1. Makalah ini membahas pendekatan etika Kristen tentang aborsi dengan meninjau konsep awal kehidupan manusia dari sisi medis dan teologis.
2. Secara medis, kehidupan dimulai sejak terjadinya pembuahan dan perkembangan sel telur menjadi janin.
3. Dari sisi teologi, Alkitab menunjukkan janin memiliki hak hidup sejak dalam kandungan dan kehidupan adalah karunia Allah.
1. PENDEKATAN ETIKA KRISTEN TENTANG ABORSI
Pendahuluan
Sebuah berita yang cukup mengusik hati dilansir oleh sebuah media televisi TV One
pada tanggal 18 April 2012 menyatakan tentang fakta tindakan aborsi di Indonesia sebagai
berikut:
Seksolog dan androlog, Wimpie Pangkahila memperkirakan jumlah perkara aborsi atau
pengguguran kandungan di Indonesia capai 2,5 juta kasus per tahun.
"Kasus aborsi ini tersebar secara merata, baik di wilayah-wilayah perkotaan maupun
perdesaan," kata Wakil Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia
(Persandi) tersebut di Semarang, Rabu (18/4)... Kehamilan, lanjut dia, merupakan konsekuensi
dari hubungan seks. Namun, para remaja yang melakukan seks pranikah itu cenderung
menempuh jalan pintas jika terjadi kehamilan, yakni memutuskan melakukan aborsi. (rn)
Hal ini menunjukkan bahwa tindakan aborsi merupakan satu keputusan yang diambil
untuk menyikapi sebuah kenyataan yang tengah dihadapi. Pengambilan keputusan tersebut
tentu tidak lepas dari sebuah pengutamaan sebuah nilai atau lebih di atas nilai-nilai lain yang
berkaitan dengan situasi atau kenyataan.
Salah satu dari sekian banyak aspek yang bisa menjadi pertimbangan dalam
pengambilan keputusan aborsi adalah pemikiran atau konsep tentang kapan sebuah kehidupan
dimulai karena hal ini akan menjadi dasar untuk menjawab apakah aborsi termasuk
pembunuhan (yaitu menghilangkan nyawa/kehidupan) atau tidak. Joseph Flecther
menyatakan bahwa perdebatan tentang hal ini dimulai dari pertanyaan apakah “janin (fetus)
adalah sebuah pribadi (person) atau bukan” (Fletcher 1974, 135). Dengan kata lain, jika
ternyata sebelum dilahirkan dia bukan pribadi, maka konsep ini dapat menjadi satu
pertimbangan yang kuat untuk mengijinkan tindakan aborsi.
Makalah singkat ini ditulis untuk membuktikan bahwa sejak terjadinya pembuahan
(sekalipun masih dalam rahim), fetus sudah bisa dikategorikan memiliki kehidupan. Penilaian
kehidupan dilihat dari sisi medis dan juga dari konsep tentang definisi tentang kehidupan.
1
2. 2
Sumbangsih data informasi tentang awal kehidupan manusia dipandang dari sisi
medis menjadi bagian pertama dari bahasan untuk menunjukkan fakta yang terjadi di sekitar
pembuahan dan perkembangan janin selama berada dalam kandungan sang ibu.1 Selanjutnya,
pembahasan tentang definisi tentang kehidupan akan dibahas dari sisi filosofis dan teologis.
Setelah bahasan tentang konsep kapan kehidupan dimulai, barulah secara singkat dilihat
implikasinya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aborsi dengan berbagai
pertimbangan-pertimbangan lain yang mengikutinya.
Awal Kehidupan Manusia Dipandang dari Sisi Medis
Mengawali dalam bahasan ini, sebuah definisi tentang apa itu “hidup” dipakai
menjadi acuan dasar. Oxford dictionary memberikan definisi sebagai berikut:
“the condition that distinguishes animals and plants from inorganic matter, including the
capacity for growth, reproduction, functional activity, and continual change preceding
death.”(Anon.)
