It's just a short reflection about photography and the Ignatian spirituality based on my own experiences, as an Indonesian Jesuit scholastic. Keep portraying God in all things, even in small things. Enjoy! Ad Maiora Natus Sum. AMDG :)
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
FOTOGRAFIIGNATIAN
1. PHOTOGRAPHY AND
THE IGNATIAN SPIRITUALITY
PAUL PRABOWO, S.J.
About Picturing God
Where do you find God in the world
around you? Do you encounter God in
nature, in the people around you, in a
church, in the beauty of the arts, the
disciplines of science, or the mundane
moments of daily life? All of these are
places where we can experience God’s
presence and grace.
Ignatian Spirituality.com
2. Kontemplasi dalam Aksi:
Memotret Kehidupan dengan Lensa Spirit Ignasian
Ignatian spirituality is a spirituality for everyday life.
It insists that God is present in our world and active in our lives.
It is a pathway to deeper prayer,
good decisions guided by keen discernment,
and an active life of service to others.
+Ihus. Gratitude! Dengan rasa syukur yang mendalam untuk dapat mengenal, memeluk serta belajar
menghayati spiritualitas Ignasian dengan setia, aku ingin mengungkapkannya secara sederhana dalam bentuk yang
lain: foto. Seiring menekuni hobi fotografi, aku mencoba merefleksikan serta memberi makna antara fotografi
dengan model penghayatan spiritualitas Ignasian. Beberapa foto yang kutampilkan dalam refleksi ini hanyalah
sebagian dari dokumen pribadi yang kukumpulkan dari berbagai kesempatan dengan kutipan dari beberapa tokoh.
Contemplativus simul In Actione (kontemplasi dalam aksi). Bagiku, ungkapan Jerome Nadal, S.J. (first theoretician
of Jesuit Spirituality, penerjemah pemikiran Ignatius) ini menjadi ekspresi yang mendasar untuk memotret banyak
pengalaman keseharian dengan lensa spiritualitas Ignasian yang selama ini coba kuhayati. Kontemplasi dalam Aksi
inilah yang menjadi basis refleksi serta titik berangkat permenunganku mengenai spirit Ignasian dan dunia
fotografi yang saling berhubungan satu sama lain. Tentu pertama-tama spiritualitas Ignasian bukan hanya milik
Jesuit, biarawan, imam atau para religius melainkan juga bagi semua orang beriman. Kontemplasi dalam aksi
mengandaikan kehendak dalam diri (id quod volo) untuk berusaha mencari dan melaksanakan kehendak Tuhan
dalam hidup sehari-hari serta mengusahakan yang ‘lebih’ (magis). Dengan kata lain, seakan ada kesatuan tak
terpisahkan antara hidup doa dan karya, dalam hidup keseharian kita diajak untuk mengorientasikan apa yang kita
kerjakan entah bagi sesama manusia atau ciptaan lain bagi kemuliaan Tuhan. Kobaran api spiritualitas Ignasian
berporos dan mengacu pada pengalaman rohani St. Ignasius Loyola sendiri, yang kemudian diwariskan dalam buku
Latihan Rohani (LR). Spiritualitas Ignasian bersandar pada LR, menolong manusia untuk menemukan Tuhan dalam
hidup sehari-hari dan menata hidup sedemikian rupa sehingga seturut kehendakNya. Sementara itu, spiritualitas
Jesuit tidak hanya terinspirasi pada LR semata, melainkan juga pada berbagai tradisi serta konstitusi Serikat Yesus
(Constitutions of the Society of Jesus). Semoga kita semakin mengenal, mencintai, dan mengikutiNya lebih dekat.
Ad Mariorem Dei Gloriam
Fotografi dan Mistik Mata Terbuka Ignasian (The Ignatian “Mysticism of Open Eyes”)
Mata tentu amat menentukan
dalam aktivitas memotret.
Dengan mata terbuka kita
mencoba melihat realitas
melalui viewfinder pada kamera
dan menentukan momen yang
akan difoto. Pater Pedro Arrupe,
S.J. dengan pembaharuannya
mengajakku untuk memohon
rahmat agar dapat memandang
dan mencintai dunia
(dengan segala kebutuhannya)
sebagaimana Yesus sendiri.
