1. JOURNAL READING
REVIEW Bell’s palsy: aetiology, clinical features and
multidisciplinary care
Pembimbing:
dr. Patria Adri Wibhawa, Sp.N
Disusun Oleh :
Kristy Spica Gabriela Agaki (2165050089)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
Periode 07 Agustus – 09 September 2023
www.uki.ac.id
MEDICAL SCHOOL
3. Abstrak
• Bell’s palsy neuropati kranial yang dapat menyebabkan kelumpuhan wajah
neuron motoric bawah unilateral akut.
• Penyebab pasti Bell’s palsy belum jelas namun imun, infektif dan iskemik menjadi
contributor potensial dari penyakit ini.
• Pemahaman baru menuliskan bahwa molekul sinyal intra akson dan mekanisme
degenerasi dari Wallerian bisa menjelaskan lebih lanjut pathogenesis berada
dengan penelitian in-vitro antara interaksi virus dan akson.
• Pedoman terbaru menerbitkan pengobatan akut Bell’s palsy, menganjurkan
monoterapi steroid
• Namun, bagi pasien dengan gejala sisa akibat pemulihan yang tidak sempurna
harus ditangani lebih lanjut oleh tim medis.
• Pendekatan berpusat pada pasien yang menggunakan fisioterapi, injeksi toksin
botulinum dan intervensi bedah mengurangi kecacatan jangan panjang pada
kelumpuhan wajah.
4. Pendahuluan
• Bell’s palsy neuropati wajah perifer yang terjadi secara akut dan paling
banyak menyebabkan kelumpuhan wajah neuron motoric bawah.
• Presentasi klinis kelemahan wajah tipe neuron bawah terjadi secara cepat,
unilateral, dan gejala nyeri postauricular, dysgeusia, perubahan subyektif pada
sensasi wajah dan hiperakusis.
• Presentasi klinis ini didukung oleh anatomi saraf wajah manusia khususnya saraf
campuran yang mengandung motoric, sensorik dan parasimpatis.
• Saraf kranial yang berhubungan dari sensasi wajah yang berubah saraf cranial
V, disfungsi vestibular (VII)), atau gejala faring (IX dan X)
• Efek parasimpatis berkurangnya lakrimasi dan air liur akibat efek parasimpatis.
• Kecacatan maksimal terjadi dalam 48 – 72 jam pertama dan tingkat keparahan
kelumpuhan berhubungan dengan furasi disfungsi wajah, tingkat pemulihan dan
penurunan kualitas hidup.
5. Epidemiologi
• Pria dan wanita secara merata insiden sedikit lebih tinggi pada usia
pertengahan dan usia lanjut, namun dapat terjadi pada semua rentang usia.
• Angka kejadian populasi berkisar 11,5 hingga 40,2/100.000
• Di Inggris, Jepang dan Amerika serikat memiliki insiden tahunan yang
serupa Inggris (20,2/100.000), (30/100.00), 25-30/100.000.
• Terjadi peningkatan insiden Bell’s palsy selama uji coba pemberian vaksin
intranasal mungkin disebabkan karena efek kekebalan dari adjuvan toksin
labil panas E.Coli yang sudah di detoksifikasi terlebih dahulu.
• Insiden ini lebih tinggi pada kehamilam yang mengalami infeksi saluran
pernapasan atas akibat virus pada kondisi imunokompromi dan pada pasien
DM dan HT.
6. Etiologi
• Kemungkinan penyebab yang terlah disarankan infeksi virus herpes simpleks
yang diaktifkan kembali (HSV-1) pusat di sekitar ganglion genikulatum.
• HSV-1 memiliki kapasitas neurotropik untuk saraf tepi dan virus lain dalam
kategori ini termasuk HSV-2 dan VZV.
• Virus masuk kedalam tubuh melalui paparan mukokutaneus bentuk laten
dengan transkripsi gen terbatas di beberapa ganglia di seluruh neuroaksis yang
akan hidup sepanjang hidup inang kranial, akar dorsal dan gangglianotonom.
• HSV memiliki distribusi global dan merupakaan virus yang Tangguh.
• Saat masuk dengan fase laten tanpa adanya replikasi yang aktif mereka akan
mendistribusi secara luas di tubuh.
7. Etiopatogenesis
• Penyebab disfungsi saraf aktibat HSV-1 aktivasi degradasi intra-aksonal dan
jalur apoptosis langsung maupun tidak langsung dari akson terhadap virus itu
sendiri.
• Literatur memunculkan pathogenesis dari Bells’ palsy berkaitan dengan peran
molekul sinyal intra-aksonal (SARM-1), permeabilitas mitokondria dan
mekanisme molekuler membuat degenerasi Wallerian.
• Penelitian in vitro terbaru RNA pembawa pesan di akson saraf perifer
dipicu partikel virus alpha herpes.
• Penelitian sebelumnya meneliti fisiologis seluler dalam pengaturan infeksi
herpes terjadi penurunan natrium bisa menyebabkan pertukaran natrium
kalsium (NCX) terbalik sehingga kalsium banyak di intraseluler
menyebabkan aktivasi protease dan degenerasi intra aksonal Bell’s palsy tiba
– tiba.
