1. Essai Novel “Layar Terkembang”
Emansipasi Wanita
Oleh : Nova Sari Nursa’adah
Layar Terkembang adalah novel besutan Sutan Takdir Alisyahbana yang
keberadaannnya cukup terkenal di era Pujangga Baru. Banyaknya Romansa dan
pengorbanan cinta yang membuat novel ini banyak diminati, khususnya remaja pada
saat itu. Nama angkatan Pujangga Baru diambil dari sebuah nama majalah sastra yang
terbit tahun 1933. Majalah itu bernama Pujangga Baroe. Majalah Pujangga Baru
dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane.
Keempat tokoh tersebutlah sebagai pelopor Pujangga Baru.
Angkatan Pujangga Baru disebut Angkatan Tiga Puluh. Angkatan
ini berlangsung mulai 1933 – 1942 (Masa penjajahan Jepang). Karya-karya sastra yang
lahir dalam angkatan ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan
tidak terikat dengan tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Di samping itu, kebudayaan yang dianut masyarakat adalah kebudayaan dinamis.
Kebudayaan tersebut merupakan gabungan antara kebudayaan barat dan kebudayaan
timur sehingga sifat kebudayaan Indonesia menjadi universal.
Genre prosa Angkatan 33 (Pujangga Baru) berupa:
Roman pada angkatan 33 ini banyak menggunakan bahasa individual, pengarang
membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri, pelaku-pelaku hidup/ bergerak,
pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana pikiran pelaku- pelakunya,
mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan pelaku-pelakunya. Dengan kata lain, hampir
semua buku roman angkatan ini mengutamakan psikologi.
Isi roman angkatan ini tentang segala persoalan yang menjadi cita-cita sesuai dengan
semangat kebangunan bangsa Indonesia pada waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial,
filsafat, agama, kebudayaan.Di sisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis.
Contoh roman pada angkatan ini, yaitu Belenggu karya Armyn Pane (1940) dan
Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana.
Kalangan Pujangga Baru (angkatan 33) tidak banyak menghasilkan novel/cerpen.
Beberapa pengarang tersebut, antara lain:
1. Armyn Pane dengan cerpennya Barang Tiada Berharga dan Lupa.
Cerpen itu dikumpulkan dalam kumpulan cerpennya yang berjudul
Kisah Antara Manusia (1953).
2. 2. Sutan Takdir Alisyahbana dengan cerpennya Panji Pustaka.
Sesuai dengan persatuan dan timbulnya kesadaran nasional, maka essay pada masa
angkatan ini mengupas soal bahasa, kesusastraan, kebudayaan, pengaruh barat, soal-soal
masyarakat umumnya.Semua itu menuju keindonesiaan. Essayist yang paling produktif
di kalangan Pujangga Baru adalah STA..
Angkatan 33 menghasilkan drama berdasarkan kejadian yang menunjukkankebesaran
dalam sejarah Indonesia. Hal ini merupakan perwujudan tentang anjuran mempelajari
sejarah kebudayaan dan bahasa sendiri untuk menanam rasakebangsaan. Drama
angkatan 33 ini mengandung semangat romantik dan idealisme, lari dari realita
kehidupan masa penjjahan tapi bercita-cita hendak melahirkan yang baru.
Contoh:
Sandhyakala ning Majapahit karya Sanusi Pane (1933)
Ken Arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin (1934)
Isi puisi angkatan 33 ini lebih memancarkan peranan kebangsaan, cinta kepada tanah air,
antikolonialis, dan kesadaran nasional. Akan tetapi, bagaimanapun usahanya untuk
bebas, ternyata dalam puisi angkatan ini masih terikat jumlah baris tiap bait dan nama
puisinya berdasarkan jumlah baris tiap baitnya, seperti distichon (2 seuntai), terzina (3
seuntai), kwatryn (4 seuntai), quint (5 seuntai), sektet (6 seuntai), septima (7 seuntai),
oktav (8 seuntai). Bahkan, ada juga yang gemar dalam bentuk soneta. Hal
tersebut tampak dalam kumpulan sanjak:
Puspa Mega karya Sanusi Pane
Madah Kelana karya Sanusi Pane
Tebaran Mega karya STA
Buah Rindu karya Amir Hamzah
Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah
Percikan Pemenungan karya Rustam effendi
Rindu Dendam karya J.E. Tatengkeng
Tokoh yang terkenal sebagai raja penyair Pujangga Baru dan Penyair Islam adalah Amir
Hamzah. Kumpulan sanjaknya adalah Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, dan Setanggi Timur.