Membuka mata dan membuka
hati pada kebutuhan dan realitas
dunia yang terpecah
(the broken world).
In the end Jesus did not teach an ascending mysticism of closed eyes, but rather a God-mysticism with an
increased readiness for perceiving, a mysticism of open eyes, which sees more and not less.
3. It is a mysticism that especially makes visible all invisible and inconvenient suffering, and—convenient or not—
pays attention to it and takes responsibility for it, for the sake of a God who is a friend to human beings.
[Teolog Jerman, Johann Baptist Metz]
Fotografi dan Cinta (Rooted and Grounded in Love). Aku semakin yakin dan mengalami kebenaran bahwa inti dari
Spiritualitas Ignasian tidak lain adalah Cinta Tuhan yang menggerakkan...dalam retret Ignasian kita selalu mulai
menyadari kehadiran Tuhan dan karyanya atas hidup kita. Dalam fotografi, selain belajar mengenai teknik memotret
(skill), mengasah camera eye, intens dengan kamera yang dipakai, dan ‘jam terbang’ seseorang, satu hal yang
menggerakkanku adalah CINTA. Tampaknya mungkin romantic-dramatis, namun cinta sungguh memberi konteks dan
rasa bahagia pada apa yang sedang kupotret. Cinta memberi makna tidak sekadar pada minatku, tapi rasa syukur atas
hidup yang menjadi akar kerinduan dari dalam diri. Cinta membuat yang invisible menjadi visible.
“Nothing is more practical than
finding God, that is, than falling
in love in a quite absolute, final
way. What you are in love with,
what seizes your imagination,
will affect everything. It will
decide what will get you out of
bed in the morning, what you will
do with your evenings, how you
will spend your weekends, what
you read, who you know, what
breaks your heart, and what
amazes you with joy and
gratitude. Fall in love, stay in love
and it will decide everything.”
-Pedro Arrupe, S.J.
4. Fotografi dan Menemukan Tuhan dalam Segala (Finding God in all things).
Dalam mengasah pengalaman fotografi di beberapa kesempatan: hunting ke beberapa tempat, di jalanan
(street photography), bertukar ilmu, dan mengabadikan momen tertentu, aku semakin menyadari kehadiran
serta karyaNya yang indah dalam segala hal. Tuhan mengajariku untuk melihat realitas dunia dari perspektif
yang berbeda, melalui lensa Tuhan sendiri. What is His message for me through this captured moment?
We don’t have to withdraw from the world into a quiet place in
order to find God. God’s footprints can be found everywhere—in our
work and our relationships, in our family and friends, in our sorrows and
joys, in the sublime beauty of nature and in the mundane details of our
daily lives. It’s often said that Ignatian spirituality trains us to
“find God in all things.”
5. Fotografi dan Semangat ‘Lebih’ (Latin: Magis!)
Mediocrity has no place in the Ignatian Worldview. Melakukan sesuatu demi lebih besarnya kemuliaan Tuhan.
Semangat magis mengajariku untuk selalu berusaha menyelami sebuah gambar/foto sampai ke kedalaman (depth). Di
tengah dunia yang terpecah ini, tantangan terbesar adalah hidup dalam kedangkalan dan Ignasius sebaliknya memberi
inspirasi untuk berusaha mencari yang lebih mendalam. Duc in altum, bertolaklah ke tempat yang lebih dalam! (Luk 5:4)
Dengan demikian aku diajak untuk tidak sekadar jepret sana sini atau memperbanyak shutter count tanpa makna,
melainkan masuk ke dalam realita kehidupan itu sendiri serta mengambil sikap. Seorang kawan (bro. Jeff Pioquinto,
S.J.) pernah mengutip ungkapan menarik, “TRUE MAGIS is giving to others from our own death, building others from
own homelessness, healing others in spite our woundedness...For magis is generosity without a selfie."
6. Fotografi dan Panggilan
Fotografi bagiku bukan hanya hobi apalagi profesi,
melainkan panggilan. Perhatian pada fotografi
dapat bermuara pada hilangnya makna dan cinta
jika kita tidak melihatnya sebagai bagian dari
panggilan. Ya, sebuah panggilan untuk melihat
dunia dengan ‘mata’ yang baru dan dengan
demikian memuliakan Tuhan, pencipta kita.
