara perempuan sepersusuan.
Lima orang dari sebab pernikahan.
1. Ibu istri (mertua)
2. Anak tiri, apabila sudah campur dengan Ibunya.
3. Istri anak (menantu)
4. Istri Bapak (Ibu Tiri)
5. Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu dua
perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perempuan yang bersaudara.
F. HAK-HAK SUAMI-ISTRI
Hak-hak Istri yang wajib dilaksanakan Suami adalah sebagai berikut:
1. Mahar
Mahar termasuk pengaruh harta yang penting dalam akad nikah. Pengertian mahar menurut
syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan
secara paksa sepesrti menyusui dan ralat para saksi. Dalil kewajiban mahar dari Al-Quran
adalah Firman Alloh:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai perempuan dengan
penuh kerelaan. (QS. An-Nisa’ (4): 4)
17. 2. Pemberian suami kepada Istri karena berpisah (mut’ah).
3. Nafkah, tempat tingal dan pakaian.
4. Adil dalam pergaulan.
Hak-hak Suami yang harus dipenuhi oleh Istri:
1. Mematuhi Suami
a. Taat kepada suami
b. Tidak durhaka kepada Suami
2. Memelihara kehormatan dan Harta Suami
3. Berhias untuk Suami
4. Menjadi Partner Suami
Hak-hak keduanya
1. Kehalalan Bersenang-senang (Bersetubuh)
2. Keharaman mertua
3. Saling mewarisi
4. Mu’asyarah dengan Baik
5. Keturunan dan Sandaran Keturunan kepada kedua orangtua
G. TALAK
Kata talak berasal dari bahasa Arab artinya menurut bahasa melepas tali ,
membebaskan dan melepaskan ikatan. Adapun talak menurut istilah syariat Islam ialah
melepaskan atau membatalkan ikatan pernikahan dengan lafadz tertentu (talak atau
sesamanya) yang mengandung arti menceraikan . Talak merupakan jalan keluar terakhir
dalam suatu ikatan pernikahan antara suami isteri jika mereka tidak terdapat lagi kecocokan
dalam membina rumah tangga. Menurut Imam Nawawi dalam bukunya Tahdzib, Talak adalah
tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian memutus nikah.
Definisi pertama lebih baik, karena secara lahir ada relevansi antara makna secara etimologi
dan syar’i sedangkan definisi kedua relevansinya jauh.
Tentang talak ini, Rasulullah bersabda :
18. و
قمالَِعو اهللا ىوَٰعا وعلمالمحَو اضمغِا
Artinya :
“Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Talak.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah dan dianggap shohih oleh Imam Al-Hakim)
Sebagaimana keharusan yang mesti ada pada bentuk-bentuk akad dan transaksi yang
lain, untuk keabsahan talak juga mesti memenuhi rukun dan syarat itu, berbeda pengertiannya
menurut pakar hukum Islam, namun konsekwensi yang ditimbulkan keduanya apabila tidak
terpenuhi dalam suatu akad atau transaksi, relative sama, yaitu tidak sahnya akad atau
transaksi tersebut.
Dalil disyaratkannya Talak adalah dalam AlQur’an , Alloh Berfirman :
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah (2) : 229)
Adapun Hukum Talak sendiri para Ulama berbeda pendapat. Pendapat yang lebih
benar adalah makruh jika tidak ada hajat yang menyebabkannya, karena talak berarti kufur
terhadap nikmat Alloh. Pernikahan itu adalah suatu nikmat dari beberapa nikmat Alloh,
mengkufuri nikmat Alloh Haram hukumnya. Talak tidak halal kecuali karena darurat , misalnya
suami ragu terhadap perilaku istri atau hati sang suami tidak ada rasa tertarik pada istri karena
Alloh Maha Membalikkan segala Hati. Jika tidak ada hajat yang mendorong talak berarti kufur
terhadap nikmat Alloh secara murni dan buruk adab terhadap suami, hukumnya makruh.
RUKUN TALAK
1. Suami yang menjatuhkan talak (Pencerai)
Hak talak hanya dimiliki oleh laki – laki karena ia lebih bisa mengendalikan emosi, dan
lebih sanggup memikul beban – beban kehidupan. Sehingga, seorang laki – laki tidak tergesa
– gesa ketika harus menjatuhkan talak kepada istrinya. Ia lebih bisa mendahulukan akal
daripada perasaan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :
و
علقوْلاعِ ومذمخمو ٲْمَعَ وق م
الوَِلو امَوَّعٳ
19. Artinya :
“ Talak itu hanyalah bagi yang mempunyai kekuatan (suami).” (HR. Ibnu Majah dan
Daruquthni)
2. Istri yang dapat di jatuhkan talak
Istri dikenai hukum talaq bila berada dalam empat keadaan.Pertama, benar – benar
ada hubungan pernikahan diantara keduanya (suami istri). Kedua, seorang istri masih berada
dalam masa iddah talak raj’i atau bainunah sughra. Ketiga, seorang istri berada dalam masa
iddah perceraian yang diakui oleh syari’at. Keempat, seorang istri berada dalam masa iddah
fasakh yang diakui oleh syari’at.