Dengan demikian, ciri-ciri angkatan 33 ini yaitu:
(1). Tema utama adalah persatuan.
(2). Beraliran Romantis Idialis.
3. (3). Dipengaruhi angkatan 80 dari negeri Bewlanda.
(4). Genre sastra yang paling banya adalah roman, novel, esai, dan sebagainya.
(5). Karya sastra yang paling menonjol adalah Layar Terkembang.
(6). Bentuk puisi dan prosa lebih terikat oleh kaidah-kaidah.
(7). Isi bercorak idealisme
(8). Mementingkan penggunaan bahasa yang indah-indah.
Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Tapanuli 11 Februari 1908. Ia pernah bekerja
sebagai redaktur kepala di Balai Pustaka pada tahun 1930. Keahliannya dalam
mengarang novel, essai, pangarang tata bahasa, ahli filsafat dan politikus membuat
dirinya dikenal pada zamannya. Dalam penulisannya ia selalu membahas tentang
eksistensialisme suatu karya sastra. Layar Terkembang sering disebut sebagai salah satu
puncak novel Pujangga Baru . Novel STA yang paling terkenal ialah Layar Terkembang,
suatu novel bertendens yang sejelas-jelasnya.
Kumpulan Karya Sutan Takdir Alisyahbana antara lain :
* Tak Putus Dirundung Malang [ Novel Karya 1929 ]
* Dian Tak Kunjung Padam [ Novel Karya 1932 ]
* Tebaran Mega [ Kumpulan Sajak Karya 1935 ]
* Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia [ Karya Tahun 1936 ]
* Layar Terkembang [ Novel Karya 1936 ]
Seperti Halnya Kebanyakan Tokoh Sastra Yang Sejaman Dengan Sutan Takdir
Alisyahbana, Bakat Dan Kecintaan Mereka Terhadap Bahasa Juga Membuat Mereka
Menterjemahkan Beberapa Buku Berbahasa Asing Kedalam Bahasa Indonesia,
Tidak Mengherankan Jika Cerita Dan Riwayat Sutan Takdir Alisyahbana Kemudian
Dibukukan. Sebagai Tokoh Yang Memiliki Banyak Kharisma Dan Banyak Dibutuhkan
Referensi Sejarahnya. Buku Yang Menulis Tentang Sutan Takdir Alisyahbana :
* S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908 – 1994 [ Oleh
Muhammmad Fauzi, 1999 ]
* Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir
Alisjahbana [ Oleh S. Abdul Karim Mashad, 2006 ]
4. Karir Politik Dan Berorganisasi Pun Tidak Dapat Dikatakan Sedikit, Menjadi
Anggota Parlemen Dari Periode 1945 Sampai Tahun 1949 Dari Partai Sosialis
Indonesia, Anggota Komite Nasional Indonesia, Menjadi Anggota Konstituante Sejak
1950 Sampai dengan Tahun 1960 Juga Pernah Dijabatnya.
Selain Itu, pernah Juga Menjadi Anggota Societe De Linguitique De Paris Sejak
Tahun 1951, Anggota Commite Of Directors Of The International Federation Of
Philosophical Sociaties [ 1954 - 1959 ], Anggota Board Of Directors Of The Study
Mankind, AS Sejak Tahun 1968, Anggota World Futures Studies Federation, Roma
Sejak Tahun 1974, Dan Anggota Kehormatan Koninklijk Institute Voor Taal, Land En
Volkenkunde, Belanda Sejak Tahun 1976.