Fotografi dan pesan yang terangkum di dalamnya
menantang dan memanggilku untuk melihat
realitas dari sudut pandang yang berbeda.
Ya...mengambil jalan yang tidak banyak dilalui
orang, membuat hidup menjadi bermakna bagi
banyak orang. Sebagaimana hidup ini, orang
memiliki kebebasan dalam menentukan hidup dan
mengarahkan diri bagaimana ia ingin menghayati
hidupnya. Sarana dipakai sejauh membantu dan
ditinggalkan sejauh merintangi tercapainya tujuan.
Fotografi buatku menjadi sarana (bdk. Latihan
Rohani no. 23) dalam mencapai tujuan manusia
diciptakan, yakni memuji, menghormati serta
mengabdi Allah.
Pater Joseph Tetlow, S.J. mengatakan bahwa
penyusunan kata “memuji, menghormati dan
akhirnya mengabdi” ini mengungkapkan suatu
gerakan dari disposisi ke aksi.
7. Fotografi dan Kontemplasi Mendapatkan Cinta (Contemplatio Ad Amorem).
“Cinta itu lebih diwujudkan dengan perbuatan daripada diungkapkan dengan kata-kata” (LR. 230)
Sebagaimana spiritualitas tak berhenti
mengalir hanya pada pemahaman
teoretis akal budi, memahami konsep
tentang Cinta Tuhan yang abstrak, atau
pengalaman merasa dicintai (yang
mandeg)…spiritualitas sebaliknya masuk
ke dalam celah-celah jiwa, mendorong
orang mengintegrasikannya dalam aksi
konkret keseharian.
Latihan Rohani tidak untuk
bacaan rohani atau dihapal tapi perlu
adanya latihan (exercise). Fotografi: bisa
karena biasa! Aku perlu terus belajar,
latihan untuk menangkap momen
rahmat setiap saat dan terbuka pada
peristiwa/pengalaman serta mencecap
karyaNya di tengah dunia. Tidak ada
jalan yang mudah untuk belajar
bagaimana memotret yang baik
ketimbang memegang kamera dan terus
belajar memotret. Kita tidak dapat hanya
belajar fotografi dengan membaca buku
di rumah tanpa masuk dan terbenam
dalam realitas, praktik, serta masuk dalam pengalaman mengambil suatu gambar. Seeing and loving the world as Jesus
did! Memandang dan mencintai dunia sebagaimana Ia sendiri memandang dan mencintai dunia…
8. Fotografi dan Discernment.
Discernment sebagai suatu latihan dalam tradisi
Kristiani menjadi bagian penting dalam proses membuat
keputusan yang menghormati dan memberi tempat bagi
kehendak Tuhan dalam hidup kita. Life is a bundle of
choices and decisions. Hidup harian kita dirajut dengan
serangkaian pilihan dan keputusan, sekecil apapun itu.
Kita semua membuat keputusan namun tidak semua
keputusan kita adalah hasil dari diskresi.
Sepanjang latihan orang mengalami berbagai gerak roh
dan belajar membedakan gerak batin (las mosciones-
movement of the heart) itu sebagai unsur penting dalam
proses membuat keputusan serta penegasan. Maka
orang harus belajar merasakan dan mengenal berbagai
gerak yang timbul di dalam jiwa.
Dalam fotografi, kita tidak hanya akan memotret secara
sembarangan. Kita memotret dengan suatu tujuan.
Setiap kali mengambil gambar, aku selalu menimbang
dan melihat gerak batin apakah saya sedang mengambil
gambar yang mengarah pada komitmen terhadap
kemanusiaan, keindahan atau pesan tertentu berikut
dengan komposisi maupun angle yang menyentuh. Di
saat yang bersamaan lahir kebebasan batin yang timbul
dari kesadaran diri dan proses diskresi. Pesan apa yang
ingin kusampaikan dalam gambar sehingga lebih
berbuah bagi jiwa, membuat orang melihat kemuliaan
Tuhan (yang) terpancar dan bersyukur atasnya.