Definisi ini menyiratkan adanya kapasitas dan adanya perubahan yang terjadi dalam sebuah
kehidupan.
Sebelum sel telur dibuahi, maka bentuknya dan besarnya tetap sama ketika ia keluar
dari indung telur, berada di saluran falopi, maupun dalam rahim. Itu sebabnya ketika rahim
merasakan tidak adanya perubahan, maka dengan sendirinya ia akan mengeluarkannya. Itulah
yang terjadi dalam siklus kewanitaan. Demikian juga saat sperma tidak bertemu dengan sel
telur, maka tidak terjadi perbedaan atau perubahan pada dirinya. Terbuangnya sel telur yang
tak dibuahi maupun sperma secara alami adalah hal yang natural, yang tidak pernah
dipermasalahkan.2
1
Dalam paper ini sebutan “ibu” tidak mempermasalahkan apakah ia seorang ibu dari anak karena bayi
yang ada dalam kandungan berasal dari sel telurnya, atau bukan. Baik dia hanya menjadi “ibu sewaan” karena
sel telur bukan berasal dari dirinya, atau ibu sejati, sebutan di tempat ini hanya merujuk kepada seorang wanita
yang menjadi tempat bagi sel telur itu diproses untuk kemudian menjadi seorang bayi.
2
Yang dimaksud dengan tidak dipermasalahkan adalah dalam kajian hukum maupun etis tentang fakta
terbuangnya sel telur maupun sperma. Tentang dengan cara bagaimana mereka itu terbuang, khususnya sperma,
tidak menjadi topik bahasan di tempat ini.
3. 3
Ketika terjadi pembuahan, yaitu ketika sperma membuahi sel telur, maka terjadilah
perubahan dengan mulainya terjadi pembelahan sel secara multiplikasi. Zygote (istilah medis
untuk sel telur yang sudah dibuahi) berkembang dari satu sel menjadi banyak sel dan
kemudian berubah menjadi blastocyst yang menjadi awal dari embrio yang makin
berkembang. Bagian luar dari blastocyst akan menghasilkan plasenta sedangkan bagian
dalam akan mengembangkan jaringan dari tubuh. Dari sini kemudian terus berkembang
menjadi fetus (janin) yang makin sempurna perkembangannya dengan makin terlihatnya
semua organ tubuh yang utuh seperti kelak terlihat ketika ia bertumbuh dan berkembang
menjadi manusia dewasa setelah lahir.
Perkembangan zygote menjadi blastocyst terjadi dalam minggu pertama. Blastocyst
berkembang menjadi embrio dalam minggu kedua. Perkembangan pertama adalah
perkembangan “di dalam” sang ibu tetapi tidak secara kuat berinteraksi dengan sang ibu
sehingga tidak terjadi perubahan hormonal sampai minggu kedua (Grobstein 1988, 8).
Selanjutnya dari sisi medis hanya memberikan data obyektif bahwa sejak dari
terjadinya pembuahan, maka mulailah sebuah aktivitas dalam telur dengan bertumbuhnya sel,
berkembang dan terjadi perubahan-perubahan. Dengan demikian, secara medis, berdasar pada
definisi yang diberikan oleh Oxford dictionary, hal ini disebut sebagai sebuah kehidupan.
Peranan selanjutnya adalah peranan dari pemikiran tentang konsep siapa yang disebut
sebagai manusia yang hidup. Apakah ketika jaringan sel yang berkembang dalam zygote bisa
disebut sebagai pribadi? Hal inilah yang dibahas dalam bagian selanjutnya.
Konsep Tentang Kehidupan
Ketika menghubungkan sebuah fenomena tentang hidup dan manusia yang
merupakan sesosok individu yang berpribadi, maka ada beberapa pemikiran yang pada
akhirnya akan berkaitan erat dengan penentuan apakah zygote yang hidup, atau janin yang
4. 4
berkembang dalam rahim adalah sama dengan seorang manusia. Pemikiran tentang hal ini
dibicarakan dari beberapa pendekatan yaitu pendekatan kapabilitas, pendekatan potensial dan
pendekatan esensial. Pendekatan teologis menjadi pendekatan terakhir yang dibicarakan
dalam bagian ini.