Novel Layar Terkembang ini mengisahkan perjuangan wanita Indonesia dalam
mencapai cita-citanya. Roman ini termasuk novel modern disaat sebagian besar
masyarakat Indonesia masih dalam pemikiran lama (1936). Novel ini banyak
memperkenalkan masalah wanita Indonesia dengan benturan-benturan budaya baru,
menuju pemikiran modern. Hak-hak wanita, yang banyak disusung oleh budaya modern
dengan kesadaran gender, banyak diungkapkan dalam novel ini dan menjadi sisi
perjuangannya seperti berwawasan luas dan mandiri. Didalamnya juga banyak
memperkenalkan masalah-masalah baru tentang benturan kebudayaan antara barat dan
timur serta masalah agama.
Layar terkembang adalah novel tipis, hanya 166 halaman. Romansa di dalamnya
pun tak terlalu istimewa. Kisah cinta segitiga antara Yusuf, Maria, dan Tuti mudah
ditebak akhirnya. Kematian Maria di akhir cerita bukanlah alasan bagi pembaca untuk
berkaca-kaca. Tak ada pendalaman tokoh, plotnya pun amat sederhana. Tapi semua
orang tahu, novel yang terbit pada 1936 ini memiliki peran penting dalam pembangunan
karakter kebangsaan pada awal-awal pembentukan bangsa. Kisah cinta segitiga hanyalah
sampiran untuk mendukung ide-ide tegas yang ingin ia sampaikan. Meski Takdir lebih
dulu dikenal sebagai seorang sastrawan, banyak yang meyakini Takdir hanya
menjadikan sastra sebagai sebuah media untuk menerangkan buah pikir dan filsafatnya
agar lebih mudah diterima masyarakat.
Ada seorang pemuda bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi
Kedokteran di Jakarta. Tuti dan Maria berjumpa dengannya di pasar ikan ketika sedang
asyik melihat-lihat akuarium. Diam-diam Yusuf jatuh hati kepada Maria, gadis yang
wajahnya selalu ceria dengan bibir yang selalu tersenyum itu memancarkan semangat
hidup yang dinamis.
Saat Yusuf hendak pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka, ia bertemu kembali
dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Dengan senang hati dia mengawani
keduanya berjalan-jalan. Semenjak itu, pertemuan Yusuf dengan Maria menjadi kerap.
5. Sedang Tuti sibuk oleh berbagai kegiatan organisasi. Tuti memiliki cita-cita memajukan
kaumnya. Setelah memperoleh restu dari kedua orang tuanya di Martapura, Yusuf
menyusul Maria ke Bandung. Di sanalah, di sekitar air terjun Dago, Yusuf menyatakan
cintanya kepada Maria. Dan perjalanan cinta antara Yusuf dan Maria pun bermula,
serupa kapal dengan layar terkembang mengarungi samudera kehidupan. Dan Tuti yang
kian sibuk dengan buku-bukunya, diam-diam mendamba kehangatan cinta seperti yang
tengah dirasa Yusuf dan Maria.
Tuti teringat pada Supomo. Lelaki itu pernah berkirim surat cinta kepadanya.
Namun, Tuti belum memberi jawaban kepadanya. Pada saat Maria jatuh sakit, adik
Supomo datang menagih jawaban dari Tuti untuk kakaknya. Tuti menjadi bimbang.
Meskipun sesungguhnya gadis itu tengah mendamba cinta kasih dari seorang lelaki,
Supomo bukanlah lelaki yang didambanya.
Penyakit Maria kian parah. Ia mulai menyerahkan segalanya pada Yang Kuasa.
Pada suatu ketika, Tuti pergi bersama Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di
pedesaan. Ia melihat betapa kedua pasangan itu, meski hidup di desa dengan bercocok
tanam, tetapi mampu menanamkan pentingnya pendidikan pada masyarakat di
sekitarnya. Tuti menyadari, bahwa untuk menjadi berguna bagi masyarakat, tak harus di
kota sibuk dengan berbagai oraganisasi. Hubungan Tuti dan Yusuf pun menjadi kian
karib. Sedang kondisi Maria bertambah semakin parah. Pada ketika itulah, Maria
mengucap pesan kepada keduanya. Adapun pesan Maria kepada Tuti ialah Alangkah
bahagianya saya di akhirat nanti, kalu saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun
dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya beberapa dalam beberapa hari in.