3. Kata-kata talak
Sighat talaq adalah lafal yang menyebabkan terputusnya hubungan pernikahan, baik
secara jelas (sharih) maupun sindiran (kinayah) dengan syarat harus disertai dengan adanya
niat. Namun demikian, tidak cukup hanya dengan niat saja, sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah SAW :
لمَ عيوَوَلعئَمزمَملَمَ ومو هللْوعٳ
.عِعَِاَمََمََمَاو ٲَوَمكمَمَ وْمَلمَملهمْفَّمعو ٲِعِ وتمثودمح
Artinya :
“Sesungguhnya Allah memberikan ampunan bagi umatku apa – apa yang terdetik di dalam
hati mereka, selama mereka ucapkan atau kerjakan.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Syarat Talak
Suami yang menceraikan istrinya disyaratkan :
- Telah dewasa.
- Berakal sehat.
- Atas kesadaran dan kehendak sendiri.
- Ucapan talak yang dikemukakannya berdasarkan kesadaran dan kesengajaan.
20. AKIBAT HUKUMNYA
Talak adalah menghilangkan atau memutuskan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya
Macam-macam talak:
1. Talak raj’i
Talak raj’i yaitu talak dimana suami masi mempunyai hak untuk merujuk kembali isterinya
Kategori talak raj’i adalahsebagai berikut:
a. Talak mati, tidak hamil
b. Talak hidup dan hamil
c. Talak mati dan hamil
d. Talak hidup dan tidak hamil
e. Talak hidup dan belum haid
2. Talak bain
Talak bain adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungnan suami isteri. Talak
bain terbagi menjadi dua bagian:
a. Talak bain shugra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas
suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada isteri bekas isterinya
itu.Yang termasuk dalam talak bain shugra ialah:
- Talak yang dijatuhkan suaminya pada isteri yang belum terjadi dukhul(setubuh)
- Khulu’
Hukum talak bain shugra:
- Hilangnya ikatan nikah antara suami dan isteri
- Hilangnya hak bergaul bagi suami isteri termasuk berkhalwat (menyendiri berdua-duaan)
- Masing-massing tidak saling mewarisi manakala meninggal
- Bekas isteri, dalam masa idah, berhak tinggal di rumah suaminya dengan berpisah tempat
tidur dan mendapat nafkah
- Rujuk dengan akat dan mahar yang baru
b. Talak bain kubra,
21. Adalah talak yang mengakibatkan hilangnnya hak rujuk pada bekas isteri, walaupun
kedua bekas suami isteri itu ingin melakukannya, baik di waktu idah atau sesudahnya. Yang
termasuk talak bain kubra adalah segala macam talak yang mengandung unsur-unsur
sumpah.
Hukum talak bain kubra
1. Sama dengan hukum talak bain shugra nomor 1, 2, dan 4.
2. Suami haram kawin lagi dengan istrinya, kecuali bekas istri telah kawin dengan laki-laki
lain.
I. KHULU’
Menurut fuqaha, khulu’ secara umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah
harta sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menembus diri agar
terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubara’ah maupun talak. Secara
khusus, yaitu talak atas dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-katakhulu’
(pelepasan) atau yang semakna seperti mubara’ah(pembebasan).
Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari
(ikatan) suaminya. Menurut ulama fiqih, khulu’ adalah istri memisahkan diri dari suaminya
dengan ganti rugi kepadanya. Hukumnya boleh, tetapi makruh seperti talak karena adanya
pemutusan talak yang diperintahkan syara’. Khulu’ diperbolehkan jika ada sebab yang
menuntut, seperti suami cacat fisik atau cacat sedikit pada fisik atau suami tidak dapat
melaksanakan kewajiban hukum-hukum Alloh, seperti persahabatan yang baik dan dalam
segala pergaulan. Jika disana tidak ada sebab yang menuntut khulu’ maka terlarang
hukumnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ahmad An-Nasa’i dari Abu Hurairah:
“Wanita yang khulu’ adalah wanita munafik. Para ulama’ menghukumi makruh”
J. MASA MENUNGGU (IDDAH)
Definisi Iddah menurut bahasa dari kata “al-‘udd” dan “al-ihsha” yang berarti bilangan
atau hitungan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu persatu dan jumlah
22. keseluruhan. Dalam istilah fuqaha’ iddah adalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi
suami lain.Iddah sudah dikenal sejak massa jahiliyyah dan hampir saja mereka tidak
meninggalkannya. Tatkala datang Islam ditetapkan Islam karena maslahat. Iddah diantara
kekhususan kaum wanita walaupun disana ada kondisi tertentu seorang laki-laki juga memiliki
masa tunggu, tidak halal menikah kecuali habis masa iddah wanita yang dicerai.
Iddah dimulai dari tanggal berpisah atau tanggal wafat suami. Iddah wanita tercerai adalah
tiga kali suci.
Hikmah Disyariatkan Iddah:
Mayoritas fuqaha’ berpendapat bahwa semua iddah tidak lepas dari sebagian maslahat yang
dicapai, yaitu sebagai berikut:
a. Mengetahui kebebasan rahim dari percampuran nasab.
b. Memberikan kesempatan suami agar dapat intropeksi diri dan kembali kepada istri
yang tercerai.
c. Berkabungnya wanita yang ditinggal meninggal suami untuk memenuhi dan
menghormati perasaan keluarganya.
d. Mengagungkan urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan terkumpulnya
kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian yang lama.
23. KESIMPULAN
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut
bahasa ‘nikah’ diartikan adh-dhamm (berkumpul atau bergabung) dan al ikhtilath
(bercampur). Menurut istilah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan
menurut hukum syariat Islam. Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan
dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang bukan mahram. Hukum nikah ada Lima:
1. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada
kejahatan (zina)
2. Sunnah, Bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-lain.
3. Mubah, bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk menikah
dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada
siapapun.
4. Makruh, Bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
5. Haram, Bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Hikmah pernikahan, Memelihara Gen Manusia. Pernikahan adalah tiang keluarga yang
teguh dan kokoh. Nikah sebagai perisai diri manusia. Melawan Hawa Nafsu.
Rukun dari nikah yaitu , Adanya kedua calon mempelai, Adanya Wali bagi wanita, Adanya
dua orang saksi, dan Adanya Akad.
Mahram adalah Orang yang tidak halal dinikahi ada 14 macam:
Tujuh orang dari pihak keturunan
1. Ibu dan Ibunya (nenek),ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas.
2. Anak dan cucu, dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak, atau seibu saja.
4. Saudara perempuan dari Bapak.
5. Saudara perempuan dari Ibu.
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya.
24. 7. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya.
Dua orang dari sebab menyusu
8. Ibu yang menyusuinya
9. Saudara perempuan sepersusuan.
Lima orang dari sebab pernikahan.
10. Ibu istri (mertua)
11. Anak tiri, apabila sudah campur dengan Ibunya.
12. Istri anak (menantu)
13. Istri Bapak (Ibu Tiri)
14. Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu dua
perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perempuan yang bersaudara.
Hak-hak suami-istri
6. Kehalalan Bersenang-senang (Bersetubuh)
7. Keharaman mertua
8. Saling mewarisi
9. Mu’asyarah dengan Baik
10. Keturunan dan Sandaran Keturunan kepada kedua orangtua
Kata talak berasal dari bahasa Arab artinya menurut bahasa melepas tali , membebaskan dan
melepaskan ikatan. Adapun talak menurut istilah syariat Islam ialah melepaskan atau
membatalkan ikatan pernikahan dengan lafadz tertentu (talak atau sesamanya) yang
mengandung arti menceraikan . Talak merupakan jalan keluar terakhir dalam suatu ikatan
pernikahan antara suami isteri jika mereka tidak terdapat lagi kecocokan dalam membina
rumah tangga.
Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari (ikatan)
suaminya. Menurut ulama fiqih, khulu’ adalah istri memisahkan diri dari suaminya dengan
ganti rugi kepadanya. Hukumnya boleh, tetapi makruh seperti talak karena adanya pemutusan
talak yang diperintahkan syara’.
25. Definisi Iddah menurut bahasa dari kata “al-‘udd” dan “al-ihsha” yang berarti bilangan atau
hitungan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu persatu dan jumlah keseluruhan.
Dalam istilah fuqaha’ iddah adalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami
lain.Iddah sudah dikenal sejak massa jahiliyyah dan hampir saja mereka tidak
meninggalkannya.