Pendekatan Kapabilitas
Pendekatan kapabilitas menekankan nilai kehidupan berdasarkan kapabilitasnya untuk
melakukan sesuatu. Seorang disebut sebagai sesosok individu ketika ia menunjukkan
kemampuan untuk berpikir rasional, melakukan aktivitas dan memiliki hubungan dengan
yang lain. Saat seseorang tidak bisa menunjukkan hal-hal tersebut di atas, maka ia tidak bisa
dikategorikan sebagai sesosok individu. Pendekatan ini tercermin dalam pernyataan Daniel
Callahan bahwa aborsi bukanlah sebuah penghancuran pribadi seorang manusia (human
person) karena dalam yang dikandung tidak memenuhi definisi seorang pribadi (person),
yang berarti kapasitas yang sudah berkembang untuk berpikir, berkehendak, berkeinginan
dan berhubungan dengan orang lain (Callahan 1970, 497–498). Pada tanggal 22 Januari 1973
di Amerika, sebuah kasus yang terkenal sebagai kasus Roe vs Wade menjadi titik ukur legal
karena Pengadilan tinggi (Supreme court) memberikan kebebasan untuk melakukan aborsi
dalam trimester pertama kehamilan (Evans 1989, 56; Ramsey 1978, 6) sekalipun saat itu
masih ada keraguan karena belum ada kesesuaian pendapat sebagaimana dikatakan oleh
hakim Harry Blackmun “jika usulan tentang ke-berpribadi-an (personhood) dipastikan, maka
hak hidup dari fetus dijamin oleh amandemen keempat belas” (Beckwith 1995, 187).
Pendekatan ini mengedepankan nilai produktifitas dan nilai empiris dari seorang
manusia. Kelemahan dari pendekatan ini adalah bahwa pendapat ini mengesampingkan
keberadaan seseorang hanya karena kapabilitasnya. Apakah seseorang “berhenti” jadi
5. 5
manusia ketika ia gagal untuk berpikir, atau ketika seorang anak yang autis tidak bisa
berhubungan dengan orang lain.
Pendekatan Potensial
Pendekatan ini melihat pribadi manusia bukan dari apa yang sudah terlihat, tetapi dari
potensi yang dimilikinya.Tertullian dalam Apologeticum yang dikutip dalam On Moral
Medicine mengatakan bahwa “tidak ada bedanya apakah seseorang membinasakan satu jiwa
yang sudah lahir atau mengintervensinya dalam proses untuk lahir. Itu adalah seorang
manusia dan yang akan menjadi manusia, karena setiap buah sudah ada terkandung dalam
sebutir benih” (Lammers and Verhey 1998, 594). Pendekatan serupa dilakukan oleh
Grobstein yang berkata bahwa “telur yang dibuahi (zygote) telah memiliki aspek yang sangat
penting dari individualitas dalam genome yang unik” (Grobstein 1988, 24).
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang lebih baik karena tidak membatasi diri
dalam keberhasilan/kesuksesan menunjukkan kemampuan, tetapi melihat kepada potensi
yang ada di dalam sekalipun belum termunculkan. Pandangan semacam ini dekat sekali
dengan pemikiran Aristotle dalam metafisika tentang potensi yang ada dalam sesuatu sebagai
sebuah realitas walau belum terlihat.
Pendekatan Esensi
Pendekatan ketiga ini melihat pada hakekat. Ia tidak berbicara tentang potensinya ada
atau tidak, Juga tidak mempersoalkan apakah sudah terlihat nyata bisa melakukan sesuatu.
