1. Waspada Depresi
Tanggal 7 april ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai hari kesehatan sedunia
dan di tahun ini WHO mengambil tema depresi. Berdasarkan riskesdas 2013, Sulawesi
Tenggara dan disaat bersamaan, Sulawesi Tengah ditetapkan sebagai provinsi dengan
angka gangguan mental emosional tertinggi di Indonesia (Riskesdas 2013).
Secara global, lebih dari 350 juta orang sedang mengalami depresi. Selain itu, depresi juga
merupakan faktor utama penyebab disabilitas dan merupakan beban besar dalam
pembiayaan kesehatan suatu Negara (WHO, 2017). Sementara itu, di Indonesia, hasil
Riskesdas 2013 menunjukkan terdapat 14 juta orang yang mengalami gangguan mental
emosional dengan gejala utama depresi dan kecemasan.
Mengenal Depresi
Depresi adalah salah satu gangguan kesehatan mental yang terjadi sedikitnya selama dua
minggu atau lebih yang memengaruhi pola pikir, perasaan, suasana hati (mood) dan cara
menghadapi aktivitas sehari-hari. Masalah-masalah tersebut dapat berkembang menjadi kronis
sehingga pada umumnya membuat penderinta nya menjadi tidak produktif. Bahkan dalam
tahap yang lebih parah, depresi dapat mendorong tindakan bunuh diri. Di tahun 2012, Setiap
satu menit terjadi minimal dua kasus bunuh diri di seluruh dunia. (WHO, 2012).
Depresi juga merupakan faktor pencetus berbagai penyakit seperti HIV, penyakit
kardiovaskular dan diabetes mellitus. Hal ini membuat depresi menjadi lebih kompleks.
Penderita depresi yang menunda berobat lebih dari 11 bulan akan mengalami keterlambatan
dalam proses pemulihannya.
Pendekatan Holistik
Depresi disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor sosial, psikologis dan biologis. Karena
disebabkan oleh multi faktor, penanganan depresi harus menggunakan pedekatan yang
holistik. Penanganan yang berfokus pada upaya kuratif (pengobatan) tidak akan mungkin
berjalan efektif. Upaya kuratif menelan biaya yang sangatbesardan memerlukan keterlibatan
banyak sumber daya manusia, seperti Dokter Jiwa, Psikiater, perawat jiwa dan tenaga
kesehatan lainnya.
Terdapat dua jalan dalam implementasi pendekatan holistik, yaitu kebijakan secara makro
dan mikro. Pendekatan secara makro melihat pada variable-variabel yang lebih besar yang
berpengaruh terhapdap kesehatan jiwa. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa
nutrisi, kondisi ekonomi termasuk peneyediaan lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan
menjadi faktor penentu kesehatan mental. Sebuah sistemik review menunjukkan
peningkatan kualitas perumahan dan ekonomi pada sebuah populasi menunjukkan
peningkatan kualitas kesehatan mental yang menjanjikan. Sebaliknya, kualitas pendidikan
yang rendah akan membatasi akses pada peningkatan kualitas hidup. Nutrisi, khususnya
peningkatan akses konsumsi yodium memiliki korelasi positif terhadap kualitas kesehatan
mental individu.
2. Pada pendekatan mikro, penguatan layanan primer dan ketersediaan dokter jiwa memegang
peranan yang sangat penting. Rendahnya jumlah pelayanan kejiwaan di Indonesia, yaitu
hanya 2% Rumah Sakit Umum dan 10% puskesmas yang memiliki pelayanan kejiwaan
(Kemenkes, 2011) tentu saja membuat akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa
menjadi terbatas. Persoalan lainnya terletak pada rendahnya jumlah dan distribusi tenaga
kesehatan seperti dokter jiwa,perawat jiwa dan psikolog. Sebagaiperbandingan, rasioDokter
jiwa dan penduduk di Jepang adalah 1 : 1000 sementara di Indonesia 1 : 500.000. Pemerintah
sebenarnya bisa “mengakali” masalah tersebut dengan mengimplementasikan UU nomor 18
tahun 2014 tentang kesehatan jiwa dengan menyelenggarakan pelayanan kesehatan jiwa
terintegrasi di puskesmas dan klinik pratama. Untuk itu, peningkatan kapasitas dokter dan
perawat di puskesmas dan klinik harus digalakkan secara massif.
Peranan Orang Tua
Usia muda termasuk remaja adalah salah satu kelompok usia yang berisiko mengalami
depresi. Depresi pada usia muda pada umumnya lebih sulit diatasi karena mereka cenderung
lebih tertutup. Akibatnya, depresi pada usia muda baru dapat terdeteksi ketika telah terjadi
penurunan produktivitas secara signifikan atau ketika mereka telah melukai diri bahkan
melakukan tindakan bunuh diri.
Studi terkini menunjukkan korelasi positif antara depresi dan sosial media. Ketidakmatangan
anak muda dalam menghadapi kemarahan, tindakan intoleransi dan berbagai komentar di
sosialmedia dapat memicu terjadinya depresi. Penggunaan sosialmediayang berlebihan juga
dapat menyebabkan hal yang sama.
Oleh karena itu, keterlibatan orang tua menjadi sangat esensial dalam penanggulangan
depresi. Orang tua perlu mendidik anaknya untuk mampu berpikir positif dan bijaksanadalam
menghadapi persoalan. Hubungan orang tua dan anak juga harus dibangun dengan baik,
sehingga orang tua dapat dijadikan tempat berdiskusi yang nyaman bagi anak.
dr. Rais Reskiawan
Dokter Internsip RS Madani Kota Palu