Inilah permintaan saya yang penghabisan, dan saya, saya tidak rela selama-lamanya,
kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain. Dan
mengakibatkan Tuti dan Yusuf yang bersatu.
Adapun nilai moral dan nilai yang dapat diambil bagi pembaca yang terdapat
dalam novel ini ialah saling menghargai dan harus menyeimbangkan antara kepentingan
pribadi dan kepentingnan umum. Dan cara meyetarakan gender tidak hanya dengan
berorganisasi namun juga dengan bersosialisasi dan mengerjakan sesuatu secara
bersamaan dan saling membantu antara pria dan wanita.
Kehidupan manusia seperti layar yang senantiasa harus berkembang untuk
menjalankan roda-rodanya. Antara cinta dan pekerjaan posisinya juga haarus seimbang.
Tidak ada yang lebih diprioritaskan atau lebih dipentingkan dari keduanya. Apabila cinta
tidak berjalan dengan mulus, jalan satu-satunya adalah kita harus rela berkorban untuk
menjalankan semua itu. Kehidupan manusia juga tak ubah hanya rencana Tuhan, tidak
selalu berjalan dengan mulus.
6. Emansipasi wanita merupakan gerakan yang dilakukan kaum hawa sebagai
persamaan derajat antara wanita dan pria, dalam kaitannya tokoh Tuti dalam novel Layar
Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dengan karakter pendiam, teguh pendirian,
dan organisatoris. Kaum wanita yang selalu dianggap rendah oleh laki-laki, dengan
hadirnya tokoh imajiner Tuti. Tuti mencoba untuk melawan bahwa wanita tidak harus
selalu mengalah, maka ada sebuah kalimat menentang kepada bangsa dan kaum laki-laki
dalam pidatonya. Segala sifat, segala kecakapan diarahkan menuju perkawinan, menuju
pekerjaan mengabdi pada laki-laki (hal. 46).
Kaum wanita sangat tidak ada artinya di mata kaum laki-laki. Maka dengan sebuah
karakter tokoh Tuti. Sutan Takdir Alisjahbana mencoba ingin melawan paradigma
terbalik bangsa kita, khususnya kaum laki-laki yang selalu memperlakukan wanita tidak
bedanya dengan benda mati yang bisa diotak-atik semaunya.
Maka sangat menarik untuk kita kaji bersama tokoh imajiner Tuti yang mempunyai
adik kandung namanya Maria. Mereka anak Raden Wiriatmaja, bekas wedana di daerah
Banten, yang pada ketika itu hidup pensiunan di Jakarta Bersama kedua anaknya itu.
Kedua saudara kandung antara Tuti dan Maria mempunyai perbedaan yang sangat
mencolok, dengan gambaran awal yang digambarkan seorang pengarang bahwa maria
yang gampang kagum pada suatu hal dan dia sendiri belum tau hakikatnya. Sedangkan
Tuti. Segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, sebabab ia jarang memuji
(hal. 3). Itulah kalimat pengarang untuk menggambarkan karakter tokoh Tuti.
Emansipasi wanita yang dulu pernah dideklarasikan oleh Raden Ajeng Kartini
membuka cakrawala imajinasi tersendiri bagi seorang pengarang untuk merangkai kata
menjadi sebuah karya sastra, dalam hal ini adalah Novel Layar Terkembang Karya Sutan
Takdir Alisjahbana (STA). Mencoba mendobrak paradigma terbalik masyarakat tentang
seorang wanita yang selalu dianggap sebagai tawanan dalam penjara, tidak bisa bergerak
semau kata hatinya, mereka selalu dituntut laki-laki (suaminya) untuk menuruti apa yang
dia inginkan. Sehingga STA memunculkan tokoh imajiner Tuti dalam novelnya sebagai
bentuk keritikan kepada bangsa, budaya, dan laki-laki khususnya. Maskipun STA sendiri
seorang laki-laki, dia tidak mendekotomiskan antara laki-laki dan wanita, tapi siapa yang
melakukan tindakan merugikan itulah yang salah.