8. Etiopatogenesis
• Respons imun diperantarai sel terhadap mielin, mirip dengan bentuk
mononeuropati Guillain Barre Syndrom (GBS)
• Bukti ini berasal dari temuan laboratorium tidak langsung dari GBS perubahan
persentase limfosit T dan B dalam darah tepi, peningkatan konsentrasi kemokin
dan reaktivitas in vitro terhadap protein mielin (P1L) pada sampel darah pasien
Bell’s palsy.
9. Diagnosis
• Temuan khas onset akut, kelumpuhan wajah neuron motoric bawah unilateral
mempengaruhi otot wajah bagian atas dan bawah, dengan puncaknya 72 jam.
• 50 -60 % gejala ini untuk meyakinkan diagnosis Bell’s palsy.
• Keterlibatan saraf aurikulars posterior, petrosus, korda timpani dan stapedius
mengimplikasi lokasi disfungsi berada didalam tulang temporal.
10. Diagnosis Banding
• Hipoplasia perkembangan otot – otot wajah
• Tumor Schwannoma saraf wajah, keganasan parotis dan jarang neuroma
akustik.
• Herpes zoster oticus
• Penyakit granulomatosa sarcoidosis, granulomatosis dengan poliangitis
(granulomatosis Wegener)
11. Diagnosis banding
• Pemeriksaan fisik menyeluruh dapat memberikan bukti untuk diagnosis
alternatif.
• Pola – pola yang dapat diketahui dari kelumpuhan wajah:
• Kelumpuhan wajah yang berfluktuasi bertahap atau berkembang >72 jam
• Kelumpuhan bilateral (GBS, karsinoa dan limfoma)
• Kelumpuhan wajah berulang (neuroma saraf wajah)
• Kelumpuhan total berkepanjangan (>4 bulan)
• Kelumpuhan total perdarahan ke dalam tumor
• Massa didaerah parotis curigai Riwayat keganasan kulit atau kelemahan
saraf segmental.
12. Skoring
• Keparah Bell’s palsy dapat dicatat dalam House-Brackmann atau skala penilaian
saraf wajah/ Sunnybrook
• Sifat nya subjektif.
13. Neurofisiologi
• Di masa lalu, Studi konduksi saraf wajah Electroneuronography (ENoG)
• Literatur bedah dekompresi bedah araf wajah semakin tidak lagi menjadi
hal normal biaya, risiko dan kurang kemanjuran.
• Neurofisiologi lebih memberikan informasi adanya respons residual
menunjukkan cedera yang didominasi oleh saraf prospek pemulihan baik HB I
atau II
14. Pengobatan
PERAWATAN AKUT
• Akademi Neurologi (AAN) dan America Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
Foundation (AAO-HNSF)
• Pedoman ini memperkuat peran kortikosteroid dalam pengobatan Bell’s palsy dan menentang
penggunaan terapi antivirus secara rutin.
• AAO-HHSF tidak menyarankan pemeriksaan lab, pencitraan atau neurofisiologis rutin pada
presentasi pertama dari Bell’s palsy yang khas.
• Dosis steroid oral 72 jam pertama onset
• Penelitian uji coba RCT 50 mg prednisone selama 10 hari atau 60 mg selama 5 hari pertama,
kemudian dikurangi 10mg setiap hari selama 5 hari berikutnya efektif
• Kurang signifikansi yang ditunjukkan kombinasi kortikosteroid dan terapi antivirus
dibandingkan kortikosteroid RCT double-blind efek pengenceran daro kelumpuhan ringan
dan sedang pemulihan spontan tinggi.
15. • Pengobatan antivirus kepada pasien Bell’s palsy dengan obat antiherpes, asiklovir
kemungkinan peran HSV-1 tidak langsung saat ini.
• Alasan pemberian pengaturan keseimbangan klinis mereka yang di diagnosis
Bell’s palsy akan mengalami herpes zoster sinus, VZV tanpa erupsi vesicular
yang khas merupakan ciri khas infeksi VZV atau sinrom Ramsay-Hunt
• Dosis umum Valasiklovir 3x1000mg selama 7 hari.
PERAWATAN AKUT
16. • Kacamata hitam
• Lubrikasi (air mata buatan/artificial tears)
• Salep mata pada malam hari
• Penutup mata yang direkatkan pada malam hari
PERAWATAN MATA
PERAWATAN MULUT
• Menggunaka sedotan untuk cairan
• Mengonsumsi makanan lunak
FISIOTERAPI
• Terapi panas
• Elektrostimulasi
• Pijat
• Terapi pantomim
• Biofeedback
17. Prognosis
• 85% pasien mengalami pemulihan dalam 3 minggu pertama
• Pasien dengan kelumpuhan wajah lengkap (House-Brackman grade 5-6) yang belum
pulih dalam 3-4 bulan pertama fungsi wajah jauh tidaj sempurna dengan atau
tanpa spasme dan sinekdoke.
18. Synkinesis
• Kontraksi otot wajah yang tidak normal selama gerakan wajah ini dilakukan
secara sukarela dan dikaitkan dengan persarafan yang tidak normal pada otot
wajah setelah cedera saraf.