9. Fotografi dan Panggilan Wajah Manusia
«Gloria enim Dei vivens homo, vita autem hominis visio Dei » demikian ungkapan St. Irenaeus. For the glory of God is a
living human being ; and human life consists in the vision of God. Kemuliaan Tuhan sungguh terpancar dalam diri
manusia yang sungguh sepenuhnya hidup dalam visi Tuhan. Aku merasa sungguh bersyukur atas anugerah hidup dan
setiap kali memotret wajah (portrait) seakan semakin memanggilku untuk mengarah untuk memanusiakan manusia
lain, menyampaikan pesan perdamaian, kegembiraan, menghargai keberlainannya serta bertanggungjawab akan
kehidupan itu sendiri.
10. “A portrait is not made in the camera but on
either side of it.” – Edward Steichen
11. Faith that does justice – the
realization that there can be no
true expression of faith where
concerns for justice and human
dignity are missing.
[Paul Brian Campbell, S.J.]
12. “Ambilah, ya Tuhan dan terimalah, seluruh kemerdekaanku, ingatanku, pikiranku dan segenap kehendaku,
segala kepunyaan dan milikku. Engkaulah yang memberikan, pada-Mu Tuhan kukembalikan. Semuanya milik-
Mu, pergunakan sekehendak-Mu, berilah aku cinta dan rahmat-Mu, cukup itu bagiku.” (LR. 234)
13. Ketika aku memandang Surga, aku melihat
keindahan…Ketika memandang indahnya ciptaan,
aku mengagumi Yang Ilahi. How great Thou Art
Aku memandang wajahNya…
Ya…bersyukur dan mengabadikan momen yang
memberi daya gerak menuju rekonsiliasi pada
semesta dan pada Sang Creator Agung…
BEAUTY
”Beauty can be seen in all things, seeing and composing the
beauty is what separates the snapshot from the photograph.”
– Matt Hardy
14. ”Beauty can be seen in all things, seeing and composing the beauty is what separates the
snapshot from the photograph.” – Matt Hardy
“It’s one thing to make a picture of what a person looks like, it’s another thing to make
a portrait of who they are.” - Paul Caponigro
15. “If you see something that moves you, and then snap it, you keep
a moment.” – Linda McCartney
“Photography is the story
I fail to put into words.”
- Destin Sparks
16. It seeks to find the divine in all things-in all
peoples and cultures in all areas of study and
learning, in every human experience, and (for
the Christian) especially in the person of Jesus.
- George W. Traub, S.J.
17. Fotografi dan semangat Man For Others. Bagiku, fotografi memang tidak mudah namun
aku sungguh belajar banyak dari para sahabat yang dengan murah hati berbagi ilmu.
Semangat berbagi dan hidup tidak hanya bagi diri sendiri (ego) inilah yang memberiku
inspirasi. Kita disatukan sebagai sahabat (friends in the Lord) apa pun etnis, budaya, agama,
status, warna kulit kita. Kita dipanggil sebagai sahabat bagi dan bersama dengan yang lain.
En Todo amar y servir - Dalam segala mencintai dan melayani. Men and Women for others.
18.
19. Fotografi dan sikap lepas bebas.
‘Indifference‘ yang dimaksudkan
oleh St. Ignatius adalah sikap batin untuk
bertumbuh dalam kebijaksanaan
adikodrati, yaitu kebajikan untuk
memilih sarana/cara yang terbaik demi
mencapai tujuan akhir. Dengan sikap
iman yang terbuka, pengenalan diri yang
utuh, kita membiarkan diri digerakkan
oleh Allah untuk memilih sarana yang
terbaik untuk mewujudkan rencana-Nya,
menyempurnakan kita dalam kasih.
Dengan kata lain, kita
menggunakan sarana sejauh membantu
mengarahkan sampai tujuan, dan
meninggalkannya sejauh merintangi.
Oleh karena itu, aku diajak untuk tidak
lekat (attach) pada sesuatu, siap sedia
untuk diutus dan mengejar kerinduan
menuju kebebasan batin (interior
freedom) itu sendiri.