Maka emansipasi wanita harus di tegagkan di berbagai penjuru bangsa, sebagai
pemahaman kepada kaum hawa yang masih tertindas atau belum merdeka karena kaum
laki-laki. Jadi STA memunculkan suatu konsep baru dalam novelnya untuk merefolusi
perbedaan yang sengaja dianut kaum laki-laki untuk memperlakukan wanita sebagai
budak, dan laki-laki adalah rajanya.
Kemudian dihadirkannyalah tokoh Tuti anak Raden Wiriatmaja dengan umur dua
puluh lima tahun yang menjadi organistoris penggerak emansipasi, sehingga dalam
pidatonya ada bentuk perlawanan yang dimunculkan.
7. “Hitam, hitam sekali penghidupan permpuan bangsa kita di masa yang silam, lebih
hitam, lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki
yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri,
perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan
melahirkkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-tingginya ia
menjadi perhiasan, menjadi permainan yang dimulia-muliakan selagi disukai, tetapi
dibuang dan ditukar apbila telah kabur cahayanya, telah hilang serinya” (hal. 41).
Potongan pidato Tuti diatas menyindir kaum laki-laki dengan bentuk perlakuanya
yang terkadang memposisikan kaum wanita adalah orang terpuji ketika seorang laki-laki
membutuhkannya, tapi katika kebutuhannya selesai seorang laki-laki akan mencari yang
lain dan akan membuangnya kembali jika sudah bosan. Lantas bagi kaum laki-laki apa
arti seorang wanita kalau tak ubahnya dengan sebuah sepatu, sudah bosan atau rusak
dibuang lalu beli yang lain. Kesenjangan itulah yang dicoba ditentang oleh Tuti.
Jadi kesimpulannya perkembangan zaman membuat gerakan emansipasi banyak
dilakukan oleh wanita-wanita di Indonesia. Tidak sedikit wanita yang mencetak prestasi
dan mampu mengharumkan nama bangsa Indonesia dengan prestasi-prestasi yang
diperolehnya. Semakin lama semakin pudar kesenjangan kedudukan yang ada antara
pria dan wanita. Namun tidak jarang kita temukan kedudukan wanita yang justru lebih
tinggi daripada kedudukan pria. Saat ini perlakuan berbeda terhadap pria dan wanita
sudah jarang dilakukan.
Tapi, semakin lama mulai terjadi penyimpangan makna emansipasi yang
dilakukan oleh wanita-wanita yang hidup di era globalisasi seperti saat ini. Emansipasi
tidak lagi digunakan untuk menyejajarkan kedudukan pria dan wanita, emansipasi justru
digunakan untuk membuktikan bahwa kaum wanita lebih hebat daripada kaum pria. Hal
ini jelas bukan suatu kesejajaran kedudukan. Bukan hanya itu, tidak sedikit wanita yang
memiliki pola hidup bebas mengatas namakan emansipasi wanita, tidak ingin tindakan
yang dilakukannya dianggap salah hanya karena ia seorang wanita.
Penyimpangan makna emansipasi wanita di era globalisasi ini lama-lama akan
membuat melekatnya stigma kasar baru yang menggantikan stigma “kasur, sumur,
dapur” pada diri wanita-wanita saat ini. Jelas tidak ada yang menginginkan perjuangan
Kartini untuk menyejajarkan kedudukan antara pria dan wanita menjadi sia-sia karena
tindakan-tindakan yang melenceng dari makna emansipasi yang sesungguhnya. Jadi
mari kita luruskan kembali makna emansipasi di era globalisasi ini, jangan sampai
penyimpangan makna yang terjadi membuat wanita kembali dipandang sebelah mata
oleh masyarakat.