Yang dilihat di sini adalah bahwa zygote yang kemudian juga adalah fetus dan lahir jadi
manusia, memiliki hakekat atau esensi sebagai manusia. Berarti ketika kehidupan dimulai
saat sel itu berkembang, hakekatnya sudah adalah manusia sehingga ia sudah menjadi
manusia yang hidup saat menjadi zygote, yaitu sebagai homo sapiens (Clark and Rakestraw
6. 6
1994, 43). Pendekatan ini menjadi pendekatan yang sangat erat hubungannya dengan
pendekatan tentang kesucian manusia yang dilihat dari sisi biblis-teologis.
Pendekatan Biblis-Teologis
Sekalipun ada banyak varian dalam pendekatan teologis dalam sejarah pemikiran para
teolog, namun setidaknya ada garis yang sama yang dilihat oleh para teolog pada umumnya. 3
Pertama, dengan melihat kepada aturan dalam Keluaran 21:22-24 tentang seorang yang
menyebabkan terjadinya buah dari rahimnya keluar (berarti terjadi kelahiran prematur) tapi
tidak ada luka maka sanksinya adalah denda, tetapi jika ada luka (di ayat 22 maupun 23 tidak
spesifik menunjuk pada sang ibu, bisa juga kepada sang anak), maka hukumnya adalah
nyawa ganti nyawa. Hal ini bisa diartikan sebagai dukungan atas pemahaman bahwa anak
memiliki hakekat yang sama dengan ibunya, sebagai buah (yang memiliki esensi yang sama)
yaitu manusia sehingga hukum yang sama (lex talion) berlaku.
Kedua, menunjuk kepada kehidupan yang bermula dari karya Allah dalam rahim, seperti
tercermin dalam Mazm 139:13 yang menunjukkan nilai sebagai manusia yang lebih mulia
dari makhluk yang lainnya. Konsep bahwa kehidupan sudah dimulai dalam rahim terlihat
dalam bagian ini. Apa yang menjadi keberadaan diri dari pemazmur sudah dimulai sejak
berada dalam kandungan. Hal ini juga menyiratkan bahwa kehidupan itu adalah sesuatu yang
diberikan kepada manusia, bukan sesuatu yang bisa dimiliki oleh manusia untuk diperlakukan
semau manusia.
Ketiga, dalam konsep penebusan, maka semua orang yang ditebus dalam Kristus Yesus tidak
lagi memiliki hak untuk menentukan apa yang ia suka, tetapi menjadi milik Kristus yang
harus mengarahkan diri dalam ketaatan kepada apa yang Allah kehendaki. Itu berarti
3
Kesamaan ini khususnya terlihat dari sikap Katolik Roma, Ortodoks Timur, Yahudi Ortodoks dan
juga kalangan Protestan pada umumnya. Dalam keterbatasan bahasan, maka tidak disertakan di sini apa yang
menjadi pendapat masing-masing dengan segala pemikirannya. Yang diberikan di dalam paper ini adalah garis
umum yang senada dari beberapa di antaranya.
7. 7
pertimbangan tentang kehidupan bukan lagi diserahkan kepada manusia untuk menentukan
pilihannya, melainkan menjadi hak Allah yang memiliki manusia sebagai milik tebusan-Nya.
Dengan beberapa pendekatan yang sudah dipaparkan, dan juga fakta dari sisi medis,
maka penulis melihat bahwa kehidupan sudah dimulai dan dimaknai sejak dari terjadinya
perubahan dari sel telur menjadi zygote. Hal ini memberikan sebuah kesimpulan bahwa hidup
sudah ada dalam janin yang ada di dalam kandungan. Itu sebabnya sebagaimana manusia
mempunyai hak untuk hidup, demikian juga janin dalam kandungan juga memiliki hak untuk
hidup (lihat lampiran tentang perbandingan hak untuk hidup dalam tiga pendekatan di luar
pendekatan biblis-teologis).