Dalam fotografi aku juga perlu
berlatih lepas bebas, terbuka pada situasi
apa pun, tidak terikat atau lekat pada
sarana, pada objek, obsesi, rasa perasaan
tertentu yang justru mengikat kebebasan
hati yang berekspresi dan berefleksi.
Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak
dihidupi, demikian kata Socrates.
Pertanyaannya kukira bukan lagi untuk apa
aku hidup, melainkan hendak bagaimana
aku menjalani hidup ini dan apakah itu
mengandung makna bagi yang lain ?
Sebagaimana menghayati
tegangan dalam hidup, fotografi
pun ibarat suatu SENI. Suatu
komposisi yang ditata dengan epic,
dilukis dengan warna-warna
cahaya (flash, posisi matahari, ISO,
WB, dsb), depth of field,
menghitung kecepatan rana
(shutter speed), dan menimbang
bukaan diafragma (aperture). Tidak
ada patokan umum yang jelas
tegas, disinilah mengalir derasnya
kebebasan dari dalam. Momen
setelah mengambil suatu gambar
itulah yang bagiku menjadi titik
hening dan titik renung terdalam:
menilik kembali apa yang terjadi
dan menimbang buah-buahnya…
20. “Sometimes I do get to places just when God’s ready to have somebody click the shutter.” – Ansel Adams
21. “Photography for me is not looking, it’s feeling. If you can’t feel what you’re looking at, then you’re
never going to get others to feel anything when they look at your pictures.” – Don McCullin
Manusia
Latihan Rohani
Bersama dengan inspirasi “ayudar
a las almas” (membantu jiwa-jiwa)
di Manresa, pengalaman Ignatius
di La Storta “Ego vobis Romae
propitious ero” sering menjadi
acuan dalam menjelaskan corak
kerohanian rasuli Serikat:
membantu sesama karena
disatukan mendalam dengan
Kristus yang memanggul salib.
Dalam fotografi, model misteri
inkarnasi (penjelmaan) dan cara
bertindaknya perlu ada dalam roh
yang sama. Teori dan keterampilan
abstrak teoretis dimanifestasikan
dan disatukan secara konkret ke
dalam dunia-kehidupan sekitar.
Kita mohon rahmat agar dalam
segala aktivitas, kita senantiasa
dibantu untuk dapat semakin
mengenal, mencintai, dan
mengikutiNya…dipanggil untuk
menjadi manusia Latihan Rohani.
22. “Bermainlah dalam permainan tetapi janganlah
main-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi
permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan
permainan terletak dalam ketidaksungguhannya,
sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah
sungguh lagi. Mainlah dengan eros, tetapi janganlah
mau dipermainkan eros. Mainlah dengan agon tetapi
jangan mau dipermainkan agon. Barang siapa
mempermainkan permainan, akan menjadi
permainan permainan. Bermainlah untuk bahagia
tetapi janganlah mempermainkan bahagia.”
- N. Driyarkara, S.J.
23.
24.
25. Setelah sedikit merefleksikan pengalaman
belajar fotografi dan mendalamai spiritualitas
Ignasian, refleksiku ini akan menjadi sebuah
langkah awal untuk sebuah transformasi terus
menerus (on going formation). Aku sungguh
bersyukur bahwa aku sungguh dibentuk oleh
Tuhan sendiri melalui perjumpaan dengan
sesama maupun peristiwa hidup harian. Mistik
hidup sehari-hari! Bagiku, spiritualitas menjadi
nyata dan dirasakan dayanya, bertumbuh dan
berbuah tidak semata-mata dalam hal-hal
besar. PROSES. Bagaimana mungkin seseorang
dapat berkata: Tuhan, Tuhan dan mengatakan
Ia mencintai Tuhan yang tak kelihatan, jika
sesamanya yang kelihatan di sekitarnya tidak
dikasihinya. Semoga dengan demikian, kita
semua sungguh mampu berziarah menemukan
kehendak Tuhan atas diri kita melalui panggilan
hidup masing-masing, “to be a contemplative in
actions is to contemplate (or find) God in our
daily lives, in our activity.”
Demi kemuliaan Allah yang lebih besar, AMDG
[Hari Raya Paskah 2014]