1. Sekilas Sejarah Prabu Kiansantang/Syeh Sunan Rohmat Suci
……
025 , .. KabarIndonesia - Godog adalah suatu daerah pedesaan yang indah dan nyaman
berjarak 10 km kearah timur dari kota Garut. Berada pada desa Lebakagung, kecamatan
Karangpawitan, kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal
dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci.
Hampir setiap waktu banyak masyarakat yang ziarah, apalagi pada bulan-bulan Maulud. Prabu
Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran
yang bernama prabu Siliwangi dari ibunya bernama Dewi Kumala Wangi. Mempunyai dua saudara
yang bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.
Prabu Kiansantang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran yang sekarang Kota Bogor. Pada usia 22
tahun tepatnya tahun 1337 masehi Prabu Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat
itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding
Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang
peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh
Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis
Bogor.
Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat
diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Jawa Barat. Prabu
Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan
kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Prabu
Kiansantang belum tahu darahnya sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan
kesaktiannya disejagat pulau Jawa.
Sering dia merenung seorang diri memikirkan, "dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat
menandingi kesaktian dirinya". Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya yaitu Prabu
Siliwangi supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya. Sang ayah memanggil para
ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat
menandingi Prabu Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya.
Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan
Prabu Kiansantang itu adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada
waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara goib dengan kekuasaan
Alloh Yang Maha Kuasa.
2. Lalu orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: "Kalau memang anda mau bertemu dengan
Sayyidina Ali harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung
kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih/
Suci). Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke
tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi.
Setiba di tanah Mekah beliau bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, namun
Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang
namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu: "Kenalkah
dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?" Laki-laki itu menjawab bahwa ia kenal, malah bisa
mengantarkannya ke tempat Sayyidina Ali.
Sebelum berangkat laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh
Galantrang Setra. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, "Wahai Galantrang
Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong ambilkan dulu." Semula Galantrang Setra
tidak mau, namun Sayyidina Ali mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan
Sayyidina Ali."
Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya
di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan, dikira
tongkat itu akan mudah lepas. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, malahan tidak sedikitpun
berubah. Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga
kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin.
Tetapi dari pada kecabut, malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan
keluar pulalah darah dari seluruh tubuh Galantrang Setra.
Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat
itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat. Tongkatpun
terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang
Setra merasa heran kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali
tubuhnya sehat.
Dalam hatinya ia bertanya. "Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu
tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan sekali, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak
menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam. Kemudian mereka berdua
berangkat menuju kota Mekah. Setelah tiba di kota Mekah, dijalan ada yang bertanya kepada laki-
laki itu dengan sebutan Sayyidina Ali. "Kenapa anda Ali pulang terlambat?”. Galantrang Setra kaget
mendengar sebutan Ali tersebut.
Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi namanya Sayyidina Ali. Setelah Prabu Kiansantang
meninggalkan kota Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran) dia terlunta-lunta tidak tahu
arah tujuan, maka dia berpikir untuk kembali ke tanah Mekah lagi. Maka kembalilah Prabu
Kiansantang dengan niatan akan menemui Sayyidina Ali dan bermaksud masuk agama Islam. Pada
tahun 1348 Masehi Prabu Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua puluh hari
sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk
menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Setibanya di Pajajaran dan bertemu
dengan ayahnya, dia menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta
pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah masuk
Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu
mendengar cerita anaknya yang mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, malahan
ajakannya ditolak. Tahun 1355 Masehi Prabu Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah,
jabatan kedaleman untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya
dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun
dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama
Islam, kemudian beliau kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Beliau berniat menyebarkan ajaran
agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran, disertai oleh Saudagar Arab yang punya niat
berniaga di Pajajaran sambil membantu Prabu Kiansantang menyebarkan agama Islam. Setibanya di
Pajajaran, Prabu Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena
ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya
dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam
di lingkungan Keraton Pajajaran.
Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya Prabu Kiansantang sudah kembali ke
Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja
mempunyai pikiran. "Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan istana keraton
Pajajaran". Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran
3. yang indah menjadi hutan belantara. Melihat gelagat demikian, Prabu Kiansantang mengejar
ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Prabu Kiansantang yang
langsung mendesak sang ayah dan para pengikutnya agar masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi
tetap menolak, malahan beliau lari ke daerah Garut Selatan ke salah satu pantai. Prabu Kiansantang
menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam.
Dengan rasa menyesal Prabu Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu
Siliwangi masuk kedalam gua, yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk. Prabu
Kiansantang sudah berusaha ingin meng Islamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi taufiq dan
hidayah kepada Prabu Siliwangi.
Prabu Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian dia membangun kembali kerajaan sambil
menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok daerah, dibantu oleh saudagar arab sambil berdagang.
Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada
akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek
moyangnya.
Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor. Pada tahun 1372 Masehi Prabu Kiansantang
menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuwan dan dia sendiri yang mengkhitanan orang yang masuk
agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Prabu Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran
menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Prabu Kiansantang tidak lama
menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang
sepi.
Dalam uzlah itu beliau diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT,
dalam rangka mahabah dan mencapai kema'ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih
tempat tafakur dari ke 3 tempat yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci
Garut. Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda
atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka
disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan
Rohmat. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda
putra tunggal Prabu Munding Kawati. Setelah selesai serah terima tahta kerajaan dengan Prabu
Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran.
Yang dituju pertama kali adalah gunung Ceremai. Tiba disana lalu peti disimpan diatas tanah,
namun peti itu tidak godeg alias berubah. Prabu Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung
Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Prabu Kiansantang memutuskan untuk
berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut peti itu disimpan diatas tanah
secara tiba-tiba berubah/ godeg.
Dengan godegnya peti tersebut, itu berarti petunjuk kepada Prabu Kiansantang bahwa ditempat
itulah, beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama
Makam Godog. Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang
disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km.
Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi
Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci
wafat ditempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam
Karamat Godog.