Implikasi Dalam Tindakan Aborsi
Dalam pembicaraan tentang tindakan aborsi, maka perlu disadari bahwa ada banyak
aspek dan pendekatan yang perlu dipertimbangkan. Setidaknya bisa dilihat dari dua sudut
pandang besar yang berbeda, yaitu dari sisi sang ibu atau dari sisi sang janin. Dengan
menempatkan bahwa sang janin adalah memiliki hakekat sebagai manusia, memiliki potensi
sebagai manusia dan hidup, maka hak untuk hidup seharusnya juga dipertimbangkan secara
sederajad dengan sang ibu yang pada hakekatnya sama sebagai manusia.
Pendekatan tentang siapakah yang memiliki hak untuk menentukan menjadi aspek
yang lain dalam penentuan tentang aborsi. Pemikiran tentang keuntungan ekonomis,
kesehatan, kualitas kehidupan dan yang sejenisnya merupakan bagian dari pemikiran bahwa
manusia memiliki hak untuk menentukan pilihannya. Pertimbangan lain yang biasa disebut
sebagai pendekatan pro-life yang menekankan keberhargaan hidup sebagai nilai utama
menjadi sebuah perdebatan tersendiri.
8. 8
Bagi penulis sendiri, hak hidup yang dimiliki oleh sang janin menjadi penentu yang
kuat untuk menentang tindakan aborsi. Keberadaannya sebagai manusia memberikan nilai
kesucian dari kehidupan dan kemuliaan dalam dirinya.
9. 9
Lampiran
Perbandingan Hak Hidup dalam Tiga Pendekatan(Clark and Rakestraw 1994, 38–43)
Pendekatan Kapabilitas
Punya hak untuk hidup Tidak punya hak
Anak-anak Fetus/janin
Orang dewasa Bayi
Orang yang koma tapi masih bisa sadar Koma yang tak mungkin sadar
Sedikit keterbelakangan Sangat terbelakang
Pendekatan Potensi
Punya hak untuk hidup Tidak punya hak
Fetus Koma yang tak mungkin sadar
bayi Sangat terbelakang
Anak-anak
Orang dewasa
Orang yang koma tapi masih bisa sadar
Sedikit keterbelakangan
Pendekatan Esensi
Punya hak untuk hidup Tidak punya hak
Fetus Koma yang tak mungkin sadar
bayi
Anak-anak
Orang dewasa
Orang yang koma tapi masih bisa sadar
Sedikit keterbelakangan
Sangat keterbelakang
10. 10
Daftar Acuan
Anon. “Definition of Life - State, Biology and Natural Phenomenon.”
http://oxforddictionaries.com/definition/english/life.
Beckwith, Francis J. 1995. “From Personhood to Bodily Autonomy: The Shifting Legal
Focus in the Abortion Debate.” In Bioethics and the Future of Medicine: A Christian
Appraisal, ed. John F Kilner, Nigel M de S Cameron, and David L. Schiedermayer,
187–198. Carlisle, U.K.: Paternoster Press [u.a.].
Callahan, Daniel. 1970. Abortion: Law, Choice, and Morality. New York: Macmillan.
Clark, David K, and Robert Vincent Rakestraw. 1994. Readings in Christian Ethics. Grand
Rapids, MI.: Baker Books.
Evans, Debra. 1989. Without Moral Limits: Women, Reproduction, and the New Medical
Technology. Westchester, Ill.: Crossway Books.
Fletcher, Joseph F. 1974. The Ethics of Genetic Control: Ending Reproductive Roulette.
Garden City, N.Y.: Anchor Press.
Grobstein, Clifford. 1988. Science and the Unborn: Choosing Human Futures. New York:
Basic Books.
Lammers, Stephen E, and Allen Verhey, eds. 1998. On Moral Medicine: Theological
Perspectives in Medical Ethics. Grand Rapids, Mich.: William B. Eerdmans Pub.
Ramsey, Paul. 1978. Ethics at the Edges of Life: Medical and Legal Intersections. New
Haven: Yale University Press.
rn. “tvOne.”
http://sosialbudaya.tvonenews.tv/berita/view/55296/2012/04/18/seksolog_aborsi_di_i
ndonesia_capai_25_juta_kasus_per_tahun.tvOne.